Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KRISTOLOGI

“Kristologi pada Zaman Reformasi”


(abad XVI s/d XIX)

DOSEN PENGAMPU:

STEVI CHRISTIAN WOWOR,M.TH


ANGGOTA KELOMPOK 07

FIANGGI SAHABAT
NATALIA KAUNANG
CLAUDIA RONDONUWU
TESALONIKA WALELENG
KAMANG TAMBA

Fakultas Teologi
Universitas Kristen Indonesia Tomohon
2020/2021

KATA PEGANTAR
Puji dan syukur Kami ucapkan kehadiran Tuhan Yesus Kristus,
Karena atas berkat penyertaanNya kami mampu menyelesaikan Tugas
Makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Kami sepenuhnya menyadari, karena apa yang kami sajikan pada
makalah ini KeberandaanNya masih sederhana dan jauh dari
kemampuan karena sumber bacaan, pengetahuan yang kami miliki
sangatlah terbatas. Disamping itu juga kami berharap agar Bapak selaku
dosen Mata Kuliah Kristologi dan soteriologi sudi kiranya memberikan
kritik serta saran yang membangun demi perbaikan mutu dan bobot
karya tulis ini yang lebih baik.
Demikian sepatah kata pengantar yang kami bisa sampaikan dan
bila ada hal-hal yang kurang berkenan,kami minta maaf yang sebesar-
besarNya, atas perhatian Bapak kami ucapkan banyak Trimakasih
Tuhan Yesus Memberkati.

Budo, 11 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan dan manfaat

BAB II PEMBAHASAN
YESUS KRISTUS KEHILANGAN ARAH (abad XVI s/d XX)
1.1 Dunia yang berubah
1.2 Umat kristen Reformasi menjadi bingung tentang yesus kristus
1.3 Akhirnya pemikir-pemikir katolik Pun menjadi terhanyut
1.4 Yesus Kristus di indonesia

BAB III PENUTUP


1.1 Kesimpulan
1.2 Daftar Pustaka

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Yesus Kristus tentu saja tetap sama baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-
lamanya,tetapi manusia tidak selalu sama. Dan yang kehilangan arah justru manusia dalam
pikirannya tentang Yesus Kristus.Metafisik Yunani merupakan suatu usaha memahami dan
menjelaskan secara rasional dunia yang dialami dan diamati manusia dan yang nampaknya serba
majemuk dan berubah-ubah.Plato menjelaskan realitas yang diamati dengan mengertiyna sebagai
cerminan terbatas dan sementara dari dunia lain,dunia ilahi. Dan di dunia itu adalah yang
“orisinal”, yang utuh,tetap dan abadi. Di sana ada cita-cita rohani yang akhirnya bersatu dalam
cita-cita teratas,ialah yang baik (ALLAH).Maka menurut metafisik yunani dunia merupakan
suatu keseluruhan mantap dan secara rapih tersusun sebuah “kosmos”.Adanya tiap realitas
kurang atau lebih besar,sehingga semuanya tersusun secara rapih sesuai dengan banyak adanya
yang ada padanya daklam urutan dari lebih menuju ke kurang. Umat Kristen sejak Abad ke III
memikirkan Yesus Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru dalam rangka metafisik Yunai itu
(tanpa begitu saja membenarkan kerangka pemikiran itu ).
Dalam rangka metafisik Plato Yesus Kristus disamakan dengan “logos” ilahi, cerminan,
gambaran sempurna ALLAH (Bapa ) sendiri. Logos ilahi dan kekal itu mengandung di dalam
dirinya seluruh realitas berupa cita-cita, yang tercermin dalam dunia yang diamati.Logos tampil
di bumi ini dengan Yesus Kristus guna mengilahikan dunia, khususnya manusia, gambar
ALLAH yang rusak. Dalam rangka pemikiran yang ilahi dijelaskan dengan prinsip
“kodrat”(nature) ilahi dan “yang manusiawi” dengan prinsip “kodrat”(nature)
manusiawi.Sedangkan prinsip pemersatu ialah “diri”,“pribadi” (pesona, hypostasis) yang satu
dan sama, yakni diri ilahi “persona” ilahi yang kedua (dari Trinitas: Firman ALLAH, ALLAH-
anak) yang sejak kekal berasal dari ALLAH Bapa dan sehakikat dengan Bapa.

1.2 Tujuan dan manfaat


Tujuan dari makalah kami ini adalah untuk mengetahui Yesus kristus kehilangan arah (abad XVI
S/d XX) manfaat agar pembaca dapat mengerti dan mnerima mengenai materi Yang sudah
dicantumkan dalam makalah yang ada.

BAB II PEMBAHASAN
YESUS KRISTUS KEHILANGAN ARAH
(abad XVI s/d XX)
1.1 Dunia Yang Berubah

Yesus Kristus tentu saja tetap sama baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-
lamanya,tetapi manusia tidak selalu sama. Dan yang kehilangan arah justru manusia dalam
pikirannya tentang Yesus Kristus.Metafisik Yunani merupakan suatu usaha memahami dan
menjelaskan secara rasional dunia yang dialami dan diamati manusia dan yang nampaknya serba
majemuk dan berubah-ubah.Plato menjelaskan realitas yang diamati dengan mengertiyna sebagai
cerminan terbatas dan sementara dari dunia lain,dunia ilahi. Dan di dunia itu adalah yang
“orisinal”, yang utuh,tetap dan abadi. Di sana ada cita-cita rohani yang akhirnya bersatu dalam
cita-cita teratas,ialah yang baik (ALLAH).Maka menurut metafisik yunani dunia merupakan
suatu keseluruhan mantap dan secara rapih tersusun sebuah “kosmos”.Adanya tiap realitas
kurang atau lebih besar,sehingga semuanya tersusun secara rapih sesuai dengan banyak adanya
yang ada padanya daklam urutan dari lebih menuju ke kurang. Umat Kristen sejak Abad ke III
memikirkan Yesus Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru dalam rangka metafisik Yunai itu
(tanpa begitu saja membenarkan kerangka pemikiran itu ).
Dalam rangka metafisik Plato Yesus Kristus disamakan dengan “logos” ilahi, cerminan,
gambaran sempurna ALLAH (Bapa ) sendiri. Logos ilahi dan kekal itu mengandung di dalam
dirinya seluruh realitas berupa cita-cita, yang tercermin dalam dunia yang diamati.Logos tampil
di bumi ini dengan Yesus Kristus guna mengilahikan dunia, khususnya manusia, gambar
ALLAH yang rusak. Dalam rangka pemikiran yang ilahi dijelaskan dengan prinsip
“kodrat”(nature) ilahi dan “yang manusiawi” dengan prinsip “kodrat”(nature)
manusiawi.Sedangkan prinsip pemersatu ialah “diri”,“pribadi” (pesona, hypostasis) yang satu
dan sama, yakni diri ilahi “persona” ilahi yang kedua (dari Trinitas: Firman ALLAH, ALLAH-
anak) yang sejak kekal berasal dari ALLAH Bapa dan sehakikat dengan Bapa.
Semua perubahan merupakan hasil dan sebab suatu alam pikiran baru yang melihat
dunia secara lain daripada alam pikiran lama. Alam pikiran klasik (Yunani zaman pertengahan)
adalah kosmosentris dan teo-rentis. Manusia mencari dan menemukan pegangan dan kemantapan
dalam “dunia”, kosmos yang diyakini serba teratur dan mantap oleh karena akhirnya berurat-
berakar dalam prinsip mutlak,ALLAH yang menurut iman Kristen menciptakan dan
menyelenggarakan segala sesuatu. Oleh karena itu berpusatkan kosmos yang mantap dan
ALLAH yang abadi, maka alam pikiran klasik dan zaman pertengahan pada dasarnya
homogeny,seragam. Alam pikiran dunia baru di kawasan Barat itu disuarakan oleh pelbagai
system pikiran, filsafat, yang bersaingan satu sama lain dan silih berganti, susul-menyusul.
Munculnya filsafat “empirisme”, yang tentu bersangkutan dengan ilmu pengetahuan positif yang
maju dengan pesat.Empirisme itu terutama berkembang di dunia Inggris. Empirisme itu dirintis
oleh tokoh-tokoh pemikir seperti Francis Bacon (kurang lebih tahun 1626). Rasionalisme dan
idealisme merepotkan diri dengan stuktur daya pengenal manusia, yang menjadi syarat dan
penentu segala kepastian dan kebenaran.Di belakang pendekatan tersembunyi keyakinan bahwa
“realitas seadanya”,sebagai “objek” terlepas, tidak tercapai oleh pengetahuan manusia dan juga
tidak relevan bagi manusia. Dalam alam pikiran baru yang diringkaskan di atas, metafisik
Yunani/ skolastik tidak berfungsi lagi.Kristologi yang terungkap dalam alam pikiran metafisik
Yunani menggunakan terutama gagasan“kodrat” (nature) dan “diri” (persona).Tetapi gagasan
Yunani itu tidak dapat dipakai dalam alam pikiran “modern” barat itu.Diri mendapat pelbagai
lain, diri ialah berada pada dirinya sendiri, sehingga yang mengenal dan yang dikenal seluruhnya
satu dan sama (idntik). Objek dan subjek menjadi satu.Itulah “kesadaran diri” yang menjadikan
“diri” manusia.Diri ialah kemungkinan komunikasi yang direalisasikan.Demikian pun istilah
“kodrat” (nature) mendapat arti yang berbeda-beda dan tidak lagi berarti. “Kodrat” juga bukan
sesuatu yang “ada”, tetapi “terjadi” dan pada manusia “kodrat” tidak dapat dibedakan,apalagi
dipisahkan dari “diri” (persona). Diri manusia dijadikan oleh “kodrat” manusia, seluruhnya
suatu kejadian terus-menerus.

