Anda di halaman 1dari 16

“MESIANISME DALAM KITAB 1 MAKABE DAN SUMBANGSIHNYA

TERHADAP KONSTRUKSI MESIANIK DI ZAMAN YESUS”

DITULIS OLEH :
PUTRA ARLIANDY
01170067

UNTUK MEMENUHI PENILAIAN TES AKHIR SEMESTER


MATA KULIAH YUDAIKA

YOGYAKARTA,
DESEMBER 2018
Pendahuluan

Kitab 1 Makabe merupakan bagian dari kitab-kitab Deutrokanonika yang diadopsi oleh
kaum Katolik sebagai teks yang otoritatif di samping PL dan PB. Kitab-kitab ini sendiri
terdapat dalam Septuaginta, tetapi tidak pada Biblica Hebraica.1 Secara naratif, kitab-kitab ini
sebenarnya berfungsi sebagai jembatan karena hendak menggambarkan situasi yang terjadi
pada masa antara dari masa PL menuju masa PB. Namun, karena oleh kaum Protestan kitab-
kitab ini tidak diadopsi ke dalam teks otoritatif, maka kitab-kitab ini tidak pernah dibahas
bahkan nyaris tidak disentuh oleh Gereja Protestan. Padahal, kitab-kitab ini mengandung latar
belakang kesejarahan yang turut membantu para pembaca memahami konteks Perjanjian Baru,
terkhusus ketika hendak membaca dinamika politik, sosial, ekonomi, dan religius pada masa
itu.

Kitab 1 Makabe diperkirakan ditulis sekitar abad kedua sebelum Masehi atau pada
zaman Hirkanus (134-104 SM).2 Konteks sejarah yang dominan melatarbelakangi teks ada
pada masa kepemimpinan Antiokhus Epifanes (Antiokhus IV) dari dinasti Seleukid, meskipun
kisah mengenai Aleksander Agung sempat dibahas di bagian awal. Pada masa Antiokhus IV
ini, Helenisasi yang telah dimulai oleh penguasa sebelumnya lebih digalakkan. Dengan
bantuan Jason yang menduduki jabatan imam besar saat itu, proses Helenisasi di Yerusalem
pun dipercepat. Pasalnya, Jason menawarkan kenaikan pajak-pajak kepada raja, memohon agar
rakyat Yerusalem juga dianggap sebagai warga Antiokhia agar mendapatkan hak-hak istimewa
layaknya orang Antiokhia, dan mengizinkan didirikannya gelanggang olahraga sebagai pusat
pendidikan para pemuda secara Helenistis di Yerusalem.3 Dalam 1 Mak. 1:14 sendiri, pendirian
gelanggang olahraga ini menjadi permasalahan yang disoroti. Pasalnya, tempat ini erat
kaitannya dengan penyembahan dewa pagan dan melaluinya penyebaran adat-istiadat Yunani
menjadi terpusat. Ketelanjangan yang menjadi ciri kegiatan atletik juga turut mendorong para
atlet Yahudi untuk menyembunyikan bahkan menghilangkan tanda sunat mereka yang sama
artinya dengan meninggalkan perjanjian dan mempertaruhkan identitas keyahudiannya.4

Bersama dengan Jason, setidaknya kita dapat menjumpai adanya golongan Yahudi pro-
Helenis lainnya yang turut mendukung kebijakan Helenis ini. Dalam 1 Mak. 1:11, mereka

1
Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari & Mengajarkan Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2015), hlm. 277-278
2
Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari & Mengajarkan Alkitab, hlm. 278
3
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, terj: S. Poerbo, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991),
hlm. 51
4
John J. Collins, Tafsir Deutrokanonika 5: Makabe I dan II, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm.27
disebut sebagai “orang jahat dari Israel”. Menurut Hengel, kemungkinan besar mereka yang
termasuk dalam kelompok tersebut adalah para imam dan orang-orang terpandang yang
sebenarnya juga memegang kekuasaan di Yerusalem. Keberpihakan mereka ini turut
mengundang para pemilik tanah dan para pedagang di Yerusalem untuk turut bersimpati pada
Helenisme dengan harapan akan adanya pertumbuhan ekonomi.5 Collins menambahkan,
kelompok pro-Helenisme tersebut juga hendak bermaksud untuk mengompromikan tradisi
Yahudi dengan budaya di sekitarnya demi menghilangkan stigma orang Yahudi yang dianggap
asing dan tidak ramah karena tata keagamaannya yang eksklusif. 6 Namun, memang
keterlibatan orang-orang Yahudi ini tidak terlalu dimunculkan dalam kitab 1 Makabe daripada
dalam kitab 2 Makabe. 1 Makabe justru mencoba untuk memperlihatkan kepada pembaca
bahwa tindakan-tindakan yang melanggar hukum Yahudi lebih dominan dilakukan oleh
penguasa Seleukid. Sehingga, menurut Collins sendiri, kitab ini cenderung menyajikan konflik
antara orang Yahudi dan orang non-Yahudi7 dengan tendensi pembelaan dan kesetiaan pada
Taurat yang hendak dimunculkan. Oleh sebab itu, dalam membaca teks ini, kita juga perlu
memperhatikan kepentingan penulis yang turut membangun suasana teks.

