Anda di halaman 1dari 10

Nama Anggota Kelompok : 1.

Meliana Carolina Putri Waruwu

2. Nice Dimisioner Daeli

3. Rosmalida Gea

Semester/Jurusan : V-A/Teologi

Mata Kuliah : Pendidikan Kristiani III

Dosen Pengampu : Pdt. Gustav Gabriel Harefa, M.Th

PENDIDIKAN KRISTIANI

KEPADA KELUARGA YANG TIDAK PUNYA ANAK

I. PENDAHULUAN
Pernikahan di dalam masyarakat dipahami akan sempurna di saat pasangan yang
menikah dapat memiliki anak. Anak dianggap sebagai penerus nama dan kedudukan
keluarga yang harus dimiliki. Oleh sebab itu, ketika di dalam hubungan pernikahan tidak
mendapatkan seorang anak pun, keluarga atau pasangan tersebut dianggap tidak
sempurna, bahkan gagal sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan Kristiani untuk keluarga yang tidak memiliki anak adalah hal yang
sangat penting dipelajari. Hal ini dilakukan untuk menolong keluarga yang tidak punya
anak menghadapi berbagai persoalan. Seperti apa yang terjadi dalam lingkungan sekitar
kita bahwa ada banyak persoalan yang mereka hadapi, baik dari dalam keluarga itu
sendiri maupun di lingkungan masyarakat. Di tengah-tengah persoalan ini gereja dan
para pelayan gereja hadir untuk menolong dan memberikan pendidikan Kristiani kepada
mereka. Ada berbagai faktor dan dampak bagi keluarga yang tidak punya anak yang akan
diuraikan dalam makalah kelompok.

II. ISI
1. Kedudukan dan Peran Orangtua dalam Keluarga
Dalam Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB), keluarga sering
dipahami sebagai kelompok orang-orang yang seiman, dan orang-orang itu berasal
dari suku yang sama, kemudian mereka berhimpun bersama dan melakukan kegiatan
bersama. Di dalam PL, kisah mengenai anak-anak Yakub membentuk 12 suku yang
menjadi kesatuan dalam bangsa Israel (Kejadian 29:31-35) adalah contoh keluarga
yang berasal dari suku yang sama, sehingga mereka disebut keluarga. Dalam PB
terdapat contoh keluarga yang berhimpun bersama dan melakukan kegiatan bersama
(Kisah Para Rasul 4:32-35), kisah ini mengajarkan bahwa keluarga tidak hanya
sebatas hubungan darah, melainkan juga mereka yang satu iman, sehati, sejiwa untuk
melakukan pekerjaan yang menyenangkan Tuhan.
(Novita Zega) : Di dalam PL kisah Boas dan Rut (Rut 4:13-17) menjadi salah
satu kisah pasangan yang dikenal secara umum. Perhatian Boas kepada Rut bukan

1
sekadar iba atau adanya hubungan saudara dengan Elimelekh, mertua Rut, tapi
karena ia menghargai Rut yang baik hati terhadap mendiang ayah mertua dan
suaminya, juga terhadap Naomi, ibu mertuanya. Bahkan Rut rela meninggalkan tanah
airnya demi kepercayaannya kepada Tuhan Israel (Rut 2:10-12). Di dalam PB juga
dapat ditemui kisah pasangan suami istri yang terkenal, Yusuf dan Maria (Matius
1:18-25, Markus 10:6-12). Pasangan ini menunjukkan cinta melalui tindakan, mereka
menyelesaikan pekerjaan Allah secara bersama-sama dengan menaati apa yang
Tuhan katakan dengan mendasari akut akan Tuhan. Tetapi pada umumnya arti
keluarga dipahami sebagai keluarga inti, artinya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ada
beberapa pokok penting dalam keluarga, yakni :
a. Dalam keluarga terdapat ikatan yang mendalam dari setiap anggota keluarga.
b. Dalam perkembangannya, anak-anak akan mengadaptasikan seluruh pengalaman
yang ia lihat dan alami secara langsung.
c. Kualitas kematangan seseorang biasanya tergantung pada banyaknya latihan yang
terjadi dan dilakukan oleh keluarga.
d. Keluarga berperan untuk memberi dasar dalam pembangunan iman seorang anak.1

