Buku ini terdiri dari tiga bagian besar. Bagian pertama terkait dengan metode dan
fondasi. Bagian kedua mengemukakan tujuh tema utama misi
yang sedang mengemuka. Bagian ketiga berisi tentang bagaimana gereja menyadari
sifat sesungguhnya sebagai gereja yang misioner.
1
Hal yang sangat penting juga dikemukakan penulis dan sekali lagi merupakan core
atau inti buku ini adalah tesis penulis tentang relasi antara teologi dan misi yaitu
bahwa teologi sangat terkait dengan misi. Tidak ada teologi tanpa misi.
Dalam kaitan itu maka tugas teologi adalah menilai secara kritis, menganalisa atau
bahkan juga membela realitas manusia dan alam semesta, dalam perjumpaan-
perjumpaan antara konteks dan teks secara terus menerus.
2
pemahaman yang berlebihan mengenai misi. Misi dapat berarti keadilan, kebudayaan,
hubungannya dengan agama-agama, pembebasan, lingkungan hidup, dan lain, seperti
yang dikatakan Neil dalam buku Bosch bahwa jika semua hal adalah misi, maka
sesungguhnya tidak satupun dari semua itu adalah Misi (Bosch:785).
Hal lain yang mengemuka dalam buku Kirk adalah bagaimana Hoekendijk, AT van
Leeuwen yang melihat gereja telah melakukan pembedaan yang tajam antara
lingkungan sekuler dan agama. Tetapi dalam rangka keseimbangan Kirk juga
mengemukakan pendapat John Hick yang dipengaruhi oleh revolusi Copernicus
mengatakan bahwa misi Allah lebih luas dari yang dipahami umat Kristen sendiri.
Misi Allah tidak saja bekerja di dalam gereja, tetapi di luar gereja juga, terkait dengan
keadilan dan pembebasan.
Gereja kini mulai merespons secara benar bahwa misi dan gereja dapat dianalogikan
seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Kalau ia mengaku gereja , maka
ia harus bermisi. Artinya gereja barulah sungguh-sungguh disebut gereja atau menjadi
gereja apabila ia melakukan tindakan misi. Tindakan misi yang dimaksud adalah
tindakan misi kasih Allah di dalam Yesusu Kristus, yang universal dan bersifat
humanis, mencakup keutuhan seluruh ciptaan. Gereja tidak hadir hanya untuk dirinya
sendiri. Allah memilih dan memakai gereja sebagai mitra Allah dalam melakukan
misi kasihNya.
3
Allah”. Dalam pelayananNya Yesus menimbulkan kontroversi terhadap status quo
baik agama maupun perilaku keberagamaan itu sendiri. Misalnya mengenai hal
mengampuni dosa (Mrk 2:1-12), bagaimana Yesus bergaul dengan orang yang tidak
layak dalam masyarakat (Mrk. 2:14,15,16), tidak mengikuti aturan mengenai sabath
dan puasa (Mrk. 2:18-20, 23-27, 3:1-5).
Terhadap tradisi dan Hukum Taurat, Ia menekankan bahwa tujuannya bukan untuk
menguasai dan memperbudak tetapi untuk membimbing dan memperingatkan (Mat.
23:3-4). Justru harus diletakkan dalam tatanan baru ciptaan Allah seperti analogi
Yesus, “anggur yang baru harus diletakkan dalam kantong yang baru” (Mrk. 2:22).
Aturan-aturan agama pun bagi Yesus, kalau itu mengikat kebebasan untuk melakukan
tindakan kasih dalam pelayanan mengikut Yesus, harus dilepaskan. Salah satu
tanggapan Yesus ketika murid-murid hendak pulang menguburkan orang tuanya,
“biarkanlah orang mati menguburkan orang mati”.
Keberpihakan Yesus baik sikap maupun pengampunan terhadap orang-orang tak
berpunya dan orang-orang hina dalam masyarakat menjadi masalah berhadapan
dengan orang Faarisi dan ahli Taurat. Apalagi ketika Yesus mengatakan bahwa
oarang-orang seperti itulah yang dicari Allah.
Hal penting lain dalam hidup pelayanan Yesus adalah penegasannya untuk tidak
tergantung dan befokus pada soal uang, kekuasaan dan prestise.
Semua hal di atas harusnya menjadi gambaran bahwa itulah misi Yesus. Hari-hari
terakhir hidup Yesus, ketika memasuki Yerusalem memperlihartkan lebih jauh misi
Yesus yang sesungguhnya. Di sana terlihat bagaimana orang salah memahami misi
Allah. Hal itu terlihat misalnya dari permintaan orang-orang pada saat itu yang
mengelu-elukanNya sebagai penyelamat Allah, meminta untuk dibebaskan dari
tekanan politik. Misi Allah dilihat secara politis bukan dilihat sebagai tindakan kasih
yang membebaskan.
Misi dan pola pelayanan Yesus tersebut, diteruskan oleh murid-murid dan para rasul.
Misi Yesus adalah pemberitaan Injil sebagai kabar pembebasan, menegakkan
keadilan, menegakkan belas kasih, dan menjauhkan diri dari tindakan kekerasan.
4
184 Isu-isu kontemporer yang diangkat Kirk dalam bukunya ini pada umumnya sama
dengan yang dikemukakan dalam buku-buku misi. Isu-isu kontemporer itu misalnya:
pemberitaan Injil sebagai kabar baik, Injil di tengah-tengah kebudayaan, keadilan
untuk kaum miskin, pejumpaan dengan agama yang lain, mengatasi kekerasan dan
membangun perdamaian, pelestarian lingkungan hidup dan saling berbagi dalam
kemitraan.
Pemahaman ini jugalah yang melahirkan dua garis tegas dalam kekristenan yaitu
kelompok Injili dan Oikumenis. Kelompok Injili lebih menekankan soal-soal internal
gereja saja, misalnya lebih menekankan kehidupan rohani pribadi ketimbang tindakan
sosial gereja. Lebih mengutamakan bagaimana menambah jumlah anggota, tanpa
menekankan unsur-unsur konesekuensi menjadi murid. Sementara kelompok
Oikumenis lebih menekankan soal eksternal gereja, soal-soal sosial, ketimbang soal-
soal kerohanian atau kesalehan pribadi dan pertumbuhan anggota gereja.
5
Karena penekanan yang seperti itulah maka kelompok Oikumenis mendapat sorotan
khususnya pada Sidang Raya DGD di Upsala. Kelompok Oikumenis dianggap lalai
dalam tugas PI-nya. Namun kelompok Oikumenis tetap menekankan benang merah PI
yaitu pembaruan sosial oleh gereja.