1.2 Umat kristen Reformasi menjadi bingung tentang yesus kristus

Para pemikir di kalangan umat Kristen Reformasi paling peka dan terbuka bagi dunia baru itu.
Mereka mulai memprihatinkan nasib iman kepercayaan Kristen.Para reformator dahulu (Luther,
Kalvinus) menerima kristologi seperti dirumuskan konsili-konsili kuno.Berdasarkan pandangan
Luther dan Kalvinus para pemikir Reformasi kurang terikat pada tradisi, pada dogma-dogma
tradisional apalagi kepada konsili-konsili.Alkitabiah yang menjadi satu-satunya tolak ukur dan
instansi yang berwewenang.Maka tradisi dapat dilepaskan dan Alkitab ditafsirkan secara ilmiah
dan dengan lebih bebas. Dengan timbulnya kesadaran historis orang menjadi sadar bahwa
Alkitab mempunyai ciri historis,sehingga dalam menafsirkan Kitab Suci boleh saja dipakai
patokan ilmu sejarah. Dogma-dogma Kristologis dan soteriologis tradisional (yang didasarkan
pada “wahyu” dengan arti pemberitahuan) tidak masuk akal (rasionalis) (tidak dapat
dipikirkan).Ada usaha untuk memperlihatkan bahwa Yesus seperti dahulu tampil di muka bumi
sebagai manusia tetap relevan sepanjang masa.Usaha pertama yang cukup radikal dilontarkan
oleh seorang orientalis Jerman, H. S. Reimarus (kurng lebih tahun 1766). Pikirannya tertuang
dalam karya: Apologie Oder Schutzschrift Fur die vernunftigen Verehrer Gottes. Ia sendiri tidak
berani menerbitkan tulisannya. Kemudian (tahun 1774-1776) beberapa bagian karya Reimanus
diterbitkan oleh G. E. Lessing dengan judul: Fragmente eines Wolfenbuteler Ungenannten.
Reimanus menjadi yakin bahwa umat Kristen semula memindahkan kepada Yesus banyak
“mitos” dan dengan demikian mengubah Yesus yang sebenarnya menjadi anak ALLAH,
ALLAH dan juruselamat. Pikiran Reimanus banyak dikritik oleh sesamanya, oleh karena
metode yang dipakai tidak sesuai dengan patokan ilmu sejarah dan hasilnya terlalu berdasarkan
daya khayal belaka.Namun demikian pendekatan Reimanus dan berbagai gagasan dasariahnya
selam seratus tahun lebih berpengaruh. Tokoh berikut yang amat besar dampaknya ialah D. F.
Strauss dengan karyanya: Leben Jesu Kritisch bearbeitet, 2 jilid (1835) dan; Das Leben Jesu fur
das deutsche Volk (1864). Strauss secara konsisten menerapkan gagasan yang sudah
dikemukakan Reimanus, yaitu Mitos. Riwayat Yesus menurut Strauss masih dapat digali dari
Perjanjian Baru ialah sebagai berikut: Yesus dibesarkan di Nazaret, dibaptis oleh Yohanes
pembaptis, mengumpulkan pengikut. Sebagai guru ia berkeliling di Palestina,mengajak orang
untuk mempersiapkan diri bagi kerajaan Mesias. Tetapi Yesus dilawan oleh kaum Farisi dan
akibat kebencian dan iri hati mereka Yesus akhirnya mati disalibkan.Strauss sebenarnya seorang
penganut filsafat idealism, tegasnya filsafat Hegel.Maka yang penting baginya bukan “sejarah”
sebagai peristiwa, melainkan “idea”. Idea itu diknkretkan dalam (ceritera) mitos-mitos sekitar
Yesus.

