Anda di halaman 1dari 66

HUKUM

GEREJA

PDT. DR. KELOSO


HUKUM GEREJA
Nama Matakuliah : HUKUM GEREJA

Kode Matakuliah : 01.03.11.7.2012

Pengajar : Pdt. Dr. Keloso

Semester/SKS : VII / 2 SKS

Hari dan Jam : Rabu (07.45 – 09.15 / 11.45 –


Pertemuan 13.15)

Tempat Pertemuan : Ruang GALATIA/KORINTUS


HUKUM GEREJA
DESKRIPSI MATA KULIAH

Matakuliah Hukum Gereja ini akan mempelajari


pengertian dan dasar-dasar eklesiologis, sejarah
penyusunan, hakikat dan model-model hukum gereja
yang ada, dasar hukum Gereja dalam tradisi Gereja dan
tradisi budaya lokal, serta mempelajari Tata Gereja dan
Peraturan-peraturan GKE secara kritis untuk menjadi
pertimbangan bagi kemungkinan menyusun Tata
Gereja yang kontekstual di Indonesia (Kalimantan).
HUKUM GEREJA
TUJUAN INSTRUKSIONAL

Setelah selesai mengikuti perkuliahan Hukum Gereja


ini mahasiswa diharapkan mampu memahami dan
menjelaskan pengertian dan dasar-dasar eklesiologis,
sejarah penyusunan, hakikat dan model-model hukum
gereja yang ada, dasar hukum Gereja da-lam tradisi
Gereja dan tradisi budaya lokal, serta mampu
menganalisa dan mengkritisi Tata Gereja dan
Peraturan-peraturan GKE untuk menjadi pertimbangan
bagi kemungkinan menyusun Tata Gereja yang
kontekstual di Indonesia (Kalimantan).
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(1)
Pengantar dan Pengertian Hukum Gereja

(2)
Dasar Hukum Gereja dalam Alkitab (Eklesiologi)

(3)
Sejarah Hukum Gereja

(4)
Jabatan-jabatan di dalam Gereja
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(5)
Beberapa Model Hukum Gereja

(6)
Hukum Gereja menurut Tradisi Calvinis

(7)
Hubungan Gereja dengan Gereja-Gereja (Lembaga
Gerejawi) dan hubungan dengan Negara
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(8)
Hukum Gereja / Tata Gereja Gereja Kalimantan Evangelis
(GKE)

(9)
Hukum Gereja / Tata Gereja Gereja Kalimantan Evangelis
(GKE): Lanjutan

(10)
Beberapa “Peraturan Khusus” Gereja Kalimantan
Evangelis (GKE)
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(11)
Beberapa “Peraturan Khusus” Gereja
Kalimantan Evangelis (GKE): Lanjutan

(12)
Beberapa Model Hukum Gereja mengacu
Gereja-gereja yang ada di kota
Banjarmasin
HUKUM GEREJA
(6)
Hukum Gereja menurut Tradisi Calvinis
a.
Konteks Calvin dalam memahami Gereja dan Tata
Gereja
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum
Gereja
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
HUKUM GEREJA
PENGANTAR
Dasar eklesiologis untuk memahami Hukum Gereja
menurut Tradisi Calvinis, bisa dilihat dalam perkuliahan
Eklesiologi mengenai Gambaran Gereja menurut Tradisi
Gereja / Tradisi Reformasi.
Berikut diberi sejumlah penegasan kembali mengenai
gambaran tentang Gereja dalam materi kuliah
Eklesiologi, terutama yang memiliki kaitan dengan
Hukum Gereja, khususnya mengenai konteks dan
pemikiran John Calvin mengenai Gereja dan hal-hal
yang berkaitan dengan penataan Gereja.
HUKUM GEREJA
a.
Konteks Calvin dalam memahami Gereja dan Tata Gereja

Calvin (juga Luther) pada dasarnya tidak ingin men-


ciptakan Gereja baru yang terpisah dari Gereja Lama yang
ada kala itu.
Yang menjadi tujuan mereka (Luther & Calvin) tampak
dalam penegasan Cadier berikut: He wish to restore to the
church its apostolic character, to recover the ancient state
of which the Fathers speak. He wanted the reformation of
the church, her renewal and not a deep division. He
wanted a purified church not a new church (Cadier: 1966).
HUKUM GEREJA
a.
Konteks Calvin dalam memahami Gereja dan Tata Gereja

Eklesiologi Calvin lahir dalam konteks tertentu sekaligus


merupakan reaksi terhadap konteks tertentu pada
zamannya.
Dalam kaitan dengan Gereja Tradisional (RK) adalah adanya
supremasi Roma atas berbagai kelompok kegerejaan kala itu,
termasuk antara kelompok Gereja Timur dan Gereja Barat.
Pada saat yang sama, juga dikembangka ide Papalisme
dalam rangka penataan Gereja sedunia dengan berpusat di
Roma.
HUKUM GEREJA
a.
Konteks Calvin dalam memahami Gereja dan Tata Gereja

Salah satu doktrin Roma pada zaman Calvin adalah


gagasan tentang pengidentifikasian antara Gereja
dengan Kerajaan Allah di bumi.
Gereja dengan Paus sebagai pemimpin tertingginya dan
berpusat di Roma adalah wujud Kerajaan Allah di bumi.
Gagasan ini selanjutnya berbuahkan tuntutan supremasi
Gereja atas seluruh lapangan kehidupan sekuler,
termasuk atas dunia politik, dengan segala akibat yang
ditimbulkannya.
HUKUM GEREJA
a.
Konteks Calvin dalam memahami Gereja dan Tata Gereja