Orang-orang Yahudi yang ingin berkuasa turut memanfaatkan kebutuhan dana yang
diperlukan oleh dinasti Seleukid. Menelaus saja misalnya, yang merasa tidak puas pada
kepemimpinan Jason, “membeli” jabatan imam besar dan mendampingi Antiokhus IV untuk
menjarah Bait Allah di Yerusalem sekitar tahun 169 SM dalam rangka mendanai peperangan
Seleukid terhadap Mesir.8 Selain Bait Allah yang dijarah, Antiokhus juga turut menghancurkan
tembok-tembok kota dan mendirikan benteng Akra di seberang bukit Sion untuk dijadikan
semacam polis Yunani dengan peraturannya sendiri.9 Dalam bidang keagamaan, Antiokhus
mengeluarkan semacam dekrit yang melarang praktik agama Yahudi lewat tindakan
penghancuran Kitab Suci, pelarangan terkait dengan hari Sabat dan berbagai perayaan,
pengabaian terhadap hukum makanan, larangan terhadap sunat serta dorongan untuk
mempersembahkan babi di sebuah altar yang lebih kecil yang sebenarnya merupakan
penghinaan terhadap Yudaisme (1 Mak. 1: 41-64). Segala pelanggaran yang dilakukan oleh
Antiokhus IV dan kelompok pro-Helenisme inilah yang kemudian mendorong terjadinya
gerakan pembebasan terhadap penjajahan Yunani, secara khusus yang dilakukan oleh keluarga

5
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, hlm. 61
6
John J. Collins, Tafsir Deutrokanonika 5: Makabe I dan II, hlm. 27
7
John J. Collins, Tafsir Deutrokanonika 5: Makabe I dan II, hlm. 26
8
Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, terj: M. Deborah, (Malang: Gandum Mas, 2003), hlm.
500
9
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, hlm. 66
Makabe – di mana di kemudian hari lebih dikenal dengan nama “Hasmoni” yang diambil dari
nama Hasmon yang dianggap sebagai ayah pokok dari keluarga itu 10– yang kisahnya secara
jelas disorot dalam kitab 1 Makabe ini.

Imam Matatias sebagai Pembuka Jalan Pembebasan

Gerakan pembebasan keluarga Makabe sendiri bermula dari tindakan imam Matatias
sebagai salah seorang dari golongan imam-imam “rendahan” yang memilih untuk tidak
menaati perintah Antiokhus IV. Kedekatannya dengan rakyat biasalah, terkhusus golongan
petani yang harus menanggung pajak dan biaya hidup tuan tanahnya yang mewah di samping
memberikan juga sebagian dari hasil panennya kepada raja Seleukid, yang membuat ia
berpihak pada mereka yang notabene tertekan secara ekonomi karena persongkokolan raja
Seleukid dengan para elite Yahudi sendiri. Bagaimana tidak, persekongkolan tersebut justru
membuat semakin tingginya pajak yang ditanggungkan kepada penduduk biasa. Untuk itu, tak
heran jika mereka yang miskin kemudian merasakan beban ekonomi yang semakin berat.
Alhasil, mereka memendam kebencian kepada penguasa Seleukid sehingga memicu terjadinya
pemberontakan.

Matatias sendiri melakukan pembangkangan lewat penolakannya untuk


mempersembahkan korban kepada para dewa pagan yang diminta oleh utusan raja dengan
maksud agar Matatias memberi contoh sebagai pemimpin warga di kota Modein (1 Mak. 2:17-
18). Tidak seperti para imam dan orang-orang Yahudi di Yerusalem yang dilukiskan oleh para
prajurit raja telah melakukan persembahan terlarang tersebut, Matatias dengan tegas
menyampaikan kesetiaannya pada Taurat dan perjanjian nenek moyang (1 Mak. 2:19-22).
Namun, sayangnya kitab 1 Makabe mengisahkan bahwa sebelum Matatias mendeklarasikan
kesetiaannya itu, ada seorang Yahudi yang sudah tampil di hadapan khalayak umum untuk
mempersembahkan korban menurut ketetapan raja. Melihat hal itu, Matatias kemudian
menggorok orang Yahudi tersebut di dekat tempat pengorbanan. Utusan raja yang melakukan
pemaksaaan terhadap tindakan tersebut juga turut dibunuh. Tempat pengorbanan terlarang itu
akhirnya dirobohkan pula olehnya (1 Mak. 2:24-25). Setelah peristiwa tersebut, Matatias
beserta anak-anaknya kemudian melarikan diri ke pegunungan. Sementara itu, tentara kerajaan
turut dikerahkan untuk melacak keberadaan para pemberontak. Hal ini mengakibatkan

10
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, hlm. 78
kelompok Hasidim juga menolak untuk mempersembahkan korban menurut ketetapan raja dan
tidak memberikan perlawanan saat penyerangan dilaksanakan pada hari Sabat sebagai bagian
dari ketaaatannya telah habis dibunuh.11