Rasionalisme dan Reimarus, Strauss dan Baur tersebut memancing reaksi dari pihak
seorang tokoh yang amat penting dalam teologi Reformasi di Jerman, yaitu F. Schleiermacher
(kurang lebih tahun 1834). Pikirannya tertuang terutama dalam karyanya, Vorlesungen uber das
Leben Jesu, 1932, dan Redeuber die Religion, 1799. Schleiermacher boleh dikatakan seorang
“empiris” religious. Titik tolak pikirannya bukanlah Yesus dahulu (historis),tetapi sikap dan
rasa keagamaan actual pada umat Kristen. Dalam pendekatan Schleiermacher historisitas Yesus
menjadi pra-syarat mutlak bagi kepercayaan Kristen.Injil-injil memang bukan laporan tentang
hal ihwal Yesus, melainkan ungkapan caranya untuk semula memikirkan Yesus.Schleiermacher
membedakan “Yesus historis” dengan “ Kristus kepercayaan”. Dan Kristus kepercayaan itu
adalah: pengaruh Yesus, Yesus sebagai “Urbild”. Kesadaran religious yang unggul pada Yesus
bertepatan dengan kesadaran diri Yesus .Itulah yang namanya “inkarnasi”.Dan justru dala
pengalaman itu Yesus menjadi “Urbild” dan sebab kesadaran religious Kristen, yang juga
bertepatan dengan kesadaran diri sebagai manusia. Maka dalam kristologi Schleiermacher yang
tetap relevan bukannya Yesus ( historis) melainkan “pengaruh Yesus”, Yesus sebagai “Urbild”,
pola dasar kepercayaan Kristen, orang yang diselamatkan. Tendensi yang sudah tampil pada
Schleiermacher, yaitu mempert ahankan historisitas Yesus sebagai prasyarat mutlak bagi iman
Kristen, selama abad XIX semakin kuat di kalangan para pemikir reformasi.Kepribadian Yesus
itu menjadi awal dan akhir kepercayaan Kristen dan tetap relevan serta aktif berkarya dalam
umat Kristen.Dalam kepribadian Yesus dicari unsur yang memperlihatkan bahwa Yesus itu
menjadi penyataan ALLAH.Pendekatan historis terhadap Yesus yang mau melandaskan iman
Kristen pada sejarah tidak pernah menjadi umum dan langkah demi langkah dibongkar
seluruhnya. Namun gejolak pemikiran tersebut umumnya tidak banyak dampaknya pada
“umat biasa” dan untuk sementara waktu hanya menyangkut para inteligensi saja.Bahkan di
kalangan umat biasa ada suatu reaksi terhadap pendekatan historis dan rasionalis terhadap
Yesus Kristus. Ajaran tradisional yang karib pada umat Reformasi, khususnya kewibawaan
mutlak Alkitab, dirongrong. Reaksi tersebut dapat dipahami juga,sebab memang ada dasarnya
ilmu yang semakin berbelit-belit dengan hasil yang berbeda-beda menyamakan Alkitabiah,
unsurs dasariah seluruh Reformasi, dengan lain-lain kitab.Dengan ilmunya para ahli
menjauhkan Alkitab dari umat biasa dan menempatkan Kitab Suci di masa lampau.Menurut
Ritschl sasaran iman dan kristologi bukanlah Yesus historis, dan iman Kristen tidak dapat
didasarkan pada sejarah.Yesus historis murni tidak dapat dijadikan pokok iman kepercayaan
Kristen. Kristologi yang sebenarnya mesti bertitik tolak paham dan pengertian umat Kristen
terhadap Yesus Kristus.

