Anda di halaman 1dari 47

TEOLOGI LITURGI

1. Apa itu Teologi Liturgi?


Letak Liturgi dalam Panca Tugas Gereja.
Kerygma : pewartaan
Diakonia : pelayanan
Koinonia : persekutuan
Liturgia : Perayaan
Martiria : kesaksian
• Liturgi adalah perayaan resmi iman Gereja yang dirayakan secara publik. Perayaan ini tentunya
berpusat pada Tuhan.
• Sebagai perayaan resmi, liturgi bukanlah perayaan yang sifatnya fakultatif (bisa dirayakan bisa
tidak) dan liturgi bukanlah sebuah aktifitas tambahan bagi Gereja.
• Tempat Liturgi adalah di dalam Gereja, dan tempat Gereja adalah di dunia, maka dalam liturgi
Gereja menata relasi yang tepat antara materi-materi ciptaan menjadi lambang-lambang lahiriah
yang menunjuk ke arah yang ilahi, kepada Allah sendiri.
• Liturgi memakai lambang-lambang lahiriah dan kata-kata yang menunjuk kepada makna rohani,
dan lambang-lambang lahiriah dan kata-kata itu harus sesuai/sejalan dengan makna rohaninya
• penilaian liturgis terhadap makna rohani selalu yang dilihat adalah lambang-lambang lahiriah dan
kata-kata yang digunakan dalam liturgi.
• Liturgi tidak bisa diisolasi dari kehidupan orang Kristiani karena liturgi mengaktualisasikan
identitas hidup orang Kristiani itu sendiri.
• Masa depan dunia adalah menjadi Bait Allah dan masa depan manusia adalah berpartisipasi dalam
liturgi eskatologis.
Bagaimana Teologi Liturgi itu dipahami?
• Teologi itu ibarat grammar.
• Meskipun kita bukan ahli tentang tata bahasa, tetapi kita tau apa itu tata bahasa dengan cara
menggunakannya.
• Mungkin saja kita tidak bisa menjelaskan dengan detail seperti apa tata bahasa Indonesia yang baik
dan benar karena kita bukan sastrawan, tetapi kita menggunakan tata bahasa itu setiap hari.
• Sebaliknya, mungkin juga ada orang yang pintar menjelaskan suatu tata bahasa tertentu dengan
baik, tetapi dia tidak bisa menggunakan bahasa itu dengan baik, bahkan tidak bisa berbicara atau
berkomunikasi dengan bahasa itu dengan fasih/baik dan benar.
• Misteri Bahasa terlihat dari penggunaan Bahasa saat kita menjelaskan sesuatu kepada orang lain,
pada saat itu kita tidak sedang menjelaskan grammar (tata/aturan Bahasa) tetapi kita menjelaskan
dan menguraikan sesuatu/ide menggunakan grammar yang sudah kita pelajari sebelumnya.
• Seperti seorang guru Bahasa Indonesia yang mengajarkan tata Bahasa (grammar) Bahasa Indonesia
menggunakan kata dan Bahasa Indonesia.
• Ada orang yang berbicara dengan Bahasa Indonesia kemudian ada ahli Bahasa yang menganalisa
struktur dan tata Bahasa yang dia gunakan.
• Mengerti grammar adalah hal mendasar dalam hidup manusia khususnya saat berkomunikasi.
• Seseorang bisa saja merangkai kata-kata menjadi kalimat walaupun dia tidak bisa membedah
kalimat itu berdasarkan struktur dan aturan tata Bahasa.
• Ini pertanda bahwa dia mengerti grammar.
• Buku tata Bahasa adalah untuk para spesialis “sastrawan” atau para guru tata Bahasa atau untuk
mereka yang khusus belajar tata Bahasa, akan tetapi grammar/tata Bahasa itu sendiri adalah untuk
semua orang yang ingin berbicara dan menulis dan mengungkapkan ide dan pendapat.
• Tema utama dari buku grammar/tata bahasa adalah grammar/tata Bahasa, sedengkan tema utama
pembicaraan orang-orang pada umumnya (yang menggunakan grammar/tata Bahasa) adalah “apa
saja”.
 Itu juga berlaku untuk teologi
• Semakin kita trampil dalam menulis dan berbicara maka semakin mendalam pulalah pemahaman
dan pengetahuan kita tentang grammar
• Seseorang bisa saja menjadi seorang teologh walaupun dia secara akademis tidak kuliah teologi
secara formal.
• Bisa saja seseorang bicara secara teologis pengalaman imannya secara sangat mendalam walau pun
dia tidak pernah mendapat kuliah teologi sama sekali.
• Kehadiran para teolog formal (orang yang belajar teologi secara akademis) diharapkan bisa
membantu penghayatan liturgi umat.
• Liturgi berperan membangun sebuah “grammar” iman untuk umat untuk mengekspresikan
imannya.
 Teologi adalah grammar iman.
 Teologi Liturgi adalah grammar iman dalam tindakan.
• Persoalan pokok teologi liturgi tidak terletak pada ritual-ritual liturgi melainkan pandangan dan
sikap teologis Gereja (kesadaran iman Gereja) di hadapan Allah melalui Kristus dalam kesatuan
dengan Roh Kudus.
• Untuk menyingkap teologi liturgi kita pertama-tama harus memulainya dengan mendalami makna
teologi yang sederhana, serba biasa dari ritus yang ada.
• Teologi liturgi berbicara tentang makna teologis di balik aneka macam ritus, ritual dan ekspresi
iman dalam liturgi, termasuk makna iman di balik peraturan-peraturan, makna teologis di balik
peralatan, perlengkapan, material, instrument liturgi.
• Guru Bahasa Indonesia (pengajar tata Bahasa) menganalisa struktur Bahasa Indonesia,
menganalisa aturan-aturan tata Bahasa Indonesia, tetapi dia tidak menciptakan struktur dan tata
Bahasa dan tidak menciptakan Bahasa Indoensia.
• Teologi liturgi ada untuk mendalamai dan menganalisa liturgi dan ritus, hukum-hukum liturgi, dll.,
tetapi tidak menciptakan ritus dan tidak menciptakan hukum-hukum liturgi.
Itu yang terjadi dengan teologi.
• Teologi itu seperti grammar, atau lebih tepatnya, teologi adalah grammarnya iman.
• Mungkin saja kita tidak paham teologi dengan baik, atau bahkan ada umat yang tidak pernah kuliah
teologi, bahkan sekolah pun tidak, tetapi dalam praktek, dia menjalankan imannya, berdoa dengan
tekun dan sepenuh hati, ke gereja, hidup moralnya baik dan benar, menaati aturan gereja, dst.
• Maka, orang yang paham apa makna teologi, meskipun dia tidak bisa menjelaskannya secara
teoritis, tetapi dalam praktek dia bisa membuktikan bahwa dia paham teologi.
• Sebaliknya ada orang yang mengerti teologi secara teoritis tetapi tidak tau (tidak mau)
menerapkannya.
• Liturgi ibarat bahasa atau kalimat yang diutarakan.
Liturgi itu seperti bahasa yang kita utarakan atau ungkapkan.
• Mungkin saja ada orang yang mengungkapkan iman dan keyakinannya akan Kristus lewat perayaan
iman, menjalankannya dengan hati yang sungguh, keyakinan yang penuh akan Kristus yang
menyelamatkan, menjalankan ritus liturgi secara tepat, menghayati makna liturgi dari hati yang
tulus, meskipun dia tidak pernah kuliah teologi dan tidak bisa memberi penjelasan iman secara
teologis-sistematis.
• Ketika kita berbicara, kita mengungkapkan rangkaian kata yang terstruktur dan tertata sesuai
dengan aturan tata bahasa/hukum bahasa meskipun saat itu kita mungkin tidak sedang membahas
tata bahasa itu sendiri.
• Saat berliturgi (merayakan iman) kita tidak sedang menjelaskan apa itu liturgi atau apa itu doa,
melainkan pada saat itu kita sedang melaksanakan ‘berdoa’ itu sendiri.
Lalu apa itu Teologi Liturgi ?
• David W. Fagerberg mengatakan Teologi Liturgi itu ibarat grammar dalam tindakan.
Itu seumpama orang yang menjelaskan tata bahasa/grammar menggunakan bahasa itu sendiri.
• Baik penjelasan dan topiknya adalah grammar.
• Lebih jauh lagi, Fagerberg menekankan bahwa perayaan liturgi itu (lex orandi) adalah teologi itu
sendiri (lex credendi).
• Dalam Teologi Liturgi ditekankan betapa pentingnya integrasi antara teori dan praktek.
• Dibalik praktek/perayaan liturgi ada teori (teologi) yang mendasarinya.
• Antara teori dan praktek harus menyatu.
• Praktek-praktek liturgi itu mempunyai teologi yang mendasarinya. Misalnya : mengapa altar di
letakkan di tempat tertentu dalam gereja, dasar teologisnya apa? Atau mengapa menggunakan dupa
saat misa? dst.
• Dalam Teologi Liturgi ditekankan pentingnya integrasi antara lex orandi dan lex credendi.
Liturgi selalu mengambil tempat dalam Gereja
• Liturgi adalah salah satu dari panca tugas Gereja. Liturgi mempunyai dua aspek yang mendasarinya
yakni,
1) liturgi adalah tindakan Gereja dalam merayakan imannya, dan
2) tindakan Allah yang menyelamatkan dan hadir di dalam Gereja.
• Gereja sebagai tubuh Kristus juga sekaligus mempunyai struktur dan aturan-aturan yang mengikat
baik itu aturan-aturan ilahi (teologis) maupun tata aturan lahiriah (praktis).
• Apakah yang lebih dahulu ada perayaan cultis perjamuan dalam tradisi Gereja, baru kemudian
perayaan itu direfleksikan dalam terang iman dan kemudian perayaan kultis itu dilahat dan dihayati
sebagai perayaan Ekaristi, karya keselamatan Kristus?
• Atau, apakah Jemaat perdana lebih dahulu menghayati karya keselaatan dari Yesus kemudian
mengekspresikannya dalam ritual perayaan liturgi Ekaristi?
• Kembali ke pertanyaan klasik, apakah perayaan lebih dahulu ada baru kemudian teologi atau
sebaliknya? Mana yang lebih dahulu ada: Gereja atau Liturgi? dst.
• Kilmartin : Pada milenium pertama (abad 0-10) secara umum dapat dikatakan tata ibadat dan
perayaan iman (lex orandi) direfleksikan menjadi teologi (lex credendi).
• Dengan kata lain, teologi berangkat dari praktek iman (perayaan liturgi). Misalnya praktek-praktek
jemaat perdana yang sering berkumpul merayakan iman, kemudian direfleksikan menjadi teologi,
misalnya baptisan, Ekaristi, Krisma, pengurapan orang sakit, dst.
• Sejak milenium ke dua (abad 10 hingga sekarang) refleksi teologis Gereja (lex credendi) yang
mempengaruhi perayaan liturgi (lex orandi), atau dapat dikatakan liturgi berangkat dari refleksi
teologi.
• Hal itu bisa terlihat misalnya sejak teologi transubstansiasi, praktek liturgi menjadi berubah, fokus
hanya pada apa yang terjadi di altar.
• Ada kecenderungan saat ini bahwa bisa saja orang membuat refleksi teologi liturgis tanpa
pengetahuan tentang tradisi.
• Hal ini tidak selalu buruk karena berangkat dari pengalaman kongkrit saat ini, dan biasanya lebih
relevan dengan situasi umat.
• Tetapi di sisi lain ada resiko melantur (ngawur) dan bahaya menjadi liar dan kemudian membuat
liturgi seenaknya.
Penting diingat !!!
• bahwa liturgi bukan sekedar “audio visual” untuk suatu refleksi teologis atau doktrin.
• Liturgi bukan sekedar penyederhanaan doktrin teologis bagi umat beriman.
• Liturgi adalah tindakan teologis. Liturgi adalah teologi dalam praktek. Lex orandi, lex credendi.
• Ada kelompok tradisionalis yang sangat kuat berpegang pada tradisi.
• Di satu sisi kelompok ini membantu mengingatkan Gereja akan sumber-sumber awal perayaan
liturgi,
• Juga mengingatkan bahwa apa yang dirayakan saat ini adalah perayaan iman Gereja yang satu dan
sama serta sudah ada sejak pertama kali Gereja berdiri.
• Di sisi lain kelompok tradisonalis bisa terjebak pada masa lampau, kemudian liturgi dijadikan
media nostalgia.
Dari mana Teologi Liturgi berangkat ?
• Teologi Liturgi sebaiknya berangkat dari liturgi itu sendiri.
• Mencari makna dari keseluruhan ritus, bukan hanya teks dan rubrikya saja tapi keseluruhannya.
• Teologi Liturgi tidak mencari-cari suatu interpretasi simbolis dari liturgi, melainkan menggali
makna iman yang terkandung di dalam perayaan liturgi yang dirayakan.
• Teologi Liturgi tidak dirancang untuk mengeksploitasi teks-teks Kitab Suci untuk pembenaran
ritus-ritus liturgi.
• Teologi Liturgi tidak dirancang untuk mengeksploitasi liturgi demi kepentingan perasaan dan
nostalgia masa lalu.
• Kavanagh : Liturgi adalah tempat di mana Gereja mengungkapkan dan mewartakan imannya akan
Allah sesuai kehendakNya untuk hadir secara nyata baik di dalam Gereja maupun dunia. Liturgi
adalah iman gereja dalam ‘motion’ (ritual).
• Robert Taft : Liturgi adalah tindakan keberlangsungan secara terus menerus dari karya
keselamatan dari Putra Allah.
Perbandingan dari liturgi Yahudi
• kita tidak bisa membantah bahwa Liturgi Gereja kita juga berakar dari liturgi dan tradisi bangsa
Yahudi.
• Yesus sendiri ikut dan terlibat dalam liturgi dan budaya Yahudi pada zamanNya.
• Dari liturgi bangsa Israel kita diingatkan bahwa pada prinsipnya kita tidak menggunakan liturgi
untuk melestarikan masa lalu.
• Menghargai tradisi adalah suatu keharusan karena iman yang kita hayati sekarang adalah satu
kesatuan dan merupakan bagian dari iman Gereja sejak awal mula.
• Iman yang kita hayati sekarang tidak sedang dimulai tiba-tiba saat ini, tetapi iman yang kita terima
dari tradisi.
• Tradisi Gereja meneruskannya kepada generasi sekarang dan seterusnya.
• Di sisi lain, menghargai tradisi bukan berarti harus mengabaikan masa kini.
• Perlu melihat relevansi tradisi terhadap ekspresi iman masa kini
• Menghormati tradisi liturgi bukan pertama-tama mencari sebuah “original event” dan
menjadikannya sebagai patokan absolut terhadap perayaan liturgi.
• Liturgi sebagai sebuah teologi tidak berangkat dari fakta historis suatu ritual, melainkan berangkat
dari Sabda yaitu Kitab Suci sebagai “revelation” (pewahyuan) Allah sendiri.
• Teologi liturgi adalah disiplin ilmu teologi bukan ilmu sejarah, meskipun keduan-duanya tidak bisa
dipertentangkan.
• Teologi Liturgi tidak berangkat dari “original event” melainkan dari “original purpose” (maksud
asli) dari Allah:
• Original purpose = Allah menyelamatkan.
• Seperti halnya bangsa Israel, kita tidak menggunakan liturgi untuk mempertahankan ritual itu
sendiri.
• Kita tidak menggunakan liturgi untuk mempertahankan perayaan-perayaan pesta masa lampau atau
event-event masa lalu.
 Bahkan museum pun dibuat untuk kepentingan riset masa kini dan masa depan, bukan sekedar
Gudang sejarah masa lalu.
• Teks-teks Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru yang kita miliki tidak kita pakai sebagai teks
sejarah atau original event’ (peristiwa asli).
• Kitab Suci adalah buku iman yang menunjukkan kepada kita maksud yang asli dari Allah (the
original purpose) yaitu: Allah menyelamatkan kita.
• kita tidak mengeksploitasi teks-teks Kitab Suci untuk pembenaran ritus-ritus liturgi, dan juga tidak
mengeksploitasi liturgi untuk kepentingan perasaan dan nostalgia masa lalu.
• Liturgi adalah perayaan iman akan kehadiran keselamatan dari Allah hari ini di sini.
• Pengalaman dan ekspresi iman kita itu banyak dan bervariasi, akan tetapi tindakan Allah itu hanya
satu, yaitu: Allah menyelamatkan, dan tindakan kurban Yesus di salib itu hanya satu kali untuk
semua bangsa di segala zaman.
• Dari tradisi liturgi bangsa Yahudi, kita diingatkan akan kualitas karya keselamatan yang kita
rayakan dalam liturgi Gereja saat ini sama dengan yang ada pada liturgi di masa-masa lampau.
• Masa lampau Gereja tidak lebih istimewa dari masa kini.
• Allah mengasihi umatNya di masa sekarang ini sama seperti Dia mengasihi umatNya di masa
lampau.
• Di hadapan Allah tidak ada jemaat masa lampau dan jemaat masa depan, semua generasi manusia
hadir dan ada dihadapanNya.
• Kita perlu hati-hati dengan konsep/definisi liturgi yang “asli” teristimewa bila konsep “asli” yang
dimaksudkan selalu diidentikkan dengan peristiwa yang terjadi di masa lampau, atau peristiwa yang
terjadi di ‘luar negri’ (di Roma, di Yerusalem, di Eropa, dll).
• Keliru bila menganggap semua yang dari luar itulah yang paling benar, sedangkan apa yang terjadi
sekarang dan di sini (hic et nunc) dianggap duplikasi atau tiruan.
• Tidak jarang kita kurang menghargai rahmat Allah yang ada ‘masa kini’ dan di ‘sini’.
• Tidak ada ‘original event’ (peristiwa asli) dalam Kitab Suci yang dapat digunakan sebagai
model/patron dan dijadikan standard ritual atau standard rumusan formula liturgi.
Maka,…….
• Kisah Malam Perjamuan Terakhir tidak dapat digunakan sebagai model yang pakem atau patron
standard perayaan Ekaristi
• karena satu peristiwa yakni kisah Malam Perjamuan Terakhir bukanlah titik puncak dari karya
Allah, melainkan saksi atas karya keselamatan dari Allah, dan peristiwa itu menunjuk kepada nilai
luhur karya keselamatan dari Allah dalam diri Yesus.
• Kita merayakan liturgi Ekaristi saat ini bukan karna salah satu generasi Gereja di masa lampau
diselamatkan Tuhan dan pernah merayakan “Ekaristi” di masa lampau bersama Yesus saat Malam
Perjamuan Tuhan.
Ingat!!!
• Keselamatan dari Tuhan dianugerahkan untuk semua generasi.
• Generasi Gereja pada zaman para Rasul tidak lebih istimewa dari generasi zaman kita sekarang,
dan juga generasi Gereja yang ada di Roma, di Yerusalem atau di Eropa dengan sejarah Gereja
yang cukup tua tidak lebih istimewa dari generasi Gereja di Indonesia, atau Asia, dst.
• Ambisi yang terlalu berlebihan dalam mengagung-agungkan suatu ritus/ritual liturgi sebagai ritus
asli (original event) bisa merusak liturgi itu sendiri.
Dikatakan merusak karena:
 menjebak umat masuk ke dalam berhala ritual atau berhala liturgi, karena hanya akan membawa
umat sampai pada ritus liturgi itu sendiri
 tidak mengantar umat masuk ke dalam original purpose dari Allah, yaitu keselamatan sejati.
 Liturgi bukan sekedar imajinasi dan rasa haru/bahagia.
Liturgi dan Sejarah Keselamatan
• Di mana letak kedudukan teologi liturgi untuk zaman ini?
• Apakah teologi liturgi masih relevan dan dibutuhkan?
• Apakah liturgi masih dibutuhkan?
• Untuk apa?
• Ke mana arah teologi liturgi dan ke mana arah liturgi?
• Di mana peranan liturgi dalam zaman kita sekarang?
 Perlu menyadari apa hal yang paling mendasar yang menjadi concern dari liturgi yaitu: Tuhan dan
manusia
Yuval Noah Harari:
• Selama ribuan tahun 3 masalah yang selalu menyibukkan pikiran manusia ialah: kelaparan, wabah
dan perang.
“Generasi demi generasi manusia sudah berdoa kepada setiap tuhan, malaikat, dan santa, dan telah
menemukan tak terhitung alat, institusi, dan system sosial, tetapi mereka terus mati dalam jumlah jutaan
akibat kelaparan, epidemi, dan kekerasan. …
… Banyak pemikir dan nabi menyimpulkan bahwa kelaparan, wabah dan perang telah menjadi bagian
integral dari rencana kosmis Tuhan atau karena alam kita memang belum sempurna, dan sampai akhir dunia
pun tidak akan terbebas dari semua itu.”
• Manusia dan kesadaraan akan hal yang suci
• Menurut filasafat agama dan psikologi agama (psychologist of religion), kesadaran akan yang
‘transenden’ (sering disebut : pengalamana akan ‘Allah’) adalah sebuah pengalaman mendasar dan
asli bagi manusia.