Terkait dengan keberadaan kelompok Hasidim, dalam sejarah Yahudi sendiri kita dapat
menemukan beberapa kelompok Hasidim. Dalam Mazmur 149:1 saja misalnya, terdapat frasa
“jemaah orang-orang saleh” yang diartikan dari kata qahal hasidim. Di samping itu, pada abad
12-13, terdapat juga kelompok Hasidim Mesir yang merupakan kelompok mistik Yahudi yang
mengadopsi Sufisme dengan pimpinannya Rabi Abraham ibn Maymun serta kelompok
Hasidey Askhenaz (Hasidim Askhenaz) yang merupakan kelompok mistik Yahudi di Jerman.
Di abad 18, muncul kembali kelompok Hasidim di Eropa Timur sebagai reaksi terhadap
kegagalan Mesianisme Shabbatai Zevi yang perkembangannya terus berlanjut sampai saat ini
dengan berbagai cabang. Dalam kisah Makabe, kelompok Hasidim merujuk pada kelompok
puritan di masa itu yang kemungkinan erat kaitannya dengan upaya pemurnian agama setelah
adanya praktik percampuran budaya antara helenisasi dan keyahudian. Untuk itu, peristiwa
pembunuhan kelompok Hasidim tersebut akhirnya menohok Matatias sehingga mendorongnya
dan para pengikutnya memutuskan untuk tetap memberikan perlawanan demi hidup dan
undang-undang mereka apabila suatu saat mereka diserang pada hari Sabat. Bersama dengan
Matatias, kelompok Mursid (Hasidim dalam Bahasa Ibrani)12 akhirnya juga turut bergabung
dalam gerakan pembebasan ini. Dengan kekuatan yang besar itu, mereka kemudian
membersihkan praktik penyembahan berhala. Mereka merobohkan semua tempat
pengorbanan, melakukan sunat paksa, mengusir orang-orang congkak dari wilayah Israel, dan
merebut Taurat dari tangan orang asing dan para raja (1 Mak. 2:45-48). Semua tindakan itu
diarahkan kepada “orang-orang yang tidak mematuhi Taurat” yang menurut Collins kemudian
agaknya diarahkan kepada kelompok pro-Helenisme. Sehingga, kemenangan yang hendak
dicapai oleh Matatias dan pengikutnya sebenarnya merupakan kemenangan kelompok
Yudaisme tradisional.13 Oleh sebab itu, sebutan orang Israel dan orang Yahudi di sepanjang
kitab 1 Makabe ini perlu kita kritisi karena lebih cenderung merujuk kepada kelompok
Yudaisme tradisional ini. Mereka dianggap sebagai orang Israel sejati yang masih mengingat
perjanjian dan Taurat sebagai identitas keyahudiannya. Sedangkan, orang-orang Yahudi yang

11
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, h.80
12
Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab: Kitab Daniel, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 47
13
John J. Collins, Tafsir Deutrokanonika 5: Makabe I dan II, hlm. 33
dianggap telah berubah setia dan mendukung Helenisme dikenakan sebutan “orang-orang
jahat” atau “orang berdosa” bahkan “orang asing”.

Perjuangan Makabe Bersaudara sebagai Lanjutan Pembebasan

1. Periode Yudas Makabe


Usai kematian Matatias, Yudas anaknya melanjutkan perjuangan. Ia melakukan
berbagai taktik gerilya sehingga dalam waktu yang dapat dikategorikan sebentar saja,
ia mendapatkan keberhasilan yang cukup besar.14 Kitab 1 Makabe sendiri menyaksikan
berbagai keberhasilannya dalam mengalahkan pasukan yang dikerahkan oleh
Apolonius dan Seron di Bet-Horon, Ptolemeus, Nikanor dan Gorgias beserta
pasukannya di Emaus, bahkan Lisias, orang kepercayaan raja, di Bet-Zur. Menurut
Ferguson, memang kepiawaian Yudas sendiri dalam menyusun taktik gerilya tidak
dapat dilepaskan dari penguasaan medan yang dimilikinya, terkhusus di daerah
pendalaman.15 Di samping melakukan perang gerilya, Yudas juga bertindak sebagai
pemimpin umat yang mempelopori pentahiran dan pentahbisan Bait Allah yang telah
dicemarkan oleh praktik religius kaum pagan. Altar berhala dibuang, perkakas kudus
dipulihkan, dan persembahan korban yang seturut dengan Taurat kembali dilaksanakan.
Untuk memperingati peristiwa ini kemudian, perayaan Hanukkah ditambahkan dalam
kalender agama Yahudi.16
Perlakuan orang-orang asing terhadap orang Yahudi yang muncul sebagai
reaksi atas pentahbisan Bait Allah kemudian membuat Yudas dan pengikutnya
melakukan kampanye sekaligus perlawanan demi tujuan agama-politik ke daerah-
daerah tersebut. Perlawanan pun akhirnya tidak lagi dilakukan dengan tujuan
menyelamatkan orang Yahudi tetapi juga untuk menghancurkan paganisme.17
Kemenangan-kemenangan Yudas yang ditampilkan oleh 1 Makabe sebagai hasil dari
perjuangan dalam membela Taurat ini akhirnya menimbulkan kesan keberpihakan
Allah kepada mereka. Alhasil, kasih setia Allah dihayati dalam bentuk kemenangan
militer layaknya yang kita jumpai dalam masa Musa dan Yosua dalam PL.18 Namun,