1.3 Akhirnya pemikir-pemikir katolik Pun menjadi terhanyut

pemikir Reformasi ditampung secara positif. Dalam alam pikiran baru itu mereka berusaha
mewartakan Yesus Kristus sedemikian rupa sehingga relevansiNya untuk manusia modern itu
pun kentara. Sebaliknya Gereja Katolik, yang secara ketat dipimpin oleh Paus Pius IX, Leo XIII,
Pius X serta Pius XI, dan para pemikir pada umumnya mengambil sikap negatif dan defensive
terhadap “dunia modern” itu. Dengan subur diperkembangkan satu cabang dalam teologi
Katolik, yaitu “apologetika”. Cabang teologi itu berupa pembelaan tradisi Katolik yang kerap
kali masih relatif baru terhadap rasionalisme, idealisme, historisisme, dan sebagainya. Sebagai
sarana positif dihidupkan kembali filsafat/teologi zaman pertengahan, khususnya dalam versi
Pemikiran Thomas Aquinas (neothomisme). Oleh P.Pius XI tahun 1864 skolastik dinyatakan
sesuai dengan zaman modern dan P. Leo XIII pada tahun 1879 mewajibkan filsafat dan teologi
Thomas Aquinas sebagai filsafat dan teologi resmi Gereja Katolik yang mesti diajarkan di semua
sekolah teologi Katolik.
Dalam rangka pemikiran Skolastik, Thomisme dengan pengakuannya terhadap peranan
akal manusia dalam pengolahan iman ditolaklah reaksi ekstrem terhadap rasionalisme dan
sebagainya, yaitu Fideisme, Tradisionalisme. Pemikiran orang-orang tersebut sebenarnya mau
menjadikan iman kristen (katolik) kebal terhadap serangan dan kritik dari sedikitpun di bidang
iman kepercayaan religius. Tetapi Fideisme, tradisionalisme dan ontologisme ditolak bersama
dengan rasionalisme dan sebagai oleh pimpinan Gereja Katolik. Dengan nada sedikit lebih
positif konsili Vatikan I memperteguh arah defensive. Sebab maksud utama konsili itu ialah:
menetapkan dan menyatakan ajaran terhadap semua kesesatan, yang dengan wibawa ilahi
dilarang dan dikutuk oleh konsili.
Dapat dipahami bahwa dalam suasana defensive semacam itu Kristologi/Soteriologi tetap
tinggal pada jalur lama. Itu tentu tidak berarti bahwa teologi-teolog besar, mengulang-ngulang
saja apa yang dikatakan Thomas Aquinas. Sebaliknya mengembangkan tradisi teologis, tetapi
terus tinggal di jalur yang sama.
Kendati sikap negatif dan defensive tersebut para pemikir Katolik terpengaruh oleh alam
pikiran modern itu. Dan itu justru terjadi dalam pembelaan tradisi terhadap serangan dan kritik,
jadi dalam apologetika. Kritik dari pihak rasionalisme, positivism dan historisme terhadap
tradisi, sebagian besar berdasarkan penyelidikan historis tradisi, tidak terkecuali Alkitab.
Diperlihatkan bahwa ajaran Katolik dan dogma-dogma Gereja menyeleweng dari tradisi tertua
dan dari Kitab Suci. Dan Kitab suci sendiri tidak bisa dijadikan dasar ajaran, sebab ternyata hasil
usaha manusia. Maka para pemikir Katolik untuk membela tradisi Katolik sibuk dengan sejarah
Gereja serta ajarannya dalam rangka apologetika.
Dalam rangka apologetika itu mulailah berkembang apa yang boleh disebutkan sebagai
“Kristologi dari bawah”. Karena itu para apologet itu mesti merepotkan diri dengan Yesus
historis dan dengan metode ilmu sejarah menyelidiki Perjanjian Baru. Tentu saja Kristologi
spekulatif/dogmatis untuk sementara waktu kurang perduli akan hasil penyelidikan historis.
Tetapi lama kelamaan “Kristologi dari bawah” (Apologetika) mempengaruhi kristologi dogmatis
juga.
Dalam rangka apologetika para pemikir Katolik juga mulai menulis “riwayat hidup
Yesus”. Namun karena karya itu bernada polemis dan apologetic dan kurang dimanfaatkan oleh
para dogmatisi, akibatnya ialah: Kristologi positif (historis) dan kristologi spekulatif/dogmatis
berkembang terlepas satu sama lain, sedangkan kristologi positif itu tetap diawasi oleh Kristologi
spekulatif. Dan Kristologi dogmatis itu tidak mengalami perubahan yang berarti.
Tentu saja tidak semua pemikir Katolik senang dengan situasi nyata, yakni:
teologi/kristologi Katolik membentengi dirinya dan kurang terbuka terhadap alam pikiran
modern. Semakin banyak pemikir merasa bahwa metafisik skolastik tidak sesuai dengan alam
pikiran modern itu. Tentu saja sejak awal mula metafisik Aristoteles sebagaimana disesuaikan
dengan iman Kristen oleh Thomas Aquinas mendapat kritik pedas, misalnya dari pihak
Bonaventura, J.Duns Scotus dan terutama dari pihak W.Ockam. Memang sampai abad XIX
metafisik Aristoteles-Thomas tidak pernah mendapat kedudukan tunggal. Demikian juga selama
abad XIX dan XX tetap ada pemikir yang berpendapat bahwa metafisik itu bukanlah sarana yang
paling baik guna memahami, membela serta menjernihkan iman Kristen. Malah dikatakan bahwa
metafisik itu sama sekali tidak sesuai dengan alam pikiran modern yang tidak statis, melainkan
dinamis dan historis.
Kitab suci pun mulai dipelajari dengan metode kritis-historis. Meskipun “Commisio
Pontificia de Re Biblica” umumnya mengambil sikap negatif terhadap hasil penyelidikan para
ahli kitab, namun semakin jelas disadari bahwa Kitab Suci suatu buku manusiawi dan historis,
bukan semacam Gudang “Kebenaran Iman”. Terdukung oleh pimpinan Gereja yang tertinggi,
kitab suci semakin direhabilitasikan dalam kehidupan Gereja dan teologi, kalaupun sikap masih
hati-hati sekali. Hanya tetap tinggal jurang antara penyelidikan Alkitab dengan teologi
spekulatif.
Perubahan suasana dan arah secara resmi mulai terjadi pada tahun 1943. Surat edaran
P.Pius XII mengenai Kitab Suci pada prinsipnya menerima pendekatan kritis-historis terhadap
Alkitab dan mendukung tafsiran ilmiah. Dampak surat edaran itu untuk sementara waktu kurang
dirasakan akibat perang yang sedang berkecamuk. Arah yang ditempuh surat edaran tersebut
diperteguh oleh “Commisio Pontificia de Re Biblica” dalam suratnya kepada uskup Paris,
Suhard. Dan kendati perlawanan, khususnya dari pihak sementara teolog spekulatif, arah itu
dipertahankan dan menjadi matang pada konsili Vatikan II. Keputusan-keputusan (negatif) yang
dikeluarkan “Commisio Pontificia de Re Biblica” sejak tahun 1902 nyatanya dicabut.
Maka para ahli kitab Katolik merasa lega dan terbebaskan dari belenggu. Dalam
menafsirkan Alkitab mereka mulai memakai metode yang selama abad XIX dan XX
diperkembangkan di luar rangka umat Katolik: Kritis-historis, sejarah bentuk, sejarah
penggubahan, sejarah tradisi. Kemudian sejumlah teolog spekulatif menyusul dan mulai
“menafsirkan” dogma-dogma Gereja Katoloik. Ciri historis kitab suci dan tradisi ditekankan dan
dengan demikian direlatifkan.
Tentu saja para ahli kitab dan para teolog terutama merasa lega oleh karena kini dapat
mewartakan Yesus Kristus, inti pokok iman Kristen, sesuai dengan alam pikiran modern atau
dianggap modern. Umat Katolik tidak (usah) lagi kebal terhadap alam pikiran itu, alam pikiran
yang tidak lagi kosmosentris dan teosentris, melainkan antroposentris, alam pikiran yang tidak
lagi bergerak dalam metafisik Yunani-Skolastik, tetapi dalam dunia positivis yang berpusatkan
manusia yang otonom-bebas, bertanggung jawab dan pengurus nasibnya sendiri dalam alam
dunia yang berkembang, dengan bertitik tolak pengamatan, pengalaman dan eksperimen.
Hanya para ahli kitab dan teolog yang merasa lega oleh karena dapat mewartakan Yesus
kepada (dunia modern) (barat) mesti menghadapi dunia yang amat membingungkan oleh kaena
dunia itu kehilang arah.
Kristologi/Soteriologi seperti secara tradisional diwartakan rupanya tidak lagi dapat
ditelan (manusia modern) itu. Para ahli kitab dan ahli ilmu ketuhanan yang ingin menyusun suatu
Kristologi/Soteriologi yang lebih sesuai dengan manusia modern merasa diri didukung oleh
konsili Vatikan II yang berkata tentang “hierarki kebenaran-kebenaran” dan mendesak para
teolog untuk menjernihkan iman Kristen dengan cara dan dalam bahasa yang dapat dimengerti
lain orang juga. Konsili Batikan II memang mencari kontak dengan (dunia) dan membuka
jendela/pintu ada benteng gereja kaatolik.Maka apa yang sudah dimulai sebelum konsili Batikan
II sesudahnya seolah-olah meledak.
Ada suatu ciri yang muncul para kebanyakan “Kristologi” yaitu: Banyak mengusahakn
suatu “Kristologi dari bahwa” dengan tekanan pada “manusia” Yesus. “Kristologi dari bawah”
itu mengandaikan bahwa masih mungkin dan perlu orang menembuss pewartaan Perjanjian Baru
dan kembali kepada Yesus historis. Pengakuan iman Kristen mesti didasarkan pada manusia
Yesus dalam eksistensi historisNya. Yesus itulah yang mau dijadikan ukuran Kristologi seperti
berkembang pada umat Kristen. “Keilahian” Yesus mesti nyata dalam hidup Yesus di dunia.
Maka pengakuan iman umat (dogma) perlu dikritik berdasarkan Yesus historis.
Pada tahun 1935 Deodat Basly sudah melontarkan suatu pendekatan baru yang
diistilahkan sebagai “Assumptus homo” kristologi. Sangat ditekankan bahwa Yesus Kristus
benar-benar seorang manusia utuh lengkap, seperti tampil di belakang pewartaan Perjanjian
Baru. Meskipun pendekat Deodat itu secara resmi ditolak, namun ia mencetuskan suatu debat
antara para teologi yang semakin sengit.
Seluruh masalah itu bukanlah soal baru. Melawan pendapat umum selalu ada pemikir
yang, entah bagaimana, membela keterbatasan kesadaran manusiawi dan pengetahuan
manusiawi Yesus historis. Para skolastik zaman pertengahan berbeda pendapat, tetapi menerima
bahwa daya pengenal Yesus diaktualkan dengan pelbagai cara. Dan sejak reformasi (Luther,
Kalvinis) di luar rangka teologi skolastik semakin larislah pendapat bahwa – demi kemanusiaan
dan historisitasNya – Yesus mengalami perkembangan miri dengan manusia lain.
Adapun K.Rahner ialah seorang teolog spekulatif yang mau tetap “Orthodox” sepenuh-
penuhnya dan tidak menyimpang dari dogma-dogma kristologis. Hanya dogma itu mesti
dipahami secara tepat dan isinya disajikan dalam bentuk yang dapat ditangkap manusia modern.
Dengan mengulang-ulang dogma saja manusia modern tidak tercapat. Tetapi terhadap apa yang
diistilahkan sebagai “Teologi mazhab” Rahner melontarkan banyak kritik.
K.Rahner adalah seorang teolog spekulatif yang secara kritis dan positif mau meneruskan
teologi/kristologi Thomas Aquinas dan neothomisme. Nyatanya dalam pikiran Rahner bergabung
pelbagai aliran pemikiran. Rahner terpengaruh oleh filsafat klasik, plato dan Aristoteles yang
disalurkan kepadanya melalui patristic dan skolastik-thomisme, filsafat modern “Jerman”,
filsafat empirisme yang melatarbelakangi masyarakat modern dengan pengamatan positivisnya.
Dan masih turut berpengaruh evolusionisme serta versi gnostiknya yang terdapat pada Teillard
de Chardin. Maka pemikiran Rahner agak sintetis, kalau tidak mesti dikatakan sinkretistis dan
eklektistis, sementara juga mau berpegang pada dogma-dogma tradisional.
K. Rahner mengembangkan dua pendekatan terhadap Yesus Kristus yang sekaligus
merupakan perkembangan pikirannya sejauh dari kristologi yang satu tekanan lama kelamaan
bergeser kepada kristologi yang lain. Kedua pendekatan itu boleh dikatakan: “Kristologi dari
atas” dan “Kristologi dari bawah”. Tetapi menurut Rahner Kristologi yang satu dapat dialihkan
kepada kristologi yang lain dan sebaliknya.

