3. Rosmalida Gea
Semester/Jurusan : V-A/Teologi
PENDIDIKAN KRISTIANI
I. PENDAHULUAN
Pernikahan di dalam masyarakat dipahami akan sempurna di saat pasangan yang
menikah dapat memiliki anak. Anak dianggap sebagai penerus nama dan kedudukan
keluarga yang harus dimiliki. Oleh sebab itu, ketika di dalam hubungan pernikahan tidak
mendapatkan seorang anak pun, keluarga atau pasangan tersebut dianggap tidak
sempurna, bahkan gagal sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan Kristiani untuk keluarga yang tidak memiliki anak adalah hal yang
sangat penting dipelajari. Hal ini dilakukan untuk menolong keluarga yang tidak punya
anak menghadapi berbagai persoalan. Seperti apa yang terjadi dalam lingkungan sekitar
kita bahwa ada banyak persoalan yang mereka hadapi, baik dari dalam keluarga itu
sendiri maupun di lingkungan masyarakat. Di tengah-tengah persoalan ini gereja dan
para pelayan gereja hadir untuk menolong dan memberikan pendidikan Kristiani kepada
mereka. Ada berbagai faktor dan dampak bagi keluarga yang tidak punya anak yang akan
diuraikan dalam makalah kelompok.
II. ISI
1. Kedudukan dan Peran Orangtua dalam Keluarga
Dalam Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB), keluarga sering
dipahami sebagai kelompok orang-orang yang seiman, dan orang-orang itu berasal
dari suku yang sama, kemudian mereka berhimpun bersama dan melakukan kegiatan
bersama. Di dalam PL, kisah mengenai anak-anak Yakub membentuk 12 suku yang
menjadi kesatuan dalam bangsa Israel (Kejadian 29:31-35) adalah contoh keluarga
yang berasal dari suku yang sama, sehingga mereka disebut keluarga. Dalam PB
terdapat contoh keluarga yang berhimpun bersama dan melakukan kegiatan bersama
(Kisah Para Rasul 4:32-35), kisah ini mengajarkan bahwa keluarga tidak hanya
sebatas hubungan darah, melainkan juga mereka yang satu iman, sehati, sejiwa untuk
melakukan pekerjaan yang menyenangkan Tuhan.
(Novita Zega) : Di dalam PL kisah Boas dan Rut (Rut 4:13-17) menjadi salah
satu kisah pasangan yang dikenal secara umum. Perhatian Boas kepada Rut bukan
1
sekadar iba atau adanya hubungan saudara dengan Elimelekh, mertua Rut, tapi
karena ia menghargai Rut yang baik hati terhadap mendiang ayah mertua dan
suaminya, juga terhadap Naomi, ibu mertuanya. Bahkan Rut rela meninggalkan tanah
airnya demi kepercayaannya kepada Tuhan Israel (Rut 2:10-12). Di dalam PB juga
dapat ditemui kisah pasangan suami istri yang terkenal, Yusuf dan Maria (Matius
1:18-25, Markus 10:6-12). Pasangan ini menunjukkan cinta melalui tindakan, mereka
menyelesaikan pekerjaan Allah secara bersama-sama dengan menaati apa yang
Tuhan katakan dengan mendasari akut akan Tuhan. Tetapi pada umumnya arti
keluarga dipahami sebagai keluarga inti, artinya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ada
beberapa pokok penting dalam keluarga, yakni :
a. Dalam keluarga terdapat ikatan yang mendalam dari setiap anggota keluarga.
b. Dalam perkembangannya, anak-anak akan mengadaptasikan seluruh pengalaman
yang ia lihat dan alami secara langsung.
c. Kualitas kematangan seseorang biasanya tergantung pada banyaknya latihan yang
terjadi dan dilakukan oleh keluarga.
