Anda di halaman 1dari 19

Apologetika Prasuposisional Triperspektivalisme John M.

Frame
dan Aplikasinya terhadap Pemikiran Kristen Pluralis tentang
Pluralisme Agama di Indonesia
Andry Setiawan*
*Rohaniwan yang telah menyelesaikan program Sarjana Teologi (2006) dan Magister Teologi di STT-SAAT
(2017). Pada saat ini sedang melayani di Gereja Kristus Yesus (GKY) Jemaat Bumi Serpong Damai (BSD),
Serpong, Tang-Sel.

Email: andry_setiawan_kuang@yahoo.com

Abstrak: Pluralisme menjadi kesadaran baru yang menganggap bahwa semua keyakinan memi-
liki kesamaan secara umum satu dengan yang lain. Implikasinya, tidak ada satu pun agama yang
boleh mengklaim bahwa ia adalah satu-satunya keyakinan yang paling benar di antara agama-
agama lainnya. Indonesia sebagai negara pluralis juga menghadapi problematika pluralisme
agama. Dalam menghadapi ini, muncul pemikiran Kristen pluralis yang menekankan persa-
maan di antara agama-agama sehingga meniadakan keunikan kekristenan: Kristus dan karya
keselamatan-Nya benar sedangkan agama lainnya salah. Tulisan ini akan mengenalkan model
berapologetika yang membela keunikan iman Kristen di tengah tantangan pemikiran Kristen
yang pluralis tentang pluralisme agama di Indonesia: apologetika prasuposisional triperspek-
tivalisme John M. Frame yang diuraikan melalui apologetika konstruktif (normatif), defensif
(eksistensial), dan ofensif (situasional).
Kata-kata kunci: Apologetika, Prasuposisional, Triperspektivalisme, John M. Frame, Aplikasi,
Pluralisme Agama

Abstract: Pluralism exhibits a new awareness that assumes that all beliefs have general similarity when
compared one with another. As a result, there is no religion that can claim that it has the claim to
ultimate truth when compared with a host of other options. Indonesia, as a pluralistic nation, exhib-
its the challenges of religious pluralism. Because of that reality, there are frameworks of Christian
thought that have arisen that emphasize the similarity of several religions which erodes and ultimately
eliminates the uniqueness of Christianity. However, Jesus Christ and his work of salvation is abso-
lutely true and the other religions are false. This article will introduce an apologetic model that can
be used to defend the uniqueness of the Christian faith among the challenges of religious pluralistic
thought in Indonesia. John M. Frame’s triperspectivalism presuppositional apologetics is proferred
and developed through constructive apologetics (normative), defensive apologetics (existential), and
offensive apologetics (situational).
Keywords: Apologetics, Presuppositional, Triperspectivalism, John M. Frame, Application, Religious
Pluralism

61
62 Apologetika Prasuposisional Triperspektivalisme John M. Frame (Andry Setiawan)

Pendahuluan mengutamakan sikap mencari dan mene-


kankan kesamaan Kristen dan agama-agama
Salah satu fakta yang tidak dapat disangkali lain sehingga tidak jarang meniadakan keuni-
oleh semua orang pada era milenium ketiga kannya. Sikap ini kemudian menjadi sebuah
adalah dunia yang semakin pluralistis dalam tantangan bagi kaum Injili mempertahankan
budaya, bahasa, wawasan dunia (worldview), keunikannya.3 Pada umumnya, kaum Injili
moralitas, seni, dan agama. Keadaan ini mengambil posisi sebagai eksklusivis atau par-
kemudian berkembang menjadi sebuah cara tikularis yang meyakini bahwa di luar Kristus
pikir atau filosofi yang disebut pluralisme. Yesus tidak ada jalan keselamatan yang lain.4
Perkembangan pola pikir ini ditegaskan oleh Dalam konteks ini, maka penulis berusaha
Veli-Matti Kärkkäinen sebagai tantangan mengenalkan sebuah pendekatan apologetika
yang harus dihadapi dengan serius oleh Injili yang disebut: apologetika prasuposisio-
kekristenan pada permulaan milenium ketiga nal perspektivalisme yang digagas oleh John
karena paham ini secara garis besar (rough) M. Frame. Penulis juga akan mencoba mene-
menganggap agama-agama di dunia—ter- rapkan model apologetika ini untuk menyoal
masuk kekristenan—memiliki kesamaan dan berbagai prasuposisi pemikiran Kristen
tidak memiliki otoritas final.1 pluralis tentang pluralisme agama di Indo-
nesia. Argumentasi penulis adalah bahwa
Sebagai negara yang pluralistis, Indonesia model apologetika tersebut dapat memper-
juga mengalami “serangan” dari pluralisme. tanggungjawabkan keunikan iman Kristen
Menurut Williem Ferdinandus, hal ini bukan di tengah konteks pluralisme agama. Hal
hanya disebabkan keragaman yang kompleks ini didasarkan pada beberapa pertimbangan,
seperti suku, bahasa, budaya, agama mela- yaitu: Pertama, apologetika prasuposisional
inkan juga karena sikap ekstrem dari para triperspektivalisme dan pemikiran Kristen
teolog dan praktisi Kristen.2 Kaum pluralis pluralis berangkat dari prasuposisi yang ber-
beda. Sebab itu, masing-masing memiliki
1
Trinity and Religious Pluralism: The Doctrine of the kesempatan untuk menjelaskan pandangan-
Trinity in Christian Theology of Religions (Aldershot: Ash-
gate, 2008), 2. Lihat juga Daniel B. Clendenin, Many
nya tanpa saling merendahkan pandangan
Gods, Many Lords: Christianity Encounters World Religions satu dengan yang lain. Kedua, prasuposisi
(Grand Rapids: Baker, 1995), 11-18. Kristen dapat menyingkapkan “kebodohan”
2
Lihat “Trinity and Religious Pluralism: Peran Doktrin
Trinitas dalam Pluralitas Agama,” Amanat Agung 9, no. 2 3
Pengertian Injili mengacu kepada definisi Injili (evan-
(Desember 2013): 206. Sikap menekankan persamaan di gelikal) berdasarkan John M. Frame: “Seseorang yang
antara agama-agama di Indonesia lebih banyak diprakar- mengakui teologi Protestan historis. Hal ini mencakup
sai dan diikuti oleh gereja-gereja Indonesia yang berlatar kepercayaan-kepercayaan berikut: Allah, manusia, Yesus
belakang ekumenis seperti gereja Katolik Roma (1962- Kristus, keselamatan, Kitab Suci, dan doa.” Lihat “Intro-
1963) sebagai tindak lanjut dari Konsili Vatikan II dan juga duksi pada Iman Reformed,” Veritas 8, no. 2 (Oktober
kelompok gereja arus utama (mainline churches). Gere- 2007): 173. Lebih lanjut, Chandra Wim memberikan pen-
ja-gereja arus utama beranggotakan sebagian tokoh-tokoh jelasan spesifik tentang evangelikalisme sebagai gerakan
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Dewan yang bersumber dari gereja mula-mula di abad pertama
Gereja-gereja Sedunia (DGD). Tokoh-tokoh yang terlibat di mana tidak memandang dirinya sebagai kreasi baru
di dalamnya adalah J.B. Banawiratma (pengajar teologi di yang muncul di dalam perkembangan sejarah kekristenan,
Yogyakarta), Franz Magnis-Suseno, dan Muji Sutrisno di melainkan sebagai Kristen ortodoks yang setia mengimani
mana keduanya adalah pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat iman para rasul. Namun, Wim menjelaskan bahwa
Driyarkara Jakarta, Eka Dharmaputera, Olaf Schuman, menurut pakar kekristenan, evangelikalisme baru muncul
Ioanes Rakhmat (awal) yang notabene berlatar belakang dalam sejarah kekristenan sekitar abad ke-18 yang didahu-
STT Jakarta pada saat itu. Selain itu, Emanuel Gerrit lui dengan tiga gerakan historis, yaitu gerakan Reformasi,
Singgih dari STT Duta Wacana Yogyakarta, Th. Sumar- Puritanisme, dan Pietisme. Untuk penjelasan lebih lanjut,
tana, dan John A. Titaley dari Satya Wacana (UKSW) lihat “The Cronicles of Evangelicalism: Sebuah Pengantar
Salatiga serta Weinata Sairin dari Persekutuan Gereja-ge- Historis terhadap Gerakan Evangelikal,” Veritas 12, no. 2
reja di Indonesia (PGI). Penjelasan lebih lanjut dapat dili- (Oktober 2011): 185-207.
hat Harianto GP, “Gagasan Pluralisme Agama: Tinjauan
4
Sejarah dari Indonesia sampai Kini dan Tawaran Dialog Daniel L. Lukito, “Eksklusivisme, Inklusivisme,
‘Kebenaran Agaphe’,” Pelita Zaman 16, no. 1 (Mei 2001): Pluralisme, dan Dialog Antar-Agama,” Veritas 13, no. 2
33-47. (Oktober 2012): 259.
Veritas, Volume 17, Nomor 1, Juni 2018: 61-80 63