• Meskipun istilah untuk yang ‘transenden’ atau ‘Allah’ itu bisa beraneka macam.
• Manusia dan kesadaraan akan hal yang suci
• Pengalaman dan kesadaran seperti itu bukan melulu sekedar perasaan subjektif, melainkan sebuah
pengalaman manusia yang obyektif yang melibatkan keseluruhan aspek dalam diri manusia seperti
tubuh, jiwa, intelektual, keinginan atau hasrat, dan emosi.
• Manusia dan kesadaraan akan hal yang suci
• Pengalaman akan yang transenden berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat
mendasar tentang eksistensi terdalam dari hidup mansia entah itu mereka yang percaya (beriman)
atau tidak percaya.
• Pertanyaan-pertanyaan itu antara misalnya :
 darimana asal mula mausia ?
 Kemana nantinya manusia pergi setelah kematian ?
 Bagaimana dan apa hubungan antara kejahatan dengan dunia ? Bagaiamana kita mengatasi
kejahatan ?
 Apakah ada “sesuatu” (ADA) yang melampaui ‘ada’ dunia yang sekarang ?
• Dalam dialog dengan Habermas di tahun 1994, J..B Metz menyampaikan catatan kritis tentang
sesuatu yang kiranya masih relevan hingga sekarang. Menurut Metz, krisis yang dialami
kekristenan di Eropa tidak hanya menyangkut institusi Gereja saja, melainkan terkait langsung
dengan iman akan Allah sendiri. Untuk menamai jenis krisis yang dimaksud, ia memakai istilah
“krisis tentang Allah.”
• Yang dimaksud bukanlah ateisme militan.
• Krisis ini dialami justru dalam iklim yang ramah terhadap agama.
• Kata ‘Allah’ memang diucapkan dan didengar di mana-mana (dalam pembicaraan dalam pesta-
pesta, dalam klinik-klinik para ahli psiko-analisa, dalam diskursus estetis, dll), tetapi sebenarnya
pantas diragukan, apakah orang sungguh berminat untuk dengan serius memberi makna yang
sepadan pada kata tersebut.
• Atau paling tidak, tidak jelas sebenarnya konsep apa yang ada di balik kata ‘Allah’ yang dipakai
tersebut.
• Kita dapat juga menyebut gejala ini sebagai fungsionalisasi kata/tema Allah.
• Kata/tema Allah dipakai di mana-mana untuk kepentingan dan fungsi yang berbeda-beda, entah
dalam konteks diskusi ilmiah filosofis, dalam kehidupan politik maupun dalam berbagai praktek
penyembuhan-penyembuhan religius.
• Dalam bentuk yang ekstrem fungsionalisasi Allah ini dapat mengambil bentuk pereduksian Allah
menjadi salah satu faktor saja dari psike manusia (psikologisasi).
• Fungsionalisasi Allah ini dapat pula berupa pereduksian Allah menjadi sarana saja bagi
kepentingan politis tertentu (politisasi).
• Dalam agama-agama (dan Gereja) serta oleh penganut agama sendiri, Allah lalu didomestifikasi.
• Allah ‘dilarang’ untuk mengungkapkan tuntutan-tuntutan yang mengganggu kemapanan dan
kenyamanan pribadi.
• “Agama seperti ini tidak lebih dari sekadar nama untuk impian akan kebahagiaan tanpa
penderitaan, obsesi mistis jiwa atau khayalan psikologis-estetis tentang ketakbernodaan manusia.”
• Akibatnya, kehidupan beragama dan menggereja dibatasi ke ruang personal belaka.
• Di satu pihak, kehadiran agama dan Gereja memang disambut dengan gembira karena memberi
jawaban bagi kerinduan dan kehausan banyak orang modern dan postmodern akan ketenangan, rasa
nyaman, hiburan rohani, dan sebagainya.
• Tetapi kalau direduksi pada hal-hal tersebut, agama dan Gereja kehilangan peran sosial-politiknya.
• Agama dan Gereja seperti itu tidak akan memiliki kemampuan untuk bersikap kritis terhadap sistem
yang tidak adil.
• Demikian pula berbagai pengalaman non-identitas dan negatif dalam hidup bermasyarakat tidak
akan dapat dirumuskan secara terang benderang.
• “Agama seperti itu telah menjadi semacam psikologi yang buta terhadap ketakterjangkauan yang
lain dan kepada dunia serta kehilangan daya gugatan politis.”
• Peran agama untuk menawarkan pengalaman kedamaian personal dan penyembuh luka batin tidak
disangkal.
• Tetapi tidak boleh dilupakan bahwa penyembuhan harus mencakup pula dimensi sosial, ekonomi
dan politik.
• Keprihatinan serupa diserukan oleh Paus Fransiskus, dan karena itu teologi perlu mewaspadainya.
• Kita perlu waspada terhadap jenis kehidupan rohani yang menyibukkan diri dengan berbagai olah
kerohanian yang rumit dan memberi kenyamanan tetapi tidak mendorong orang untuk terlibat
dalam upaya membangun dunia melalui evangelisasi.
• Konsumerisme rohani yang lahir dari individualisme yang sempit mungkin menarik, tetapi dapat
mengancam perkembangan hidup beriman yang sejati.
• Di satu pihak Paus menegaskan:
“Gereja sungguh-sungguh membutuhkan nafas doa yang dalam, dan saya sungguh bersukacita karena di
semua lembaga gereja berkembanglah kelompok-kelompok doa, kelompok-kelompok para pemohon,
kelompok-kelompok pembacaan sabda Allah dalam suasana doa dan adorasi abadi Ekaristi.”
• Tetapi di lain pihak, kita perlu waspada dan tidak terjebak dalam godaan dari banyak aliran
spiritualitas dengan ciri privat dan individualistis yang kental karena tidak sesuai dengan tuntutan-
tuntutan cinta kasih, maupun paham inkarnasi.
• Berkaitan dengan tantangan pertama ini sumbangan refleksi dari teologi politik dan teologi
pembebasan tetap relevan.
• Keduanya mengingatkan kita akan dimensi dan konsekuensi sosial politik dari iman.
• Fungsi Ritual dalam Agama (pada umumnya)
Dalam studi fenomenologi agama:
• pada umumnya sebuah ritual atau perayaan keagamaan dirayakan bersama-sama oleh suatu
komunitas atau kelompok tertentu:
 karena didorong oleh kesadaran akan adanya kebaikan yang transenden.
• Ritual atau perayaan keagamaan itu membentuk pengalaman bersama dalam menghadapi hal-hal
negatif dalam hidup sehari-hari dan berusaha mendapatkan kebaikan.
• Suatu ritual atau perayaan iman itu terbentuk dari perpaduan antara kebutuhan-kebutuhan sosial
dan tata aturan (peraturan) hidup bersama yang berlaku di tengah kehidupan sosial tersebut.
Tujuan dari adanya ritual dan perayaan iman itu ialah:
 untuk menghubungkan antara kesadaran akan rasa tidak nyaman atas realitas hidup di dunia dengan
adanya kesadaran akan realitas yang kekal yakni kehidupan ilahi.
Dari sudut pandang fenomenologi, ada tiga fungsi pokok perayaan iman,
• orientasi,
• ekspresi
• affirmasi.
• Orientasi
 Orientasi dari suatu agama tampak dan terwujud dalam aneka bentuk rangkaian perayaan iman.
 Rangkaian perayaan iman itu seringkali menyajikan petunjuk tentang hukum alam, kaitan antara
manusia dan yang ilahi, dan aturan-aturan moral.
• Ekspresi
 Di samping itu, perayaan iman yang sejati merupakan media bagi orang-orang yang merayakannya
dalam mengekspresikan hubungan mereka dengan pribadi yang paling illahi.
• Afirmasi
 Idealnya suatu ritual atau perayaan iman yang dirayakan dalam sebuah komunitas mampu membuat
komunitas tersebut mengatasi aneka macam kekawatiran dan perasaan tertekan.
• Afirmasi
 Perayaan iman itu juga dirayakan untuk mengantisipasi pengalaman pembebasan atau suatau karya
penyelamatan yang datang dari realitas transenden.
• Afirmasi
 Dengan perayaan iman maka ada upaya untuk mengatasi rasa takut dan rasa bersalah serta berusaha
mencapai suatu pengendailan hati dan pikiran.
• Afirmasi
 Tujuan dari perayaan iman adalah untuk mengafirmasi (meneguhkan) pengharapan akan
pembaharuan yang ada dalam diri mereka yang merayakan iman (umat).
• Afirmasi
 tujuan lainnya, untuk mengatasi kematian, menjadi media pemulihan atas situasi dosa dan
mengatasi kecemasan atau persoalan dalam hidup bersama, serta mengupayakan suatu kehidupan
baru untuk saling peduli satu sama lain.
• Buah-buah dari suatu rangkaian perayaan iman sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain
karakter dari suatu agama dan kemampuan agama tersebut dalam merespon dengan situasi
kongkrit.
• Buah-buah dari perayaan iman itu harus mengangkat maratabat manusia menjadi semakin dewasa,
sekaligus menangkal terjadinya ketidakadilan sosial serta menghindari penyelewengan kekuasaan
atau otoritas.
• Saat perayaan iman berlangsung/saat berliturgi, suatu komunitas mengekspresikan kehidupan
imannya menggunakan bahasa liturgis (baik verbal maupun gestural) hingga pada tingkatan
ekspresi yang matang yakni penggunaan simbol-simbol yang penghayatannya menyentuh sampai
pada tataran yang paling pribadi dalam kehidupan sehari-hari.
• Dampak lainnya dari perayaan iman juga tampak dari “hidup baru” yang dihasilkannya, misalnya
peneguhan hidup, rekonsiliasi antara manusia dengan yang ilahi dan antara sesama manusia.
• Wujud nyata dari perayaan iman yang demikian dapat berupa pesta pembebasan, atau kegiatan
pengendalian diri (pantang-puasa, ibadat tobat), pengembangan kepribadian yang otentik (asli).
• Konsep Normatif Ritual/Perayaan Iman
Keistimewaan suatu ritual atau perayaan iman terdapat pada tujuannya yakni:
 mengangkat kehidupan manusia dalam suatu komunitas (umat) hingga masuk ke dalam kesadaran
akan realitas yang illahi yakni kesadaran akan adanya Allah.
• Ritual keagamaan atau perayaan iman tidak dibuat hanya sekedar mengangkat kesadaran manusia
pada level kesadaran manusiawi belaka,
• melainkan sampai pada tataran kesadaran akan adanya pribadi yang transenden disertai karyanya
hadir bagi komunitas (umat).
• Semua perayaan iman yang terdapat pada semua agama memiliki kesadaran akan dimensi vertikal,
sehingga suatu ritual atau perayaan iman itu menjadi media untuk menantikan kehadiran pribadi
yang illahi.
• Dalam hal ini suatu ritual atau perayaan iman dalam suatu agama memiliki dimensi “advent” karena
dengan perayaan itu komunitas (umat) menantikan peranan yang ilahi membawa perubahan yang
lebih baik.
• Sejarah agama-agama menunjukkan bahwa perayaan-perayaan iman dan kegiatan pemujaan yang
terdapat dalam ragam agama merupkan hasil atau buah dari kekawatiran dan ketidaknyamanan
manusia akan “batas akhir”, dalam hal ini batas akhir hidup manusia itu sendiri.
• Hasrat mengatasi keterbatasan ini mendorong manusia untuk membentuk upacara/kegiatan yang
dianggap memiliki tingkatan nilai tertentu dengan maksud mengatasi rutinitas kehidupan sehari-
hari.
• manusia berusaha mencari suatu situasi dunia yang transenden disertai dengan suatu kesadaran
akan adanya dunia yang lain,
• meskipun konsep dunia yang lain itu masih dipengaruhi sangat kuat oleh pengalaman dan konsep
akan rutinitas dunia saat ini.
• Karena itu dalam mengekspresikan pencarian akan “dunia yang lain” itu atau situasi dunia yang
transenden tadi, manusia menggunakan simbol-simbol, mitos dan tindakan ritual.
• Dalam perjalanan waktu pengalaman akan kesadaran atas yang transenden itu kemudian
dirasionalisasi dan akibatnya ialah munculnya kesadaran baru di mana dunia saat ini juga perlu
diubah menjadi baru (lebih baik).
• Perbaikan atau pembebasan yang dialami oleh manusia saat ini di dunia direfleksikan juga sebagai
simbol pemebebasan manusia di “dunia lain” yang transenden.
• Muncul kesadaran akan adanya kaitan atas cara hidup orang beragama di dunia ini akan berdampak
juga nantinya kepadanya pada saat berada di dunia yang transenden.
Prinsip dasar semua ritual/perayaan iman:
 Semua tindakan ritual agama yang memediasi keselamatan memiliki corak (model) ilahi.
 Ada harapan bahwa kegiatan keagamaan akan menjadi media (sarana/perantara/alat) menantikan
dan mengharapkan realitas yang transenden.
 Ritus-ritus yang dijalankan dalam perayaan iman menunjukkan bahwa suatu komunitas orang yang
beriman (beragama) itu menggantungkan hidup pada kekuasaan/kekuatan yang lebih tinggi.
• Adanya ritual/perayaan iman mengindikasikan bahwa suatu komunitas tidak sepenuhnya
menguasai/memegang seluruh kebenaran,
• sehingga komunitas itu masih mengharapkan dan menantikan datangnya kebenaran ilahi serta
menggali makna terdalam dari kehidupan manusia itu sendiri.
• Manusia merayakan iman karena peduli terhadap pembaharuan hidup manusia,
 karena itu perayaan iman juga mau tidak mau harus berurusan dengan nilai dan martabat
pekerjaan/karya yang dijalankan oleh manusia.
Dapat disimpulkan:
 adanya perayaan iman dalam suatu agama adalah untuk menjaga/melindungi manusia dari rasa
tidak nyaman yang diakibatkan oleh kesalahan dan kekawatiran manusiawi
 dan pada saat yang sama menyatakan kemungkinan baru atau peluang baru dalam kehidupan
sehari-hari.
• Manusia dan kesadaraan akan hal yang suci
• Pengalaman akan yang transenden disadari karena munculnya pertanyaan-pertanyaan yang sangat
mendasar tentang eksistensi terdalam dari hidup mansia entah itu mereka yang percaya (beriman)
atau tidak percaya.
• Untuk merespons kesadaran dan pertanyaan mendasar seperti itu, kita menanggapinya dengan dua
arah yakni : arah upward dan arah downward.
Arah Upward :
• orang-orang menanggapinya dengan cara membuka diri terhadap adanya realitas ‘baru’ atau
realitas ‘transenden’ atau dunia ‘lain’ yang juga sebenarnya termasuk bagian dari hidup kita.
• Dan inilah yang sering disebut dengan adoration dan worship (adorasi atau memuja).
• Kita membuka diri terahadap sesuatu yang lebih luhur, mulia dan tak terbatas.
Arah Downward :
• cara ini adalah pertama-tama datang dari atas, dari ‘suatu’ realitas suci, yakni dari Allah.
• Arah downward ini biasanya kita kenal dengan pengudusan atau ikut ambil bagian dalam
kekudusan Allah.
Arah Downward :
• Allah mengkomunikasikan diriNya, rahmatnya, hidupNya kepada kita karena dia mengasihi kita.
• Komunikasi Allah kepada kita tidak melulu dalam bentuk peraturan-peraturan atau hukum-hukum
dan pengajaran-pengajaran, melainkan hidup Allah dan tindakannya kepada kita.
• Liturgi muncul karena adanya kesadaran akan hal yang suci yang datang dari Allah.
• Maka liturgi tidak melulu tindakan manusia (opus hominis) melainkan pertama-tama adalah
tindakan Allah (opus Dei).
• Unsur misteri dalam liturgi adalah perpaduan antara tindakan yang ilahi dengan tindakan yang
manusiawi yang hampir tak bisa dibedakan satu dari yang lain.
• Di sini perbedaan antara teologi liturgi dengan displin ilmu lain (antropologi, psikologi, sosiologi,
dll.)
• menurut teologi liturgi, liturgi adalah tentang bagaimana Allah masuk dalam hidup dan sejarah
manusia khususnya ketika suatu perayaan dirayakan sehingga perayaan itu menjadi tindakan Allah
dan sekaligus adalah tindakan manusia.
• Sedangkan untuk disiplin ilmu lainnya (antropologi, psikologi, sosiologi, dll.) liturgi dilihat hanya
sebagai aktifitas manusia belaka.
Rudolf Otto mengatakan :
• Tidak ada pengalaman religius tanpa suatu realitas suci yang obyektif.
• Kesimpulan Otto ini dia buat setelah mengadakan penelitian terhadap agama-agama tradisional.
Otto berpendapat tentang apa yang dipahami dan diekspresikan oleh penganut agama tradisional tentang
“pribadi yang Suci/transenden” (atau yang kita sebut dengan Allah/Tuhan):
“sesuatu/pribadi” yang penuh dengan cahaya dan kemuliaan, yang kekuasaanyan sangat agung karena
‘sesuatu’/’pribadi’ itu mengendalikan dunia dengan tangganya dan keindahannya melampaui segala
sesuatu.”
Otto menggambarkan ada 4 ciri khas dari yang “Suci” yakni :
1. tak dapat disentuh secara fisik. Yang Suci ini tidak dapat didekati secara fisik, kita hanya bisa
mendekatinya dengan rasa “takut” yang positif (takut akan Allah).
2. berlimpah kuasa dan keagungan. Ketika berhadapan dengan yang Suci ini, manusia merasa bukan
apa-apa dan bukan siapa-siapa.
3. penuh dengan energi dan dinamis. Yang Suci ini mampu menggerakkan kita, memotivasi manusia
untuk bertindak.
4. misterius.
Yang Suci itu tidak terpahami dan tak tertandingi, tidak bisa dijelaskan, intelektual kita tidak bisa
memahaminya. Kepada yang misterius ini manusia selalu menghadapinya atau meresponnya dengan rasa
takut.
Oleh Attila Mikloshazy, ditambahkan karakter ke lima dari yang Suci, yaitu
5. Attractive (menarik) : memikat hati orang untuk mengikutinya.
SACROSANCTUM CONCILIUM
Dokumen Sacrosanctum Concilium:
 dokumen Liturgi yang dianggap cukup progresif dan sarat dengan ide pembaharuan,
 di sisi lain seringkali menjadi bahan polemik karena diinterpretasi dari berbagai sisi yang berbeda
dan motivasi yang berbeda-beda.
beberapa catatan lepas!
(yang sifatnya informal seputar proses berlangsungnya rapat Konsili Vatikan II bidang Liturgi terutama
proses perumusan dokumen Sacrosantum Concilium)
Konflik internal saat itu:
 Terpilihnya Annibale Bugnini terpilih sebagai Penasehat ketua (presiden) Komisi Konsili untuk
bidang Liturgi dan bukan memilih Kardinal Lercaro.
 Sebelumnya Bugnini berperan sebagai sekertaris Komisi Konsili bidang Liturgi, padahal
sebelumnya Bugnini sempat diturunkan ‘pangkatnya’ hanya sebagai “ahli” bukan sebagai
penasehat.
 Bugnini pernah dipindahkan (diberhentikan) dari tugas mengajar liturgi di Universitas
(Kepausan/Pontifical) Lateran karena ide-idenya dianggap sangat progresif.
 Kemudian dipilih Ketua Komisi Liturgi Konsili Vatikan yang baru: Kardinal Larraona, seorang
ahli Hukum Gereja yang sangat konservatif,
 kehadiran Bugnini dalam Komisi Liturgi Konsili sempat dianggap berbahaya, sehingga ia
digantikan oleh Ferdinando Antonelli, OFM.
 Peranan Bugnini dalam proses penyusunan dokumen SC kembali lagi menjadi penting sejak Paus
Paulus VI, menunjuk kardinal Lercaro dan Bugnini melanjutkan agenda KV II bidang liturgy.
 Mereka berdua ditugaskan untuk menangani bidang implementasi Sacrosanctum Concilium.
 Terlihat bahwa proses perumusan dokumen SC sarat dengan diskusi, debat, lobbi antara kelompok
konservatif melawan progresif.
 Maka dapat dikatakan SC adalah hasil dari keputusan yang sangat rumit dan panjang, juga sudah
melewati pertimbangan baik itu kelompok progresif maupun konservatif.
