Junifrius Gultom
Sekolah Tinggi Teologi Bethel The Way Jakarta
junifriusgultom70@gmail.com
Abstraksi
Panitia Dies Natalis STT “Real,” Batam tahun ini, mengangkat tema, “the
3rd Pentecost and Its Movement.” Maka, pada makalah ini, saya tidak
hanya fokus kepada respons saya kepada isu ini tetapi juga sekaligus
menariknya kepada diskursus yang lebih luas mengenai masa depan
pentakostalisme. Ini dimaksudkan untuk memberikan kemanfaatan yang
lebih luas kepada komunitas pentakostal di Indonesia. Bagaimanapun,
eklesiologi dan arah masa depan gerakan pentakostal di dunia dan di
Indonesia, tak dapat diklaim oleh seorang tokoh atau gereja tertentu
saja. Jika demikian, ia sedang mempersempit cara kerja Roh dan tidak
memahami fakta akan ketidak-tunggalan sejarah, teologi, dan misi
pentakostal.
PENDAHULUAN
[1]
langsung menangkap dan apinya ini akan terus bergerak. Pentakosta
ketiga ini dahsyat! Waktu itu saya bertanya kepada Tuhan, “Tuhan,
berikan gambaran kepada saya apa yang akan terjadi di Indonesia
dengan Pentakosta yang ketiga.” Tiba-tiba ada seorang hamba Tuhan
yang bernama Russell Evans dari Planetshakers – Melbourne, yang
gerejanya tidak sampai 50 meter dari gereja kita, dia mendapatkan satu
penglihatan tentang Indonesia. Dia melihat api Roh Kudus dicurahkan
di Indonesia, dia melihat ada awan-awan, yaitu awan kemuliaan Tuhan
yang keluar dari Indonesia itu ke bangsa-bangsa. Dan dia melihat jutaan
anak-anak muda…. JUTAAN ANAK-ANAK MUDA yang berkobar dalam
api Roh Kudus dan mereka cinta mati-matian akan Tuhan Yesus serta
akan melayani bangsa ini seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Amin!
Oleh karena itu Tuhan menyuruh saya, tanggal 17 – 20 Juli akan
diadakan Empowered21 Asia dan Global. Temanya adalah “Fire and
Glory”, bangsa-bangsa akan datang dan memang ada sesuatu yang
luar biasa. Apakah Saudara ada yang ikut dan sudah mendaftar? Bagi
yang belum mendaftar, sudah terlambat! Sebab sudah ditutup karena
terlalu banyak dan antusiasme dari bangsa-bangsa begitu luar biasa.
Pada waktu saya ketemu dengan Ps. Billy Wilson dia berkata, “Saya
melihat akan terjadi ultra supra-natural!” dan itu memang saya rasakan.
Bukan artinya tanggal 17- 20 Juli nanti Roh Kudus baru dicurahkan,
tetapi sekarang sudah dicurahkan sedangkan nanti adalah gong-nya
untuk bangsa-bangsa. Dari Vietnam saja 1250 orang yang akan datang!
Dari China hampir 1000 orang. Dari Asia hampir semua datang. Pada
waktu saya ke Afrika, yang dari Kenya, Zambia, mereka semua akan
datang. Belum pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah tanda bahwa API
PENTAKOSTA KETIGA SEDANG MENYALA!” Khotbah Pdt. DR (HC). Ir.
Niko Njotorahardjo. JCC, 3 Juni 2018” 1
Saudara, ternyata apa yang terjadi itu benar! Kita memasuki
Tahun Permulaan Yang Baru, Pentakosta yang baru, yaitu Pentakosta
yang ketiga! Saudara, bangsa-bangsa datang, hamba-hamba Tuhan
dari Indonesia yang bukan hanya dari kalangan Pentakosta juga datang
kesana dan mereka dilawat Tuhan luar biasa. Dan kesimpulannya, baik
hamba-hamba Tuhan dari luar negeri maupun dalam negeri, mereka
1
https://gbimodernland.org/more-articles/572-api-pentakosta-ketiga-sedang-
menyala.html. Diakses pada tanggal 12 April 2019
[2]
yang sudah biasa ke konferensi Internasional berkata bahwa belum
pernah terjadi yang seperti ini! Saudara, itu harus terjadi sebab kalau
sama berarti ini bukan Pentakosta yang baru. Tetapi Tuhan buktikan
bahwa ini benar adalah Pentakosta yang baru, Pentakosta yang ketiga!
Saudara lihat tadi, hamba-hamba Tuhan pada waktu itu
baru. Dan Saudara lihat tadi Ibu Cindy Jacob ketika dia menyampaikan,
“Kalau dulu Aku pilih Willliam Seymour, tetapi sekarang Aku pilih kamu!”,
perkataan ‘kamu’ ini, bukan untuk pribadi melainkan itu artinya kita
semua. Amin!2
2018
3
Grant Wacker, Heaven Below: Early Pentecostals and American Culture,
(Cambridge, MA & London: Harvard University Press, 2001); Douglas Jacobsen,
Thinking in the Spirit: Theologies of the Early Pentecostal Movement (Bloomington, IN:
Indiana University Press, 2003).
