Semester/Jurusan : V-A/Teologi
AYUB 42:1-6
b. Analisis Teks
ְוid. Id. ; acc. Shifted by ְוconv. (v. Id.) . יךע
id. pret 1 pers. sing. (8. Rem. 7) . ( יךעto know, perceive, discern, be aware of)
Keterangan :
id : Idem (sama)
pret : preterite (kata kerja masa lalu; telah selesai)
1 pers : 1st person = orang pertama (saya, aku)
Sing : tunggal
Kata kerja yang sama dari orang pertama tunggal (aku, saya) yang telah
selesai.
Jadi, arti kata ַעּתׅ
ְ֯ יָךdengan kata dasarnya יךעadalah to know, perceive,
discern, be aware of (mengetahui, memahami, membedakan, menyadari).
1
c. Menguji Teks
1) BHS :
ִמְ ז ִָּמֽה מִ ּמְָך וְֹלא־י ִ ָּבצֵר ּתּוכָל ּכִי־כ ֹל יָֽדַ עְּת
2) KJV : I know that You can do everything, And that no purpose [of Yours]
can be withheld from You.
3) BIS : Aku tahu, ya TUHAN, bahwa Engkau Mahakuasa; Engkau sanggup
melakukan apa saja.
4) TB : Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak
ada rencana-Mu yang gagal.
5) SN : U’ila, wa lӧ hadia ia, si tebai ndra’ugӧ, awӧ wa lӧ tӧdӧu, si tebai ӧfalua.
Jadi, penafsir menyimpulkan bahwa penggunaan kata ִ יָֽדַ עְּתdi dalam
terjemahan KJV, BIS, TB, dan SN digunakan dengan makna kata yang sama,
yaitu “tahu”.
d. Analisa
Penggunaan kata ִ יָֽדַ עְּתdalam terjemahan :
1) BHS : mengetahui
2) KJV : I know (Aku tahu)
3) BIS : Aku tahu
4) TB : Aku tahu
5) SN : U’ila (aku tahu)
Jadi, kata ִ יָֽדַ עְּתjika dilihat dari berbagai terjemahan di atas, memiliki makna
yang sama.
e. Kesimpulan
Merujuk pada penggunaan kata ִ יָֽדַ עְּת, penafsir menyimpulkan bahwa
kata ini merujuk kepada kesadaran diri Ayub akan kemahakuasaan Allah dan
betapa luar biasa rencanaNya bagi kehidupan Ayub. Penggunaan kata ini disetiap
tafsiran memiliki makna kata yang sama. Sehingga penafsir tetap menggunakan
terjemahan BHS.
2. Ayub 42:3a-a
a. Kritik Teks Apparatus
( ךׇ ֥ עַת ּבְ ֽׅלי ע ֵׇ֗צה מַ ע ׅ ְ֥לים ׀ זֶ֨ה ׅ֤מי3a-a) : dalam teks ini, perlu perbandingan
dengan Ayub 38:2, “Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan
perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan?”. Dalam Ayub 38:2,
merupakan perkataan Allah kepada Ayub. Sedangkan Ayub 42:3 merupakan
perkataan Ayub yang mengingat apa yang telah Allah katakan kepadanya.
b. Menguji Teks
2
1) BHS :
נִ ְפלָא ֹות ָאבִין וְֹלא ִהּגַדְ ּתִ י ָלכֵן ךׇ ֥ עַת ּבְ ֽׅלי ע ֵׇ֗צה מַ ע ׅ ְ֥לים ׀ זֶ֨ה ׅ֤מי
אֵ ָדֽע וְֹלא מִ ּמֶ ּנִי
2) KJV : [You asked], `Who [is] this who hides counsel without knowledge?'
Therefore I have uttered what I did not understand, Things too wonderful for
me, which I did not know.
3) BIS : Engkau bertanya mengapa aku berani meragukan hikmat-Mu padahal
aku sendiri tidak tahu menahu. Aku bicara tentang hal-hal yang tidak
kumengerti, tentang hal-hal yang terlalu ajaib bagiku ini.
4) TB : Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa
pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang
hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui.
5) SN : Ha niha zombalugӧ tӧdӧ Lowalangi, niha sambӧ tӧdӧ andrӧ? Andrӧ
uwa’ӧ si tebai aboto ba dӧdӧgu, si lӧ u’ila watahӧgӧ.
Jadi, penafsir menyimpulkan bahwa penggunaan kata ךׇ ֥ עַת ּבְ ֽׅלי ע ֵׇ֗צה
ַמע ׅ ְ֥לים ׀ זֶ֨ה ׅ֤מי
di dalam terjemahan KJV, BIS, TB, dan SN digunakan
makna yang sama. Di dalam BIS keterangan yang ada merujuk langsung
pada diri Ayub yang ditanyai oleh Allah “mengapa berani meragukan
hikmat”. Ayat ini dalam terjemahan BIS merupakan kalimat pernyataan
Ayub tentang perkataan Allah. Meski dalam berbagai terjemahan ini penafsir
berpendapat bahwa dalam ayat ini berbicara tentang Ayub yang tidak
berhikmat dalam mengetahui rancana Allah bagi dirinya.
c. Analisa
Penggunaan kata ִ יָֽדַ עְּתdalam terjemahan :
1) BHS : Siapa itu yang menyelubungi keputusan bukan pengetahuan
2) KJV : Who [is] this who hides counsel without knowledge?
(Siapakah ini yang menyembunyikan nasihat tanpa pengetahuan?)
3) BIS : Mengapa aku berani meragukan hikmat-Mu
4) TB : Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa
pengetahuan?