Skema Sacrosanctum Concilium
 Pendahuluan (no. 1-4)
BAB SATU: ASAS-ASAS UMUM UNTUK 36. Bahasa Liturgi
MEMBAHARUI DAN D. 37-40. Kaidah-kaidah untuk menyesuaikan
MENGEMBANGKAN LITURGI Liturgi dengan adat kebiasaan dan tradisi
I. HAKIKAT DAN MAKNA LITURGI bangsa-bangsa
SUCI DALAM KEHIDUPAN GEREJA IV. PEMBINAAN KEHIDUPAN LITURGI
5. Karya keselamatan dilaksanakan oleh Kristus DALAM KEUSKUPAN DAN PAROKI
6. Karya keselamatan, yang dilestarikan oleh 41. Kehidupan Liturgi dalam keuskupan
Gereja, terlaksana dalam liturgi. 42. Kehidupan Liturgi dalam paroki
7. Kehadiran Kristus dalam Liturgi V. PENGEMBANGAN PASTORAL
8. Liturgi di dunia dan liturgi di surga LITURGI
9. Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja 43. Pembaharun Liturgi, rahmat Roh Kudus
10. Liturgi puncak dan sumber kehidupan Gereja 44. Komisi Liturgi nasional
11. Perlunya persiapan pribadi 45. Komisi Liturgi keuskupan
12.13. Liturgi dan olah kesalehan 46. Komisi-komisi lain
II. No. 14. PENDIDIKAN LITURGI DAN BAB DUA: MISTERI EKARISTI SUCI
KEIKUTSERTAAN AKTIF 47. Ekaristi Suci dan misteri Paskah
15. Pembinaan para dosen Liturgi 48. 49. Keikutsertaan aktif kaum beriman
16. 17. 18. Pendidikan Liturgi kaum rohaniwan 50. Peninjauan kembali Tata Perayaan Ekaristi
19. Pembinaan Liturgis kaum beriman 51. Supaya Ekaristi diperkaya dengan Sabda
20. Sarana-sarana audio-visual dan perayaan Kitab Suci
Liturgi 52. Homili
III. PEMBAHARUAN LITURGI (no. 21) 53. Doa Umat
A. Kaidah-kaidah umum 54. Bahasa Latin dan bahasa pribumi dalam
22. Pengaturan Liturgi perayaan Ekaristi
23. Tradisi dan perkembangan 55. Komuni Suci, puncak keikut sertaan dalam
24. Kitab Suci dan Liturgi Missa Suci; Komuni dua rupa.
25. Peninjauan kembali buku-buku Liturgi 56. Kesatuan Missa
B. no. 26. Kaidah-kaidah berdasarkan hakikat 57. 58. Konselebrasi
Liturgi sebagai tindakan Hirarki dan jemaat BAB TIGA: SAKRAMEN-SAKRAMEN
27. Perayaan bersama LAINNYA DAN SAKRAMENTALI
28.29. Martabat perayaan 59. Hakikat sakramen
30.31. Keikutsertaan aktif Umat beriman. 60. Sakramentali
32. Liturgi dan kelompok-kelompok sosial. 61. Nilai pastoral liturgi; hubungannya dengan
C. no. 33. Kaidah-kaidah berdasarkan sifat misteri Paskah
pembinaan dan pastoral Liturgi 62. Perlunya meninjau kembali upacara
34. Keserasian upacara-upacara Sakramen-sakramen
35. Kitab Suci, pewartaan dan katekese dalam 63. Bahasa; Rituale Romawi dan rituale khusus
Liturgi 64. 65. Katekumenat
66-70.Peninjauan kembali upacara baptis BAB LIMA: TAHUN LITURGI
71. Peninjauan kembali upacara sakramen 102-105. Makna tahun Liturgi
Krisma 106. Makna hari Minggu ditekankan lagi
72. Peninjauan kembali upacara Tobat 107-108. Peninjauan kembali tahun Liturgi
73-75. Peninjauan kembali upacara Pengurapan 109-110. Masa Prapaskah
Orang Sakit 111. Pesta para Kudus
76. Peninjauan kembali Sakramen Tahbisan BAB ENAM: MUSIK LITURGI
77-78. Peninjauan kembali Sakramen 112. Martabat musik Liturgi
Perkawinan 113-114. Liturgi meriah
79. Peninjauan kembali sakramentali 115. Pendidikan musik
80. Pengikraran kaul religius 116. Nyanyian Gregorian dan Polifoni
81-82. Peninjauan kembali upacara pemakaman 117. Penerbitan buku-buku nyanyian Gregorian
BAB EMPAT: IBADAT HARIAN 118. Nyanyian rohani umat
83-85. Ibadat harian, karya Kristus dan Gereja 119. Musik Liturgi di daerah-daerah Misi
86-87. Nilai pastoral Ibadat Harian 120. Orgel dan alat-alat musik lainnya
88-89. Peninjauan kembali pembagian waktu 121. Panggilan para pengarang musik
Ibadat menurut Tradisi BAB TUJUH: KESENIAN RELIGIUS DAN
90. Ibadat Harian, sumber kesalehan PERLENGKAPAN IBADAT
91. Pembagian mazmur-mazmur 122. Martabat kesenian religius
92. Penyusunan bacaan-bacaan 123-124. Corak-corak artistik
93. Peninjauan kembali madah-madah 125-126. Gambar-gambar dan patung-patung
94. Saat mendoakan Ibadat Harian 127. Pembinaan para seniman
95-97. Kewajiban mendoakan Ibadat Harian 128. Peninjauan kembali peraturan tentang
98. Pujian kepada Allah dalam tarekat-tarekat kesenian ibadat
religius 129. Pembinaan kesenian bagi kaum rohaniwan
99. Ibadat Harian bersama 130. Penggunaan lambang-lambang jabatan
100. Keikutsertaan Umat beriman Uskup
101. Bahasa
LAMPIRAN:
no. 131. PERNYATAAN KONSILI EKUMENIS VATIKAN II TENTANG PENINJAUAN
KEMBALI PENANGGALAN LITURGI
Dari struktur dokumen SC di atas, terlebih lagi bila kita membaca dan menganalisa isi dari dokumen liturgi
ini, maka kita dapat merangkum secara umum maksud utama dari Konsili Vatikan II melalui SC adalah
sebagai berikut:
 Pembaharuan hidup Umat Allah
 Adaptasi terhada situasi zaman
 Menggalakkan gerakan ekumenis
 Evangelisasi (Pewartaan Kabar Gembira)
Salah satu issu paling populer dalam SC
Aktif-partisipasi
 Issu ini kelihatannya sangat sederhana, akan tetapi sebenarnya mengandung perdebatan yang
sangat panjang dan rumit yang bahkan hingga saat ini belum tuntas pemechaannya.
 Salah satu prinsip penting yang harus diingat saat kita merayakan liturgi ialah kesadaran akan
peranan kita masing-masing dalam sebuah perayaan.
 Ide aktif partisipasi dalam Sacrosanctum Concilium harus dipahami dari akar kata “aktif” itu
sendiri.
 Kata “aktif” yang dimaksud dalam dokumen ini berasa dari kata Latin “actuosa” dan bukan
“activus-a-um”.
 “Activus-a-um” lebih cenderung memuat makna sibuk, melakukan tindakan yang pada umumnya
tindakan secara fisik.
 “Activus-a-um” merupakan oposisi (lawan kata) “passivus-a-um”.
 Dokuman SC menggunakan istilah “actuosa” dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata
“aktif” dan bahasa Inggris “active” sehingga seringkali mengaburkan makna yang sesungguhnya.
 Kata “actuosa” yang dimaksud oleh dokumen SC ialah memuat makna “AKSI”.
 Maka dengan demikian, yang mau ditekankan oleh SC dengan aktif partisipasi ialah agar semua
yang hadir dalam perayaan liturgi ikut terlibat ambil bagian ber-“aksi” atau bertindak.
 Aksi yang dimaksudkan tentunya sesuai dengan peranan dan panggilan masing-masing.
 Aktif partisipasi tidak dimaksudkan untuk menekankan bahwa “semua bisa melakukan semuanya”.
 “Aksi” dalam berliturgi itu terungkap dalam banyak hal.
 Mulai dari gesture (bahasa tubuh), mendengarkan, bernyanyi, membaca, bahkan diam dan hening
seklipun merupakan “aksi” dalam liturgi.
 Aktif partisipasi dalam liturgi bukanlah dimaksudkan agar semua yang hadir dalam suatu perayaan
bisa melakukan semuanya.
 Kita harus mengingat ada tugas-tugas bagian yang hanya bisa dijalankan oleh mereka yang
tertahbis, misalnya doa syukur agung, memberi berkat, mengurapi, dll.
 Sementara umat yang tidak tertahbis mempunyai tugas yang juga sangat penting misalnya lektor,
koor, misdinar, mendoakan Gereja dan dunia, dll.
 Kita harus ingat suatu perayaan litugi harus dilihat sebagai satu kesatuan, jadi meskipun peranannya
berbeda-beda, perbedaan itu tidak bisa dilihat sebagai suatu kasta di mana tugas yang satu lebih
utama dari yang lain.
 Keaktifan itu juga tidak harus selalu aktif secara verbal, misalnya saat doa syukur agung ketika doa
hanya diucapkan oleh imam, itu bukan berarti umatnya diam passif namun sebaliknya ikut aktif
mengikuti doa yang diucapkan oleh imam, dst.
• Liturgi dan Tekhnologi
• Inkulturasi juga harus menyentuh budaya modern.
• Tantangan:
 Ada umat yang ingin mempertahankan budaya tradisional Gereja,
 dan di sisi lain Gereja sendiri harus tanggap atas budaya yang terus berubah termasuk seperti
hadirnya budaya urban dan industrial culture.
Dunia adalah tempat di mana Gereja kita saat ini berada!
Seperti apa situasi dan budaya zaman ini yang harus direspon oleh Gereja (dan liturgi)?
• Salah satu produk kebudayaan zaman sekarang yang paling mencolok adalah ketergantungan
manusia dengan tekhnologi.
• banyak orang saat ini yang sudah menjadi korban dari kemajuan tekhnologi: perang, imigrasi,
climate change, hoax, exploitasi, dll.
• Baik itu kehidupan sosial ekonomi dan politik sangat berpengaruh dan bergantung pada tekhnologi.
• Persoalan-persoalan sosial bahkan lingkungan hidup juga sangat bergantung pada penggunaan
tekhnologi.
• Kecanggihan tekhnologi telah menggeser peranan manusia dengan sangat signifikan.
• Manusia bukan lagi faktor penentu peradaban tetapi tekhnologi.
• Dll.
• Lalu apakah ada dampaknya terhadap liturgi?
• Bagaimana liturgi menanggapi perubahan peradaban yang seperti ini?
• Inkulturasi dalam liturgi juga harus mencakup inkulturasi terhadap peradaban budaya post-modern
yang seperti ini.
• Liturgi dan Media (Elektronik)
• Media elektronik sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari kita entah itu berupa sosial media,
informasi, iklan, dll.
• Media elektronik saat ini sudah mulai menggeser peranan media cetak (printing media).
 Lalu apakah budaya ‘baru’ ini juga akan masuk ranah perayaan Liturgi?
 Sejauh mana budaya media elektronik ini bisa diterima dalam perayaan Liturgi?
• Fungsi media dalam perayaan Liturgi:
• untuk menolong umat dengan elemen-elemen non-verbal dan simbolis dalam berpartisipasi di
dalam suatu perayaan liturgi;
• Media adalah sejenis perantara yang secara positif mendukung dan meneguhkan umat secara
bersama-sama merayakan liturgi sebagai satu komunitas.
• Bagaimana itu diterapkan?
• Penggunaan materi-materi audio-visual dalam perayaan liturgi harus dikaitkan dengan situasi dan
kondisi komunitas yang merayakannya.
• Prinsip penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa elemen-elemen audio-visual haruslah
mendorong umat untuk bisa merayakan liturgi bersama-sama (sebagai satu kesatuan/kominitas)
dan tidak mengganggu hidup doa komunitas dalam perayaan liturgi.
• Thomas A. Kane :
ada 4 momen yang cukup baik dalam upacara liturgis di mana media dapat difungsikan :
• 1. ritus pembukaan:
• untuk mengawali atau pengantar tema perayaan dan memberikan gambaran umum misalnya
melalui suara (bunyi-bunyian), warna, aroma (wangi-wangian), yang memberi gambaran kepada
para hadirin akan tema perayaan liturgi saat itu.
• 1. ritus pembukaan:
• [tanggapan: perlu lihat batasan-batasan yang wajar dan pemahaman konteks budaya umat setempat
apakah media yang digunakan sesuai dan tidak menjadi sandungan]
• 2. Liturgi Sabda:
• untuk merefleksikan tema biblis, sebagai sebuah tanggapan atas bacaan atau bagian dari homili.
• [Pada poin ini sepertinya tidak mungkin diterapkan pada perayaan liturgi Ekaristi.]
• 3. Doa umat:
• untuk menghubungkan kebutuhan dunia dan zaman dengan permohonan umat.
• …
• 4. Sesudah komuni:
• untuk merenungkan/memeditasikan tema biblis dari perayaan liturgis sebagai bagian dari refleksi
atas komuni yang baru disambut.
• [?]
• Beberapa catatan penting tentang prinsip umum penggunaan media (elektronik) dalam
liturgi:
• Penggunaan media khususnya media elektronik dalam gereja juga harus memperhitungkan situasi
kondisi (akustik) dari bangunan gereja itu sendiri.
• Media harus membantu umat untuk terlibat baik itu terlibat dalam mengikuti perayaan liturgi
termasuk dalam kaitannya dengan indra pendengaran dan penglihatan.
• Umat yang hadir harus bisa melihat Selebran, altar, roti dan anggur, bisa melihat apa yang sedang
terjadi di altar, mikrofon tidak terlalu menyolok mata di atas altar.
• Bahan-bahan atau material yang diganakan sebagai media tidak boleh menjadi sangat mencolok
dan menjadi bahan perhatian baik itu di altar maupun di dalam gereja supaya media tadi tidak
menjadi penghalang bagi umat untuk mengikuti perayaan upacara liturgi.
Perlu diperhatikan bahwa:
Penampilan gambar-gambar (images) atau suara-suara yang berlebihan bisa mengganggu bahkan
menghilangkan makna pesan yang terdapat pada teks-teks bacaan dan lagu sehingga mengganggu perhatian
hadirin dan membuat kehilangan pesan yang semestinya.
• Thomas A. Kane:
Penggunaan audio-visual dalam perayaan liturgi perlu melihat beberapa persyaratan:
• Penggunaan audio-visual dalam perayaan liturgi menuntut:
• pemahaman akan kemampuan berpastoral dan berliturgi dalam hal dinamika dan ritme liturgi
disertai juga dengan kepekaan akan kebutuhan jemaat yang merayakannya (paroki misalnya)
• Adanya bakat dan jiwa seni tersendiri ketika “mempresentasikan” suatu upacara liturgis sebagai
satu “paket” (satu kesatuan utuh) yang sedang disuguhkan dalam media.
Thomas A. Kane:
panduan standard menggunakan audion visual dalam perayaan liturgi antara lain:
• 1. menuntut disiplin
• Media elektronik adalah alat untuk mengkomunikasikan sesuatu, termasuk mengkomunikasikan
pesan-pesan iman.
• Mau dan mampu meninggalkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
• Perlu ketajaman dalam:
 menghitung waktu suatu perayaan, kepekaan memahami tema perayaan dan menyampaikannya
kepada umat,
 ungkapan-ungkapan yang digunakan harus terukur dan memiliki gambaran umum mengenai umat
yang menggunakan/melihat media tersebut,
 agenda dari perayaan itu sendiri harus menjadi pusat bukan agenda dari orang tertentu atau kru
yang menayangkan media tersebut.
• 2. menuntut suatu pemahaman prinsip-prinsip estetika
• Media khususnya elektronik di satu sisi harus memperhitungkan keindahan dan semua aspek seni,
tetapi di sisi lain harus diperhatikan batasan-batasan yang wajar dari keindahan suatu seni yang
digunakan oleh media dalam perayaan liturgi.
• Harmony adalah syarat yang sangat penting di sini.
• 3. “discernment”:
• tau dengan jelas akan ekspressi dan mengenal isi dari perayaan
• Saat menggunakan media (elektronik) dalam liturgi, harus disadari saat itu peranan media bukanlah
sedang menayangkan suatu film, bukan konser, bukan juga sedang memberi laporan berita, bukan
kampanye politik, dll.
• Perlu disadari dalam perayaan liturgi bahwa visual presentation (ungkapan yang kelihatan) serta
audio presentation (ungkapan yang didengarkan) harus jelas dan langsung (live), jadi bukan
pengulangan, tidak ada tayangan ulang, juga tidak ada slow motion.
• Ada peranan dimensi batin dalam perayaan liturgi yang tidak bisa direkayasa oleh media.
• Liturgi bukan siaran/tayangan komersial
• 4. tau nilai dari perayaan yang dirayakan dan sedang ditayangkan
• Media (elektronik) harus mampu memberi interpretasi yang tepat terhadap makna perayaan yang
sedang dirayakan.
• Menggunakan media dalam gereja artinya menggunakan yang terbaik (terbaik dalam cara dan
tujuan)!
• Sadar bahwa perayaan liturgi juga bersifat dialogis langsung (directly dialogue)
• Dialogh dalam liturgi bukanlah dialogh yang maya, dan juga bukan dialogh yang berpura-pura.
• 5. kepekaan akan gambar (images)
• Gambar-gambar (images) harus diseleksi sedemikian rupa, sedapat mungkin mempunyai makna
rohani, ada kaitannya dengan tema perayaan,
• juga harus memperhitungakan pemahaman-pemahaman yang wajar dan bisa diterima dalam suatu
masayarakat dan budaya setempat.
• Penayangan gamabar-gambar (images) juga merupakan bagian dari interpretasi atas tema perayaan.
• Penayangan gambar-gambar tidak boleh menjadi pengganggu atau mengaburkan makna perayaan
yang sedang dirayakan.
• Kembali ke issu pokok liturgi:
• Ingat!!!
media adalah sarana, bukan tujuan.
• Media harus membantu umat dalam membangun persekutuan, bukan justru memisahkan umat dan
tidak meciptakan perayaan yang individualis
• tidak ada alienasi umat lewat media atau karena media.
• Media bukan film, tetapi tetap memegang prinsip perayaan itu harus peryaan yang langsung (live)
dan jelas.
• Liturgi harus menjadi teladan dalam merespons budaya tekhnologi saat ini, yaitu menempatkan
manusia pada tempat yang semestinya.
• Tekhnologi adalah media yang membantu kita untuk mendekatkan diri dan mempersembahkan diri
pada Allah.
• Kita bukan hamba dunia, kita bukan hamba tekhnologi, kita adalah anak-akan Allah.
• Ekaristi/missa didesain untuk suatu perayaan yang bercirikan aktif partisipasi umat secara
langsung.
• Televisi idealnya menjadi media yang mewartakan kesaksian iman dalam liturgi.
• Merayakan Ekaristi/missa melalui layar televisi sebenarnya tidak ideal.
• Kalaupun itu ‘terpaksa’ dilakukan, harus diingat bahwa itu karena kondisi yang “urgent” (darurat),
maka tidak bisa dijadikan patokan standard liturgi yang baik atau menganggapnya sebagai hal yang
lumrah.
• Pertanyaan refleksi:
• Apa hubungan antara yang “suci” dengan ”profan”
• Apa itu sekularisasi?
• Bagaimana dengan Panteisme : melihat seluruh dunia ini adalah “suci” karena ada “yang
transenden” di mana-mana.
Perlu diperhatikan!
Penggunaan tekhnologi (sosial media) dalam litugi juga bisa dimasukkan dalam kategori issu inkulturasi
karena tekhnologi dan sosial media merupakan buah dari kebudayaan modern.
Skema inkarnasi merupakan patokan terhadap pengudusan dunia dan juga patokan terhadap inkulturasi.
• Lalu apa itu inkulturasi?
• Inkulturasi tidak menciptakan ritus-ritus alternatif.
• Yang terjadi dalam inkulturasi adalah menerjemahkan ritus Romawi ke dalam bahasa Gereja lokal
dengan mengintegrasikan (memasukkan dan melibatkan) elemen-elemen budaya yang sesuai
dengan tradisi iman Gereja.
• Salah satu pertanyaan penting untuk kita masing-masing ketika kita hendak memberi penilaian
apakah suatu perayaan liturgi itu sudah cukup inkulturatif atau tidak ialah:
“Apakah aku masih merasa sebagai orang asing dalam merayakan liturgi atau tidak?”
• Dengan inkulturasi hendaknya diperhatikan agar tak satu kelompok/etnik group pun yang merasa
terlukai ketika suatu ritus liturgi dirayakan.
• Idealnya, dalam berinkulturasi, setiap anggota jemaat dapat menerima fakta/kenyataan bahwa
dalam liturgi ada peraturan-peraturan liturgi di samping adanya juga elemen-elemen kebudayaan
(lokal) yang harus dihormati.
• Di hadapan Allah dan di dalam Gereja semua suku, ras dan etnik group adalah sejajar.
• Maka semua bahasa bisa dipakai dalam perayaan liturgi memuji Allah,
• semua jenis dan corak karya seni musik dan images adalah terbuka untuk diterima dalam Gereja,
• dan semua ritus-ritus dan simbol-simbol budaya sudah terbukti mempunyai hubungan yang
harmonis dengan kebenaran dan semangat asli dari liturgi.
• Issu inkulturasi tidak pernah bisa di pisahkan dari issu bahasa.
• Bahasa dalam liturgi itu sangat kaya akan makna.
• Bahasa tidak melulu soal kata dalam bentuk verbal dan tertulis, melainkan bisa juga dalam arti
facial dan gestural, dll., dan Bahasa itu mempunyai karakter dialogh.