Pada sisi lain, pada zaman Calvin juga muncul kelompok radikal di kalangan
kelompok reformasi.
Cikal bakal pola radikal yang muncul pada kelompok radikal zaman Calvin ini
juga sudah dijumpai pada zaman Augustinus sebagaimana dijumpai di
kalangan Donatis.
Kelompok radikal pada zaman Calvin adalah Gerakan Anabaptis yang
menghendaki adanya Gereja yang hanya terdiri dari orang-orang yang
sungguh-sungguh percaya, dipilih Allah, dilahirkan kembali, diberi Roh Kudus
dan suci hidupnya.
Gerakan Anabaptis Radikal memahami bahwa Gereja harus terdiri dari orang-
orang yang hidupnya sempurna. Gerakan Anabaptis radikal pada dirinya
memiliki kecendrungan skismatik dan separatis terhadap Gereja yang ada.
HUKUM GEREJA
a.
Konteks Calvin dalam memahami Gereja dan Tata Gereja
Mersespons hal itu, Calvin pada dasarnya mengambil sikap yang sama
dengan apa yang sudah dilakukan Augustinus pendahulunya.
Pada zamannya, Augustinus mengkritik kaum Donatis yang
merencanakan wujud iman Kristen tanpa cinta kasih, demi kesucian.
Terhadap upaya menjaga kesucian Gereja, Augustinus menentang
gagasan sempit tentang Gereja hanya sebagai tempat orang-orang suci.
Bagi Augustinus, Gereja adalah tempat menebah, di mana gandum dan
jerami terhambur bersama. Manusia tidak berhak mengganti Allah.
Gereja harus memberi tumpangan kepada semua orang Kristen, bukan
hanya kepada orang suci, melainkan juga kepada orang berdosa.
HUKUM GEREJA
a.
Konteks Calvin dalam memahami Gereja dan Tata Gereja

Gereja yang benar didasarkan di Yerusalem dan memperluas dalam


persekutuan dengan Gereja-Gereja lain dan tetap terbuka untuk semua
orang.
Gereja yang luas dan lapang harus mengambil sikap toleran terhadap
orang berdosa, karena Gereja yang kudus dapat juga disebut sebagai
Gereja orang berdosa.
Soal baik dan jahat, rahmat dan dosa merupakan kenyataan yang
termasuk ke dalam citra Gereja, sehingga tidak boleh dipecahkan dengan
mengucilkan orang berdosa.
Mengacu Augustinus, Calvin menolak sikap radikal Gerakan Anabaptis
dengan menekankan bahwa di dalam Gereja akan selalu ada “lalang” dan
“gandum”.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

1. Ajaran tentang keesaan Gereja


Konsep Ecclesia Catholica (First we believe the Holy Chatolic
Church) mendasari pemahaman Calvin mengenai keesaan Gereja.
Gereja sebagai eklesia pada dasarnya adalah esa. Jika Gereja
satu (esa), maka tidak mungkin untuk memiliki/membagi Gereja
menjadi dua atau tiga atau lebih.
Dalam hal ini Calvin tidak sedang berbicara mengenai Gereja
sebagai organisasi atau institusi, melainkan Gereja sebagai
eklesia, yakni sebagai persekutuan orang-orang percaya kepada
Yesus Kristus.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

1. Ajaran tentang keesaan Gereja


Pemahaman mengenai hubungan antara Gereja dengan Kristus
menjadi kunci pemahaman Calvin tentang keesaan Gereja.
Calvin menegaskan bahwa hanya ada satu Gereja, yaitu Tubuh
Kristus. Sebagai Tubuh Kristus, maka satu-satunya Kepala Gereja
adalah Kristus.
Kristus sendiri hanya satu, yakni Yesus orang dari Nazaret, Mesias
yang sudah dinubuatkan dalam Perjanjian Lama.
Kristus adalah Mesias yang sudah menderita, mati, dikuburkan dan
bangkit dari kematian untuk menyelamatkan dan membentuk umat
yang percaya.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

1. Ajaran tentang keesaan Gereja

Kristus sebagai Kepala Gereja itu sudah naik ke Sorga, kini


bertahta dan nanti akan datang kembali untuk menghakimi
seluruh umat manusia.
Kristus sebagai Kepala adalah Kristus yang tidak dapat dibagi-
bagi.
Dengan demikian, maka keesaan Gereja dalam pemikiran
Calvin terletak dan didasarkan di dalam Kristus, yakni bahwa
Kristus sebagai Kepala Gereja adalah satu, tidak terbagi-bagi.
Karena Kristus adalah satu dan tidak tebagi-bagi, maka Gereja
adalah satu dan tidak terbagi-bagi.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

1. Ajaran tentang keesaan Gereja


Memperhatikan beberapa penegasan tersebut, tampak bahwa Calvin
menekankan unsur-unsur dan dasar-dasar keesaan pada hal-hal yang
prinsipial.
Keesaan Gereja terletak dalam kesepahaman tentang masalah-masalah
mendasar dari Iman Kristen.
Hal-hal mendasar tersebut, untuk tatasan doktrin-teoritis, misalnya
berkaitan dengan pokok-pokok ajaran tentang Kristologi, Trinitas,
Keesaan Allah.
Sementara berkaitan dengan doktrin-praktis, misalnya berkaitan
dengan pelaksanaan Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

1. Ajaran tentang keesaan Gereja

Untuk tataran praktis, selama berbagai kelompok


kegerejaan tersebut sama-sama melakukan Pemberitaan
Firman dan melayankan Sakramen, maka sekalipun bentuk
pemahaman dan tata cara pelaksanaan berbeda-beda,
sesungguhnya berbagai kelompok kegerejaan tersebut
adalah bagian dari Gereja atau Tubuh Kristus yang Esa.
Prinsip dasar keesaan yang diletakkan oleh Calvin adalah
kesediaan untuk SALING MENGAKUI dan SALING MENERIMA di
antara berbagai bentuk kepelbagaian.
HUKUM GEREJA b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