kaum pluralis Kristen dengan mengontraskan pendekatan prasuposisional yang tidak dila-
kedua prasuposisi sehingga diharapkan ter- kukan oleh Van Til sebelumnya berlandaskan
jadi perubahan prasuposisi dari kaum Kristen pada epistemologi Reformed, yaitu teori per-
pluralis. Ketiga, apologetika prasuposisional spektivalisme atau triperspektivalisme.7 Teori
triperspektivalisme senantiasa mencari tahu ini menjelaskan kesatuan di dalam kebera-
dengan jelas konteks pemikiran Kristen plu- gaman perspektif, yaitu normatif, situasio-
ralis sehingga dapat menjadi jembatan (point nal, dan eksistensial. Sebelum metode apo-
of contact) antara kedua prasuposisi itu yang logetika prasuposisional triperspektivalisme8
mencakup wahyu umum dan kebenaran par- dibahas lebih dalam, diperlukan pembahasan
sial yang telah diputarbalikkan dan ditekan terlebih dahulu mengenai epistemologi alki-
sedemikian rupa oleh kaum Kristen pluralis. tabiah dari apologetika tersebut.

Apologetika Prasuposisional Epistemologi Alkitabiah


Triperspektivalisme John M. Frame
Epistemologi dari APT dimulai dari prasupo-
Apologetika prasuposisional atau prasupo- sisi. Kata ini dapat dipahami sebagai “a belief
sisionalisme pada umumnya digunakan oleh that takes precedence over another and therefore
kaum Reformed. John M. Frame menyebut serves as a criterion for another. An ultimate
metode apologetika tersebut sebagai aksi presupposition is a belief over which no other
untuk memprasuposisikan kebenaran firman takes precedence.”9 Dengan kata lain, prasu-
Tuhan.5 Kegiatan ini membuktikan kepada posisi merupakan keyakinan dan komitmen
seseorang bahwa jika ia percaya kepada Allah yang paling mendasar dari seseorang. Karena
maka ia pasti akan menjadikan Wahyu-Nya itu, prasuposisi menjadi kriteria tertinggi atas
sebagai kebenaran yang tertinggi di dalam kebenaran dan standar untuk menerima atau
totalitas kehidupannya. Jika tidak demikian, menolak sebuah gagasan.
hal itu disebut dosa. Dengan demikian, pen-
dekatan ini menegaskan bahwa argumen- Bagi orang Kristen, Alkitab sebagai wahyu
argumen apologetika tidak dapat “netral” khusus sudah tentu menjadi prasuposisi ter-
dan harus memilih antara otoritas Allah dan tinggi. Ia menjadi sumber dan standar kebe-
firman-Nya atau yang lain. Jika seorang per- naran bagi orang percaya. Hal ini ditegaskan
caya ingin memuliakan Tuhan maka tentu saja oleh Frame, “Scripture actually has a great deal
ia sudah semestinya menempatkan Allah dan to say about epistemology, or theory of knowl-
firman-Nya di atas segala-galanya. edge.”10 Alkitab mengajar tentang bagai-
mana seseorang dapat memperoleh penge-
Salah satu tokoh yang memakai pendekatan tahuan (hikmat), yaitu dimulai dari takut
tersebut adalah John M. Frame (1939-). akan Tuhan.11 Sikap yang “takut” kepada
Frame dikenal sebagai salah satu apologet
prasuposisional dan penerus dari pemikiran 7
Cornelius Van Til: An Analysis of His Thought (Phillips-
Van Til. William Edgar dan K. Scott Olip- burg: P&R, 1995), 1-18.
hint menyebut Frame sebagai “apologet masa 8
Untuk selanjutnya disingkat menjadi APT.
kini yang pandai mengemukakan pikirannya
9
dan produktif dalam tradisi prasuposisiona- John M. Frame, The Doctrine of the Knowledge of
God (Phillipsburg: P&R, 1987), 45.
lis Reformed.”6 Sebutan ini didasarkan pada
kemampuan Frame untuk meneruskan, meng- 10
“Presuppositional Apologetics,” dalam Five Views on
gunakan, mengkritisi, dan mengembangkan Apologetics, ed. Steven B. Cowan (Grand Rapids: Zonder-
van, 2000), 208.
11
5
Apologetics to the Glory of God: An Introduction (Phil- John M. Frame menyatakan, “In the view of Scripture,
lipsburg: P&R, 1994), 9. the most important kind of knowledge is the knowledge of
God. Knowing God is the key to all other knowledge: ‘The
6
Christian Apologetics Past and Present: A Primary fear of the Lord is the beginning of knowledge’ (Prov. 1:7).
Source Reader: From 1500 (Wheaton: Crossway, 2011), So knowledge is fundamentally knowledge of a person. It
2:721. is also covenantal, since the personal God is our covenant
64 Apologetika Prasuposisional Triperspektivalisme John M. Frame (Andry Setiawan)

