Anda di halaman 1dari 34

Tugas Presentasi Mandiri

MAKALAH TENTANG PEMERINTAHAN


GEREJA

OIKUMENIKA

DISUSUN OLEH :

SRY AGUSTINA BR. SIPAYUNG

NIM: 18.511

DOSEN : NELLA FALEN BANGUN, M.Pd

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI PERJANJIANNYA


KABANJAHE
2020
KATA PENGANTAR

Adapun tugas kali ini adalah tugas presentasi mandiri. Di mana saya

mendapat bagian untuk mempresentasikan tentang “Pemerintahan Gereja”. Jadi,

di dalam makalah yang akan saya susun ini membahas tentang “Pemerintahan

Gereja” baik dalam bentuk-bentuk pemerintahan gereja, penyusunan

pemerintahan gereja masa kini, tanggung jawab gereja terhadap masyarakat dunia

dan kepemimpinan partisipatif (gaya kepemimpinan masa kini).

Dalam menyusun tugas ini, dosen sudah sangat membantu saya, dengan

memberikan foto isi buku “Teologi Kristen” dan “Penginjilan, Penjemaatan dan

Pendampingan Pastoral” sebagai sumber referensi tugas presentasi mandiri saya.

Namun, tidak menutup kemungkinan untuk menambah bahan pendukung dalam

menyelesaikan tugas ini saya juga akan mengambil bahan dari internet dan buku

yang lain. Dengan kerendahan hati, segala kritik dan saran akan saya terima demi

perbaikan tugas presentasi mandiri ini menjadi lebih baik. Merupakan suatu

harapan, mudah-mudahan dalam saya mempresentasikan tentang “Pemerintahan

Gereja”, dosen maupun teman-teman yang akan mendengarkan dan membaca

presentasi dari saya mendapatkan manfaat yang berguna dalam perkuliahan

Oikumenika ini.
BAB I

BENTUK-BENTUK PEMERINTAHAN GEREJA

Dengan penekanan pada oikumenisme, persoalan mengenai organisasi

atau pemerintahan gereja telah cukup mendapatkan perhatian dalam abad ke-20

ini. Karena apabila diharapkan akan ada persekutuan dan kerja sama yang baik

maka diperlukan adanya persetujuan mengenai siapa yang berhak memimpin.

Apabila misalnya, seorang pendeta dari denominasi tertentu diminta untuk

berkhotbah dan melaksanakan perjamuan kudus di dalam gereja dari denominasi

yang berbeda, harus ada persetujuan apakah pentahbisan pendeta tersebut di

dalam sinodenya diakui atau tidak oleh sinode yang mengundang, yaitu

persetujuan mengenai siapa yang berhak mentahbiskan. Hal ini disebabkan karena

persoalan pemerintahan gereja pada analisis terakhir merupakan di mana letak

pimpinan tertinggi gereja. Secara aktual, para pendukung berbagai bentuk

pemerintahan gereja yang akan kita bahas bersama nantinya, semua mengakui

bahwa Allah merupakan pimpinan tertinggi. Perbedaan mereka terletak di dalam

pemahaman terhadap bagaimana dan melalui siapa Allah mengungkapkan atau

menjalankan pemerintahan itu.1

Bentuk-bentuk Pemerintahan Gereja

Sepanjang sejarah gereja terdapat beberapa cara atau bentuk pemerintahan

gereja. Penelitian kita akan bergerak dari struktur yang berkualitas paling tinggi

dan bergerak kepada yang kurang berkualitas susunannya. Setelah kita dengan

teliti memeriksa masing-masing bentuk tersebut, kita akan berusaha untuk

menentukan bentuk mana yang lebih disukai dewasa ini.

1
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 341.
a. Episkopal

Bentuk pemerintahan gereja yang episkopal, kepemimpinan tertinggi

terletak di tangan uskup. Bentuk pemerintahan episkopal yang paling sederhana

adalah pemerintahan Gereja Metodis, karena gereja ini hanya memiliki satu

tingkat uskup. Keunggulan sistem episkopal ini terletak di dalam kenyataan

bahwa pimpinan itu tetap berada di tangan jabatan tertentu, yaitu jabatan uskup.

Yang melekat pada struktur episkopal ini ialah gagasan pelayanan yang

terdiri dari berbagai tingkatan atau tingkatan pentahbisan. Tingkat yang paling

rendah ialah tingkat pendeta biasa atau imam. Di beberapa gereja terdapat

beberapa bagian di bawah pendeta atau tingkat pertama ini, misalnya jabatan

diaken atau penatua. Kependetaan pada tingkat ini diizinkan hanya melakukan

tugas-tugas pelayanan yang biasa seperti misalnya berkhotbah dan

menyelenggarakan sakramen. Akan tetapi, melebihi tingkat ini, terdapat tingkat

pentahbisan yang kedua, yaitu uskup yang memiliki kekuasaan khusus tertentu.2

Sistem pemerintahan gereja yang didasarkan pada keyakinan bahwa

Kristus telah mempercayakan kepemimpinan gereja secara hirarkis. Dari seorang

wakil Kristus ke pejabat-pejabat gereja dan anggota-anggota jemaat. Dengan

dasar peristiwa dalam Matius 16:18-19, mereka percaya bahwa Tuhan Kepala

gereja telah menetapkan seorang wakil-Nya untuk mewakili kepemimpinan-Nya

atas gereja. Sistem pendelegasian hirarkis ini berlaku dari atas sampai bawah

(Kel.19:17-23). Dalam sistem ini dapat ditemukan dalam:

 Gereja Roma Katolik dengan Paus sebagai kepala gereja.

 Gereja Anglikan di Inggris dengan Raja/Ratu sebagai kepala gereja yang

berhak mengangkat Archbishops.


2
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 342.
 Gereja Episkopal (misal, Methodist) dengan Episcopos/Bishop sebagai

kepala dari pendeta-pendeta yang lain.3

Uskup merupakan kunci bagi berfungsinya pemerintahan gereja. Bahkan

ada pihak yang mengatakan bahwa sistem episkopal ini merupakan hakikat gereja

itu sendiri: gereja tidak dapat berdiri tanpa sistem ini. Golongan yang

beranggapan bahwa sistem episkopal mutlak diperlukan oleh gereja, ialah gereja

Katolik Roma dan gereja Katolik-Anglikan (atau Anglikan Gereja Tinggi) begitu

juga dengan golongan Anglikan Gereja Rendah. Mereka melihat bahwa sistem

keuskupan ini sebagai sekadar salah satu bentuk pemerintahan gereja yang

alkitabiah. Sekalipun demikian mereka masih tetap memandang sistem episkopal

ini sebagai sistem yang terbaik untuk melakukan pekerjaan Kerajaan Allah.

Peranan para uskup ialah memberlakukan kuasa Allah yang telah

diwariskan kepada mereka. Kekuasaan mereka melebihi kekuasaan pendeta biasa.