Kalau Kirk memakai kalimat “Memberitakan Kabar Baik”, maka itu berarti ia ingin
mengetengahkan sesuatu yang berbeda tetapi tidak kehilangan makna dan esensi dari
PI itu sendiri. Kalau ia adalah kabar baik, yang membebaskan, membawa kedamaian,
keadilan dan sebagainya, maka harus disampaikan dengan cara yang baik juga, supaya
orang yang mendengar kabar baik itu menjadi senang dan bahagia tentunya, lalu
menerima dan mau hidup di dalam Yesus Kristus melalui relasi yang baik dengan
sesama dan ciptaan lainya. Itu mungkin logika sederhana yang hendak Kirk
kemukakan terkait dengan istilah PI yang telah mengalami degradasi makna dan
praktek.
Baik PL maupun PB, semuanya memberitakan kabar baik tersebut. Dalam PL Allah
memakai para nabi untuk menyampaikan maksud Allah membebaskan umat dari
ketertindasan, juga ajakan untuk melakukan keadilan dan perdamaian dengan semua
orang. Umat dibebaskan, tetapi kemudian melupakan Tuhan bahkan meninggalkan
Tuhan dan kemudian berkanjang dalam dosa berkepanjangan. Karena umat tetap tegar
tengkuk, Allah sendiri di dalam Yesus Kristus menjelma menjadi manusia, untuk
membebaskan dan menyelamatkan melalui kematianNya, itulah kabar baik.
Oleh sebab itu menurut Kirk, tujuan PI ada dua, ditinjau dari sudut pandang Allah dan
manusia. Dari sudut pandang Allah, PI adalah penciptaan suatu kehidupan yang
sepenuhnya baru, pemulihan kemuliaan yang hilang ( 2 Kor. 3:18), sebagai akibat dari
dosa ( Rm. 3:23; Ibr. 2:10) dalam citra Yesus Kristus. Dari sudut pandang manusia
lanjut Kirk, tujuan PI adalah bagimana orang menjadi pengikut Yesus, dalam arti
manusia menyadari bahwa hidupnya telah dipulihkan kembali sebagai ciptaan Allah
ke dalam citra Allah melalui pengorbanan darah Yesus Kristus. Oleh sebab itu
hakekat PI dan apa yang dilakukan dalam memberitakan kabar baik itu seyogyanya
adalah perjalanan yang mencitrakan kasih dan pengorbanan serta hidup (2 Kor. 3:18).
6
Kesimpulan Kirk ialah PI harus sesuai dengan pembawa berita, yaitu sikap penuh
kasih, bukan dengan maksud dan kepentingan manusia dan dengan cara-cara yang
tidak elegan. PI harus bersumber dan dilakukan dari dalam suatu komunitas yang
percaya dan mengalami PI dan menerima orang lain dalam terang PI itu sendiri, dan
PI itu adalah pekerjaan Allah sendiri.
Persoalan-peroalan yang ditemui dalam relasi Injil dan Kebudayaan adalah, ketajaman
Injil dalam menerobos pembedaan-pembedaan atau sekat-sekat yang dibuat oleh
budaya. Salah satunya yang diangkat ke permukaan adalah teologi Paulus tentang
persekutuan orang percaya yang diselamatkan. Jika Injil telah mempersatukan maka
tidak ada lagi orang Yahudi, orang Yunani, semua layak duduk semeja dengan Kristus
di dalam anugerahNya. Hal lain yang dapat menjadi penghalang relasi timbal balik
Injil dan kebudayaan adalah sifat etnosentrisme dan romantisisme, yaitu sikap
arogansi dan cinta kebudayaan yang berlebihan.
Kebudayaan harusnya menjadi bentuk dari Injil dan isi dari setiap kebudayaan
harusnya adalah bersifat Injili. Dengan demikian setiap relasi keduanya melahirkan
model kehidupan yang harmonis. Hal itu memang terkait dengan pertanyaan-
pertanyaan, apakah Injil sama saja dalam setiap kebudyaan, bagaimana bahasa Injil
harus diterjemahkan, bagaimana membedakan mana unsur yang benar dan palsu
dalam kebudayaan, kapan kebudayaan sejalan dengan Injil dan kapan mengalami
pertentangan?
Semua hal itu dapat dipahami melalui berbagai upaya gereja dalam melihat budaya
sebagai lokus Injil. Pada prinsipnya kebudayaan terdiri dari unsur-unsur yaitu,
keperyaan, nilai dan bentuk yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainya.
7
Kepercayaan terkait dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang hidup yang
mengarahkan manusia untuk hidup dengan standar nilai dan melalui bentuk-bentuk
dalam kabudayan itu sendiri. Sebab itu usaha untuk mengakomodir itu adalah
menemukan dan mempertemukannya dalam relasi di antara kedauanya yaitu Injil dan
Kebudayaa. Gereja melakukan upaya-upaya akomodasi, pempribumian, inkulturasi
dan kontekstualisasi. Kendatipun istilah-istilah tersebut punya penekannya dan
persoalannya sendiri-sendiri dalam upaya menemukan relasi yang hidup antara Injil
dan Kebuadayaan, tetapi pada prinsipnya pendekatan-pendekatan tersebut adalah
bagaimana Injil hadir dalam tiap budaya dan bagaimana budaya merespons dan
memberi bentuk pada Injil.
89+ Akomodasi adalah suatu upaya bagaimana mengakomodasi, mengangkat, mewadahi
bentuk-bentuk, lambang, penggunaan bahasa, dan lain sebagainya. Pempribumian
adalah upaya menjadikan gereja setempat yang tidak lagi bergantung kepada
pemeliharaan dan bantuan orang atau lembaga, khusunya luar negeri, seperti yang
dialami oleh gereja-gereja hasil misi dan PI Eropa dan Amerika. Gereja diajak untuk
memenuhi kebutuhan sendiri termasuk teologi dari bumi dan konteks sendiri.
Inkulturasi merupakan suatu usaha untuk mentransformasi Injil ke dalam kebudayaa
dan bagaimana Injil diungkapkan dan disampaikan melalui bentuk-bentuk di dalam
budaya. Kontekstualisasi adalah suatu upaya gereja dalam pengaruh timbal balik
antara teks dan konteks. Bagaimana teks berbicara dalam konteks yang lebih luas
dalam budaya, sosial dan ekonomi.
