Rico Nababan
Tingkat/Jurusan : IV-C/Teologi
I. Pendahuluan
II. Pembahasan
II.1. Pengertian Misi
1
W. J. S. Poerwadarminta, KBBI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 652.
orang (dan bangsa-bangsa_ yang belum pernah mendengar tentang Injil, baik yang
beragama lain atau yang tidak beragama.2
II.2. Pengertian Keadilan
Menurut KBBI, keadilan didefenisikan yang memiliki kata dasar “adil”
memiliki arti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada
yang benar, berpegang kepada kebenaran, sepatunya dan tidak sewenang-wenang.3
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik
menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki
tingkat kepentingan yang besar. Jhon Rawls, filsuf Amerika serikat yang dianggap
salah satu filsuf politik termuka abad ke-20, menyatakan bahwa “keadilan bahwa
kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada
sistem pemikira.4
Keadilan digunakan untuk mengatakan, bahwa seseorang (atau suatu
benda) benar-benar melakukan apa yang ia harus lakukan. Umpamanya, “jalan
yang benar” dalam Mazmur 23:3 dan “neraca yang betul” dalam Imamat 19:36.
Apa yang kedua nas ini terjemahkan oleh LAI dengan “benar” dan “betul”, dalam
bahasa Ibrani tertulis “keadilan”. “jalan yang adil” ialah jalan yang memimpin
kepada tempat yang benar dan bahwa “neraca yang adil” ialah neraca yang
menimbang dengan atau tidak curang. Keadilan dalam Alkitab lebih dari “memberi
sama banyak kepada tiap-tiap orang”.5
II.3. Keadilan Menurut Tokoh
a. John Rawls
b. Faturochman
10
Matthew Robert H. Gundry: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under
Persecution, 597
lebih unggul. Pada saat yang sama, dimensi keadilan yang terkandung
didalam Iman Kristen sering kali telah diabaikan, terutama karena ia dalam
keadaan-keadaan yang dihadapi terbungkus dalam pemahaman-pemahaman
yang pada dasarnya berbeda dengan apa yang kita jumpai dalam PL.11
II.5.2. Sumbangsih Gereja dalam Keadilan Sosial
11
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 614-615.
12
http://www.leimena.org/id/page/v/211/diakonia-transformatif-gerejasebagai-struktur-mediasi.
Diakses tanggal 20 April 2020 pukul 15.32 WIB.
yang menjadi tujuan hidup orang kristen adalah amanat cinta
kasih, penebusan manusia dalam Kristus. Sehingga apabila
amanat cintakasih tersebut tidak memperlihatkan
kedayagunaannya melalui tindakan keadilan; maka ajaran cinta
kasih yang gereja bagikan itu sia-sia belaka, tak akan dipercaya.
c. Kooperatif
Pola yang tepat untuk dilakukan gerja dalam
memperjuangkan keadilan adalah pola kooperatif. Dalam pola
ini, gereja bersama-sama memperjuangkan keadilan dengan
masyarakat yang membutuhkannya dengan melakukan langkah
berikut: (1)mempelajari dengan baik persoalan hak-hak
manusia, sehinggga dapat menentukan dengan benar mana yang
perlu dilindungi atau ditegasi. (2) memberdayakan korban
ketidakadilan, sehingga mereka menyadari situasi yang dihadapi
dan kemudian sama-sama berjuang. (3) bertindak tepat,
memberi kesaksian hidup dengan terlibat secara langsung,
dimulai dari diri sendiri.
d. Membela Kepentingan Kaum Tertindas, Miskin, Lemah dan
Tersingkir
Dalam prinsip ajaran sosial gereja, didorong oleh
panggilan profefisnya, gereja harus turut serta memperjuangkan
keadilan dalam masyarakat. Yaitu dengan cara menceburkan
diri dalam kancah realitas dan pergulatan hidup manusia.