Sistem teologi Rahner, termasuk Kristologinya, memang amat mengesan dan dapat menarik
banyak pengikut. Sistemnya kokoh kuat dan bagian-bagiannya suka dikritik. Namun demikian,
tidak semua orang (teolog) dapat menelan pemikiran yang cukup abstrak dan berbelit-belit dalam
bahasa yang tidak kurang berbelit-belit.
Boleh juga dipertanyakan apakah dalam sistem Rahner kejadian historis yang serba
kontingen masih dapat ditampung, tegasnya: dosa dan (kehidupan serta) kematian Yesus
(penebusan). Menurut Rahner semuanya ditentukan oleh Allah secara bebas dan tidak
tergantung. Kejadian-kejadian historis seolah-olah hanya penampakan, kategorialisasi menurut
istilahnya, suatu bagan abadi dan atemporal pada Allah ialah Allah sendiri. Dan menurut Rahner
Allah itu sebenarnya tidak dapat diketahui. Maka bagaimana Allah yang tidak dapat diketahui
dapat menyatakan diri, menawarkan diri kepada manusia dan oleh manusia sebagai manusia
dapat diterima, berarti dengan sadar? Sebab menurut Rahner, manusia pada dasarnya
“intellectus” berbadan dan berpengalaman.
Kristologi seperti yang disajikan D.Wiederkehr mensistematisasikan, melanjutkan serta
mengembangkan pikiran yang sedikit terserak-serak dilancarkan oleh K.Rahner dan ia juga
terpengaruh oleh W.Pannenberg. Menurut Wiederkehr kristologi mesti ditempakan dalam rangka
sejarah penyelamatan, sehingga kristologi statis menjadi kristologi dinamis yang dapat
menampung hal-ihwal kehidupan Yesus. Karena itu Wiederkehr berkata mengenai “peristiwa”
Allah dan “peristiwa” Kristus.
Maka Yesus Kristus oleh Wiederkehr ditempatkan dalam rangka dinamikan relasional
antara Allah (Tritunggal) dan dinamika sejarah (umat) manusia. Yesus Kristus menjadi titik
bertemu antara Allah dan (sejarah) manusia. Dan keseluruhan itu dirangkul oleh Allah
Tritunggal dan berdasarkan Allah itu. Allah secara penuh dan secara intern mengkomunikasikan
diri dan Allah-Anak, dan komunikasi, pemberian diri di dalam Allah sendiri dengan manusia
Yesus dan dalam hal-ihwal-Nya menjadi sejarah sambil menciptakan manusia Yesus diri.
Pemberian diri Allah menjadi sejarah, historis, dengan dan dalam pemberian diri manusia Yesus
kepada (semua) manusia. Dan sebaliknya juga, Sejarah (umat) manusia oleh Allah Tritunggal,
pencipta, diarahkan kepada diriNya. Dinamika (umat) manusia itu memuncak dalam pemberian
diri manusia Yesus kepada Allah. Dan pemberian diri Anak kepada Bapa di dalam Allah sendiri.
Dinamika rangkap dua itu dalam Yesus yang dibangkitkan berjalan terus dan tiap-tiap manusia
(dapat) diikutsertakan dalam dinamika itu. Dan itulah keselamatan manusia.
Meskipun juga Wiederkehr tidak berhasil mengatasi segala kesulitan, namun untung
pendekatan itu ialah: ia berusaha mempertahankan dan mengintegrasikan semua unsur yang
perlu diperhatikan setiap kristologi spekulatif: Kitab Suci, tradisi sejati dan alam pikiran, tempat
Yesus Kristus mesti diwartakan. Sejauh mana usaha Wiederkehr berhasil belum berani kami
pastikan.
Pikiran W.Kasper agak sehaluan dengan pikiran Wiederkehr. Kasper berusaha menyusun
suatu kristologi “dinamis”, yang mengintegrasikan pewartaan Kitab Suci, dogma Kristologis dan
tradisi sejati dan tuntutan alam pikiran modern atau dianggap modern. Dan latar belakangnya
juga alam pikiran Eropa Barat, khususnya Jerman. Ia pun mau mempersatukan “Kristologi dari
atas” dengan “Kristologi dari bawah”. Terlepas tiap-tiap Kristologi, menurut Kasper, tidak
sampai ke tujuan, yaitu memperdalam iman umat Kristen kepada Yesus Kristus. Sebagai pangkal
dan kerangka Kristologi Kasper menempatkan pengakuan iman gereja: Yesus adalah Kristus.
Menurut Kasper masalah yang dalam Kristologi mesti dijernihkan ialah: Bagaimana
dalam Yesus Kristus Allah dan manusia bersatu. Itulah masalah abadi. Menurutnya kristologi
tradisional yang statis memberi jawaban kurang tepat. Sebab kristologgi itu menyangkal adanya
pada Yesus “diri” manusiawi oleh karena kemanusiaan dipersatukan dengan “kodrat ilahi” dalam
“diri” ilahi. Dengan demikian konkret Yesus Kristus dikurangi, sehingga Yesus bukan sungguh-
sungguh manusia, seperti manusia lain.
Dalam Yesus Kristus, seperti yang diwartakan Perjanjian Baru secara definitive, ekskatologis
menjadi nyata siapa sebenarnya Allah sendiri. Relasi, ialah pemberian diri timbal balik, antara
Yesus dengan Bapa termasuk ke dalam hakikat Allah. Allah di dalam diriNya adalah relasional.
Dan oleh karena relasi antara Yesus dengan Bapa menurut perjanjian baru diperluas sehingga
manusia (percaya) lain diikutsertakan di dalamnya.
Dalam Kristologi dinamis macam itu, menurut Kasper, tidak ada keberatan sedikitpun
menerima adanya “dii” manusiawi dan historis pada Yesus. Diri oleh Kasper dipahami secara
modern, dinamis, secara relasional dan tidaklah startis.
Dengan caranya dan agak spekulatif W.Kasper mau mempertahankan dogma Khalkedon,
bahwa Yesus Kristus, yang sau dan sama, benar-benar Allah dan benar-benar manusia, tak
terpisah dan tak tercampur. Dan boleh dikatakan bahwa Kristologi Kasper suatu versi modern
bagi kristologi klasik yang dilengkapi seperlunya dengan sumbangan dari Alkibat dan alam
pikiran modern.
Agak berbeda pendekatan E. Schillebeeckx, seorang teolog spekulatif yang cukup
orisinal dan luas dampaknya. Sama seperti K.Rahner, E. Schillebeeckx seorang neothomis,
seorang teolog spekulatif-sistematis yang mau berlayar di bawah bendera Thomas Aquinas.
Tetapi ia tidak hanya mau mengulang-ulang sang Guru atau mengomentari karyanya. E.
Schillebeeckx merasa kurang puas dengan Kristologi tradisional-skolastik. Alam pikiran teologi
macam itu tidak memadai alam pikiran modern. E. Schillebeeckx prihati tentang kemunduran
kekristenan di dunia barat. Ia mencari jalan dan akal untuk mewartakan Yesus Kristus begitu
rupa, sehingga dapat tetap relevasi bagi manusia masa kini. Jadi keprihatinannya sama dengan
yang menginspirasikan teologi liberal di abad yang lampai. E. Schillebeeckx mau setia kepada
tradisi sejati yang dimengerti secara tepat, diinterpretasikan kembali, dan yang tidaklah sama
dengan teologi/kristologi skolastik. Cara kristologi tradisional itu memikirkan Yesus Kristus
tidak hanya kurang relevan dewasa ini, tetapi juga terlalu berat sebelah sambil memperkurus dan
mempersempit Kristologi yang ditemukan dalam tradisi dan khususnya dalam Perjanjian Baru.
Dan titik pangkal semuanya, E. Schillebeeckx ialah pengalaman Yesus sendiri akan Allah. Itu
diistilahkannya sebagai “pengalaman Abba”. Pengalaman itulah yang menentukan seluruh
kehidupan Yesus sampai dengan wafatNya di salib. Pewartaan dan karya Yesus hanya cetusan
dari pengalaman dasar itu, sehingga melalui pengungkapan itu kita masih dapat sedikit mengenal
pengalaman Yesus itu. Dengan demikian Yesus Allah membenarkan kepercayaan dan seluruh
kehidupan Yesus. “Kebangkitan” itu merupakan salah satu kemungkinan linguistic untuk
mengungkapkan apa yang dialami para pengikut Yesus, setelah Yesus wafat. Pengalamn itu