Tuhan menunjuk kepada hati yang hormat, Selanjutnya, kontrol, otoritas, dan kehadiran.
kagum, dan taat kepada-Nya. Hal ini dapat Allah kovenan yang transenden dan imanen
terjadi karena didasarkan pada pengenalan menjelaskan atribut (sifat dasar) Allah.
Allah sebagai Tuhan, tuan di dalam kehi- Transenden merujuk kepada kontrol dan oto-
dupan. Gagasan ini yang kemudian disebut ritas Allah sedangkan imanensi menunjuk
oleh Frame sebagai konsep ketuhanan (lords- kepada kehadiran Allah. Allah sebagai Pen-
hip). Gagasan ini akan diuraikan menjadi tiga cipta berbeda dengan ciptaan-Nya sehingga Ia
bagian, yaitu objek pengetahuan, justifikasi memiliki kontrol dan berdaulat atas mereka.
14
pengetahuan, dan metode pengetahuan. Sedangkan otoritas menunjukkan bahwa
Allah adalah pribadi yang berkuasa di dalam
Objek Pengetahuan seluruh kehidupan manusia, tanpa terkecu-
ali.15 Imanensi Allah merujuk kepada keha-
Konsep ketuhanan yang ilahi dan alkitabiah diran Allah yang mengekspresikan kedekatan
merupakan titik awal untuk mengenal Allah Allah dengan ciptaan-Nya dan terlibat aktif
sebagai objek pengetahuan. Pemikiran ini di dalam kelangsungan hidup mereka. Setiap
memiliki tiga poin penting, yaitu ketuhanan ciptaan mengalami kehadiran Allah secara
dan kovenan, transendensi dan imanensi, nyata karena Ia adalah Tuhan yang personal.
serta kontrol, otoritas, dan kehadiran. Ketu- Menurut Frame, “Allah yang imanen adalah
hanan yang ilahi dan alkitabiah adalah sebuah pribadi yang mau terlibat dan hadir bersama
konsep kovenan. Allah adalah kepala dari dengan ciptaan-Nya.”16
kovenan dan hidup dengan menaklukkan
segala pikiran, hati merupakan wujud dari Mengenal Allah tidak hanya melalui wahyu
ucapan syukur atas anugerah yang Ia berikan khusus (Alkitab/Hukum) tetapi juga wahyu
kepada manusia.12 umum. Wahyu umum memiliki signifikansi
yang penting sama seperti wahyu khusus. Hal
Kemudian, transendensi dan imanensi. Frame ini dikarenakan dua wahyu tersebut merupa-
menulis, “If God is covenant head, then He kan pemberian Allah untuk memperkenalkan
exalted above His people; He is transcendent. If Allah kepada ciptaan-Nya. Wahyu umum ini
He is covenant head, then He is deeply involved mencakup dunia dan manusia yang merupa-
with them; He is immanent.”13 Transendensi kan media ciptaan di mana Allah menyata-
menjelaskan bahwa Allah berbeda dari cip- kan hukum-hukum-Nya. Frame berpendapat
taan-Nya karena Ia adalah Pencipta dan tidak bahwa hukum Allah adalah diri-Nya sendiri
diciptakan sedangkan ciptaan diciptakan oleh sedangkan Allah sendiri adalah hukum bagi
Dia. Imanensi menunjuk kepada Allah yang ciptaan-Nya. Hukum ini juga dinyatakan
tidak pernah meninggalkan buatan tangan- kepada kita melalui beberapa media, yaitu
Nya. Jadi, Allah sebagai kepala kovenan ada- alam, sejarah, hati nurani, teofani, nubuat,
lah pribadi yang senantiasa berelasi dengan dan Alkitab. Semua media tersebut sama-
ciptaan-Nya. sama menyatakan Allah sebagai sumber
hukum.17 Dengan demikian, mengenal Allah
sudah semestinya melibatkan tiga objek
Lord. He calls upon us to seek knowledge as his obedient 14
Lihat penjelasan lebih lanjut Ibid., 15-16. Lihat juga
servants” (The Doctrine of God [Phillipsburg: P&R, 2002], Frame, The Doctrine of God, 36-79; John M. Frame, The
480). Pernyataan Frame menunjukkan dengan jelas relasi Doctrine of the Christian Life (Phillipsburg: P&R, 2008),
yang erat antara pengetahuan tentang Allah dengan kon- 21-22.
sep ketuhanan di dalam kehidupan orang percaya.
15
Lihat ibid., 16. Lihat juga Frame, The Doctrine of
12
Allah mengomunikasikan diri-Nya kepada cipta- God, 80-93; Frame, The Doctrine of the Christian Life,
an-Nya sebagai Tuhan yang mengikat perjanjian (kovenan) 22-23.
dengan umat-Nya (Lihat John M. Frame, The Doctrine of
16
the Word of God [Phillipsburg: P&R, 2010], 10-11). Ibid., 17. Lihat juga Frame, The Doctrine of God,
94-102; Frame, The Doctrine of the Christian Life, 23-24.
13
The Doctrine of the Knowledge of God, 13. Lihat juga
17
John M. Frame, The Doctrine of God, 103-115. Lihat ibid., 63.
Veritas, Volume 17, Nomor 1, Juni 2018: 61-80 65