d. Keluarga berperan untuk memberi dasar dalam pembangunan iman seorang anak.1
Orangtua dalam keluarga berperan untuk mengamati, mencari tahu “apa yang
dibutuhkan oleh seorang anak”. Sehingga dalam hal ini orang tua berusaha mencari
cara untuk membantu dan melatih kematangan otak seorang anak, agar dalam perilaku
si anak tercermin perilaku baik, dan kemampuannya mengelola emosi. Ada beberapa
hal yang menjadi peran sekaligus tugas orangtua dalam keluarga, yaitu :
1
Ruth S. Kadarmanto, Tuntunlah ke Jalan yang Benar-Panduan Mengajar Anak di Jemaat (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005), hlm. 28-30
2
Anastasia Satriyo, Tak Ada Sekolah Tuk jadi Orangtua (Bandung: Yrama Widya, 2020), hlm. 4-16
2
2. Masalah dalam Keluarga Yang Tidak Punya Anak
Berdasarkan hasil wawancara kelompok terhadap satu keluarga yang tidak
memiliki anak dan usia pernikahan mereka sudah 6 tahun (suami : JI. Gea dan istri :
Er. Gea), maka ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh keluarga tersebut,
yakni :
a. Adanya anggapan buruk dari masyarakat yang membuat keluarga tersebut minder
b. Istri sebagai seorang perempuan yang terus disudutkan dan dianggap tidak
sempurna, baik dari dalam keluarga itu sendiri maupun dari masyarakat
c. Kesepian dalam keluarga itu sendiri.
Dalam penyajian kelompok, Leni Lase bertanya, “mengapa kesepian
menjadi persoalan dalam keluarga yang tidak memiliki anak?” : karena rumah
yang ditempati hanya ada dua orang, suami dan istri, tidak ada orang lain yang
memberikan suasana lebih hidup dan ramai di dalam keluarga karena tidak adanya
anak yang dimiliki. Karena dalam pandangan masyarakat, anak adalah pembawa
kebahagiaan di dalam keluarga.
d. Munculnya perasaan kecewa dan bahkan pernah menyalahkan Tuhan dan
menganggap Ia tidak adil.3
e. Tidak ada keturunan yang menjadi pewaris dari harta yang dimiliki oleh pasangan
suami istri (dalam budaya Orang Nias).
Dalam penyajian kelompok, Novita Zega menanyakan, “bagaimana
pandangan kelompok terhadap hal ini?” : menurut kelompok, tidak memiliki anak
dengan kelimpahan harta yang dimiliki oleh pasangan suami istri tidak menjadi
persoalan yang besar. Pendidikan Kristiani berperan untuk memberikan
pemahaman bahwa anak bukanlah kewajiban dalam sebuah pernikahan. Harta
yang dimiliki akan lebih bermanfaat jika diberikan kepada anak-anak yang
terlantar di pinggir jalan atau panti asuhan. Dengan demikian, meski tidak
mewariskan harta kepada anak yang dihasilkan dari pernikahan, harta itu bisa
dipergunakan untuk membantu kehidupan orang-orang yang menerimanya.
3
Wawancara : An. Juang Indra Jaya Gea, Rabu, 20 Oktober 2021, pukul 19:46 WIB
3
Stigma yang diterima oleh keluarga tanpa anak merupakan suatu proses hasil
interaksi dengan masyarakat di mana keluarga tanpa anak dinilai sebagai keluarga
yang gagal, karena tidak menghasilkan keturunan atau pewaris. Stigma yang
diberikan kepada keluarga tanpa anak oleh masyarakat berupa discredited stigma
(didiskredit atau direndahkan). Perbedaan keluarga tanpa anak dengan keluarga
normal lainnya dapat dilihat secara nyata dengan ketidakhadiran anak dalam rumah
tangga tersebut. Sehingga pasangan suami istri yang tidak memiliki anak cenderung
dipandang sebelah mata, direndahkan atau bahkan mendapat prasangka seperti
kemandulan, karma atau penyakit. Stigma keluarga tanpa anak sebagai keluarga yang
gagal membuat salah satu atau keduanya, menyebabkan suami istri mengalami
ketidaknyamanan atas ketidakhadiran anak dalam rumah tangga mereka, khususnya
jika pernikahan telah berlangsung cukup lama. Oleh karena itu stigma yang diterima
oleh pasangan suami istri tanpa anak tersebut akan mempengaruhi interaksi dengan
lingkungan sosial serta peran sosial yang dijalankan oleh pasangan suami istri yang
tidak memiliki anak.5
4
Ryan Mardiyan dan Erin Ratna Kustanti, Kepuasan Pernikahan pada Pasangan yang Belum Memiliki
Keturunan, Jurnal Empati, Vol. 5, Agustus 2016, hlm. 561-562
5
Abdul Malik Iskandar, dkk., Upaya Pasangan Suami Istri yang tidak mempunyai Anak dalam mempertahankan
Harmonisasi Keluarganya, Sosiety, Vol. 7, 2019, hlm. 149-150
6
Dyah Ratika Maulani Wulandari, Ini Dia Penyebab Kemandulan yang Perlu Kamu Ketahui,
http://ners.unair.ac.id/(diakses pada18 Oktober 2021, pukul 23:52 WIB)
4
ereksi kemaluannya, sehingga menghambat aktivitas seksual saat berhubungan
intim.