93 Terhadap tema ini Kirk mengajukan dua kesimpulan penting. Pertama, konteks misi
adalah dunia dengan segala keberadaannya. Ini mempengaruhi cara, strategi,
penekanan dan pemikiran mengenai misi. Kedua, semakin kontemporer suatu situasi
semakin dibutuhkan kehati-hatian dalam menerjemahkan hubungan keduanya apalagi
meresponsnya. Kirk mengangkat kembali tipologi Richard Niebhur dalam melihat
sikap mana yang dibutuhkan ketika menghadapai realitas-realitas tersebut.
Menariknya ialah, Kirk mengatakan bahwa tidak ada di antara lima tipe itu yang
berlaku secara konstan dan baku. Semuanya tergantung dari situasi dan tempatnya.
Contoh yang diangkat Kirk misalnya, “ketika gereja berada di bawah tekanan untuk
berkompromi dengan rezim politik yang tidak benar, maka posisi yang harus diambil
adalah posisi melawan kebudayaan. Tetapi ketika gereja berada pada posisi minoritas
yang dianiaya, maka posisi yang tepat adalah posisi di atas kebudayaan.
8
96 - Keadilan untuk Kaum Miskin dan Peran Gereja
117 Kirk dalam bagian ini memperlihatkan bahwa hal penting terkait dengan misi di
zaman ini adalah soal keadilan bagi kaum miskin. Kirk berusaha menjelaskan makna
apa itu keadilan, apa itu miskin. apa standarnya untuk dapat dikategorikan adil dan
miskin. Pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang menyebabkan terjadinya kemiskinan
dan apa jawaban iman Kristen terhadap semua itu, akan dikemukakan Kirk.
Definisi miskin menurut J. Remenyi sebagaimana yang diangkat Kirk dalam bukunya
adalah, yang total pemasukan tunai tahunan kurang dari setengah upah rata-rata
nasional. Kalau defenisi ini yang dipakai menurut Kirk maka, 60 % seluruh rumah
tangga di seluruh dunia atau 75 % dari semua manusia adalah miskin. Definisi miskin
lainnya adalah miskin ultra (rentan) yaitu mereka yang tidak dapat bekerja karena
usia lanjut, cacat, mereka yang kesehatannya terganggu, anak-anak, serta yang
pekerjaannya tergantung musim. Kategori miskin yang lainnya adalah mereka yang
tidak memiliki sumber yang produktif seperti tanah, keterampilan, keahlian dan alat-
alat yang terkait dengan peningkatan produksi.
Kategori miskin yang diuraikan Kirk di atas adalah miskin secara materi. Kategori
yang lain yaitu miskin secara emosional dan spiritual. Kategori miskin seperti ini
dapat dialami oleh semua orang tanpa kecuali. Orang kaya, sedang, dan miskin. Orang
terhormat, berpendidikan dan tak dipedulikan dapat mengalami depresi dalam
kehidupannya. Bisa disebabkan karena tidak mampu membangun hubungan yang
positif dengan orang lain, apakah itu relasi persahabatan, pernikahan dan relasi sosial
kemasyarakatan. Hal ini melahirkan kekecewaan, luka dan keputusasaan serta
kekosongan batin. Disebutkan sebab-sebab kemiskinan adalah pertama, sistem dan
struktur. Artinya, struktur-struktur tersebut misalnya sistem perekonomian pasar
bebas yang memperparah terjadinya kemiskinan. Kedua, hutang internasional,
akibatnya rakyat jadi miskin karena menanggung beban pajak. Ketiga, sisitem
perdagangan dunia yang mengatur bahwa negara yang kekurangan modal dapat
mengekspor barang mentah, yang lain adalah faktor-faktor budaya. Contohnya adalah
anggapan bahwa perempuan tabu bekerja di luar rumah. Akibatnya perempuan
kedudukannya dikategorikan juga sebagai orang miskin. Jadi kemiskinan
sesungguhnya adalah bentukan sosial, struktur dan budaya.
9
Terhadap semua itu, Kirk memberikan solusi terhadap kemiskinan. Ia mengatakan,
penyebab utama kemiskinan sesungguhnya adalah ketidakadilan. Oleh sebab itu
pendekatannya adalah keadilan. Keadilan bisa tercipta dengan membatasi pemusatan
ekonomi dan politik serta kekuasaan di tangan segelintir orang atau kelompok.
Manusia diciptakan Allah sehakekat, yaitu memiliki citra dan gambar Allah. Tidak
ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Tidak boleh ada yang memanfaatkan
sesamanya demi kepentingan, kekayaan dan kebahagiaan diri sendiri. Kirk
mengemukakan bahwa sumber keadilan adalah sifat Allah sendiri. Keadilan Allah
dapat dilihat melalui tindakan-tindakan penyelamatan Allah, hukum-hukum-
hukumNya dan hubungan antara manusia. Kirk mengatakan salah satu ayat penting
dalam Perjanjian Baru dapat disebut sebagai kaidah emas dalam melakukangan satu
kontrak sosial untuk menemukan keaadilan Allah yaitu, “Segala sesuatu yang kamu
kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada
mereka” (Mat. 7:12).
Kirk juga mengangkat beberapa ayat Alkitab dari Perjanjian Lama diantaranya:
“hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang
dituntut Tuhan daripadamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup
dengan rendah hati di hadapan Allahmu?”
Ayat-ayat lain yang sejajar dengan itu: Yesaya 58:6, Mazmur 72:1-4. Pandangan
Alkitabiah tentang keadilan ini dasarnya ada dalam kehidupan umat Tuhan yang
diringkaskan dalam hukum tentang tahun Yobel, (Im. 25:8 dst). Yobel atau Yubelium
berarti pembebasan. Ada masa dalam kehidupan umat Israel yaitu tahun ke limapuluh,
umat yang miskin, yang berhutang dan tergantung kepada orang-orang kaya, bahkan
budak dibebaskan, (Im. 25:13, 23, 25, 39-41, bnd juga Kel 21:2-6; 23:10-11; Ul. 15:1-
18;Yer. 38:8-22; Neh. 5:1-13.
