Anda di halaman 1dari 27

BERTEOLOGI SOSIAL LINTAS ILMU

PRAKSIS BERTEOLOGI DALAM PROFESI DAN KEBERPIHAKAN


PADA KAUM MISKIN
Oleh Virgirl Lavenia Tulandi
A. Pendahuluan
Data dari Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama Repuplik Indonesia, menunjukkan ada
323 denominasi gereja-gereja di Indonesia, yang tiap denominasinya memiliki jumlah gereja
ratusan, namunada denominasi yang memiliki jumlah gereja dalam hitungan jari-jari.
Konsekuensi logis dari munculnya rtusan denominasi tersebut akan memunculkan berbagai
pardigma bergereja, khususnyha dogma yang diajarkannya. Persoalan utama munculnya
berbagai paradigma bergereja adalah masalah hermeneitika atau tafsir para pembaca Alkitab
di masing-masing denominasi, menyangkut keyakinan, tata upacara gereja, bahkan pilihanpilihan berteologi karena Alkitab merupakan Firman Allah yang terbuka dan membaca
memiliki kesempatan untuk memaknainya. Teologi merupakan bagian dari agama yang
merupakan institusionalisasi
pengalaman iman. Oleh karena itu, berteologi yang lepas dari jemaat rasanya tidak mungkin
(bisa). Karena teologi berhubungan dengan agama, maka Ia harus memiliki sifat 4 C dan 1 T.
C = Creed (Rumusan Kepercayaan)
C = Community (Komunitas)
C = Cult (ibadah)
C = Code of Conduct (membawa tambahan orientasi ter
tentu
T = Trancendence (Keabadian)
Komunitas yang menyembah sesuatu dan percaya berperilaku seperti yang daialami dalam
ibadah. Mengapa T itu sangat penting

? Karena orang beriman ada ultimate imagesemacam yang mengatasi (trancendence)


Menurut Th. Sumartana (2000) teologi itu bertanya kritis 50% sedangkan sisanya 50%
merupakan interpretasi kenyataan dan pi
lihan-pilihan etis.
Teologi dapat memiliki tafsir positif dan negatif terhadap pengalaman religi umat. Asumsi
yang digunakan untuk mendukung pernyataan tersebut bahwa teologi sebagai karya manusia
ttidak bersifat netra
l, subjektif, penuh dengan dogma, dan berpengaruh positif dan negatif. Pemikiran teologi
mutakhir selalu berkaitan pada penyusunan paradigma-paradigma yang memunculkan
anomali
karena adanya pemikiran kritis, interpretasi kenyataan dan pilihan-pilihan etis, yang pada
akhirnya memercikkan krisis untuk memunculkan paradigma-paradigma pilihan teologi baru
Dari paparan persoalan di atas, Umat Baptis yang merupakan satu
bagian dari denominsi, bagian dari bangsa Indonesia, mampu memahami dan mempraktikkan
iman Kristen berdasarkan paradigma yang diyakininya. Oleh karena itu, diskusi ini mengajak
peserta untuk memahami berbagai praksis
berteologi yang diyakini dan dijalankan, untuk menolong mereka yang miskin, lemah, dan
teraniaya seperti yang diajarkan Tuhan Yesus.
B.Teologi Sosial
Teologi Sosial dalam arti luas (Banawiratma dan Muller, 1995), yaitu sebagai teologi
kontekstual atau semacam teologi fundamental. Teologi sosial merupakan orientasi seluruh
teologi dan bukan merupakan bagian atau cabang teologi tertentu. Karena teologi berhadapan
dengan masyarakat, maka seluruh usaha teologi harus memiliki ciri sosial atau kontekstual
agar dimengerti secara lebih jelas dan lebih berfungsi bagi gereja. Teologi sosial sebagai
dimensi, arus, arah dasar, orientasi keseluruhan usaha berteologi. Teologi sosial dalam arti

sempit, yaitu sebagai teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam maslah-masalah
masyarakat, misalnya dalam menghadapi kemiskinan dan ketidakadilan. Namun dalam
praktiknya harus
memperhatikan traktat dasar (fundamen). Dinamika yang ditempuh melalui empat tahap yaitu
(1) mengenal dan mengalami secara nyata dan langsung situasi atau masalah sosial melalui
obesvasi partisipatif. Pengalamanini tak tergantikan oleh teori mana pun, (2) analisis social
untuk menempatkan pengalaman tadi ke dalam konteks masyarakat yang lebih luas lokal dan
global, (3) refleksi teologis-sosial
atas apa yang dihasilkan oleh analisis kemasyarakatan. Refleksi sosial mefrupakan refleksi
etis sosial atas hasil analisis sosial. Re
fleksi teologis adalah usaha mempertemukan semua itu dengan kesaksian Injil Yesus Kristus,
dan (4) tindakan sebagai perwujudan iman
.Dinamika pokok yang menempuh empat tahap tersebut memuat hubungan timbal balik
antara empat unsur yaitu (1) tindakan, (2) Injil Yesus Kristus, (3) refleksi, dan (4) analisis
menenai ken
yataan masyarakat yang ada. Tindakan hidup beriman tercermin dalam persekutuan
(koinonia), permakluman (kerygma), ibadah (leitourgia), dan pelayanan dalam dunia
(diakonia) yang saling berhubungan satu sama lain dan saling mempengaruhi.
C.Mengapa berpihak pada kaum miskin preferential option for the poor Dalam PL orang
miskin digambarkan dalam Kelompok An
awim, kaum miskin yang hanya mengandalkan kepada Allah saja. Sikap pasrah, sikap
mengadalkan hidupnya pada Allah saja, tidak terlepas dari penderitaan yang mereka Alami.
Mereka betul-betul miskin material dan fisik. Allahberbelas kasihan kepada orang-orang
miskin, orang-orang lemah, anak yatim piatu, para janda dan
pengungsi.