5) SN : Ha niha zombalugӧ tӧdӧ Lowalangi, niha sambӧ tӧdӧ andrӧ?
Jadi, kata מע ׅ ְ֥לים ׀ זֶ֨ה
ַ ּבְ ֽׅלי ע ֵׇ֗צה ךׇ ֥ עַת jika dilihat dari berbagai terjemahan di
atas, memiliki makna yang sama.
d. Kesimpulan
Merujuk pada kata מַ ע ׅ ְ֥לים ׀ זֶ֨ה ךׇ ֥ עַת ּבְ ֽׅלי ע ֵׇ֗צה, penafsir
menyimpulkan bahwa ayat ini adalah perkataan Ayub yang mengingat apa yang
sudah lebih dahulu dikatakan Allah kepadanya. Dengan mengatakan hal ini
dalam pengakuannya akan kekeliruannya memahami Allah, Ayub dengan sadar
3
menjawab bahwa dirinyalah orang yang tidak berhikmat dalam memahami
kehendak dan rencana Allah bagi dirinya.
3. Ayub 42:3b
a. Kritik Teks Apparatus
ע ֵׇ֗צה (3b) : Merupakan satu atau beberapa naskah Perjanjian Lama Ibrani yang
tertulis מּלִים
ִ ְבyang berarti ‘dalam kata-kata’. Teks ini juga terdapat dalam
terjemahan Yunan “Septuaginta” dari Perjanjian Lama Ibrani dan Perjanjian
Lama terjemahan Siria. Jika dibandingkan dengan Ayub 38:2, kata ini memiliki
kata yang sama, yang berarti “keputusan”.
b. Menguji Teks
1) BHS :
נִ ְפלָא ֹות ָאבִין וְֹלא ִהּגַדְ ּתִ י ָלכֵן ךׇ ֥ עַת ּבְ ֽׅלי ע ֵׇ֗צה ַמע ׅ ְ֥לים ׀ זֶ֨ה ׅ֤מי
אֵ ָדֽע וְֹלא מִ ּמֶ ּנִי
2) KJV : [You asked], `Who [is] this who hides counsel without knowledge?'
Therefore I have uttered what I did not understand, Things too wonderful for
me, which I did not know.
3) BIS : Engkau bertanya mengapa aku berani meragukan hikmat-Mu padahal
aku sendiri tidak tahu menahu. Aku bicara tentang hal-hal yang tidak
kumengerti, tentang hal-hal yang terlalu ajaib bagiku ini.
4) TB : Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa
pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang
hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui.
5) SN : Ha niha zombalugӧ tӧdӧ Lowalangi, niha sambӧ tӧdӧ andrӧ? Andrӧ
uwa’ӧ si tebai aboto ba dӧdӧgu, si lӧ u’ila watahӧgӧ.
Jadi, kata ע ֵׇ֗צהdalam terjemahan BHS dan TB memiliki arti yang sama,
yaitu keputusan. Dalam terjemahan KJV digunakan kata ‘counsel’ yang berarti
nasihat, merujuk kepada apa yang dikatakan oleh Tuhan. Dalam terjemahan BIS,
digunakan kata ‘hikmat-mu’ yang merujuk kepada kemahakuasaan Allah. Dalam
terjemahan SN digunakan kata ‘tӧdӧ Lowalangi’ yang berarti ‘hati Tuhan’,
merujuk kepada apa yang dikatakan, diputuskan oleh Tuhan.
c. Analisa
Penggunaan kata ע ֵׇ֗צהdalam terjemahan :
1) BHS : keputusan
2) KJV : counsel (nasihat)
3) BIS : hikmat-Mu
4) TB : keputusan
4
5) SN : tӧdӧ Lowalangi
Jadi, kata ע ֵׇ֗צהjika dilihat dari berbagai terjemahan di atas, memiliki arti
yang sama. Namun, menurut penafsir kata ini merujuk kepada kekuasaan Tuhan
dalam perkataannya (nasihat) dan keputusannya.
d. Kesimpulan
Merujuk pada kata ע ֵׇ֗צה, penafsir menyimpulkan bahwa kata ini adalah
bagian yang menunjukkan apa yang dimiliki Allah, bahwa Dialah yang memiliki
kuasa dalam perkataanNya, nasihatNya, dan keputusanNya. Tidak ada satu pun
yang salah dengan kekuasaan Allah.
5
menggambarkan keadaan penuh kesusahan dan penghinaan seperti ketika ia kehilangan
segala yang ia miliki. Bagian ini muncul sebagai penyesalan diri Ayub yang belum
menyadari akan kebesaran Allah, karena sebelum penyesalan ini ia pun menantang Allah
untuk mempertanggungjawabkan perlakuanNya kepada Ayub. Pada bagian akhir dari
kitab ini keadaan Ayub dipulihkan; kesehatan, ekonomi, kehidupan rumah tangga, relasi
dengan sahabatnya, serta martabat di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, menurut
rangkaian kisah dalam kitab Ayub, penulis kitab Ayub ingin mengungkapkan tentang
makna di balik penderitaan.
b. Waktu
Para ahli pada umumnya mengambil kesimpulan bahwa kitab ini berasal
dari zaman yang muda, meskipun pelukisan situasi masyarakat di mana Ayub
hidup, menunjukkan suatu tatacara hidup yang kuno. Para ahli berpendapat bahwa
kitab Ayub ditulis antara tahun 400-300 SM.2 Masa setelah bangsa Israel kembali
dari pembuangan. Kitab ini ditulis untuk mengajak para pembacanya berpikir
tentang penyebab dari penderitaan. Ajakan berpikir itu disampaikan karena tradisi
Yahudi sebelumnya terlalu sederhana dalam menjelaskan asal-usul penderitaan,
yakni bahwa setiap penderitaan merupakan akibat dari dosa.3
1
W.S. Lasor, Pengantar Perjanjian Lama 1: taurat dan sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), hlm.