pengenalan, yaitu hukum-Nya, dunia, dan diri Hal ini tentunya berhubungan dengan herme-
manusia itu sendiri. neutika (ilmu penafsiran) dan diwujudkan di
dalam teologi yang mencakup teologi ekse-
Meskipun berbeda, ketiganya saling berhu- gesis, teologi biblika, teologi sistematik, dan
bungan. Keadaan ini menunjukkan bahwa teologi praktika. Cabang-cabang teologi ini
pemahaman orang percaya mengenai hukum berbeda satu dengan yang lain dalam pene-
akan sama dengan pemahamannya terhadap kanan, fokus dan cara penyusunan materinya
situasi dunia dan dirinya sendiri sebagai cip- tetapi mengungkapkan hal yang sama, yaitu
taan Allah. Ketiga unsur tersebut merupa- penggunaan Alkitab.20
kan perspektif satu terhadap yang lain dan
secara keseluruhan (whole). Kemudian, ia Kedua, perspektif situasional. Perspektif ini
menyebut perspektif itu sebagai triperspekti- akan membahas tentang penggunaan fakta-
valisme yang terdiri dari perspektif normatif fakta di luar Alkitab dan alat-alat seperti sains
(hukum), situational (dunia), dan eksistensial untuk menemukan fakta tersebut. Konkret-
(manusia).18 nya, teologi menggunakan berbagai macam
data di luar Kitab Suci (extrabiblical). Frame
Justifikasi Pengetahuan menegaskan bahwa teologi bukan saja meng-
ulangi bahasa Alkitab tetapi juga mengaplika-
Ketika seorang Kristen mengenal tentang sikan dan merelasikan bahasa tersebut kepada
Allah melalui hukum-Nya, dunia, dan diri situasi dunia yang kita tinggali.21 Data-data
sendiri maka tiba saatnya ia harus berpikir apa di luar Alkitab yang relevan dengan teologi
yang menjadi dasar untuk menyatakan bahwa berasal dari berbagai sumber seperti bahasa,
pengetahuannya tersebut benar atau tidak. logika, sejarah, ilmu pengetahuan, dan filsa-
Ini yang disebut sebagai justifikasi pengeta- fat. Semua ilmu ini disebut sebagai alat teo-
huan. Meskipun berfokus pada perspektif logi yang berfungsi untuk menganalisis data-
normatif (hukum Allah), justifikasi pengeta- data tersebut.
huan itu tetap harus memperhatikan “fungsi
normatif” dari ketiga perspektif. Sebab itu, Ketiga, perspektif eksistensial. Perspektif
seperti objek pengetahuan, justifikasi penge- ini akan membahas kapasitas, keterampilan,
tahuan juga melibatkan tiga perspektif, yaitu dan kemampuan seorang percaya, dan sikap-
normatif (hukum Allah), situasional (dunia), sikap yang relevan dengan ilmu pengetahuan.
dan eksistensial (diri).19 Jadi, tiga perspek- Pengetahuan tentang Allah adalah penge-
tif ini senantiasa berelasi erat satu sama tahuan hati. Hati adalah “pusat” kepriba-
lain untuk menjelaskan mengenai justifikasi dian dari manusia sendiri dalam sifatnya
pengetahuan. yang paling mendasar. Frame menerangkan,
“Scripture represents it [heart] as the source of
Metode Pengetahuan thought, of volition, of attitude, of speech. It is
also the seat of moral knowledge.”22 Implikasi
Perspektif eksistensial dari pengetahuan dari pernyataan ini adalah pengetahuan orang
membahas tentang bagaimana manusia mem- percaya tentang Allah berkaitan erat dengan
peroleh pengetahuan yang ia cari. Meskipun kesalehan karakternya. Seorang yang ber-
demikian, perspektif normatif dan situasional teologi bukan hanya memiliki pengetahuan
tetap dilibatkan di dalam metode pengeta- dan terampil menggunakan alat-alat teologi,
huan ini. Pertama, perspektif normatif akan melainkan juga hati yang takluk kepada kebe-
membahas mengenai penggunaan Alkitab. naran Alkitab.
18
Lihat ibid., 73. Lihat juga John M. Frame, “The Spirit
and the Scripture,” dalam Hermeneutics, Authority, and
Canon, ed. D.A. Carson dan John D. Woodbridge (Grand 20
Lihat ibid., 206-214.
Rapids: Zondervan, 1986), 230.
21
Ibid., 215.
19
Lihat Frame, The Doctrine of the Knowledge of God,
22
108. Ibid., 322.
66 Apologetika Prasuposisional Triperspektivalisme John M. Frame (Andry Setiawan)

