Pada 10 abad pertama terdapat himpunan undang-undang gerejawi, tak terhitung banyaknya. Sebagian besar dihimpun atas prakarsa pribadi, dan di dalamnya terdapat terutama norma-norma yang dikeluarkan oleh Konsili-konsili dan para Paus dan kutipan- kutipan lain yang diambil dari sumber-sumber yang kurang penting. Pada pertengahan abad XII kumpulan himpunan-himpunan dan norma-norma yang tak terbilang banyaknya itu, yang tak jarang saling bertentangan satu sama lain, disusun kembali oleh seorang rahib bernama Gratianus, sekali lagi atas prakarsa pribadi, menjadi sebuah kumpulan terpadu dari undang-undang dan himpunan-himpunan. Setelah pertengahan abad XII sampai sebelum Konsili Trente (1545-1563). Himpunan hukum yang tersusun selanjutnya disebut Corpus Iuris Canonici (Himpunan Hukum Kanonik). Dalam himpunan tersebut memuat Decretum Gratiani (Dekret Gratianus) dan aneka undang-undang oleh para paus setelah periode Gratianus, maupun keputusan para paus yang belum sempat dikumpulkan dalam satu himpunan. Himpunan hukum itu, selain memuat Decretum Gratiani yang berisikan norma-norma sebelumnya, memuat juga Liber Extra dari Gregorius IX, Liber Sextus dari Bonifasius VIII, Clementinae yaitu himpunan dari Paus Klemens V yang diundangkan oleh YohanesXXII, ditambah lagi dengan Extravagantes dari Paus ini juga serta Extravagantes Communes yaitu Decretales dari berbagai Paus yang belum pernah dikumpulkan dalam satu himpunan otentik. Hukum gerejawi yang termuat dalam himpunan ini merupakan hukum klasik Gereja Katolik dan biasanya juga disebut dengan nama itu. Setelah Konsili Trente pembaharuan dalam Gereja (reformasi katolik) menghasilkan aneka undang-undang yang diterbitkan oleh pelbagai Dikasteri Kuria Roma yang tak pernah dikumpulkan menjadi 1 himpunan. Itulah sebabnya maka perundang-undangan yang tersebar di luar Corpus Iuris Canonici lambat laun menjadi “tumpukan undang-undang yang luar biasa besarnya, yang bertumpang-tindih satu sama lainnya”. Di sana bukan hanya terjadi ketidak-teraturan, melainkan juga ketidak-pastian, ditambah lagi ketidak-gunaan dan kekosongan undang- undang, yang makin hari makin membawa disiplin Gereja ke dalam bahaya dan krisis yang besar. Akhirnya Paus Pius X, yang baru saja diangkat menjadi Paus, mengambil-alih urusan itu; karena beliau berminat mengumpulkan dan memperbarui semua hukum gerejawi, memerintahkan agar karya itu, di bawah pimpinan Kardinal Petrus Gasparri, akhirnya diselesaikan. Dalam karya yang begitu besar dan berat yang harus dilaksanakan itu, pertama-tama harus diselesaikan masalah bentuk intern dan bentuk ekstern dari himpunan yang baru itu. Dengan ditinggalkannya cara pengumpulan yang mengharuskan membawa kembali setiap undang-undang kepada teks aslinya yang panjang, dianggap baik memilih cara modern dalam kodifikasi, sehingga teks-teks yang berisikan dan menguraikan suatu perintah disusun kembali ke dalam bentuk yang baru dan lebih pendek; adapun seluruh materi disusun dalam lima buku, mengikuti sistem perundangan romawi, yaitu mengenai orang, barang dan perbuatan-perbuatan. Pekerjaan itu diselesaikan dalam dua belas tahun, dengan kerjasama dari para ahli, para konsultor dan para Uskup dari seluruh Gereja Sifat khas Kitab Hukum Baru ini secara jelas dinyatakan dalam pengantar kanon 6: “Kitab Hukum ini pada umumnya mempertahankan disiplin yang berlaku sampai sekarang, walaupun membawa serta perubahan-perubahan yang baik”. Jadi, tidak bermaksud membuat hukum baru, melainkan terutama mengatur hukum yang berlaku sampai waktu itu dengan metode baru
2. Tujuan Hukum Gereja
Peraturan-peraturan Gereja yang tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik lebih banyak berbicara dan berurusan dengan tata tertib dan disiplin dari pada doktrin dan norma. Sangat penting untuk diketahui bahwa Hukum Kanonik berisikan pedoman-pedoman untuk tingkah laku, bukannya berisikan ajaran-ajaran iman kepercayaan tiap-tiap anggota Gereja Katolik. Umat beriman perlu berkontak dengan Kitab Suci, seperti Konsili- konsili, Ensiklik-ensiklik, dan lain sebagainya untuk memahami ajaran resmi Gereja. Hukum Gereja ditetapkan untuk menjamin serta memelihara keutuhan ajaran-ajaran resmi Gereja itu secara baik dan benar. Dengan ditetapkannya Kitab Hukum Kanonik ini maka dapat membantu mengatur umat beriman untuk mengetahui dengan benar ajaran- ajaran dan aturan-aturan resmi Gereja agar umat beriman tidak bertindak atau berlaku bertentangan dengan kebenaran yang sesungguhnya. Akan tetapi, Kitab Hukum Kanonik bukan menjadi buku iman atau kepercayaan dari tiap-tiap anggota Gereja melainkan hanya untuk mengatur dan mengontrol dalam hal kedisiplinan serta tata tertib dari seluruh anggota umat beriman. Gereja adalah suatu komunitas yang sama sekali berbeda dengan negara atau komunitas masyarakat sekuler lainnya. Oleh karena itu, sistem dan peraturannya pun sama sekali berbeda. Negara tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan dari Gereja itu sendiri, sebab Gereja itu sendiri memiliki aturan serta tujuannya sendiri. Negara hanya berperan untuk menjaga dan menjamin kenyamanan serta kebebasan dari Gereja selama tidak mengganggu kestabilan dari negara. Kitab Hukum Kanonik ini bukan untuk mengganggu serta bukan untuk membatasi iman serta rahmat yang ada di dalam Gereja melainkan untuk menjaga agar iman dan rahmat itu tetap bertumbuh dengan tidak melanggar norma-norma atau aturan-aturan yang telah ditetapkan. Paus Yohanes Paulus II, ketika mempromulgasikan secara resmi Kitab Hukum Kanonik 1983, secara jelas mengatakan tujuan dari Kitab Hukum Kanonik, sebagai berikut: “Kitab Hukum sama sekali tidak bertujuan untuk menggantikan iman, rahmat, kharismakharisma dan terutama cinta kasih dalam kehidupan Gereja atau kaum beriman Kristiani. Sebaliknya Kitab Hukum bertujuan lebih untuk menumbuhkan keteraturan yang sedemikian sehingga dalam masyarakat gerejawi, memberikan tempat utama kepada cinta kasih, rahmat dan kharisma-kharisma, lebih memudahkan perkembangan yang teratur dari semuanya itu baik dalam kehidupan masyarakat gerejawi maupun dalam kehidupan tiap-tiap orang yang termasuk di dalamnya.