[3]
Amerika Utara, Meksiko, dan dari penjuru luar negeri. Tim pelayanan inti
yang dipimpin Seymour secara integratif yang terdiri dari pria dan wanita
yang bertanggung hawab pada beragam aspek pekerjaan (sebetulnya
lebih dari separuh perempuan). Seymour dideskripsikan sebagai orang
yang lemah lembut dan manusia bermurah hati yang penuh doa, bahkan
menginjinkan para pengkritiknya untuk berbicara kepada jemaatnya
dan mengiklankan pertemuan-pertemuan para rivalnya.4 Dengan
kesan tersebut membuat penginjil kesembuhan John G. Lake, bertemu
dengannya untuk pertama kali pada tahun 1907, dan memberi komentar
bahwa Seymour adalah orang yang memiliki ‘hubungan dengan Allah
yang lebih daripada ketimbang orang lain yang pernah ia temui.5 Seymour
adalah bapa rohani bagi ribuan orang-orang Pentakostal mula-mula di
Amerika Utara.
Tidak diragukan lagi bahwa untuk tiap tahun yang berikutnya
kebangunan rohani di Azusa Street merupakan pusat yang paling
terkemuka dari gerakan Pentakosta, yang selanjutnya dipromosikan oleh
jurnal Seymour The Apostolic Faith, yang mencapai sirkulasi internasional
sebanyak 50.000 eksemplar pada puncaknya pada tahun 1908.
Kemudian orang-orang yang mengalami kebangunan rohani tersebut
memulai beberapa pusat-pusat Pentakostal baru di area Los Angeles,
sehingga kira-kira tahun 1912 sedikitnya muncul dua belas kongregasi
di kota tersebut. Dalam suatu pengertian yang riil, kebangunan Azusa
Street menandai permulaan Pentakostalisme klasik dan dari sana,
kebangunan itu mencapai bagian-bagian lain dunia. Dari permulaannya,
Pentakostalisme Amerika Utara menempatkan suatu penekanan pada
penginjilan dan misi. Orang-orang datang dari Eropa dan kembali lagi
dengan ‘baptisan’; dan para misionaris Pentakostal diutus dari Azusa
Street, menjangkau lebih dari dua puluh lima negara di dalam kurun
waktu dua tahun, termasuk tempat-tempat jauh seperti Cina, India, Mesir,
Liberia, Angola dan Afrika Selatan.6 Namun hal ini bukan pencapaian
Fredy Simanjuntak
Sekolah Tinggi Teologi REAL Batam
fredysim@sttrealbatam.ac.id
Abstraksi
Hari-hari belakangan kaum Kristen khususnya aliran pentakosta-
kharismatik di Indonesia diramaikan oleh polemik mengenai “pentakosta
ke tiga, peristiwa tersebut dideklarasikan bersamaan dalam acara
Empowered21 di SICC Bogor beberapa waktu yang lalu. Tokoh
utama yang menjadi sorotan adalah Pdt. DR. Ir. Niko Nyotorahardjo
Kaum Pentakostal mempopulerkan istilah pentakosta yang ke-3.
Fenomena tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan gereja
aliran pentakosta-Kharismatik. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui
pandangan alkitab, sejarah serta relevansi kegerakan tersebut dengan
menggunakan analisis kontrastif sebagai sarana untuk membandingkan
bagaimana konteks para Rasul dengan zaman ini. Tulisan ini diharapkan
dapat memberikan masukan konstruktif kepada gereja khususnya
aliran pentakosta-kharismatik. Penulis menyimpulkan bahwa peristiwa
pentakosta perlu dipahami manakah dari unsur-unsur yang dapat
terulang, bahkan menjadi norma atau ketetapan bagi gereja masa kini?
Abstract
In recent days Christians in particular the pentecostal-charismatic
school in Indonesia were enlivened by polemic on the “third pentecost,
the event was declared simultaneously in the Empowered21 event
at SICC Bogor some time ago. The main character in the spotlight is
Rev. DR. Ir. Niko Nyotorahardjo Pentecostals popularized the third
term pentecost. This phenomenon raises the pros and cons of the
I. PENDAHULUAN
walaupun tempat teologi dan para teolog besar itu belum terlalu terlihat
di dalam kurikulum sekolah-sekolah teologi mereka8 Namun isu tentang
pentakosta semakin hangat ketika seolah istilah tersebut di dudukan
seolah-olah dalam kondisi yang bertahapan.
Istilah pentakosta ke- 3 yang disebut oleh Niko Nyotorahardjo
mengacu pada kronologi peristiwa kegerakan rohani yang sudah pernah
terjadi, kontunuitas peristiwa kebangunan rohani yang terjadi di Azusa
Street, Los Angeles, pada tanggal 9 April1906 (dianggap sebagai
pentakosta ke-2 dan Peristiwa pentakosta yang dialami oleh para rasul
di Yerusalem sebagai Pentakosta pertama). Jika kemudian peristiwa-
peristiwa di atas, dibandingkan dan disebutkan berdasarkan urutan
bertingkat, maka anggapan mengenai peristiwa Azusa Street sebagai
“pentakosta kedua” apakah masih dapatkah dinilai bahwa pernyataan
tersebut benar-benar obyektif? demikian halnya dengan penyebutan
pentakosta yang ke tiga. Bagaimana dengan peristiwa reformasi gereja
abad ke-16, kebangunan rohani di Inggris oleh John Wesley pada abad
18, gerakan kebangunan rohani besar (the great awakening) di Amerika
Serikat oleh Charles Finney, pada pertengahan abad ke-19. Artinya ada
jejak-jejak pentakostalism yang justru tidak memiliki hubungan tersendiri
dengan apa yang terjadi di Azusa Street. Lantas masih memungkinkah
untuk memaksakan perspektif mengenai Pentakosta ke tiga ini didasarkan
7
Ramalan atau perkiraan itu antara lain kita temukan dalam S.M. Burgess et
al. (eds.)
(1988).
8
Ini misalnya diperlihatkan oleh Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA), salah satu
gereja Pentakostal anggota PGI, khususnya jemaat GSJA Kelapa Gading – Jakarta.