Hal terkait di atas dikumandangkan lagi di zaman PB oleh Yesus. Roh Tuhan ada
pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik
kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memebritahukan tahun
rahmat Tuhan telah dating.” (Luk. 4:16-19). Ayat ini diangkat Tuhan Yesus kembali
dalam zaman PB sebagai landasan tujuan misi-Nya sendiri. Selain itu tahun Yobel
10
yang dirujuk Tuhan Yesus ini menunjuk pada masyarakat nyata di mana Allah
memerintah sepenuhnya. Dimensi injili dari keadilan menurut Kirk justru terdapat di
sana. Keadilan buka memberikan kepada setiap orang apa yang ia pantas terima,
tetapi keadilan sebagaimana yang dikemukakan Kirk adalah suatu kondisi atau
perlakuan di mana setiap orang diperlakukan atau mendapatkan segala sesuatu yang
pantas ia terima menurut keadaan di mana ia ditempatkan. Jadi bukan sama rata, sama
rasa sebagaimana pandangan Karl Max, tokoh komunis itu.
11
Mengatasi materialisme merupakan bagian penting juga dari tugas dan
tanggungjawab orang Kristen. Tatanan perekonomian yang harus diberantas adalah
kapitalisme dan konsumerisme. Kedua hal inilah yang mengakibatkan orang untuk
terus mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan untuk tidak
mengatakan mengorbankan orang lain.
Menurut penulis penekanan-penekanan seperti inilah yang seharusnya menjadi
penekanan misi Kristn.
12
121 Dalam mencoba menggambarkan posisi misi Kristen di tengah agama-agama lain,
Kirk mengangkat pendapat Paul Markinson bahwa tantangan besar bagi orang Kristen
bukan pertama-tama pluralism di luar agama Kristen tetapi pluralism di dalam dan di
antara orang Kristen sendiri. Tetapi apapun itu, realitas agama-agama lain menjadi
realitas kekristenan. Terhadap realitas itu Kirk mengemukakan titik tolak agama
Kristen adalah pengalaman atau visi dan misi agama-agama lain apakah sejalan. Titik
tolak lain adalah pluralitas agama menunjukkan bahwa Allah juga hadir dalam agama-
agama lain serta kesadaran bahwa ada tantangan bersama yang harus dihadapi yaitu
sekularisme serta persoalan keadilan dan pembebasan. Pada landasan inilah agama-
agama bertemu, seperti yang dikemukakan Hans Kun dalam bukunya yang terkenal
Etika Global.1
Dalam uraian-uraian selanjutnya Kirk mengemukakan soal arti agama secara sosial dan
secara biblis. Agama dari kata latin berarti mengikat, terikat kepada kekuatan dewa-
dewa atau kekuatan-kekuatan tertentu. Agama juga berasal dari kata Yunani a dan
gamma ya artinya tidak kacau. Jadi agama menjadi pengikat pemeluknya untuk
melakukan hal-hal yang menjadi dimensi agama tersebut yaitu: doktrin, mitos, etika,
ritus dan pengalaman mistik dan sosial.
Alkitab tidak banyak berbicara soal agama. Perjanjian Baru sendiri hanya menunjkkan
enam ayat yang menyebutkan agama. Kisah Para Rasul 17:22 yaitu beribadah,Kisah
Para Rasul 24:19, dipakai kata agama; 1 Tim 5:4 berbakti; Yakobus 1:26 , 27 dipakai
kata ibadah.
Setiap agama berbicara soal keselamatan. Dalam kaitannya dengan agama-agama lain
ada tiga sikap yang berkembang yaitu, eklsusivisme, inklusivisme dan pluralism.
Eklusivisme adalah pandangan yang mengatakan keselamatan hanya ada di dalam
agama mereka sendiri. Inklusivisme adalah pandangan yang lebih terbuka bahwa
agama lainpun menjadi alat di tangan Tuhan dan Pluralisme lebih kepada pemahaman
yang bersifat relative terhadap semua agama.
Ada pandangan yang lain yang diangkat Kirk yaitu partikularis,generalitas, dan
universalitas. Partikularitas adalah kepercayaan bahwa keselamatan yang dari Allah
hanya tersedia melalui kematian demi pendamaian oleh oknum historis, itulah Yesus.
1
Huns Kung, Global Responsibility –In Search of The a New World Ethich (New York: The Continum Publishing
Companny, 1993), XV
13
Sahnya keselamatan itu diperoleh disahkan melalui baptisan dan keanggotaan
komunitas Kristen. Generalitas juga memandang bahwa keselamatan tersedia hanya
melalui Yesus Kristus. Hanya saja orang dapat menerimanya tidak mutlak melalui
baptisan tetapi melalui mendengar berita Injil dan pertobatan. Universalitas
menekankan bahwa hanya Yesus satu-satunya jalan keselamatan dan ada berbagai
jalan untuk dating kepada-Nya. Di sini terjadi pergeseran pandangan dari Kristosentris
kepada Teosentris.
131+ Ketiga pandangan terakhir di atas saling berhadapan satu dengan yang lain berdasarkan
tafsiran dan pemahamannya masing-masing. Tapi satu hal menarik dikemukakan Kirk
adalah mengangkat beberapa bagian Alkitab yang mendukung pandangan yang lebih
demokrat dalam melihat keberadaan agama-agama lain. 1 Timotius 2:4 misalnya
mengatakan bahwa Allah menghendaki keselamatan bagi semua orang. Allah
menciptakan sebanyak mungkin jalan untuk membawa mereka kepada anugerah kasih
Allah, 1 Tim 2:4. Dalam pandangan universalis misalnya Kirk mengangkat pandangan
John Hick, seorang tokoh agama-agama mengatakan bahwa tidak ada jaminan bahwa
agama Kristen akan menghasilkan manusia yang lebih adil, lebih toleran, lebih
mengasihi dan agama lain juga demikian. Jadi agama adalah cara tetapi keyakinan apa
yang melandasi cara itu. Tidak ada yang dapat mengklaim suatu pemahaman lebih
unggul dari yang lainnya. Memang dogma yang paling menjadi perselisihan agama-
agama khususnya Islam dan Yudaisme ialah keunikan dan universalitas Yesus. Kirk
juga mengangkat pandangan Paul Knitter yang dikenal sebagai seorang universalis. Ia
mengatakan bahwa Kristus adalah suatu penyataan Allah yang benar dan menentukan
tetapi bukan suatu penyataan yang lengkap. Terdapat penyataan-penyataan lain yang
menunjuk pada Yesus. Pendangan ini tidak meniadakan kebenaran-kebenaran
pelengkap yang ditemukan dalam agama dan tradisi lain.
14
jikalau ada keadilan. Kekerasan di tengah masyarakat hanya bisa diakhiri jika
teriakan-teriakan ketidakadilan, diskriminasi dan pembatasan aspirasi rakyat dapat
diselesaikan. Bukankah dengan demikian persoalan mengatasi kekerasan dan
membangun perdamaian adalah persoalan misiologis yang sangat mendesak saat ini.