2. Ajaran Calvin tentang Gereja sebagai Tubuh Kristus


Meminjam teologi Paulus dan pemikiran Augustinus sebelumnya, Calvin
menegaskan bahwa Gereja bukanlah suatu institusi yang kaku, melainkan
organisme yang hidup, suatu persekutuan yang saling melayani dan saling
menopang.
Pemahaman demikian didasarkan pada konsepnya tentang Gereja sebagai
Tubuh Kristus. Sebagai Tubuh Kristus, maka Kristus adalah Kepala Gereja.
Pengakuan bahwa Kristus adalah Kepala, hendak menegaskan bahwa Kristus
sendiri adalah Tuhan atas Gereja.
Sebagai Kepala Gereja, Kristus memerintah Gereja. Posisi Kristus sebagai
Kepala Gereja tidak bisa diambil alih oleh siapapun, baik secara individu
maupun secara kolektif.
Karena itu, semua pekerja di dalam Gereja tidak lebih dari Hamba atau
Pelayan.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

2. Ajaran Calvin tentang Gereja sebagai Tubuh Kristus


Menjadi bagian penting ketika memahami Gereja sebagai
Tubuh Kristus, di samping menekankan kedudukan Kristus
sebagai Kepala, juga menekankan suatu ketergantungan Gereja
sebagai Tubuh kepada Kristus sebagai Kepala, dan kenyataan
keanekaragaman pelayan dan pelayanan di dalam Gereja.
Gereja adalah Gereja selama ia menggantungkan hidupnya
sepenuhnya kepada Kristus sebagai Kepala.
Gereja adalah Gereja selama Gereja menunjukkan ketaatan
mutlaknya kepada Kristus sebagai yang memerintah Gereja.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja
2. Ajaran Calvin tentang Gereja sebagai Tubuh Kristus

Di dalam Gereja sebagai Tubuh, dijumpai


beranekaragam wujud keanggotaan secara internal,
yang di dalamnya menunjuk kepada para pelayan dan
bentuk-bentuk pelayanan.
Keanekaraman tersebut sudah menjadi hakikat Gereja
dalam rangka saling melengkapi dan melayani untuk
menuju kepada kepenuhan Kristus sebagai Kepala.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

2. Ajaran Calvin tentang Gereja sebagai Tubuh Kristus


Sejalan dengan penekanannya tentang Gereja sebagai Tubuh Kristus, Calvin
juga berbicara tentang Gereja sebagai “persekutuan orang-orang pilihan“.
Dalam kaitan ini berlaku prinsip dasar bahwa Gereja yang Katolik terdiri dari
“the whole number of the elect, whether angels or men, whether the dead
or still living”.
Gereja adalah kumpulan orang-orang pilihan Allah yang ada pada segala
masa dan segala tempat.
Dalam rangka memanggil dan mempersekutukan orang-orang percaya dari
segala masa dan tempat itu, Allah-lah, yakni Allah dalam Kristus dan Roh
Kudus, yang memilih sehingga seseorang termasuk ke dalam umat pilihan-
Nya.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

2. Ajaran Calvin tentang Gereja sebagai Tubuh Kristus

Pekerjaan pemilihan tersebut adalah pekerjaan Allah, yakni


pekerjaan Allah yang tersembunyi dan rahasia.
Sejalan dengan misteri cara kerja Allah dalam memilih dan
mempersekutukan orang-orang percaya tersebut, Calvin
menegaskan bahwa manusia tidak dapat mengetahui mana orang-
orang pilihan dan mana yang bukan orang-orang pilihan, sekalipun
mereka termasuk ke dalam Gereja yang kelihatan.
Berangkat dari pemikiran demikian menghantar Calvin,
sebagaimana Augustinus sebelumnya, pada penegasan bahwa di
dalam Gereja selalu ada “lalang” dan “gandum”.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

2. Ajaran Calvin tentang Gereja sebagai Tubuh Kristus


Pada masa pertumbuhannya, kita tidak selalu bisa membedakan dan
memisahkan mana yang “lalang” dan mana yang “gandum”.
Karena itu, hal yang diperlukan oleh Gereja adalah berupaya
menunjukkan bahwa ia termasuk sebagai orang-orang pilihan melalui
hidup yang setia dalam menjalankan tugas panggilan yang
diserahkan kepadanya dan upaya hidup dalam kebenaran yang Allah
kehendaki.
Pada saatnya, konsep ini menghantar Calvin pada ajarannya tentang
berbagai jabatan dan pelayanan gerejawi, serta ajarannya tentang
disiplin Gereja.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

3. Gereja sebagai IBU sekalian orang percaya

Gambaran yang agak khas dari Calvin mengenai Gereja yaitu


pemahamannya bahwa Gereja, khususnya menunjuk kepada
Gereja yang kelihatan, adalah IBU sekalian orang percaya.
Sebagai IBU sekalian orang percaya, maka Gereja-lah yang
mengandung, melahirkan, menyusui, membesarkan dan
melindungi.
Hal ini menekankan tangung jawab Gereja terhadap
warganya, di satu pihak, dan tanggung jawab warganya
terhadap Gereja, di pihak lain.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