memang tercetus oleh Yesus sendiri, yang dialami sebagai hadir dan sebagai Juru Selamat, yang
memberikan keselamatan definitive, eskatologis kepada manusia. Meskipun “Kebangkitan” itu
mengandaikan iman, namun bukan produk iman para pengikut Yesus.
Maka “pengalaman Abba” Yesus sendiri dan “pengalaman paska” para murid menjadi
pangkal gerakan Kristen dan “Kristologi”, ialah refleksi umat perdana atas Yesus Kristus yang
dialami secara demikian. Maka Kristologi pada dasarnya merupakan suatu usaha
mengidentifikasikan apa/siapa yang dialami. Refleksi, Kristologi, sebenarnya sekunder .
Iman/Refleksi itu oleh umat perdana diungkapkan dengan pelbagai cara, Yahudi dan Yunani,
dengan tidak keseragaman.
H.Kung menyajikan suatu “Kristologi dari bawah” dan mau mengikuti perkembangan iman umat
perdana dari Yesus seperti hidup dan dialami dunia sampai dengan Yesus Kristus yang
diwartakan umat.
H. Kung mau mendasarkan kristologi pada apa yang sebutkannya sebagai “Yesus yang
sesungguhnya”. Kung memang menyadari bahwa Yesus “historis” tidak tercapai secara murni
dan hanya dapat didekati melalui pewartaan umat perdana. Maka ia tidak mau memisahkan
apalagi memperlawankan Yesus yang sesungguhnya dengan Yesus Kristus yang diwartakan.
Kung menegaskan bahwa ilmu tidak (dapat) melandaskan iman Kristen, karena iman
berlandaskan Allah. Namun, kendati semua penegasan itu, Kung yakin bahwa Yesus yang
sesungguhnya tercapai melalui kritik-historis. Dan Yesus itulah yang menjadi ukuran dan batu
penguji iman umat Kristen dan Kristologi selanjutnya, tidak terkecuali dogma kristologis. Mesti
dipikirkan dan dijernihkan bagaimana Yesus sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh
Allah. Bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia dengan arti yang sebenarnya dan sepenuh-
penuhnya bagi Kung suatu perandaian yang pasti. Maka mesti dijelaskan bagaimana manusia itu
boleh dikatakan sungguh-sungguh Allah.
Kung menyajikan suatu uraian panjang mengenai kehidupan dan karya Yesus (yang
sesungguhnya). Yesus yang sesungguhnya, berarti Yesus dalam seluruh eksistensiNya di dunia,
diberi pelbagai gelar. Gelar-gelar itu mungkin begitu saja dapat dimengerti manusia modern,
sebab gelar-gelar itu boleh dikatakan gelar “secular”. Pokoknya Yesus ada di pihak Allah, tidak
takluk kepada siapa sajapun kecuali kepada Dia. Yesus itu disalibkan, tetapi oleh Allah
dibenarkan, diperteguh dan dinyatakan melalui pembangkitan. Begitu, bagi orang beriman,
jelaslah sudah bahwa dalam manusia Yesus dari Nazaret Allah yang cinta kepada manusia hadir
berkarya, berbicara bertindak dan secara definitive menyatakan diri.
Kristologi susunan H.Kung memang suati Kristologi pewahyuan. Mengingat bahwa
karyanya yang tertuju kepada mereka yang tidak percaya dan terasing dari iman Kristen,
pendekatan yang secara dasariah “dari bawah” barangkali dapat dibenarkan. Tetapi Yesus yang
oleh Kung diwartakan sukar diidentikkan dengan Yesus Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru
dan tradisi sejati.
Di Prancis Ch.Duquoc berusaha menyusun sebuah kristologi yang baru. Ia menjauhkan
diri dari kristologi tradisional-skolastik. Dalam dialog terbuka dan positif dengan pemikiran
Protestan- teologi tentang kematian Allah - Ch.Duquoc mendasarkan kristologinya pada Kitab
Suci, khususnya pada injil-injil. Ia tidak mendekati Alkitab sebagai ahli kitab melainkan sebagai
teolog. Ia mencoba menyingkapkan dimensi teologis yang ada pada peristiwa-peristiwa
kehidupan Yesus sebagaimana dikisahkan Kitab Suci. Sesuai dengan tendensi umum dewasa ini
Duquoc menekankan realitas kemanusiaan Yesus. Dalam tafsiran teologisnya ia menjauhkan diri
dari dogmatic tradisional, sehingga tidak berusaha langsung menjabarkan dogma-dogma
kristologis, apalagi pendapat para teolog, dari Alkitab. Meskipun tidak menyusun suatu
“Kristologi alkitabiah”, namun sebagai teolog ia mau tinggal dalam rangka Kitab Suci sendiri.
Meskipun interpretasi Duquoc barangkali kadang-kadang akan dinilai sebagai minimalis,
namun kristologi yang berdasarkan Kitab Suci itu – meskipun Alkitab tidak dimanfaatkan
sepenuh-penuhnya –, mesti dinilai sangat positif, oleh karena menyingkapkan dimensi teologis
peristiwa-peristiwa kehidupanYesus.
Suara yang barangkali paling radikal datang dari benteng skolastik dan neoskolastik,
yaitu Spanyol. J.I Gonzales Faus secara radikal menjauhkan diri dari kristologi tradisional dan
mengeritik dogma kristologis kuno. Gagasan-gagasan yang dilontarkan di Eropa Utara
diradikalkan oleh Gonzales Faus yang sekaligus terpengaruh oleh neomarxisme. Dari itu
datanglah minat sosio-politik yang terpancar dalam kristologi ini. Tetapi semuanya oleh
Gonzales Faus diolah melalui spekulasi tajam yang memperlihatkan si skolastikus yang
berfilsafat dan berteologi.
Sesuai dengan tendensi umum Gonzales Faus ingin menyajikan sebuah “Kristologi dari
bawah” tanpa mengikutsertakan “Kristologi dari atas”. Kristologinya menjadi kristologi dinamis
dan antroposentris. Kemanusiaan Yesus sepenuh-penuhnya ditekankan dan menadi titik tolak
pemikiran. Dalam rangka itu kristologi tradisional dan dogma konsili Khalkedon yang
membedakan dalam Yesus dua kodrat yang dipersatukan dalam satu diri ilahi tidak dapat
berperan lagi. Gagasan-gagasan statis semacam itu mesti diganti dengan konsep-konsep modern,
dinamis dan relasional. Dan dalam rangka itu manusia mesti “diri”, sebab dua-duanya sama saja.
Maka Kristologi mesti betitik tolak Yesus historis, yang sepenuhny mansuai dan tidak
menyadari diri sebagai Allah, sebagai Mesias atau malah sebagai “nabi ekstologis”. Yesus
menyadari dirinya sebagai yang secara total berasal dari Allah dan secara total terbuka bagi
Allah. Dengan arti demikian Ia “Anak Allah”, “Anak” dengan arti relasional, dan ada keakraban
khusus dan unik.
Dengan menciptakan manusia Yesus Allah menghampakan diriNya menjadi
kemungkinan menjadi Allah. Allah yang menyatakan diri dalam sejarah jangan dipikirkan seperti
Allah para filsuf. Sebagai ciptaan Yesus menerima diriNya seadanya dan Ia secara dinamis
secara total menyerahkan diri kepada Allah.
Kristologi yang disajikan Gonzales Faus tersebut tentu saja suatu kristologi baru. Tetapi
juga dan dengan tepatnya diistilahkan sebagai suatu “usaha”, jadi suatu usul saja yang tidak mau
disajikan sebagai definitf dan matang. Sebab Gonzales Faus jelas bermaksud mempertahankan
keunikan Yesus serta perananNya. Gonzales Faus menggabungkan berbagai gagasan dan pikiran
yang bermacam-macam asal-usulNya, “Proyeknya tidak terlalu meyakinkan dan dapat dikritik
dari pelbagai segi.
Para penganut teologi pembebasan tidak dapat tidak menyibukkan diri dengan Yesus
Kristus. Mereka memikirkan kembali Yesus Kristus, kedudukan dan peranan-Nya. Mengingat
bahwa teologi pembebasan ter utama soteriologi, maka segi soteriologis Yesus Kristus mendapat
tekanan. Yesus Kristus ditempatkan dalam sejarah pembebasan, artinya: sejarah penyelamatan,
sebagai puncak (dan awal) serta penyelesaian sejarah itu.