Berdasarkan pemaparan mengenai konsep “aplikasi dari sola scriptura kepada apologe-
ketuhanan beserta dengan objek pengeta- tika.”26 Dengan demikian, setiap argumen
huan, justifikasi pengetahuan, dan metode apologetika yang dipakai oleh orang percaya,
pengetahuan yang berelasi secara perspek- bahkan seluruh aspek kehidupannya akan
tival, maka dapat dipahami bahwa pengeta- memprasuposisikan ketuhanan Kristus Yesus
huan manusia akan Allah berlandaskan pada dan kebenaran firman Tuhan.
Alkitab. Prasuposisi yang dimiliki orang Kris-
ten, yaitu Alkitab adalah standar dan sumber Elemen-elemen APT
dari pengetahuan kita akan Allah.23 Hal ter-
sebut dipahami dari tiga perspektif di mana APT memiliki tiga elemen penting, yaitu
masing-masing memiliki penekanan yang ber- menunjukkan (proof), membela (defense), dan
beda-beda. Namun, perlu dipahami bahwa penyingkapan (offense). Jika dilihat secara
perspektif normatif dan Kitab Suci itu sendiri perspektival maka APT memiliki perspektif
adalah dua hal yang berbeda. Frame menje- normatif (menunjukkan), situational (pem-
laskan bahwa perspektif normatif bukan Alki- belaan), dan eksistensial (penyingkapan).27
tab melainkan pemahaman seseorang atas Pertama, menunjukkan. Elemen ini adalah
Alkitab yang berelasi dengan dirinya dan cip- sebuah usaha untuk menyampaikan sebuah
taan. Melalui perspektif normatif, seseorang dasar rasional bagi iman Kristen. Dengan
menguji seluruh pengetahuannya dengan usaha ini, iman Kristen ditunjukkan oleh apo-
fokus pada Alkitab serta memandang semua loget sebagai keyakinan yang benar. Hal ini
pengetahuan itu sebagai “aplikasi dari Alki- dilakukan bukan hanya bagi orang tidak per-
tab.”24 Jadi, Kitab Suci adalah firman Allah caya tetapi juga kepada orang percaya. Hal ini
dan satu-satunya standar dan sumber kebe- disebabkan orang-orang percaya terkadang
naran yang mutlak bagi setiap orang percaya dapat mengalami keraguan (doubt). Oleh
sedangkan Kitab Suci sebagai perspektif nor- karena itu, diperlukan penyingkapan berda-
matif merupakan pemahaman yang tentunya sarkan Kitab Suci baik bagi keraguan orang
mengandung interpretasi atas Kitab Suci yang percaya maupun ketidakpercayaan (unbelief)
harus ditopang dengan perspektif situasional orang tidak percaya.
(fakta) dan perspektif eksistensial (diri). Kedua, pembelaan adalah kegiatan untuk
menjawab keberatan-keberatan yang bersum-
Apologetika Prasuposisional ber dari ketidakpercayaan. Kitab Suci menca-
Triperspektivalisme tat bahwa Paulus melakukan pembelaan atas
Berdasarkan epistemologi alkitabiah di atas, Injil Kristus (Flp. 1:7). Pola ini juga berlaku di
maka Frame menggambarkan APT sebagai dalam surat-surat Paulus lainnya. Yesus Kris-
metode apologetika yang memakai tiga per- tus pun melakukan hal yang serupa di mana Ia
spektif dalam argumen sirkular secara luas berhadapan dengan sejumlah keberatan yang
untuk membenarkan pendiriannya, menggu- diajukan oleh para pemimpin agama Yahudi
nakan Alkitab, alat-alat di luar Alkitab, dan (Yoh. 3; 5, 6:25-59; 7:14-52; 8; dst.).
segenap karunia apologet sendiri berupa
karakter yang saleh dan kecakapan yang
terampil.25 Tiga perspektif tersebut mencakup 26
Frame, “Presuppositional Apologetics,” 363. Pada
perspektif normatif, situasional, dan eksisten- intinya, APT Frame mengkritisi tiga epistemologi tra-
disional seperti rasionalisme, empirisme, dan subjek-
sial yang berakar teguh dalam komitmen pada tivisme di mana “correspond to the three non-Reformed
ketuhanan Kristus. Prasuposisi demikian approaches to apologetics: fideism tends to subjectivism, evi-
memiliki poin yang paling fundamental, yaitu dentialism is based on some form of empiricism, and classi-
cal apologetics tends to rationalism” (Kenneth D. Boa dan
23
Lihat Frame, Apologetics to the Glory of God, 9 Robert M. Bowman, Jr., Faith has Its Reasons: Integrative
Approaches to Defending the Christian Faith, ed ke-2 [Colo-
24
Frame, The Doctrine of the Knowledge of God, 163. rado Springs: Paternoster, 2006], 473).
25
Ibid., 348. 27
Apologetics to the Glory of God, 2-3.
Veritas, Volume 17, Nomor 1, Juni 2018: 61-80 67

Ketiga, penyingkapan adalah tindakan untuk defensif dan ofensif. Apologetika defensif
menyerang atau membukakan kebodohan adalah “sebuah pembelaan atas iman kekris-
dari pemikiran yang tidak percaya (Mzm. tenan terhadap sejumlah keberatan dari orang
14:1; 1Kor. 1:18-2:16). Seorang apologet yang tidak percaya.”31 Orang tidak percaya
bukan hanya menjawab setiap keberatan mengajukan pertanyaan kepada orang per-
yang diajukan oleh orang yang tidak percaya caya mengenai iman Kristen. Orang tersebut
melainkan juga “menyerang” kebodohan- berinisiatif untuk mengajukan sanggahannya
nya. Hal ini sesuai dengan Kitab Suci (1Kor. kepada orang percaya, kemudian orang per-
3:18-23) sehingga salah satu fungsi apologe- caya berespons dengan memberikan jawaban
tika adalah untuk menyingkapkan kebodohan kepada dia.
tersebut yang terwujud di dalam dialektika
rasionalis-irasionalis. Perspektif normatif dari apologetika defensif
berfokus pada pengertian yang baik dari seo-
Ketiga elemen ini selaras dengan definisi rang apologet tentang Kitab Suci dan dapat
Frame mengenai apologetika, yaitu “Sebuah menggunakannya secara tepat dan kreatif.
aplikasi Kitab Suci kepada orang yang tidak Prasuposisi yang ditunjukkan adalah apolo-
percaya.”28 Melalui tiga elemen itu, diharap- getika yang tunduk pada firman Allah yang
kan orang yang tidak percaya dapat memerca- dinyatakan-Nya. Selanjutnya, orang tidak
yai Tuhan dan taat sepenuhnya kepada Kitab percaya memiliki kesempatan untuk mema-
Suci. Pada akhirnya, ia akan meyakini bahwa kai reductio ad absurdum32 demi mempero-
wahyu Allah bukan hanya benar melainkan leh ketidakjelasan (absurdities) dari premis
juga adalah kriteria tertinggi dari kebenaran, kekristenan. Pihak kekristenan juga dapat
kepastian yang paling fundamental, dan dasar meminta hal yang sama berdasarkan prasupo-
bagi seluruh pemikiran yang dapat dipahami sisinya masing-masing.33 Baik orang percaya
dan hidup yang berarti.29 Ketiga elemen ter- maupun tidak percaya dapat menyatakan
sebut tentu saja berhubungan erat satu sama pandangannya berdasarkan prasuposisinya
lain. Ketika salah satu unsur dikerjakan masing-masing.
dengan baik dan tepat maka akan mencakup
jenis lainnya. Teknisnya, Frame menerang- Perspektif situasional menyatakan bahwa ada
kan bahwa untuk memberikan penjelasan fakta-fakta di dalam dunia yang dapat digu-
penuh mengenai keyakinan yang rasional nakan untuk membela kekristenan. Fakta
(proof), maka seseorang harus mempertahan- ini merupakan bukti-bukti (evidences) di luar
kan pemikiran rasional itu terhadap sejumlah Alkitab yang harus diinterpretasi secara alki-
keberatan (defense) dan memberikan alter- tabiah. Menurut Frame, “An apologist has the
natif-alternatif (offense) yang dinyatakan obligation to underscore that evidence, to show
oleh orang-orang tidak percaya.”30 Dengan the unbeliever “what to look for”, as well as how
demikian, tiga aspek ini saling melengkapi, to look for it and how to look at it.34 Pernyataan
menguatkan, dan tidak dapat dipisahkan satu 31
The Doctrine of the Knowledge of God, 348.
dengan yang lain.
32
Reductio ad absurdum adalah “the reduction of oppos-
ing position to absurdity” (ibid., 273). Hal ini merupakan
Strategi APT salah satu jenis argumentasi deduktif yang mengasum-
sikan bahwa pandangan yang berlawanan dengan Alkitab
Strategi untuk mengaplikasikan APT dapat benar “demi argumentasi.” Berdasarkan hal itu, pandan-
dilakukan dengan dua kategori umum, yaitu gan ini dijadikan premis dan disimpulkan apa yang tidak
logis dari pandangan tersebut. Alhasil, premis itu di-
28
The Doctrine of the Knowledge of God, 87. buktikan salah. Bagi Frame, reductio ad absurdum bukan
satu-satunya argumen yang cocok dengan ajaran Alkitab.
29
Lihat John M. Frame, “Presuppositional Apologet- Ia berpendapat, “I believe it is very useful” (“Presupposi-
ics,” dalam New Dictionary of Christian Apologetics, ed. tional Apologetics,” 223).
W.C. Campbell-Jack, Gavin McGrath, dan C. Stephen
33
Evans (Leicester: InterVarsity Academic, 2006), 578. Lihat The Doctrine of the Knowledge of God, 351.
30 34
Apologetics to the Glory of God, 3. Ibid.
68 Apologetika Prasuposisional Triperspektivalisme John M. Frame (Andry Setiawan)