Orangtua dalam keluarga berperan untuk mengamati, mencari tahu “apa yang
dibutuhkan oleh seorang anak”. Sehingga dalam hal ini orang tua berusaha mencari
cara untuk membantu dan melatih kematangan otak seorang anak, agar dalam perilaku
si anak tercermin perilaku baik, dan kemampuannya mengelola emosi. Ada beberapa
hal yang menjadi peran sekaligus tugas orangtua dalam keluarga, yaitu :

a. Pertolongan dan pendampingan kepada anak untuk membantu anak memproses


emosi, beradaptasi, dan melakukan transisi hidup.
b. Orangtua belajar terus menerus, di mana ada dua komponen yang perlu dipelajari,
yakni : pertama, cara mengelola stres dan emosi diri sebagai orangtua, dan kedua
yaitu pengetahuan tentang perkembangan anak, cara merespon/berkomunikasi,
cara menstimulus anak sesuai dengan tahapan usia.
c. Orangtua melakukan pengasuhan kepada anak, yang dibagi dua, yaitu pola asuh
sensitif (sensitif dengan kebutuhan anak) dan rensponsif (merespon dengan tepat
apa yang dialami anak dan apa yang menjadi kebutuhannya).
d. Memberikan apresiasi dan pujian kepada anak
e. Orangtua memberikan cinta kasih kepada anak
f. Orangtua menjadi pendidik utama dalam pembentukan karakter dan penumbuhan
iman seorang anak.2

Di dalam penyajian kelompok, Arman Zalukhu bertanya, “bagaimana peran


orang tua dapat dilaksanakan jika tidak memilki anak?” : pada dasarnya, peran ini
akan hilang karena tidak ada anak yang dimiliki. Oleh sebab itu, muncullah
permasalahan yang dihadapi pasangan yang tidak memiliki anak.

1
Ruth S. Kadarmanto, Tuntunlah ke Jalan yang Benar-Panduan Mengajar Anak di Jemaat (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005), hlm. 28-30
2
Anastasia Satriyo, Tak Ada Sekolah Tuk jadi Orangtua (Bandung: Yrama Widya, 2020), hlm. 4-16

2
2. Masalah dalam Keluarga Yang Tidak Punya Anak
Berdasarkan hasil wawancara kelompok terhadap satu keluarga yang tidak
memiliki anak dan usia pernikahan mereka sudah 6 tahun (suami : JI. Gea dan istri :
Er. Gea), maka ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh keluarga tersebut,
yakni :
a. Adanya anggapan buruk dari masyarakat yang membuat keluarga tersebut minder
b. Istri sebagai seorang perempuan yang terus disudutkan dan dianggap tidak
sempurna, baik dari dalam keluarga itu sendiri maupun dari masyarakat
c. Kesepian dalam keluarga itu sendiri.
Dalam penyajian kelompok, Leni Lase bertanya, “mengapa kesepian
menjadi persoalan dalam keluarga yang tidak memiliki anak?” : karena rumah
yang ditempati hanya ada dua orang, suami dan istri, tidak ada orang lain yang
memberikan suasana lebih hidup dan ramai di dalam keluarga karena tidak adanya
anak yang dimiliki. Karena dalam pandangan masyarakat, anak adalah pembawa
kebahagiaan di dalam keluarga.
d. Munculnya perasaan kecewa dan bahkan pernah menyalahkan Tuhan dan
menganggap Ia tidak adil.3
e. Tidak ada keturunan yang menjadi pewaris dari harta yang dimiliki oleh pasangan
suami istri (dalam budaya Orang Nias).
Dalam penyajian kelompok, Novita Zega menanyakan, “bagaimana
pandangan kelompok terhadap hal ini?” : menurut kelompok, tidak memiliki anak
dengan kelimpahan harta yang dimiliki oleh pasangan suami istri tidak menjadi
persoalan yang besar. Pendidikan Kristiani berperan untuk memberikan
pemahaman bahwa anak bukanlah kewajiban dalam sebuah pernikahan. Harta
yang dimiliki akan lebih bermanfaat jika diberikan kepada anak-anak yang
terlantar di pinggir jalan atau panti asuhan. Dengan demikian, meski tidak
mewariskan harta kepada anak yang dihasilkan dari pernikahan, harta itu bisa
dipergunakan untuk membantu kehidupan orang-orang yang menerimanya.