77-78
2
J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 152
3
Purwa Hardiwardoyo, Intisari Kitab Suci Perjanjian Lama (Yogyakarta: PT Kanisius, 2019), hlm. 50
6
c. Politik
Ketika bangsa Israel kembali ke Yerusalem, yang menjadi penguasa atas
mereka adalah bangsa Persia yang berhasil mengalahkan Babel. Para kaisar Persia
sendiri menganggap diri mereka sendiri terpanggil untuk menguasai dan
menyediakan perdamaian bagi banyak bangsa. Dengan demikian, bertentangan
dengan imperium-imperium sebelumnya, orang-orang Persia membiarkan banyak
kota, suku, dan bangsa mempunyai derajat otonomi yang tinggi dalam hal hukum,
religius, dan budaya dalam imperiumnya. Mereka melakukan hal ini dengan
menyatakan norma-norma lokal melalui instansi-instansi administrasi imperial,
dengan demikian mengangkat hukum-hukum yang sah secara lokal menjadi hukum
kekaisaran---selama hukum-hukum lokal itu bersesuaian dengan kepentingan-
kepentingan penjajah.4 Selain alasan kemanusiaan, kebijakan ini juga dilakukan
demi mendapatkan kesetiaan dan rasa syukur dari kamum jajahan yang berada di
tempat-tempat strategis di wilayah kekaisaran mereka. Karena letak Palestina yang
dekat dengan perbatasan Mesir, orang-orang Persia merasa penting untuk
menegakkan kembali negara bagian yang bersahabat di sana. Untuk itu mereka
menunjuk Sesbazar sebagai gubernur Yehuda. Kemudian digantikan oleh
Zerubabel yang merupakan cucu dari Yoyakhin, raja sah terakhir keluarga Daud.5
d. Ekonomi
Di bawah pemerintahan Persia, Raja Koresy memerintahkan supaya kaum
buangan yang kembali ke Yerusalem segera membangun Bait Suci. Tetapi,
rombongan pertama dari orang-orag yang kembali dari Babel (538) hanya berhasil
memperbaiki fondasi gedung dan sebagian temboknya. Agaknya keuangan seret.
Memang ada beberapa individu di Yerusalem yang sudah mencapai kemakmuran
yang cukup mencolok, tetapi keadaan ekonomi kaum Yahudi pada umumnya, baik
pendatang baru maupun yang sudah menetap di Yerusalem, tidak begitu
menggembirakan.6 Selesai Bait Allah selesai dibangun, keadaan orang-orang
Yahudi di Palestina tidak membaik. Sebelumnya mereka sudah tertimpa kelaparan
dan sesudahnya keadaan ekonomi tidak mau maju. Ada perselisihan dan
penindasan dan pemerasan di kalangan mereka sendiri.7
e. Sosial-Budaya
Saat bangsa Israel ditawan dan diangkut ke Babel, yang tinggal di kota
Yerusalem sesudah kehancurannya adalah rakyat jelata. Yang diangkut tertawan ke
Babel adalah kaum atasan masyarakat Yerusalem, sedangkan rakyat jelatan
dibiarkan tinggal. Menurut tafsiran yang lazim, sekitar 20.000 orang tetap tinggal
di Yehuda. Sisa yang demikian itu dalam jangka waktu 70 tahun berusaha untuk
4
Jan Christian Gertz, dkk., Purwa Pustaka: eksplorasi ke dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan
Deuterokanonika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), hlm. 291
5
John Drane, Memahami Perjanjian Lama II: dari kerajaan terpecah sampai pascapembuangan
(Jakarta: Penerbit Yayasan Persekutuan Pembaca Alkitab, 2002), hlm. 89
6
Th. C. Vriezen, Agama Israel Kuno (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), hlm. 275-276
7
Groenen OFM, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), hlm. 170
7
membangun kembali pola hidup mereka, walaupun tentu mereka mengalami
banyak halangan dari suku-suku sekitar.8 Selalu timbul persoalan antara orang-
orang yang baru kembali dari pembuangan dengan sisa-sisa penduduk Yehuda
yang dulunya tidak ikut ditawan dan kemudian tetap tinggal di sana atau penduduk
yang tadinya terpaksa mengungsi namun kemudian kembali lagi ke Yehuda
sebelum orang-orang dari pembuangan tiba. Orang-orang Yahudi yang kembali
dari pembuangan di Babilonia menganggap bahwa hanya merekalah yang
mematuhi tata kebiasaan peribadahan kepada Tuhan secara benar. Sedangkan
penduduk lain, yang tetap berdiam di Yehuda atau yang baru kembali dari
pengungsian, dipandang sebagai orang-orang yang menyembah dewa-dewi kafir
selain menyembah Tuhan. Keadaan ini tidak menggembirakan para penguasa di
Palestina dan wilayah seberang sungai Yordan, yakni Sanbalat, Tobia, dan
Gesyem. Mereka lebih menaruh simpati kepada penduduk Yehuda yang tidak
dibuang ke Babilonia dan berusaha agar penduduk-penduduk itu mempersulit
kehidupan orang-orang yang pulang dari Babel.9
f. Agama
Setelah pembuangan, di masa nabi Ezra (458 sM) dan selanjutnya ke-
Yahudi-an menjadi agama hukum. Kesalehan sama dengan ketekunan untuk
mempelajari hukum-hukum agama dan menaatinya. Para ahli kitab dan juru tafsir
hukum agama menjadi sama pentingnya dengan para imam. Bersamaan dengan itu,
synagoge, di mana tempat hukum agama dipelajari, menjadi makin penting,
bahkan menjadi saingan dan tandingan Bait Allah. Muncul lembaga penafsiran
yang segera dianggap suci sama dengan hukum agama. Dari kiprah lembaga itu
muncul ‘ada-istiadat nenek moyang’ seperti yang disebut dalam Matius 15:2 dst.