Para pengerjanya mengundang penulis 11 Oktober 2011 y.l. untuk menjelaskan pokok-
[ 94 ]
pada rangkaian historis?
Seirama dengan hal di atas penulis adalah sebagai pendeta di GBI
mengamati sebutan mengenai Pentakosta ke tiga sepertinya merupakan
interpretasi yang dimengerti oleh Oleh pdt. Niko Nyotoraharjo untuk
meneruskan kenangan maupun pengalaman romantisme Pentakosta
seperti yang dialami oleh para Rasul supaya dialami kembali oleh
pentakosta ke tiga ini apakah sebagai bentuk baru era pentakosta yang
berbeda dari pentakosta sebelumnya.
5
Menurut sensus yang diadakan Badan Pusat Statistik tahun
2010, jumlah umat Kristen (Protestan dan Katolik) adalah sekitar 10 %,
berarti sekarang sekitar 24 juta. Sekitar 7-8 juta adalah warga Gereja
Katolik Roma, sehingga mestinya yang bukan Katolik (dulu biasanya
disebut ‘Protestan’) hanya sekitar 16-17 juta. Tetapi bila angka jumlah
anggota dari 323 organisasi gereja non-Katolik itu dijumlahkan, bisa
muncul angka lebih dari 20 juta. Boleh jadi hal ini benar, tetapi boleh
jadi juga hal ini disebabkan banyaknya keanggotaan rangkap (seorang
Kristen terdaftar di beberapa gereja), karena ketika ia mengikuti kegiatan
di sebuah gereja, lalu namanya didaftarkan di situ, ia belum melepaskan
keanggotaan di gereja sebelumnya. Lebih terangnya akankah istilah yang
disebutkan akan mengacu kepada revolusi besar-besaran mengenai
pentakosta tersebut atau hanya merupakan sebuah istilah yang mungkin
serupa seperti yang ditegaskan oleh C. Peter Wagner sebagai istilah
gelombang ke tiga.9
Batasan masalah
Pembahasan dalam tulisan ini hanya dibatasi pada analisis
perbandingan terhadap sejarah perkembangan, ajaran dan tokoh yang
mengklaim tahapan gerakan Pentakostalisme secara kronologis, yaitu
Pentakosta Pertama, ke dua, dan Ke tiga, Gerakan Tanda-tanda dan
Mujizat-mujizat. Setiap gelombang mempunyai doktrin dan perilaku yang
berbeda antara satu dengan yang lain yang memungkinkan fenomena
yang muncul ke permukaan mempunyai kesamaan, karena semua
9C. Peter Wagner, The Third Wave of the Holy Spirit: Encountering the Power
of Signs and Wonders Today, (United States, Servant Publications; 4th Printing edition
(November 1, 1988), page 1-5.
[ 95 ]
gelombang menekankan pada yang sama yaitu pneumatologis.
Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah menjelaskan pandangan alkitab,
sejarah serta relevansi yang muncul pada gerakan Pentakostalisme,
sehingga dapat dipahami manakah dari unsur-unsur yang dapat terulang,
bahkan menjadi norma atau ketetapan bagi gereja masa kini? kita dapat
membedakan realitas dan relasi progresif antara pentakosta, apakah
istilah peristiwa pentakosta yang terjadi di Yerusalem, dan bagaimana
kemudian fenomena pencurahan Roh Kudus di Azusa Street, dan
kegerakan yang terjadi di SICC disebut sebagai momentum Pentakosta
yang ke tiga. Di seberang daripada apakah istilah yang digunakan di
atas sahih secara teologis? serta tanpa menolak seluruhnya fenomena
profetis di atas penulis menemukan dampak secara transnasional.
Akankah gaung kegerakan tersebut merupakan pekerjaan Roh Kudus
Spiritualitas Pentakosta
Penekanan eksplisit yang ditempatkan pada Roh Kudus dan
spiritualitas seharusnya tidak membutakan kita terhadap fakta bahwa
Pentakostalisme memiliki dimensi yang sangat konkret. Spiritualitas
Pentakostalisme saat ini beroperasi di konstelasi yang baru, yang
membutuhkan alternatif, teori dan konsep yang berlandaskan secara
empiris yang dapat membantu pemahaman agama di zaman ini. Dalam
[ 96 ]
arti teologis sebagai hubungan antara roh manusia dan Roh Kudus
10
Terkait dengan
pengertian di atas Augustus Cerillo memaparkan empat pendekatan akan
keyakinan Pentakosta, antara lain: (1) providensial, adanya keyakinan
bahwa kegerakan ini datang dari surga melalui pencurahan Roh Kudus
secara tiba-tiba, simultan dan spontan (2) historical, kegerakan ini
dinilai sebagai kesinambungan adengan kekristenan revivalist abad ke
Sembilan belas, secara khusus Methodis dan kesucian (3) multicultural,
pentakolisme dilihat asalnya dalam factor-faktor multi budaya dan
keagamaan (4) fungsional atau sosiologis, yang melihat fungsi-fungsi
pentakolisme di dalam konteks social yang diyakini menyediakan
penjelasan bagi kemunculan dan keberkembangannya.11 Junifrius Gultom
berpendapat spiritualitas Pentakosta menyangkut beberapa factor-faktor
seperti hermeneutic pentakosta yang membentuk serangkaian ajaran
(dogma-dogma)-nya, tradisinya, pengalaman pribadi, dan komunitas
kekinian, serta konteks luas dimana kaum pentakosta hidup.12
Spritiualitas tersebut tidak terlepas dari aspek khas sentralitas
Pentakostalisme saat ini yang membutuhkan pendekatan baru. Sebagai
kegerakan global, dan eksis di zaman postmodern ini. Menanggapi
pendekatan Agustus Cerillo dan Junifrius di atas memungkinkan sekali
untuk memastikan bahwa acap kali pengalaman pribadi dicampur
baur dengan istilah baru yang bergerak melampaui dualisme materi
dan roh. Istilah Pentakosta ke tiga tersebut terdengar sensasional,
terlebih dipublikasikan melalui media dan mediasi yang memungkinkan
membentuk gerakan massa secara fenomenal. Jadi dapat dikatakan
bahwa ketokohan dari Pdt. Niko memainkan peran sentral dalam
kebangkitan dan penyebaran imajinasi semacam itu, menentukan posisi
dan radius mobilitas orang di dalamnya.