Membela kepentingan kaum tertindas, miskin, lemah, dan
tersingkir, terutama kaum yang tidak bersuara. Cinta dan
keadilan tidak dapat dipisahkan, sebab keadilan mencapai
kepenuhannya dalam cinta.13
II.5.3. Implikasi Misi Sebagai Perjuangan Keadilan pada Gereja yang
Misioner
Sebagian besar orang melihat pelayanan holistik sebagai aktivitas
yang pertama dari usaha penanaman gereja, berbentuk respons bagi
kebutuhan fisik dan sosial dari masyarakat. Sebagian lagi memulai dengan
13
https://tuhanyesus.org/cara-gereja-memperjuangkan-keadilan-dalam-masyarakat diakses tanggal
20 April 2020 pukul 14:09 WIB
visi dari transformasi individu dan masyarakat dalam seluruh bagian
kehidupan spiritual, ekonomi dan sosial dan kemudian mengembangkan
sebuah strategi yang selaras dengan visi itu.14 Jika pelayanan holistik
dianggap sebagai pelayanan gereja yang menyeluruh maka pelayanan
tersebut harus mencakup semua aspek pelayanan yang dilakukan oleh
gereja. J. C. Hoekendijk mengatakan bahwa pelayanan holistik yang
meliputi unsur-unsur pelayanan: koinonia (persekutuan), martyria
(kesaksian), dan diakonia (pelayanan sosial), merupakan hal yang mutlak
menggarisi penginjilan dan mendatangkan syalom (damai sejahtera,
keselamatan) yang dijanjikan Tuhan.15 Hal yang sama diungkapkan Yakob
Tomatala tentang hakikat misi yang holistik di mana dapat dijelaskan
sebagai “satu yang menyeluruh” yang memiliki kesatuan integral dengan
aspek-aspek lengkap yang utuh. Pemberitaan Injil menyentuh aspek
pelayanan dasar pada empat dimensi pelayanan yang holistik yaitu:
persekutuan (koinoneō), pelayanan (diakoneō), kesaksian (martureō) dan
pemberitaan (kerigma/kerussō).16
Untuk mewujudkan misi dan pelayanan sosial secara utuh
sebagai pelayanan holistik untuk memuliakan Tuhan dan memberkati
sesama maka diperlukan langkah strategis. Sebuah tim peneliti di
Yogyakarta pernah melakukan penelitian apakah peranan gereja untuk
mengentaskan kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka
mengutip pendapat Juni Thamrin yang mengatakan intervensi strategis
untuk mengentaskan kemiskinan antara lain:17
a. Pembentukan keterampilan-keterampilan spesifik dan keterampilan
manajemen di kalangan masyarakat lemah.
b. Mengembangkan berbagai kemampuan tentang teknologi tepat yang
mampu membantu lapisan masyarakat lapisan bawah.
c. Memasuki input-input baru yang sesuai dengan kebutuhan setempat
termasuk pengembangan kredit dan usaha bersama.
14
Vinay K. Samuel, Serving with the Poor in Asia, (MARC, USA), 145.
15
Arie de Kuiper, Misiologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 74.
16
Yakob Tomatala, Teologi Misi Pengantar Misiologi: Suatu Dogmatika Alkitabiah Tentang Misi,
Penginjilan, dan Pertumbuhan Gereja, (Jakarta: Leadership Foundation, 2003), 61.
17
Cathryne B. Nainggolan, Masalah Kemiskinan dan Kepedulian Gereja, (Jurnal Teologi STULOS, 2011),
153-154.
d. Mengembangkan kemampuan jasa-jasa penyuluhan dan informasi
strategis termasuk upaya penelitian yang dapat dikembangkan bersama.
e. Pengembangan infrastruktur, terutama jaringan komunikasi dan
transportasi, penyediaan sarana pokok untuk meningkatkan taraf dan
mutu hidup rakyat kecil.
Sebagai pelayan Tuhan, kaum awan dan gembala bekerjasama
mewujudkan misi dan pelayanan sosial. Namun, ada tiga hal yang perlu
dimiliki oleh seorang pelayan Tuhan yang terlibat dalam misi dan
pelayanan sosial. Penulis mengutip pengajaran John Piper yaitu:18
Pertama, ibadah adalah bahan bakar dan tujuan misi. Ibadah
adalah tujuan misi karena di dalam misi kita berkepentingan untuk
membawa bangsa-bangsa bersukacita, menikmati kemuliaan Allah. Ibadah
adalah bahan bakar misi karena Anda tidak memberitakan apa yang tidak
Anda hargai. Anda tidak akan berseru, “Jadikan sekalian bangsa
bersukacita!” kalau Anda tidak dapat berkata, “Aku bersukacita di dalam
Tuhan.” Misi dimulai dari ibadah dan menuntun kepada ibadah.
Kedua, doa menempatkan Allah pada posisi pemberi yang
tidak kekurangan apa pun dan menempatkan kita pada posisi penerima yang
membutuhkan. Jadi kalau misi gereja maju karena doa, maka supremasi
Allah menjadi nyata dan kebutuhan para utusan Injil terpenuhi. Tujuan doa
ialah kemasyhuran Bapa dan kepuasaan orang-orang kudus.
Ketiga, penderitaan itu sendiri tidak membuktikan apa-apa.