3. Gereja sebagai IBU sekalian orang percaya


Gereja sebagai IBU bertanggung jawab menata berbagai bentuk
pelayanan, menunjuk dan menetapkan para pelayan, serta hal-
hal lain yang mendukung pelayanan, agar warganya bisa
bertumbun menjadi warga gereja yang dewasa dengan bebagai
tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Berangkat dari pemahaman Geraja sebagai IBU sekalian orang
percaya, maka Gereja menjadi JALAN satu-satunya kepada
kehidupan.
Maka di luar Gereja tidak ada keselamatan - Extra ecclesiam
nulla salus.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

3. Gereja sebagai IBU sekalian orang percaya


Seseorang tidak bisa menyebut dan memiliki Allah sebagai Bapa
kecuali kalau ia mengakui dan menerima Gereja sebagai IBU.
Dalam hal ini ada ketergantungan mutlak warga Gereja dengan Gereja
agar mereka bisa mengalami pertimbuhan dan menjadi makin dewasa.
Seseorang baru benar-benar bisa dikatakan sebagai warga Gereja
ketika ia menunjukkan ketergantungan penuh dengn Gereja sebagai
IBU-nya.
Ketergantungan tersebut di antaranya diwujudkan dalam kesediaan
memelihara kehidupan persekutuan dengan sesama anggota Gereja
yang lain.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

4. Gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan


Mengacu pemikiran Augustinus, Calvin mengembangkan lebih jauh tentang konsep
Gereja yang kelihatan dan Gereja yang tidak kelihatan.
Antara Gereja yang kelihatan dengan Gereja yang tidak kelihatan, tidak dapat
dipisahkan.
Gereja yang kelihatan adalah:
seluruh umat manusia yang tersebar di bumi yang mengaku menyembah satu Allah
dan Kristus;
oleh Baptisan dibimbing dalam iman kepada-Nya;
oleh Perjamuan Kudus menyatakan kesatuannya dalam ajaran yang benar dan dalam
kasih;
semufakat dalam Firman Tuhan, dan demi pemberitaannya memelihara jabatan
Gereja yang telah ditetapkan Kristus.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

4. Gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan


Terkait dengan konsep mengenai Gereja yang kelihatan inilah,
Calvin berbicara mengenai kenyataan adanya anggota Gereja
sebagai “lalang” dan “gandum”.
Di dalam Gereja yang kelihatan ini terdapat banyak orang munafik
yang tidak memiliki apa-apa dari Kristus, kecuali nama dan rupa
lahiriah, yang suka mencari kehormatan dan kekayaan, yang iri
hati, pemfitnah dan tidak suci.
Mereka dibiarkan untuk sementara waktu karena tidak dapat
dihukum dengan cara yang sah, atau karena tidak selalu terdapat
disiplin ketat sebagaimana yang seharusnya.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

4. Gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan


Gereja yang tidak kelihatan adalah:
Gereja yang berada di hadapan hadirat Allah;
yang diterima hanya mereka yang oleh rahmat Allah diangkat menjadi anak-
Nya dan oleh penyucian karya Roh Kudus menjadi anggota Tubuh Kristus,
yang terdiri dari orang percaya sejak Habel sebagai orang benar pertama
hingga seseorang yang menjadi orang percaya terakhir pada saat kedatangan
Kristus pada masa parousia.
Gereja yang tidak kelihatan merangkum semua orang kudus di muka bumi,
dan semua orang pilihan yang pernah hidup sejak awal zaman hingga akhir
zaman.
HUKUM GEREJA
b.
Dasar eklesiologis Calvin bagi penyusunan Hukum Gereja

4. Gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan


Calvin tidak bermaksud menonjolkan yang satu dan merendahkan yang lain, dan juga
tidak hendak mengembangkan ajaran tentang Dua Gereja.
Calvin bermaksud mengkonfrontasikan Gereja yang merupakan suatu kenyataan
empiris yang dapat dikenali manusia, dan juga Gereja yang tidak kelihatan yang
hanya di hadapan mata Allah saja.
Calvin hendak menunjuk dengan jelas bahwa Allah sesungguhnya adalah Tuhan atas
Gereja, karena itu Gereja yang kelihatan tidak bisa begitu saja diidentikkan dengan
Tubuh Kristus.
Hanya ketika Kristus memerintah dan kehendak-Nya dijalankan, maka Gereja itu
sungguh-sungguh adalah Tubuh Kristus.
Ada dua tanda Gereja yang benar, yaitu: dimana saja kita melihat Firman diberitakan
dengan murni dan Sakramen dilayankan menurut peraturan Kristus, di sana ada Gereja
Allah.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

1. Ajaran tentang disiplin Gereja


Salah satu unsur tambahan yang Calvin lakukan atas reformasi yang
sudah dilakukan Luther adalah menyusun dan menegakkan disiplin
Gereja.
Disiplin adalah ketertiban di dalam Gereja, yakni usaha untuk
menghindari dan menghilangkan dosa. Tujuannya adalah
mempertahankan kesucian Gereja.
Gereja adalah Tubuh Kristus yang harus dijaga kesuciannya, walaupun
selalu ada kecendrungan di dalamnya hadir warga yang berkarakter
“lalang” dan “gandum”.
Justru karena kesadaran tersebutlah, maka Calvin menetapkan
peraturan atau disiplin yang sangat ketat bagi anggota Gereja dan para
pejabatnya.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

1. Ajaran tentang disiplin Gereja


Disiplin Gereja juga bertujuan untuk melindungi orang-orang
baik di dalam Gereja, yakni supaya kesusilaan mereka tidak
dirusakkan oleh pergaulan dengan orang-orang jahat.
Kenyataan bahwa di dalam Gereja selalu ada “lalang” dan
“gandum”, maka selalu terbuka kemungkinan kelompok
“gandum” mendapat himpitan besar dari kelompok”lalang”
yang kemudian berdampak pada matinya kelompok “gandum”.
Karena itu, maka disiplin harus disusun secara ketat dan
dijalankan secara konsisten.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