13
Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2009), Hal.
88 (Sumber: kitab Kisah Para Rasul pasal ke-2). Sebelumnya Pentakosta adalah hari
raya besar orang Yahudi yang kemudian diadopsi oleh Gereja Barat dan Gereja Timur
14
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2003),
hal 229
[ 98 ]
Dalam Perjanjian Lama, LXX menerjemahkan kata Hari Raya
Tujuh Minggu (50 hari) dengan istilah Minggu Panen (Ulangan 16:10).
Pentakosta tidak lagi menekankan kapan dirayakan, tetapi lebih kepada
apa yang dilakukan pada hari tersebut. Pesta ini merupakan perayaan
pengucapan syukur atas hasil panen gandum yang dirayakan pada hari
minggu ke tujuh setelah Paskah. Paskah yang dimaksud adalah peringatan
diluputkannya anak sulung bangsa Israel di Mesir dari maut dalam
peristiwa exodus (Keluaran 12:12). Paskah (termasuk hari raya roti tidak
beragi) dan Pentakosta adalah dua peristiwa yang berkesinambungan.
Yudaisme masih merayakan Paskah dan Pentakosta dalam konsep ini
sampai sekarang. Kontinuitas perayaan Pentakosta dapat ditemukan
dalam Imamat 23:21, bahwa Pentakosta adalah ketetapan untuk selama-
lamanya.
Pentakosta sebagai sebuah istilah mengacu kepada hari ke-50
secara umum, contohnya jika seorang anak telah mencapai usia 50 hari
juga dapat disematkan istilah pentakosta. Yudaisme dalam Perjanjian
Baru cenderung memakai istilah 50 hari untuk peringatan pemberian
Taurat di gunung Sinai, dihitung 50 hari setelah keluarnya Israel dari
tanah Mesir (sedangkan perayaan 50 hari panen cenderung disebut
Hari Raya Panen). Artinya, makna pentakosta bisa bergeser tergantung
konteksnya.
dimaksud Lukas dalam Kisah Para Rasul 2:1 sekedar menunjuk kepada
hari ke-50 setelah Paskah atau memiliki maksud lain. Matius 26:2
dan 17 menyatakan bahwa Yesus ditangkap bertepatan dengan hari
[ 99 ]
pertama Paskah. Hari penyaliban Yesus adalah keesokan harinya
dan bangkit pada hari ketiga . Artinya sekitar 3 hari sudah lewat sejak
Paskah. Menjelang kenaikan-Nya, Yesus menampakkan diri selama 40
hari. Jika perkataan Lukas mengacu kepada hari ke-50 setelah Paskah,
berarti setidaknya tersisa 1 minggu dari kenaikan Yesus hingga hari
pencurahan Roh Kudus. Saat ini beberapa gereja melaksanakan doa 10
hari pencurahan Roh Kudus (3 hari kematian Yesus diabaikan) dan gereja
lainnya menetapkan 1 minggu sesuai penghitungan di atas, masalah ini
bisa diabaikan karena tidak menyangkut esensi Pentakostalisme yang
sebenarnya.
Dua kesimpulan dapat diambil dari pembahasan tersebut.
Pertama, secara literal Lukas menyebut Pentakosta benar-benar merujuk
pada 50 hari setelah Paskah. Hari Pentakosta baru dikemas oleh bapak-
bapak gereja sebagai hari pencurahan Roh Kudus setelah membaca
tulisan Lukas. Jika sejak semula orang-orang tahu bahwa Roh Kudus
akan turun 50 hari sejak Paskah, tentu mereka semua akan menunggu
dan tidak ada yang pulang (beberapa referensi menunjukkan ada yang
pulang dari perkumpulan sebelum Roh Kudus dicurahkan, butuh referensi
lanjutan). Mereka hanya diberi isyarat menunggu, tetapi tidak tahu
kapan? Artinya, mereka pada masa itu tidak menjuluki hari pencurahan
Roh Kudus sebagai hari Pentakosta. Kedua dan yang terutama, terjadi
kontinuitas sekaligus penggenapan dalam peristiwa Pentakosta. Jika
dalam Perjanjian Lama merayakan Paskah sebagai hari pembebasan
dari perbudakan dan dirayakan dengan pencurahan darah anak domba,
maka dalam Perjanjian Baru merayakan Paskah sebagai peringatan
kebangkitan Yesus yang membebaskan manusia dari dosa dengan
pencurahan darah Anak Domba sekali untuk selamanya (Ibrani 10:2).