Dalam PB, hidup Tuhan Yesus untuk kaum miskin. Roh Tuhan ada di atas-Ku, oleh sebab
itu Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin; dan Ia
telah mengurtus Aku untuk memberikan pembebasan bagi orang-orang tahanan, dan
penglihatan kepada orang buta,
untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan bahwa tahun kesukaan
Tuhan telah datang (Luk 4:18-19) Gambaran mengasihi tampak bukan kepada orang Levi
yang dianggap suci oleh masyarakat, tetapi orang Samaria yang dianggap kafir, yang
menunjukkan belas kasih. Mencintai Sesama berarti menjadi sesama bagi orang yang
setengah mati, tak berdaya, tanpa pertolongan. Preferential option (love) for the poor, tidak
lain adalah mewujudkan, mencintai sesama sebagaimana Yesus mencintai. Gambaran lain
adalah munculnya kesadaranZakheus setelah betemu Yesus (Luk 19:1-10) yang bebagi
kepada yang miskin. Gereja kaum miskin digambarkan dari dua sisi. Pertama adalah
hubungan dengan Allah yang menampakkan kuasa dan belas kasih-Nya yang menyelamatkan
melalui Yesud Kristus (Segi Kritologi). Kedua, dari hubungannya dengan kaum miskin
(ekonomis, politis, kultural). Ada Apa Dengan Gereja Baptis Indonesia? Ada yang
berpandangan tidak ada problem di Gereja baptis Indonesia (GBI) dari aspek dogmatika,
karena sudah dirumuskan oleh para founding fathers-nya. GBI baik-baik saja .Namun, tidak
sedikit ada problem di GBI menyangkut aspek sosial, budaya, dan organisasinya. Dalam kon
teks sosial, tidak semua GBI melakukan kontekstualisasi dalam berteologi khususnya ambil
bagian dalam memerangi kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan dalam masyarakat. Dari
500-an anggota GBI yang ada tidak lebih 20% yang memiliki status sejahtera untuk
memberkati sesama. Dalam konteks budaya, mentalitas dan tingkah laku anggota GBI belum
memampukan diri untuk memerankan diri secara profesional dalam budaya lok
al, regional, dan global. Sumbangan GBI terhadap penembangan budaya bangsa m
asih belum terasa,

Dalam konteks organisasi, karena terikat pada doktrin konggregasional, lalu memilih doktrin
keluarga besar juga belum mampu menetapkan aturan main yang jelas dalam memberi
reward dan punishment kepada anggota organisasi gereja. Jika dilihat secara sepintas, karena
belum ada penelitian yang dipublikasikan , Jumlah Anggota GGBI 583 gereja, bekategori
besar, memangah dan kecil dengan jumlah 40.000 jiwa sebenarnya potensial untuk menjadi
gereja yang makin besar. GGBI juga memiliki 12 lembaga paragereja seperti Rumah Sakit
Baptis (Kediri, lampung. Batu), Sekolah Teologi (Semarang, Medan,jakarta, Bandung),
Sekolah Tinggi Desain di bandung, SekolahTinggi Kesehatan di Kediri, Lembaga literatur
baptis di Bandung, Lembaga Pendidikan Pertanian di Bengkulu, Wisma Retreat Baptis di
Salatiga, Lembagadana Pensiun, Lembaga Simpan-Pinjam baptis di jakarta, dan lembaga
pendidikan Kasih Imanuel di Lampung yang memiliki ribuan orang baptis sangat strategis
untuk mengembangkan GGBI secara optimal. Namun fakta, masih banyak dijumpai Gereja
yang belum mandiri, termasuk beberapa lembaga para geejanya. Adakah yang salah dalam
memanajemen Organisasi dan SDM?
Makalah disampaikan dalam forum pemikir muda Baptis 22-23 Oktober di Kediri Dr. Suroso,
M.Pd., M.Th. Dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Sekretaris YBI. D. Pilihan Profesi dan
Pelayanan Orang Baptis Saya agak membedakan pelayanan orang baptis di gereja dan di luar
gereja. Namun ada hal yang sama, ketika menjadi orang Kristen (dari gereja Baptis
Indonesia) yaitu memiliki gaya hidup (life style) sebagai anak-anak Tuhan yang mencintai
Tuhan karena sudah diberi keselamatan. Dalam bahasa sederhana, kalau kita sudah diberi
yang mulia keselamatan, lalu apa yang kita berikan untuk kemuliaan Tuhan. Karena kita
masih di bumi, dan masih sangat tergantung pada Tuhan Yesus, mau tidak mau suka atau
tidak suka kita harus bergantung pada Allah terhadap semua rencana dan tindakan kita selama
masih dibumi. Bahkan Tuhan Yesus tidak mengajari kita berdoa yang aneh-aneh, minta
terlalu banyak di bumi ini

(Mat 6). Oleh karena itu, demi kemurahan Allah,l orang Baptis harus mampu memilih profesi
(apa pun) untuk kemuliaan Allah. Bukan untuk kebanggaan manusia. Selama ini ada
anggapan yang keliru kalau menjadi hamba Allah itu harus menjadi Gembala sidang,
kuliah di program studi teologi,dan melayani sepenuh waktu di gereja. Anggapan tersebut sah
saja, untuk mereka yang benar-benar terpanggil untuk menjadi hamba tuhan sepenuh waktu,
bukan karena mendapat beasiswa dan sponsorship masuk sekolah teologia. Profesi
menyangkut keahlian (expertise), kesejawatan profesi (corporateness) dan tanggung jawab
(responsibility). Profesi dibangun dan dikembangkan secara terus menerus dan mendapat
penghargaan profesi atas apa yang dikerjakan. Pilihan profesi dilakukan dalam tiga kategori.
Kategori pertama para profesional seperti dokter, bidan, konsultan (bangunan, keuangan,
pendidikan, marketing dll), dosen, musisian, hakim,jaksa, pengacara, pilot, bankir, wartawan,
ahli bahasa, psikolog, peneliti, polisi, tentara, PNS, dan sejenisnya yang perlu pembaruan
ilmu dan pelatihan.
Kategori kedua, wirausahawan (enterpreneur) adalah para pengusaha yang bergerak pada
usaha di bidang properti, barang, dan jasa.
Kategori ketiga, buruh atau pegawai upahan. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen baptis
dapat memilih berbagai profesi itu berdasarkan talenta dan kemauannya. Berbagai profesi itu
akan menghasilkan uang yang dapat digunakan untuk pelayanan baik di gereja maupun di
luar gereja.
Makalah disampaikan dalam forum pemikir muda Baptis 22-23 Oktober di Kediri
Dr. Suroso, M.Pd., M.Th. Dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Sekretaris YBI.
Jika mau jujur, makin banyak para profesional dilahirkan, makin banyak potensi
yang dikembangkan di Gereja Tuhan. Seorang dokter dapat membantu pendeta dalam
pelayanan Firman Tuhan. Seorang guru/dosen dapat terlibat dalam penngembangan
pendidikan di sekolah Minggu, Seorang psikolog dapat membantu Bapak pendeta melakukan