Tetapi penderitaan yang dialami karena “pengenalan akan Kristus,” dan
kehilangan yang dialami “agar memperoleh Kristus” (Filipi 3:8)
membuktikan bahwa Kristus sangat bernilai. Oleh sebab itu, Allah
menetapkan bahwa misi gereja-Nya tidak hanya maju karena didorong oleh
ibadah, tidak hanya maju dalam kuasa doa, tetapi juga karena siap
membayar harga dan siap menanggung penderitaan. “Setiap orang yang
mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan
mengikut Aku” (Markus 8:34). “Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya,
betapa banyak penderitaan yang harus ditanggung oleh karena nama-Ku”
(Kisah Para Rasul 9:16).
18
John Piper, Jadikan Sekalian Bangsa Bersukacita Supremasi Allah dalam Misi, (Bandung: Literatur
Baptis, 2003), 352-354.
Pelayanan sosial yang meliputi pendidikan, kesehatan dan panti
asuhan merupakan usaha menghayati kehidupan modern secara konkret.
Kadang-kadang kita menjumpai satu orang yang adalah sekaligus produk
dari ketiganya: dia diasuh dipanti asuhan, dia mengikuti pendidikan, dan
akhirnya dia menjadi dokter di rumah sakit. Orangnya sangat teratur dan
berdisiplin dengan waktu, dan itu sudah menunjukkan bahwa dirinya adalah
produk modernitas. Pelayanan sosial yang merupakan wujud modernitas ini
kemudian menjadi sarat makna, oleh karena telah dijadikan sarana atau alat
untuk Pekabaran Injil, dan menjadi bagian dari “Kristenisasi.”19 Pelayanan
sosial kemasyarakatan telah lama pula dilaksanakan oleh gereja Tuhan. Di
seluruh dunia kita bisa mendapati banyak sekali rumah-rumah sakit Kristen,
panti-panti asuhan Kristen, panti-panti jompo Kristen, sanatorium-
sanatorium Kristen, penyuluhan pertanian, penyuluhan kependudukan dan
bentukbentuk pelayanan sosial lainnya. Tidak dapat disangkal bahwa pola
menghadirkan berbagai pelayaan sosial kemasyarakatan ini telah
mengantarkan gereja Tuhan pada pertumbuhan dalam skala lumayan.20
Namun perlu diketahui bahwa kaum Injili sangat terfokus
kepada misi dan sering melupakan pelayanan sosial. Maka muncullah Injil
sosial dan gerakan Teologi Pembebasan. Tindakan sosial Yesus sangat
berbeda dengan program Injil Sosial. Yesus tidak memakai cara-cara
sekuler untuk mengubah situasi sosial pada jaman-Nya. Dia hanya memberi
teladan tentang apa yang harus dilakukan manusia terhadap sesamanya.
Baik Yesus maupun para rasul tidak melakukan tindakan revolusioner
untuk mengubah tatanan sosial waktu itu, walaupun sikap ini tidak berarti
bahwa mereka setuju dengan apa yang terjadi. Ketika Yesus dimintai
pendapat tentang pertengkaran dua saudara seputar materi, Dia tidak
melibatkan diri terlalu jauh. Dia hanya memberi nasehat agar berjaga-jaga
terhadap ketamakan (Lukas 12:13- 21). Paulus bahkan memberi nasehat
kepada para tuan dan budak Kristen agar mereka menjadi tuan dan budak
yang baik (Kolose 3:22-4:1; Efesus 6:5-9). Dia tidak menghilangkan
tatanan sosial yang ada. Bagi Yesus dan para rasul yang paling penting
19
Emanuel G. Singgih, Potret Misi Gereja Di Indonesia Dalam Kerangka Kritik Postmodern Terhadap
Modernitas, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), 172.
20
Purnawan Tenibemas, Pertumbuhan Gereja dan Strategi Penginjilan, (Bandung: Pusat Literatur
EUANGELION, 1990), 178.
bukanlah perubahan tatanan sosial, tetapi perubahan internal manusia.
Penerapan Teologi Pembebasan yang memakai paham Marxisme yang
bertentangan dengan Alkitab, cenderung condong untuk pelayanan sosial
dan pembebasan. Terlepas dari makna yang terkandung didalamnya,
Teologi Pembebasan mengingatkan kita untuk menerapkan kebenaran
firman Tuhan di dalam tindakan yang nyata. Tidak hanya teori tetapi harus
menyatakan perwujudan iman kepada Kristus di dalam tindakan kasih
kepada sesama sehingga Kristus dipermuliakan (Matius 5:13-16; Yakobus
2:14-26). Dan orang-orang Kristen seharusnya juga tidak hanya dapat
memberikan khotbah kepada orang-orang yang tertindas dan dalam
kesusahan namun juga harus mengulurkan tangan kasih sebagai perwujudan
yang nyata dari firman yang diberitakan.21
III. Kesimpulan
IV. Daftar Pustaka
21
Natalie, Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan, (Veritas, Oktober 2000),
191.