• Inkulturasi selalu bertujuan untuk membahasakan iman sehingga relevan dengan umat yang
merayakan imannya.
• Bahasa dalam liturgi khususnya dalam ber-inkulturasi mencakup dua pergerakan (movement),
 yang pertama pergerakan dari ekspresi batin (interior expression) menuju ekspresi luar/lahiriah
(exterior expression);
 pergerakan ke dua yakni dari ekspresi luar/lahiriah (external expression) menuju ekspresi batin
(interior expression).
• Interior expressioan mencakup: hati, pikiran, kesadaran, pengalaman dan iman akan Yesus yang
menyelamatkan.
• Inkulturasi adalah Bahasa iman.
• Iman yang sedang kita hayati dalam batin, pikiran, pemahaman, kesadaran, pengalaman, refleksi,
(lex credendi) haruslah diungkapkan dalam ungkapan lahiriah (eksternal ekspression)
menggunakan semua simbol-simbol, verbal gestural, facial, material yang kita miliki.
• Dalam berinkulturasi semua ungkapan dalam bentuk simbol-simbol dan material, yang berasal dari
budaya dan kehidupan sehari-hari, mempunyai nilai dan makna tersendiri,
• Simbol dan materi itu diinternalisasi (dibatinkan) dalam iman sehingga semua ekspresi luar/lahiriah
tadi ahirnya mengandung makna ilahi dan kekal yang melampaui makna dan nilai yang kita lihat
sehari-hari.
• Inkulturasi terbaik dan paling ideal yang pernah ada dan terjadi adalah inkarnasi, Allah menjadi
manusia.
• Dengan melihat patron inkarnasi, maka inkulturasi mempunyai fungsi sangat penting yakni
membawa Kristus hadir ke dunia nyata kita sehari-hari.
• Allah hadir dalam diri Yesus untuk menyelamatkan manusia dari dosa dan kematian, menggunakan
semua bahasa yang dimiliki oleh manusia (bahasa/budaya dunia),
• dan ketika manusia menyadari karya keselamatan itu mereka kemudian meresponnya dengan
menggunakan ekspresi bahasa (budaya) yang ada.
• Ekspresi lahiriah sebagai bahasa iman digunakan karena ekspresi-ekspresi lahiriah itu mempunyai
makna dan nilai untuk keperluan iman umat.
• Karna karya keselamatan dari Allah itu masih terus berlangsung hingga saat ini
• maka dapat dikatakan Allah masih terus menerus mewahyukan dirinya kepada kita,
• Allah masih terus menerus mengkomunikasikan diriNya kepada generasi kita yang hidup pada
zaman sekarang dan juga kepada generasi-generasi selanjutnya melalui pengalaman, kesadaran,
pengetahuan dan melalui semua unsur budaya yang ada.
• Maka dengan demikian, inkulturasi juga akan terus berlangsung tidak pernah berhenti pada satu
titik saja.
• Inkulturasi tidak akan pernah berhenti.
• Untuk konteks zaman kita sekarang, inkulturasi diperlukan juga mempertimbangkan situasi Gereja
kita saat ini yang sudah menjadi Gereja/komunitas yang multi-kultural dan multi-etnik.
Salah satu kegagalan terbesar yang pernah dilakukan oleh manusia dalam sejarah hidupnya ialah:
 Manusia gagal melihat rahmat Allah dalam hidupnya.
 Inkulturasi dalam Gereja adalah untuk membantu umat agar dapat melihat rahmat Allah dalam
hidupnya.
 Inkulturasi tidak dibuat untuk mengutuk atau memecah belah umat/Gereja.
“CAPITA-SELECTA”
SERBA SERBI SEPUTAR LITURGI
Perabot Ibadat pada Umumnya
PUMR 325.
 Seperti untuk pembangunan gereja, demikian juga untuk perabot ibadat, Gereja menyambut baik
cita rasa seni setiap daerah.
Perabot Ibadat pada Umumnya
PUMR 325.
 Gereja juga menerima penyerasian dengan tradisi dan kekhasan masing-masing bangsa, asal saja
sesuai dengan maksud dan fungsi perabot ibadat itu di dalam liturgi.
 Dalam hal ini pun, hendaknya diperhatikan kesederhanaan yang anggun, yang merupakan bagian
utuh dari seni sejati.
Perabot Ibadat pada Umumnya
PUMR 326.
 Mengenai bahan untuk perabot ibadat, di samping bahan tradisional boleh juga digunakan bahan
lain, asal menurut penilaian zaman sekarang dianggap sebagai bahan yang luhur, tahan lama, dan
serasi untuk digunakan dalam liturgi.
Perabot Ibadat pada Umumnya
PUMR 326.
 Konferensi Uskuplah yang hendaknya menentukan kebijaksanaan dalam hal ini.
Perabot Ibadat pada Umumnya
PUMR 348.
 Perabot-perabot lain yang digunakan dalam liturgi atau dipakai dalam gedung gereja hendaknya
selalu pantas dan sesuai dengan tujuannya masing-masing.
 Ini juga berlaku untuk bejana kudus dan busana liturgis yang bahan khususnya sudah dijelaskan di
atas.
Bejana Kudus
PUMR 327.
 Di antara hal-hal yang diperlukan untuk perayaan Ekaristi, bejana-bejana kudus harus dihormati
secara khusus, terutama patena dan piala, tempat roti dan anggur dipersembahkan, dikonsekrasikan,
dan disambut.
Bejana Kudus
PUMR 328.
 Bejana-bejana kudus hendaknya dibuat dari logam mulia.
 Kalau bejana itu dibuat dari logam yang dapat berkarat, atau yang lebih rendah dari emas,
hendaklah bagian dalamnya dilapis emas.
Bejana Kudus
PUMR 329.
 Atas keputusan Konferensi Uskup, yang harus lebih dulu diketahui oleh Takhta Apostolik, bejana-
bejana kudus dapat juga dibuat dari bahan lain yang kuat dan yang menurut anggapan umum
setempat merupakan bahan bermutu, misalnya kayu eboni atau kayu keras lain, asal serasi untuk
digunakan dalam liturgi.
Bejana Kudus
PUMR 329.
 Dalam hal ini, hendaknya lebih diutamakan bahan yang tidak mudah pecah dan tidak mudah rusak.
 Hal ini berlaku untuk bejana-bejana kudus tempat menyimpan atau menaruh hosti, seperti patena,
sibori, piksis, monstrans, dan lain-lainnya.
Bejana Kudus
PUMR 330.
 Piala dan bejana lain yang digunakan untuk Darah Tuhan, hendaknya dibuat dari bahan yang kedap
air. Kaki piala boleh dibuat dari bahan lain yang kuat dan pantas.
Bejana Kudus
PUMR 331.
 Untuk konsekrasi hosti, sebaiknya digunakan patena yang besar; dalam patena itu ditampung hosti
baik untuk imam dan diakon, maupun untuk para pelayan lain dan umat.
Bejana Kudus
PUMR 332.
 Para seniman yang membuat bejana-bejana kudus boleh membuatnya menurut kekhasan budaya
setempat.
Bejana Kudus
PUMR 332.
 Namun, hendaknya bejana-bejana itu serasi untuk digunakan dalam liturgi, dan jelas-jelas berbeda
dari bejana-bejana yang digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Bejana Kudus
PUMR 333.
 Mengenai pemberkatan bejana-bejana kudus hendaknya diperhatikan tata cara yang terdapat dalam
buku-buku liturgis.
Bejana Kudus
PUMR 334.
 Kebiasaan membangun sakrarium (sumur suci) di sakristi hendaknya dipertahankan. Ke dalam
sakrarium inilah dituang air bekas pencuci bejana kudus dan kain-kain (bdk. no. 280).
Busana Liturgis
PUMR 335.
 Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama.
Busana Liturgis
PUMR 335.
 Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang
berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan.
Busana Liturgis
PUMR 335.
 Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis. Seyogyanya busana
liturgis untuk imam, diakon, dan para pelayan awam diberkati.
Busana Liturgis
PUMR 336.
 Busana liturgis yang lazim dikenakan oleh semua pelayan liturgi, tertahbis maupun tidak tertahbis,
ialah alba, yang dikencangi dengan singel, kecuali kalau bentuk alba itu memang tidak menuntut
singel.
Busana Liturgis
PUMR 336.
 Kalau alba tidak menutup sama sekali kerah pakaian sehari-hari, maka dikenakan amik sebelum
alba.
Busana Liturgis
PUMR 336.
 Kalau pelayan mengenakan kasula atau dalmatik, ia harus mengenakan alba, tidak boleh
menggantikan alba tersebut dengan superpli.
Busana Liturgis
PUMR 336.
 Juga, sesuai dengan kaidah yang berlaku, tidak boleh pelayan hanya mengenakan stola tanpa kasula
atau dalmatik.
Busana Liturgis
PUMR 337.
 Busana khusus bagi imam selebran dalam Misa ialah “kasula” atau planeta.
 Begitu pula dalam perayaan liturgi lainnya yang langsung berhubungan dengan Misa, kecuali kalau
ada peraturan lain.
 Kasula dipakai di atas alba dan stola.
Busana Liturgis
PUMR 338.
 Busana khusus bagi diakon ialah dalmatik yang dikenakan di atas alba dan stola. Tetapi, kalau tidak
perlu atau dalam perayaan liturgi yang kurang meriah, diakon tidak harus mengenakan dalmatik.
Busana Liturgis
PUMR 339.
 Akolit, lektor, dan pelayan awam lain boleh mengenakan alba atau busana lain yang disahkan oleh
Konferensi Uskup untuk wilayah gerejawi yang bersangkutan.
Busana Liturgis
PUMR 340.
 Imam mengenakan stola yang dikalungkan pada leher, dan ujungnya dibiarkan menggantung, tidak
disilangkan.
 Diakon mengenakan stola yang disampirkan pada bahu kiri dan ujungnya disilangkan ke pinggang
kanan.
Busana Liturgis
PUMR 341.
 Pluviale dikenakan oleh imam dalam perarakan atau dalam perayaan liturgis lain seturut petunjuk
khusus untuk perayaan yang bersangkutan.
PUMR 342.
 Konferensi Uskup dapat menentukan bentuk busana liturgis yang lebih sesuai dengan keperluan
dan adat wilayah setempat; Takhta Apostolik hendaknya diberitahu tentang penyerasian itu.
• SENI dalam LITURGI
• Musik liturgi
Madah (Hymn)
Lagu Liturgi
• Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa musik adalah bagian sangat fundamental bagi
hidup manusia, karena musik ternyata bagian dari ungkapan dan media komunikasi manusia.
• Banyak hal yang tidak bisa digambarkan atau dijelaskan dengan kata-kata lalu ternyata bisa
diungkapkan lewat musik.
• Musik merupakan salah satu symbol yang sangat penting dalam sejarah hidup manusia
Musik berasal dari bahasa Yunani
• mousike (n.),
• mousikos (adj)
Dalam bahasa latin:
• musica
merujuk kepada seorang dewi Yunani bernama mousa,
yakni dewi kesenian dan ilmu pengetahuan.
Dalam Gerja Katolik, istilah musik Gereja sering dikenal dengan istilah:
• musica sacra.
Pada tahun 1967, setelah Konsili Vatican II, yang sering dianggap masuk dalam musica sacra adalah:
• lagu-lagu Gregorian,
• musik Gereja Orgel,
• dan musik lainnya yang diijinkan (???).
• Sejarah singkat musik, lagu, madah liturgi
• Gereja perdana masih sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi Yahudi, khususnya dalam hal lagu-
lagu liturgis.
• Sejarah singkat musik, lagu, madah liturgi
• Hanya saja liturgi bangsa Yahudi sangat jarang diikuti dengan alat musik.
• Bangsa Yahudi mengenal lagu dalam liturgi, misalnya Yesus menyanyikan Hallel sesudah
merayakan paskah (Mat 26:30; Mrk 14:26).
• Sedangkan tradisi Gereja Perdana mengatakan bahwa jemaat di Efesus dan Kolose dianjurkan
untuk menyanyikan kidung puji-pujian dan nyanyian rohani untuk memuji Tuhan (Ef 5:19; Kol
3:16),
Ef 5:19
dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani.
Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati.
Kol 3:16
Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan
segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-
pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.
• Ada banyak lagi dalam Perjanjian Baru yang memuat madah dan kidung yang kemungkinan besar
berasal dari tradisi perayaan liturgi, di mana lagu-lagu mulai ada dalam proses ‘transmission’
dan dihafalkan, misalnya:
 Luk 1:46-55; 1:68-79; 1:29-33;
 Yoh 1:1-18;
 Flp 2:6-11;
 dll.
• Luk 1:29-33
"Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.
Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah
engkau menamai Dia Yesus.
Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan
mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya,
dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak
akan berkesudahan."
• Luk 1:46-55
"Jiwaku memuliakan Tuhan,
dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku,
sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala
keturunan akan menyebut aku berbahagia,
karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah
kudus.
Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia.
Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang
congkak hatinya;
Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah;
Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan
tangan hampa;
Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya,
seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-
lamanya."
• Flp 2:6-11
yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan,
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama
dengan manusia.
Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai
mati di kayu salib.
Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,
supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang
ada di bawah bumi,
dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!
Lagu-lagu yang populer dan menjadi nyanyian gerejawi pada zaman Gereja perdana ialah:
• Mazmur,
• berbagai madah (himne),
• lagu kemuliaan,
• Te Deum.
Dengan kata lain, Gereja perdana sudah mengenal dengan baik akan peranan penting lagu (dan musik)
dalam liturgi.
• Sesudah abad ke-4 liturgi dirayakan sudah lebih meriah, sehingga musik sebagai pendukung
kemeriahan liturgi juga mewarnai litugi Gereja saat itu
• Gereja pada abad ke-4 juga masih melanjutkan tradisi awal yaitu menyanyikan Mazmur dengan
model yang lebih baru misalnya adanya Mazmur tanggapan yang dibawakan oleh solis, koor, atau
umat bergantian.
• Muncul juga banyak madah, khususnya di Gereja barat yang dipopulerkan oleh Ambrosius,
Hilarius dan Poitiers.
• Abad ke-7, Paus Gregorius Agung (590-604) mengumpulkan dan mengatur lagu-lagu Gregorian
untuk keperluan musik kudus dan ibadat harian.
• Saat itu di seluruh Eropa ada agenda romanisasi litugi pada abad ke 8 oleh Karolus Agung, maka
lagu-lagu Gregorian pun tersebar ke seluruh penjuru eropa.
• Dulu alat musik orgel sering dicurigai sebagai alat musik kafir, kemudian diterima masuk menjadi
alat musik Gereja.
• Sejak itu, lagu-lagu Gregorian dan alat musik orgel tersebar ke seluruh penjuru Eropa sampai
pada abad pertengahan.
• Konsili Trente (1545-1563) mengatur agar para uskup menghindari supaya tidak mencampurkan
lagu-lagu dan musik Gereja dengan nyanyian dan musik yang tidak sesuai dengan tradisi
kekristenan.
• Trente juga memperbaharui lagu-lagu Gregorian.
• Pada zaman modern, musik gereja berkembang lebih lanjut.
• Gereja mengikuti tren, misalnya pada zaman barok (abad ke-17 dan 18) lagu-lagu menekankan
emosi, notasi yang berbelit-belit, dinamis dan hidup.
• Pada abad ke 18-19 musik lebih menonjolkan kesederhanaan dan aspek alamiah.
• Musik yang berkembang saat itu adalah musik instrumental (sonata, simfoni, dan konser) dan
musik iringan untuk vokal dalam missa.
• Pada abad 18-19 muncullah komponis-komponis katolik yang terkenal: W.A. Mozart, J. Haydn, L.
van Bethoven.
• Musik pada zaman klasik-romantik ini menekankan segi perasaan yang sangat dominan sebagai
reaksi atas kecenderungan budaya yang sangat rasional pada zamannya.
• Awal abad 20, perhatian terhadap musik Gereja juga cukup kuat dari Paus Pius X, dimana pertama
kali Paus mengatakan bahwa musik merupakan bagian tak terpisahkan dari liturgi Gereja.
• Paus Pius sangat mengharapkan agar semua umat berpartisipasi aktif dalam musik liturgi, karena
musik liturgi bisa mendorong aktif partisipasi umat dalam perayaan liturgi.
• Pernan musik/lagu dalam liturgi
Di sini kita membahas tentang musik dan lagu dalam liturgi karena perannya dalam dimensi
“mendengarkan” dari suatu perayaan.
• Pernan musik/lagu dalam liturgi
• Dalam sejarah gereja, perihal musik dan lagu dalam perayaan iman pernah menjadi perdebatan,
khususnya penggunaan alat musik dalam perayaan liturgi.
• Perdebatan itu muncul karena alat musik pada zaman kuno sering kali ada kaitannya dengan
praktek-praktek keagamaan kafir.
• Misalnya ada sejumlah besar perdebatan tentang bagaimana alat-alat musik modern (yang
dianggap sekular) masuk ke dalam perayaan liturgi Gereja.
• Bahkan bukan tidak jarang kita menemukan ada banyak orang (muda) yang sampai
meninggalkan/pindah Gereja karena ‘godaan’ jenis alat musik yang dipakai dalam Gereja.
• Meskipun demikian, harus diakui peranan lagu dalam liturgi sudah sangat mendasar dalam
sejarah liturgi bangsa Yahudi dan liturgi Gereja hingga saat ini.
Mzm 95:1-2:
• Marilah kita bersorak-sorai untuk TUHAN, bersorak-sorak bagi gunung batu keselamatan kita.
Biarlah kita menghadap wajah-Nya dengan nyanyian syukur, bersorak-sorak bagi-Nya dengan
nyanyian mazmur.
Mzm 150:1-6:
Haleluya! Pujilah Allah dalam tempat kudus-Nya!
Pujilah Dia dalam cakrawala-Nya yang kuat!
Pujilah Dia karena segala keperkasaan-Nya, pujilah Dia sesuai dengan kebesaran-Nya yang hebat!
Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi!
Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling!
Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang!
Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!
• Tradisi bangsa Yahudi dan Kristiani meyakini bahwa lewat musik dan lagu kita dimungkinkan
untuk masuk dalam relasi mendalam dengan Allah.
• Lagu dan musik bisa membuat “waktu menjadi kendengaran”!
• No worship service without music
• Berdasarkan Mazmur di atas, dapat dikatakan bahwa dalam sejarah bangsa Yahudi dan sejarah
Gereja awali tidak ada perayaan iman tanpa musik.
• Memang ada catatan yang menyebutkan tentang “silent Mass” (Missa Hening), tetapi ternyata
yang dimaksud dengan silent Mass itu adalah termasuk dalam kategori kekecualian.
• Dalam tradisi Gereja-gereja timur (orthodox) tidak mungkin perayaan liturgi dirayakan tanpa
lagu,
• walaupun dalam tradisi Gereja-gereja orthodox pernanan alat musik hampir tidak ada karena
sejarah Gereja timur di masa lampau yang menolak alat-alat musik masuk dalam Gereja.
• Di Gereja-gereja orthodox yang menggunakan bahasa Salvic menggunakan lagu-lagu polyphony
(dua atau lebih suara) yang diadaptasi dari lagu-lagu asli yang monophony (satu suara).
• Sedangkan di Gereja-gereja Reformasi banyak yang menggunakan alat-alat musik karena
teologinya yang sangat dominan dengan ciri khas Gereja-gereja reformasi yang menekankan
proklamasi/ pewartaan Injil.
• What is church musik?
• Harus kita akui, bahwa hingga saat ini (khususnya sejak Konsili Vatikan II) kita belum mempunyai
kriteria-kriteria khusus yang cukup tegas yang bisa dipakai sebagai panduan menentukan apa itu
musik Gereja.
• Apakah ini advantage atau disadvantage?
• Konteks teologis dan liturgis dari musik liturgi
• Liturgi tidak sekedar rangkaian dari teks-teks doa dan bacaan, melainkan mencakup juga tentang
bagaimana doa dan teks itu diungkapkan.
• Dalam hal ini kekuatan musik dan lagu mengambil tempat penting.
• Lagu dan musik sangat menolong dalam memberi warna/nuansa perayaan yang sedang dirayakan.
• Dimensi estetis dari musik dan lagu berperan penting dalam merayakan iman secara praktis.
• Dengan peranan musik dan lagu, maka liturgi “berjasa” (berguna) membuat Gereja hadir dalam
pengalaman akan rasa kehadiran Allah di tengah-tengah dunia.
• Expressing what cannot be said
• Dimensi terdalam dari musik liturgi adalah:
musik membantu memberi suara (menyuarakan) apa yang tak terungkapkan dengan kata.
• Apa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata bisa diungkapkan dengan musik.
• Musik terkait erat dengan perasaan dan emosi manusia, dan dimensi ini akan sangat berguna
ketika kita ingin mengungkapkan iman kita yang juga ternyata meliputi dan menyentuh perasaa
dan emosi.
• (Meskipun iman itu tidak sama dengan perasaan).
• Konsili Vatikan II
• SC 112 menekankan bahwa musik liturgi adalah liturgi itu sendiri.