1. Ajaran tentang disiplin Gereja


Kenyataan bahwa di dalam Gereja selalu ada kemungkinan hadir
kelompok “lalang”, namun pada kenyataan adanya kelompok
“lalang” tidak selalu bisa diidentifikasi dengan mudah.
Ada kemungkinan apa yang dianggap sebagai kelompok “lalang” oleh
karena pola hidupnya yang jahat, sesungguhnya adalah kelompok
“gandum” yang memerlukan perawatan agar menjadi makin murni
menurut kehendak Allah.
Karena itu, maka disiplin Gereja juga dimaksudkan agar orang-orang
jahat didorong untuk bertobat melalui teguran dan penghukuman
atau tindakan disiplin yang dikenakan kepada mereka.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

2. Tata Gereja dan jabatan Gereja menurut Calvin


Sejalan dengan penekanan kuat Calvin terhadap disiplin Gereja adalah
disusunnya sebuah Tata Gereja dan ditetapkannya beberapa jabatan
gerejawi.
Calvin menegaskan bahwa penyusunan Tata Gereja dan penetatapan
Jabatan Gereja bersumber pada Alkitab, namun demikian tidak boleh
mengabaikan kebiasaan dan adat istiadat setempat.
Tata Gereja dan Jabatan Gereja diperlukan agar ada keteraturan,
karena dengan keteraturan dan kesucian pada gilirannya menghormati
kemuliaan Allah.
Tata Gereja dan Jabatan Gereja diperlukan dalam rangka
kesinambungan pemberitaan Firman dan pelayanan Sakramen.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

2. Tata Gereja dan jabatan Gereja menurut Calvin

Dalam kaitan dengan penyusunan Tata Gereja, Calvin


sangat menekankan pentingnya Jemaat.
Sistem pemerintahan Gereja yang disusun Calvin baru
dalam rangka menata suatu Jemaat, belum sampai
pada tingkat mengatur hubungan antar Jemaat
bersifat lokal maupun regional.
Pada dasarnya sistem pemerintahan Gereja yang
disusun oleh Calvin adalah Presbyterial.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

2. Tata Gereja dan jabatan Gereja menurut Calvin


Dari sistem ini kemudian berkembang beberapa model yang ada kaitan
dengan prinsip Presbyterial, yakni Presbyterial atau Presbyterial Sinodal
atau Sinodal Presbyterial.
Prinsip dasar Calvin dan Calvinis, entah apapun sistem pemerintahan
Gereja yang menjadi pilihan, ada penekanan sangat kuat terhadap
peranan dan kedudukan Jemaat.
Hal yang penting adalah Jemaat, bukan organisasi lain yang ada di
atasnya.
Organisasi apa pun yang ada di atasnya (Resort/Distrik/Klasis termasuk
Sinode) semata-mata untuk mendukung pentingnya kedudukan Jemaat.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

2. Tata Gereja dan jabatan Gereja menurut Calvin


Calvin sendiri sangat kuat menekankan peranan Presbyter dan
kemajelisan.
Namun pada zaman Calvin sendiri, di kalangan Gereja-gereja
Calvinis, peranan para Pendeta sangat penting atau lebih penting
ketimbang jabatan-jabatan lainnya.
Hal ini menyiratkan fleksibelitas dalam mengembangkan model
hubungan antara para pejabat di dalam Gereja-gereja yang
mengaku dirinya Calvinis.
Sejalan dengan hal itu adalah pentingnya kedudukan Penatua
(bukan Pendeta).
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

2. Tata Gereja dan jabatan Gereja menurut Calvin


Demikian pula semangat kolegial menjadi sangat menentukan
dalam mengatur kehidupan Jemaat.
Pemahaman bahwa tugas pelayanan Gereja tidak dilak-sanakan
oleh satu orang, melainkan dibagi kepada beberapa orang secara
bersama-sama (kolegial).
Dengan demikian, maka struktur hirarkis dalam tradisi Episkopal
tradisional, didobrak dan diperbaharui.
Calvin menyediakan struktur yang jelas sehingga setiap keputusan
yang diambil merupakan keputusan bersama, bukan individual.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

2. Tata Gereja dan jabatan Gereja menurut Calvin

Ada banyak jabatan di dalam Alkitab. Karena itu


kita harus memilih beberapa di antaranya untuk
mendukung pelayanan Firman dan Sakramen.
Dalam rangka menetapkan jenis dan jumlah
jabatan gerejawi Jemaat adalah titik berangkat.
Tidak ada pangkat/jabatan yang lebih tinggi dan
lebih rendah di antara berbagai jabatan gerejawi.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

2. Tata Gereja dan jabatan Gereja menurut Calvin

Masing-masing bertanggung jawab penuh di bidangnya.