konseling. Sorang sarjana musik dapat membantu pendeta menyusun acara ibdah, dst, dst.
Profesi apa pun yang disandang, jika memiliki komitmen mencintai Tuhan p
asti dapat melakukan hal banyak di gereja. Satu syarat yang harus dimiliki pelayanan Tuhan
adalah sebagai Tubuh kristus dan yang diajarkan seperti gereja mula-mula (KR 2). Tidak ada
yang merasa superior dan inferior, semua adalah anak-anak Tuhanyang memiliki komitmen
bersama. E.Studi kasus teologi Kewirausahaan Mastra (2009) menyarankan pengembangan
ekonomi gereja Bali dengan mempraktikkan Usaha-Usaha Bisnis Gereja di bali di bawah
Yayasan seperti Resor Dhyana Pura, Sekolah Perhotelan dan Pariwisata PPLP dan STIM,
Wisma Nangun Kerti dan Jasa Pernikahan Asing. Selain itu melalui Yayasan sejenis
melakukan bisnis pefrmebelan, pencetakan, dan perkreditan rakyat. Dalam menjalankan
bisnis di bawah bendera tedapat sinergi antara Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) dengan
Lembaga, Yayasan dan jemaat GKPB lainnya. Dari pengelolaan bisnis di bawah GKPB dan
para gerejanya terjadi pencapaian sasaran kemandirian keuangan, dan pertumbuhan
kekayaan. Kecemerleangan GKPB mengembangkan jemaat melalui praktik Teologi
Kewirausahaan ini tidak terlepas dari paradigma teologi dari GKPB yang pada mulanya
mendapatkan penentangan dari GKPB sendiri. Namun setelah melalui pemikiran matang,
dipraktikkanlah Teologi kewirausahaan yang dapat mensejahterakan fisik sekaligus
peningkatan spiritualitasnya. Hal senada juga disampaikan oleh Pilzer (2005)para pebisnis
Kristen harus mau belajar dengan kesalahan untuk menuju kesuksesan. Inovasi dan
kreativitas harus diupayakan oleh pengusaha Kristen untuk menghasilkan produk yang
bernilai jual Tinggi. Perusahaan rekaman Sony belajar dari kesalahan terhadap perkembangan
dunia rekam dari pisa kaset menuju rekaman diogital. IBM
Makalah disampaikan dalam forum pemikir muda Baptis 2
2-23 Oktober di Kediri
Dr. Suroso, M.Pd., M.Th. Dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Sekretaris YBI.

tidak belajar dari keseuksesan tetapi dari kesalahan. Fakta menunjukkan munculnya inovasi
teknologi dalam bidang komputer program dan peangkatnya, penerbangan, dan temuantemuan teknologi yang melegenda, dimulai dari keingintahuan anak-anak Tuhan. Mereka
ingin mempersembahkan yang paling baik untuk Tuhan. Hanya saja seperti yang disarankan
oleh Ducrow dan Hinkelammert (2004), semua hak cipta bukan swemata untuk kepentingan
bisnis dan keuntungan tetapi juga untuk kemaslahatan orang banyak .Andai saja tidak ada
Thomas Alva Edison, dunia akan Gelap Gulita. Jika tidak ada yang menemukan facebook
kita tidak akan bisa menemukan kawan-kawan lama. Kita tidak bisa mengangkasa tanpa
Alwright bersaudara. Bagaimana dengan GBI? Masih memerlukan dialog, karena kekuasaan
ada di tangan jemaat melalui minikongres dan kongres lima tahunan GGBI, sudah barang
tentu pemikiran inovatif dalam berteologi perlu disosialisasikan, termasuk teologi sosial,
teologi kerja (Buffalo Theology) dan teologi kewirausahaan . Keberbedaan merupakan suatu
rahmat dan keberbedaan itu harus dikompromikan dalam pengambilan keputusan baik secara
pribadi maupun dalam berorganisasi.
Penutup
Makalah ini merupakan paradigma penulis perihal berteologi, terlepas dari doktrin yang
disepakati oleh maswing-masing denominasi, termasuk Gereja baptis Indonesia. Picu
makalah ini akan melahirkan anomali atau pertanyaan-pertanyaan kritis, menuju krisis untuk
melahirkan paradigma baru. Berteologi sejatinya merupakan respon individu dalam
memahami Tuhan dan memahami sesama, Berteologi tanpa mempertimbangkan aspek kem
asyarakatan tampak kurang lengkap.
Sampai beberapa waktu yang lalu, pesan dan ajaran kristen lebih banyak di dominasi
oleh hal-hal yang sifatnya pribadi: berurusan dengan spiritualitas pribadi, dosa-dosa yang
bersifat pribadi serta keselamatan eskatologis yang juga bersifat pribadi. Berkat dialognya

dengan ilmu-ilmu sosial, banyak orang Kristenkhususnya para pemikir-pemikirnyamulai


menyadari bahwa pemahaman yang demikian tidak memadahi lagi.
Sebagaimana diperlihatkan oleh ilmu sosiologi, kehidupan manusia itu tidak sematamata bersifat individual tetapi juga bersifat sosial. Hal semacam itu terbukti dari fakta bahwa
di sepanjang rentang kehidupannya manusia secara konstan terlibat dalam interaksi dengan
orang lain. Ketika lahir, manusia terlahir dalam sebuah keluarga dan menjalin hubungan
dengan orang tuanya. Hubungan-hubungan sosial ini terus dilanjutkan dan semakin luas
seiring dengan bertambahnya usia dan luasnya pergaulan hidup manusia. Ketika memasuki
usia sekolah, manusia berhubungan secara sosial dengan teman-teman sekolahnya. Begitu
juga ketika manusia memasuki dunia kerja dan selanjutnya masa pensiun. Bahkan ketika
kematian menjemput, ia mampu mengundang orang lain untuk memberikan penghormatan
terakhir. Fakta semacam itu pada gilirannya juga berdampak pada keber-iman-an seseorang.
Memang benar bahwa iman adalah suatu hal yang pribadi sifatnya. Iman merupakan
tanggapan manusia atas wahyu Illahi.1[1] Ia tumbuh dari suatu pengalaman religious personal
antara orang beriman dengan Tuhan. Kendati demikian iman tidak melulu bersifat personal.
Ia juga bersifat sosial dan kultural. Iman selalu dihayati dan dikembangkan dalam suatu
komunitas dan budaya tertentu. Iman juga tidak pernah lepas dari campur tangan
komunitasnya. Sebab pengalaman religious tidak pernah dialami dalam kesendirian manusia.
Pengalaman religious selalu dialami di dalam tradisi religious tertentu dan diungkapkan
dalam bahasa-bahasa komunitasnya.2[2] Konsekuensinya spritualitas pribadi tak bisa
dilepaskan dari spiritualitas orang lain, dosa-dosa pribadi tak bisa dilepaskan dari dosa-dosa
struktural, dan keselamatan pribadi tak dapat dilepaskan dari keselamatan keluarga umat
manusia.
1
2
9