Kirk dalam buku ini hampir semua membicarakan persoalan ini. Bab 3 Kirk
mengenukakan implikasi langsung penolakan Yesus terhada penggunaan kekerasan
sebagai strategi misi. Di Bab 4 menekankan perdamaian melalui rekonsiliasi sebagai
hal mendasar dari kabar baik tentang Yesus dan Kerajaan Allah. Di Bab 6 Kirk
mengemukakan tentang kamuflase-kamuflase perdamaian terkait dengan upaya
menghadirkan keadilan bagi kaum miskin. Sedangkan di Bab 5 dan 7 Kirk telah
menyampaikan bahwa penyebab kekerasan dan kemiskinan adalah faktor budaya dan
agama. Dan akhirnya di Bab nanti 9 Kirk akan mengangkat soal perdamaian terkait
dengan manusia dan lingkungan alam. Ini menjadi jelas bahwa mengatasi kekerasan
dan membangun perdamaian adalah persoalan misiologis yang sangat mendesak.
145 - Alkitab mengatakan “berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka
146 akan disebut anak-anak Allah” (Mat. 5:9). Ini satu tuntutan yang melebihi standar
konvensional sebagaimana yang dilakukan oleh orang Farisi dan ahli Taurat.
Membawa damai di sini dikaitkan dengan tidak membalas dendam, mengasihi musuh
dan orang yang melakukan itu dijanjikan akan disebut anak-anak Allah yang sejati.
Perdamaian diyakini sebagai hasil dari mematahkan spiral pembalasan dendam-“mata
ganti mata dan gigi ganti gigi”-. Dalam Roma 12:17-21 disebutkan etika penyangkalan
yang menjadi praktik standar bagi orang-orang Kristen Purba, “Janganlah membalas
kejahatan dengan kejahatan…sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung kepadamu,
hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!...jangan kamu sendiri menuntut
pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah … Tetapi jika seterumu lapar
berilah ia makan; jika ia haus, berilah ia minum! …Janganlah kamu kalah terhadap
kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan.
Terhadap ayat ini Kirk mengatakan bahwa mungkin ini lebih baik dijadikan sebagai
tataran ideal perdamaian, sebab ada kondisi-kondisi tertentu di mana hal itu tidak dapat
dilaksanakan secara konsisten. Misalnya ketika terjadi ketidakadilan dan kekerasan
terhadap kelompok atau golongan tertentu, tentu kita tidak bisa tinggal diam. Dalam
15
istilahnya, “tidak mungkin memberikan ‘pipi kiri’ kita terhadap persoalan orang lain
yang sesungguhnya mendesak untuk diselesaikan, kendatipun dengan jalan kekerasan.
Untuk itu ada beberapa pendekatan yang coba Kirk kemukakan dalam bagian ini.
Dalam sejarah gereja terdapat dua kondisi, tidak ikut dalam operasi militer atau
kekerasan jenis apapun dan yang lain, yang disahkan oleh kaisar Konstantinus bahwa
orang Kristen dapat mengikuti peperangan yang bersifat teologis yang disebut “perang
yang adil".
Perang yang adil maksudnya bukan menghalalkan penggunaan kekerasan, tetapi untuk
memperlihatkan bahwa kekerasan juga dibutuhkan dalam kondisi tertentu. Perang
harus menjadi jalan terakhir dengan criteria, maksud perang itu harus benar, harus
dapat kendalikan, dan hasilnya harus dapat diramalkan dampaknya lebih baik. Kalau
tidak memenuhi kriteria tersebut, perang tidak boleh dilakukan. Perang dapat
dilakukan dalam rangka pembelaan diri terhadap suatu serangan, tetapi harus dapat
dipastikan bahwa perang itu akan memberbaiki situasi tidak adil pada pihak yang
diserang. Bagaimana perang itu dilakukan juga harus jelas supaya tidak melahirkan
korban-korban baru misalnya, dengan menggunakan kekuatan yang minimal yang
tidak melampaui apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan peperangan yang
dimaksud. Harus dilakukan dalam keseimbangan dalam menggunakan kekerasan dan
kekuatan, harus betul-betuk diarahkan pada sasaran yang sah, tidak menyerang sipil
dan bangunan-bangunan bersifat umum. Hal ini disebut ju ad bellum dan jus in belo.
150 - Perspektif kristiani memang jelas bahwa Allah sangat menghendaki keadilan dalam
151 masyarkat (Ul 1:15 – 17), yaitu usaha mengadili dan menghukum pihak yang
bersalah, (Ul. 16:18-20) dan membela orang miskin dan yang tertindas (Ams.31:8-9),
bahkan dalam kondisi tertentu keadilan dapat mengharuskan hukuman mati
(Ul.19:11-13). Proses melakukan dan mencari keadilan tidak dapat dilakukan sendiri
atau pihak dan golongan tertentu tetapi melalui pemerintah (Roma 12 dan 13:4):
“Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang
berbuat jahat”. Warga harus memahami dan juga bertindak adil, “berikanlah kepada
kaisar apa yang patut diberikan kepada kaisar”.
Tetapi sebagai masyarakat, mereka juga harus melakukan kritik membangun sebagai
wujud tanggungjawab. Takluk seperti disebutkan dalam Roma 13 bukan membuat
pemerintah melakukan tirani tetapi juga bukan berarti rakyat takluk secara buta.
16
Argumentasi Paulus dalam Roma 13 itu harus menjadi standar bahwa orang Kristen
harus bisa memelihara ketegangan antara dua kewarganegaraan: Kerajan Allah dan
pemerintah di dalam dunia. Dan itu diwujudkan dalam demokrasi, meningkatkan
perdamaian dengan jalan menjadi duta-duta perdamaian. Gereja harus menjadi contoh
dalam menyelesaiakan konflik dan mengusahakan perdamaian. Itu dimulai dari rumah
tangga sendiri. Gereja harus memastikan apakah unsur-unsur demokrsi telah
diberlakukan yang memungkinkan terjadinya keadilan. Selain itu gereja juga harus
mampu memberikan dasar atau landasan teologis dari setiap tindakan untuk
mengushakan keadilan dan membangun perdamaian sehingga itu menjadi tindakan
yang mendasar. Dalam uraian akhirnya di bab ini, Kirk mengajukan beberapa
langkah-langkah dan prinsip-prinsip transformasi konflik yaitu sebisanya mencegah
konflik baik secara struktural maupun langsung. Selalu mengusahakan budaya nir-
kekerasan dan ada intervensi langsung dari pihak-pihak tertentu. Kendatipun terpaksa
melalui jalan kekerasan, hal itu menjadi jalan terakhir dan bertujuan semata-mata
dalam mencapai perdamaian.