14
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, hlm. 81
15
Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, hlm. 503
16
Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, hlm. 503
17
John J. Collins, Tafsir Deutrokanonika 5: Makabe I dan II, hlm. 41
18
John J. Collins, Tafsir Deutrokanonika 5: Makabe I dan II, hlm. 37
memang di satu sisi, tindakan Yudas dan tekanan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa
asing di luar daerah Yudea telah berhasil membuat orang-orang Yahudi yang terpecah-
pecah berkumpul. Sehingga, Yudas sendiri akhirnya mengambil kebijakan untuk
memusatkan populasi Yahudi di daerah Yudea untuk melindungi mereka sekaligus
menguatkan posisinya.19
Pada tahun 163 SM setelah kematian Antiokhus IV, Yudas melanjutkan
perjuangan dengan mengepung benteng Akra di Yerusalem. Sayangnya, Yudas harus
menerima kekalahan pertamanya dalam pertempuran ini ketika berhadapan dengan
pasukan yang dikerahkan oleh Antiokhus V. Salah seorang saudaranya, Eleazar, juga
turut tewas dalam pertempuran (1 Mak.6: 46). Pertempuran itu sendiri kemudian
terpaksa diberhentikan oleh Lisias karena Filipus hendak merebut kekuasaan di
Antiokhia. Namun, sebelum itu, dengan mempertimbangkan perbekalan dan urusan
negara lainnya yang mendesak, Lisias mengadakan perdamaian dengan bangsa
Yudea.20 Hal ini pun disetujui oleh raja sehingga akhirnya mereka dapat kembali
diizinkan untuk hidup menurut adat-istiadat mereka layaknya sebelum masa Antiokhus
IV. Pulihnya kehidupan keagamaan ini sekaligus juga membuat golongan Hasidim
merasa telah mencapai tujuan perjuangannya sehingga mereka memisahkan diri dari
kaum Hasmonean. Kaum Hasmonean kemudian lebih mengarahkan usahanya pada
kekuasaan dan kebebasan politik,21 termasuk ketika kaum Hasmonean merasakan
ketidakpuasan atas posisi Alkimus yang dianggap pro-Helenisasi sebagai imam besar22
lewat tindakannya yang menuduh kaum Yudaisme tradisional di hadapan raja demi
tujuan pembunuhan yang membuat raja memilih Bakhides untuk menghukum mereka
yang tertuduh. Berhadapan dengan situasi ini, Yudas dan para pengikutnya harus
kembali melakukan perlawanan yang kali ini lebih diarahkan kepada bangsanya yang
membelot, termasuk juga kepada Nikanor yang diutus raja untuk menumpas orang-
orang Yahudi dan yang kemudian berhasil dikalahkan oleh mereka. Memperkuat
perlawanannya, Yudas turut menggandeng orang-orang Romawi untuk membantunya
menghadapi Demetrius, sekalipun tidak dapat disangkal bahwa maksud politik Romawi
juga ada di balik perjanjian tersebut. Namun, menurut Jagersman, rasa-rasanya
Demetirus hendak membereskan segala sesuatu di Yudea dengan segera sehingga ia

19
Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, hlm. 504
20
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, hlm. 84
21
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, hlm. 85
22
Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, hlm. 504
mengirim Bakhides dan pasukannya untuk kedua kalinya23 yang kemudian
mengakibatkan Yudas mati terbunuh.

2. Yonatan Makabe
Dari segi politik, setelah matinya Yudas, golongan Seleukia dan kelompok pro-
Helenis kembali memegang kekuasaan atas Yudea dan Yerusalem.24 Di samping itu, di
bidang ekonomi, terjadi juga kelaparan hebat yang membuat sebagian besar orang
akhirnya berpindah ke kelompok pro-Helenis.25 Dalam situasi seperti ini, meskipun
awalnya Yonatan selama delapan tahun setelah kematian Yudas tidak memiliki
landasan untuk bertindak, ia kemudian tampil sebagai sosok cerdik yang dapat
memanfaatkan kesukaran-kesukaran yang dihadapi oleh kerajaan Seleukid. Ia secara
bergantian membantu Aleksander Balas dan Demetrius I yang terlibat dalam perang
saudara untuk memperebutkan takhta. Sebagai upah atas bantuannya kepada Demetrius
I, ia diizinkan untuk membentuk kesatuan-kesatuan sampai akhirnya dapat menduduki
Yerusalem. Sedangkan, sebagai upah atas bantuannya kepada Demetrius II, jabatan
imam besar diberikan kepadanya. Di samping itu, Aleksander Balas juga menunjuknya
sebagai panglima perang dan gubernur dari salah satu provinsi. Yonatan pun akhirnya
berhasil melakukan ekspansi kekuasaannya dengan memanfaatkan dinamika
pertempuran di medan politik itu.26 Sampai pada akhirnya, Yonatan sendiri dikukuhkan
dalam semua kedudukannya serta diberikan kuasa pemerintahan atas tiga distrik dari
Samaria oleh Demetrius II yang berhasil menjatuhkan Aleksander Balas dengan
dukungan Ptolemeus VI.27

3. Simon Makabe
Pemimpin gerakan pembebasan ini kemudian beralih kepada Simon, satu-
satunya yang tersisa dari Makabe bersaudara. Di tengah perang takhta kekuasaan antara
Demetrius II dan Trifon, ia kemudian memihak pada Demetrius II dengan syarat
pembebasan pajak sepenuhnya kepada rakyat. Mau tidak mau, tuntutan itu dipenuhi
oleh Demetrius II. Peristiwa pembebasan pajak ini kemudian dianggap sebagai akhir