3. Perspektif Masyarakat Terhadap Keluarga yang Tidak Punya Anak


Nilai-nilai anak (values of children) merupakan suatu sistem penilaian
masyarakat yang berkaitan dengan kehadiran anak dalam suatu keluarga. Masyarakat
memandang bahwa kehadiran anak merupakan pelengkap kehidupan pernikahan.
Selain itu, kehadiran anak dalam pernikahan juga dipandang sebagai tujuan dalam
pernikahan. Dariyo, dalam Jurnal Empati, mengemukakan bahwa tujuan pasangan
yang melangsungkan ikatan pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan dan
keberhasilan dalam memiliki keturunan juga merupakan suatu prestasi reproduksi
bagi pasangan yang menikah. Anak-anak dianggap juga dapat meneruskan harapan,
keinginan, maupun cita-cita orangtua. Kehadiran anak dalam pernikahan juga dapat
menghilangkan rasa sepi, bosan dan stress orangtua.4

3
Wawancara : An. Juang Indra Jaya Gea, Rabu, 20 Oktober 2021, pukul 19:46 WIB

3
Stigma yang diterima oleh keluarga tanpa anak merupakan suatu proses hasil
interaksi dengan masyarakat di mana keluarga tanpa anak dinilai sebagai keluarga
yang gagal, karena tidak menghasilkan keturunan atau pewaris. Stigma yang
diberikan kepada keluarga tanpa anak oleh masyarakat berupa discredited stigma
(didiskredit atau direndahkan). Perbedaan keluarga tanpa anak dengan keluarga
normal lainnya dapat dilihat secara nyata dengan ketidakhadiran anak dalam rumah
tangga tersebut. Sehingga pasangan suami istri yang tidak memiliki anak cenderung
dipandang sebelah mata, direndahkan atau bahkan mendapat prasangka seperti
kemandulan, karma atau penyakit. Stigma keluarga tanpa anak sebagai keluarga yang
gagal membuat salah satu atau keduanya, menyebabkan suami istri mengalami
ketidaknyamanan atas ketidakhadiran anak dalam rumah tangga mereka, khususnya
jika pernikahan telah berlangsung cukup lama. Oleh karena itu stigma yang diterima
oleh pasangan suami istri tanpa anak tersebut akan mempengaruhi interaksi dengan
lingkungan sosial serta peran sosial yang dijalankan oleh pasangan suami istri yang
tidak memiliki anak.5

4. Faktor Penyebab Pasangan Tidak Memiliki Anak


Ada dua faktor yang membuat pasangan suami-istri tidak memiliki anak dalam
hubungan pernikahan yang dijalani, yaitu:
a. Faktor Biologis6
Kemandulan bisa terjadi ketika sperma pada pria atau sel telur pada
perempuan tidak dapat diproduksi, sehingga pembuahan tidak dapat terjadi.
Biasanya, kemandulan disebabkan oleh gangguan kesuburan, baik pada pria
maupun wanita. Namun secara umum, berikut adalah penyebab kemandulan pada
pria yang perlu diketahui:
1) Infeksi menular seksual (IMS), seperti chlamydia dan gonore.
2) Saluran sperma tersumbat. Kondisi ini bisa menyebabkan sel sperma tidak bisa
masuk ke cairan mani (azoospermia). Penyebabnya bisa karena bawaan lahir
atau trauma fisik yang mengenai testis, prostat, dan uretra.
3) Gangguan ejakulasi (delayed ejaculation), adalah kondisi di mana seorang pria
membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai orgasme. Bahkan tak jarang,
kondisi ini membuat pengidapnya tidak mengalami ejakulasi sama sekali saat
berhubungan seksual.
4) Kelainan enzim pada sperma. Kondisi ini bisa menyebabkan sperma sulit
berenang dan menembus sel telur, sehingga tidak terjadi pembuahan.
5) Impotensi adalah penyakit disfungsi seksual yang dialami oleh pria. Penyakit
ini menyebabkan seseorang tidak mampu berereksi maupun mempertahankan

