Mayor I
MK. Teologi Dogma
Pendahuluan1
Untuk mengkomunikasikan ide, pandangan atau isi hati biasanya digunakan lambang-
lambang terlebih jika ingin menjelaskan suatu pengertian yang mendalam dan sulit diuraikan
dengan konsep-konsep yang jelas. Gereja adalah “Misteri” yang nyata namun penuh dengan
kehadiran Allah yang tersembunyi, yang di jelaskan dengan lambang-lambang yang diangkat dari
kitab suci seperti kawanan domba, kebun anggur, ladang, mempelai Kristus, dan sebagainya
(pembukaan sidang ke-II Vatikan). Lambang yang digunakan harus berakar dalam pengalaman
hidup bersama umat beriman supaya lambang tersebut lebih efektif dan dapat dimaknai secara
rohaniah.
Avery Dulles mengembangkan dua model untuk pendekatan terhadap gereja sebagai
“Gambaran”, “Lambang”, image” atau “ type” yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Model yang secara langsung yang dapat dibayangkan misalnya, gereja sebagai kebun
anggur, atau sebagai kenisah.
2. Model yang lebih bersifat abstrak misalnya, Gereja sebagai Institusi atau sebagai
persekutuan.
Namun jika lambang itu diartikan dengan cara berlebihan atau melampaui batas tertentu,
maka lambang tersebut bisa menyesatkan, misalnya Gereja yang dilambangkan sebagai kawanan
domba yang mendengar suara gembalanya, hal ini bukan berarti jemaat harus tunduk, digiring
tanpa inisiatif oleh pemimpin gereja.
1
Avery Dulles, SJ, Model-Model Gereja, diterjemahkan oleh George Kirchberger, SVD (Ende:
Nusa Indah, 1990), Hlm. 16-24
Model ini menekankan aspek kelihatan dan lahiriah yang artinya dapat diterapkan secara
yuridis, gereja secara hakiki merupakan suatu masyarakat konkrit yang mempunyai suatu
konstitusi, seperangkat peraturan, lembaga kepemimpinan, dan sejumlah anggota yang menerima
peraturan-peraturan itu sebagai pengikat mereka (Abbas B.C Butler). Pada periode akhir abad
pertengahan gereja dipandang sebagai “Masyarakat Sempurna”, artinya “masyarakat” didalam
gereja cenderung menekankan struktur kepemimpinan sebagai unsur yang menentukan sedangkan
“sempurna” yang berhubungan dengan hak wewenang dan kekuasaan para pejabatnya tidak bisa
dilebihi.
Teologi Katolik dalam zaman bapa-bapa Gereja dan Abad Pertengahan sampai pujangga-
pujangga besar Skolastik pada abad ke-13, secara relatif bebas dari institusionalisme.
Perkembangan yang sesungguhnya ke arah institusionalisme terjadi pada akhir abad pertengahan
dan sekitar Kontra-Reformasi, ketika teolog-teolog dan ahli-ahli hukum kanon yang menangkis
serangan-serangan terhadap jabatan Paus dan hierarki. 2 Y. Congar dalam tulisannya mengatakan
bahwa berhadapan dengan Reformasi Gereja, Gereja telah mempertegas kekuasaannya. Bukan saja
kekuasaan sendiri, melainkan ditegaskan pula kekuasaan Allah, kekuasaan WahyuNya (pada
2
Avery Dulles, SJ, Model-Model Gereja, diterjemahkan oleh George Kirchberger, SVD (Ende:
Nusa Indah, 1990), Hlm. 34
Beberapa tema dari skema Vatikan I ini dimasukkan ke dalam dekrit-dekrit tentang
kepausan yang ditetapkan oleh Konsili Vatikan I. Gagasan-gagasan lain dari skema tersebut,
kemudian digunakan oleh Paus Leo XIII, Pius XI, dan Pius XII dalam ensiklik-ensiklik mereka.
Gema dari skema Vatikan I ditemukan juga dalam rancangan Konstitusi tentang Gereja yang
disiapkan untuk sidang pertama dari Konsili Vatikan II.6
Ekklesiologi institusional berpikir dalam kerangka pandangan dunia yang statis dimana
segalanya pada intinya tetap sama seperti semula dan karena itu asal-usul menjadi amat penting.