Secara khusus, seorang uskup selaku wakil Allah dan gembala sidang,

memerintah dan memelihara sekelompok gereja lokal bukan sekadar satu jemaat

lokal. Salah satu kekuasaan khusus seorang uskup ialah mentahbiskan. Seorang

uskup berhak mentahbiskan seorang pendeta atau imam.4

Ketika menumpangkan tangannya ke atas calon, sang uskup mewariskan

kepada calon itu kekuasaan yang terkait untuk melaksanakan pelayanan pendeta.

Dalam teori, uskup juga berkuasa mutlak untuk menempatkan gembala sidang

dalam wilayah kependetaan lokal yang khusus. Akan tetapi dalam praktik, sistem

episkopal dewasa ini cenderung bersikap lebih demokratis; seorang uskup atau

wakilnya biasanya berkonsultasi dahulu dengan jemaat lokal tentang keinginan


3
Pdt.Dr.Yakub B.Susabda, Prinsip-prinsip Pertimbangan Utama dalam Administrasi Gereja,
(Malang: Gandum Mas: 2016), hal. 107-108.
4
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 343.
mereka dan kadang-kadang memberi peluang besar bagi mereka untuk mengambil

inisiatif. Seorang uskup juga bertanggung jawab untuk memelihara kemurnian

iman serta ketertiban dalam wilayah yang dikuasainya. Dia berhak mengambil

tindakan disipliner di dalam wilayahnya itu.

Karena dipandang sebagai saluran utama bagi Allah dalam

memberlakukan wewenang-Nya di bumi ini, seorang uskup pada masa lalu sering

ikut campur dalam urusan-urusan yang tidak rohani. Di dalam bentuk episkopal

tertentu seorang uskup bahkan dipandang sebagai penguasa gereja dan bahkan

gereja itu sendiri. Dengan penumpangan tangan dalam upacara pentahbisan,

dianggap bahwa kekuasaan para rasul telah dilimpahkan melalui sejarah kepada

seorang uskup masa kini. Menurut teori ini, yang dikenal dengan teori pergantian

rasuli, para uskup yang mutakhir memiliki kekuasaan yang dimiliki oleh para

rasul yang telah menerima kekuasaan mereka itu dari Kristus sendiri. Seorang

uskup menjadi uskup karena dipilih oleh seseorang yang berkedudukan lebih

tinggi (uskup agung) atau sesama uskup yang lain.5

Bentuk pemerintahan episkopal yang paling berkembang adalah yang

terdapat di gereja Katolik-Roma. Dalam sistem ini, uskup Roma dianggap sebagai

uskup tertinggi dan disebut paus atau bapak dari seluruh gereja. Seorang paus

memerintah gereja melalui Uskup Agung yang membawahi wilayah yang luas. Di

bawah mereka terdapat para uskup yang membawahi imam atau pendeta. Pada

Konsili Vatikan I (1869-1870), paus dipandang sebagai penguasa mutlak, namun

hanya apabila tindakannya didukung oleh semua uskup lainnya. Akan tetapi,

dalam konsili tersebut diputuskan bahwa paus memiliki kekuasaan tertinggi dan

tak terbatas karena memiliki tuntutan dan kemampuan pribadi.hal ini disebabkan
5
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 344.
karena Konsili Vatikan I tersebut memutuskan bahwa apabila paus berbicara ex

cathedra (dalam kedudukan yang resmi) mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

iman dan kedudukan jemaat, paus tidak mungkin salah. Dalam pengertian

tertentu, Konsili Vatikan II (1962-1965) merupakan usaha untuk menyelesaikan

hal-hal yang belum selesai dibahas dalam Konsili Vatikan I.6

Ada beberapa alasan yang dikemukakan untuk mendukung bentuk

pemerintahan episkopal ini, antara lain:

 Bahwa Kristus pendiri gereja. Kristus menyiapkan bagi gereja suatu

struktur pemerintahan yang berwenang. Karena segera sesudah Kristus

menyatakan bahwa segala kuasa di surga dan di bumi adalah milik-Nya

(Mat. 28:18) Ia mengutus 11 orang rasul (Mat.28:19-20; Kis.1:8) dalam

kekuasaan itu. dapat disimpulkan bahwa mereka merupakan satu-satunya

pejabat gereja yang ditetapkan oleh Yesus, yang memiliki hak untuk

mengawasi gereja. Sekalipun demikian, kita dapat menjumpai bukti-bukti

yang memadai bahwa mereka mulai mendelegasikan sebagian wewenang

mereka kepada orang lain, khususnya Timotius dan Titus. Selain itu, para

rasul jelas telah menetapkan para penatua atau pemimpin gereja lokal.

(Kis.14:23; Kis.6:1-7).7

 Kedudukan Yakobus di gereja Yerusalem. Wewenang yang dimilikinya

ketika itu sama dengan wewenang yang kemudian dimiliki oleh para

uskup. Dengan demikian Yakobus merupakan uskup yang pertama, dan di

sinilah terdapat awal dari sistem pemerintahan episkopal.

6
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 345.
7
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 346.
 Garis suksesi langsung dari para rasul kepada uskup dewasa ini.

Dikatakan bahwa melalui proses pentahbisan wewenang para rasul telah

diturunkan kepada uskup-uskup zaman mutakhir ini.

Namun, ada juga beberapa keberatan yang diajukan terhadap sistem pemerintahan

gereja episkopal ini, antara lain:

 Bahwa sistem ini terlalu formal; yang cenderung lebih ditekankan

adalah jabatan dan bukan yang memangku jabatannya. Seharusnya

sikap seseorang menentukan jabatannya, dan bukan sikap ditentukan oleh

jabatan. Apa yang dilakukan, dipercayai dan dikatakan seseorang jauh

lebih penting daripada jabatan yang dipegangnya, dan kita dapat melihat

bagaimana rasul Paulus menjadi seorang pemimpin (baca II Kor.10,11).8

 Teori suksesi para rasul. Bahwa tidak ada bukti yang jelas mengenai hak

seseorang untuk mentahbiskan, sekalipun berbagai tokoh telah dilaporkan

melakukan penumpangan tangan atas orang lain. Alkitab juga sama sekali

tidak menyebutkan adanya sistem pemerintahan yang seperti ini, atau

laporan mengenai suatu keputusan bahwa sistem pemerintahan tertentu

harus dipertahankan. Selain itu, para pendukung bentuk pemerintahan

gereja yang episkopal kurang memperhatikan kenyataan bahwa Kristus

memimpin gereja secara langsung. Kristus menetapkan Paulus tanpa

menggunakan perantara, tidak ada rasul yang terlibat dalam peristiwa

tersebut. Paulus sangat gigih mempertahankan kerasulannya (Gal.1:15-

17). Apabila Paulus menerima jabatanya langsung dari Allah, tidakkah

orang lain dapat mengalami hal yang sama? Dengan kata lain, setidak-

8
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 347.
tidaknya dalam satu kasus ini wewenang rasuli tampaknya tidak

berlandaskan pada wewenang rasuli sebelumnya.