Lingkunagn Hidup
Tiga bidang utama perusakan lingkungan hidup adalah polusi, kelabilan lingkungan
hidup, dan pengurasan sumber-sumber daya alam – telah menyebabkan kegelisahan
dunia selama tiga puluh tahun selama ini.
Polusi menyangkut tingginya tingkat pencemaran udara, hujan asam akibat dioksida
belerang mengakibatkan sakit saluran pernafasan, berbagai alergi, pencemaran air
tawar dan air laut melalui pembuangan limbah, kebocoran dari pabrik nuklir dan
sumur-sumur minyak, perembesan pupuk dan pestisida dan pecahnya lapisan ozon
atmosfir karena meningkatnya emisi freon dari kulkas, AC, propelan aerosol, dan
lain-lain. Kelabilan lingkungan hidup terjadi karena keseimbangan sistem biologis
terganggu melalui penggunaan pupuk dan insektisida dalam sistem pertanian
mengakibatkan kerusakan habitat alam dan hewan. Hal lain adalah perluasan gurun-
gurun dan penggundulan hutan yang sangat berpengaruh pada perubahan iklim, erosi
yang luas, rusaknya tumbuh-tumbuhan. Pengrusakan sumber-sumber alam juga yang
sangat berdampak pada ancaman punahnya berbagai spesies sepertia mamalia dan
spesies-spesies tertentu seperti ikan paus dan harimau. Peralihan lahan pertanian
menjadi pabrik dan industri serta jalan raya atau real estate, tempat wisata, dan lain
sebagainya juga punya menjadi sumber pengrusakan sember-sumber daya alam.
17
Terhadap semua hal di atas maka Kirk mengangkat beberapa isu-isu lingkungan yang
perlu ditengani secara serius. Isu-isu penting itu ialah, perlunya pemeliharan
ekosistem-ekosistem secara serius berkelanjutan, perlunya pengurangan jumlah energi
yang digunakan dari sumber-sumber daya yang tidak dapat dibarui, dan perlunya
kelanggengan sumber-sumber lain seperti udara, air, tanah dan wilayah hutan
belantara.
Oleh sebab itu gerakan lingkungan hidup dan lembaga-lembaga terkait di berbagai
belahan bumi sepakat mengusahakan kembalinya keserasian lingkungan hidup. Tiga
isu penting dalam rangka membatasi ekploitasi itu tengah diusung ke permukaan
yaitu, manusia dan dunia non-manusia, hak-hak hewan dan landasan moral. Manusia
menjadi faktor penentu keserasian alam dan lingkungan, dalam hal ini dibutuhkan
integrits teologis dan humanis. Hewan perlu di atur hak-hak hidupnya, seperti kata
Moltman:”seekor binatang bukanlah suatu benda dan bukan suatu produk. Ia
merupakan makhluk hidup dengan hak-haknya sendiri.” Meskipun masih dalam
perdebatan soal apa, kapan dan di mana hewan mendapat hak-haknya, namun yang
jelas hewan jangan menjadi alat
172+ untuk mencapai tujuan manusia pada dirinya sendiri saja. Ada empat alasan yang
menjadi pertimbangan moral yaitu, holisme ekologis, sikap hormat bagi kehidupan,
18
kebaikan yang berpusat pada manusia, dan tanggungjawab terhadap generasi yang
akan datang. Semua ini penting untuk mencapai keseimbangan agar lingkungan
terjaga keserasiannya dan hormoninya.
175 Pandangan Kristen sendiri dalam upaya memelihara keutuhan ciptaan khususnya
kelestarian lingkungan ini mengalami berbagai tantangan dari dalam dan dari luar.
Misalnya, upaya ekploitasi terhadap alam mendapt legitimasi secara keliru dari
pemahaman Alkitab dalam kitab Kejadian 1:28,”penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,
berkuasalah atas…segala binatang yang merayap di bumi”. Padahal ayat tersebut
merujuk pada perintah untuk mengasihi dan bertanggungjawab terhadap keberadaan
177 alam semesta dan segala makhluk di dalamnya. “Taklukkanlah dan berkuasalah”
sebenarnya menunjuk pada akar kata “mengusahakan” (abad) dan “memelihara”,
(shamar) yang berarti melayani dan merawat. Dan ternyata ide-ide itu jauh dari
tindakan eksploitasi yang dimaksud di atas. Tetapi ide-ide kepedulian terhadap alam
ini tidak mengantar kita pada pemahaman pantheistik bahwa kita dan alam ini
merupakan bagian dari satu arus kehidupan yang sama dan di situlah Allah hadir. Juga
tidak pada satu pemahaman pragmatis bahwa nilai utama adalah bagaimana bertahan
hidup.
Dari uraian-uraian tersebut menjadi jelas bahwa iman Kristen jika dipahami secara
benar tidak mendukung upaya-upaya baik aksi maupun legitimasi biblis yang keliru
untuk mendekati alam semesta ini. Sebaliknya malahan mendukung semua upaya
pelestarian lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan. Upaya Kristen harusnya bergerak
dalam semua lini kehidupan dalam mendukung upaya pelestarian lingkungn hidup.
Misalnya melalui pemahaman alkitab yang benar dan menemukan lebih banyak
bagian-bagian Alkitab yang mendukung harmoni kehidupan misalnya melalui
pemahaman Sabath dan Tahun Yobel. Penekanan terakh mendukung pembuatan r ini
menurut saya (pelapor) harus menjadi dasar dalam pembuatan undang-undang yang
memperjuangkan kelestaria lingkungan hidup.
19
mengakui antara satu gereja dengan gereja lainnya melalui penghayatan akan
kehidupan bersama. Kemitraan menyingkirka dualisme “senior” dan “junior”, “orang
tua” dan “anak” dalam rangka membangun kehidupan dan tujuan bersama.
Dalam urainnya Kirk mengemukakan lebih dahulu sejarah singkat lahirnya istilah
kemitraan dalam gereja dunia, kemudian menguraikan hakekat dan landasan serta
analisa secara alkitabiah . Kirk juga mengangkat apa saja yang menjadi halangan-
halangan dalam kemitraan dan pada akhirnya menjadikannya sebagai bagian integral
dari misi Kristen dalam praktek.