Eklesiologi institusional sangat mengutamakan kegiatan Kristus dalam menetapkan jabatan-
jabatan dan sakramen-sakramen yagn ada sekarang di dalam Gereja. Karena itu Konsili Trente
mengajarkan bahwa ketujuh sakramen dan hierarki yang terdiri dari uskup, imam dan daikon,
3
Yves Congar, Gereja Hamba Kaum Miskin, diterjemahkan oleh R. Hardjono, (Yogyakarta:
Kanisius, 1973), Hlm. 44
4
Avery Dulles, SJ, Model-Model Gereja, diterjemahkan oleh George Kirchberger, SVD (Ende:
Nusa Indah, 1990), Hlm. 35
5
J. Neuner dan H. Roos, The Teaching of The Catholic Church (Staten Island, N.Y.: Alba House,
1967), No. 361, hlm. 123-124.
6
Avery Dulles, SJ, Model-Model Gereja, diterjemahkan oleh George Kirchberger, SVD (Ende:
Nusa Indah, 1990), Hlm. 35
Setelah suatu periode institusionalisme yang ketat dalam eklesiologi, teologi tentang Gereja
sebagai Tubuh Mistik mulai hidup kembali pada abad ke-19. Pada permulaan abad ke-20,
ekklesiologi dibangkitkan lagi dengan mengarahkan perhatian kembali kepada sumber-sumber
Kitab Suci dan Bapa-bapa Gereja. Pada periode ini, seorang Yesuit dari Belgia, Emile Mersch,
mengabdikan seluruh hidupnya untuk membaharui pandangan tentang Tubuh Mistik sebagai
konsep kunci teologi. Ia membuat perbedaan antara Gereja sebagai ‘masyarakat orang beriman
yang telah dipermandikan dan berada di bawah pimpinan para gembala yang sah’ dengan ‘Tubuh
Mistik sebagai kesatuan dari mereka yang menghayati kehidupan Kristus’.9
Pada tahun 1943, Paus Pius XII mengeluarkan ensikliknya yang terkenal Mystici Corporis
Christi, yang didalamnya terdapat definisi dari Gereja Yesus Kristus sebagai Tubuh Mistik
Kristus, dan menetapkan bahwa Tubuh Mistik itu identik dengan Gereja Katolik Roma. “Apabila
kita mau menggambarkan dan menjelaskan Gereja Yesus Kristus ini yang adalah Satu, Kudus,
7
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm. 37-39
8
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm.45
9
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm.49
Vatikan II dalam Ensiklik Lumen Gentium (8-9) menguatkan sekali lagi gagasan bahwa
Gereja adalah Tubuh Kristus, tetapi dengan sedikit perubahan atas dua posisi yang diambil oleh
Mystici Corporis. Lumen Gentium membuat perbedaan antara Gereja sebagai masyarakat hierarkis
dan sebagai Tubuh Kristus, dan mengatakan bahwa kedua bentuk ini saling berhubungan melalui
cara yang dapat dibandingkan dengan hubungan antara kodrat manusiawi dan kodrat ilahi dalam
diri Kristus. Struktur Gereja digambarkan sebagai suatu instrument yang melayani Roh Kristus.
Roh itu menghidupkan Gereja dengan cara membangun Tubuhnya. Tetapi Lumen Gentium tidak
mengemukakan bahwa Gereja Kristus atau Tubuh Mistik tersebut sama dengan Gereja Katolik
Roma.11
Analogi Tubuh Mistik (Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus) mencapai puncak
popularitasnya antara tahun 1940 dan tahun 1950. Pada akhir tahun 1940, para teolog menjadi
sadar akan kekurangan-kekurangan tertentu di dalam model Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus
dan berusaha menghadapinya dengan mengajukan model lain seperti Umat Allah dan Sakramen
Yesus Kristus.12
Kristus adalah sakramen Allah (de Lubac), semua sakramen terutama ekaristi secara hakiki
adalah sakramen gereja yang secara interistik bersifat sosial. Sebaliknya sakramen-sakramen
tersebut menjadi gereja membangun Gereja dan menjadikan gereja itu sakramen. Gereja
merupakan sakramen persatuan erat dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia (Lumen
Gentium artikel 1). Sakramen dalam teologi berarti “tanda Rahmat”, sakramen sebagai bentuk
kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan (Konsili Trente). Sakramen juga menghasilkan tanda
atau mengintensifkan apa yang ditandakan. Sehingga realitas menjadi lebih nyata, lebih teguh dan
10
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm. 28
11
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm.50
12
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm.29
Pandangan Gereja sebagai Sakramen sesungguhnya baru mulai digemakan dan diserukan
pada Konsili Vatikan II. Pada Konsili Trente, para bapa gereja mendefinisikan dengan jelas apa
yang dimaksud dengan sakramen sebagai tanda kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan. Dalam
hal ini, konsili belum menunjukkan secara jelas, Gereja sebagai Sakramen. Juga sejak tahun 1949,
Takhta Suci mengutarakan dalam sepucuk surat tentang kemungkinan keselamatan tanpa adanya
keanggotan nyata di dalam Gereja, bahwa seperti sakaramen permandian, Gereja juga adalah suatu
bantuan umum kepada keselamatan. Namun, Takhta Suci tidak berlangkah sekian jauh sampai
secara terang-terangan menyebut Gereja sebuah sakramen.14 Konsili Vatikan II lah yang nanti
secara terang-terangan menunjukkan dan mengungkapkan Gereja sebagai Sakramen melalui
ensiklik dan konstitusi yang dikeluarkannya.