adat-istiadat nenek-moyang itu bersifat lisan, yang wibawanya diakui sama dengan
wibawa hukum agama yang tertulis (hukum-hukum yang terdapat dalam
Pentateukh).10
8
dari pembuangan mengalami kesulitan. Mereka menderita dan dalam kepercayaan
orang Yahudi, Allah menghukum orang yang bersalah dan fasik, sehingga mereka
menderita, sedangkan Allah menyayangi orang yang benar dan saleh. Dengan
kepercayaan ini, mereka menyatakan bahwa karena dosalah mereka menghadapi masa
sulit. Dengan menonjolkan tokoh Ayub, penulis kitab mau menyatakan bahwa
kepercayaan orang Yehuda selama ini tidaklah selalu benar, sebab kenyataan dalam
hidup sehari-hari ialah bahwa orang-orang benar selalu hidup menurut kehendak
Allah, namun mereka juga menderita. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa semua yang
terjadi terhadap Ayub, seorang yang benar, saleh, dan takut akan Tuhan adalah bentuk
dari kehendak Allah yang terlalu tinggi dan besar untuk dimengerti oleh manusia.
Melalui teladan kisah Ayub membawa penghiburan dan keberanian kepada orang-
orang yang menderita di sepanjang zaman.
D. Analisa Kesusastraan
1. Tujuan
a. Tujuan Umum
Kitab Ayub dapat dipahami sebagai kaleidoskop (aneka peristiwa yang
telah terjadi yang disajikan secara singkat) dari konsep-konsep dan pengalaman-
pengalaman tentang Allah Perjanjian Lama yang ditafsirkan secara kritis. Titik
berangkat diskusi tentang Allah, baik bagi teman-teman Ayub maupun bagi Ayub
sendiri adalah penafsiran atas pengalaman hidup sebagai pengalaman tentang
aktivitas Allah.
Menurut kitab Ayub, hanya suatu teologi yang memahami ambivalensi dari
pengalaman akan Allah, juga menyebutkan sisi gelap dari Allah dan tidak
menyelesaikan ketegangan-ketegangan dalam gambaran Allah menjadi gambaran
dualisme, serta memandang tradisi, situasi, dan orang secara bersama-sama adalah
teologi yang berbicara jujur tentang Allah. Dengan demikian, kitab Ayub tidak
hanya menjawab pertanyaan mengenai sebab dan tujuan dari penderitaan,
melainkan menjawab bagaimana sikap yang tepat dalam penderitaan.11
b. Tujuan Khusus
Kisah di dalam Ayub 42:1-6 merupakan pengakuan diri Ayub akan
kebesaran dan kemuliaan Allah. Dalam teks ini, sikap Ayub sebagai orang yang
mau merendahkan diri di hadapan Allah dan mengakui kesalahannya menjadi
teladan yang baik untuk orang Kristen dimasa sekarang. Kenyataan bahwa Ayub
bukanlah orang yang berasal dari bangsa Yahudi, ia adalah seseorang yang berasal
dari tanah orang Edom, Us, namun ia begitu percaya kepada Allah Israel
membawa pengalaman yang tidak biasa. Melalui kisah Ayub, Allah dinyatakan
tidak hanya untuk orang Israel, melainkan untuk orang-orang dari segala bangsa.
Kisah Ayub kemudian diambil sebagai refleksi bagi bangsa Israel setelah
kembali dari pembuangan dengan segala penderitaan yang mereka alami
menunjukkan bahwa penderitaan tidak hanya berlaku bagi orang yang berdosa,
11
Jan Christian Gertz, dkk., Purwa..., hlm. 664-665
9
melainkan juga kepada orang yang percaya kepada Allah untuk melihat sejauh apa
iman yang dimiliki oleh orang yang menderita saat mengalami penderitaan.
2. Struktur Kitab
Kitab Ayub terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu pendahuluan (ps. 1-2),
percakapan (ps. 3:1-42:6), dan penutup (ps. 42:7-17).