ini menunjukkan bahwa setiap orang percaya total.37 Orang percaya mengatakan kepada
harus menggunakan seluruh bukti secara alki- orang tidak percaya tentang bagaimana pan-
tabiah kepada mereka yang belum percaya dangannya terhadap prinsip yang diyakini
sekalipun bukti-bukti itu sudah mereka lihat orang tidak percaya itu. Sama seperti apolo-
pada wahyu umum. Seorang apologet sudah getika defensif, apologetika ofensif juga harus
semestinya mengarahkan orang tidak per- dipandang dari tiga perspektif, yaitu norma-
caya untuk memahami maksud Allah dengan tif, situasional, dan eksistensial.
memberikan semua bukti di luar Alkitab.
Perspektif normatif merujuk kepada pema-
Perspektif eksistensial menerangkan bahwa haman bahwa Kitab Suci mengajar orang
ketika seorang percaya berapologetika, ia percaya tentang iman dan akal sehat. Orang
melakukannya untuk meyakinkan orang lain. yang percaya dan tidak percaya sebenarnya
Patut disadari bahwa tidak setiap argumen- sama-sama memiliki iman. Hanya yang men-
tasi logis dapat menyakinkan setiap individu jadi masalah adalah iman orang tidak percaya
atau kelompok. Karena itu, ia harus meng- didasarkan pada keyakinan yang buta sedang-
hadapi orang tidak percaya sebagai pribadi kan orang percaya beriman pada Tuhan yang
yang diciptakan segambar dan serupa dengan diwahyukan dalam Kitab Suci.”38
Allah, memahami kebutuhannya secara khu-
sus serta mengembangkan argumentasi untuk Perspektif situasional memaparkan bahwa
menjawab kebutuhan tesebut. Roh Kudus orang percaya dapat menyingkapkan kepada
yang mampu meyakinkan hati manusia di orang tidak percaya mengenai berbagai
dalam kedaulatan-Nya tetapi usaha manusia macam kesalahan seperti ketidakjelasan,
pun beriringan dengan kedaulatan Allah. Hal kesalahan tentang fakta, dan kesalahan logi-
ini ditegaskan oleh Frame: “God sovereignly ka.39 Menurut Frame, ketidakjelasan terjadi
acts through human agency, and human agency- karena kaum non-Kristen rasionalis dan ira-
human actions-are made effective because God sionalis40 meminjam terminologi dan gagasan
is sovereign.”35 Kristen untuk mengungkapkan posisi mereka
yang sangat menentang kekristenan.41 Kesa-
Di samping apologetika defensif, strategi lahan tentang fakta terjadi karena permasa-
APT dapat dilakukan pula dengan apologe-
tika ofensif. Apologetika ofensif adalah “The 37
Ibid., 359.
Christian’s own attack on unbelieving thought 38
Ibid., 360.
and life.”36 Penyerangan yang dimaksud di sini
adalah usaha untuk menyingkapkan kebe- 39
Logika adalah “a way of understanding the meaning of
naran Allah kepada orang yang tidak per- texts. Logic is primarily concerned with (1) validity of argu-
ments and (2) consistency of propositions” (John M. Frame,
caya dan menaklukkan segenap pikirannya “Logic,” dalam Dictionary for Theological Interpretation of
kepada Kristus (2Kor. 10:5). Frame menjadi- the Bible, ed. Kevin J. Vanhoozer [Grand Rapids: Baker
kan penyerangan sebagai langkah kedua dari Academic, 2005], 462). Teks yang dimaksud adalah ter-
masuk Alkitab.
apologetikanya setelah pertahanan dilakukan
terhadap keberatan yang diajukan oleh orang 40
Istilah “rasionalis dan irasionalis” merujuk kepada
tidak percaya. Penyerangan dilakukan ter- dialektika dari struktur umum pemikiran orang tidak per-
caya. Hal ini dipergunakan oleh orang tidak percaya secara
lebih dahulu dengan menyimak prasuposisi- bersamaan untuk menggantikan kebenaran. Irasionalis
prasuposisi orang tidak percaya “demi kepen- adalah suatu pemikiran bahwa manusia kecil dan terbatas
tingan argumentasi” sehingga orang percaya sehingga tidak dapat memahami Allah yang misterius dan
dapat melakukan sebuah reductio, yaitu suatu jauh dengan benar. Ini adalah pandangan transendensi
Allah ala orang tidak percaya. Sedangkan rasionalis ada-
demonstrasi bahwa premis-premis orang tidak lah pemikiran yang menempatkan diri manusia sendiri di
percaya mengarah kepada ketidakjelasan posisi Allah sebagai penentu tertinggi atas kebenaran dan
kesalahan. Ini merupakan pandangan orang tidak percaya
mengenai imanensi Allah (lihat The Doctrine of the Knowl-
35
Ibid., 354. edge of God, 60).
36 41
Ibid., 348. Ibid., 364.
Veritas, Volume 17, Nomor 1, Juni 2018: 61-80 69