4
Ryan Mardiyan dan Erin Ratna Kustanti, Kepuasan Pernikahan pada Pasangan yang Belum Memiliki
Keturunan, Jurnal Empati, Vol. 5, Agustus 2016, hlm. 561-562
5
Abdul Malik Iskandar, dkk., Upaya Pasangan Suami Istri yang tidak mempunyai Anak dalam mempertahankan
Harmonisasi Keluarganya, Sosiety, Vol. 7, 2019, hlm. 149-150

6
Dyah Ratika Maulani Wulandari, Ini Dia Penyebab Kemandulan yang Perlu Kamu Ketahui,
http://ners.unair.ac.id/(diakses pada18 Oktober 2021, pukul 23:52 WIB)

4
ereksi kemaluannya, sehingga menghambat aktivitas seksual saat berhubungan
intim.
6) Varikokel, yaitu pembengkakan pada pembuluh vena di dalam kantong zakar
atau skrotum. Kondisi ini bisa ditandai dengan penyusutan testis serta
penurunan kualitas dan kuantitas sperma, membuat pengidapnya rentan
mengalami kemandulan.

Pada wanita, kemandulan bisa disebabkan oleh banyak hal, antara lain:

1) Gangguan lendir serviks. Ketidaknormalan pada lendir serviks bisa


mempersulit proses pertemuan sperma dan sel telur, sehingga menghambat
terjadinya pembuahan.
2) Gangguan ovulasi. Kondisi ini menyebabkan wanita tidak dapat melepaskan
sel telur, atau membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melepaskan sel
telur. Ini adalah kondisi paling umum yang menyebabkan wanita tidak bisa
hamil (mandul). Penyebabnya adalah gangguan hormon reproduksi seperti
GnRH (gonadotropine releasing hormone), maupun beberapa penyakit seperti
PCOS (polycystic ovary syndrome), dan kelebihan hormon prolaktin.
3) Endometriosis, yaitu suatu kondisi di mana jaringan dari lapisan dalam dinding
rahim atau endometrium tumbuh di luar rongga rahim. Pertumbuhan jaringan
tambahan atau operasi pengangkatannya bisa menyebabkan munculnya
jaringan parut. Dampaknya, jaringan parut bisa menghalangi tabung saluran
indung telur dan menghambat terjadinya pembuahan sel telur oleh sperma.
4) Kelainan anatomi, seperti kelainan pada tuba falopi, gangguan pada cairan
leher rahim (serviks), miom, dan lain-lain. Miom adalah pertumbuhan sel
tumor di dalam atau di sekitar uterus (rahim) yang tidak bersifat kanker atau
ganas. Kondisi ini bisa menyebabkan keguguran, masalah kehamilan (sangat
jarang terjadi), hingga kemandulan.

b. Faktor Pilihan Pasangan Pasutri


Tidak memiliki anak tidak selalu berarti bahwa suami atau istri infertil. Ada
pasangan yang bisa memiliki anak, namun sengaja menetapkan untuk tidak
memiliki anak. Ada wanita yang demi pengabdian kepada kepakaran atau
profesinya memutuskan untuk tidak mempunyai anak. Keputusan untuk tidak
memiliki anak yang dilakukan setelah melalui pertimbangan yang matang dan
kesepakatan antara suami dan istri menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar
di hadapan Tuhan.
Ada pula pasangan suami-istri yang menetapkan untuk tidak mempunyai
anak karena alasan lain. Pasangan suami istri yang adalah dokter sebagai
misionaris di Botswana dari Virginia yang mempunyai lima orang anak yang
semuanya adalah anak pungut dari Botswana, mengatakan bahwa mereka sengaja
menetapkan untuk tidak mempunyai anak, sebab di Botswana banyak anak yatim

5
piatu terlantar akibat perang saudara. Daripada melahirkan anak, mereka memilih
untuk memelihara anak-anak yang sudah ada.7
Di dalam penyajian kelompok, Noverlina Mendrӧfa bertanya, “bagaimana
pandangan kelompok terhadap keluarga yang mengadopsi anak dari keluarga
yang lain?” : menurut kelompok, tidak menjadi masalah selama anak yang
diadopsi diperlakukan dengan baik dan dianggap layaknya seorang anak, segala
kebutuhannya dipenuhi dan didik untuk takut akan Tuhan.