Calvin mengatur proses pemilihan dan pengangkatan
masing-masing jabatan agar terjamin orang-orang yang
diangkat cocok dengan jabatannya.
Aspek PANGGILAN atau DIPANGGIL mendapat
penekanan, sehingga orang yang dipilih bukan wakil
Jemaat melainkan karena sungguh-sungguh merasa
DIPANGGIL oleh Allah.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

2. Tata Gereja dan jabatan Gereja menurut Calvin


Ada 4 (empat) jabatan gerejawi yang ditetapkan oleh Calvin, bersumber dari
Alkitab dan atas pertolongan Roh Kudus, yaitu: Gembala/Pendeta, Pengajar,
Penatua dan Diaken.
TugasGembala/Pendeta adalah memberitakan Firman, melayankan
Sakramen, bersama Penatua mengawasi kehidupan Jemaat, menegur yang
melakukan kesalahan.
Pengajar:semua orang terlibat dalam pengajaran iman, mulai dari guru
Sekolah Minggu hingga Dosen Teologi.
Penatua:
orang yang ditunjuk oleh Pemerintah kota agar bersama-sama
Gembala/ Pendeta mengawasi kehidupan Jemaat.
Diaken/Syamas: bertugas untuk membantu orang-orang miskin dan orang-
orang sakit.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja
2. Tata Gereja dan jabatan Gereja menurut Calvin
Sekalipun Calvin sudah menyusun Tata Gereja dengan baik, yakni Tata Gereja
untuk Jemaat di Jenewa, namun masih dijumpai kekurangan (tepatnya belum
diatur) dalam Tata Gereja tersebut. Hal-hal tersebut adalah:
TataGereja Calvin atau Tata Gereja Jenewa mengatur kegiatan bergereja
untuk Jemaat di Jenewa secara lokal.
Tata
Gereja Calvin atau Tata Gereja Jenewa belum mengatur hubungan antar
Jemaat pada tingkat regional maupun sinodal.
Penataan Gereja atau Tata Gereja yang mengatur hubungan antar Jemaat
secara regional dan Sinodal, muncul di kalangan Gereja Calvinis di kemudian
hari.
PenyusunanTata Gereja yang bersifat regional dan Sinodal tersebut, tetap
mengacu prinsip dasar Tata Gereja Calvin atau Tata Gereja Jenewa.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

3. Calvin dan Tata Gereja Genewa.


John Calvin (nama aslinya: Jean Cauvin) lahir tahun 1509
di kota Noyon, Perancis.
Calvin baru berumur delapan tahun tatkala Martin Luther
menempelkan “poster”-nya yang berisi 95 dalil protesnya
terhadap Gereja Roma di pintu gereja Wittenberg.
Kemudian di tahun 1536 dia mengunjungi Jenewa,
tempat faham Protestan dengan cepat berkembang dan
menjadi kuat.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

3. Calvin dan Tata Gereja Genewa.

Dia minta tinggal di sana sebagai guru dan pemuka


masyarakat Protestan.
Tetapi, pertentangan segera timbul antara pihak penganut
Calvin yang keras dan puritan dengan orang-orang Jenewa,
dan di tahun 1538 dia dipaksa meninggalkan kota itu.
Tetapi, di tahun 1541 dia diundang untuk datang lagi.
Ini dilakukannya dan dia menjadi bukan semata pemuka
agama di kota itu, melainkan sekaligus jadi pemuka politik
yang efektif hingga ajalnya tahun 1564.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja
3. Calvin dan Tata Gereja Genewa.
Dalam teori, Calvin tak pernah jadi diktator di Jenewa. Sesudah
tahun 1555 dia pada dasarnya merupakan seorang otokrat.
Di bawah kepemimpinan Calvin, Jenewa menjadi pusat Protestan
yang menonjol di Eropa.
Calvin dengan gigih mencoba mendorong kemajuan dan
pertumbuhan Protestan di negeri-negeri lain, khusus di Perancis,
dan ada sementara waktu Jenewa dijuluki "Romanya Protestan".
Hal pertama yang dilakukannya sekembalinya di Jenewa adalah
menggariskan aturan-aturan gerejani untuk gereja pembaharuan
di sana.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

3. Calvin dan Tata Gereja Genewa.

Jenewanya Calvin merupakan kota yang agak puritan dan keras.


Bukan cuma perzinahan dan hubungan bebas dianggap kejahatan
berat, tetapi juga judi, mabuk dan dansa serta nyanyi lagu-lagu
duniawi semuanya terlarang dan bisa mengakibatkan jatuhnya
hukuman berat.
Kunjungan ke gereja pada jam-jam yang diatur merupakan
perintah hukum dan panjangnya khotbah sudah menjadi
kebiasaan.
( Tata Gereja Genewa secara lengkap lihat di dalam buku Th. van den
End (ed.), Enam Belas Dokumen Dasar Calvinis, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001, hal. 339-366.
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja

3. Calvin dan Tata Gereja Genewa.


Calvin sangat mendorong ketekunan kerja. Dia juga mengobarkan
semangat belajar.
Dalam masa pemerintahannyalah Universitas Jenewa didirikan.
Calvin orang yang tidak kenal toleransi, dan siapa yang dianggap
murtad, segera dapat kutukan dan hukuman di Jenewa.
Korbannya yang terkenal (walau jumlahnya tidak banyak) adalah
Michael Servetus, seorang dokter dan teolog yang tidak percaya
doktrin Trinitas.
Ketika Servetus datang di Jenewa, dia ditahan, diadili dengan tuduhan
murtad, dan dijatuhi hukuman bakar hingga hangus jadi arang (1553).
HUKUM GEREJA
c.
Pokok-pokok ajaran Calvin tentang Hukum Gereja
3. Calvin dan Tata Gereja Genewa.
Juga, beberapa orang yang dituduh jadi tukang sihir menjalani
nasib serupa di masa pemerintahannya.
Jenewanya Calvin lebih mendekati sebuah kota teokrasi
ketimbang demokrasi, walaupun pada akhirnya akan tampak jua
bertambahnya gejala-gejala demokrasi.
Atau disebabkan tatanan keorganisasian gerejanya sendiri yang
sedikit banyak memberi warna kepada sikap tindakan mereka
menghadapi dunia luar, pada kenyataannya di kemudian hari,
basis kekuatan kaum Calvinis yang asli (Swiss, Negeri Belanda
dan Inggris) menjadi basis kekuatan demokrasi pula.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Berdasarkan paparan di atas telah diuraikan,


berikut diberi catatan pertimbangan terhadap
upaya membuat relevansi atau aktualisasi ajaran
Calvin dan Tradisi Calvinis tentang Tata Gereja
dalam rangka upaya menyusun Tata Gereja yang
kontekstual di Indonesia (Kalimantan) pada masa
kini.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Pertama, berkaitan dengan pentingnya disiplin.