b. Presbiterian

Sistem pemerintahan gereja yang presbiterian juga memberikan

kedudukan yang tinggi kepada jabatan tertentu, namun sistem ini kurang

menekankan satu orang yang menduduki jabatan tertentu, melainkan beberapa

lembaga perwakilan yang menjalankan kekuasaan itu. pejabat kunci di dalam

struktur presbiterian ini adalah penatua, suatu jabatan yang berhubungan dengan

rumah ibadah orang Yahudi. Di zaman PL para penatua merupakan tokoh-tokoh

yang memegang kapasitas dan peranan pemerintahan.9

Mereka menyelenggarakan otoritas tersebut karena usia dan pengalaman

mereka. Dalam PB dapat kita lihat dalam Kis.11:30 tentang kehadiran para

penatua di gereja Yerusalem. Orang Kristen di Antiokhia menyediakan bantuan

untuk orang percaya di Yerusalem, “mereka mengirimkannya kepada penatua-

penatua dengan perantaraan Barnabas dan Saulus.” (Kis.14:23; Kis.20:17).

Kalangan yang mendukung bentuk pemerintahan presbiterian ini beranggapan

bahwa istilah penatua dan uskup merupakan istilah yang dapat bertukar tempat,

dalam I Timotius 3:1-2 dan Titus 1:7 dipahami sebagai merujuk kepada penatua

dan bukan uskup. Namun perlu diperhatikan bahwa istilah penatua biasanya

dipakai dalam bentuk jamak sehingga memberikan kesan bahwa wewenang para

penatua adalah wewenang kolektif dan bukan individual. Ternyata pada zaman

PB, jemaat memilih penatua mereka dari antara orang-orang yang dinilai layak

untuk memimpin gereja (Kis.1:23-26; Kis.6:3).

9
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 348.
Dengan memilih para penatua untuk memimpin gereja, jemaat sadar

bahwa mereka sedang memperkuat, melalui tidakan lahiriah, apa yang telah

ditetapkan oleh Tuhan sendiri. Gereja dengan demikian melaksanakan, atas nama

Kristus, kekuasaan atau otoritas yang dipercayakan-Nya kepada gereja. Bahwa

Allah sendiri memilih para pemimpin gereja diungkapkan dalam berbagai nas di

PB (Kis.20:28; I Kor.12:28; Mat.16:19; Yoh.20:22-23; dan Ef.4:11-12).10

Sistem pemerintahan gereja yang didasarkan pada kepercayaan bahwa

dalam sejarah gereja Kristus tidak mempercayakan kepemimpinan gereja pada

satu orang wakil-Nya, tetapi pada beberapa orang. Pada masa hidup Kristus

sampai berdirinya jemaat mula-mula, jelas sekali Kristus mengangkat 12 rasul

sebagai wakil-Nya dan rasul-rasul itu meninggal tanpa ada penggantinya.

Sementara mereka masih hidup, mereka mengangkat banyak tua-tua atau

presbiteros di gereja-gereja lokal.11

Jadi, dalam gereja dengan sistem pemerintahan presbiterian setiap gereja

dipimpin oleh banyak tua-tua, bahkan pendetanya pun termasuk salah seorang dari

tua-tua dan kedudukannya tidak lebih tinggi dari tua-tua lain, (I Pet.5:1, Petrus

sendiri menyebut dirinya tua-tua). Kalau mereka mempunyai Klasis dan Sinode,

maka itu cuma merupakan tempat rapat/bersidang dari para tua-tua dari beberapa

gereja yang tergabung dalam wilayah klasis/sinode. Tua-tua yang banyak itulah

yang mengepalai gereja sebagai wakil dari kepala gereja yang sejati yaitu Tuhan

Yesus Kristus sendiri. Mereka itulah yang berapat dan mereka itulah yang

bersama-sama mengambil keputusan-keputusan. Sistem pemerintahan gereja

10
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 349-350.
11
Pdt.Dr.Yakub B.Susabda, Prinsip-prinsip Pertimbangan Utama dalam Administrasi Gereja,
(Malang: Gandum Mas: 2016), hal. 108.
presbiterian ini dapat ditemukan dalam gereja-gereja GKI, GKJ,GKT, dan

sebagainya.12

Sistem presbiterian berbeda dengan sistem episkopal, karena di dalam

sistem presbiterian hanya ada satu tingkat pendeta saja. Yang ada hanya penatua

pengajar atau gembala sidang, tidak ada uskup di atasnya. Tentu saja, ada tokoh-

tokoh tertentu yang dipilih untuk menduduki jabatan administratif di dalam

kelompok yang memimpin. Satu-satu wewenang yang dimiliki pejabat ini ialah

wewenang untuk melaksanakan keputusan yang diambil oleh kelompok yang

telah memilih mereka. Jadi wewenang terletak di pihak badan yang memilih,

bukan pada jabatan atau orang yang menduduki jabatan itu. lagi pula, masa

pelayanannya terbatas, sehingga penempatan jabatan tersebut tergantung pada

kelanjutan maksud dan kemauan dari organisasi itu. Dalam sistem presbiterian

terdapat koordinasi kependetaan dan kaum awan yang diatur. Kedua kelompok ini

termasuk dalam semua jenis yang berkuasa. Tidak ada kelompok yang memiliki

kuasa atau hak yang tidak dimiliki oleh kelompok lainnya.

Kasus yang disajikan sistem presbiterian cukup kuat. Argumentasi mereka

bertolak dari pengamatan bahwa sinagoge Yahudi dipimpin oleh sekelompok

penatua, dan gereja Kristen, setidak-tidaknya pada mulanya, berfungsi di dalam

sinagoge tersebut. Selain itu, sistem presbiterian tetap mempertahankan beberapa

prinsip dasar kepemimpinan dalam PB:

 Salah satunya adalah ketuhanan Kristus. Dalam sistem presbiterian,

kehendak dan sabda-Nya merupakan tolak ukur tertinggi yang mengatur

semua tindakan dan kegiatan gereja.

12
Pdt.Dr.Yakub B.Susabda, Prinsip-prinsip Pertimbangan Utama dalam Administrasi Gereja,
(Malang: Gandum Mas: 2016), hal. 109.
 Prinsip peran serta jemaat tetap dipertahankan. Setiap anggota jemaat

dapat langsung menghadap Allah serta berhak untuk tetap

mempertahankan konsep kebersamaan; setiap orang dilihat sebagai bagian

dari seluruh tubuh.

 Kekuasaan jemaat lokal terletak di tangan satu kelompok, yaitu para

penatua, dan bukan di tangan satu orang pendeta atau penatua yang

memperoleh wewenangnya dari seorang uskup.13

Keberatan kritis terhadap sistem ini terutama dilancarkan oleh golongan yang

mendukung pemerintahan gereja yang bersifat individualistis atau kongregasional:

 Mereka berkeberatan karena menurut mereka sistem presbiterian berakar

dalam hirarki beberapa kelompok yang berkuasa yang tidak didukung oleh

Alkitab.