Kesadaran bahwa manusia adalah mahluk sosial dan bahwa sosialitas itu turut berjasa
dalam membentuk keber-iman-an seseorang mempunyai dua konsekuensi bagi teologi.
Pertama berbagai asumsi yang dulu diandaikan dan diterima begitu saja (taken for granted),
kini semakin dipertanyakan baik pendasaran maupun relevansinya bagi masyarakat konkret.
Kedua, kesadaran itu mendorong lahir dan berkembangnya teologi sosial.3[3]

Teologi Sosial: Baru sekaligus Lama


Dilihat dari etimologi-nya, teologi berarti ilmu (logos) tentang Tuhan (theos). Meski
demikian, secara luas, kini disadari bahwa pribadi Tuhan sendiri tidak pernah menjadi objek
dari penyelidikan teologi. Jika pribadi Tuhan dijadikan sebagai objek penyelidikan teologi,
maka akan terjadi suatu reifikasi (pembendaan) terhadap Tuhan sehingga merendahkan harkat
dan martabat Tuhan sendiri. Oleh karena itu yang menjadi objek penyelidikan teologi bukan
lagi Tuhan, tetapi penyataan atau wahyu Tuhan yang ditanggapi manusia melalui iman. Dari
sini, teologi lantas bisa dipahami sebagai suatu studi, yang melalui partisipasi dan refleksi
dalam suatu komunitas iman, berusaha untuk mengekspresikan inti iman itu di dalam bahasa
yang sejelas dan yang sesepadan mungkin.4[4]
Pemahaman akan teologi yang demikian itu, memperlihatkan bahwa berteologi akan
selalu mempersyaratkan adanya iman.5[5] Di dalam teologi, iman menjadi prasyarat yang tak
bisa ditinggalkan. Karena itulah aspek pertama dari definisi di atas adalah partisipasi-refleksi.
Teologi merupakan kegiatan yang terlibat (partisipatif), dalam pengertian ia harus bergumul
(berrefleksi) di dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak dari iman yang sudah ada itu.
Di dalam teologi, iman hendak dipahami dan dinyatakan. Karena hakekat teologi yang
3
4
5
10

demikian itu, maka teologi berbeda dengan ilmu-ilmu agama yang lain, seperti filsafat agama
dan sejarah agama, yang tidak mempersyaratkan iman di dalam penyelidikan dan
pengembangannya.
Meski teologi berpijak pada iman dan bergumul di dalam iman, teologi tidak bisa
disamakan dengan iman. Iman adalah jawaban bebas manusiaatas dasar rahmatkepada
wahyu Tuhan. Iman, tidak atau jarang mempersoalkan kebenaran yang diyakininya, sebab
kebenaran itu bersifat fondasional, dalam arti tak bisa diganggu gugat, dan diyakini sebagai
representasi dari kenyataan objektif diluar sana Yang terutama bukan benar atau tidaknya
keyakinan iman, tetapi pengakuan terhadap iman itu dan kemudian mengekspresikan dalam
kehidupan sehari-hari.6[6] Teologi pada dasarnya juga merupakan ekspresi iman, cuma saja
ekspresi iman yang ada di dalam teologi mengambil arah yang berbeda. Di dalam teologi,
iman di bawa ke tataran ilmusehingga teologi juga disebut sebagai ilmu imandan
dirumuskan dalam suatu pemikiran (thought). Hal ini pada gilirannya menjadikan teologi
tidak berbeda dengan ilmu-ilmu yang lainnya.
Ketidakberbedaan antara teologi dan ilmu-ilmu lainnya itu, telah menjebak teologi
klasik atau teologi tradisional, untuk melihat dirinya sebagai sejenis ilmu pengetahuan yang
objektif tentang iman. Teologi dipahami sebagai sebuah refleksi dalam iman menyangkut
dua loci theologici (sumber teologi), yakni Kitab Suci dan tradisi, yang isinya tidak bisa dan
tidak pernah berubah, dan berada di atas kebudayaan serta ungkapan yang dikondisikan
secara historis.7[7] Dengan pemahaman semacam ini, teologi klasik melihat dirinya sebagai
ilmu pengetahuan yang objektif dan universal. Akan tetapi, pemahaman yang semacam itu,
kini, telah bangkrut. Ada dua alasan yang bisa diberikan, pertama terkait dengan objektifitas
teologi dan yang kedua terkait dengan universalitas teologi.
6
7
11

1.

Keraguan terhadap objektifitas teologi muncul seiring dengan terjadinya revolusi dalam
cara berpikir dan memahami dunia, yang dicirikan sebagai kembali ke subjek. Revolusi ini
semakin menyadari kenyataan bahwa manusia yang berpikir dan memahami dunia adalah
mahluk yang terikat secara kultural dan historis. Mahluk semacam ini tidak pernah bisa
berpikir secara objektif, dalam arti bebas nilai dan bebas budaya. Ketika manusia mencoba
untuk memikirkan dan memahami dunia, maka pemikiran dan pemahaman itu akan sangat
dipengaruhi oleh budaya dan periode historis di mana manusia itu berada. Contoh konkret
dari hal ini dapat kita lihat ketika kita membandingkan orang Amerika dan Indonesia ketika
melihat padi. Orang Amerika menyebut rice untuk padi, entah itu padi yang hendak dituai,
sedang dijemur atau yang sudah ditanak dan dihidangkan di atas meja makan. Orang
Indonesia menyebut padi hanya untuk bulir-bulir padi, entah yang masih berada pohon padi
(jerami) maupun yang sudah dituai tapi belum digiling. Sementara untuk padi yang sudah
digiling, disebut beras dan padi yang ditanak dan dihidangkan di meja makan disebut nasi.