Pada masa awal kehadiran Calvinis di Indonesia, khususnya pada masa
Pemerintah Belanda (termasuk masa VOC), pokok ajaran tentang
perlunya disiplin Gereja sama sebagaimana ada dalam ajaran John
Calvin.
Namun pada tataran pelaksanaan agaknya tidak bisa dijalankan secara
konsisten.
Penerapan disiplin secara konsisten tidak bisa dilakukan, mengingat
orang-orang Belanda sendiri yang datang banyak yang berasal dari
kalangan berandalan dan pemabuk.
Situasi ini didukung oleh campur tangan kuat pihak Pemerintah Belanda
terhadap Gereja dalam berbagai aspek pelayanannya.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Dalam perkembangan sejarah Gerja di kemudian hari, khususnya ketika sudah


berdiri berbagai lembaga Gereja hasil pekerjaan beberapa lembaga misi
Calvinis, penekanan perihal pentingnya disiplin Gereja berbeda-beda.
Hal ini sejalan dengan perbedaan tingkat fanatisme lembaga-lembaga misi yang
bekerja di Indonesia terhadap Calvinis.
Untuk Gereja-gereja hasil misi NGZV (GKS dan GKJ) cendrung sangat ketat
dalam menjalankan disiplin Gereja. Sementara beberapa lembaga Gereja hasil
misi beberapa lembaga misi pecahan dari NZG, cendrung lebih longgar.
Untuk GKE, yang merupakan hasil misi RMG dan BM, memberi perhatian besar
pada perlunya penegakan disiplin Gereja.
Hal tersebut tampak dalam Aturan Sidang Jemaat Orang Kristen di Borneo
Selatan dan beberapa Peraturan Khusus GKE lainnya. Hanya saja dalam
penerapannya, tidak selalu seideal apa yang tertuang dalam peraturan tertulis.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Tingkat ketat-longgarnya penegakan disiplin Gereja ini juga bisa dilihat dari
pelaksanaan sakramen Perjamuan Kudus.
Dari segi pemahaman, Gereja-gereja Calvinis di Indonesia mengikuti pola
Calvinis yang memahami sakramen Perjamuan Kudus sebagai tanda dan
meterai.
Namun dalam hal persyaratan dan persiapan menjelang pelaksanaan
Perjamuan Kudus agarnya berbeda-beda.
GKJ sebagai contoh, paling tidak di beberapa Jemaat, mene-rapkan secara
konsisten perlunya persiapan menjelang Perjamuan Kudus sekaligus seleksi
ketat terhadap anggota Jemaat yang boleh dan tidak boleh ikut Perjamuan
Kudus.
Sementara beberapa Gereja Calvinis lainnya (mis. GKE), sangat longgar
dalam persiapan dan penekanan perlunya mempersiapkan diri menjelang
Perjamuan Kudus.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
Kedua, berkaitan dengan sistem pemerintahan gerejawi.
Pada masa awal kehadiran Calvinis di Indonesia, khususnya pada zaman
Belanda (termasuk masa VOC), pokok ajaran tentang perlunya disiplin Gereja
sama sebagaimana ada dalam ajaran Calvin.
Namun pada tataran pelaksanaan agaknya tidak bisa dijalankan secara
konsisten.
Penerapan sistem presbyterial-synodal tidak bisa dijalankan pertama-tama
oleh kepentingan Belanda sendiri.
Pihak Pemerintah Belanda memiliki kepentingan yang hendak dijalankan
melalui Gereja, karena itu Gereja ditata berdasarkan garis komando dari
atas, dari pihak Pemerintah.
Dalam hal penempatan Pendeta, misalnya, didasarkan atas penunjukan oleh
Pemerintah Belanda.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Persoalan berikutnya yang mendukung tidak berjalannya sistem presbyterial-


synodal adalah situasi Jemaat yang ada di wilayah Nusantara kala itu.
Jemaat-jemaat yang tersebar luas di wilayah Nusantara dengan jarak yang
dipisahkan oleh lautan luas serta terbatasnya tenaga Pendeta, sangat
berbeda dengan situasi Jemaat di Jenewa yang diatur oleh Calvin.
Keadaan ini menuntut penataan Jemaat-jemaat menurut pola dari atas yang
memang dikehendaki oleh Belanda dengan berbagai kepentingan lain (politik)
yang tidak membuka kesempatan Gereja dan Jemaat-jemaat untuk mandiri.
Karena itu lahir sistem pemerintahan Gereja yang tidak mengacu sistem
Presbyterial-sinodal melainkan menjadi Sinodal-presbyterian, bahkan
cendrung menjadi Sinodal-Klasikal atau Episkopal.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Dalam kehidupan Gereja-gereja yang memiliki ciri-ciri Calvinis di Indonesia