Kemitraan mulai dikenal sejak John Mott menyerukan agar mengakhiri ide tentang
gereja-gereja yang “mengutus” dan “menerima” pada konferensi IMC (1928) di
Yerusalem. Hal ini ditegaskan kembali ketika Dewan Gereja-Gereja Dunia (DGD)
resmi berdiri pada tahun 1948, mendorong agar semua gereja terlibat dalam kesaksian
bersama agar gereja-gereja melakukan usaha sendiri (swadaya), mandiri dalam misi
dan pemberitaan Injil. Dalam hal inilah kemitraan itu berfungsi yaitu ketika gereja-
gereja saling membantu agar gereja-gereja yang lain dapat mandiri.
257 Berbagai usaha ke arah kemitraan dilakukan, diantaranya moratorium Ivan Illich yang
mengatakan bahwa arus besar misionaris Katolik dari Amerika Serikat menghambat
gereja di Selatan untuk terlibat secara penuh dalam pergolakan sosial dan politik di
benua itu. Nacpil, dari Fhilipina menulis sebuah artikel dalam International Review of
Mission”dengan judul Mission but not Missionaries” menyampaikan bahwa
misionaris dari Barat telah menghambat dan melumpuhkan pertumbuhan iman kaum
pribumi.
Mengapa usaha-usaha mendukung kemitraan begitu gencar terjadi?, Jawabnya adalah
karena orang semakin sadar bahwa kemitraan dan misi adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Kemitraan bukan pertama-tama soal apa yang akan dilakukan tetapi apa
yang menjadi hakekat, baik misi maupun kemitraan itu sendiri. Gereja-gereja
kendatipun berbeda dalam metode dan pola ibadah, gaya kepemimpinan serta cara
menyatakan iman, tetapi secara teologis adalah satu persekutuan yang telah terikat
dalam satu tubuh, satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, dibaptis dalam
satu baptisan, (1Kor. 1:9; Ef.4:4-5; 1 Kor. 12:13).
20
Dalam Perjanjian Baru ada empat aspek dari kemitraan yaitu pertama, berbagi di
dalam proyek bersama, ketika Paulus merasakan kehadiran gereja-geraja atau orang-
orang tertentu dalam penginjilan. Paulus memahami kemitraan dari segi memberi
dan menerima. Paulus banyak menerima bantuan dalam pelayanannya, (Fil.4:2,3, 15,
Rom. 16:3,9, Kol. 4:11, dst). Kedua, berbagi dalam karunia-karunia yang ada dalam
setiap orang. Bahwa setiap orang mempunyai kontribusi untuk membangun kemitraan
melalui karunia, kelebihan, bakat dan potensi yang dimiliki. Ketiga, berbagi dalam
sumber-sumber material. Artinya, ketika orang mau memberi maka mereka sadar
bahwa mereka sumber materi itu satu dan pemberian itu tidak saja supaya yang lain
mendapat keringanan tetapi supaya terjadi keseimbangan, dan keempat, berbagi
dalam penderitaan artinya keterlibatan jemaat lain membantu tidak saja soal materi
tetapi soal bagaimana hadir dalam penderitaan orang atau jemaat.
Tentu saja tidak mudah mewujudkan kemitraan seperti itu, ada banyak tantangan,
misalnya saja permintaan melebihi persediaan, lahirnya rasa bersalah atas masa
lampau, juga persepsi yang berbeda-beda tentang misi, dan lain-lain.
Terhadap semua itu, Kirk mengajukan beberapa tawaran solusi bahwa masalah
kemitraan adalah masalah tanggungjawab bersama.Masalah kemitraan juga terkait
dengan kekuasaan, oleh sebab itu upaya menyeimbangkan kekuasaan adalah salah
satu solusi juga. Kekuasaan pertama-tama adalah soal kebebasan dan kemampuan
untuk melakukan pilihan untuk bertindak. Kekuasaan bisa terdapat dalam harta, status
sosial, pendidikan, karunia kepeimpinan, dan lain-lain.
Untuk memahami secara benar dan kopmprehensif tentang kekuasaan, maka tepatlah
Kirk mengemukakan beberapa perspektif dari Alkitab. Alkitab mencatat bahwa
kekuasaan ada di tangan penguasa (Pkh. 8:4, Dan.8:24, Mark. 10:24), kekuasaan juga
ada di tangan sekelompok orang (Yos. 17:17), atau di tangan penasihat (Ams.24:5).
Kekuasaan bukan hal yang menakutkan. Alkitab menegaskan bahwa kekuasaan itu
berasal dari Allah yang didelegasikan kepada manusia (Yoh, 19:11, Pkh. 5:19; 2
Taw.1:12). Alkitab juga menyaksikan bahwa kekuasaan juga dipakai untuk merusak
dan menindas (Pkh. 4:1), namun kekuasaan yang benar adalah kekuasaan yang
diberkati adalam rangka keteraturan. Perjanjian Baru sendiri berbicara soal
kekuasaan dan otoritas, yaitu otoritas dan kuasa Yesus atas pemerintahan-Nya.
Kekuasaan yang benar adalah kekuasaan yang ditransformasi oleh Kristus. Kekuasaan
di dalam Kristus adalah kemampuan yang bebas untuk melepaskan semua yang
21
menghalangi kehidupan berdeasarkan kasih yang berkorban (Mark. 10:42-45; Yoh.
10:17-18; 3:1;Fil.2:5).
Hakekat kekuasaan adalah kekuatan, kemampuan yang dipakai untuk melindungi
orang dari kekuasaan yang sewenang-wenang yang didalamnya ditekankan unsur
keadilan. Misi menurut Kristus dalam konteks kekuasaan adalah yang terdapat dalam
Filipi 2:6-7, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan
Allah itu menjadi milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan
diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba”. Kekuasaan adalah melepaskan
diri dan orang lain dari belenggu-belenggu.
22
gereja perlahan menjadi arogan. Yang lain misalnya soal imej yang tidak boleh jelek,
oleh sebab itu gereja sering tidak mau terlibat secara bebas dan serampangan dalam
melakukan misi khususnya dalam kerjasama dengan lembaga-lembaga sosial
masyarakat, khususnya yang belum punya nama. Padahal biasanya pelayanan yang
seperti itulah yang ril dan tidak protokoler. Hal ini mengakibatkan gereja selalu
terlambat mengakses persoalan-persoalan akar rumput, persoalan sosial dan juga
keterlambatan gereja menanggapi soal-soal gender, khususnya perempuan.