lahan hati orang tidak percaya yang mem- Indonesia secara umum memiliki kesamaan.
benci kebenaran dan menekan kebenaran itu. Hal ini yang disebut sebagai pluralisme agama.
Kesalahan logika disebabkan ketidakperca- Ideologi ini didahului dengan munculnya
yaan terhadap wahyu umum dan khusus. gerakan oikumene di Indonesia pada 25 Mei
1950 melalui pembentukan Dewan Gereja-
Perspektif eksistensial merujuk kepada gereja di Indonesia (DGI) yang berpusat di
pengenalan orang percaya kepada lawan bica- Jakarta. Tujuan semula pembentukan DGI
ranya baik secara individual maupun komu- adalah untuk menyatukan gereja-gereja di
nal. Hal ini dapat dilakukan secara dialog Indonesia tetapi kemudian pada tahun 1967
dan penuh kasih. Setelah itu, orang percaya menjadi titik kritis bagi DGI untuk memiliki
selaku apologet memutuskan tentang bentuk kesadaran akan pluralisme. Pergeseran ini
penyampaian kebenaran firman Tuhan yang didorong dengan kelahiran para teolog di
tepat bagi orang tidak percaya.42 Harapannya Indonesia seperti Walter Bonar Sidjabat, Eka
adalah berita Injil dapat disampaikan sejelas Darmaputera, Th. Sumartana, Ioanes Rakh-
mungkin kepada orang tidak percaya. Pada mat (awal)43, dan John A. Titaley.44
akhirnya, dapat disimpulkan bahwa APT ada-
lah sebuah metode apologetika yang men- W.A. Sidjabat memiliki ketertarikan untuk
coba mengaplikasikan Kitab Suci kepada memikirkan toleransi agama. Ia berpendapat
orang tidak percaya dengan memprasuposisi- bahwa toleransi adalah ketabahan (endurance)
kan Kitab Suci sebagai sumber, standar, dan atau kesediaan untuk masuk dan memperla-
metode kebenaran melalui kegiatan menun- kukan agama dengan penuh hormat dalam
jukkan apa yang Allah katakan di dalam Kitab suatu dialog yang seakrab mungkin. Dia-
Suci, membela iman kekristenan dari segala log yang dimaksud adalah “kesediaan untuk
keberatan yang diajukan oleh orang tidak mendengar dari kedua belah pihak, namun
percaya, dan menyingkapkan segala keti- tanpa jatuh ke dalam sinkretisme, skeptisisme
dakpercayaan orang tidak percaya sehingga dan relativisme.“45 Hal ini yang selanjutnya
segenap pikiran dan kehidupannya ditawan disebut oleh Sidjabat sebagai toleransi agama
dan ditaklukkan oleh Allah dan firman-Nya
43
(2Kor. 10:5). Pandangan awal Ioanes Rakhmat semula tergolong di
dalam kaum ekumenis yang pada akhirnya bergeser men-
jadi seorang pluralis. Namun dalam beberapa tahun ter-
Pemikiran Kristen Pluralis tentang Pluralisme akhir, pemikirannya bergeser dan dinilai sebagai agnostik
Agama di Indonesia dan pemikir bebas (freethinker), bahkan bidat. Hal ini dib-
uktikan melalui bukunya sendiri yang berjudul “Membe-
Pluralisme agama telah menjadi paham yang dah Soteriologi Salib: Sebuah Pergulatan Orang Dalam.”
populer di dunia. Hal ini tentunya dilatarbe- Di dalam buku tersebut, Rakhmat menyatakan bahwa ia
dengan bulat menolak ajaran keselamatan Kristen ten-
lakangi dengan konteks dunia yang semakin tang kematian Yesus di atas kayu salib menebus orang
hari semakin pluralistis. Keadaan tersebut dari dosa-dosanya dan menjamin orang yang percaya pada
juga terjadi di dalam kondisi bangsa Indone- doktrin ini masuk surga (lihat Ioanes Rakhmat, Membe-
dah Soteriologi Salib: Sebuah Pergulatan Orang Dalam, ed
sia yang pluralistis di dalam segala hal terma- ke-2 [Jakarta: Borobudur, 2010], 12; Ioanes Rakhmat,
suk agama. Karena itu, Indonesia tidak dapat “The Freethinker Blog: Album buku-buku saya My books
menghindari pluralisme agama dan penga- album,” The Freethinker Blog, August 6, 2012, diakses 2
ruhnya bagi kekristenan di Indonesia. Mei 2017, http://ioanesrakhmat.blogspot.co.id/2012/08/
album-buku-buku-saya.html.).

Perkembangan Gagasan Kristen tentang 44


Penulis hanya membahas pemikiran dari sejumlah
Pluralisme Agama di Indonesia teolog Indonesia yang di antaranya telah bergeser kepada
pluralis dan sebagian secara terang-terangan mengambil
posisi sebagai pluralis. Karena keterbatasan ruang, maka
Pluralitas agama di tanah air Indonesia ber-
dalam artikel jurnal ini penulis tidak membahas pemikiran
kembang menjadi sebuah pemikiran filoso- para pluralis kontemporer Indonesia seperti Joas Adipra-
fis dan memandang bahwa semua agama di setya, Martin Sinaga, dan sebagainya.
45
W.B. Sidjabat, Religious Tolerance and the Christian
42
Lihat ibid., 367. Faith (Jakarta: Gunung Mulia, 1965), 12.
70 Apologetika Prasuposisional Triperspektivalisme John M. Frame (Andry Setiawan)