2.

Universalitas teologi juga akan runtuh ketika kita memahami aspek kedua dari definisi
teologi yang telah dirumuskan di atas, yaitu dimensi ekspresi. Definisi diatas menyatakan
bahwa teologi berusaha untuk mengekspresikan inti iman itu di dalam bahasa yang sejelas
dan yang sesepadan mungkin. Ketika iman berkembang dalam teologi, maka iman
berkembang dalam lingkup manusiawi, dengan menggunakan daya-daya manusiawi, dan
menerima sifat-sifat manusiawi seperti antara lain kelahiriahan, ruang dan waktu. 8[8]
Karenanya ketika teologi hendak merumuskan kebenaran iman dalam suatu pandangan, maka
pandangan tersebut perlu diekspresikan dalam bahasa yang jelas dan yang sepadan yang
tersedia. Ketika hal ini terjadi, maka teologi tidak lagi sebatas pada pemikiran teoritis
8
12

transcendental, tetapi sekaligus juga mengandung aspek dan sifat historis, praktis dan
kontekstual.9[9]

Kedua argumen di atas tidak saja menggoyang kemapanan teologi klasik, tetapi juga
memperlihatkan bahwa sudah sedari awal teologi adalah teologi sosial. Teologi sosial bukan
merupakan bagian atau cabang dari teologi tertentu.10[10] Ia juga tidak menunjuk pada
teologi tentang kehidupan sosial atau masyarakat. Teologi sosial menunjuk pada teologi itu
sendiri.11[11]
Berteologi merupakan tugas penting dari setiap umat beriman. Kegiatan itu tidak
hanya berfungsi kritis untuk mengarahkan seluruh lapangan pengalaman orang beriman untuk
kembali ke horizon yang mutlak (Tuhan), tetapi juga sangat menentukan ketika orang-orang
beriman ingin mengungkapkan kesaksiannya tentang injil di tengah-tengah situasi dunianya
yang konkret.12[12] Ketika umat beriman menghayati dan mengembangkan suatu teologi, ia
melakukannya bukan sebatas pada sifat individualitasnya, tetapi juga mencakup sifat
sosialitasnya. Teologi selalu dikerjakan dalam kerangka komunitas atau persekutuan hidup
beriman. Oleh karena itu, teologi apapun pada ujung-ujungnya akan selalu mempunyai aspek,
sifat, orientasi dan arah dasar yang sosial pula.13[13]
Ketika semua teologi adalah teologi sosial, maka teologi sosial sesungguhnya
merupakan teologi yang sangat tradisional. Teologi ini telah dijalankan oleh umat beriman
9
10
11
12
13
13

pada zaman Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Berbagai penyelidikan
terhadap Alkitab yang kontemporer, berhasil memperlihatkan bahwa di dalam Alkitab tidak
hanya terdapat satu teologi, namun banyak teologi. Di Perjanjian Lama kita bisa menjumpai
teologi, seperti teologi Yahwist, Teologi Elohist, Teologi Priestly, Teologi Deuteronomy,
teologi para nabi dan teologi-teologi para bijak Israel. Di Perjanjian Baru, kita bisa
menemukan teologi Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Paulus dll. Teologi-teologi itu
semuanya berbeda-beda. Bahkan tidak sedikit dari teologi-teologi itu yang saling
menegasikan. Teologi-teologi itu mencerminkan jaman dan dunia sosial yang berbeda-beda
serta perhatian dan keprihatinan yang berbeda-beda pula.
Hal yang sama juga berlaku bagi setiap teologi yang dikembangkan oleh umat
beriman pasca zaman Alkitab. Setelah era kitab suci, kita bisa melihat bahwa umat beriman
berusaha menjelaskan imannya dalam bahasa dan kebudayaan yang dominan dan berlaku
umum di dunia sosialnya. Klemens dari Aleksandria misalnya, menggunakan wawasanwawasan dari kaum Stoik, Origenes menggunakan pemikiran Plato, dan Agustinus sangat
kuat dipengaruhi baik oleh Plato maupun oleh kaum neo-Platonis pada zamannya. Para uskup
diperlakukan sebagai anggota istana kerajaan,mengenakan pakaian yang menandingi busana
kaisar, dan memimpin divisi-divisi politik kekaisaran yang disebut keuskupan. Konsilikonsili perdana yang diselenggarakan Gereja menggunakan istilah-istilah dari bahasa Yunani
untuk mengungkapkan hal-hal tertentu dari iman Kristen. Pada abad pertengahan, Thomas
Aquinas memanfaatkan karya-karya Aristoteles yang baru ditemukan sebagai wahana untuk
memformulasikan teologinya. Ketika zaman modern mulai merekah, Martin Luther tampil
dengan formula sola fide, sola Scriptura dan Sola Gratia. Formula itu sangat selaras dengan
suasana zaman itu dan karena itu disambut dengan hangat oleh manusia-manusia pada zaman
itu. Dan masih banyak contoh lain yang bisa diangkat untuk menunjukkan bahwa teologi
sosial merupakan teologi yang sangat tradisional.