Struktur kitab Ayub:12
a. Ayub 1-2 : Pembukaan/pendahuluan (prosa)
b. Ayub 3:1-42:6 : Percakapan (puisi)
1) Ayub 3 : Ratapan Ayub
2) Ayub 4-27 : Dialog antara Ayub dan ketiga Sahabatnya
3) Ayub 28 : Syair tentang hikmat
4) Ayub 29-31 : Keluhan Ayub
5) Ayub 32-37 : Kata-kata Elihu
6) Ayub 38:1-42:6 : Jawaban Allah kepada Ayub; Ayub mengakui
kebesaran dan kemuliaan Allah
c. Ayub 42:7-17 : Penutup (prosa)
3. Ragam Sastra
Sebagaimana penyelidikan yang dilakukan oleh Robert Gordis, pengarang
kitab Ayub telah menciptakan jenis sastranya sendiri. Kitab Ayub bersifat didaktik,
yang berarti sang pengarang berusaha mengajarkan kebenaran agamawi; suatu tugas
yang dilaksanakannya terutama dengan memakai sarana puisi lirik yang
mengungkapkan perasaan-perasaan yang dalam.13 Orang Yahudi percaya bahwa Allah
menghukum orang yang bersalah dan fasik, sehingga mereka menderita, sedangkan
Allah menyayangi orang yang benar dan saleh. Dengan menonjolkan tokoh Ayub,
penulis mau menyatakan bahwa kepercayaan orang Yehuda selama ini tidaklah selalu
benar, sebab kenyataan dalam hidup sehari-hari ialah bahwa orang-orang benar selalu
hidup menurut kehendak Allah, namun mereka juga menderita. Sehingga dapat
dikatankan bahwa semua yang terjadi bagi Ayub adalah kehendak Allah yang terlalu
tinggi bagi manusia untuk bisa dimengerti.14
E. Analisa Konteks
1. Analisa Konteks Dekat
Ayub 42:1-6 merupakan pengakuan diri Ayub akan kebesaran dan kemuliaan
Allah. Ia menyesali perkataannya dan merendahkan diri di hadapan Allah, mengakui
bahwa ia adalah seseorang yang kecil dan memang tidak bisa mengerti kebesaran
Allah. Penyesalan Ayub bukan pengakuan bahwa penderitaan yang ia alami layak
diterima karena ia telah berbuat dosa, melainkan bahwa keluhannya terhadap Allah
disebabkan karena ia tidak mengenal Allah dengan sepenuhnya (ay. 3-6). Setelah
pengakuannya ini, Allah memulihkan keadaannya. Allah menunjukkan bahwa Ia
12
W.S. Lasor, Pengantar..., hlm. 112
13
C. Hassell Bullock, Kitab-kitab Puisi dalam Perjanjian Lama (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2003), 97
14
J. Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 151
10
memandang Ayub sebagai hamba yang Ia kasihi, sehingga melalui permintaan Ayub,
ketiga sahabatnya, yaitu Elifas orang Tѐman, Bildad orang Suah, dan Zofar orang
Naama diampuni oleh Allah karena telah berkata tidak benar tentang Allah (ayat 7-9).
Setelah semua pencobaan yang dialami oleh Ayub, TUHAN memulihkan keadaan
Ayub dengan memberikan dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu.
Kehidupannya diberkati lebih dari hidupnya dahulu. Ia berkelimpahan dalam harta dan
memiliki tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan yang sangat cantik. Ayub juga
memiliki umur yang panjang untuk melihat anak-anaknya dan cucu-cucunya (ayat 10-
17).
11
F. Analisa Makna Kata
1. Menyesal
Di dalam kamus TDOT, kata menyesal (nḥm) dalam Ayub 42:6 mungkin juga
menunjukkan perubahan sikap batin. Pemberontakan diikuti oleh penyerahan. Dalam
pengakuan imannya yang terakhir, Ayub menerima situasinya di mata Tuhan dan
dengan demikian menemukan kedamaian. Bagaimanapun, terjemahan umum dari m
sebagai "menolak, menarik kembali, menolak" (dengan tujuan tersirat seperti "kata-kata
saya") sebagai paralel dengan "bertobat" (dengan nada mengingkari perilaku yang salah
atau berdosa, sebuah makna langka di PL) sama sekali tidak pasti di sini.
Dalam Ayub 15:11 menunjukkan penghiburan yang diyakini teman-teman
Ayub berasal dari firman Yahweh. Dalam Ayub 21:2 Ayub menggunakan kata yang
sama secara polemik: jika teman-temannya diam sejenak dan mendengarkannya, itu
akan menjadi penghiburan sejati. Dalam 6:10 adalah penghiburan yang Ayub harapkan
hanya ditemukan dalam kematiannya sendiri; di Mzm. 119:50 pemazmur
mengaitkannya dengan firman Yahweh dan dengan kehidupan.
2. Debu
Dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, dalam bahasa Ibrani avaq, afar, debu
tanah dipakai secara harafiah atau dalam kiasan untuk menguungkapkan jumlah yang
banyak (Kej. 13:16; Yes. 29:5), keadaan hinaan (Ul. 29:1), keadaan kemiskinan (1Sam.
2:8), debu ditaruh di atas kepala sebagai tanda perkabungan (Ay. 2:12; Why. 18:19),
dan hati yang remuk (Yos. 7:6).
Rendahnya kedudukan manusia ditekan dengan peringatan bahwa dia berasal
dari debu tanah dan pada akhirnya akan kembali menjadi debu tanah (Ay. 17:16).
Paulus membedakan tubuh alamiah yang fana sebagai gambaran “manusia debu” yang
diwarisi dari Adam, dari tubuh abadi atau “tubuh rohani” yang akan dikenakan pada
kebangkitan sebagai gambaran “manusia surgawi” (1Kor. 14:44-49). Ular dihukum
“makan debu tanah” (Kej. 3:14) dan peringatan akan hukuman disampaikan dengan
mengebaskan debu dari kaki (Mat. 10 :14-15; Kis. 13:51).
Dalam kamus TDOT, tanah. Dalam Ayub 5:6 "tanah, tanah" adalah arti dari
apar dan dama dalam pernyataan paralel: "Kesengsaraan tidak datang dari tanah, dan
kesusahan tidak muncul dari tanah". Dalam Ayub 14:8 dan Yes. 34:7, eres dan apar
digunakan secara sinonim berdampingan. Dalam Yes. 34:9 juga, apar berarti "tanah".