Teologi (politik) itu ingin membela iman Kristen terhadap serangan dan kritik dari pihak
marxis dan neomarxis. Agama Kristen yang mewujud kan iman dituduh sebagai "ideologi yang
hanya mendukung kelas terten tu (borjuis) dan "status quo". Maka teologi itu berusaha
memperlihatkan bahwa Injil tentang Kerajaan Allah dan praxis Yesus yang diinspirasikan oleh-
Nya berupa kritik terhadap masyarakat seadanya dan memancing "praxis" untuk mengubah
masyaraka: itu menuju yang baru, terus-me nerus sampai Allah mewujudkan "burni dan langit
yang baru". Kesulitan teologi macam itu terletak dalam kenyataan bahwa dari "Injil" sukar di
jabarkan suatu program konkret guna membangun masyarakat "lebih baik". Orang berkesan
bahwa dalam teologi ini Injil hanya negatif: yang ada tidak baik, mesti lain. Tetapi tidak
memberi petunjuk bagaimana yang "lebih baik" itu. Dari "kasih" saja orang tidak dapat
menjabarkan pe tunjuk sosio-politis dan ekonomi yang konkret. Teologi (filsafat) peng harapan
itu pindah khususnya ke Anıerika Latin (dan Spanyol).

Tokoh utama ialah: G. Guitiérrez, J. Comblin, H. Assmann, J. Bonino, J. Scannone, S. Gali lea,
J. Croatto, J. Sobrino. J. Segundo, L. Boff, Cl. Boff. Meskipun teologi itu mesti menghadapi
resistensi dan kritik, namun para penganutnya merasa diri didukung oleh konsili Vatikan II, para
uskup Amerika Latin (pertemuan di Medellin, 1968 dan di Puebla, 1979) dan, meskipun dengan
kritik, oleh P. Yohanes-Paulus II. Teologi itu memang tercetus oleh situasi khusus di Amerika
Latin. Penduduknya secara massal Kristen-Katolik dan mereka menjadi kelompok sosial yang
(dapat) amat kuat; agama (Kristen Katolik) dan masyarakat merupakan suatu kesatuan, tak
terpisahkan. Meski pun dalam agama rakyat itu terdapat banyak unsur dari agama pra-Kristen
dan tercampur dengan takhayul, namun rakyat Amerika Latin benar-benar beriman Kristen.
Namun justru di sana merajalela ketidakadilan dan pe nindasan, berarti dalam rangka umat
Kristen sendiri. Maka di sana (seharusnya) dimensi sosio-politik ima. Kristen (Injil) menjadi
terwujud. Meskipun teologi pembebasan (feminisme boleh dianggap semacam varian teologi itu)
(masih) jauh dari seragam, namun ada beberapa garis hesar bersama.
Sebagai pengganti istilah tradisional "penebusan" para penganut teologi itu memilih istilah
"pembebasan". Dengan demikian mereka mau me nekankan bahwa keselamatan memang
keselamatan menyeluruh, yang mencakup seluruh manusia dan hidupnya, tidak terkecuali malah
khusus nya segi sosio-politik. "Politik" mereka mengertinya sebagai suatu dimensi manusia,
bukanlah hanya salah satu kegiatannya. Politik ialah segala usaha untuk melalui kekuasaan
(entah apa cirinya) mengubah masyarakat sesuai dengan konsep tertentu. Semua kegiatan
manusia sebenarnya mempunyai segi "politik" semacam itu. Secara politik orang tidak dapat
"netral", mau tidak mau orang terlibat.
Mereka pun menekankan bahwa teologi pembebasan tidak mengenai salah satu pokok (misalnya:
pembebasan), melainkan teologi itu merupa kan suatu metode khusus berteologi. Karena itu
teologi itu menyangkut semua tema, yang didekati secara khusus (Allah, Kristus, Gereja, sakra
men, manusia dan sebagainya). Metode itu berpusatkan praxis pembebas an, yang bertitik tolak
pada ketegangan antara "penindasan-pembebasan menyeluruh". Semua tema disoroti dari segi
itu.

Kristologi soteriologis dan dinamis Sobrino cukup lengkap. Jelas pula bahwa soteriologi
itu antroposentris. Untungnya ialah: sesuai dengan pen dekatan Perjanjian Baru soteriologi
diutamakan dari kristologi (dengan arti sempit), yang difungsionalkan. Jelaslah Sobrino mau
secara konsekuen memakai metode teologi pembebasan: bertitik tolak pada pengalaman dan
praxis dan kembali kepada praxis. Tetapi juga jelas betapa Sobrino bergan tung pada buah
pikiran sejumlah teolog di Eropa Barat dan kurang meman faatkan kekayaan seluruh Perjanjian
Baru. Karena itu boleh dipertanyakan sejauh mana kristologi Sobrino itu boleh dikatakan
"Cristologia desdeAmerica Latina"? Pasti tidak boleh dianggap sebagai pikiran para teolog
pembebasan. Problem pokok tetap sama: Bagaimanakah, bukan Yesus Kristus yang diwartakan
Perjanjian Baru, melainkan "Yesus historis" dapat menjadi dasar (dan isi) kristologi dan
bagaimana dapat didekati'? Boleh disesal kan bahwa Sobrino kurang memperhatikan Kristus
pneumatis, peranan aktual Yesus Kristus, bukan sebagai "model", tetapi secara pribadi. Mu dah
saja Yesus yang digambarkan Sobrino menjadi Yesus Kristus ideologis, suatu arkhitypos orang
Kristen saja, sebagaimana Ia dilihat oleh H. Ass mann. Yesus historis hanya menjadi suatu "idea"
belaka.