• Musik liturgi bukan sekedar selingan atau tambahan atau dekoras demi kemeriahan liturgi.
• Musik sebagai bagian liturgi bisa terlihat dalam bagian-bagian nyanyian, misalnya:
kyrie, Gloria, mazmur tanggapan (sebagai bagian dari liturgi sabda), kudus sebagai bagian dari Ekaristi.
• Musik liturgi berfungsi untuk memperjelas misteri Kristus, menumbuhkan kesadaran kebersamaan,
dan komunikasi antar jemaat dan memberi kemeriahan dan keagungan bagi liturgi.
• Musik dapat digunakan untuk mendorong terciptanya aktif partisipasi umat, membantu umat agar
dapat melibatkan jiwanya dalam perayaan liturgi.
• Konsili Vatikan II menekankan bahwa musik liturgi ada untuk melayani dan mengabdi liturgi dan
bukan sebaliknya.
• Musik liturgi tidak boleh menjadi yang lebih penting dan dominan daripada liturgi itu sendiri.
• Musik liturgi harus diletakkan dalam konteks perayaan dan pengungkapan iman Gereja.
• Liturgi adalah perayaan iman, bukan konser musik.
• Perlu diperhatikan bahwa musik dan lagu harus membantu umat dalam berliturgi, berjumpa
dengan Tuhan dan sesamanya.
• Musik harus mendorong aktif paritisipasi umat dalam berliturgi.
• Agar umat merasa berpartisipasi, maka peranan musik bisa membantu memberi cita rasa setempat
bagi umat.
• Lagu-lagu liturgi tentunya harus sesuai dengan ajaran iman Gereja.
• Bantuan dari cabang ilmu teologi seperti dogmatis (dan sistematis) dan teologi biblis, dll., tentunya
sangat dibutuhkan untuk meninjau syair madah (himne) sehingga lagu-lagu liturgi sesuai dengan
ajaran iman Gereja.
• Syair (madah-lagu) liturgi harus mempunyai dasar biblis yang benar, berpusat pada iman akan
Kristus (dan Allah).
• Musik harus menyesuaikan dengan tema dan jiwa liturgi.
• Kriteria musik liturgi yang baik bukan pada popularitas lagu, tetapi pada kecocokan musik dengan
jiwa dan misteri iman akan Kristus yang sedang dirayakan.
• Lagu dalam Perayaan Liturgi (Ekaristi)
menurut dokumen resmi Gereja:
PUMR
(Pedoman Umum Missale Romawi)
Lagu dan saat doa-doa presidensial
PUMR 32.
• Seturut hakikatnya, doa-doa “presidensial” harus dibawakan dengan suara lantang dan ucapan
yang jelas, supaya mudah ditangkap oleh jemaat. Sebaliknya jemaat wajib mendengarkannya
dengan penuh perhatian.
• Oleh karena itu, sementara imam membawakan doa tak boleh dibawakan doa lain atau nyanyian.
Juga tidak boleh dimainkan organ atau alat musik lain.
• Makna Nyanyian
PUMR 39.
Rasul Paulus menganjurkan kepada himpunan umat yang menantikan kedatangan Tuhan, supaya mereka
melagukan mazmur, madah, dan lagu-lagu rohani (lih. Kol 3:16). Orang bernyanyi karena hatinya gembira
(lih. Kis 2:46). Dengan tepat Agustinus berkata, "Orang yang penuh cinta suka bernyanyi." Ada juga
peribahasa kuno, "Yang bernyanyi dengan baik berdoa dua kali."
• Makna Nyanyian
PUMR 40.
• Karena alasan itu, dan dengan mempertimbangkan kekhasan bangsa dan kemampuan jemaat
liturgis yang bersangkutan, penggunaan nyanyian dalam perayaan Misa hendaknya dijunjung
tinggi. Memang, tidak selalu perlu melagukan semua teks yang dimaksudkan sebagai nyanyian,
misalnya dalam misa harian. Tetapi, hendaknya sungguh diupayakan agar dalam perayaan liturgi
pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib nyanyian-nyanyian yang ditentukan untuk pelayan dan
umat selalu dilagukan.
• Makna Nyanyian
PUMR 40.
• Untuk menentukan teks-teks mana yang akan dilagukan, hendaknya didahulukan yang lebih
penting, yakni: teks-teks yang dilagukan oleh imam atau diakon atau lektor dengan jawaban oleh
umat, atau teks yang dilagukan oleh imam dan umat bersama-sama.
• Makna Nyanyian
PUMR 41.
Meskipun semua nyanyian sama, nyanyian gregorian, yang merupakan ciri khas liturgi Romawi,
hendaknya diberi tempat utama. Semua jenis musik ibadat lainnya, khususnya nyanyian polifoni, sama
sekali tidak dilarang, asal saja selaras dengan jiwa perayaan liturgi dan dapat menunjang partisipasi
seluruh umat beriman. Dewasa ini, makin sering terjadi himpunan jemaat yang terdiri atas bermacam-
macam bangsa. Maka sangat diharapkan agar umat mahir melagukan bersama-sama sekurang-kurangnya
beberapa bagian ordinarium Misa dalam Bahasa Latin, terutama Credo dan Pater noster dengan lagu
yang sederhana.
• Kapan dinyanyikan?
Perarakan Masuk
PUMR 47.
Setelah umat berkumpul, imam bersama dengan diakon dan para pelayan berarak menuju altar. Sementara
itu dimulai nyanyian pembuka. Tujuan nyanyian tersebut ialah: membuka Misa, membina kesatuan umat
yang berhimpun, mengantar masuk ke dalam misteri masa liturgi atau pesta yang dirayakan, dan
mengiringi perarakan imam beserta pembantu-pembantunya.
• Perarakan Masuk
PUMR 48.
Nyanyian pembuka dibawakan silih-berganti oleh paduan suara dan umat atau bersama-sama oleh
penyanyi dan umat. Dapat juga dilagukan seluruhnya oleh umat atau oleh paduan suara saja. Nyanyian
tersebut dapat berupa mazmur dengan antifonnya yang diambil dari Graduale Romanum atau dari
Graduale Simplex. Tetapi boleh juga digunakan nyanyian lain yang sesuai dengan sifat perayaan, sifat
pesta, dan suasana masa liturgi, asal teksnya disahkan oleh Konferensi Uskup.
• Bila tidak ada nyanyian pembuka, maka antifon pembuka yang terdapat dalam Misale dibawakan
oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh beberapa orang dari mereka, ataupun oleh seorang
pembaca. Dapat juga imam sendiri membacakannya sesudah salam; bahkan imam boleh
menggubah antifon pembuka menjadi kata pengantar (bdk. no. 31).
• Tuhan kasihanilah kami…
PUMR 52.
Pernyataan tobat selalu disambung dengan Tuhan Kasihanilah, kecuali kalau seruan Tuhan Kasihanilah
telah tercantum dalam pernyataan tobat. Sifat Tuhan Kasihanilah ialah berseru kepada Tuhan dan
memohon belaskasihan-Nya. Oleh karena itu, Tuhan Kasihanilah biasanya dilagukan oleh seluruh umat,
artinya: silih-berganti oleh umat dan paduan suara atau solis.
• Pada umumnya, masing-masing seruan Tuhan Kasihanilah diulang satu kali. Akan tetapi,
berhubung dengan bahasa setempat, dengan lagu ataupun sifat pesta, Tuhan Kasihanilah itu boleh
diulang-ulang lebih banyak.
• Kalau Tuhan Kasihanilah dibawakan sebagai bagian pernyataan tobat, setiap aklamasi didahului
ayat yang sesuai.
• Kemuliaan
PUMR 53.
Kemuliaan adalah madah yang sangat dihormati dari zaman kristen kuno. Lewat madah ini Gereja yang
berkumpul atas dorongan Roh Kudus memuji Allah Bapa dan Anakdomba Allah, serta memohon
belaskasihan-Nya. Teks madah ini tidak boleh diganti dengan teks lain. Kemuliaan dibuka oleh imam atau,
lebih cocok, oleh solis atau oleh kor, kemudian dilanjutkan oleh seluruh umat bersama-sama, atau oleh
umat dan paduan suara bersahut-sahutan, atau hanya oleh kor. Kalau tidak dilagukan, madah Kemuliaan
dilafalkan oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh dua kelompok umat secara bersahut-sahutan.
• Kemuliaan dilagukan atau diucapkan pada hari-hari raya dan pesta, pada perayaan-perayaan
meriah, dan pada hari Minggu di luar Masa Adven dan Prapaskah.
• Liturgi Sabda
Mazmur Tanggapan
PUMR 61.
• Sesudah bacaan pertama menyusul mazmur tanggapan, yang merupakan unsur pokok dalam
Liturgi Sabda. Mazmur tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting karena
menopang permenungan atas sabda Allah.
• Mazmur tanggapan hendaknya sesuai dengan bacaan yang bersangkutan, dan biasanya diambil
dari Buku Bacaan Misa (Lectionarium).
• Mazmur Tanggapan
• Dianjurkan bahwa mazmur tanggapan dilagukan, sekurang-kurangnya bagian ulangan yang
dibawakan oleh umat.
• Pemazmur melagukan ayat-ayat mazmur dari mimbar atau tempat lain yang cocok.
• Seluruh jemaat tetap duduk dan mendengarkan; dan sesuai ketentuan, umat ambil bagian dengan
melagukan ulangan, kecuali kalau seluruh mazmur dilagukan sebagai satu nyanyian utuh tanpa
ulangan.
• Akan tetapi, untuk memudahkan umat berpartisipasi dalam mazmur tanggapan, disediakan juga
sejumlah mazmur dengan ulangan yang dapat dipakai pada masa liturgi atau pesta orang kudus.
• Bila dilagukan, mazmur tersebut dapat dipergunakan sebagai pengganti teks yang tersedia dalam
Buku Bacaan Misa (Lectionarium).
• Kalau tidak dilagukan, hendaknya mazmur tanggapan didaras sedemikian rupa sehingga
membantu permenungan sabda Allah.
• Mazmur yang ditentukan dalam Buku Bacaan Misa dapat juga diganti dengan mazmur berikut:
graduale yang diambil dari buku Graduale Romanum, atau mazmur tanggapan atau mazmur
alleluya yang diambil dari buku Graduale Simplex dalam bentuk seperti yang tersaji dalam buku-
buku tersebut.
• Bait Pengantar Injil
PUMR 62.
Sesudah bacaan yang langsung mendahului Injil, dilagukan bait pengantar Injil, dengan atau tanpa
alleluya, seturut ketentuan rubrik, dan sesuai dengan masa liturgi yang sedang berlangsung. Aklamasi ini
merupakan ritus atau kegiatan tersendiri.
Dengan aklamasi ini jemaat beriman menyambut dan menyapa Tuhan yang siap bersabda kepada mereka
dalam Injil, dan sekaligus menyatakan iman. Seluruh jemaat berdiri dan melagukan bait pengantar Injil,
dipandu oleh paduan suara atau solis.
a. Di luar Masa Prapaskah, dilagukan bait pengantar Injil dengan alleluya. Ayat-ayat diambil dari
Buku Bacaan Misa atau dari buku Graduale.
b. Dalam Masa Prapaskah, dilagukan bait pengantar Injil tanpa alleluya sebagaimana ditentukan
dalam Buku Bacaan Misa. Dapat juga dilagukan mazmur lain atau tractus sebagaimana tersaji
dalam Graduale.
• Bait Pengantar Injil
PUMR 63.
Jika sebelum Injil hanya ada satu bacaan, hendaknya diperhatikan hal-hal berikut:
a. Di luar Masa Prapaskah, sesudah bacaan pertama dapat dilagukan nyanyian mazmur alleluya
atau mazmur tanggapan disusul bait pengantar Injil dengan alleluya.
b. Dalam Masa Prapaskah, sesudah bacaan pertama dapat dilagukan mazmur tanggapan dan bait
pengantar Injil tanpa alleluya atau mazmur tanggapan saja.
c. Kalau tidak dilagukan, bait pengantar Injil dengan atau tanpa alleluya dapat dihilangkan.
• Bait Pengantar Injil
PUMR 64.
• Sekuensia dilagukan sesudah alleluya. Madah ini fakultatif, kecuali pada Hari Minggu Paskah dan
Pentakosta.
• LITURGI EKARISTI
(Dalam PUMR)
• Liturgi Ekaristi
Persiapan persembahan
PUMR 74.
Perarakan mengantar bahan persembahan ke altar sebaiknya diiringi dengan nyanyian persiapan
persembahan (bdk. no. 37, b).
Nyanyian itu berlangsung sekurang-kurangnya sampai bahan persembahan tertata di atas altar. Untuk
nyanyian persiapan persembahan berlaku petunjuk yang sama seperti nyanyian pembuka, (bdk. no. 48) di
atas. Kalau tidak ada perarakan persembahan, tidak perlu ada nyanyian. [Boleh ada lagu dan musik
walau tidak ada perarakan persembahan.]
• Liturgi Ekaristi
Persiapan persembahan
PUMR 74.
... Kalau tidak ada perarakan persembahan, tidak perlu ada nyanyian. [Boleh ada lagu dan musik walau
tidak ada perarakan persembahan.]
 bdk. PUMR 32 tentang doa presidensial
 Oleh karena itu, sementara imam membawakan doa tak boleh dibawakan doa lain atau nyanyian.
Juga tidak boleh dimainkan organ atau alat musik lain.
• Doa Syukur Agung
Pemecahan Roti
PUMR 83. …
Sementara imam memecah-mecah roti dan memasukkan sepotong kecil dari roti itu ke dalam piala berisi
anggur, dilagukan Anakdomba Allah, seturut ketentuan, oleh paduan suara atau solis dengan jawaban oleh
umat.
Kalau tidak dilagukan, Anakdomba Allah didaras dengan suara lantang. Karena fungsinya mengiringi
pemecahan roti, nyanyian ini boleh diulang-ulang seperlunya sampai pemecahan roti selesai. Pengulangan
terakhir ditutup dengan seruan: berilah kami damai.
Komuni
PUMR 86.
• Sementara imam menyambut Tubuh dan Darah Kristus, nyanyian komuni dimulai. Maksud
nyanyian ini ialah:
(1) agar umat yang secara batin bersatu dalam komuni juga menyatakan persatuannya secara lahir
dalam nyanyian bersama,
(2) menunjukkan kegembiraan hati, dan
(3) menggarisbawahi corak “jemaat” dari perarakan komuni.
• PUMR 86.
• Nyanyian itu berlangsung terus selama umat menyambut, dan berhenti kalau dianggap cukup.
Jika sesudah komuni masih ada nyanyian, maka nyanyian komuni harus diakhiri pada waktunya.
• Haruslah diupayakan agar para penyanyi pun dapat menyambut komuni dengan tenang.
• komuni
PUMR 87.
Untuk nyanyian komuni dapat diambil antifon komuni dari Graduale Romanum dengan atau tanpa ayat
mazmur; dapat juga diambil antifon komuni beserta ayat-ayat mazmurnya dari Graduale Simplex.
Nyanyian lain yang telah disetujui oleh Konferensi Uskup boleh digunakan juga. Nyanyian itu dapat
dibawakan oleh paduan suara sendiri, atau oleh paduan suara/solis bersama dengan jemaat.
• komuni
Kalau tidak ada nyanyian komuni, maka antifon komuni yang terdapat dalam Misale dapat dibacakan oleh
umat beriman atau oleh beberapa orang dari mereka, atau oleh lektor.
Atau, dapat juga dibacakan oleh imam sendiri sesudah ia menyambut Tubuh dan Darah Kristus, sebelum
membagikannya kepada umat beriman.
• Pemilihan Nyanyian
PUMR 366
• Nyanyian-nyanyian yang terdapat dalam Tata Perayaan Ekaristi, misalnya Anakdomba Allah,
tidak boleh diganti dengan nyanyian lain.
PUMR 367
• Dalam memilih nyanyian pembuka, mazmur tanggapan, persiapan persembahan, dan komuni
hendaknya diperhatikan petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam kaitan dengan masing-masing
nyanyian (bdk. no. 40-41, 47-48, 61-64, 87-88).
• Tempat Paduan Suara dan Alat Musik
PUMR 312.
• Paduan suara merupakan bagian utuh dari umat yang berhimpun namun memiliki tugas yang
khusus. Oleh karena itu, dengan memperhatikan tata ruang gereja, paduan suara hendaknya
ditempatkan sedemikian rupa sehingga kedua ciri khas tersebut tampak dengan jelas.
• Juga agar paduan suara dapat menjalankan tugasnya dengan mudah, dan memungkinkan setiap
anggota paduan suara berpartisipasi secara penuh dalam Misa, yaitu berpartisipasi secara
sakramental.
• Tempat Paduan Suara dan Alat Musik
PUMR 313.
• Organ dan alat-alat musik lain yang boleh digunakan dalam liturgi, hendaknya diatur pada tempat
yang cocok, sehingga dapat menopang nyanyian baik paduan suara maupun umat, dan kalau
dimainkan sendiri dapat didengar dengan baik oleh seluruh umat.
• Seyogyanya, sebelum digunakan khusus untuk liturgi, organ diberkati menurut tata cara yang
diuraikan dalam buku Rituale Romanum.
• Selama Masa Adven, organ dan alat musik lain hendaknya dimainkan secara sederhana sehingga
mengungkapkan ciri khas masa ini; jadi, jangan terlalu meriah sehingga memberi kesan bahwa
Natal telah tiba.
• Selama Masa Prapaskah, organ dan alat musik lain hanya boleh dimainkan untuk menopang
nyanyian, kecuali pada Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV) dan hari raya serta pesta yang
terjadi dalam masa ini.
Busana Liturgis
PUMR 343.
 Di samping bahan-bahan tradisional Gereja, untuk busana liturgis, boleh digunakan bahan-bahan
produksi khas daerah;
 boleh juga digunakan bahan-bahan tiruan yang selaras dengan martabat perayaan liturgis dan
pelayan liturgi yang mengenakannya.
 Konferensi Uskuplah yang hendaknya memutuskan hal itu.
Busana Liturgis
PUMR 344.
 Busana liturgis hendaknya tampak indah dan anggun bukan karena banyak dan mewahnya hiasan,
melainkan karena bahan dan bentuk potongannya.
 Hiasan pada busana liturgis yang berupa gambar atau lambang, hendaknya sesuai dengan liturgi.
Yang kurang sesuai hendaknya dihindarkan.
Busana Liturgis
PUMR 345.
 Keanekaragaman warna busana liturgis dimaksudkan untuk mengungkapkan secara lahiriah dan
berhasil guna ciri khas misteri iman yang dirayakan;
 dalam kerangka tahun liturgi, kebhinnekaan warna busana liturgis juga dimaksudkan untuk
mengungkapkan makna tahap-tahap perkembangan dalam kehidupan kristen.
Busana Liturgis
PUMR 346.
 Warna-warna busana liturgis hendaknya digunakan menurut kebiasaan yang sampai sekarang
berlaku, yaitu:
a. Warna putih digunakan dalam Ibadat Harian dan Misa pada Masa Paskah dan Natal,
• pada perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-Nya);
• begitu pula pada Pesta Santa Perawan Maria,
• para malaikat,
• para kudus yang bukan martir,
Busana Liturgis … warna putih:
• pada Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November)
• dan Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis (24 Juni),
• pada Pesta Santo Yohanes Pengarang Injil (27 Desember),
• Pesta Takhta Santo Petrus Rasul (22 Februari) dan
• Pesta Bertobatnya Santo Paulus Rasul (25 Januari).
Busana Liturgis
b. Warna merah digunakan pada hari Minggu Palma memperingati Sengsara Tuhan
• dan pada hari Jumat Agung;
• pada hari Minggu Pentakosta,
• dalam perayaan-perayaan Sengsara Tuhan,
• pada pesta para rasul dan pengarang Injil,
• dan pada perayaan-perayaan para martir.
Busana Liturgis
c. Warna hijau digunakan dalam Ibadat Harian dan Misa selama Masa Biasa sepanjang tahun.
d. Warna ungu digunakan dalam Masa Adven dan Prapaskah. Tetapi dapat juga digunakan dalam
Ibadat Harian dan Misa arwah.
e. Warna hitam dapat digunakan, kalau memang sudah biasa, dalam Misa arwah.
Busana Liturgis
f. Warna jingga dapat digunakan, kalau memang sudah biasa, pada hari Minggu Gaudete (Minggu
Adven III) dan hari Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV).
Busana Liturgis
 Konferensi Uskup dapat menentukan perubahan-perubahan yang lebih serasi dengan keperluan
dan kekhasan bangsa setempat.
 Penyerasian-penyerasian itu hendaknya diberitahukan kepada Takhta Apostolik.
Busana Liturgis
PUMR 347.