5. Dampak bagi Pasangan yang tidak memiliki anak


Anak adalah karunia dari Allah yang tak terkirakan nilainya. Pernikahan tanpa
kehadiran anak seringkali memicu persoalan tersendiri. Banyak keluarga ataupun
pasutri yang sulit mendapatkan anak dan mati-matian berusaha dan berikhtiar agar
memiliki anak. Kehadiran seorang anak juga membuat pasutri memiliki keterikatan
dan tanggung jawab untuk membesarkan, merawat dan mencintai bersama-sama
hingga mengantarkan mereka hingga mampu mandiri.8
a. Psikologi
Hasil penelitian menemukan bahwa individu yang divonis tidak dapat
memiliki anak (infertile) menunjukkan kesedihan yang mendalam, penderitaan
dalam hidup, perasaan tidak bahagia, stres, merasa tidak berguna, dan perasaan
bersalah. Perasaan-perasaan ini menyebabkan individu tersebut akhirnya
mempertimbangkan untuk berpisah dengan sang suami/istri karena tidak mampu
memberikan keturunan. Penelitian ini membuktikan bahwa ketidakmampuan
dalam memberikan keturunan dapat mengganggu hubungan pernikahan dan
mengurangi kepuasan dalam hidup.9
Menurut penelitian Ulfah dan Mulyana (2014) dalam buku Psikologi
Pasangan, perempuan yang mengalami involuntary childless sering mengalami
afeksi negatif. Ketidakhadiran anak yang dialami oleh pasangan suami istri akan
membuat suami merasa jenuh dengan kehidupan pernikahan. Kejenuhan ini pada
akhirnya membuat dirinya lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah
dengan teman-temannya dibanding istrinya. Keadaan ini membuat istri merasa
kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari suami sehingga membuat
dirinya merasa kurang nyaman dengan kehidupan pernikahannya.10

b. Sosial

7
Andar Ismail, Selamat Ribut Rukun: 33 Renungan Tentang Keluarga (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm.
108
8
Erma Yulia, Skripsi: Kondisi Psikologis Pasangan Suami Istri yang Belum Memiliki Anak di Desa Rotan Semelur
Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir, (Riau: UIN Suska Riau, 2019), hlm. 35
9
Ryan Mardiyan, Erin Ratna Kustanti, Kepuasan Pernikahan..., hlm. 559
10
Muhammad Iqbal dan Kisma Fawzea, Psikologi Pasangan (Jakarta: Gema Insani, 2020), hlm. 109

6
Dampak sosial kepada pasangan yang belum memiliki anak adalah
pertanyaan-pertanyaan seputar diri mereka, baik pertanyaan dari orang tua,
mertua ataupun masyarakat yang sangat menganggu pasangan tersebut.11
c. Budaya
Umat Israel di zaman Perjanjian Lama menjaga kelangsungan hidup dengan
melahirkan banyak anak. Ini disebabkan karena jumlah penduduk yang masih
sedikit, sedangkan tenaga manusia sangat dibutuhkan untuk berladang, berburu
dan berperang. Pertambahan penduduk diperlukan untuk menggantikan mereka
yang mati akibat banyaknya perang dan oenyakit menular. Tidak mengherankan
bahwa dalam masyarakat purba, melahirkan anak dianggap sebagai perbuatan
yang sangat bermanfaat. Dari situlah, timbul kebudayaan yang memandang
rendah infertilitas.12

d. Ekonomi
Dampak di bidang ekonomi dapat berupa kesulitan ekonomi yang dialami
oleh pasangan infertil sehinggga menimbulkan kesulitan dalam mencari informasi
seputar kondisi infertilitas, cek kesehatan dan pembelian obat.13