14

Teologi Sosial bukan saja tradisional, tetapi juga sesuatu yang baru. Istilah teologi
sosial baru muncul dalam literatur-literatur teologi, baik Katolik maupun Protestan di Prancis,
Amerika Utara dan Jerman pada tahun 1895, 14[14] sebagai pengembangan lebih lanjut dari
apa yang semula disebut dengan etika sosial Kristen. Teologi sosial semakin mendapat tempat
ketika sejak decade 1970-an berbagai bentuk teologi kontekstual dijadikan sebagai primadona
di dalam pengembangan teologi. Ketika digunakan untuk pertama kalinya, teologi sosial
dikembangkan sebagai usaha untuk memahami dan memecahkan berbagai masalah sosial
yang ada di masyarakat dalam terang Injil atau pengajaran Kristen secara utuh dan
menyeluruh.15[15] Pemahaman yang demikian masih berlanjut hingga kini.16[16]
Apa yang baru di dalam teologi sosial tidak sebatas pada istilah yang baru dipakai
pada tahun 1895 dan popularitasnya pada decade 1970-an. Lebih penting dari itu, kebaruan
teologi sosial terletak pada keinginannya untuk mentransformasi kehidupan sosial. Sebagai
yang demikian itu teologi sosial, sangat mengedepankan aspek praksis. Kata praksis
merupakan istilah teknis yang berakar pada pemikiran marxisme, Mazhab Frankfrut dan
filsafat pendidikan Paulo Freire. Kata tersebut dipinjam oleh teologi Sosial untuk menunjuk
pada suatu cara berteologi yang dilakukan bukan semata-mata untuk menyediakan berbagai
ungkapan yang relevan bagi iman Kristen, namun terutama oleh komitmen pada suatu
tindakan Kristen. Para teolog yang berkecimpung dalam teologi sosial berkeyakinan bahwa
teologi menemukan pemenuhannya bukan melulu pada pemikiran yang benar (orto-doxy)
melainkan terutama dalam tindakan yang benar (orto-praxy). Keyakinan semacam itu
menggemakan kembali pemikiran Karl Marx bahwa kebenaran tidak terletak pada bidang

14
15
16
15

ide-ide atau teori, namun dalam tindakan.17[17] Bersandar pada keyakinan semacam itu,
teologi sosial lantas dipahami sebagai produk dari dialog yang berkesinambungan antara
ortodoksi dan ortopraksi. Dalam kata-kata Paulo Freire, teologi semacam itu merupakan
teologi yang dibangun berdasarkan aksi dengan refleksi. 18[18] Ia mengadakan refleksi atas
aksi dan mengadakan aksi atas refleksi. Keduanya berdialektik dan membentuk spiral
pelayanan kaum beriman.19[19] Para praktisi teologi sosial yakin bahwa dalam gagasan
tentang praksis ini mereka telah menemukan sebuah cara berteologi yang baru lagi mendasar,
sebuah cara, yang lebih dari semua cara lainnya, mampu menggubris secara memadai
pengalaman masa lampau (Injil, tradisi), serta pengalaman masa kini (pengalaman manusia,
kebudayaan,lokasi sosial dan perubahan sosial).

Teologi Sosial Kritis: Keprihatianan dan wilayah kerjanya


Sebagai sebuah cara berteologi yang beroperasi di tiga loci maka pengembangan
teologi sosial mempersyaratkan sebuah kompetensi baru: pemahaman yang memadahi
terhadap tatanan sosial/ kemasyarakatan. Kompetensi semacam ini sering disebut dengan
analisis sosial. Analisis sosial dapat didefinisikan sebagai usaha untuk memperoleh gambaran
yang lebih lengkap tentang sebuah situasi sosial lewat mempelajari struktur sosial yang ada
dan mendalami berbagai institusi sosial yang ada di dalamnya.
Ilmu-ilmu sosial mengenal banyak cara dan perspektif dalam melakukan analisis
sosial. Cara dan persepktif itu semuanya bersifat relative, sebab tidak ada tempat berdiri yang
mutlak. Ketika seseorang memakai salah satu cara dan perspektif analisis sosial, sudah tentu
ia punya alasan tersendiri. Pun demikian halnya dengan teologi sosial. Ketika teologi sosial
17
18
19
16

memanfaatkan analisis sosial, analisis itu senantiasa didedikasikan untuk mentransformasikan


kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi. Untuk kepentingan tersebut, analisis sosial
yang dikembangkan oleh mazhab Frankfrut merupakan perspektif yang sangat berguna.
Mazhab Frankfrut merupakan salah satu aliran di dalam ilmu-ilmu sosial yang
didirikan di Institut fur Sozialforschung di Frankfurt, German pada akhir tahun 1920-an dan
awal tahun 1930-an. Teori-teori sosial yang dihasilkan oleh Mazhab ini dikenal dengan nama
teori kritis. Para teoritisi Mazhab Frankfrut atau teori kritis, sangat berhutang pada Karl Marx
namun bergerak jauh melampaui Marx. Sama seperti Karl Marx, Mazhab Frankfrut juga
berusaha untuk menemukan penyebab dari dehumanisasi. Jika Karl Marx hanya melihat
sumber tersebut pada struktur ekonomi, maka mazhab Frankfrut bergerak lebih jauh. Bagi
mazhab Frankfrut dehumanisasi tidak hanya terletak pada struktur ekonomi, tetapi juga
terletak pada kebudayaan dan ideology (system kepercayaan). Salah satu kekuatan dari
mazhab Frankfrut adalah bahwa ia menganalisa masyarakat dari perspektif para korbannya.
Teologi sosial yang berdialog dengan teori Kritis itu disebut disebut sebagai teologi
sosial kritis. Teologi ini mempunyai tugas utama untuk melihat berbagai konsekuensi
structural dari tindakan-tindakan keagamaan, menilai mereka dalam terang pengajaran gereja
yang normative dan mengarahkan kembali kehadiran gereja di tengah-tengah dunia sosial
yang konkret sehingga kehadirannya semakin sesuai dengan kehendak Tuhan. 20[20] Sebagai
langkah awal bagi pelaksanaan tugas tersebut, teologi sosial kritis

berupaya untuk

menerapkan berbagai teori tentang alienasi terhadap pemahaman iman gereja. Belajar dari
teori-teori sosial dan berbagai kritik agamawi, para teolog akan dibantu untuk dapat
memahami kecenderungan-kecenderungan yang ideologis dan pathologis dalam tradisi
agamawi mereka sendiri dan juga dalam masyarakat sehingga dapat mengaktualisasikan Injil

20
17

sebagai kabar baik yang membebaskan dan mendamaikan di tengah-tengah kehidupan


sosial.21[21],
Teologi sosial kritis mempunyai tiga area kerja:22[22]

1.