Tetapi, di sini tidak ditemukan hubungan antara pemberian persembahan
panen Pentakosta dalam Perjanjian Lama dengan pencurahan Roh Kudus
dalam Perjanjian Baru. Maka asumsi yang terbaik adalah, Pentakosta
dalam perspektif Kristen masa sekarang tidak boleh dipandang secara
‘kapan peristiwa itu terjadi’ tetapi ‘apa yang terjadi pada saat itu’.
ekhos ) seperti tiupan angin keras. Kedatangan Roh Kudus juga dapat
dilihat secara langsung sebagaimana nampak lidah-lidah seperti nyala
api. Kedatangannya begitu hebat sehingga seluruh rumah, dipenuhi
dengan tiupan angin keras. Hal ini membuktikan bahwa yang terjadi
pada hari Pentakosta bukan merupakan perkembangan batin para murid,
melainkan bahwa Allah bertindak secara dahsyat dan obyektif karena
Dia menciptakan sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak ada.
Pertama, ayat 2 mengatakan “Tiba-tiba turunlah dari langit suatu
bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah dimana
[ 101 ]
mereka duduk.” Kata angin (wind), dalam bahasa Yunani adalah kata
pnoh/j (pnoes). Bagaimana bunyi itu? Dalam pasal ini memang
tidak dicatat, akan tetapi suara itu seperti “angin”, hal ini menunjukkan
hal-hal yang supranatural (angin adalah simbol Roh Kudus). Dikatakan
dalam Yohanes 3 : 8 :”Angin bertiup kemana ia mau, dan engkau
mendengar bunyinya, . . . Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang
yang lahir dari Roh.” Dalam Perjanjian Lama, angin adalah simbol-simbol
dari kehadiran Allah (God presence as Spirit).
Kedua, ayat 3 dikatakan : “dan tampaklah kepada mereka lidah-
lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka
masing-masing.” Setelah bunyi seperti tiupan angin memenuhi rumah
Kata Puros (puros) atau api adalah juga simbol kehadiran Allah. Dalam
Perjanjian Lama, Keluaran 19 : 18 dikatakan : “Gunung Sinai ditutupi
seluruhnya dengan asap, karena Tuhan turun ke atasnya dalam api;
asapnya membumbung seperti asap dari dapur, dan seluruh gunung
itu gemetar sangat.” Ketiga, ayat 4 dikatakan : maka penuhlah mereka
dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-
bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk
mengatakannya.” Gejala yang tiga yaitu mereka berbicara dalam
Roh Kudus, mereka berbicara dengan bahasa yang lain yang diberikan
Roh Kudus untuk dikatakan. Walaupun mereka yang hadir ada yang
memahaminya (ayat 5 –13), namun mereka sendiri tidak mengertinya.
Lukas membuat daftar orang-orang yang berkumpul di tempat ditu dari
Timur sampai ke Barat. Bangsa-bangsa itu tercengang-cengang dengan
perbuatan Allah melalui para rasul yang penuh dengan Roh Kudus dan
berbahasa Roh. Tetapi beberapa orang menyindir bahwa para rasul itu
“sedang mabuk anggur manis.”
Jadi peristiwa pencurahan Roh Kudus seperti di jelaskan di atas
surga seperti tiupan angin, lidah-lidah api dan berbahasa lidah. Semua
tanda-tanda tersebut disaksikan oleh banyak orang yang hadir pada
saat itu. Dari semua gejala lahiriah baptisan Roh Kudus tersebut, hanya
glosolalia atau berbicara dengan bahasa roh saja yang terulang dalam
kisah baptisan Roh Kudus, misalnya dalam peristiwa baptisan Roh
[ 102 ]
Kudus di rumah Korneliaus dalam Kisah Para Rasul 10:46 dan kisah
Paulus di Efesus (Kis. 19:6).
Peristiwa di Kaisarea (Kis. 10 : 44-48). Pada waktu Petrus
berkhotbah kepada orang-orang bukan Yahudi, turunlah Roh Kudus ke
atas semua orang yang mendengarkan khotbah itu. Kedatangan Roh
Kudus atas seisi rumah tangga Kornelius yang disertai juga dengan lidah
asing mempunyai maksud yang sama dengan karunia Roh atas para
murid Yesus pada hari Pantekosta yaitu untuk memberi kuasa.
Peristiwa di Samaria. Dalam Kisah Para Rasul 8 : 4-25, dikisahkan
pada waktu Filipus mengadakan penginjilan ke daerah Samaria, ia berdoa
dan menumpangkan tangan kepada orang-orang Samaria yang percaya
kepada Yesus dan mereka memperoleh Roh Kudus. Dalam kisah ini tidak
diceritakan kalau mereka berkata-kata dengan bahasa lidah asing. Tetapi
sesuatu yang terjadi pada waktu itu adalah ada seorang tukang sihir
yang melihat peristiwa itu dan ingin mendapatkan Roh Kudus walaupun
dapat dibeli dengan uang. Dari peristiwa ini menyatakan bahwa Petrus
menyaksikan apa yang terjadi pada waktu itu bahwa orang-orang yang
dipenuhi Roh Kudus berkata-kata dalam bahasa asing, walaupun tidak
dijelaskan dalam perikop ini.
Peristiwa di Efesus. Pada waktu Paulus mengadakan penginjilan
ke Efesus, orang-orang di sana yang sudah menerima Kristus belum
menerima baptisan Roh Kudus. Kemudian Paulus berdoa dan
menumpangkan tangan kepada mereka, kemudian mulailah mereka
berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat. (Kis 19 : 1-12).