 Mereka mengatakan bahwa di dalam sistem presbiterian ini tidak memberi

kesempatan yang cukup kepada setiap orang percaya untuk memegang

bagian dalam pemerintahan gereja. Banyak keputusan yang seharusnya

diambil bersama oleh seluruh jemaat namun tidak dilaksanakan

sedemikian.14

c. Kongregasional

Bentuk pemerintahan yang ketiga menekankan peran setiap anggota

jemaat sehingga menjadikan jemaat lokal pimpinan tertinggi. Dua konsep

mendasari sistem ini :

13
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 353.
14
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 354.
 Otonomi ialah bahwa jemaat lokal itu berdiri bebas dan mengatur dirinya

sendiri. Tidak ada kekuasaan di luar gereja lokal tersebut yang dapat

mendikte perilakunya. Sistem pemerintahan gereja yang didasarkan pada

kepercayaan bahwa setiap orang percaya (setiap anggota jemaat) adalah

Imam (Kel.19:30; I Pet.2:9-10). Kristus sudah menggenapi seluruh Hukum

Taurat (Mat.5:19; Yoh.19:30) sehingga dalam Dia setiap orang percaya

dapat bersekutu dan beribadah kepada Allah tanpa mediator yang lain.15

Setiap jemaat dapat mengadakan penggabungan kerjasama tertentu

dengan pihak lain, tetapi bentuk kerjasama tersebut bersifat sukarela.

Penggabungan kerjasama semacam itu dianggap menguntungkan karena

beberapa alasan, yaitu :

 Penggabungan tersebut mewujudkan bentuk kesatuan yang ada di

dalam gereja yang tidak kelihatan

 Penggabungan tersebut menyediakan dan meningkatkan persekutuan

Kristen dalam jangkauan yang lebih luas daripada yang dimungkinkan

dalam satu jemaat lokal saja16

 Penggabungan tersebut memungkinkan pelayanan dalam tingkat yang

lebih efektif daripada yang dapat dilakukan oleh gereja lokal itu

sendiri.

 Demokrasi ialah bahwa setiap anggota gereja memiliki hak suara.

Kekuasaan tertinggi terletak di tangan anggota jemaat lokal. Ataupun

bahwa keputusan dalam hubungan antar-gereja ditetapkan berdasarkan

sistem perwakilan. Setiap orang percaya kini dapat langsung menghampiri


15
Pdt.Dr.Yakub B.Susabda, Prinsip-prinsip Pertimbangan Utama dalam Administrasi Gereja,
(Malang: Gandum Mas: 2016), hal. 110.
16
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 355.
hadirat Allah tanpa perantara. Lagi pula, sebagaimana diingatkan oleh

Paulus, setiap anggota atau bagian dari tubuh Kristus memiliki peranan

menentukan bagi kesejahteraan tubuh itu sepenuhnya.

Di antara denominasi-denominasi besar yang mempraktikkan sistem

pemerintahan yang kongregasional terdapat gereja baptis, gereja kongregasional

dan kebanyakan kelompok Luteran.17 Dalam bentuk pemerintahan

kongregasional, seperti halnya dalam sistem presbiterian, hanya ada satu tingkat

pendeta. Ajaran-ajaran Yesus tampaknya mendukung struktur demokratis di

dalam gereja Kristen seperti yang tercatat dalam Luk.22:25-27; Mat.23:8. Dengan

demikian tampaklah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya merupakan hamba

dari semuanya. Sebuah pemahaman yang benar tentang pelayanan akan muncul

apabila para pemimpin sadar bahwa mereka dipilih oleh orang-orang yang harus

mereka layani dan bertanggung jawab kepada mereka. Karena, Yesus juga

mengajarkan kepada murid-muridnya supaya tidak mencari kedudukan dan

gelar.18

Sekalipun demikian, terdapat beberapa keberatan terhadap bentuk

pemerintahan gereja yang kongregasional, yaitu:

 Bahwa sistem ini mengabaikan bukti-bukti alkitabiah mengenai wibawa

rasuli. Misalnya, Paulus pernah mengangkat beberapa penatua (Kis.14:23)

serta menyuruh Titus melakukan hal yang sama (Tit.1:5).

 Bahwa telah terjadi pemisahan jabatan uskup, penatua dan diaken pada

periode sangat dini dalam sejarah gereja.19

d. Tanpa Pemerintahan
17
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 354.
18
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 359.
19
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 360.
Sistem terakhir perlu dipertimbangkan dengan singkat. Sesungguhnya para

penganut sistem ini tidak mendukung bentuk pemerintahan gereja tertentu dan

pada saat bersamaan mendukung apa yang paling baik dapat disebut sistem tanpa

pemerintahan. Kelompok-kelompok tertentu, seperti misalnya Quakers (Friends)

dan Plymouth Brethren menyangkal bahwa gereja memerlukan bentuk

pemerintahan gereja yang konkret atau yang kelihatan. Oleh karena itu, mereka

meniadakan semua bentuk pemerintahan. Sebagai gantinya mereka menekankan

karya Roh Kudus di dalam diri seseorang percaya; Roh Kudus menggunakan

pengaruh-Nya pada dan membimbing orang percaya secara individu dengan

langsung daripada melalui sarana organisasi atau lembaga.

Golongan Quaker menekankan konsep “cahaya batin.” Karena

keanggotaannya tidak begitu berarti, maka tidak terdapat peraturan yang sangat

jelas untuk bergabung dengan golongan tersebut. Di dalam kelompok lokal

mungkin ada penatua atau penilik yang memiliki tanggung jawab tertentu. Rapat-

rapat diadakan untuk menentukan rencana kerja. Sekalipun demikian tidak pernah

diadakan pemberian suara. Sebagai gantinya, semua keputusan dibuat secara

aklamasi yang dihasilkan sebagai bukti karya Roh Kudus.

Golongan Plymouth Brethren meniadakan sama sekali gereja yang

kelihatan. Mereka beranggapan bahwa di dunia ini gereja hanya ada secara tidak

kelihatan, yaitu yang terdiri dari semua orang percaya yang sejati. Oleh karena itu

gereja tidak memerlukan organisasi atau lembaga tertentu yang mempunyai

pejabat-pejabat. Kepemimpinan Roh Kudus merupakan kekuasaan tertinggi.20

Masalah utamanya di sini ialah mana yang dianggap sebagai penuntun

utama bagi kehidupan kita: Alkitab atau karya langsung Roh Kudus. Bila
20
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 360-361.
berpegang pada prinsip yang telah menandai penyelidikan kita sejauh ini, kita

menganggap Alkitab merupakan penuntun yang lebih dapat diandalkan.