- Gereja adalah di dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan
mesra umat manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia (LG, art. 1)
- Allah memanggil berhumpun mereka yang dengan penuh kepercayaan mengarahkan
pandangannya kepada Yesus, Pencipta keselamatan dan dasar kesatuan serta
perdamaian, dan membentuk mereka menjadi Gereja, supaya menjadi bagi semua dan
tiap-tiap orang sakramen yang kelihatan dari kesatuan yang menyelamatkan itu. (LG,
art. 9)
13
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm.60-63
14
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm.61
15
Tom Jacobs, “Gereja dan Dunia”, dalam Gereja dan Masyarakat, diedit oleh JB. Banawiratma,
(Yogyakarta: Kanisius 1986), hlm. 24-25
Pandangan bahwa Gereja merupakan Sakramen, hingga saat ini menjadi salah satu model
yang masih dihayati oleh Gereja Katolik. Kendati demikian, harus diakui bahwa sampai saat ini
tipe eklesiologi sakramental mendapat tanggapan yang sangat kecil dalam pemikiran Protestan.
Dewan Gereja-Gereja Sedunia pada pertemuan di Uppsala tahun 1968 menunjuk Gereja sebagai
“tanda persatuan umat manusia yang akan datang”. Tetapi pandangan ini sebenarnya lebih
merupakan gema dari Konsili Vatikan II dibandingkan input khusus protestantisme. Secara
keseluruhan, teologi Protestan lebih mendukung tipe-tipe eklesiologi seperti Gereja sebagai
Pewarta dan Gereja sebagai Hamba.16
Model ini mengutamakan sabda, Gereja dipandang sebagai umat yang dihimpun dan
dibentuk oleh sabda yang dilatarbelakangi oleh bentara raja, yaitu seorang yang mendapat tugas
dari raja untuk mengumumkan suatu keputusan raja bagi rakyat. Gereja memiliki tugas untuk
mewartakan apa yang telah didengar dan diimani yang secara radikal berpusat kepada Yesus dan
kitab suci. Pengutusan gereja adalah mewartakan sabda Allah kepada seluruh dunia (McBrien,
Teolog katolik) yang secara hakiki merupakan persekutuan Kerygmatis dengan demikian kegiatan-
kegiatan lain itu bersifat sekunder. Dengan ini menjadi nampak bahwa model gereja ini bersifat
kerigmatis sebab ia melihat Gereja sebagai pewarta yang menerima satu kabar suci dan memunyai
tugas untuk mewartakannya. Gereja diumpamakan sebagai utusan seorang raja yang datang ke
tempat umum untuk memaklumkan sebuah dekrit raja. 17
Dalam buku The Church yang ditulis oleh Hans Kung, seorang Teolog Katolik, ekklesia
berarti mereka yang diundang oleh bentara. Gereja bukanlah kerajaan Allah, tetapi gereja
mengharapkan kerajaan Allah dan memberikan kesaksian tentang kerajaan Allah dan
16
Avery Dulles, SJ, Model-Model Gereja, diterjemahkan oleh George Kirchberger, SVD (Ende:
Nusa Indah, 1990), Hlm. 71
17
Bdk. Ibid. Avery Dulles, SJ, hlm. 73
Konsili Vatikan II berusaha menonjolkan macam-macam tema yang berasal dari teologi
Barth mengenai Sabda, tetapi konsili tidak puas dengan suatu pengertian tentang Sabda yang
semata-mata profetis. Misalnya dalam Konstitusi tentang Liturgi dikemukakan bahwa “Kristus
hadir di dalam SabdaNya, karena Ia sendiri berbicara, bilamana di dalam Gereja Kitab Suci
dibacakan. Akhirnya Ia hadir bila Gereja bermohon dan bermazmur, karena Ia berjanji: Dimana
dua atau tiga orang berkumpul atas namaKu, di sana Aku berada di tengah-tengah mereka (Mat.