[ 103 ]
Kebutuhan untuk “mendefenisikan Pentakosta “menjadi sesuatu
yang “mendesak untuk lebih “mengenali gerakan ini. Pentakosta
mengakui mendasarkan teologi mereka tentang urutan dan awal bukti
tentang preseden historis seperti yang ditemukan dalam Kisah Para
Rasul. Berkenaan dengan khusus untuk Teologi Pantekosta, seseorang
harus menanggapi secara serius Bagian kitab ini. Kisah Para Rasul
adalah narasi sejarah, dan di dalam arena inilah banyak perdebatan ilmiah
dengan Pentakostalisme pertama kali terjadi. Banyak yang berpendapat
bahwa seseorang harus melakukannya membedakan antara bagian
didaktis dan historis dari Alkitab, dan bahwa bagian didaktik memiliki
kepentingan utama untuk pembentukan doktrin Kristen.15
Hal ini dinyatakan telah digambarkan sejarah tersebut secara
jelas dalam Kisah Para Rasul tidak harus diterjemahkan ke dalam
pengalaman normatif untuk gereja yang sedang berjalan.16 Dalam
penjelasannya, Fee tidak menyangkali kekayaan teologi dalam karya
Lukas. Sebaliknya, dia secara secara sungguh-sunguh memohon setiap
orang untuk mengingat bahwa Lukas menuangkan teologinya dalam
narasi sejarah, dan bagi siapa pun yang peduli dengan hermeneutika
yang baik, ini harus dipahami secara serius.17 Meskipun “maksud yang
lebih luas” dari Lukas mungkin menjadi titik perdebatan bagi sebagian
orang, itu adalah hipotesis yang dapat dipertahankan bahwa ia sedang
berusaha menunjukkan bagaimana gereja muncul sebagai fenomena
non-Yahudi yang utama di seluruh dunia dari asalnya sebagai sekte
penganut Yahudi yang berbasis di Yerusalem, berorientasi pada Yahudi,
dan bagaimana Roh Kudus pada akhirnya bertanggung jawab atas
fenomena ini keselamatan universal berdasarkan kasih karunia saja.
Fee menguraikan tiga prinsip khusus mengenai hermeneutika
dan narasi sejarah. 1) Maksud kepenulisan adalah faktor utama dalam
menentukan nilai normatif dari narasi. 2) Apa yang insidental dengan
15
Donald Guthrie, New Testament Theology (Downers Grove: Inter-Varsity,
1981), 548
16
Clark Pinnock and Grant Osborne, “A Truce Proposal for the Tongues
Controversy,” Christianity Today 16 (Oct. 8, 1971), 6 - 9; John R.W. Stott, The Baptism
and Fullness of the Holy Spirit (Downers Grove, IL: IVP, 1964), 8; and Anthony Hoekema,
Holy Spirit Baptism (Grand Rapids: Eerdmans, 1972), 23-24.
17
Gordon D. Fee, Gospel and Spirit: Issues in New Testament Hermeneutics
(Peabody: Hendrickson, 1991) 90
[ 104 ]
maksud utama narasi tidak dapat memiliki nilai didaktik yang sama
dengan pengajaran yang dimaksudkan, meskipun itu dapat memberikan
wawasan ke dalam teologi penulis. 3) Agar preseden historis memiliki
nilai normatif, harus ditunjukkan bahwa itulah maksud khusus penulis.
Jika penulis bermaksud menetapkan preseden, maka hal tersebut harus
dianggap sebagai normative.18
Seperti yang akan segera disadari oleh siapa pun yang akrab
dengan hermeneutika dan teologi Pentakosta, “pedoman” sebelumnya
memulai tantangan tentang posisi Pantekosta untuk selanjutnya dan
bukti awal, karena keduanya didasarkan pada asumsi bahwa Lukas
bermaksud mengajarkan doktrin-doktrin ini dari narasi terkait dalam
Kisah Para Rasul. Selanjutnya, mereka didasarkan pada titik awal
standar hermeneutika Injili: pencarian maksud kepenulisan.
Pentakosta telah merespons dengan kuat, namun kreatif, terhadap
pedoman Fee. Respons mereka dibahas secara rinci di bawah ini. Secara
umum, Fee percaya bahwa teologi Kristen dapat dibagi menjadi tiga (atau
empat)19 kategori: 1) Teologi Kristen (apa yang orang Kristen yakini); 2)
Etika Kristen (bagaimana orang Kristen seharusnya berperilaku); dan
3) Pengalaman atau praktik Kristen (apa yang dilakukan orang Kristen
Ini adalah salah satu dari sedikit perubahan dari Gospel and Spirit ke Cara
19
Membaca Alkitab, yang diterbitkan beberapa tahun kemudian. Gordon D. Fee dan
Douglas Stuart, Cara Membaca Alkitab untuk Semua Nilainya, ke-2. ed. (Grand Rapids:
kategori terakhir harus dibagi menjadi dua. Lebih detail tentang ini di bawah ini.
20
Fee, Gospel and Spirit, 93.
21
Ibid
[ 105 ]
dari pertobatan dan disertai dengan bahasa roh tampaknya menjadi milik
pernyataan doktrinal tingkat kedua dalam kategori ketiga saya. Bahwa
orang percaya harus (atau tetap) dipenuhi dengan Roh, seperti yang
seharusnya berjalan dan hidup dalam Roh berada pada tingkat primer
dan normatif. Kapan dan bagaimana seseorang memasuki dimensi
pengalaman Kristen, meskipun tidak penting, bukan kualitas “normatif”
yang sama, karena “kapan dan bagaimana” didasarkan hanya pada
preseden dan / atau analogi.22
Dengan pengamatan dan prinsip umum ini dalam pandangan,
ia menawarkan mengikuti prinsip-prinsip khusus untuk penggunaan
preseden historis. 1) Penggunaan preseden historis sebagai analogi
yang digunakan untuk menetapkan norma tidak pernah berlaku dengan
sendirinya. Proses semacam itu (menarik norma-norma universal dari
peristiwa-peristiwa tertentu) menghasilkan non sequitur dan karenanya
tidak relevan. 2) Meskipun mungkin bukan tujuan utama penulis, narasi
sejarah memang memiliki nilai ilustratif dan, kadang-kadang, “pola”.