BAB II

MENYUSUN SISTEM PEMERINTAHAN GEREJA MASA KINI

Berbagai usaha untuk mengembangkan suatu struktur pemerintahan gereja

yang mematuhi wibawa Alkitab mempunyai kesulitan di dua tempat, yaitu:

 Kekurangan bahan yang bersifat mendidik. Tidak ada penjelasan yang

memberi petunjuk mengenai bagaimana pemerintahan gereja itu

seharusnya. Sama sekali tidak ada apa-apa yang dapat digunakan sebagai
bahan perbandingan. Gereja tidak diperintahkan untuk menerima bentuk

tata tertib gereja tertentu. Satu-satunya petunjuk mengenai pemerintahan

gereja adalah penyebutan oleh Paulus mengenai syarat-syarat dasar untuk

berbagai jabatan yang sudah ada (I Tim.3:1-13; Tit.1:5-9).

 Tidak ada pola tertentu. Pada satu sisi terdapat unsur-unsur demokratis

yang kuat, suatu fakta yang ditunjukkan oleh para pendukung sistem

kongregasional. Juga terdapat unsur-unsur monarkis yang tegas dan jelas,

khususnya kasus-kasus di mana para rasul mengangkat dan menahbiskan

para pejabat serta memberikan pengarahan kepada jemaat-jemaat lokal.

Jelas ayat-ayat semacam ini dipakai untuk mendukung sistem episkopal.

Kemudian ada nas-nas lain yang menunjukkan peranan menentukan dari

para penatua.21

Sebagaimana sudah kita ketahui, ada begitu banyak variasi dalam uraian tentang

gereja-gereja di dalam PB, sehingga kita tidak dapat menemukan pola yang

berwenang. Oleh karena itu, kita harus merujuk kepada prinsip-prinsip yang

terdapat dalam PB, dan berusaha untuk menyusun sebuah sistem pemerintahan

berdasarkan prinsip-prinsip itu.

Sebuah prinsip yang jelas sekali dalam PB, dan khususnya di I Korintus,

adalah nilai dari ketertiban. Situasi jemaat di Korintus di mana ciri khas pribadi

cenderung mulai memainkan peranan yang menentukan, bukan merupakan bentuk

yang amat menarik. Dalam tingkat yang paling parah, sikap semacam ini benar-

benar merugikan. Oleh karena itu, diperlukan sesuatu untuk dapat mengendalikan

cara-cara yang sangat individualistis untuk mengungkapkan kerohanian (I

Kor.14:40). Juga menarik bila ada tokoh-tokoh tertentu yang bertanggung jawab
21
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 362.
untuk pelayanan-pelayanan yang khusus. Di sini kita diingatkan kepada situasi

dalam Kisah Para Rasul pasal 6, dikatakan bahwa tujuh orang diangkat untuk

melayani janda-janda.

Prinsip lainnya ialah Imamat semua orang percaya. Setiap orang mampu

untuk berhubungan dengan Allah secara langsung. Beberapa nas menyatakan hal

ini secara jelas maupun secara tidak langsung (Rm.5:1-5; I Tim.2:5; Ibr.4:14-16).

Sama sekali tidak diperlukan perantara. Semua dapat menghampiri Tuhan karena

sudah ditebus. Dan apa yang berlaku pada awal kehidupan Kristen juga berlaku

seterusnya. Setiap orang percaya dapat mengetahui kehendak Allah secara

langsung.

Bila kita memperhatikan sistem pemerintahan kongregasional merupakan

sistem yang paling memenuhi prinsip-prinsip yang telah kita tetapkan selama ini.

Sistem ini bersungguh-sungguh terhadap prinsip imamat dan kemampuan rohani

dari semua orang percaya. Sistem ini juga bersungguh-sungguh tentang janji

Alkitab bahwa Roh Kudus yang mendiami kita akan menuntun semua orang
22
percaya. dalam beberapa situasi para pemimpin harus dipilih untuk bertindak

atas nama kelompoknya. Mereka yang terpilih dengan demikian harus sadar

bahwa mereka bertanggung jawab terhadap kelompok yang memilihnya; dan

sedapat mungkin persoalan yang penting harus dibahas bersama seluruh

keanggotaan untuk diputuskan bersama pula. Dan prinsip bahwa keputusan yang

terbaik dibuat oleh orang-orang yang paling banyak dipengaruhi, tampaknya

mendukung pola otonomi lokal ala kongregasional.

Ada dua situasi yang menuntut kita mengkualifikasikan kesimpulan seperti

di atas tersebut, yaitu:


22
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 364-365.
 Di dalam gereja lokal yang sangat besar ada banyak anggota jemaat yang

mungkin tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang berbagai

masalah tertentu maupun calon-calon bagi jabatan yang ikut mengambil

keputusan, sehingga menjadikan rapat paripurna jemaat kurang praktis.

Dalam kasus semacam ini sistem demokrasi perwakilan tampaknya lebih

dibutuhkan. Bagaimanapun, dalam situasi semacam ini, para wakil yang

dipilih tidak boleh melupakan bahwa mereka harus bertanggung jawab

kepada seluruh kelompok mereka.23

 Di dalam kelompok orang Kristen yang belum dewasa, di mana tidak

terdapat para pemimpin awam yang terlatih dan cakap, seorang gembala

sidang mungkin perlu mengambil lebih banyak inisiatif daripada biasanya.

Namun gembala tersebut hendaknya senantiasa berusaha untuk memberi

instruksi dan membina jemaat agar mereka dapat lebih banyak terlibat

dalam urusan gereja.24

23
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 366.
24
Millard J. Erickson, Teologi Kristen-Volume Tiga, (Malang: Gandum Mas: 2018), hal. 367.
BAB III

TANGGUNG JAWAB GEREJA TERHADAP MASYARAKAT DUNIA

Oleh karena gereja Tuhan itu dipanggil dari dalam dunia ini secara penuh,

kemudian ditempatkan kembali dari dalam dunia ini, maka dengan sendirinya

gereja terpisah secara organisasi, tetapi dari segi tanggung jawab gereja tidak

memisahkan diri dengan dunia ini. Di sinilah kita melihat hubungan antar gereja

dan dunia kongkrit.

a. Tanggung Jawab dalam Bidang Ekonomi

Dalam kitab Injil, Yohanes menuliskan demikian, “Aku datang, supaya

mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan”

(Yoh.10:10b). Melalui ayat tersebut, kita memperoleh gambaran yang jelas


tentang kedatangan Tuhan Yesus ke dalam dunia ini. Dan setiap anak-anak Tuhan

haruslah menunjukkan bahwa hidup di dalam Tuhan Yesus penuh dengan

kelimpahan berkat Allah. Oleh sebab itu, setiap orang Kristen mempunyai

kewajiban memajukan ekonomi dalam segala bentuk. Artinya kita harus sungguh-

sungguh berjuang dengan kemampuan yang ada pada diri kita masing-masing.

Entah itu kemampuan berdagang, bertani, bekerja di pemerintahan atau bekerja di

tempat-tempat lain. Dalam bidang-bidang itu, kita harus menunjukkan bahwa

Tuhan Yesuslah yang25 menjadi sumber berkat. Segala perkara haruslah kita

lakukan dengan tekun dan jujur serta takut kepada Tuhan dan orang-orang yang

demikian akan dapat memajukan ekonominya, baik dalam keluarga maupun yang

berakibat bagi negara. Paulus pernah berkata, “yang tidak bekerja janganlah

makan” (2 Tes.9-10).