 Dalam perayaan Misa Ritual digunakan warna liturgi yang ditentukan untuk perayaan yang
bersangkutan, atau putih, atau warna pesta;
Busana Liturgis
PUMR 347.
 dalam Misa untuk pelbagai keperluan digunakan warna liturgi yang sesuai dengan hari atau masa
liturgi yang bersangkutan,
Busana Liturgis
PUMR 347.
 atau dengan warna ungu bila perayaan bertema tobat seperti misalnya Misa di masa perang atau
pertikaian, Misa di masa kelaparan, Misa untuk mohon pengampunan dosa;
Busana Liturgis … PUMR 347
 Misa Votif dirayakan dengan warna yang cocok dengan tema Misa yang bersangkutan, atau boleh
juga dengan warna hari/masa liturgi yang bersangkutan.
TUGAS DAN PELAYANAN DALAM MISA
PUMR 91.
 Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus dan Gereja sebagai “sakramen kesatuan,” yakni umat
kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para uskup.
 Oleh karena itu, perayaan Ekaristi berkaitan dengan seluruh Tubuh Gereja, mengungkapkan dan
mempengaruhinya.
 Setiap orang yang turut merayakan Ekaristi mempunyai hak dan kewajiban untuk berpartisipasi
secara aktif, masing-masing menurut cara yang sesuai dengan kedudukan dan tugasnya.
PUMR 91
 Dengan cara ini, umat kristen, “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat milik
Allah sendiri”, mengungkapkan keterpaduan dan tatanan hirarkisnya.
 Jadi semua orang entah pelayan tertahbis, entah umat beriman lainnya, hendaknya melakukan tugas
yang menjadi bagiannya, tidak lebih dan tidak kurang.
Tugas-tugas Pelayan Tertahbis
PUMR 92.
 Setiap perayaan Ekaristi yang sah diselenggarakan di bawah pimpinan uskup.
 Uskup dapat memimpinnya sendiri, atau mewakilkannya kepada para pembantunya, yakni imam-
imam.
PUMR 92
 Kalau uskup hadir dalam suatu Ekaristi yang dirayakan bersama dengan umat, paling tepat ia
sendiri yang memimpin Ekaristi itu, sementara para imam mendampinginya sebagai konselebran.
 Maksud konselebrasi ini bukanlah untuk menambah kemeriahan lahiriah perayaan, melainkan
untuk memperlihatkan dengan lebih jelas misteri Gereja, yakni sebagai sakramen kesatuan.
PUMR 92
 Kalau uskup tidak memimpin sendiri perayaan Ekaristi, tetapi menugaskan seorang imam lain,
hendaknya ia sendiri memimpin bagian Liturgi Sabda, dan pada akhir Misa memberikan berkat.
 Dalam hal ini ia hendaknya mengenakan salib dada, stola, dan pluviale di atas alba.
PUMR 93.
 Dalam himpunan jemaat, imam, berkat tahbisannya, juga mempunyai kuasa untuk
mempersembahkan kurban selaku pribadi Kristus.
 Maka dari itu, imam mengetuai jemaat yang berhimpun, memimpinnya dalam doa, mewartakan
kabar keselamatan, dan mengajak jemaat agar bersama dengannya mempersembahkan kurban
kepada Allah Bapa dengan pengantaraan Kristus dalam Roh Kudus.
PUMR 93.
 Di samping itu, ia membagikan roti kehidupan kepada saudara-saudara seiman dan menyambutnya
bersama dengan mereka.
 Maka, bila imam merayakan Ekaristi wajiblah ia melayani Allah dan jemaat dengan pantas dan
rendah hati.
 Seluruh sikapnya dan juga caranya membawakan sabda ilahi, harus menunjukkan kepada umat
bahwa Kristus benar-benar hadir di tengah mereka.
PUMR 94.
 Di antara para pelayan ibadat, diakon, karena tahbisan kudus yang ia terima, menduduki urutan
pertama sesudah imam.
 Sebab, sejak zaman para rasul, jabatan diakon sangat dihormati dalam Gereja.
 Dalam Misa, tugas khusus diakon ialah membantu imam, membacakan Injil, kadang-kadang
menyampaikan homili, membawakan ujud-ujud doa umat, menyiapkan altar dan bahan
persembahan, dan melayani komuni untuk umat, terutama komuni-anggur.
 Kadang-kadang pula ia memberikan petunjuk-petunjuk mengenai sikap tubuh dan tata gerak umat.
Tugas-tugas Umat Allah
PUMR 95.
 Umat beriman yang merayakan Misa merupakan umat kudus, umat yang dipilih Allah dan
dianugerahi martabat imam dan raja.
 Mereka berkumpul untuk mengucap syukur dan mempersembahkan kurban murni kepada Allah
tidak hanya dengan perantaraan tangan imam, melainkan juga bersama dengan imam; mereka pun
belajar mempersembahkan diri.
 Hendaknya mereka berusaha untuk menyatakan hal itu baik dalam sikap takwa yang mendalam,
maupun dalam tindakan cinta kasih terhadap saudara-saudara yang mengikuti perayaan yang sama.
PUMR 95
 Oleh karena itu, mereka hendaknya menjauhkan segala sikap mementingkan diri sendiri dan
menghindarkan perpecahan.
 Mereka harus sadar, bahwa mereka semua mempunyai satu Bapa di surga, sehingga seluruh umat
itu bersaudara satu sama lain.
Tugas-tugas Umat Allah
PUMR 96.
 Hendaknya mereka merupakan satu tubuh dalam mendengarkan sabda Allah maupun dalam berdoa
dan bernyanyi.
 Terutama mereka harus merupakan satu tubuh dalam mempersembahkan kurban dan dalam
menyambut hidangan dari meja Tuhan.
 Kesatuan itu tampil indah, baik bila semua mengambil sikap tubuh yang sama, maupun bila mereka
melaksanakan tata gerak yang sama.
Tugas-tugas Umat Allah
PUMR 97.
 Hendaknya umat beriman dengan senang hati melayani umat Allah, bila diminta untuk melakukan
pelayanan atau tugas khusus dalam perayaan.
Pelayanan-pelayanan Khusus
Pelayanan Akolit dan Lektor yang Dilantik
PUMR 98.
 Akolit dilantik untuk melayani altar dan membantu imam serta diakon. Tugasnya yang utama ialah
menyiapkan altar dan bejana-bejana kudus. Kalau diperlukan, ia boleh membagikan komuni
kepada umat sebagai pelayan tak-lazim.
 Dalam melayani altar, akolit memiliki tugas-tugas khusus (bdk. no. 187-193), yang harus ia
laksanakan sendiri.
Pelayanan-pelayanan Khusus … Pelayanan Akolit dan Lektor yang Dilantik
PUMR 99.
 Lektor dilantik untuk mewartakan bacaan-bacaan dari Alkitab, kecuali Injil. Dapat juga ia
membawakan ujud-ujud doa umat dan, kalau tidak ada pemazmur, ia dapat juga membawakan
mazmur tanggapan.
 Dalam perayaan Ekaristi, ia harus menjalankan sendiri tugas khusus itu (bdk. no. 194-198), biarpun
pada saat itu hadir juga pelayan-pelayan tertahbis.
Pelayanan-pelayanan Khusus
Tugas-tugas Lain
PUMR 100.
 Kalau akolit yang telah dilantik tidak hadir, pelayan awam dapat diberi tugas melayani altar dan
membantu imam serta diakon.
 Mereka dapat membawa salib, lilin, pedupaan, roti, anggur, dan air.
 Mereka juga dapat diberi tugas membagikan komuni sebagai pelayan tak-lazim.
Pelayanan-pelayanan Khusus … Tugas-tugas lain
PUMR 101.
 Kalau lektor yang telah dilantik tidak hadir, umat awam lainnya dapat diberi tugas memaklumkan
bacaan-bacaan dari Alkitab.
 Mereka harus sungguh terampil dan disiapkan secara cermat untuk melaksanakan tugas ini,
sehingga dengan mendengarkan bacaan-bacaan dari naskah kudus, umat beriman dapat memupuk
dalam diri mereka rasa cinta yang hangat terhadap Alkitab.
Pelayanan-pelayanan Khusus … Tugas-tugas lain
PUMR 102.
 Pemazmur bertugas membawakan mazmur atau kidung-kidung dari Alkitab di antara bacaan-
bacaan.
 Supaya dapat menunaikan tugasnya dengan baik, ia harus menguasai cara melagukan mazmur, dan
harus mempunyai suara yang lantang serta ucapan yang jelas.
Pelayanan-pelayanan Khusus … Tugas-tugas lain
PUMR 103.
 Paduan suara atau koor melaksanakan tugas liturgis tersendiri di tengah umat beriman.
 Dengan memperhatikan aneka ragam nyanyian, paduan suara harus melaksanakan tugasnya secara
tepat untuk menopang partisipasi aktif umat beriman dalam menyanyi.
 Semua yang ditentukan untuk paduan suara juga berlaku untuk para pelayan musik yang lain,
khususnya organis.
Pelayanan-pelayanan Khusus … Tugas-tugas lain
PUMR 104.
 Tepat sekali kalau ada seorang solis atau seorang dirigen untuk memimpin dan menopang nyanyian
jemaat.
 Kalau tidak ada paduan suara, solislah yang harus memimpin nyanyian-nyanyian, dan jemaat
hendaknya ambil bagian sebagaimana mestinya.
Pelayanan-pelayanan Khusus … Tugas-tugas lain
PUMR 105.
 Pelayan-pelayan berikut juga melaksanakan tugas liturgis:
a. Koster, yang dengan cermat mengatur buku-buku liturgis, busana liturgis, dan hal-hal lain yang
diperlukan untuk perayaan Misa.
Pelayanan-pelayanan Khusus … Tugas-tugas lain…PUMR 105
b. Komentator yang, kalau diperlukan, memberikan penjelasan dan petunjuk singkat kepada umat
beriman, supaya mereka lebih siap merayakan Ekaristi dan memahaminya dengan lebih baik.
• Petunjuk-petunjuk itu harus disiapkan dengan baik, dirumuskan dengan singkat dan jelas.
• Dalam menjalankan tugas itu komentator berdiri di depan umat, di tempat yang kelihatan, tetapi
tidak di mimbar.
Pelayanan-pelayanan Khusus … Tugas-tugas lain…PUMR 105
c. Petugas kolekte yang mengumpulkan uang kolekte dalam gereja.
d. Penyambut jemaat yang menyambut umat beriman pada pintu gereja dan mengantarkan mereka
ke tempat duduk.
• Selain itu, mereka dapat mengatur perarakan-perarakan.
Pelayanan-pelayanan Khusus … Tugas-tugas lain
PUMR 106.
 Terutama untuk gereja-gereja katedral atau gereja-gereja yang besar dianjurkan agar ditunjuk
seorang pelayan yang mumpuni atau seorang caeremoniarius (pemandu ibadat) untuk
mempersiapkan perayaan liturgi dengan baik, membagikan tugas kepada masing-masing pelayan,
dan mengatur pelaksanaan perayaan, sehingga berlangsung dengan indah, rapi, dan khidmat.
Pelayanan-pelayanan Khusus … Tugas-tugas lain
PUMR 107.
 Semua tugas liturgis yang tidak merupakan tugas khusus imam atau diakon, dan tidak termasuk
dalam tugas-tugas yang disebut pada nomor 100-106 di atas, dapat dipercayakan kepada kaum
awam yang dipilih oleh pastor paroki.
 Penyerahan tugas ini dapat dilaksanakan lewat pemberkatan liturgis atau penugasan sementara.
 Semua petugas ini hendaknya mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh uskup untuk
petugas-petugas yang melayani imam di altar.
Pembagian Tugas dan Persiapan Perayaan
PUMR 108.
 Semua tugas presidensial hendaknya dilaksanakan oleh imam selebran yang satu dan sama, kecuali
untuk bagian-bagian tertentu dalam misa yang dihadiri uskup (bdk. no. 92 di atas).
(92. Setiap perayaan Ekaristi yang sah diselenggarakan di bawah pimpinan uskup. Uskup dapat
memimpinnya sendiri, atau mewakilkannya kepada para pembantunya, yakni imam-imam. … Kalau uskup
tidak memimpin sendiri perayaan Ekaristi, tetapi menugaskan seorang imam lain, hendaknya ia sendiri
memimpin bagian Liturgi Sabda, dan pada akhir Misa memberikan berkat).
Pembagian Tugas dan Persiapan Perayaan
PUMR 109.
 Jika ada beberapa orang yang dapat menjalankan pelayanan yang sama, maka pelayanan atau tugas
itu dapat dibagi di antara mereka, hingga masing-masing melakukan sebagian.
 Misalnya, kalau beberapa diakon hadir, yang satu dapat bernyanyi, yang lain membantu imam pada
altar.
 Jika ada beberapa bacaan, lebih baiklah bacaan-bacaan itu dibagikan di antara para lektor.
Pembagian Tugas dan Persiapan Perayaan…PUMR 109
 Hal yang sama berlaku untuk pelayanan atau tugas-tugas yang lain.
 Akan tetapi, tidaklah tepat bahwa satu unsur perayaan dibagi-bagi antar beberapa pelayan, misalnya
satu bacaan dibawakan oleh dua lektor secara bergantian, kecuali kalau bacaan itu adalah Kisah
Sengsara Tuhan.
Pembagian Tugas dan Persiapan Perayaan
PUMR 110.
 Jika dalam Misa umat hanya ada seorang pelayan, ia dapat merangkap beberapa tugas.
Pembagian Tugas dan Persiapan Perayaan
PUMR 111.
 Setiap perayaan liturgi harus disiapkan sungguh-sungguh dengan semangat kerjasama antara semua
yang terkait, dengan memperhatikan ketentuan buku-buku liturgis mengenai ritus, segi pastoral,
dan musik.
 Persiapan itu dipimpin oleh pastor kepala yang hendaknya mendengarkan juga suara umat beriman
mengenai hal-hal yang langsung menyangkut mereka.
 Tetapi, imam yang memimpin perayaan tetap mempunyai hak untuk mengatur hal-hal yang
memang merupakan wewenangnya.
• Musik liturgi
Madah (Hymn)
Lagu Liturgi
• Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa musik adalah bagian sangat fundamental bagi
hidup manusia, karena musik ternyata bagian dari ungkapan dan media komunikasi manusia.
• Banyak hal yang tidak bisa digambarkan atau dijelaskan dengan kata-kata lalu ternyata bisa
diungkapkan lewat musik.
• Musik merupakan salah satu symbol yang sangat penting dalam sejarah hidup manusia
Musik berasal dari bahasa Yunani
• mousike (n.),
• mousikos (adj)
Dalam bahasa latin:
• musica
merujuk kepada seorang dewi Yunani bernama mousa,
yakni dewi kesenian dan ilmu pengetahuan.
Dalam Gerja Katolik, istilah musik Gereja sering dikenal dengan istilah:
• musica sacra.
Pada tahun 1967, setelah Konsili Vatican II, yang sering dianggap masuk dalam musica sacra adalah:
• lagu-lagu Gregorian,
• musik Gereja Orgel,
• dan musik lainnya yang diijinkan (???).
• Sejarah singkat musik, lagu, madah liturgi
• Gereja perdana masih sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi Yahudi, khususnya dalam hal lagu-lagu
liturgis.
• Sejarah singkat musik, lagu, madah liturgi
• Hanya saja liturgi bangsa Yahudi sangat jarang diikuti dengan alat musik.
• Bangsa Yahudi mengenal lagu dalam liturgi, misalnya Yesus menyanyikan Hallel sesudah
merayakan paskah (Mat 26:30; Mrk 14:26).
• Sedangkan tradisi Gereja Perdana mengatakan bahwa jemaat di Efesus dan Kolose dianjurkan
untuk menyanyikan kidung puji-pujian dan nyanyian rohani untuk memuji Tuhan (Ef 5:19; Kol
3:16),
Ef 5:19
dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani.
Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati.
Kol 3:16
Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan
segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-
pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.
• Ada banyak lagi dalam Perjanjian Baru yang memuat madah dan kidung yang kemungkinan besar
berasal dari tradisi perayaan liturgi, di mana lagu-lagu mulai ada dalam proses ‘transmission’ dan
dihafalkan, misalnya:
 Luk 1:46-55; 1:68-79; 1:29-33;
 Yoh 1:1-18;
 Flp 2:6-11;
 dll.
• Luk 1:29-33
"Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.
Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah
engkau menamai Dia Yesus.
Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan
mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya,
dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak
akan berkesudahan."
• Luk 1:46-55
"Jiwaku memuliakan Tuhan,
dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku,
sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala
keturunan akan menyebut aku berbahagia,
karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah
kudus.
Dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia.
Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang
congkak hatinya;
Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah;
Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan
tangan hampa;
Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya,
seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-
lamanya."
• Flp 2:6-11
yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan,
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama
dengan manusia.
Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai
mati di kayu salib.
Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,
supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang
ada di bawah bumi,
dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!
Lagu-lagu yang populer dan menjadi nyanyian gerejawi pada zaman Gereja perdana ialah:
• Mazmur,
• berbagai madah (himne),
• lagu kemuliaan,
• Te Deum.
Dengan kata lain, Gereja perdana sudah mengenal dengan baik akan peranan penting lagu (dan musik)
dalam liturgi.
• Sesudah abad ke-4 liturgi dirayakan sudah lebih meriah, sehingga musik sebagai pendukung
kemeriahan liturgi juga mewarnai litugi Gereja saat itu
• Gereja pada abad ke-4 juga masih melanjutkan tradisi awal yaitu menyanyikan Mazmur dengan
model yang lebih baru misalnya adanya Mazmur tanggapan yang dibawakan oleh solis, koor, atau
umat bergantian.
• Muncul juga banyak madah, khususnya di Gereja barat yang dipopulerkan oleh Ambrosius,
Hilarius dan Poitiers.
• Abad ke-7, Paus Gregorius Agung (590-604) mengumpulkan dan mengatur lagu-lagu Gregorian
untuk keperluan musik kudus dan ibadat harian.
• Saat itu di seluruh Eropa ada agenda romanisasi litugi pada abad ke 8 oleh Karolus Agung, maka
lagu-lagu Gregorian pun tersebar ke seluruh penjuru eropa.
• Dulu alat musik orgel sering dicurigai sebagai alat musik kafir, kemudian diterima masuk menjadi
alat musik Gereja.
• Sejak itu, lagu-lagu Gregorian dan alat musik orgel tersebar ke seluruh penjuru Eropa sampai pada
abad pertengahan.
• Konsili Trente (1545-1563) mengatur agar para uskup menghindari supaya tidak mencampurkan
lagu-lagu dan musik Gereja dengan nyanyian dan musik yang tidak sesuai dengan tradisi
kekristenan.
• Trente juga memperbaharui lagu-lagu Gregorian.
• Pada zaman modern, musik gereja berkembang lebih lanjut.
• Gereja mengikuti tren, misalnya pada zaman barok (abad ke-17 dan 18) lagu-lagu menekankan
emosi, notasi yang berbelit-belit, dinamis dan hidup.
• Pada abad ke 18-19 musik lebih menonjolkan kesederhanaan dan aspek alamiah.
• Musik yang berkembang saat itu adalah musik instrumental (sonata, simfoni, dan konser) dan
musik iringan untuk vokal dalam missa.
• Pada abad 18-19 muncullah komponis-komponis katolik yang terkenal: W.A. Mozart, J. Haydn, L.
van Bethoven.
• Musik pada zaman klasik-romantik ini menekankan segi perasaan yang sangat dominan sebagai
reaksi atas kecenderungan budaya yang sangat rasional pada zamannya.
• Awal abad 20, perhatian terhadap musik Gereja juga cukup kuat dari Paus Pius X, dimana pertama
kali Paus mengatakan bahwa musik merupakan bagian tak terpisahkan dari liturgi Gereja.
• Paus Pius sangat mengharapkan agar semua umat berpartisipasi aktif dalam musik liturgi, karena
musik liturgi bisa mendorong aktif partisipasi umat dalam perayaan liturgi.
• Pernan musik/lagu dalam liturgi
Di sini kita membahas tentang musik dan lagu dalam liturgi karena perannya dalam dimensi
“mendengarkan” dari suatu perayaan.
• Pernan musik/lagu dalam liturgi
• Dalam sejarah gereja, perihal musik dan lagu dalam perayaan iman pernah menjadi perdebatan,
khususnya penggunaan alat musik dalam perayaan liturgi.
• Perdebatan itu muncul karena alat musik pada zaman kuno sering kali ada kaitannya dengan
praktek-praktek keagamaan kafir.
• Misalnya ada sejumlah besar perdebatan tentang bagaimana alat-alat musik modern (yang dianggap
sekular) masuk ke dalam perayaan liturgi Gereja.
• Bahkan bukan tidak jarang kita menemukan ada banyak orang (muda) yang sampai
meninggalkan/pindah Gereja karena ‘godaan’ jenis alat musik yang dipakai dalam Gereja.
• Meskipun demikian, harus diakui peranan lagu dalam liturgi sudah sangat mendasar dalam sejarah
liturgi bangsa Yahudi dan liturgi Gereja hingga saat ini.
Mzm 95:1-2:
• Marilah kita bersorak-sorai untuk TUHAN, bersorak-sorak bagi gunung batu keselamatan kita.
Biarlah kita menghadap wajah-Nya dengan nyanyian syukur, bersorak-sorak bagi-Nya dengan
nyanyian mazmur.