207+ Keselamatan bersifat universal oleh sebab itu misi gereja juga harus universal (1 Tim
2:3-4), baik pemahamannya, model dan metode serta penangannya. Yesus membuat
begitu banyak kiasan terkait dengan kelompok atau komunitas Israel, murid-murid,
atau umat Allah di dalam Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Baru Allah
menggunakan misalnya “Kawanan (dimba)” (Luk.12:32; Mrk.14:27), “Bangunan
Allah” (Mat. 5:14); “Keluarga” (Mrk. 10:29). Ini menunjukkan bahwa Yesus tidak
memfokuskan keselamatan itu kepada orang, atau kelompok tertentu, tetapi siapapun
yang ingin dan percaya. Pemanggilan kedua belas murid merupakan simbol dari suatu
perjanjian yang telah dibarui di dalam Kerajaan Allah. Tetapi Kerajaan Allah yang
dimaksud bukan soal geografis dan etnis melainkan justru sebuah komunitas semua
bahasa dan suku bangsa yang mau ikut nilai-nilai Kerajaan Allah yang
diproklamirkan Tuhan Yesus.
Komunitas murid inilah yang dipersiapkan untuk tugas misi Allah melalui Yesus
Kristus dengan cirri-ciri sebagai berikut: pertama, Kasih yang tidak membedakan.
Pendekatan ini berhadapan dengan syarat keanggotaan Yahudi yang sangat ketat dan
ekslusif. Yesus membuka kesempatan siapa saja, baik perempuan berzinah, pemungut
cukai, kalau ia mau bertobat dan percaya, mereka akan menjadi anggota komunitas
Kerajaan Allah. Oleh sebab itu orang yang merasa diterima juga akan merasa sangat
berarti dan menaruh harap dan percaya secara total kepada Allah. Dampak yang
diharapkan dari itu adalah komunitas baru itu akan menjalani hidup menurut perilaku
atau gaya hidup Kerajaan Allah. Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus salah satu
contohnya bagaimana komunitas baru itu diajak untuk hidup “menurut kehendak
Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang seusngguhnya” (Ef. 4:24),
sebab….”kamu telah menerima Kristus dan pengajaran-Nya” (Ef.4:20-21). Tiga
prinsip penting yang harus menjadi gaya hidup Kristen adalah, kejukuran yang mutlak
23
dalam kasih (Ef.4:15, 25,26), membagikan kepada orang yang berkekurangan (Ef.
4:28), dan pengampunan (Ef. 4:32; 5:2)
214 Diharapkan dengan gaya dan perilaku yang khas ini gereja atau orang-orang percaya
masuk ke dalam dunia tanpa terpengaruh soal yang kudus dan sekuler. Sebab hidup
beriman barulah teruji ketika berhadapan dengan kedua realitas pradoksal ini.
Landasan alkitabiah misalnya, Pertemuan dengan Allah dapat terjadi di mana saja
(Yoh. 4:21-24); semua makanan halal (Mrk. 7:19; Kis. 10:15), tidak mengenal hari
dan tempat-tempat suci (Gal. 4:8-11; Kol. 2:16-17, 20:20-23).
Dikotomi itu dipengaruhi oleh teologi Abad Pertengahan mengenai alam dan
anugerah. Alam merupakan medium untuk memahami Alah namun dibutuhkan
anugerah adikodrati. Keduanya lambat laun dipahami secara terpisah dan tersambung
hanya melalui hal-hal khusus (sakramen). Akhirnya atas pengaruh rasionalisme
menjadi sangat terpisah dan berbeda, yang alami tidak terkait langsung dan berbeda
sekali dengan yang supranatural. Pembedaan ini juga berakibat terhadap pandangan
misi. Dunia politik misalnya, begitu lama menjadi dunia asing bagi kekristenan,
padahal dunia politik juga adalah ladang misi terkait dengan tugas kenabian terkait
dengan persoalan sosial, tugas hamba yang terkait langsung dengan dan tugas
pekabaran Injil.
Uraian di atas adalah bagaimana misi Kristen di dalam dunia dan sekitar gereja
selanjutnya bagaimana gereja setempat melakukan misi? Gereja harus bisa mengatur
dirinya sedemikian rupa. Kirk mengusulkan agar gereja mengusahakan pertemuan
yang berkualitas dan efektif untuk memperlengkapi umat. Tujuannya adalah untuk
mendorong orang Kristen merespons Injil dan sekaligus pada saat yang sama
melibatkan diri dalam komunitas setempat. Hal ini dimaksudkan agar pertumbuhan
gereja atau pertambahan jumlah anggota tidak disepelekan terkait dengan tugas-tugas
sosial gereja di dunia yang lebih luas. Pendekatan seperti ini dibutuhkan agar gereja
tetap kuat dari dalam, khususnya dalam memahami hakekat dan tugasnya sebagai alat
misi Allah yang harus selalu dibarui.
Catatan terkhir dari Kirk adalah tentang bagaimana misi dikembangkan di masa yang
akan datang. Ia mencatat paling tidak dua hal, konteks ke mana gereja akan mengarah
yaitu milenium baru dan Umat Allah dalam perjalanan lintasan sejarah. Dalam upaya
24
menuju misi di milenium baru gereja memiliki prinsip-prinsip pemikiran dan teologi
misi sebagaimana yang dikemukakan oleh Jongeneel dan van Engelen: yaitu teologi
misio Dei, yang selalu melihat misi sebagai prakarsa Alalah, ada misi yang berpusat
pada peran dan kegiatan gereja dan ada misi yang menekankan sejarah keselamatan.
Ketiga pemikiran ini dapat menolong ketika gereja berhadapan dengan berbagai
metode dan pendekatan yang berbeda-beda.
Misi dalam perjalanannya melintasi sejarah mengatakan bahwa misi adalah sebuah
perjalanan yang tidak pernah berhenti. Kendatipun dalam kenyataannya terjadi
pergolakan karena konteks tertentu selalu membeikan respons yang berbeda. Untuk
itu dibutuhkan penafsiran missioner atau dalam istilah Kirk hermeneutika missioner
untuk mengarahkan pemikiran dan tindakan gereja yang lebih kontekstual.
Dengan demikian tesis awal buku ini menjadi jelas bahwa teologi dan misi tidak dapat
dipisahkan. Duanya berjalan beriringan melewati sejarah menuju ke masa depan
mewujudkan misi Allah melalui metode dan pendekatan yang telah diuji di sepanjang
sejarah dan masih akan terus teruji melalui perjalanan ke depan.
25