6) Varikokel, yaitu pembengkakan pada pembuluh vena di dalam kantong zakar
atau skrotum. Kondisi ini bisa ditandai dengan penyusutan testis serta
penurunan kualitas dan kuantitas sperma, membuat pengidapnya rentan
mengalami kemandulan.
Pada wanita, kemandulan bisa disebabkan oleh banyak hal, antara lain:
5
piatu terlantar akibat perang saudara. Daripada melahirkan anak, mereka memilih
untuk memelihara anak-anak yang sudah ada.7
Di dalam penyajian kelompok, Noverlina Mendrӧfa bertanya, “bagaimana
pandangan kelompok terhadap keluarga yang mengadopsi anak dari keluarga
yang lain?” : menurut kelompok, tidak menjadi masalah selama anak yang
diadopsi diperlakukan dengan baik dan dianggap layaknya seorang anak, segala
kebutuhannya dipenuhi dan didik untuk takut akan Tuhan.
b. Sosial
7
Andar Ismail, Selamat Ribut Rukun: 33 Renungan Tentang Keluarga (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm.
108
8
Erma Yulia, Skripsi: Kondisi Psikologis Pasangan Suami Istri yang Belum Memiliki Anak di Desa Rotan Semelur
Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir, (Riau: UIN Suska Riau, 2019), hlm. 35
9
Ryan Mardiyan, Erin Ratna Kustanti, Kepuasan Pernikahan..., hlm. 559
10
Muhammad Iqbal dan Kisma Fawzea, Psikologi Pasangan (Jakarta: Gema Insani, 2020), hlm. 109
6
Dampak sosial kepada pasangan yang belum memiliki anak adalah
pertanyaan-pertanyaan seputar diri mereka, baik pertanyaan dari orang tua,
mertua ataupun masyarakat yang sangat menganggu pasangan tersebut.11
c. Budaya
Umat Israel di zaman Perjanjian Lama menjaga kelangsungan hidup dengan
melahirkan banyak anak. Ini disebabkan karena jumlah penduduk yang masih
sedikit, sedangkan tenaga manusia sangat dibutuhkan untuk berladang, berburu
dan berperang. Pertambahan penduduk diperlukan untuk menggantikan mereka
yang mati akibat banyaknya perang dan oenyakit menular. Tidak mengherankan
bahwa dalam masyarakat purba, melahirkan anak dianggap sebagai perbuatan
yang sangat bermanfaat. Dari situlah, timbul kebudayaan yang memandang
rendah infertilitas.12
d. Ekonomi
Dampak di bidang ekonomi dapat berupa kesulitan ekonomi yang dialami
oleh pasangan infertil sehinggga menimbulkan kesulitan dalam mencari informasi
seputar kondisi infertilitas, cek kesehatan dan pembelian obat.13
e. Spiritual
Berangkat dari kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang sangat
membutuhkan tambahan anggota di dalam komunitasnya, memiliki anak menjadi
sebuah keharusan dari sebuah hubungan pernikahan. Di dalam Alkitab ada
beberapa cerita di mana wanita yang infertil dicemooh dan dihina. Istri yang tidak
melahirkan dianggap sebagai aib bagi seluruh keluarga. Orang menarik
kesimpulan bahwa kemandulan adalah hukuman Tuhan.14 Kisah dalam Alkitab
tentang Hana yang lama memiliki anak, sehingga ia berkecil hati dan menangis di
hadapan Tuhan (1 Samuel 1:4-5).
6. Solusi yang Diberikan Gereja Terhadap Persoalan Keluarga yang Tidak Punya
Anak
Solusi yang bisa diberikan gereja kepada keluarga yang tidak punya anak yaitu :
a. Mendampingi dan mengingatkan mereka bahwa anak adalah anugerah, yang tidak
boleh mereka tuntut melainkan mereka hanya dapat memohon kepada Tuhan.
b. Para pelayan gereja bisa membantu mereka untuk diarahkan dan diberi solusi
tentang cara-cara yang legal dan sesuai dengan prinsip moral ketika mereka
memiliki program untuk punya anak.15
c. Gereja hadir mendampingi keluarga dan menunjukan keprihatinan dengan
melakukan kunjungan bagi keluarga.