saat ini, beberapa di antaranya cukup kuat menjalankan system Presbyterial-
Sinodal.
Sekedar contoh bisa diambil GKJ dan GKI yang memberi kewenangan penuh
untuk Jemaat dalam proses memanggil Pendeta untuk menjadi Pendeta
Jemaatnya, walaupuan dengan tingkat kekakuan yang berbeda.
GPIB, sebagai contoh, yang mengklaim mengklaim menganut sistem
Presbyterial-Sinodal pada kenyataannya menganut pola top-down dalam
menempatkan tenaga Pendeta.
GKE sendiri, saat ini berupaya makin merapat ke tradisi Calvinis, justru
menetapkan sistem Sinodal Presbyterial dalam menata Gerejanya.
Sejak upaya awal mendirikan GDE, sudah ada tanda-tanda menguatnya
Sinodal, dan hal ini menjadi makin me-nguat dalam kehidupan GKE masa kini.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Ketiga, berkaitan dengan keterlibatan Gereja-gereja di Indonesia dalam berbagai


proses pembangunan.
Keterlibatan warga Gereja dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan
dalam pelaksanaan pembangunan Indonesia di kemudian hari, sangat nyata.
Telah hadir di pentas sejarah Indonesia beberapa tokoh nasional yang
berlatarbelakang Gereja Calvinis.
Hal ini, disadari atau tidak, merupakan pewarisan dan sejalan dengan nilai-
nilai Calvinis, baik yang diprakarsai John Calvin ketika merumuskan tata
kehidupan masyarakat Jenewa berdasarkan apa yang diyakini sebagai nilai-
nilai Injili, maupun berdasarkan bentuk pemahaman Calvinis di kemudian hari
yang memberi penekanan sangat kuat terhadap keterlibatan Gereja dan
warga Gereja dalam berbagai proses kehidupan bermasyarakat secara umum.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual
Di kalangan tertentu, terutama untuk kelompok Injili-
Evangelical yang mengklaim diri Calvinis, ada kecendrungan
menekankan perlunya keterlibatan warga Gereja termasuk
pada Pendeta dalam berbagai kegiatan politik.
Dari sini kemudian lahirlah beberapa partai politik yang
bernuansa kekristenan.
Di kalangan Gereja-gereja Calvinis main-stream, kehadiran
di berbagai bidang kehidupan ini tampak dalam keterlibatan
pada pelayanan untuk dunia pendidikan dan kesehatan serta
berbagai bentuk pelayanan sosial lainnya.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Keempat, berkaitan dengan gerakan keesaan Gereja-gereja di Indonesia.

Ide dasar mengenai keesaan sudah berakar dalam


tulisan Augustinus yang dikembangkan lagi oleh John
Calvin.
Dalam perkembangan Gereja-gereja Calvinis dan
beberapa Lembaga Pekabaran Injil Calvinis,
menggambarkan semangat keesaan tersebut.
Pada saat yang sama, juga juga semangat separatis
untuk beberapa kalangan yang mengikuti “arus”
Abrahan Kuyper.
HUKUM GEREJA
d.
Catatan pertimbangan secara kontekstual

Dalam pergerakan keesaan Gereja-gereja di Indonesia, terbentuknya


Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI) dan selanjutnya Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI), peranan Gereja-gereja arus Calvinis
sangat besar, walaupuan tidak bisa pula diklaim sebagai murni
Calvinis atau oleh Gereja-gereja Calvinis.
Memang dalam pergerakan itu terjadi pergumulan berat, di antaranya
menyangkut konsep keesaan yang hendak diberlakukan di Indonesia.
Dalam kaitan ini, Batlajery memberi perttimbangan mengenai nilai-
nilai keesaan yang diajarkan oleh John Calvin, sekaligus penegasan
bahwa pergerakan keesaan Gereja-gereja di Indonesia berada pada
jalur keesaan yang digagal oleh John Calvin pada mulanya.
HUKUM GEREJA
Daftar Kepustakaan
Aritonang, Jan S. dkk. (peny.) 50 Tahun PGI: Gereja di Abad 21 - Konsiliasi untuk Keadilan,
Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan. Jakarta: Balitbang PGI, 2000.
Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Kegerejaan. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000.
Augustinus (terj. Ny. Winarsih Arifin dan Th. van den End), Pengakuan-Pengakuan, Jakarta: BPK-
GM, 1997.
Benjamin Breckinridge Warfield, Studies in Tertullian and Augustine, New York: Oxford
University Press, 1930.
Calvin, John. Institute of the Christian Religion – Vol. 1 (trans.). Grand Rapids, Michigan: Wm.B.
Eerdmans Publishing Co., 1995.
Calvin, John. Institute of the Christian Religion – Vol. 2 (trans.). Grand Rapids, Michigan: Wm.B.
Eerdmans Publishing Co., 1995.
Diepen, P. van (Mgr. OSA), Augustinus Tahanan Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
End, Th van den (peny.). Enam Belas Dokumen Dasar Calvinis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Hendrikus, Hendrikus, Christian Faith: An Introduction to the Study of the Faith. Grand Rapids,
Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Co., 1973.
HUKUM GEREJA
Daftar Kepustakaan
Jacobs, Tom. Paulus: Hidup, Karya dan Theologianya. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1990.
McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi (terj.). Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2002.
Smith, David L. A Handbook of Contemporary Theology: Tracing Trends & Discrening
Direction in Today’s Theological Landscape. Grand Rapids, Michigan: Bakes Books,
2000.
Stock, Brian, Augustine the Reader : Meditation, Self-Knowledge, and the Ethics of
Interpretation, Cambridge: The Belknap Press of Havard University Press, 1998.
Suleeman, Ferdinand, dkk. (ed.). Bergumul dalam Pengharapan – Struggling in Hope.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Tappert, Theodore G. Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran (terj.), Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2000.
Yewangoe, A.A dkk. Pergumulan Kontekstualisasi Dogmatika di Indonesia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1999.
HUKUM GEREJA

SEKIA
N

Anda mungkin juga menyukai