Mzm 150:1-6:
Haleluya! Pujilah Allah dalam tempat kudus-Nya!
Pujilah Dia dalam cakrawala-Nya yang kuat!
Pujilah Dia karena segala keperkasaan-Nya, pujilah Dia sesuai dengan kebesaran-Nya yang hebat!
Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi!
Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling!
Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang!
Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!
• Tradisi bangsa Yahudi dan Kristiani meyakini bahwa lewat musik dan lagu kita dimungkinkan
untuk masuk dalam relasi mendalam dengan Allah.
• Lagu dan musik bisa membuat “waktu menjadi kendengaran”!
• No worship service without music
• Berdasarkan Mazmur di atas, dapat dikatakan bahwa dalam sejarah bangsa Yahudi dan sejarah
Gereja awali tidak ada perayaan iman tanpa musik.
• Memang ada catatan yang menyebutkan tentang “silent Mass” (Missa Hening), tetapi ternyata
yang dimaksud dengan silent Mass itu adalah termasuk dalam kategori kekecualian.
• Dalam tradisi Gereja-gereja timur (orthodox) tidak mungkin perayaan liturgi dirayakan tanpa lagu,
• walaupun dalam tradisi Gereja-gereja orthodox pernanan alat musik hampir tidak ada karena
sejarah Gereja timur di masa lampau yang menolak alat-alat musik masuk dalam Gereja.
• Di Gereja-gereja orthodox yang menggunakan bahasa Salvic menggunakan lagu-lagu polyphony
(dua atau lebih suara) yang diadaptasi dari lagu-lagu asli yang monophony (satu suara).
• Sedangkan di Gereja-gereja Reformasi banyak yang menggunakan alat-alat musik karena
teologinya yang sangat dominan dengan ciri khas Gereja-gereja reformasi yang menekankan
proklamasi/ pewartaan Injil.
• What is church musik?
• Harus kita akui, bahwa hingga saat ini (khususnya sejak Konsili Vatikan II) kita belum mempunyai
kriteria-kriteria khusus yang cukup tegas yang bisa dipakai sebagai panduan menentukan apa itu
musik Gereja.
• Apakah ini advantage atau disadvantage?
• Konteks teologis dan liturgis dari musik liturgi
• Liturgi tidak sekedar rangkaian dari teks-teks doa dan bacaan, melainkan mencakup juga tentang
bagaimana doa dan teks itu diungkapkan.
• Dalam hal ini kekuatan musik dan lagu mengambil tempat penting.
• Lagu dan musik sangat menolong dalam memberi warna/nuansa perayaan yang sedang dirayakan.
• Dimensi estetis dari musik dan lagu berperan penting dalam merayakan iman secara praktis.
• Dengan peranan musik dan lagu, maka liturgi “berjasa” (berguna) membuat Gereja hadir dalam
pengalaman akan rasa kehadiran Allah di tengah-tengah dunia.
• Expressing what cannot be said
• Dimensi terdalam dari musik liturgi adalah:
musik membantu memberi suara (menyuarakan) apa yang tak terungkapkan dengan kata.
• Apa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata bisa diungkapkan dengan musik.
• Musik terkait erat dengan perasaan dan emosi manusia, dan dimensi ini akan sangat berguna ketika
kita ingin mengungkapkan iman kita yang juga ternyata meliputi dan menyentuh perasaa dan
emosi.
• (Meskipun iman itu tidak sama dengan perasaan).
• Konsili Vatikan II
• SC 112 menekankan bahwa musik liturgi adalah liturgi itu sendiri.
• Musik liturgi bukan sekedar selingan atau tambahan atau dekoras demi kemeriahan liturgi.
• Musik sebagai bagian liturgi bisa terlihat dalam bagian-bagian nyanyian, misalnya:
kyrie, Gloria, mazmur tanggapan (sebagai bagian dari liturgi sabda), kudus sebagai bagian dari Ekaristi.
• Musik liturgi berfungsi untuk memperjelas misteri Kristus, menumbuhkan kesadaran kebersamaan,
dan komunikasi antar jemaat dan memberi kemeriahan dan keagungan bagi liturgi.
• Musik dapat digunakan untuk mendorong terciptanya aktif partisipasi umat, membantu umat agar
dapat melibatkan jiwanya dalam perayaan liturgi.
• Konsili Vatikan II menekankan bahwa musik liturgi ada untuk melayani dan mengabdi liturgi dan
bukan sebaliknya.
• Musik liturgi tidak boleh menjadi yang lebih penting dan dominan daripada liturgi itu sendiri.
• Musik liturgi harus diletakkan dalam konteks perayaan dan pengungkapan iman Gereja.
• Liturgi adalah perayaan iman, bukan konser musik.
• Perlu diperhatikan bahwa musik dan lagu harus membantu umat dalam berliturgi, berjumpa dengan
Tuhan dan sesamanya.
• Musik harus mendorong aktif paritisipasi umat dalam berliturgi.
• Agar umat merasa berpartisipasi, maka peranan musik bisa membantu memberi cita rasa setempat
bagi umat.
• Lagu-lagu liturgi tentunya harus sesuai dengan ajaran iman Gereja.
• Bantuan dari cabang ilmu teologi seperti dogmatis (dan sistematis) dan teologi biblis, dll., tentunya
sangat dibutuhkan untuk meninjau syair madah (himne) sehingga lagu-lagu liturgi sesuai dengan
ajaran iman Gereja.
• Syair (madah-lagu) liturgi harus mempunyai dasar biblis yang benar, berpusat pada iman akan
Kristus (dan Allah).
• Musik harus menyesuaikan dengan tema dan jiwa liturgi.
• Kriteria musik liturgi yang baik bukan pada popularitas lagu, tetapi pada kecocokan musik dengan
jiwa dan misteri iman akan Kristus yang sedang dirayakan.
• Lagu dalam Perayaan Liturgi (Ekaristi)
menurut dokumen resmi Gereja:
PUMR
(Pedoman Umum Missale Romawi)
Lagu dan saat doa-doa presidensial
PUMR 32.
• Seturut hakikatnya, doa-doa “presidensial” harus dibawakan dengan suara lantang dan ucapan yang
jelas, supaya mudah ditangkap oleh jemaat. Sebaliknya jemaat wajib mendengarkannya dengan
penuh perhatian.
• Oleh karena itu, sementara imam membawakan doa tak boleh dibawakan doa lain atau nyanyian.
Juga tidak boleh dimainkan organ atau alat musik lain.
• Makna Nyanyian
PUMR 39.
Rasul Paulus menganjurkan kepada himpunan umat yang menantikan kedatangan Tuhan, supaya mereka
melagukan mazmur, madah, dan lagu-lagu rohani (lih. Kol 3:16). Orang bernyanyi karena hatinya gembira
(lih. Kis 2:46). Dengan tepat Agustinus berkata, "Orang yang penuh cinta suka bernyanyi." Ada juga
peribahasa kuno, "Yang bernyanyi dengan baik berdoa dua kali."
• Makna Nyanyian
PUMR 40.
• Karena alasan itu, dan dengan mempertimbangkan kekhasan bangsa dan kemampuan jemaat
liturgis yang bersangkutan, penggunaan nyanyian dalam perayaan Misa hendaknya dijunjung
tinggi. Memang, tidak selalu perlu melagukan semua teks yang dimaksudkan sebagai nyanyian,
misalnya dalam misa harian. Tetapi, hendaknya sungguh diupayakan agar dalam perayaan liturgi
pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib nyanyian-nyanyian yang ditentukan untuk pelayan dan
umat selalu dilagukan.
• Makna Nyanyian
PUMR 40.
• Untuk menentukan teks-teks mana yang akan dilagukan, hendaknya didahulukan yang lebih
penting, yakni: teks-teks yang dilagukan oleh imam atau diakon atau lektor dengan jawaban oleh
umat, atau teks yang dilagukan oleh imam dan umat bersama-sama.
• Makna Nyanyian
PUMR 41.
Meskipun semua nyanyian sama, nyanyian gregorian, yang merupakan ciri khas liturgi Romawi, hendaknya
diberi tempat utama. Semua jenis musik ibadat lainnya, khususnya nyanyian polifoni, sama sekali tidak
dilarang, asal saja selaras dengan jiwa perayaan liturgi dan dapat menunjang partisipasi seluruh umat
beriman. Dewasa ini, makin sering terjadi himpunan jemaat yang terdiri atas bermacam-macam bangsa.
Maka sangat diharapkan agar umat mahir melagukan bersama-sama sekurang-kurangnya beberapa bagian
ordinarium Misa dalam Bahasa Latin, terutama Credo dan Pater noster dengan lagu yang sederhana.
• Kapan dinyanyikan?
Perarakan Masuk
PUMR 47.
Setelah umat berkumpul, imam bersama dengan diakon dan para pelayan berarak menuju altar. Sementara
itu dimulai nyanyian pembuka. Tujuan nyanyian tersebut ialah: membuka Misa, membina kesatuan umat
yang berhimpun, mengantar masuk ke dalam misteri masa liturgi atau pesta yang dirayakan, dan mengiringi
perarakan imam beserta pembantu-pembantunya.
• Perarakan Masuk
PUMR 48.
Nyanyian pembuka dibawakan silih-berganti oleh paduan suara dan umat atau bersama-sama oleh penyanyi
dan umat. Dapat juga dilagukan seluruhnya oleh umat atau oleh paduan suara saja. Nyanyian tersebut dapat
berupa mazmur dengan antifonnya yang diambil dari Graduale Romanum atau dari Graduale Simplex.
Tetapi boleh juga digunakan nyanyian lain yang sesuai dengan sifat perayaan, sifat pesta, dan suasana masa
liturgi, asal teksnya disahkan oleh Konferensi Uskup.
• Bila tidak ada nyanyian pembuka, maka antifon pembuka yang terdapat dalam Misale dibawakan
oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh beberapa orang dari mereka, ataupun oleh seorang
pembaca. Dapat juga imam sendiri membacakannya sesudah salam; bahkan imam boleh
menggubah antifon pembuka menjadi kata pengantar (bdk. no. 31).
• Tuhan kasihanilah kami…
PUMR 52.
Pernyataan tobat selalu disambung dengan Tuhan Kasihanilah, kecuali kalau seruan Tuhan Kasihanilah
telah tercantum dalam pernyataan tobat. Sifat Tuhan Kasihanilah ialah berseru kepada Tuhan dan memohon
belaskasihan-Nya. Oleh karena itu, Tuhan Kasihanilah biasanya dilagukan oleh seluruh umat, artinya: silih-
berganti oleh umat dan paduan suara atau solis.
• Pada umumnya, masing-masing seruan Tuhan Kasihanilah diulang satu kali. Akan tetapi,
berhubung dengan bahasa setempat, dengan lagu ataupun sifat pesta, Tuhan Kasihanilah itu boleh
diulang-ulang lebih banyak.
• Kalau Tuhan Kasihanilah dibawakan sebagai bagian pernyataan tobat, setiap aklamasi didahului
ayat yang sesuai.
• Kemuliaan
PUMR 53.
Kemuliaan adalah madah yang sangat dihormati dari zaman kristen kuno. Lewat madah ini Gereja yang
berkumpul atas dorongan Roh Kudus memuji Allah Bapa dan Anakdomba Allah, serta memohon
belaskasihan-Nya. Teks madah ini tidak boleh diganti dengan teks lain. Kemuliaan dibuka oleh imam atau,
lebih cocok, oleh solis atau oleh kor, kemudian dilanjutkan oleh seluruh umat bersama-sama, atau oleh
umat dan paduan suara bersahut-sahutan, atau hanya oleh kor. Kalau tidak dilagukan, madah Kemuliaan
dilafalkan oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh dua kelompok umat secara bersahut-sahutan.
• Kemuliaan dilagukan atau diucapkan pada hari-hari raya dan pesta, pada perayaan-perayaan
meriah, dan pada hari Minggu di luar Masa Adven dan Prapaskah.
• Liturgi Sabda
Mazmur Tanggapan
PUMR 61.
• Sesudah bacaan pertama menyusul mazmur tanggapan, yang merupakan unsur pokok dalam Liturgi
Sabda. Mazmur tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang
permenungan atas sabda Allah.
• Mazmur tanggapan hendaknya sesuai dengan bacaan yang bersangkutan, dan biasanya diambil dari
Buku Bacaan Misa (Lectionarium).
• Mazmur Tanggapan
• Dianjurkan bahwa mazmur tanggapan dilagukan, sekurang-kurangnya bagian ulangan yang
dibawakan oleh umat.
• Pemazmur melagukan ayat-ayat mazmur dari mimbar atau tempat lain yang cocok.
• Seluruh jemaat tetap duduk dan mendengarkan; dan sesuai ketentuan, umat ambil bagian dengan
melagukan ulangan, kecuali kalau seluruh mazmur dilagukan sebagai satu nyanyian utuh tanpa
ulangan.
• Akan tetapi, untuk memudahkan umat berpartisipasi dalam mazmur tanggapan, disediakan juga
sejumlah mazmur dengan ulangan yang dapat dipakai pada masa liturgi atau pesta orang kudus.
• Bila dilagukan, mazmur tersebut dapat dipergunakan sebagai pengganti teks yang tersedia dalam
Buku Bacaan Misa (Lectionarium).
• Kalau tidak dilagukan, hendaknya mazmur tanggapan didaras sedemikian rupa sehingga membantu
permenungan sabda Allah.
• Mazmur yang ditentukan dalam Buku Bacaan Misa dapat juga diganti dengan mazmur berikut:
graduale yang diambil dari buku Graduale Romanum, atau mazmur tanggapan atau mazmur
alleluya yang diambil dari buku Graduale Simplex dalam bentuk seperti yang tersaji dalam buku-
buku tersebut.
• Bait Pengantar Injil
PUMR 62.
Sesudah bacaan yang langsung mendahului Injil, dilagukan bait pengantar Injil, dengan atau tanpa alleluya,
seturut ketentuan rubrik, dan sesuai dengan masa liturgi yang sedang berlangsung. Aklamasi ini merupakan
ritus atau kegiatan tersendiri.
Dengan aklamasi ini jemaat beriman menyambut dan menyapa Tuhan yang siap bersabda kepada mereka
dalam Injil, dan sekaligus menyatakan iman. Seluruh jemaat berdiri dan melagukan bait pengantar Injil,
dipandu oleh paduan suara atau solis.
a. Di luar Masa Prapaskah, dilagukan bait pengantar Injil dengan alleluya. Ayat-ayat diambil dari
Buku Bacaan Misa atau dari buku Graduale.
b. Dalam Masa Prapaskah, dilagukan bait pengantar Injil tanpa alleluya sebagaimana ditentukan
dalam Buku Bacaan Misa. Dapat juga dilagukan mazmur lain atau tractus sebagaimana tersaji
dalam Graduale.
• Bait Pengantar Injil
PUMR 63.
Jika sebelum Injil hanya ada satu bacaan, hendaknya diperhatikan hal-hal berikut:
a. Di luar Masa Prapaskah, sesudah bacaan pertama dapat dilagukan nyanyian mazmur alleluya atau
mazmur tanggapan disusul bait pengantar Injil dengan alleluya.
b. Dalam Masa Prapaskah, sesudah bacaan pertama dapat dilagukan mazmur tanggapan dan bait
pengantar Injil tanpa alleluya atau mazmur tanggapan saja.
c. Kalau tidak dilagukan, bait pengantar Injil dengan atau tanpa alleluya dapat dihilangkan.
• Bait Pengantar Injil
PUMR 64.
• Sekuensia dilagukan sesudah alleluya. Madah ini fakultatif, kecuali pada Hari Minggu Paskah dan
Pentakosta.
• LITURGI EKARISTI
(Dalam PUMR)
• Liturgi Ekaristi
Persiapan persembahan
PUMR 74.
Perarakan mengantar bahan persembahan ke altar sebaiknya diiringi dengan nyanyian persiapan
persembahan (bdk. no. 37, b).
Nyanyian itu berlangsung sekurang-kurangnya sampai bahan persembahan tertata di atas altar. Untuk
nyanyian persiapan persembahan berlaku petunjuk yang sama seperti nyanyian pembuka, (bdk. no. 48) di
atas. Kalau tidak ada perarakan persembahan, tidak perlu ada nyanyian. [Boleh ada lagu dan musik
walau tidak ada perarakan persembahan.]
• Liturgi Ekaristi
Persiapan persembahan
PUMR 74.
... Kalau tidak ada perarakan persembahan, tidak perlu ada nyanyian. [Boleh ada lagu dan musik
walau tidak ada perarakan persembahan.]
 bdk. PUMR 32 tentang doa presidensial
 Oleh karena itu, sementara imam membawakan doa tak boleh dibawakan doa lain atau nyanyian.
Juga tidak boleh dimainkan organ atau alat musik lain.
• Doa Syukur Agung
Pemecahan Roti
PUMR 83. …
Sementara imam memecah-mecah roti dan memasukkan sepotong kecil dari roti itu ke dalam piala berisi
anggur, dilagukan Anakdomba Allah, seturut ketentuan, oleh paduan suara atau solis dengan jawaban oleh
umat.
Kalau tidak dilagukan, Anakdomba Allah didaras dengan suara lantang. Karena fungsinya mengiringi
pemecahan roti, nyanyian ini boleh diulang-ulang seperlunya sampai pemecahan roti selesai. Pengulangan
terakhir ditutup dengan seruan: berilah kami damai.
Komuni
PUMR 86.
• Sementara imam menyambut Tubuh dan Darah Kristus, nyanyian komuni dimulai. Maksud
nyanyian ini ialah:
(1) agar umat yang secara batin bersatu dalam komuni juga menyatakan persatuannya secara lahir
dalam nyanyian bersama,
(2) menunjukkan kegembiraan hati, dan
(3) menggarisbawahi corak “jemaat” dari perarakan komuni.
• PUMR 86.
• Nyanyian itu berlangsung terus selama umat menyambut, dan berhenti kalau dianggap cukup. Jika
sesudah komuni masih ada nyanyian, maka nyanyian komuni harus diakhiri pada waktunya.
• Haruslah diupayakan agar para penyanyi pun dapat menyambut komuni dengan tenang.
• komuni
PUMR 87.
Untuk nyanyian komuni dapat diambil antifon komuni dari Graduale Romanum dengan atau tanpa ayat
mazmur; dapat juga diambil antifon komuni beserta ayat-ayat mazmurnya dari Graduale Simplex.
Nyanyian lain yang telah disetujui oleh Konferensi Uskup boleh digunakan juga. Nyanyian itu dapat
dibawakan oleh paduan suara sendiri, atau oleh paduan suara/solis bersama dengan jemaat.
• komuni
Kalau tidak ada nyanyian komuni, maka antifon komuni yang terdapat dalam Misale dapat dibacakan oleh
umat beriman atau oleh beberapa orang dari mereka, atau oleh lektor.
Atau, dapat juga dibacakan oleh imam sendiri sesudah ia menyambut Tubuh dan Darah Kristus, sebelum
membagikannya kepada umat beriman.
• Pemilihan Nyanyian
PUMR 366
• Nyanyian-nyanyian yang terdapat dalam Tata Perayaan Ekaristi, misalnya Anakdomba Allah, tidak
boleh diganti dengan nyanyian lain.
PUMR 367
• Dalam memilih nyanyian pembuka, mazmur tanggapan, persiapan persembahan, dan komuni
hendaknya diperhatikan petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam kaitan dengan masing-masing
nyanyian (bdk. no. 40-41, 47-48, 61-64, 87-88).
• Tempat Paduan Suara dan Alat Musik
PUMR 312.
• Paduan suara merupakan bagian utuh dari umat yang berhimpun namun memiliki tugas yang
khusus. Oleh karena itu, dengan memperhatikan tata ruang gereja, paduan suara hendaknya
ditempatkan sedemikian rupa sehingga kedua ciri khas tersebut tampak dengan jelas.
• Juga agar paduan suara dapat menjalankan tugasnya dengan mudah, dan memungkinkan setiap
anggota paduan suara berpartisipasi secara penuh dalam Misa, yaitu berpartisipasi secara
sakramental.
• Tempat Paduan Suara dan Alat Musik
PUMR 313.
• Organ dan alat-alat musik lain yang boleh digunakan dalam liturgi, hendaknya diatur pada tempat
yang cocok, sehingga dapat menopang nyanyian baik paduan suara maupun umat, dan kalau
dimainkan sendiri dapat didengar dengan baik oleh seluruh umat.
• Seyogyanya, sebelum digunakan khusus untuk liturgi, organ diberkati menurut tata cara yang
diuraikan dalam buku Rituale Romanum.
• Selama Masa Adven, organ dan alat musik lain hendaknya dimainkan secara sederhana sehingga
mengungkapkan ciri khas masa ini; jadi, jangan terlalu meriah sehingga memberi kesan bahwa
Natal telah tiba.
• Selama Masa Prapaskah, organ dan alat musik lain hanya boleh dimainkan untuk menopang
nyanyian, kecuali pada Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV) dan hari raya serta pesta yang
terjadi dalam masa ini.
• Tata Ruang Liturgi
menurut dokumen resmi Gereja -
PUMR
• I. Asas-asas Umum
PUMR 288.