18:20)” (SC, art. 7).19
Pengertian Katolik mengenai Gereja sebagai satu komunitas yang tetap dalam sejarah, yang
di dalamnya Kristus terus-menerus menghadirkan diriNya secara nyata, menghasilkan pandangan
lain mengenai otoritas dalam Gereja. Magisterium Gereja tidak berada di atas Sabda Allah, tetapi
berada di bawah Sabda Allah (Bdk. DV, art.10). Namun, magisterium Gereja telah menerima
otoritas dari Kristus untuk menafsir Sabda Allah bagi Gereja. Hal ini tentunya memengaruhi
pemahaman akan hubungan Kitab Suci dan Gereja.20
Model ini menempatkan gereja pada posisi melayani masyarakat. Gereja harus
memperhatikan pandangan dunia dan belajar dari dunia dan melibatkan diri sebagai bagian dari
keseluruhan keluarga manusia, membagikan pandangannya bagi manusia sama seperti Kristus
yang datang kedunia bukan untuk dilayani tetapi melayani. Dalam buku The Servant Church
(Kardinal Chusing), mengemukakan Yesus datang bukan hanya untuk memaklumkan kedatangan
kerajaan Allah, tetapi untuk memberikan dirinya sebagi realisasi Kerajaan Allah, yaitu untuk
melayani, menyembuhkan, mendamaikan, dan membalut luka-luka. Seperti Orang Samaria yang
baik hati, Gereja harusnya menjadi seorang pelayan bagi yang lain.21
18
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm.75-76
19
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm.81
20
Bdk. Ibid.
21
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm.84-86
Ketika model Gereja Institusional mulai kurang berpengaruh, maka ada pergeseran dari
kategori-kategori kekuasaan kepada kategori-kategori cinta dan pelayanan. Orang beriman boleh
menyambut dengan gembira aliran yang memandang Gereja sebagai Hamba, sebagai suatu tanda
kemajuan spiritual. Tetapi konsep tentang pelayanan harus didefinisikan dengan hati-hati, supaya
kekhasan perutusan Gereja dan identitasnya tetap nyata.24
22
Yves Congar, Gereja Hamba Kaum Miskin, diterjemahkan oleh R. Hardjono, (Yogyakarta:
Kanisius, 1973), Hlm. 103
23
Avery Dulles, SJ, Model-Model Gereja, diterjemahkan oleh George Kirchberger, SVD (Ende:
Nusa Indah, 1990), hlm. 87
24
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm.94-95
Model persekutuan murid-murid, meski hamper tidak pernah muncul dalam literatur
teologis Katolik dari abad-abad terakhir, tidak asing bagi tradisi Katolik. Ungkapan persekutuan
murid-murid, tidak muncul secara tersurat dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, tetapi
dokumen-dokumen ini lebih dari dua puluh kali menyatakan anggota Gereja sebagai murid. Dari
situ hanya perlu sebuah langkah pendek untuk menyebut Gereja sebagai Persekutuan Murid-Murid
sebagaimana dilakukan oleh Yohanes Paulus II.26 Para Uskup Amerika Serikat, dalam surat
pastoral mereka yang berjudul “The Chalenge of Peace” dalam satu alinea yang penting
mengatakan demikian: “Kita dapat dengan mudah mengenal bahwa kita hidup dalam dunia yang
semakin terasing dari nilai-nilai Kristen. Untuk menjadi murid yang sejati, kita harus menjalani
satu kursus pengantar untuk masuk kedalam persekutuan murid Kristen yang dewasa. Kita
senantiasa harus mempersenjatai diri untuk dapat menyatakan iman Gereja yang penuh dalam
masyarakat yang semakin sekular”.27
Penutup
Model-Model Gereja menurut Avery Dulles ini merupakan sebuah pemikiran besar dan
sungguh menampakkan wajah gereja bahkan hingga saat ini. Kendati demikian, kita tidak bisa
melihat bahwa bentuk yang satu kemudian menggantikan bentuk yang lain. Melalui sejarah
perkembangan dogma, kita bisa melihat bahwa model yang satu justru menyempurnakan/
memperkaya model yang lain, karena pada dasarnya model-model ini tentu telah melewati proses
refleksi yang panjang, yang pada waktu-waktu tertentu perlu mendapat penegasan dogmatis
tertentu dari otoritas gereja itu sendiri.
Kepustakaan :
Congar, Yves. Gereja Hamba Kaum Miskin, diterjemahkan oleh R. Hardjono. Yogyakarta:
Kanisius. 1973.
25
Ibid. Avery Dulles, hlm. 187
26
Ibid.
27
Ibid. Avery Dulles, SJ, Hlm.198