Dengan demikian, seharusnya orang-orang Kristen mempergunakan segala

talentanya untuk memajukan ekonominya, baik dalam rumah tangganya sendiri

maupun ekonomi yang lebih luas, yaitu negara. 26

b. Tanggung Jawab dalam Bidang Sosial Politik

Sekarang ini banyak orang-orang Kristen yang istimewa dalam pemerintahan.

Sebenarnya kedudukan itu besar pengaruhnya dalam suatu negara. Paulus

menasihati Timotius demikian:

“Sebab itu nasehatku pertama-tama supaya permohonan doa permintaan dan

perihal mengucap syukur bagi segala raja dan segala orang besar-besar

25
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.118.
26
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.119.
supaya kita boleh melakukan sesuatu kehidupan yang aman dan sejatera di

dalam segala ibadat dan hal yang sopan”.

Dengan ini, kita mengerti bahwa kedudukan orang-orang beriman dalam

suatu negara itu besar sekali pengaruhnya. Doa orang-orang beriman juga

ditujukan untuk segala pergolakan yang ada dalam pemerintahan. Khususnya

dalam menentukan pola-pola dalam pemerintahan, tidak terkecuali ketentuan

politik, untuk itu anak-anak Tuhan tidak boleh menutup mata. Karena kita sebagai

orang beriman tidak dapat kompromi dengan kesalahan. Itulah yang merupakan

tanggung jawab kita yang paling besar, di maa kita tidak boleh segan-segan

menyatakan yang salah. Oleh karena itu juga, Paulus menasehatkan Timutius

berdoa untuk orang-orang besar supaya mereka tidak sendirian dalam menentukan

garis politik, melainkan Tuhan turut serta campur tangan.

Sebagai orang beriman dan warga negara yang sudah merdeka sudah

sepatutnya kita berdoa agar negara ini selalu berada dalam anugerah Tuhan serta

mendapatkan keadilan dan kemakmuran. Maka dalam suasana politik

bagaimanapun juga anak-anak Tuhan harus berdiri sebagai hamba Tuhan yang

teguh. Karena maju dan mundurnya sebuah negara juga bergantung permohonan

kita, juga campur tangan kita dalam bidang politik.27

c. Tanggung Jawab dalam Bidang Pendidikan

Suatu negara dikatakan maju, apabila dunia pendidikannya telah

berkembang baik di seluruh lapisan masyarakat. Tanggung jawab inipun

merupakan tanggung jawab gereja Tuhan. Tetapi untuk pokok ini, di Indonesia

telah dilaksanakan dengan baik, seperti terlihat bahwa hampir di kota-kota sudah

27
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.120.
didirikan sekolah-sekolah, baik Taman Kanak-kanak, SD, SMP dan SMA Kristen,

bahkan perguruan tinggi Kristen sudah di dirikan. Untuk bidang sosial ialan

pendirian penampungan anak-anak yatim piatu atau rumah sakit atau poliklinik

Kristen. Karena hal tersebut sangat erat hubungannya dengan tanggung jawab

terhadap masyarakat dunia, maka apabila gereja harus dapat mendirikan yayasan

sosial lain demi menyatakan kasih Kristus dalam dunia ini.28

d. Tanggung Jawab pada Penyelamatan Dunia ini

Sikap Gereja Terhadap Pekabaran Injil

Apa yang dimaksud dengan gereja? Gereja adalah :

 Gereja adalah persekutuan dari orang-orang yang dipilih Allah

 Gereja adalah tubuh Kristus29

 Gereja adalah persekutuan dari orang-orang yang sudah diselamatkan.

Dan apa yang dimaksud dengan pekabaran Injil? Pekabaran Injil adalah

upaya orang Kristen ataupun orang yang sudah percaya untuk pergi memberitakan

Kabar Baik Yesus Kristus kepada orang lain (termasuk orang yang sudah pernah

mendengar maupun yang sama sekali belum pernah mendengarkan Injil). Dan

Tujuan dari pekabaran Injil ini adalah supaya orang bisa mengenal Allah, supaya

orang bisa mengenal siapa dirinya sendiri, sehingga mereka dapat mengakui

bahwa mereka orang berdosa dan membutuhkan Yesus untuk menghapuskan dosa

mereka dan memperoleh keselamatan daripada Yesus. Dan dalam pekabaran Injil

ini tidak lepas dari pekerjaan Roh Kudus yang sudah tinggal di dalam orang-orang

percaya.

28
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.121.
29
Pdt.Dr.Yakub B.Susabda, Prinsip-prinsip Pertimbangan Utama dalam Administrasi Gereja,
(Malang: Gandum Mas: 2016), hal. 24-26.
Jelas di sini arti daripada pemilihan Allah yang mau tidak mau harus

menyadarkan gereja bahwa kehidupannya hanya ada di dalam ketergantungannya

yang mutlak pada Allah, di luar itu gereja mati. Arti kata mati di sini adalah tidak

lagi berfungsi panggilan gereja, tidak lagi menyatakan kemuliaan TUHAN. Oleh

karena itu, gereja harus mengekspresikan iman yang benar ini, dan menyadari

bahwa tanggung jawabnya yang utama ialah:

 Mempersiapkan gereja supaya menjadi gereja yang bersaksi, di mana

kasih Allah pada dunia yang berdosa ini menjadi kenyataan sepanjang

zaman. (Mat.28:19-20)

 Mempersiapkan dan memperlengkapi orang-orang percaya untuk menjadi

teman-teman sekerja Allah. (Kol.3:12-17)

 Menyediakan jalan bagi orang-orang percaya untuk melayani, karena

gereja haruslah menjadi gereja yang melayani.30

Demikianlah tanggung jawab gereja, di bawah ini merupakan cara-cara dari

penginjilan (Pekabaran Injil):

 Mengadakan Latihan Penginjilan

Kita menyadari bahwa ladang Tuhan ini begitu luas, tetapi orang-orang

yang bekerja di ladang Tuhan ini begitu terbatas. Jika kita melihat jumlah

penghuni dunia ini, apabila kita bandingkan dengan jumlah orang percaya

yang ada sungguh-sungguh tidak sebanding. Oleh sebab itu, hendaklah

kita mengerti terlebih dahulu bagaimana Allah membawa berita

keselamatan melalui kehidupan dan pemberitaan Anak-Nya, Yesus

30
Pdt.Dr.Yakub B.Susabda, Prinsip-prinsip Pertimbangan Utama dalam Administrasi Gereja,
(Malang: Gandum Mas: 2016), hal. 25-26.
Kristus. Ciri-ciri khas pelayanan Yesus Kristus harus kita hayati, karena

itulah dasar bagi semua metode Pekabaran Injil, yaitu:

o Yesus merendahkan dan menyerupakan diri-Nya dengan orang-

orang yang akan dikabari-Nya Injil

- Dia meninggalkan kemuliaan surga dan menjadi manusia

(Yoh.1:14; Flp.2:5-11; Ibr.2:17)

- Dia bersedia melayani (Mrk.10:45). Dia membasuh kaki

murid-murid-Nya (Yoh.13:4)

o Yesus menyangkal diri untuk tunduk kepada kehendak Bapa-Nya

dalam menunaikan tugas-Nya (Yoh.5:30; 6:38; 17:4; Rm.15:3)

Dalam hal ini Yesus tidak menyeleweng dari kehendak Bapa-Nya.