• Untuk merayakan Ekaristi, umat Allah biasanya berhimpun dalam gereja.
• Kalau tidak ada gereja, atau kalau gereja tidak memadai, mereka berhimpun di suatu tempat lain
yang pantas untuk misteri yang seagung itu.
• PUMR 288
• Maka dari itu, hendaknya ruang gereja atau tempat lain itu sungguh-sungguh sesuai untuk perayaan
kudus yang dilangsungkan di dalamnya, dan sungguh-sungguh memungkinkan partisipasi umat
beriman dalam perayaan tersebut.
• Rumah ibadat dan segala perlengkapannya hendaknya sungguh pantas, indah, serta merupakan
tanda dan lambang alam surgawi.
• Asas umum
PUMR 289.
Dari sebab itu, Gereja selalu mengharapkan sumbangan para seniman dan memberikan keleluasaan kepada
kesenian segala bangsa serta daerah.
Memang, Gereja berusaha memelihara karya seni dari abad-abad yang lalu dan menyesuaikan seperlunya
dengan tuntutan zaman, namun ia berusaha juga memajukan bentuk-bentuk baru yang serasi dengan
semangat zamannya.
• PUMR 289.
Oleh karena itu, dalam mendidik para seniman dan dalam memilih karya-karya seni untuk gereja,
hendaknya dituntut yang sungguh bermutu.
Sebab seni itu harus membantu memperdalam iman dan kesucian, harus selaras dengan kebenaran yang
mau diungkapkan dan mencapai tujuan yang dimaksud.
• Asas umum
PUMR 290.
• Semua gereja hendaknya didedikasikan atau, sekurang-kurangnya, diberkati.
• Katedral dan gereja-gereja paroki harus didedikasikan dengan ritus meriah.
• Asas umum
PUMR 291.
• Untuk mendirikan gereja baru, atau memperbarui gereja lama, atau mengubah konstruksi gereja,
hendaknya lebih dulu diminta nasihat kepada Komisi Liturgi dan Komisi Kesenian keuskupan.
• Uskup diosesan hendaknya memanfaatkan nasihat komisi-komisi tersebut, bila ia harus
memberikan petunjuk, mengesahkan rencana untuk bangunan baru, atau mengambil keputusan lain
di bidang ini.
• Asas umum
PUMR 292.
• Hiasan gereja hendaknya bermutu, anggun tetapi tetap sederhana.
• Bahan untuk hiasan hendaknya asli.
• Seluruh perlengkapan gereja hendaknya mendukung pendidikan iman umat dan martabat ruang
ibadat.
• Asas umum
PUMR 293.
• Perancangan gereja dan lingkungan sekitarnya hendaknya serasi dengan situasi setempat dan sesuai
pula dengan tuntutan zaman.
• Maka dari itu, tidak cukup kalau hanya syarat-syarat minimal untuk perayaan ibadat dipenuhi.
• Hendaknya juga diusahakan agar umat beriman, yang secara teratur berhimpun di situ, merasa
nyaman.
• Asas umum
PUMR 294.
• Umat Allah yang berhimpun untuk Misa mempunyai susunan organik dan hirarkis. Hal itu tampak
dalam bermacam-macam tugas dan aneka ragam tindakan yang dilakukan dalam masing-masing
bagian perayaan liturgi.
• Oleh karena itu, tata ruang gereja haruslah disusun sedemikian rupa, sehingga mencerminkan
susunan umat yang berhimpun, memungkinkan pembagian tempat sesuai dengan susunan itu, dan
mempermudah pelaksanaan tugas masing-masing anggota jemaat.
• Asas umum
• Umat beriman dan paduan suara hendaknya mendapat tempat yang memudahkan mereka
berpartisipasi secara aktif di dalam liturgi.
• Imam, diakon, dan pelayan-pelayan lain hendaknya mengambil tempat di panti imam. Di sini pula
hendaknya disiapkan tempat duduk untuk para konselebran; tetapi, kalau jumlah konselebran besar,
hendaknya tempat duduk mereka diatur di bagian lain gereja, tetapi masih dekat dengan altar.
• Asas umum
• Jadi, tata ruang gereja harus menunjukkan susunan hirarkis umat dan keanekaragaman tugas-tugas.
• Meskipun demikian, tata ruang gereja harus tetap mewujudkan kesatuan, supaya dengan demikian
tampaklah kesatuan seluruh umat kudus.
• Penataan dan keindahan ruang serta semua perlengkapan gereja hendaknya menunjang suasana doa
dan mengantar umat kepada misteri-misteri kudus yang dirayakan di sini.
• II. Penataan Panti Imam untuk Perayaan Kudus
PUMR 295.
• Panti imam adalah tempat di mana altar dibangun, sabda Allah dimaklumkan, dan imam, diakon,
serta pelayan-pelayan lain melaksanakan tugasnya.
• Panti imam hendaknya sungguh berbeda dari bagian gereja lainnya, entah karena lebih tinggi
sedikit, entah karena rancangan dan hiasannya.
• Panti imam hendaknya cukup luas, sehingga perayaan kudus dapat dilaksanakan dengan
semestinya dan kegiatan yang dilaksanakan di sana dapat dilihat dengan jelas.
• Altar dan Hiasannya
PUMR 296.
• Altar merupakan tempat untuk menghadirkan kurban salib dengan menggunakan tanda-tanda
sakramental. Sekaligus altar merupakan meja perjamuan Tuhan, dan dalam Misa umat Allah
dihimpun di sekeliling altar untuk mengambil bagian dalam perjamuan itu.
• Kecuali itu, altar merupakan juga pusat ucapan syukur yang diselenggarakan dalam
Perayaan Ekaristi.
• Altar dan Hiasannya
PUMR 297.
• Bila perayaan Ekaristi berlangsung di gereja atau di kapel, harus digunakan sebuah altar.
• Bila perayaan Ekaristi berlangsung di luar gereja atau kapel, dapat digunakan meja yang pantas.
• Tetapi meja itu hendaknya ditutup dengan kain altar dan dilengkapi dengan korporale, salib, dan
lilin.
• Altar dan Hiasannya
PUMR 298.
• Sangat diharapkan agar dalam setiap gereja ada satu altar permanen, karena altar seperti ini secara
jelas dan lestari menghadirkan Yesus Kristus, Sang Batu Hidup (1 Ptr 2:4; bdk. Ef 2:20). Tetapi, di
tempat-tempat lain yang dimanfaatkan untuk perayaan liturgi, cukup dipasang altar geser.
• Suatu altar disebut altar permanen kalau dibangun melekat pada lantai sehingga tidak dapat
dipindahkan; altar disebut altar geser kalau dapat dipindah-pindahkan.
• Altar dan Hiasannya
PUMR 299.
• Altar utama hendaknya dibangun terpisah dari dinding gereja, sehingga para pelayan dapat
mengitarinya dengan mudah, dan imam, sedapat mungkin, memimpin perayaan Ekaristi dengan
menghadap ke arah jemaat.
• Di samping itu, altar hendaknya dibangun pada tempat yang sungguh-sungguh menjadi pusat
perhatian, sehingga perhatian seluruh umat beriman dengan sendirinya terarah ke sana. Seturut
ketentuan, altar utama harus berupa altar permanen dan didedikasikan.
• Altar dan Hiasannya
PUMR 300.
• Baik altar permanen maupun altar geser didedikasikan menurut tata cara yang digariskan dalam
buku Pontificale Romanum; tetapi altar geser dapat juga hanya diberkati.
• Altar dan Hiasannya
PUMR 301.
• Seturut tradisi Gereja, dan sesuai pula dengan makna simbolis altar, daun meja untuk altar
permanen harus terbuat dari batu, bahkan dari batu alam. Tetapi Konferensi Uskup dapat
menetapkan bahwa boleh juga digunakan bahan lain, asal sungguh bermutu, kuat, dan indah.
Sedangkan penyangga atau kaki altar dapat dibuat dari bahan apapun, asal kuat dan bermutu.
•Altar geser dapat dibuat dari bahan apapun asal, menurut pandangan masyarakat setempat,
bermutu, kuat, dan selaras untuk digunakan dalam liturgi.
• Altar dan Hiasannya
PUMR 302.
• Hendaknya dipertahankan tradisi Gereja untuk memasang relikui orang kudus, juga yang bukan
martir, di dalam atau di bawah altar yang akan didedikasikan. Namun harus dijamin bahwa relikui
itu asli.
• Altar dan Hiasannya
PUMR 303.
• Bila membangun gereja baru, lebih baik dibangun hanya satu altar sehingga dalam himpunan
jemaat beriman altar tunggal itu sungguh menjadi tanda Kristus yang satu dan Ekaristi Gereja yang
satu.
• Altar dan Hiasannya …PUMR 303
• Akan tetapi, dalam gereja-gereja yang sudah ada, kalau tempat altar menyulitkan partisipasi umat
dan tidak dapat dipindah tanpa merusak nilai seninya, hendaklah dibangun altar permanen baru.
• Altar baru ini hendaknya memiliki nilai seni yang sama dengan altar lama, dan didedikasikan
dengan semestinya. Hanya pada altar inilah perayaan-perayaan liturgis dilaksanakan.
• Agar tidak mengganggu perhatian umat ke altar baru, altar lama hendaknya tidak dihias secara
berlebihan.
• altar dan hiasannya
PUMR 304.
• Untuk menghormati perayaan-kenangan akan Tuhan serta perjamuan Tubuh dan Darah-Nya,
pantaslah altar ditutup dengan sehelai kain altar berwarna putih. Bentuk, ukuran, dan hiasannya
hendaknya cocok dengan altar itu.
• altar dan hiasannya
PUMR 305.
• Dalam menghias altar hendaknya tidak berlebihan. Selama Masa Adven penghiasan altar dengan
bunga hendaknya mencerminkan ciri khas masa ini (masa penantian penuh sukacita), tetapi tidak
boleh mengungkapkan sepenuhnya sukacita kelahiran Tuhan. Selama Masa Prapaskah altar tidak
dihias dengan bunga, kecuali pada Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV), hari raya dan pesta
yang terjadi pada masa ini.
• Hiasan bunga hendaknya tidak berlebihan dan ditempatkan di sekitar altar, bukan di atasnya.
• altar dan hiasannya
PUMR 306.
• Di atas altar hendaknya ditempatkan hanya barang-barang yang diperlukan untuk perayaan Misa,
yakni sebagai berikut:
a. dari awal perayaan sampai pemakluman Injil: Kitab Injil;
b. dari persiapan persembahan sampai pembersihan bejana-bejana: piala dengan patena, sibori, kalau
perlu; dan akhirnya: korporale, purifikatorium, dan Misale.
• Di samping itu, mike yang diperlukan untuk memperkeras suara imam hendaknya diatur secara
cermat.
• altar dan hiasannya
PUMR 307.
• Lilin diperlukan dalam setiap perayaan liturgi untuk menciptakan suasana khidmat dan untuk
menunjukkan tingkat kemeriahan perayaan (bdk. no. 117).
• Lilin itu seyogyanya ditaruh di atas atau di sekitar altar, sesuai dengan bentuk altar dan tata ruang
panti imam.
• Semuanya harus ditata secara serasi, dan tidak boleh menghalangi pandangan umat, sehingga
mereka dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di altar atau yang diletakkan di atasnya.
• altar dan hiasannya
PUMR 308.
• Juga di atas atau di dekat altar hendaknya dipajang sebuah salib dengan sosok Kristus tersalib.
Salib itu harus mudah dilihat oleh seluruh umat. Salib seperti itu akan mengingatkan umat beriman
akan sengsara Tuhan yang menyelamatkan.
• Maka, seyogyanya salib itu tetap ada di dekat altar, juga di luar perayaan-perayaan liturgi.
• mimbar
PUMR 309.
• Keagungan sabda Allah menuntut agar dalam gereja ada tempat yang serasi untuk pewartaan sabda,
yang dengan sendirinya menjadi pusat perhatian umat selama Liturgi Sabda.
• Sebaiknya tempat pewartaan sabda itu berupa mimbar (ambo) yang tetap, bukannya "standar" yang
dapat dipindah-pindahkan. Sesuai dengan bentuk dan ruang gereja masing-masing, hendaknya
mimbar itu ditempatkan sedemikian rupa, sehingga pembaca dapat dilihat dan didengar dengan
mudah oleh umat beriman.
• mimbar
• Mimbar adalah tempat untuk membawakan bacaan-bacaan dan mazmur tanggapan serta Pujian
Paskah. Juga homili dan doa umat dapat dibawakan dari mimbar. Untuk menjaga keagungan
mimbar, hendaknya hanya pelayan sabda yang melaksanakan tugas di sana.
• Seyogyanya, sebelum digunakan untuk keperluan liturgi, mimbar baru diberkati menurut tata cara
yang diuraikan dalam buku Rituale Romanum.
• Kursi Imam Selebran dan Para Pelayan Lain
PUMR 310.
• Kursi imam selebran harus melambangkan kedudukan imam sebagai pemimpin jemaat dan
mengungkapkan tugasnya sebagai pemimpin doa.
• Oleh karena itu, tempat yang paling sesuai untuk kursi imam selebran ialah berhadapan dengan
umat dan berada pada ujung panti imam,
• Kursi Imam Selebran dan Para Pelayan Lain
• kecuali kalau tata bangun gereja atau suatu sebab lain tidak mengizinkannya; misalnya saja kalau
dengan demikian jarak antara umat dan imam terlalu jauh, sehingga mempersulit komunikasi; atau
kalau tabernakel dibangun di belakang altar persis di tengah garis belakang panti imam. Kursi imam
selebran sama sekali tidak boleh menyerupai takhta.
• Kursi Imam Selebran dan Para Pelayan Lain
• Seyogyanya, sebelum digunakan untuk keperluan liturgi, kursi imam selebran diberkati menurut
tata cara yang diuraikan dalam buku Rituale Romanum.
• Demikian pula, di panti imam hendaknya dipasang kursi-kursi lain baik untuk para imam
konselebran maupun untuk imam-imam yang berhimpun untuk Ibadat Harian tetapi tidak ikut
berkonselebrasi.
• Kursi Imam Selebran dan Para Pelayan Lain
• Kursi diakon hendaknya ditempatkan di dekat imam selebran.
• Tempat duduk para petugas lain hendaknya jelas berbeda dengan kursi klerus, dan diatur
sedemikian rupa, sehingga semua dapat menjalankan tugasnya dengan mudah.
• III. Penataan Ruang Lain dalam Gereja
Tempat Umat Beriman
PUMR 311.
• Tempat umat beriman hendaknya diatur dengan saksama, sehingga mereka dapat berpartisipasi
dengan semestinya dalam perayaan-perayaan kudus, baik secara visual maupun secara batin.
Sebagaimana lazimnya, baiklah disediakan bangku atau tempat duduk lain bagi mereka.
• Tetapi kebiasaan menyediakan tempat duduk istimewa bagi orang-orang tertentu harus dihapus.
• Tempat Umat Beriman
• Khususnya dalam gereja-gereja yang dibangun baru, bangku atau tempat duduk lain itu hendaknya
diatur sedemikian rupa, sehingga umat dengan mudah dapat melaksanakan tata gerak yang dituntut
dalam aneka bagian perayaan, dan tanpa hambatan dapat maju untuk menyambut Tubuh dan Darah
Kristus.
• Tempat Umat Beriman
• Hendaknya diusahakan, agar umat tidak hanya dapat melihat imam, diakon, dan lektor tetapi juga,
dengan bantuan sarana teknologi modern, dapat mendengar mereka tanpa kesulitan.
• Khususnya dalam gereja-gereja yang dibangun baru, bangku atau tempat duduk lain itu hendaknya
diatur sedemikian rupa, sehingga umat dengan mudah dapat melaksanakan tata gerak yang dituntut
dalam aneka bagian perayaan, dan tanpa hambatan dapat maju untuk menyambut Tubuh dan Darah
Kristus.
• Hendaknya diusahakan, agar umat tidak hanya dapat melihat imam, diakon, dan lektor tetapi juga,
dengan bantuan sarana teknologi modern, dapat mendengar mereka tanpa kesulitan.
• Tempat Paduan Suara dan Alat Musik
Lihat PUMR no.
• 312
• 313
• Tempat Paduan Suara dan Alat Musik
PUMR 312.
• Paduan suara merupakan bagian utuh dari umat yang berhimpun namun memiliki tugas yang
khusus.
• Oleh karena itu, dengan memperhatikan tata ruang gereja, paduan suara hendaknya ditempatkan
sedemikian rupa sehingga kedua ciri khas tersebut tampak dengan jelas.
• Tempat Paduan Suara dan Alat Musik ... PUMR 312
• Juga agar paduan suara dapat menjalankan tugasnya dengan mudah, dan memungkinkan setiap
anggota paduan suara berpartisipasi secara penuh dalam Misa, yaitu berpartisipasi secara
sakramental.
• Tempat Paduan Suara dan Alat Musik
PUMR 313
• Organ dan alat-alat musik lain yang boleh digunakan dalam liturgi, hendaknya diatur pada tempat
yang cocok, sehingga dapat menopang nyanyian baik paduan suara maupun umat, dan kalau
dimainkan sendiri dapat didengar dengan baik oleh seluruh umat.
• Seyogyanya, sebelum digunakan khusus untuk liturgi, organ diberkati menurut tata cara yang
diuraikan dalam buku Rituale Romanum.
• Tempat Tabernakel
PUMR 314.
• Sesuai dengan tata bangun masing-masing gereja dan kebiasaan setempat, Sakramen Mahakudus
hendaknya disimpan dalam tabernakel yang dibangun di salah satu bagian gereja.
• Tempat tabernakel itu hendaknya sungguh mencolok, indah, dan cocok untuk berdoa.
• tabernakel
• Seturut ketentuan, hendaknya hanya ada satu tabernakel dalam satu gereja.
• Tabernakel hendaknya dibangun permanen, dibuat dari bahan yang kokoh, tidak mudah dibongkar,
dan tidak tembus pandang.
• Tabernakel hendaknya dilengkapi dengan kunci yang aman, sehingga setiap bahaya pencemaran
dapat dihindarkan.
• Seyogyanya, sebelum dikhususkan untuk penggunaan liturgis, tabernakel diberkati seturut tata cara
yang diuraikan dalam buku Rituale Romanum.
• tabernakel
PUMR 315.
• Sangatlah sesuai dengan makna simbolisnya, kalau tabernakel sebagai tempat menyimpan
Sakramen Mahakudus tidak diletakkan di atas altar di mana dirayakan Ekaristi.
• Oleh karena itu, sesuai dengan kebijakan uskup diosesan, tabernakel lebih baik ditempatkan:
• Tabernakel …PUMR 315
a. kalau di panti imam, terpisah dari altar yang digunakan untuk merayakan Ekaristi, dalam bentuk
dan tempat yang serasi, tidak terkecuali pada altar lama yang tidak lagi digunakan untuk merayakan
Ekaristi (no. 303);
b. di kapel yang cocok untuk sembah sujud dan doa pribadi umat beriman; dari segi tata bangun,
kapel ini hendaknya terhubung dengan gereja dan mudah dilihat oleh umat.
• tabernakel
PUMR 316.
• Selaras dengan tradisi, di dekat tabernakel harus dipasang lampu khusus yang menggunakan bahan
bakar minyak atau lilin. Lampu ini bernyala terus-menerus sebagai tanda dan ungkapan hormat
akan kehadiran Kristus.
PUMR 317.
• Semua hal lain yang berkaitan dengan penyimpanan Sakramen Mahakudus dan ditetapkan oleh
hukum, hendaknya selalu diperhatikan.
• Patung Kudus
PUMR 318.
• Dalam liturgi yang dirayakan di dunia, Gereja mencicipi liturgi surgawi yang dirayakan di kota
suci Yerusalem. Gereja ibarat peziarah yang berjalan menuju Yerusalem baru, tempat Kristus
duduk di sisi kanan Allah.
• Dengan menghormati para kudus, Gereja juga berharap agar diperkenankan menikmati
persekutuan dengan mereka dan ikut merasakan kebahagiaan mereka.
• Patung Kudus
• Maka, sesuai dengan tradisi Gereja yang sudah sangat tua, ruang ibadat dilengkapi juga dengan
patung Tuhan Yesus, Santa Perawan Maria, dan para kudus, agar dapat dihormati oleh umat
beriman.
• Di dalam gereja, patung-patung itu hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga dapat membantu
umat beriman menghayati misteri-misteri iman yang dirayakan di sana.
• Patung Kudus
• Maka, harus diupayakan jangan sampai jumlahnya berlebihan, dan patung-patung itu hendaknya
diatur sedemikian rupa sehingga tidak membelokkan perhatian umat dari perayaan liturgi sendiri.
• Tidak boleh ada lebih dari satu patung orang kudus yang sama.
• Patung Kudus
• Pada umumnya, pemanfaatan patung dalam tata ruang dan tata hias gereja, hendaknya sungguh
mempertimbangkan keindahan dan keagungan patung itu sendiri serta manfaatnya untuk kesalehan
seluruh umat.

Anda mungkin juga menyukai