23
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba hlm. 86
24
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, hlm. 86
25
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, hlm. 88
26
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, hlm. 89
27
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, hlm. 90
dari penindasan, terkhusus bagi para petani dan rakyat pedesaan.28 Rasa-rasanya
kelepasan inilah yang kemudian melatarbelakangi munculnya pujian bagi Simon dalam
1 Makabe 14:1-15. Ia digambarkan sebagai seseorang yang mengusahakan
kesejahteraan bangsanya sehingga damai sejahtera dirasakan sampai kepada kalangan
tua. Untuk itu, pujian dalam bagian ini haruslah dipandang sebagai sebuah
penggambaran ekspresi bagi mereka yang merasa tertindas akibat pajak selama ini.
Lewat pujian ini kemudian, menjadi jelaslah bahwa faktor ekonomi memang
merupakan faktor dominan yang mempengaruhi pergerakan kelompok ini. Pasalnya,
berbeda dengan orang Hasidim yang memberhentikan gerakannya setelah mendapatkan
kembali hak untuk menjalankan keagamaan sesuai Taurat, golongan Makabe justru
terus melanjutkan perjuangan. Akibat perjuangannya yang memetik hasil inilah,
barulah Simon kemudian mendapatkan legitimasi dalam kedudukannya sebagai imam
besar, panglima dan penguasa melalui suatu dektrit rakyat sebagaimana dilukiskan
dalam 1 Makabe 14: 25-49. Dekrit rakyat ini dianggap penting karena olehnya
kedudukan Simon menjadi kedudukan yang sah di mata rakyat, bukan hanya menurut
penunjukkan raja-raja pagan. Dengan demikian pula, perjuangan keluarga Makabe
telah selesai dan gelar turun-temurun yang diperoleh dari himpunan besar tersebut
dilimpahkan kepada Yohanes Hirkanus I.29

Konstruksi Gagasan Mesianik dalam Kisah Makabe

Gelar Mesias merujuk pada figur eskatologis dalam pandangan Yahudi akan masa
depan.30 Gagasan akan Mesias sendiri bertumbuh ketika orang-orang Yahudi berada dalam
pembuangan di Babel.31 Kata Mesias (mashiah) dalam keyahudian merujuk pada seseorang
yang diurapi oleh TUHAN.32 Untuk itu, dalam kitab Ibrani sendiri, kata mashiah ditemukan
sekitar tiga puluh delapan kali, di antaranya merujuk kepada kepala keluarga, imam besar, raja
Israel terkhusus Saul dan Daud beserta keturunannya, dan satu kali merujuk pada Koresh yang
dalam kitab Yesaya disebut hamba TUHAN yang akan membebaskan Israel dari tanah

28
H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba, hlm. 110
29
John J. Collins, “Messianism in the Maccabean Period” dalam J. Neusner, dkk. (eds), Judaisms and Their
Messiahs at the turn of the Christian Era, (New York: Cambridge University Press, 1987), hlm. 114
30
William S. Green, “Introduction: Messiah in Judaism: Rethinking the Question” dalam J. Neusner, dkk. (eds),
Judaisms and Their Messiahs at the turn of the Christian Era, hlm. 4
31
Robert Davidson, Alkitab Berbicara, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 127
32
J. H. Charlesworth, “From Jewish Messianology to Christian Christology: Some Caveats and Perspectives”
dalam J. Neusner, dkk. (eds), Judaisms and Their Messiahs at the turn of the Christian Era, hlm. 228
pembuangan Babel.33 Oleh sebab itu, sosok Mesias sendiri identik dengan keselamatan dan
pembebasan yang dikerjakan oleh TUHAN sendiri bagi umat pilihan-Nya melalui orang yang
diurapi-Nya. Tak heran, jika akhirnya gagasan tentang Mesias sendiri semakin menguat ketika
orang-orang Yahudi berada di bawah tirani. Pasalnya, penderitaan di bawah tirani tersebutlah
yang akhirnya menghantar orang-orang Yahudi untuk melihat janji TUHAN yang disampaikan
lewat para nabi tentang masa depan yang penuh dengan kedamaian dan tentang penghukuman
bagi mereka yang fasik. Sehingga, menjadi hal yang lumrah jika konstruksi pemikiran tentang
Mesias sendiri sangatlah ditentukan oleh situasi politik yang melatarbelakangi.34

Gagasan Mesias sendiri dalam keyahudian tidak sedikit dipengaruhi juga oleh tokoh-
tokoh besar umat Israel. Untuk itu, beberapa orang Yahudi mengidentikkan Mesias pada sosok
Elia. Beberapa orang lagi berpendapat bahwa Mesias adalah seorang nabi seperti Musa.35
Dalam lensa politik, beberapa orang mengidentikkannya dengan kembalinya kejayaan Israel
layaknya pada masa kerajaan Daud. Mengingat beberapa kitab dalam kitab Ibrani merupakan
hasil penulisan yang sangat “mengagungkan” Daud, maka hal tersebut mungkin juga menjadi
salah satu faktor yang mengakibatkan pandangan ini kemudian menjadi pandangan yang
umumnya mempengaruhi gagasan tentang Mesias. Oleh sebab itu, oleh beberapa orang, sosok
Mesias sendiri dianggap akan muncul dari keturunan Daud36 sekalipun beberapa orang lagi
tidak terlalu melihat garis keturunan Daud sebagai hal yang menentukan dan cenderung lebih
mementingkan aspek pembebasan yang dibawa oleh Mesias itu sendiri. Seperti misalnya, pada
sekitar tahun 130 M ketika Bar Kokhba yang bukan keturunan Daud, tidak melakukan mukjizat
apapun dan bahkan bukan orang saleh dianggap sebagai Mesias Yahudi karena gambaran
heroik dalam dirinya sebagai pembebas di samping adanya otoritas Rabi Akiva yang
menyatakan bahwa Bar Kokhba adalah sosok Mesias.