11
Erma Yulia, Skripsi: Kondisi Psikologis..., hlm. 36
12
Andar Ismail, Selamat Ribut..., hlm. 107
13
Erma Yulia, Skripsi: Kondisi Psikologis..., hlm. 37
14
Andar Ismail, Selamat Ribut..., hlm. 107
15
KWI, Pedoman Pastoral keluarga, (Jakarta : OBOR, 2011), hlm. 81
7
d. Melakukan persekuan gereja dengan menguatkan dan membangun iman,
misalnya lewat PA.
Dalam penyajian kelompok, Berkat Waruwu dan Eniyus Laia
memberikan pertanyaan, “bagaimana PA dapat menjawab pergumulan pasangan
yang tidak memiliki anak?” : melalui khotbah atau diskusi dalam PA dapat
memberitakan firman yang berhubungan tentang pernikahan yang seharusnya di
hadapan Tuhan, sehingga paradigma di dalam masyarakat tentang pernikahan
bisa berubah; bahwa pernihakan tidak dilaksanakan dengan tujuan utama
memiliki anak. Pernikahan adalah perintah dari Tuhan kepada manusia (Kejadian
1: 27-28, 2:21-25), meski dalam kisah ini Tuhan memberikan perintah untuk
beranak cucu, dalam konteks perikop, perintah ini diberikan karena pada masa
Adam dan Hawa tidak ada manusia selain mereka.
e. Gereja juga memberikan pemahaman dan berusaha menyadarkan anggota
keluarga lain untuk tidak terus mendesak/menyudutkan keluarga yang
bersangkutan dalam memiliki anak.16
Di dalam penyajian kelompok, Arman Zalukhu bertanya, “apa ayat
Alkitab yang menjawab pergumulan pasangan suami istri yang tidak punya
anak?” : dalam Yakobus 1:17, Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah
yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang;
padaNya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran. Dengan
demikian, anak adalah anugerah dari Tuhan yang tidak bisa dipaksakan untuk
dimiliki oleh pasangan yang menikah.
8
Laki-laki dan perempuan menikah karena sepakat untuk menjalani kehidupannya
bersama-sama, memiliki tujuan yang sama, dan untuk saling melengkapi kekurangan
masing-masing. Di dalam masyarakat, penikahan dianggap sempurna jika memiliki anak.
Anak dipandang sebagai sebuah harta berharga yang harus dimiliki oleh pasangan yang
menikah. Padahal, tujuan penikahan bukan hanya untuk memiliki anak. Tidak adanya
anak dari pernikahan yang dilakukan, tidak bisa menjadi alasan untuk menyebut
pernikahan itu gagal.
Bagi pasangan yang menikah dan tidak memiliki anak, masyarakat akan
memandang sebelah mata. Disinilah gereja dan pelayanan Kristiani hadir untuk
memberikan pemahaman kepada pasangan yang menikah dan tidak memiliki anak dan
kepada masyarakat luas bahwa memiliki anak bukanlah kewajiban dari pernikahan.
Memiliki anak adalah hak, oleh sebab itu bisa saja pasangan yang bisa memiliki anak
namun memilih untuk tidak memilikinya, tidak bisa dianggap tidak menghargai
pernikahan yang dijalankan.
9
DAFTAR PUSTAKA
Cully, Iris V.2006. Dinamika Pendidikan Kristen. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Iskandar, Abdul Malik dkk. 2019. Upaya Pasangan Suami Istri yang tidak mempunyai Anak
dalam mempertahankan Harmonisasi Keluarganya. Sosiety, Vol. 7. PDF.
Ismail, Andar. 2009. Selamat Ribut Rukun: 33 Renungan Tentang Keluarga. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Iqbal, Muhammad dan Kisma Fawzea. 2020. Psikologi Pasangan. Jakarta: Gema Insani,
2020.
Mardiyan, Ryan dan Erin Ratna Kustanti. 2016. Kepuasan Pernikahan pada Pasangan yang
Belum Memiliki Keturunan. Jurnal Empati, Vol. 5. PDF.
Satriyo, Anastasia. 2020. Tak Ada Sekolah Tuk jadi Orangtua. Bandung: Yrama Widya.
Wawancara : An. Juang Indra Jaya Gea, Rabu, 20 Oktober 2021, pukul 19:46 WIB.
Wulandari, Dyah Ratika Maulani. Ini Dia Penyebab Kemandulan yang Perlu Kamu Ketahui.
diakses pada 18 Oktober 2021, dari http://ners.unair.ac.id/
Yulia, Erma. 2019. Kondisi Psikologis Pasangan Suami Istri yang Belum Memiliki Anak di
Desa Rotan Semelur Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir. (Skripsi,
Riau: UIN Suska Riau, 2019).
10