Ia datang bukan untuk tunduk kepada kemauan manusia, juga

bukan untuk melayani kebutuhan medis dan lain-lain. Dia datang

untuk melaksanakan tuntas rencana Bapa-Nya.

Demikianlah pula kita, harus menyangkal diri (Luk.9:23; 14:25-

27), dan sebagai bukti kasih kita kepada Kristus, kita wajib

melakukan perintah-Nya dalam segala segi hidup kita (Yoh.14:15)

sampai tugas kita selesai (Mat.24:13).

o Yesus tidak pernah mencari popularitas bagi diri-Nya, Ia

senantiasa memuliakan nama Bapa-Nya dan menyatakan Bapa-

Nya kepada manusia.

Sikap dan ambisi seorang penginjil kadang-kadang memberi kesan

bahwa ia mencari nama bagi dirinya. Yesus tidak pernah berbuat

demikian (Yoh.5:31). Paulus berkata,”bukan diri kami yang kami


beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami

sebagai hambamu karena kehendak Yesus” (2 Kor.4:5).

o Yesus memberikan nyawa-Nya sendiri untuk “domba-domba-

Nya”

Yesus tidak mementingkan diri-Nya melainkan memberikan diri-

Nya bagi manusia (Yoh.10:11). Paulus menerapkan prinsip salib

ini dalam pelayanan Kristen ( I Kor.4:11,12). Kalau kita

menginginkan upaya mengabarkan Injil “menghasilkan banyak

buah”, kita tidak boleh hidup mementingkan diri sendiri. Tapi kita

harus memikul salib, menyangkal diri dan menyerahkan hak atas

hidup kita kepada Tuhan, supaya kita dapat dipakai Tuhan demi

keselamatan sesama kita. Dalam rangka mengabarkan Injil kepada

sesama, kita harus memberikan diri kita sendiri bagi mereka,

supaya mereka dapat mengerti kasih Allah yang mendorong Dia

menyerahkan nyawa-Nya bagi kita.

Sebagaimana Yesus diutus demikianlah kita diutus (Yoh.20:21). Kalau

kita ingin Allah berkenan akan pelayanan kita, maka kita harus mengikuti

teladan Tuhan Yesus Kristus.31

 Pekabaran Injil Melalui Literatur

Masih banyak orang yang belum mendengarkan Injil dan kita tahu bahwa

jumlah penghuni dunia ini, apabila kita bandingkan dengan jumlah orang

percaya yang ada sungguh-sungguh tidak sebanding. Oleh sebab itu, satu-

satunya jalan keluarnya dari kesukaran itu adalah menerbitkan bacaan

yang diambil dari dalam Alkitab sebagai alat Pekabaran Injil. Jumlah surat
31
David W.Ellis, Metode Penginjilan, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih: 2011), hal.116-118.
selebaran yang sudah dibagikan tidak dapat dihitung jumlahnya, meskipun

demikian, hal tersebut belum memadai dengan jumlah yang diperlukan.

Dengan jujur, kita harus mengakui bahwa penginjilan pribadi merupakan

hal itu yang sukar dilakukan. Untuk itu, kita perlu berdoa kepada Tuhan

cara manakah yang terbaik untuk menggenapkan amanat agung Tuhan

Yesus itu. salah satu metode penginjilan yang tidak kalah dengan metode

penginjilan lain ialah penginjilan melalui literatur.32

 Penginjilan Melalui Radio

Yang menjadi titik tolak atau dasar pekabaran Injil melalui radio, yaitu II

Timotius 2:9 “karena pemberitaan Injil inilah aku menderita, malah

dibelenggu seperti seorang penjahat, tetapi firman Allah tidak

terbelenggu”.

Pada zaman modern ini, Tuhan sanggup menyatakan kemuliaan-Nya

melalui segala macam keadaan dan juga segala materi yang ada. Apabila

melalui hamba-hamba-Nya tidak mungkin dan melalui tulisanpun

terhalang, maka Tuhan akan memakai udara untuk menyampaikan

kehendak-Nya kepada manusia. Sebah kehendak Allah itu adalah agar

tiap-tiap orang memiliki keselamatan di dalam nama-Nya.33

 Penginjilan Secara Pribadi

Satu hal yang menjadi perhatian hamba-hamba Tuhan untuk segala abad

ialah penginjilan secara pribadi. Penginjilan itu sangat menarik dan

menyenangkan. Pelayanan ini sangat sederhana dan dapat dilakukan di

32
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.130.
33
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.134.
mana dan kapan saja. Ada beberapa hamba Tuhan yang mempunyai

pengalaman-pengalaman yang baik sekali dalam pelayanan semacam ini.

Mereka tidak hanya menyampaikan Injil, tetapi akhirnya menjadi saudara

yang dekat sekali dalam Tuhan Yesus.34 Dalam metode penginjilan secara

pribadi, kita harus belajar mengenal kepribadian seseorang, dan

menyesuaikan pola pendekatan dan bobot berita Injil yang akan kita

sampaikan dengan kepribadian orang itu. akan hal ini Paulus berkata “Aku

menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh

memenangkan sebanyak mungkin orang” ( I Kor.9:19-23).35

Untuk menjadi penginjil secara pribadi yang sukses, maka kita harus

mempelajari beberapa hal sebagai berikut:

o Bagaimana cara mendekati orang?

o Perlu mempelajari orang yang akan kita Injili.

o Memperhatikan waktu juga ayat-ayat yang tepat dan selalu berdoa.

o Memperhatikan setiap pembicaraan orang yang akan kita layani.

o Memikirkan penerusan terhadap orang yang kita layani.36

 Penginjilan Di Lapangan Terbuka

Sebenarnya setiap macam penginjilan mempunyai harga yang sama di

mata Tuhan, hanya Penginjilan di lapangan terbuka itu tidak dapat

dipisahkan dengan penginjilan pribadi. Sebab penginjilan terbuka hanya

sebagai jembatan untuk pelayanan pribadi. Dalam penginjilan secara

34
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.136.
35
David W.Ellis, Metode Penginjilan, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih: 2011), hal.124.
36
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.140.
umum itulah membutuhkan pelayanan yang terus menerus sehingga

mereka yang sungguh-sungguh bertobat dan mengerti sungguh-sungguh

tentang pribadi Tuhan Yesus. Kita harus ingat bahwa setiap orang yang

baru bertobat senantiasa membutuhkan kematangan rohani.