Meskipun oleh skema Horsley dan Hanson yang dimuat dalam bukunya tidak
mencantumkan Makabe bersaudara ke dalam golongan Mesias karena nampaknya mereka
mengklasifikasikan gerakan mesianik sebagai gerakan yang muncul pada zaman Romawi,37

33
William S. Green, “Introduction: Messiah in Judaism: Rethinking the Question” dalam J. Neusner, dkk. (eds),
Judaisms and Their Messiahs at the turn of the Christian Era, hlm. 2
34
John J. Collins, “Messianism in the Maccabean Period” dalam J. Neusner, dkk. (eds), Judaisms and Their
Messiahs at the turn of the Christian Era, hlm. 106
35
Brad H. Young, Jesus: The Jewish Theologian, (Massachusetts: Hendrickson Publishers, 1999), hlm. 198
36
John J. Collins, “Messianism in the Maccabean Period” dalam J. Neusner, dkk. (eds), Judaisms and Their
Messiahs at the turn of the Christian Era, hlm. 97
37
Richard A. Horsley dan John S. Hanson, Bandits, Prophets, and Messiahs: Popular Movements in the Time of
Jesus, (Chicago: Winston Press, 1985), hlm. 261-262
namun bukan berarti kisah Makabe sendiri muncul ataupun ditulis tanpa gagasan mesianis yang
melatarbelakanginya. Tanpa gagasan mesianis yang melatarbelakangi, tentu pujian yang
terkesan sangat mengagungkan Yudas dan Simon sebagaimana tercantum dalam kitab 1
Makabe tidak mungkin “sengaja” ditampilkan. Goldstein dalam hal ini justru melihat bahwa
kitab 1 Makabe sendiri amat menekankan peranan dinasti Hasmonean sebagai alat TUHAN
untuk membawa orang-orang Yahudi kepada kebebasan yang permanen di samping juga
menghukum dosa para kelompok pro-Helenis.38 Pandangan seperti ini akhirnya membuat
orang-orang melihat bahwa gerakan yang dilakukan oleh Makabe bersaudara sebagai perang
suci melawan kefasikan di mana TUHAN berpihak pada Makabe dan para pengikutnya.
Makabe bersaudara oleh penulis hendak dimunculkan sebagai penggenap pengharapan
mesianik orang-orang Yahudi, terkhusus ketika Simon menggenapi perjuangan saudaranya
dengan kebebasan pajak. Walaupun lewat pembahasan sebelumnya, kita dapat melihat bahwa
pengharapan orang-orang Yahudi yang seakan terpenuhi dalam kitab Makabe tidak mewakili
juga keseluruhan orang Yahudi melainkan hanya golongan kontra-Helenis, yaitu mereka yang
pada umumnya berada pada kelas ekonomi menengah ke bawah. Sekalipun pandangan ini
kemudian mengabaikan pandangan yang mengatakan bahwa seorang Mesias akan muncul
lewat garis keturunan Daud, tetapi penulis kitab Makabe seakan memberikan penekanan bahwa
dinasti Hasmoeanlah yang kemudian mengambil tempat dinasti Daud sebagai zaman yang
“diidam-idamkan” oleh orang-orang Yahudi.39

Sumbangsih Makabe dalam Konstruksi Mesianik pada zaman Yesus

Di samping kisah Makabe dipengaruhi oleh gagasan mesianis yang terbentuk pada
masa itu, perjuangan Makabe bersaudara juga setidaknya memberikan sumbangsih pada
konstruksi pemikiran tentang Mesias bagi masa sesudahnya, terkhusus dalam hal ini pada masa
Yesus. Gerakan Makabe jika dibaca dengan menghargai sisi historisnya amat sangat bernuansa
politis dan ekonomis, ketimbang bernuansa teologis. Perjuangannya dalam hal menegakkan
Taurat bukanlah satu-satunya alasan bagi Makabe bersaudara melanjutkan perjuangan.
Pasalnya, ketika kaum Hasidim menghentikan perjuangannya seusai kembali memperoleh
kebebasan untuk menjalankan agama Yahudi, Makabe bersaudara tidak berhenti berjuang. Hal

38
Jonathan A. Goldstein, “How the Authors of 1 and 2 Maccabees Treated the “Messianic” Promises” dalam J.
Neusner, dkk. (eds), Judaisms and Their Messiahs at the turn of the Christian Era, hlm. 75
39
John J. Collins, “Messianism in the Maccabean Period” dalam J. Neusner, dkk. (eds), Judaisms and Their
Messiahs at the turn of the Christian Era, hlm .104
ini mengindikasikan bahwa justru kepentingan ekonomi dan politiklah yang merupakan
kepentingan utama yang dibela oleh gerakan ini. Mengingat juga bahwa gerakan pembebasan
yang dipelopori oleh imam Matathias ini juga merupakan upaya perjuangannya membela
kelompok petani dan rakyat kecil lainnya. Dari sinilah, maka tak heran jika penggenapan
perjuangan dilihat sebagai hal yang dipenuhi oleh Simon Makabe setelah ia memperoleh
pembebasan pajak bagi orang Yahudi.