Namun perlu dicatat bahwa terutama dalam kasus-kasus di mana
preseden membenarkan tindakan saat ini, bahwa preseden tidak
menetapkan norma untuk tindakan tertentu. Ada peringatan di sini:
untuk preseden alkitabiah untuk membenarkan tindakan yang sekarang,
prinsip tindakan harus diajarkan di tempat lain, di mana itu adalah tujuan
utama untuk mengajar. 3) Dalam hal pengalaman Kristen, dan bahkan
lebih dari praktik Kristen, preseden Alkitab dapat dianggap sebagai pola
yang berulang - bahkan jika mereka tidak dianggap sebagai normatif.23
Fee secara langsung melibatkan perbedaan Pentakosta dan
preseden historis. Ia berpendapat bahwa seseorang tidak dapat
membuktikan maksud penulis dalam “pola” Pentakosta, Samaria, Paulus,
dan Efesus. Sangatlah tidak mungkin untuk menunjukkan bahwa Lukas
bermaksud untuk mengajarkan pengalaman Roh sebagai lanjutan dari
pertobatan. Bagi Lukas, bukti nyata dari pengalaman Kristen adalah
penerimaan Roh. Apa yang dia ajarkan dalam narasi ini adalah validasi
oleh para pemimpin Yerusalem dari penyebaran agama Kristen di luar
Yerusalem.24
22
Fee, Gospel and Spirit, 93-94
23
Ibid, 94-96
24
George Eldon Ladd, A Theology of the New Testament, Revised ed. (Grand
Rapids: Eerdmans,1993), 383-4; L.T. Johnson, The Acts of the Apostles, Sacra Pagina
[ 106 ]
Setelah mengetahui bahwa Gordon Fee tidak berlangganan
Bukti Selanjutnya atau Bukti Awal sebagaimana dinyatakan dalam
denominasinya, doktrin kembar yang dihargai oleh banyak Pentakosta
sebagai esensi doktrinal sejati dari gerakan tersebut. Usahanya untuk
mengartikulasikan pemahamannya tentang apa artinya menjadi
Pentakosta menunjukkan komitmen kuatnya sendiri pada Pentakosta.
Dengan demikian, Gordon berpendapat sebagai seorang
sarjana Perjanjian Baru, terhadap beberapa interpretasi Pentakosta
yang berharga, saya sama sekali tidak meninggalkan apa yang
esensial bagi Pentakostalisme. Gordon hanya mencoba menunjukkan
beberapa kelemahan bawaan dalam beberapa pemahaman historis kita
tentang teks. Bagaimanapun, hal yang hakiki bukanlah akhiran, atau
bahasa roh, tetapi Roh itu sendiri sebagai kehadiran yang dinamis dan
memberdayakan; dan bagi dia tampaknya hanya ada sedikit pertanyaan
bahwa cara inisiasi kita dalam hal itu - melalui pengalaman baptisan Roh
- memiliki validitas Alkitabiah. Apakah semua harus menempuh rute itu
menurut saya lebih banyak diperdebatkan; tetapi bagaimanapun juga,
pengalaman Pantekosta itu sendiri dapat dipertahankan atas dasar
penafsiran sebagai suatu fenomena yang sepenuhnya alkitabiah.25
Berdasarkan prinsip Fee, Pentakosta dapat mengatakan yang
berikut tentang pengalaman mereka. Dalam Perjanjian Baru, kehadiran
Roh adalah elemen utama dalam pertobatan Kristen dan dalam
kehidupan Kristen. Dalam Kisah Para Rasul, dan juga di gereja-gereja
Paulus, kehadiran Roh melibatkan dimensi karismatik yang biasanya
dikaitkan dengan penerimaan Roh. Meskipun berbahasa roh mungkin
tidak normatif, biasanya diharapkan untuk menemani baptisan Roh di
gereja mula-mula. Orang-orang percaya modern, banyak dari mereka
yang belum mengalami dimensi karismatik untuk pertobatan mereka,
mungkin masih (berdasarkan pola Perjanjian Baru), mengalami dimensi
kehidupan Kristen seperti itu. Ini termasuk berbicara dalam bahasa roh,
Series Vol.5 ed. D. Harrington (Collegeville, Minn.: The Liturgical Press, 1992), 150-153;
Gerhard A. Krodel, Acts, Augsburg Commentary on the New Testament (Minneapolis:
Augsburg, 1986), 164; F.F. Bruce, The Book of Acts, The New International Commentary
on the New Testament (Grand Rapids:Eerdmans, 1984), 182-3; John R.W. Stott, The
Spirit, the Church and the World: The Message of Acts (Downers Grove: IVP, 1990),
187; and I. Howard Marshall, The Acts of the Apostles: An Introduction and Commentary,
Tyndale Commentary Series (Grand Rapids: Eerdmans, 1980),157-158.
25
The Issue of Subsequence and Separability,” in Gospel and Spirit, 111.
[ 107 ]
karena itu adalah pengulangan dimensi dinamis dari kedatangan Roh.
Jika Pentakosta tidak mengatakan bahwa seseorang harus berbicara
dalam bahasa roh, Pentakosta pasti mengatakan, mengapa tidak
berbicara dalam bahasa roh? Itu memang telah mengulangi preseden
Alkitab, itu memang memiliki nilai bukti di rumah Kornelius (Kisah Para
Rasul 10: 45-46), dan - meskipun banyak yang telah ditulis sebaliknya -
ia memiliki nilai baik untuk peneguhan orang percaya (I Kor 14: 2-4) dan,
dengan interpretasi, untuk pembangunan gereja (I Kor 14: 5, 26-28).26
Kelalaian dimensi Kristen yang valid dan alkitabiah dari kehidupan
gereja ini adalah latar belakang di mana kita harus memahami gerakan
Pantekosta, yang sangat tidak puas dengan kehidupan di dalam Kristus
tanpa kehidupan di dalam Roh.