e. Spiritual
Berangkat dari kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang sangat
membutuhkan tambahan anggota di dalam komunitasnya, memiliki anak menjadi
sebuah keharusan dari sebuah hubungan pernikahan. Di dalam Alkitab ada
beberapa cerita di mana wanita yang infertil dicemooh dan dihina. Istri yang tidak
melahirkan dianggap sebagai aib bagi seluruh keluarga. Orang menarik
kesimpulan bahwa kemandulan adalah hukuman Tuhan.14 Kisah dalam Alkitab
tentang Hana yang lama memiliki anak, sehingga ia berkecil hati dan menangis di
hadapan Tuhan (1 Samuel 1:4-5).

6. Solusi yang Diberikan Gereja Terhadap Persoalan Keluarga yang Tidak Punya
Anak
Solusi yang bisa diberikan gereja kepada keluarga yang tidak punya anak yaitu :
a. Mendampingi dan mengingatkan mereka bahwa anak adalah anugerah, yang tidak
boleh mereka tuntut melainkan mereka hanya dapat memohon kepada Tuhan.
b. Para pelayan gereja bisa membantu mereka untuk diarahkan dan diberi solusi
tentang cara-cara yang legal dan sesuai dengan prinsip moral ketika mereka
memiliki program untuk punya anak.15
c. Gereja hadir mendampingi keluarga dan menunjukan keprihatinan dengan
melakukan kunjungan bagi keluarga.

11
Erma Yulia, Skripsi: Kondisi Psikologis..., hlm. 36
12
Andar Ismail, Selamat Ribut..., hlm. 107
13
Erma Yulia, Skripsi: Kondisi Psikologis..., hlm. 37
14
Andar Ismail, Selamat Ribut..., hlm. 107
15
KWI, Pedoman Pastoral keluarga, (Jakarta : OBOR, 2011), hlm. 81

7
d. Melakukan persekuan gereja dengan menguatkan dan membangun iman,
misalnya lewat PA.
Dalam penyajian kelompok, Berkat Waruwu dan Eniyus Laia
memberikan pertanyaan, “bagaimana PA dapat menjawab pergumulan pasangan
yang tidak memiliki anak?” : melalui khotbah atau diskusi dalam PA dapat
memberitakan firman yang berhubungan tentang pernikahan yang seharusnya di
hadapan Tuhan, sehingga paradigma di dalam masyarakat tentang pernikahan
bisa berubah; bahwa pernihakan tidak dilaksanakan dengan tujuan utama
memiliki anak. Pernikahan adalah perintah dari Tuhan kepada manusia (Kejadian
1: 27-28, 2:21-25), meski dalam kisah ini Tuhan memberikan perintah untuk
beranak cucu, dalam konteks perikop, perintah ini diberikan karena pada masa
Adam dan Hawa tidak ada manusia selain mereka.
e. Gereja juga memberikan pemahaman dan berusaha menyadarkan anggota
keluarga lain untuk tidak terus mendesak/menyudutkan keluarga yang
bersangkutan dalam memiliki anak.16
Di dalam penyajian kelompok, Arman Zalukhu bertanya, “apa ayat
Alkitab yang menjawab pergumulan pasangan suami istri yang tidak punya
anak?” : dalam Yakobus 1:17, Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah
yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang;
padaNya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran. Dengan
demikian, anak adalah anugerah dari Tuhan yang tidak bisa dipaksakan untuk
dimiliki oleh pasangan yang menikah.