Nuansa politis juga amat sangat kental dijumpai pada masa Yonatan dan Simon. Lewat
berbagai taktik politiknya dengan cara memanfaatkan perebutan kekuasaan yang terjadi,
Yonatan dan Simon tampil sebagai orang-orang yang juga merindukan legitimasi terhadap
kekuasaan. Salah satu faktor yang melatarbelakangi tentu tidak lepas dari pengharapan orang
Yahudi akan kebebasan yang sangat dipengaruhi oleh munculnya sosok figur tertentu sebagai
imam besar, raja atau pun nabi yang merepresentasikan sosok “Yang Diurapi” oleh TUHAN.
Alhasil, melalui perjuangannya yang memanfaatkan taktik serta “pedang”, konstruksi tentang
Mesias setidaknya mengalami pergeseran makna. Mesias di kemudian hari diidentikkan
dengan sosok pemberontak bagi penguasa di samping sosok yang juga dekat dengan rakyat
kecil.

Akibat konstruksi ini, sosok Yesus kemudian dalam masa Perjanjian Baru juga diawasi
sebagai sosok pemberontak oleh beberapa kelompok Yudaisme seperti Saduki yang tidak
menerima gagasan mesianik,40 Herodian yang amat sangat mengagungkan dinasti Herodes
serta oleh penguasa Romawi yang berkuasa di masa itu. Ia yang muncul sebagai sosok yang
amat dekat dengan kaum marginal layaknya pemungut cukai serta sosoknya yang juga tampil
sebagai seseorang yang membela hak mereka yang kecil sebagaimana yang dilakukan-Nya
dalam peristiwa kemarahan-Nya terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam perdagangan di
Bait Allah (Mrk. 11:15-19) membuatnya dicurigai oleh beberapa orang sebagai pemimpin
pemberontakan. Ditambah lagi, ia adalah keturunan Daud yang membuatnya seakan muncul
sebagai sosok yang sangat memenuhi konstruksi mesianis pada saat itu. Dilatarbelakangi oleh
hal inilah, maka tak heran jika kita menjumpai salah satu kisah dalam Injil di mana Yesus
dilontarkan sebuah pertanyaan oleh orang-orang Herodian terkait dengan bolehkah seseorang
membayar pajak terhadap Kaisar (Mat. 22:15-22). Ada pun saya dalam hal ini melihat
pertanyaan ini mengindikasikan adanya asumsi penanya yang berharap memperoleh alasan
kuat untuk mengklaim Yesus sebagai pemimpin pemberontakan.

40
Brad H. Young, Jesus: The Jewish Theologian, hlm. 228
Asumsi ini rupanya juga mempengaruhi tindakan penyaliban Yesus. Young melihat
bahwa tindakan penyaliban merupakan sesuatu yang sangat bernuansa politis.41 Yesus dibawa
kepada Pilatus bukan semata-mata karena urusan keagamaan. Pasalnya, pemerintahan Romawi
tidak berhak untuk memberi hukuman terhadap pelanggaran akan hal itu. Adalah Sanhedrin
yang lebih memiliki otoritas jika hal tersebut berkaitan dengan penegakkan Taurat.42 Yesus
dibawa kepada pemerintahan Romawi atas tuduhan bahwa Ia mengklaim diri sebagai Raja
orang Yahudi yang oleh penulis Injil Lukas ditandai dengan sebutan Kristus (“Yang Diurapi”
dalam Bahasa Yunani). Gelar raja orang Yahudi ini menandakan adanya suatu keinginan untuk
memberontak dari raja yang sebenarnya, kaisar Romawi. Oleh sebab itulah, pemerintahan
Romawi kemudian menjatuhkannya hukuman salib sebagai wujud upayanya untuk
memberantas gerakan mesianik yang didasari atas ketakutan terhadap terancamnya otoritas
Romawi akibat terjadinya pemberontakan.43 Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa
mungkin saja terdapat gerakan-gerakan pembebasan lainnya (yang dalam perspektif Romawi
adalah gerakan pemberontakan) yang mengklaim dirinya sebagai gerakan mesianik di zaman
Yesus. Salah satu gerakan pembebasan yang dapat kita lihat dalam konteks saat itu adalah
gerakan yang dilakukan oleh golongan reformis, yaitu golongan Zelot. Di samping itu,
kesaksian Injil yang menyebutkan dua orang yang turut disalib di samping Yesus sebagai
penjahat saja secara umum – tanpa penyebutan lebih lanjut terkait kejahatan apa yang
dilakukannya – tidaklah menutup kemungkinan bahwa mereka juga terlibat dalam gerakan-
gerakan pembebasan. Young juga mengemukakan bahwa tulisan “Raja orang Yahudi” yang
disematkan oleh Pilatus di atas salib Yesus adalah tanda yang bukan sekadar dimaksudkan
sebagai ejekan, tetapi sekaligus juga memberi peringatan kepada orang-orang Yahudi terhadap
keseriusan Romawi dalam upayanya memerangi dan memberantas para pemberontak.44

Di samping para kaum oposisi Yesus, rasa-rasanya orang terdekat Yesus pun, yaitu para
murid, juga dipengaruhi oleh konstruksi pemikiran yang serupa. Dalam salah satu tafsiran yang
pernah dibahas dalam kelas saja misalnya,45 penyerahan Yesus kepada Mahkamah Agama oleh
Yudas Iskariot sebenarnya bukan semata-mata karena uang yang ingin didapat oleh Yudas.
Pasalnya, beberapa ahli akhirnya mempertanyakan mengapa jika karena alasan tersebut yang
melatarbelakangi tindakan Yudas, uang yang telah diperolehnya kemudian dikembalikan lagi