Ular disebut "perambah tanah". Besi diambil dari tanah; derasnya hujan dapat
menghanyutkan lapisan tanah atas (Ayub 14:19). Yes. 2:19 mengasumsikan fitur yang
lebih permanen: "Mereka akan memasuki gua-gua batu dan gua-gua tanah dari teror
Yahweh". Ayub 30:6 juga menyebutkan lubang-lubang di tanah dan 38:38 berbicara
tentang tanah yang memanggang padat.
3. Abu
Dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, kata ini diterjemahkan dalam dua kata
Ibrani, yaitu ѐfer, sering sejajar dengan afar, debu, yang berarti hasil pembakaran.
Dipakai sebagai kiasan yang berarti apa-apa, yang tanpa harga (Yes. 44:20) dan
memuakkan (Ay. 30:19), kesengsaraan (Mzm. 102:9; Yer. 6:26), dan malu (2Sam.
12
13:19), kerendahan diri di hadapan Allah (Kej. 18:27; Ay. 42:6), dan perasaan sedih
karena berdosa (Dan. 9:3; Mat. 11:21). Abu itu juga digunakan dalam upacara untuk
membersihkan (Bil. 19:9-10, 17; Ibr. 9:13). Abu sebagai hasil dari sisa korban bakaran
yang khusus, disimpan untuk dipakai dengan air yang mengalir membersihkan dari
kenajisan, dan sebagai tanda berpuasa (Yes. 58:5; Yun. 3:6).
G. Integrasi
Setelah penafsir melakukan analisa sesuai langkah-langkah penafsiran, maka
penafsir menyimpulkan bahwa perikop yang ditafsir merupakan sikap yang seharusnya
ditunjukkan oleh manusia dalam menghadapi penderitaan dan tantangan dikehidupannya.
Ayub mengakui kesalahannya terhadap Allah, bahwa ia mengutuki hari kelahirannya (ps.
3), namun ketika Allah menegurnya ia segera bertobat dan mencabut perkataannya (ay. 6).
Ayub mengakui dan menyadari bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak
ada rencana Allah yang gagal. Ayub menyadari bahwa dalam penderitaannya, ia hanya
mendengarkan apa pendapat dari sesamanya manusia tanpa mau memandang dan
memahami maksud Allah dalam penderitaan yang ia alami. Sehingga, ketika menyadari
kesalahannya, ia merendahkan diri di hadapan Allah.
Perikop tafsir yang ditafsir dimulai dengan kalimat “Maka jawab Ayub kepada
TUHAN:” (ay. 1) yang menunjukkan bahwa sebelum perikop ini ada ucapan TUHAN
kepada Ayub, sehingga Ayub menjawabNya; terjadi percakapan antara TUHAN dan
Ayub. TUHAN mulai menjawab Ayub setelah memberikan waktu untuk Ayub dan
keempat sahabatnya berbicara kepadanya (ps. 4-37). Ada perdebatan panjang diantara
Ayub dan keempat sahabatnya. Keempat sahabatnya yang mencoba berbicara atas nama
TUHAN untuk menjernihkan keraguan Ayub dan mengurangi pergumulannya, namun
pada akhirnya mereka gagal. Akhirnya, Allah harus turun tangan untuk berbicara kepada
Ayub (ps. 38:1 – 42:6).
Muncul pertanyaan besar, mengapa Ayub dan kisahnya menjadi begitu terkenal
dari banyaknya kisah orang beriman di dalam Alkitab? Ayub sendiri adalah seorang yang
hidup dengan saleh dan jujur, ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia hidup dalam
kebahagiaan dan memiliki banyak harta (Ayub 1:1-3). Tanpa diketahui oleh Ayub, Iblis
mendatangi Allah dan menuduh bahwa kesalehan Ayub adalah karena Allah telah
memberkatinya dengan kekayaan yang berlimpah-limpah. Dengan itu, Iblis meminta izin
Allah untuk mencobai Ayub dan Allah mengizinkannya. Akhirnya, malapetaka
menghampiri Ayub sehingga ia kehilangan anak-anaknya, termasuk semua harta
bendanya, dan terakhir ia ditimpa oleh suatu penyakit yang mengerikan. Dalam
perjalanannya menghadapi penderitaan dan pencobaan, Ayub bergumul begitu keras untuk
bisa menemukan mengapa Allah melakukan hal ini kepadanya. Hingga Allah mulai
berbicara kepadanya dan Ayub memberikan jawaban atas perkataan Allah kepadanya.
Ayat kedua, “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan
tidak ada rencana-Mu yang gagal.” Ayub menyatakan bahwa dirinya tahu betapa
berkuasanya Allah untuk melakukan dan mengerjakan segala sesuatu dan tidak ada kata
gagal untuk itu. Bahkan sebelum penyesalannya ini, Ayub mengetahui betapa maha
kuasanya Allah (Ayub 9:4-14; 28:20-24). Namun, karena rasa kehilangan untuk segala
yang ia miliki, Ayub hanya menyadari itu sebatas perkataan yang keluar dari mulutnya.
13
Hatinya tertutup untuk memahami betapa luar biasanya Allah yang ia sembah. Melalui
ayat ini, Ayub yang telah menyadari kesalahannya, mau mengakui kekeliruannya,
mengaku bahwa Allah yang luar biasa yang telah ia kenal dan ketahui adalah Allah yang
sungguh-sungguh berkuasa dan tidak pernah gagal untuk mengerjakan pekerjaannya di
dalam kehidupan orang yang percaya kepadaNya.