Seperti yang mungkin diharapkan, para sarjana Pentakosta telah
26
Fee, Gospel and Spirit, 98-99.
[ 108 ]
lagi, ketika narasi digunakan untuk memperoleh teologi, maksud penulis
khusus harus ditunjukkan. Karena itu ia tidak mengizinkan bagian-bagian
kritis dari Kisah Para Rasul digunakan untuk membangun pola normatif.
Pentakosta mengenali ini, dan langsung ke intinya. William Menzies
menyatakan: Jika seseorang dapat menunjukkan bahwa Lukas tidak
bermaksud menyampaikan pesan teologis dari narasinya, pada saat itu
ia telah secara efektif mengurangi kemungkinan teologi Pentakosta yang
jelas. Teologi Pantekosta bergantung pada metodologi hermeneutis yang
menganggap serius maksud teologis Lukas. Kisah para rasul pastilah
lebih dari sekadar gambaran menarik tentang kehidupan gereja mula-
mula. Itu harus lebih dari sekadar sumber sejarah. Karena satu-satunya
akses yang kita miliki untuk pengalaman inisiasi Roh-baptisan dimediasi
kepada kita melalui mode deskriptif, dan itu terbatas pada Kisah Para
Rasul, kita sangat berhutang budi kepada Lukas-sebagai-teolog.27
19
[ 109 ]
untuk mengkaji ulang teologi mereka dan melihat gerakan ini dari sudut
pandang Alkitabiah.
Hal inilah juga yang mendorong berkembangnya ilmu penafsiran
ataupun yang disebut hermeneutik. Salah satu dari perkembangan
Hermeneutik saat ini adalah munculnya Hermeneutika Spiral Y a n g
ditulis oleh Grant R. Osborne. Secara tidak langsung perkembangan
gerakan Pentakosta telah mendorong perkembangan hermeneutika
secara khusus dengan teks-teks yang berkaitan dengan peran dan karya
Roh Kudus.
Sebagai model yang juga terjadi pada masa sekarang ini. Kaum
Pentakosta sangat terang-terangan dan sederhana: kisah-kisah dalam
Kisah Para Rasul adalah kisah Kaum Pentakosta-Karismatik yang ditulis
sebagai model untuk membentuk hidup dan pengalaman mereka.29
Pentakosta mengangkat kitab Lukas-Kisah Para Rasul (kitab sejarah)
sebagai landasan teologi mereka, namun bagi kaum Injili ini adalah
sesuatu yang kurang tepat.30 Bahkan Erikson menambahkan meskipun
bukti sejarah mengatakan bahwa bahasa yang diklaim oleh golongan
Pentakosta tetap ada selama berbagai masa gereja juga tidak akan
membenarkan fenomena kharismatik yang ada pada masa kini.31 Dalam
hal ini John R.W. Stott yang mengatakan bahwa teologi tidak dapat
dibangun di atas kitab-kitab sejarah. Teologinya kitab-kitab sejarah (Lukas-
Kisah Para Rasul secara khusus Kisah Para rasul) harus ditentukan oleh
tulisan2 didaktik (Paulus). Namun pernyataan di atas terbantahkan oleh
I Howard Marshall yang mengatakan bahwa Lukas sebagai seorang
sejarahwan tetapi juga sekaligus adalah seorang teolog.32 Marshall
berpendapat bahwa Lukas sebagai seorang sejarahwan tidak hanya
menulis tentang sejarah, tetapi sejarah yang berkaitan dengan iman.33
Oleh karena itu tulisan Lukas tidak harus dilihat dari tulisan pengajaran
Paulus, tetapi keduanya harus ditempatkan sebagai teolog yang mandiri.
29
Robert P, Menzies, Pentecost: This Story is Our Story. Teologi Pentakosta,
(Malang, Gandum Mas, 2015), 26
30
Millard J. Erikson, Teologi Kristen. Vol. 3 (Malang: Gandum Mas, 2004), 62.
31
Ibid
32
I Howard Marshall, Luke: Historian and Theologian ( Downers Grove, Illinois:
InterVarsity
33
Ibid
[ 110 ]
IV. KESIMPULAN
34
Robert P, Menzies, Pentecost: This Story is Our Story, 15
[ 111 ]
DAFTAR PUSTAKA
Clark Pinnock and Grant Osborne. (1971). A Truce Proposal for the
Tongues Controversy,” Christianity Today.
[ 112 ]
Millard J. Erikson. (2004). Teologi Kristen (Vol. 3). Malang: Gandum Mas.
Rasid Rachman. (2009). Hari Raya Liturgi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Tim IVP (J.D. Douglas, dkk). (2003). Ensiklopedi Alkitab Masa Kini.
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
https://www.pewforum.org/2011/12/19/global-christianity-exec/. (2011).
[ 113 ]
[ 114 ]
KAMPUS STT REAL BATAM
1. Kampus STT REAL Batam 1 :
Gedung HOG, Eden Park, Lt.3, Jl. Ahmad Yani, Taman Baloi
2. Kampus STT REAL Batam 2 :
Gedung HOG, DC Mall, Lt.2, Jl. Duyung, Sei Jodoh.
3. Kampus STT REAL Batam 3 :
SP Plaza Blok AA No 10 Lt.3, Jl. Letjen R. Suprapto, Sagulung