Penggembalaan dapat diteruskan melalui penggembalaan pribadi. Waktu

kita ini adalah anugerah Allah di mana kita dapat dengan leluasa

mengabarkan Injil di mana saja dengan cara apa saja, maka jika

kesempatan ini kita pergunakan sebaik-baiknya berarti kita turut serta

menyelamatkan rencana Allah.37

37
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.142.
BAB IV KEPEMIMPINAN PARTISIPATIF (GAYA KEPEMIMPINAN

MASA KINI)

Karunia-karunia dari Tuhan memberikan kemampuan kepada orang-orang

Kristen untuk dapat melakukan pelayanannya dengan sukacita dan bertanggung

jawab. Suatu karunia yang memampukan orang-orang Kristen dapat melayani

Tuhan di dalam gereja (I Kor.7:7); atau suatu karunia khusus yang diberikan oleh

Tuhan dengan tujuan memampukan orang Kristen agar dapat melakukan suatu

pelayanan secara khusus di dalam gereja (Rm.12:28).38

Karunia Roh Kudus merupakan aset Allah yang diberikan dengan Cuma-

Cuma kepada setiap orang percaya, untuk memperlengkapi diri bagi pelayanan

dalam pembangunan tubuh Kristus. Perjanjian Baru dengan tegas membagi

karunia-karunia Roh Kudus menjadi dua kelompok, satu kelompok merupakan

suatu kuasa untuk melakukan mukjizat dan kelompok lain bukan suatu tindakan

mukjizat, yang kelihatannya sama dengan ketrampilan atau tugas sehari-hari.

Keduanya bertalian erat dengan pemberitaan firman Tuhan dan pelayanannya

praktis, dan keduanya saling melengkapi.39

38
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.157.
39
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.158.
Karunia apapun yang diterima, seharusnya dipergunakan dalam konteks

pelayanan Tubuh Kristus. Kedudukan karunia-karunia Roh Kudus adalah sama

dihadapan Allah. Dengan karunia-karunia Roh Kudus, orang-orang Kristen akan

memiliki semangat dan kesetiaan yang tinggi untuk melayani Tuhan. Tujuan akhir

dari karunia-karunia Roh Kudus adalah untuk memperlengkapi orang-orang kudus

dalam pembangunan Tubuh Kristus. Para pemimpin gereja harus dapat melihat

dengan jeli sepak terjang jemaat Tuhan, untuk dapat mempersiapkan dan

memperlengkapi mereka dengan ketrampilan-ketrampilan khusus, sehingga

mereka mampu menjawab semua masalah yang timbul melalui terobosan-

terobosan baru, yaitu melalui kerjasama secara partisipatif sesuai dengan karunia-

karunia yang mereka miliki.40

Terdapat beberapa peranan karunia-karunia Roh Kudus di dalam

kehidupan bergereja:

 Menghangatkan dan mengakrabkan persekutuan anak-anak Tuhan

Jika karunia-karunia Roh Kudus dipergunakan dengan bertanggung jawab,

maka akan tercipta suatu persekutuan yang akrab dan hangat. Tidak ada

seorangpun yang merasa asing di dalam persekutuan. Mereka akan merasa

saling memiliki seorang dengan yang lain.

 Menciptakan suasana yang teratur dan tertib

Di dalam Dia, tubuh seluruh bangunan rapi tersusun, menjadi Bait Allah

yang kudus, di dalam Tuhan (Rf.2:21). Perbedaan karunia tidak

menyebabkan bangunan persekutuan nampak kacau seperti benang ruwet,

namun sebaliknya.

40
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.161.
 Menciptakan iklim kerja yang dinamis

Sesuai kadar pekerjaan tiap-tiap anggota, menerima pertumbuhan dan

membangun dirinya dalam kasih (Ef4:16b). Orang-orang Kristen yang

menerima karunia dari Roh Kudus, tidak hanya mau menjadi pengunjung,

penonton atau pengkritik, tetapi Roh Kudus akan memampukan tiap

anggota untuk melayani sesuai dengan karunia yang mereka miliki.

Sebagai kawan sekerja Allah dengan bimbingan Roh Kudus, mereka akan

saling melayani dan memberitakan Injil Kristus sehingga hal tersebut akan

menyebabkan pertumbuhan, pelipatgandaan warga gereja dapat terjadi dan

berakibah pada pelayanan Lintas Budaya.

Pergerakan gereja dalam Kisah Para Rasul, dapat terjadi oleh

karena pimpinan Roh Kudus dan keterlibatan para pemimpin gereja

terhadap kharisma-karisma Roh Kudus serta memberi kesempatan kepada

jemaat-Nya untuk mengalami kuasa Tuhan.41

41
Pdt. Eddy Palmoen dan Pdt. Insriatmi, Penginjilan, Penjemaatan dan Pendampingan Pastoral,
(Bogor: Yayasan Kasih Abadi :2007), hal.162-163.
KESIMPULAN

Dalam kesempatan ini, setelah saya membaca buku yang menjadi acuan

saya dalam menyusun tugas ini, saya ingin menyimpulkan sedikit hal tentang

harapan saya akan adanya oikumene ini dalam konteks kesatuan gereja. Dalam

konteks kesatuan gereja adalah bukan untuk menyatukan gedung namun

menyatukan eksistensi (fungsi kita ditengah-tengah orang percaya). Sebagai

kesatuan dalam Tubuh Kristus, bahwa semua orang percaya memiliki perannya

masing-masing dan diberikan karunia oleh Allah. Kalaulah kita mengerti tentang

Tubuh Kristus itu sendiri, maka untuk menyatukan gereja ataupun orang-orang

percaya tidaklah terlalu sulit. Karena kita mengerti bahwa yang menjadi

pemimpinnya adalah Tuhan Yesus sendiri dan kita adalah anggota tubuh-Nya.

Begitu banyak sistem pemerintahan gereja, namun di sini saya berharap supaya

semua disadarkan kembali bahwa yang menjadi pemerintah atau pemimpin dalam

suatu gereja itu adalah Yesus. Ia lah yang menjadi kepala dalam gereja, di mana

kita tahu bahwa kita sebagai orang yang sudah percaya adalah tubuh Kristus, dan

Ia adalah kepalanya. Jadi, apa yang diperintahkan oleh kepala itulah yang

dilakukan oleh anggota tubuh.


DAFTAR PUSTAKA

Palmoen, Eddy dan Pdt. Insriatmi. 2007. Penginjilan, Penjemaatan dan


Pendampingan Pastoral. Bogor: Yayasan Kasih Abadi.

David W.Ellis, David. 2011. Metode Penginjilan. Jakarta: Yayasan Komunikasi


Bina Kasih.

B.Susabda, Yakub. 2016. Prinsip-prinsip Pertimbangan Utama dalam


Administrasi Gereja. Malang: Gandum Mas.

Anda mungkin juga menyukai