Kritik Ideologi

Teologi sosial Kritis mempunyai asumsi dasar bahwa banyak masalah di dalam masyarakat
timbul karena adanya hubungan yang dicirikan oleh hubungan dominasi antara yang kuat
terhadap yang lemah. Dalam melihat berbagai persoalan yang dicirikan oleh hubungan yang
bersifat dominative itu, teologi sosial tidak hanya berhenti pada apa yang kelihatan
(manifest), namun bergerak lebih jauh dengan menyingkapkan apa-apa yang tidak kelihatan
(laten) yang disebut dengan dimensi ideologis. Oleh teologi sosial, dimensi ideologis yang
mendasari setiap hubungan yang dominative itu diangkat kepermukaan untuk dikritik dengan
tujuan agar memampukan pihak yang didominasi itu tiba pada kesadaran/pencerahan dan
dengan demikian berjuang untuk membebaskan dirinya dari hubungan yang bersifat dominasi
tersebut. Itulah sebabnya ciri utama dari teori kritis adalah kritik ideologi yakni usaha untuk
menelanjangi berbagai bentuk kesadaran atau cara berpikir yang distortif atau membodohi
atau menipu.

2.

Pengharapan Utopia
Dalam rangka melakukan kritik ideologi, teologi sosial terus mengembangkan berbagai
pemikiran teologi dengan berdialog dengan para pemikir teori kritis. Dalam dialog tersebut

21
22
18

mereka mendapatkan wawasan yang sangat berharga dari Ernst Bloch dan Karl Manheim.
Dari kedua orang itu, teologi sosial belajar tentang arti penting dari pengharapan utopia.23[23]
Dari Bloch, teologi sosial kritis belajar tentang dua jenis utopia, yaitu utopia yang konkrit dan
yang abstrak. Utopia abstrak juga disebut utopia peyoratif adalah sebuah jenis pengharapan
yang membuat manusia menjadi pasif dan hanya menunggu saja pemenuhan dari apa yang ia
harapkan. Teologi sosial kritis, menolak utopia semacam ini. Sebab utopia abstrak ini
membuat manusia terlena dengan keadaannya (bersikap menerima, menyetujui dan
mempertahankan keadaan walau sangat sulit), kehilangan kepekaan terhadap dunia sekitar,
dan hilang kepedulian. Orang-orang seperti ini kemudian menjadi tidak kritis karena tidak
merasa perlu memberikan sumbangsih bagi keadaan dunia sekarang.Teologi sosial kritis
memilih utopia konkrit atau praksis, yaitu suatu pengharapan yang memberikan daya dorong
bagi manusia untuk bertindak dalam mewujudkan apa yang diharapkan di dalam kehidupan
kekinian. Utopia konkrit akan membuat manusia untuk terlibat aktif ditengah dunianya,
punya kepekaan dalam memandang sesuatu dan kemudian membangun sikap kritis untuk
memberikan sumbangan bagi dunia/ masyarakat di mana dia hadir. Sementara itu, dari
Mannheim, teologi sosial belajar tentang pentingnya kesadaran utopis. Menurut Manheim,
kesadaran utopis akan membuat manusia sensitif terhadap system masa kini yang tak
manusiawi dan menumbuhkan dalam diri mereka suatu kerinduan akan masyarakat baru yang
lebih manusiawi.

Para teolog sosial kemudian menerapkan gagasan Bloch dan Mannheim itu pada pengharapan
eskatologis dalam kekristenan didasarkan pada pemberitaan Tuhan Yesus tentang Kerajaan
Allah. Gregory Baum, salah seorang teolog sosial yang berdialog dengan Bloch dan
Manheim, memahami Kerajaan Allah sebagai sebuah utopia yang dinyatakan. Menurutnya,
23
19

amanat kerajaan Allah yang sebagian sudah hadir di antara kita menawarkan sebuah visi
tentang kehidupan masa depan. Di masa depan, manusia akan hidup dalam keadilan dan
kedamaian, menyatu dalam persahabatan dan penyembahan bersama kepada Tuhan. Kerajaan
Allah tidak dibayangkan sebagai penaklukan oleh sebuah dunia superior tetapi sebagai
penyelesaian dari kebebasan yang segera dimulai. Kerajaan Allah merupakan perwujudan
yang nampak dari anugerah Allah yang sekarang berpengaruh dalam upaya orang-orang
untuk menciptakan persaudaraan dalam masyarakat.

3.

Praksis Pembebasan
Gagasan tentang Kerajaan Allah yang ditafsirkan dalam kerangka utopia konkrit tersebut
kemudian mendorong para teolog sosial kritis untuk senantiasa bersikap kritis terhadap
berbagai institusi yang ada sekarang ini demi sebuah pengharapan untuk memperoleh
kehidupan sosial yang lebih adil dan sederajad. Amanat sorgawi ini mendorong mereka untuk
melakukan sebuah praksis pembebasan masyarakat. Bagi para teolog sosial kritis, amanat
sorgawi itu merupakan kekuatan penggerak sejarah demi mengubah realitas masa kini
menuju kepada apa yang diharapkan. Para teolog sosial kritis percaya bahwa pengharapan
eskatologis itu, tak akan pernah sempurna kalau hanya dilakukan oleh manusia saja. Jika
hanya mengandalkan manusia,. Praksis pembebasan itu tak akan bertahan lama. praksis
tersebut akan dihadang oleh keputusasaan. Supaya keputusasaan tidak menghadang manusia,
teolog sosial kritis menyandarkan praksisnya pada janji Tuhan. Sebab hanya bersandar
kepada janji Tuhan sajalah manusia bisa bertahan dalam praksis transformasi sosial.

20

[1] Pemahaman akan iman yang semacam ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman Kristen

24

[2] Bdk. Nico Syukur Diester,Pengantar Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1991) 31

25

[3] Baskara T. Wardaya, Spiritualitas pembebasan: refleksi atas iman Kristiani dan praksis

26

pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 16


[4] John Macquarrie, Principles of Christian Theology (London: SCM Press), p. 1-3

27

[5] Orang yang tak beriman, memang bisa berteologi, dalam arti melakukan penyelidikan

28

dan mengeksplisitkan arti yang objektif dari wahyu. Hal ini dimungkinkan karena di satu
pihak wahyu diberikan kepada manusia lewat tanda-tanda dan pernyataan-pernyataan
manusiawi yang objektif (wahyu umum), dan di lain pihak di dalam diri setiap orang, secara
apriori, ada keterbukaan asasi dan konstitutif terhadap wahyu. Dalam berteologi, orang yang
tidak beriman mendasarkan teologinya pada assensus fidei (gema iman) yang potensial
(hipotetis). Konsekuensinya, orang yang tak beriman, dalam pemikirannya tidak akan dapat
memahami objek teologi secara penuh. Bahwa orang yang tidak beriman bisa berteologi, lih.
Soegeng Hardiyanto, Pengantar Ke Teologi Lambaran (Salatiga: Fakultas Teologi dan
PPSAM UKSW, 1998), p. 40

24
25
26
27
28
21

[6] Nico Syukur-Diester, Pengantar Teologi p. 69; Sebenarnya Syukur-Diester memahami

29

iman Kristen adalah iman yang kritis dalam arti iman Kristen mendorong dan merangsang
umat untuk mengetahui dan dan mengerti apa yang telah kita percayai. Dan seluruh tugas
teologi adalah untuk mengetahui apa yang diimani.