Ayat ketiga, “Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa
pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang
sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui.” Ayat ini merupakan perkataan Ayub yang
mengingat apa yang telah Allah katakan kepadanya (Ayub 38:2), yang menjadi perkataan
pertama Allah ketika mulai berbicara kepada Ayub. Pada saat Allah mengucapkan
perkataan ini, Ia mengajukan pertanyaan kepada Ayub dan meminta Ayub untuk
mempersiapkan diri menjawab Allah. Dengan mengatakan hal ini dalam pengakuannya
akan kekeliruannya memahami Allah, Ayub dengan sadar menjawab bahwa dirinyalah
orang yang tidak berhikmat dalam memahami kehendak dan rencana Allah bagi dirinya.
Ayub mengakui bahwa cara-cara Allah ada di luar jangkauan dari pemahaman manusia,
namun karena kekeliruannya atas apa yang menimpa dirinya Ayub mengungkapkan
bahwa rencana Allah tidak adil bagi dirinya. Ayub menyadari bahwa rencana Allah
bukanlah sesuatu yang bisa ia pahami begitu saja dengan kemanusiaan yang ia miliki.
Ayub sadar bahwa tidak selalu hal baik yang akan ia dapatkan dari kesalehannya dan
ketaatannya kepaa Allah, melainkan juga ia harus mendapatkan hal buruk dan menerima
itu (Ayub 2:10) untuk meneguhkan iman dan kepercayaan yang ia miliki terhadap Allah
yang ia sembah.
Ayat keempat, “Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku
akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.” Ayat ini juga merupakan
perkataan Ayub yang mengingat apa yang telah Allah katakan kepadanya (Ayub 38:3).
Melalui ayat ini, Ayub mau mengatakan bahwa ia akan mendengarkan apa pun yang
dikatakan oleh Allah kepadanya. Dia mau menyerahkan diri kepada Allah, dia akan takut
dan mengasihi Allah, dengan atau tanpa kesehatan, kekayaan, dan kejayaan yang ia miliki.
Dengan demikian, penyerahan diri Ayub telah membuktikan bahwa tuduhan Iblis
terhadapnya bahwa iman dan kepercayaan Ayub ada karena perlindungan dan berkat yang
berlimpah dari Allah untuk kehidupan Ayub dan jika Allah mengambil segala sesuatu
yang ia miliki, Ayub akan berpaling dan mengutuki Allah. Ayub dan pengakuan serta
penyerahan dirinya mematahkan tuduhan Iblis, lebih dalam lagi, bahwa penyerahan diri
Ayub membuktikan kuasa Allah yang luar biasa untuk memberikan dan mengambil
kembali apa yang telah Ia berikan dengan tujuan dan maksud yang tidak bisa diketahui
oleh manusia. Allah memperbolehkan hal buruk menimpa Ayub tidak menunjukkan
bahwa Allah mengikuti apa yang Iblis minta, namun inilah bagian dari rencana Allah yang
tidak di mengerti manusia. Tetapi, karena Ayub tetap setia dan mengaku bersalah di
hadapan Allah, bukan hanya harta bendanya yang dipulihkan, melainkan juga hubungan
pribadinya dengan Allah yang dibaharui.
Ayat kelima, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi
sekarang mataku sendiri memandang Engkau”. Ayat ini merupakan pengakuan Ayub
bahwa ia telah keliru dalam memahami Allah, bahkan ia mengeluh terhadap Allah (Ayub
16-17). Ayub telah mendengar banyak hal tentang Allah, keempat sahabatnya telah
14
berbicara kepadanya, namun hatinya tertutup akan semua hal yang ia dengar. Tapi, setelah
Allah sendiri yang berbicara dan menemui Ayub, maka kini Ayub percaya sepenuhnya
kepada Allah dan menyadari kesalahannya. Pertemuan antara Allah dan Ayub,
pembicaraan yang terjadi, memberikan jaminan kepada Ayub bahwa Allah selalu
menerima dengan tulus ungkapan penyesalan manusia dan akan tetap menyertai
kehidupan manusia yang datang ke hadapanNya. Karena Ayub telah menunjukkan
ketahanan dirinya akan penderitaan yang ia alami, Allah menyatakan kuasaNya dan
menyampaikan perhatianNya kepada hambaNya yang Ia kasihi.
Ayat keenam, “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan
menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” Ayat ini menegaskan bahwa setelah Ayub
menyadari kekeliruannya akan apa yang ia pahami tentang Allah, setelah Ayub mengaku
diri bersalah, oleh sebab itu ia mencabut perkataannya. Ayub tidak ingin lagi mengingat
dan menyimpan segala rasa kehilangannya, keluhannya, dan ketidaktahuannya akan
kemahakuasaan Allah adalah sesuatu yang tidak layak diungkapkan dan dipikirkan oleh
manusia fana seperti dirinya. Ayub merendahkan diri dan memandang diri begitu rendah
di hadapan Allah seperti debu dan abu, karena itu dia duduk dalam debu dan abu. Debu
dan abu adalah bentuk penyesalan terdalam dari Ayub. Jika dalam Ayub 2:8, saat pertama
sekali ia kehilangan apa yang ia miliki, ia duduk di tengah-tengah abu sebagai bentuk
kedukaannya untuk penderitaan yang ia alami, untuk kehilangan harta benda dan kejayaan
yang selama ini ia nikmati hingga melukai diri dengan sekeping beling yang digaruk ke
tubuhnya. Namun, kini ia duduk di dalam debu dan abu sebagai bentuk penyesalan
sehingga Ayub merendahkan diri dan mengakui kebesaran dan kemahakuasaan Allah.