41
Brad H. Young, Jesus: The Jewish Theologian, hlm. 229
42
Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, hlm. 690
43
Brad H. Young, Jesus: The Jewish Theologian, hlm. 226
44
Brad H. Young, Jesus: The Jewish Theologian, hlm. 237
45
Pembahasan dalam kelas Dunia Alkitab Semester 2 yang diampu oleh DKL dan RSY
kepada Mahkahmah Agama sebelum ia mati bunuh diri. Salah satu tafsiran mengemukakan
asumsi Yudas sebagai seorang Zelotlah – yang memiliki semangat reformasi tinggi – yang
membuatnya sengaja membawa Yesus ke dalam situasi yang terjepit ketika penangkapan-Nya
supaya kemesiasan-Nya segera terpenuhi. Yudas berharap Sang Mesias akan melakukan
pemberontakan ketika para prajurit Romawi mengepung. Namun, Yesus justru tidak
melakukannya. Itu karena Yesus sendiri menolak diri-Nya diindentikkan dengan sosok Mesias
yang berlaku dalam konstruksi rakyat saat itu.46 Ia bukanlah pemberontak. Sekalipun
konstruksi terhadap-Nya yang mengasumsikan bahwa Ia adalah seorang pemberontak terus
berlanjut di benak beberapa orang sampai di atas kayu salib di mana beberapa orang
menantang-Nya dengan berkata : “…jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!” (Mat.
27:40c).

Penutup

Perjuangan Makabe yang dilukiskan dalam kitab 1 Makabe sangatlah dipengaruhi oleh
gagasan mesianik Yahudi yang seringkali ditentukan oleh situasi politik yang sedang terjadi.
Semakin penderitaan menjadi bagian yang dirasakan oleh orang-orang Yahudi di bawah
penjajahan bangsa asing saat itu, gagasan tentang Mesias juga menjadi semakin menguat. Pasca
masa Makabe, sosok Mesias sendiri diidentikkan dengan pembebasan yang bersifat politis. Hal
ini terjadi karena sosok “Yang Diurapi” tersebut terkesan memberi sebuah tandingan terhadap
pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Tak terlepas dari gelar “Yang Diurapi” itu sendiri
dalam keyahudiaan merujuk pada raja, imam besar atau pun nabi, konstruksi yang
menyamakan Mesias dengan sosok pembebas inilah yang paling tidak juga turut menciptakan
konstruksi pemikiran orang-orang Yahudi maupun Romawi di zaman Yesus. Paling tidak, oleh
karena Yesus kemudian dekat dengan kaum marginal serta turut membela hak mereka(yang
berarti bertentangan dengan kepentingan para elite), Ia pun akhirnya dituduh sebagai seorang
pemimpin pemberontakan terhadap Romawi. Ditambah lagi, Ia yang merupakan keturunan
Daud seakan mengonfirmasi hal tersebut. Oleh sebab itu, penyaliban yang merupakan
hukuman Romawi yang dijatuhkan bagi Yesus saat itu juga sangat bernuansa politis. Akhirnya,
setidaknya kita dapat melihat bahwa gagasan mesianik merupakan gagasan yang terus
berkembang dari masa ke masa melahirkan sebuah konstruksi pemikiran dan pandangan yang

46
J. H. Charlesworth, “From Jewish Messianology to Christian Christology: Some Caveats and Perspectives”
dalam J. Neusner, dkk. (eds), Judaisms and Their Messiahs at the turn of the Christian Era, hlm. 252
baru tentang sosok Mesias itu sendiri. Dari sinilah juga, kita dapat menemukan perbedaan
konsep Mesias dalam kekristenan dengan Yahudi. Jika kekristenan mengidentikkannya dengan
sebuah konsep yang universal, etis, dan spiritual, Yahudi justru sekadar mengidentikkannya
dengan sosok yang nasionalis dan politis.47 Sekalipun gagasan ini sendiri telah berkembang
sehingga penggambaran yang universal, etis, dan spiritual juga berdimensi nasionalis-politis
sebagaimana yang kita temukan dalam penggambaran kedatangan Yesus yang kedua kali di
kitab Wahyu yang sangat bernuansa militeristik serta begitu pula sebaliknya.

47
William S. Green, “Introduction: Messiah in Judaism: Rethinking the Question” dalam J. Neusner, dkk. (eds),
Judaisms and Their Messiahs at the turn of the Christian Era, hlm. 1
DAFTAR PUSTAKA

Collins, J. J. (1990). Tafsir Deutrokanonika 5 : Makabe I dan II. Yogyakarta: Kanisius.


Ferguson, E. (2003). Backgrounds of Early Christianity. (M. Deborah, Trans.) Malang:
Gandum Mas.
Green, W. S., Neusner, J., & Frerichs, E. (Eds.). (1987). Judaisms and Their Messiahs at the
turn of the Christian Era. New York: Cambridge University Press.
Horsley, R. A., & Hanson, J. S. (1985). Bandits, Prophets, and Messiahs: Popular
Movements in the Time of Jesus. Chicago: Winston Press.
Jagersma, H. (1991). Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba. (S. Poerbo, Trans.)
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Paterson, R. M. (2007). Tafsiran Alkitab : Kitab Daniel. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Wahono, S. W. (2015). Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari & Mengajarkan Alkitab.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Young, B. H. (1999). Jesus: The Jewish Theologian. Massachussets: Hendrickson Publishers.

Anda mungkin juga menyukai