Dengan ini Syukur-Diester ingin

menyatakan bahwa iman dan teologi saling berkaitan. Lih. P. 146-147. Akan tetapi, ketika
pengetahuan dan pengertian yang dicari oleh iman itu dirumuskan teologi, ia tidak bisa
disebut lagi sebagai pengetahuan atau pengertian iman, tetapi pengetahuan dan pengertian
teologi, sehingga ketika pengetahuan dan pengertian teologi ini, suatu ketika keliru atau
dinyatakan keliru tidak berarti apa yang diyakini oleh iman menjadi keliru juga.
[7] Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere: Penerbit Ledalero,

30

2006)
[8] Soegeng Hardiyanto, Pengantar Ke Teologi Lambaran (Salatiga: Fakultas Teologi dan

31

PPSAM UKSW, 1998), 37


[9] Soegeng Hardiyanto, Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan Sumbangsih Gereja-gereja

32

di Barat terhadap Kesaksian dan Pelayanan Gereja-gereja di Indonesia, (Salatiga: Widya


Sari Press, 2004),
[10] Banawiratma & Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan

33

Hidup Beriman (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 25

29
30
31
32
33
22

[11]Bdk. Pendapat Banawiratma dan Muller yang membedakan teologi sosial dalam dua

34

pengertian: luas dan sempit. Dalam pengertian yang luas teologi sosial disamakan dengan
teologi kontekstual atau teologi fundamental. Sedangkan teologi sosial dalam pengertian
sempit diartikannya sebagai teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam masalah-masalah
masyarakat,
[12] Ibid.

35

[13] Ibid. lih. Juga Banawiratma dan Johanes Muller, p. 26

36

[14] Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan Sumbangsih Gereja-gereja di Barat terhadap

37

Kesaksian dan Pelayanan Gereja-gereja di Indonesia, (Salatiga: Widya Sari Press, 2004)
[15] Ibid.

38

[16] Lih. Misalnya definisi yang dibuat oleh Banawiratma dan Muller yang menyatakan:

39

Teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam masalah-masalah masyarakat


[17]

40

Karl

Marx,

http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1845/tesis-

feuerbach.htm
[18] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas,(Jakarta: LP3ES, 1985)

41

34
35
36
37
38
39
40
41
23

[19]Banawiratma,

42

Analisis

Sosial

dan

Pembebasan:

Refleksi

Teologis

dalam

Banawiratma (ed), Kemiskinan dan Pembebasam, (Yogyakarta: Kanisius, 1987)


[20] Gregory Baum, Religion and Alienation (New York: Paulist Press,1975), 194

43

[21] Ibid,

44

[22] Daniel Nuhamara, Kritik, Utopia dan Praksis Pembebasan Unsur-Unsur dalam

45

Berteologi Sosial Transformatif dalam Jurnal KRITIS vol XVI no. 3 2004, 326-343
[23] Kata Utopia berasal dari bahasa Yunani yang berarti tidak dan yang

46

berarti daerah atau tempat. Penggunaan paling modern mengasumsikan istilah "Utopia"
sebagai tempat yang sempurna dan bukan tempat yang mengandung arti ketiadaan. Dari kata
dasar tersebut, utopia lantas dipahami sebagai sebuah masyarakat hipotetis yang sempurna.
Dia juga digunakan untuk menggambarkan komunitas nyata yang didirikan dalam usaha
menciptakan masyarakat di atas. Kata sifat utopis digunakan untuk merujuk ke sebuah
proposal yang baik namun (secara fisik, sosial, ekonomi, atau politik) tidak mungkin terjadi,
atau

paling

tidak

merupakan

sesuatu

yang

sulit

http://id.wikipedia.org/wiki/Utopia diakses 25 Maret 2010.

dilaksanakan.

Lih.

Istilah Utopia ini kemudian

menjadi nama sebuah masyarakat ideal, diambil dari judul buku yang ditulis tahun 1516 oleh
Sir Thomas More menjelaskan tentang sebuah pulau fiksi di samudera atlantik, memiliki
sistem hukum sosial politik sempurna. Istilah ini dipakai untuk menyatakan sebuah
masyarakat yang berusaha menciptakan masyarakat ideal, dan masyarakat fiksi dalam sastra
42
43
44
45
46
24

Daftar Pustaka
Banawiratma, Sj dan Muller, SJ (1995) Berteologi Sosial Lintas Ilmu.
Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman.Yogyakarta: Kanisius
Duchrow, Ulrich and Hinkelammert, Franz J (2004) Property for People, not
Profit. Alternatives to The Global Tyrany of Capital.New York: Zed Books
Makalah disampaikan dalam forum pemikir muda Baptis 22-23 Oktober di Kediri
Dr. Suroso, M.Pd., M.Th. Dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Sekretaris YBI.
Mastra-ten Veen, Made Gunaraksawati (2009) Teologi Kewirausahaan. Konsep
dan Praktik Bisnis Gereja Kristen Protestan di Bali: Yogyakarta: Taman Pustaka
Kristen
Pilzer, Paul Zane (2005)Tuhan Ingin Anda Kaya. Teologi Ilmu Ekonomi. Cara
dan Alasan Mengapa Orang BISWA Menikmati Kekayaan m
aterial dan Spiritual di Dunia Kita Yang Melimpah Jakarta: Gramed

25

TUGAS KELOMPOK VII


TEOLOGI SOSIAL
TIDAK ADA NAMA LAIN
INJIL DAN AGAMA-AGAMA

Dosen
Pdt. Dr. HEIN ARINA, Th.M
Nama Nama Kelompok
1. Eden Wilani Mukuan
2. Santi Undap
3. Virgirl Tulandi

26

Fakultas Teologi
Yayasan GMIM Ds AZR Wenas
Universitas Kristen Indonesia Tomohon
2015

27

Anda mungkin juga menyukai