7. Program PK kepada Keluarga yang Tidak Punya Anak


Program PK yang bisa diterapkan kepada keluarga yang tidak punya anak
adalah konseling pribadi dan pendampingan pastoral. Gereja perlu mendengarkan
keluh kesah dari pasangan yang susah atau bahkan tidak bisa untuk memiliki anak.
Adanya sentimen dari lingkungan sosialnya akan berdampak buruk bagi hubungan
pernikahan yang dijalani. Tidak hanya sebatas konseling pribadi, Gereja juga perlu
melakukan pendampingan kepada pasangan tersebut. Terus memberikan
pemahaman, bahwa tujuan utama pernikahan bukan untuk memiliki anak. Anak
adalah salah satu anugerah dari Tuhan dan pernikahan itu sendiri adalah anugerah
yang luar biasa, sehingga ada atau tidaknya anak tidak menjadikan keluarga yang
dibangun menjadi tidak sempurna atau gagal.
Dalam penyajian kelompok, Berkat Waruwu bertanya, “apa yang menjadi
pokok pembicaraan dalam konseling untuk pasangan yang tidak memiliki anak?” :
bahwa pernikahan bukanlah perintah untuk memiliki anak, melainkan perintah Tuhan
kepada manusia untuk bersatu dan bersama-sama mengerjakan pekerjaan yang Allah
berikan dengan takut akan Tuhan.
Program PK juga bisa dilakukan kepada masyarakat. Masyarakat perlu
diberikan pemahaman yang tepat tentang apa tujuan utama dari sebuah pernikahan,
bahwa memiliki anak bukanlah kewajiban dari pernikahan.
III. PENUTUP
16
Iris V. Cully, Dinamika Pendidikan Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 1-15

8
Laki-laki dan perempuan menikah karena sepakat untuk menjalani kehidupannya
bersama-sama, memiliki tujuan yang sama, dan untuk saling melengkapi kekurangan
masing-masing. Di dalam masyarakat, penikahan dianggap sempurna jika memiliki anak.
Anak dipandang sebagai sebuah harta berharga yang harus dimiliki oleh pasangan yang
menikah. Padahal, tujuan penikahan bukan hanya untuk memiliki anak. Tidak adanya
anak dari pernikahan yang dilakukan, tidak bisa menjadi alasan untuk menyebut
pernikahan itu gagal.
Bagi pasangan yang menikah dan tidak memiliki anak, masyarakat akan
memandang sebelah mata. Disinilah gereja dan pelayanan Kristiani hadir untuk
memberikan pemahaman kepada pasangan yang menikah dan tidak memiliki anak dan
kepada masyarakat luas bahwa memiliki anak bukanlah kewajiban dari pernikahan.
Memiliki anak adalah hak, oleh sebab itu bisa saja pasangan yang bisa memiliki anak
namun memilih untuk tidak memilikinya, tidak bisa dianggap tidak menghargai
pernikahan yang dijalankan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Cully, Iris V.2006. Dinamika Pendidikan Kristen. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Iskandar, Abdul Malik dkk. 2019. Upaya Pasangan Suami Istri yang tidak mempunyai Anak
dalam mempertahankan Harmonisasi Keluarganya. Sosiety, Vol. 7. PDF.

Ismail, Andar. 2009. Selamat Ribut Rukun: 33 Renungan Tentang Keluarga. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.

Iqbal, Muhammad dan Kisma Fawzea. 2020. Psikologi Pasangan. Jakarta: Gema Insani,
2020.

Kadarmanto, Ruth S. 2005. Tuntunlah ke Jalan yang Benar-Panduan Mengajar Anak di


Jemaat. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

KWI. 2011. Pedoman Pastoral keluarga. Jakarta : OBOR.

Mardiyan, Ryan dan Erin Ratna Kustanti. 2016. Kepuasan Pernikahan pada Pasangan yang
Belum Memiliki Keturunan. Jurnal Empati, Vol. 5. PDF.

Satriyo, Anastasia. 2020. Tak Ada Sekolah Tuk jadi Orangtua. Bandung: Yrama Widya.

Wawancara : An. Juang Indra Jaya Gea, Rabu, 20 Oktober 2021, pukul 19:46 WIB.

Wulandari, Dyah Ratika Maulani. Ini Dia Penyebab Kemandulan yang Perlu Kamu Ketahui.
diakses pada 18 Oktober 2021, dari http://ners.unair.ac.id/

Yulia, Erma. 2019. Kondisi Psikologis Pasangan Suami Istri yang Belum Memiliki Anak di
Desa Rotan Semelur Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir. (Skripsi,
Riau: UIN Suska Riau, 2019).

10

Anda mungkin juga menyukai