Kitab Ayub merupakan kitab yang mengangkat permasalahan Sosial-Budaya.
Setelah bangsa Israel kembali dari pembuangan, ada banyak masalah yang dihadapi,
terkhususnya bagi mereka yang kembali dari Pembuangan. Mereka miskin secara harta,
karena sebelum dibuang ke Babel seluruh harta kepunyaan mereka dihancurkan. Mereka
menderita dan dalam kepercayaan orang Yahudi, Allah menghukum orang yang bersalah
dan fasik, sehingga mereka menderita, sedangkan Allah menyayangi orang yang benar dan
saleh. Dengan kepercayaan ini, mereka menyatakan bahwa karena dosalah mereka
menghadapi masa sulit. Dengan menonjolkan tokoh Ayub, penulis kitab mau menyatakan
bahwa kepercayaan orang Yehuda selama ini tidaklah selalu benar, sebab kenyataan dalam
hidup sehari-hari ialah bahwa orang-orang benar selalu hidup menurut kehendak Allah,
namun mereka juga menderita. Sehingga, melalui perikop ini, penulis kitab ingin
menunjukkan seperti apa sikap yang benar saat menghadapi penderitaan. Dengan
meneladani Ayub dalam menghadapi penderitaannya, ia tidak mau lagi mengeluhkan dan
mempertanyakan rencana Allah bagi kehidupannya, melainkan merendahkan diri di
hadapan Allah dan menyerahkan hidup kepada Allah, menguatkan manusia di masa kini
dalam menghadapi berbagai masalah dan penderitaan.
H. Makna Teologis
Setelah penafsir menafsir perikop ini, makna yang terkandung adalah Tuhan dan
kuasaNya adalah sesuatu yang tidak bisa dimengerti oleh manusia. Oleh sebab itu, dalam
penderitaan yang dialami oleh manusia dalam hidupnya, manusia harus terus merendahkan
diri di hadapan Tuhan, mengakui kesalahan yang telah diperbuat dan menyadari betapa
besar dan hebatnya Tuhan dan segala rencana serta kuasa yang Ia miliki.
15
Dengan konteks bangsa Israel yang kembali dari pembuangan dan miskin secara
harta serta ditolak oleh sesamanya yang masih tinggal di Yerusalem, ada anggapan bangsa
Israel bahwa semua ini terjadi karena dosa mereka. Allah sedang menghukum mereka
akibat dosa yang mereka perbuat. Kitab Ayub secara keseluruhan mengajarkan bahwa
pencobaan dan penderitaan tidak hanya dialami oleh orang-orang yang berdosa. Orang-
orang yang benar di hadapan Allah juga akan mengalami penderitaan. Hal ini terjadi
bukan untuk menjadikan manusia lemah di hadapan Allah dan manusia lainnnya,
melainkan untuk melihat seberapa kuat iman yang dimiliki terhadap Allah, sehingga
setelah berhasil melalui berbagai penderitaan, manusia dipulihkan dan menjadi pemenang
yang layak bagi Allah.
I. Aplikasi
Setelah beberapa hari penafsir merenungkan dan membaca perikop yang di tafsir
oleh penafsir sendiri. Maka, penafsir akan mencoba mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari atau mendekatkannya dalam ruang lingkup dan realita kehidupan manusia pada
saat ini. Dalam kehidupan yang dijalani oleh manusia, tidak akan selalu hal baik yang
diterima, tidak juga selalu hal buruk yang dihadapi. Manusia akan mengalami duka,
kemudian suka, lalu duka lagi, begitu seterusnya. Namun, saat manusia diperhadapkan
dengan duka atau kesulitan, manusia sering sekali menyalahkan Tuhan dan keadaan yang
ia hadapi. Hanya dalam keadaan suka dan bahagia manusia bisa mengatakan bahwa Tuhan
adalah hebat dan luar biasa. Manusia melupakan, bahwa kuasa Tuhan dalam setiap
rencanaNya adalah hal yang tidak bisa manusia duga dan pikirkan.
Oleh sebab itu, melalui perikop ini kita diajarkan untuk tetap memandang dan
menyerahkan diri kepada Tuhan. Tidak perlu mempertanyakan bagaimana cara Tuhan
bekerja bagi kehidupan kita, yang perlu kita lakukan hanyalah merendahkan diri,
mengakui kesalahan dan menyadari kemahakuasaan Tuhan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Blommendaal, J. 2008. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Bullock, C. Hassell. 2003. Kitab-kitab Puisi dalam Perjanjian Lama. Malang: Penerbit
Gandum Mas.
Drane, John. 2002. Memahami Perjanjian Lama II: dari kerajaan terpecah sampai
pascapembuangan. Jakarta: Penerbit Yayasan Persekutuan Pembaca Alkitab.
Gertz, Jan Christian, dkk. 2017. Purwa Pustaka: eksplorasi ke dalam kitab-kitab Perjanjian
Lama dan Deuterokanonika. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hardiwardoyo, Purwa. 2019. Intisari Kitab Suci Perjanjian Lama. Yogyakarta: PT Kanisius.
Hinsin, David F. 2001. Sejarah Israel pada Zaman Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Lasor, W.S. 2019. Pengantar Perjanjian Lama 1: taurat dan sejarah. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
LaSor, W.S. 2019. Pengantar Perjanjian Lama 2 Sastra Dan Nubuat. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2019).
Vriezen, Th. C. 2019. Agama Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
17