1.4 Yesus Kristus di indonesia

sejarah pemikiran umat Kristen mengenai Tuhannya yang menjadi identitasnya, mungkin sekali
pembaca menjadi bingung dan menggeleng gelengkan kepala. Namun demikian, melihat
bagaimana umat bergumul untuk secara intelektual, konseptual dan linguistik mendekati inti sari
imannya, Yesus Kristus, pembaca pemikir-pemikirnya dalam usahanya mewartakan Yesus
Kristus begitu kiranya turut memuji umat itu serta rupa, sehingga manusia tertolong untuk
mendekati Yesus dan Allah yang diberitakan dan dinampakkan Yesus Kristus. Yesus itu
memang tetap sama, kemarin, hari ini dan untuk selama-lamanya. Tetapi manusia yang berubah
mau tidak mau memikirkan Dia secara lain,
Tentu saja tidak ada satu pun kristologi disusun sepanjang sejarah yang sungguh-sungguh
memuaskan dan dapat mempertahankan diri. Ada pun sebabnya bukan hanyalah kenyataan
bahwa alam pikiran manusia ber ubah, tetapi juga oleh karena "objek" kristologi, yaitu Yesus
Kristus me lampaui pikiran, perkataan dan bahasa manusia. Para pemikir Kristen juga tidak
selalu berhasil baik dalam usahanya. Para teolog tidak boleh terlalu berbangga atas ilmunya.
Sebab adakalanya para teolog dengan spekulasi nya memasang tembok tebal antara Yesus
Kristus dan mereka yang percaya kepada-Nya. Mereka tidak selalu menolong umat untuk juga
secara intelek tual, konseptual serta linguistis semakin jelas dan jernih melihat (bukan:
membongkar) misteri yang tak terselami itu.
Syukurlah iman tidak bergantung pada pemikiran dan spekulasi para teolog. Yesus Kristus,
relevansi dan peranan abadi-Nya akhirnya hanya ter capai dengan hati yang beriman dan
berkasih. Yesus Kristus, Kebenaran, selalu lebih besar daripada otak manusia, meski otak itu
amat cerdas dan tajam sekali pun. Kalau umat condong melihat Yesus Kristus sebagai manu sia,
ternyata la lebih dari manusia; kalau mau dilihat sebagai "nabi", la toh lebih dari nabi; kalau mau
digelari "Mesias", la ternyata lebih dari Mesias; kalau mau dinilai sebagai "malaikat", la nampak
lebih dari malai kat. Akhirnya umat sampai menyebut-Nya Allah dan di situ berhenti. Tidak ada
yang melebihi Allah. Bagaimana manusia Yesus Kristus dapat disebut Allah, tentu saja tidak
mudah dijernihkan. Iman yang dengannya manusia mencapai Yesus Kristus, tentu boleh malah
harus mencari pemahaman. Fides quaerens intellectum, iman sejati mencari pemahaman sejauh
itu mungkin. Hanya iman mesti mendahului pemahaman dan selalu melampaui pemahaman.
Pemahaman, tegasnya pe mahaman ilmiah, ialah teologi, turut berperan untuk mengantar
manusia secara menyeluruh kepada Yesus Kristus, tetapi teologi, kristologi itu hanya sarana.
Kristologi tidak membicarakan Yesus Kristus sendiri, tetapi pikiran umat tentang Dia.
Teologi/kristologi hanya refleksi sekunder, meta-reflek si, refleksi ilmiah tentang refleksi umat
beriman. Dalam kristologi, baik yang spontan, maupun yang refleksif-ilmiah, Yesus Kristus
melalui konsep konsep menjadi bahasa, "logos", kata mengenai Kristus. Dan maksudnya ialah
mengarahkan iman kepada sasarannya. Maka kristologi hanya alat. di Indonesia, renungkan dal
Latin, Jermas Yesus Kristus konsep Dan kristologi malah bukan sarana utama. Sebab iman umat
terlebih diarahkan kepada sasarannya oleh doksologi (puji-pujian), yang tidak rasi onal, dan oleh
homologi, pengakuan iman bersama (syahadat). Homologi itu bukan teologi, melainkan ucapan
iman umat yang seia sekata (homo logos memang berarti: kata yang sama, sekata) terarah kepada
sasaran imannya. Maka homologi selalu bernada doksologi juga. Homologi itu pada tempatnya
dalam ibadat umat waktu umat seia sekata memuji dan meluhurkan Allah dalam Tuhannya,
Yesus Kristus.

Karena itu kesimpangsiuran yang selama abad XIX dan XX merajalela dalam pemikiran
ilmiah tentang Yesus Kristus (kristologi) pada umat Kris ten di dunia barat, tidak usah
terlalu mengejutkan umat Kristen di Indo nesia. Kesimpangsiuran dalam kristologi
disebabkan oleh kesimpangsiuran dalam masyarakat dan pemikiran dunia barat itu. Rupanya
alam pikiran di barat menempuh kurun baru dalam sejarahnya. Dunia barat itu kini mirip
dengan umat manusia yang dilukiskan Kitab Suci (Kej 1i:1-9). Waktu men coba mendirikan
menara yang puncaknya mesti sampai di surga, umat manusia kehilangan kesatuan bahasa
(dan pemikiran), sehingga tidak lagi mengerti satu sama lain. Kristologi-kristologi
bermacam-macam yang di susun para pemikir Kristen di dunia barat itu hanya
mencerminkan ke simpangsiuran kultural di barat.Kesimpangsiuran itu merupakan akibat
sejarah kebudayaan dunia barat. Manusia, termasuk beriman, di dunia barat melewati zaman
meta fisis Yunani, zaman pertengahan,zaman pencerahan, rasionalisme, idealisme,
eksistensialisme, empirisme, positivisme. Dan orang Kristen yang berpikir mempunyai soal:
Bagaimana mewartakan Yesus Kristus dengan cara yang sesuai dengan alam pikiran yang
simpang siur itu? Tidak mengherankan bahwa apa yang mereka sodorkan juga agak
simpang siur.Selama 1.k. 500 tahun Yesus Kristus sudah diwartakan dan diimani di tanah
yang disebut Indonesia, luas membentang. Dewasa ini sudah diimani jutaan orang
Indonesia, meskipun suatu minoritas saja.

BAB III PENUTUP


1.1Kesimpulan
Baik kesimpulan dari kami Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa Yesus kristus
kehilangan arah (abad XVI S/d XX) Yesus Kristus tentu saja tetap sama baik kemarin
maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.Saran dari makalah ini adalah penulis sangat
membutuhkan kritikan serta Saran untuk penulisan penelitian yang lebih baik dan lebih
bermanfaat.

1.2Daftar Pustaka
 Dr. C. Groenen ofm SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TENTANG YESUS KRISTUS PADA
UMAT KRISTEN

Anda mungkin juga menyukai