positif di mana di dalamnya terdapat kemer- masyarakat.”48 Dengan kata lain, teologi
dekaan agama tanpa batas pada setiap agama agama-agama adalah “upaya refleksi teolo-
sehingga orang Kristen tidak boleh memaksa- gis untuk menempatkan pluralisme sebagai
kan kehendaknya kepada orang lain. Sidjabat pusat perhatian dan pusat persoalan.”49 Hal
menulis: “Agar toleransi yang benar dapat ter- ini membuat teologi agama-agama terbuka
jadi hendaknya kita menghindari klaim bahwa untuk semua agama sehingga semua agama
kita mempunyai kebenaran. Ini berarti kita dapat membuat teologi agamanya sendiri
tidak bersaksi tentang superioritas agama yang terbuka dan positif.
Kristen terhadap agama-agama lain, tetapi
bersaksi tentang Kristus yang telah mati dan Jika semua agama dapat membuat teologi
bangkit bagi semua orang.”46 agamanya sendiri maka dialog antaragama
dapat dilakukan. Harapannya adalah dapat
Pemikiran Eka Darmaputera mengenai memperkaya kekristenan dan demikian pula
gerakan pluralisme agama berfokus pada teo- sebaliknya. Sumartana menulis, “Dialog
logi kontekstualisasi. Ia berpendapat bahwa antaragama menerima hak untuk berbeda
teologi kontekstualisasi merupakan teologi dan memberikan keabsahan dari pengalaman
itu sendiri yang berarti teologi hanya dapat religius yang berbeda sebagai jalan menuju
disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar kepada Kerajaan Allah.”50 Dialog demikian
kontekstual dengan zaman. Hal ini diung- akan menuntut pengakuan yang tulus dan
kapkan Darmaputera demikian, “Secara rasa saling menghormati karena tidak ada
lebih sederhana dapat dikatakan bahwa teo- agama yang dominan dan semua agama sama-
logi adalah upaya untuk merumuskan peng- sama unik. Konsekuensinya adalah keunikan
hayatan iman Kristen pada konteks ruang Kristus tidak dapat dipertahankan lagi karena
dan waktu yang tertentu.”47 Pernyataan ini identik dengan kekuasaan imperialisme serta
memberikan sumbangsih besar bagi para teo- tidak terbuka kepada agama-agama lain.
log Indonesia lain untuk mengembangkan
gagasan pluralisme. Th. Sumartana juga berpendapat bahwa plu-
ralisme agama bersangkut paut dengan dunia
Th. Sumartana yang pernah terlibat di mistik. Dalam dunia ini, sesuatu yang men-
dalam Tim Balitbang (Badan Penelitian dan jadi pengalaman utama adalah kesenangan
Pengembangan Persekutuan Gereja-gereja di berada di hadapan hadirat Tuhan. Menurut
Indonesia) PGI, pada akhirnya muncul seba- Sumartana, “Kebenaran agama tidak akan
gai pemikir pluralisme agama yang cukup habis dicerna oleh akal, tidak akan sepenuh-
mengagetkan dalam perkembangan plura- nya bisa digapai oleh upacara ritual; kaum
lisme agama di Indonesia. Ia memopuler- mistikus cenderung ingin mengalami keha-
kan konsep “Theologia Religionum” di bumi diran Tuhan dalam zikir, tarian, dan medi-
Pancasila. Istilah tersebut dapat dimengerti tasi.”51 Berdasarkan pengalaman tersebut,
sebagai evaluasi dan interpretasi tentang
48
gejala agama-agama bukan Kristen di dunia “Pemikiran Kristen mengenai Pluralisme menuju
Upaya Merumuskan Teologi Agama-agama di Indonesia,”
dari perspektif iman Kristen. Menurutnya, dalam Pluralisme dan Demokrasi: Kumpulan Karangan
“teologi agama-agama haruslah merupa- Seminar Agama-agama XII/1992, ed. Fridolin Ukur dan
kan bagian dari upaya agama-agama untuk Retnowinarti (Jakarta: Balitbang PGI, 1995), 39.
merelevansikan seluruh jawaban-jawaban 49
Th. Sumartana, “Theologia Religionum,” dalam
teologisnya terhadap seluruh persoalan Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theolo-
gia Religionum, ed. Tim Balitbang PGI (Jakarta: Gunung
Mulia, 1999), 21-26.
46 50
“Religious Tolerance and the Christian Faith” (diser- “Beberapa Pemikiran tentang Panggilan dan Tang-
tasi, Princeton Theological Seminary, 1960), 174. gung Jawab Gereja terhadap Lingkungan Masyarakat-
nya,” Bina Darma 34, no. 9 (1991): 83.
47
“Menuju Teologi Kontekstual,” dalam Konteks Berte-
51
ologi di Indonesia, ed. Eka Darmaputera (Jakarta: Gunung “Beberapa Tema Dialog Antar-Agama Kontem-
Mulia, 1988), 9. porer,” dalam Agama dalam Dialog: Pencerahan, Pen-
Veritas, Volume 17, Nomor 1, Juni 2018: 61-80 71

dunia beserta isinya menjadi nisbi. Konseku- memahami kehendak Yang Mutlak itu secara
ensinya, perbedaan antaragama menjadi cair sempurna.53
dan kesatuan dengan Tuhan mengatasi segala
perbedaan. Menurut Titaley, kebenaran di dalam kekris-
tenan pun mengalami reduksi sama seperti
Bagi Ioanes Rakhmat, pluralisme agama ber- kebenaran di dalam agama-agama lain. Hal
sangkut paut dengan ide pengalaman univer- ini dapat terjadi karena keterbatasan sim-
sal setiap orang dengan realitas. Ia menegas- bol-simbol budaya manusia (bahasa) dalam
kan, “setiap pihak dalam relasi antar-umat memahami kehendak Tuhan. Implikasi logis-
beragama perlu mengalami perjumpaan yang nya adalah setiap penganut agama apa pun
akrab dan intim dengan Realitas lain yang termasuk Kristen tidak dapat menangkap dan
transenden, Realitas spiritual, yang menjadi memahami kebenaran yang utuh. Kekris-
pusat batiniah yang dari dalamnya muncul tenan memiliki kontinuitas dengan iman
motivasi untuk hidup dalam kebajikan dan agama-agama lain sehingga ia tidak lebih
cinta kepada sesama manusia.”52 Bagi Rakh- benar daripada mereka semua.
mat, setiap agama memiliki kesempatan yang
sama untuk berelasi dengan Tuhan sesuai Berdasarkan pemikiran pluralis Kristen di
dengan keyakinan dan tata cara agamanya atas maka dapat disimpulkan bahwa W.B.
masing-masing. Dengan begitu, diharap- Sidjabat tergolong sebagai tokoh yang banyak
kan relasi yang akrab itu berdampak etis berbicara dan terlibat di dalam toleransi dan
kepada perilaku setiap pemeluk agama dalam dialog agama-agama di Indonesia di mana
kesehariannya. kelak pemikirannya dikembangkan untuk
menjadi pandangan pluralisme. Eka Darma-
Berkenaan dengan pluralisme agama, John putera sebagai seorang yang bergumul dengan
A. Titaley mengungkapkan bahwa antara teologi kontekstualisasi di mana pemikiran-
Yang Mutlak dan manusia terjalin suatu nya juga menjadi dasar untuk pengembangan
relasi. Apakah dan bagaimanakah respons gagasan pluralisme. Th. Sumartana, Ioa-
manusia atas relasi tersebut? Relasi itu dires- nes Rakhmat, dan Titaley justru mengambil
pons oleh manusia dengan keterbatasan sim- posisi pluralis yang berpendapat bahwa Alki-
bol-simbol budayanya seperti bahasa. Bahasa tab bukan satu-satunya firman Allah. Selain
dan simbol budaya yang dipakai oleh manusia itu, keselamatan bukan satu-satunya di dalam
tidak mencerminkan kesempurnaan simbol Yesus Kristus melainkan keselamatan ada
dan bahasa Yang Mutlak. Konsekuensinya, di dalam ajaran agama masing-masing. Di-
hal ini menunjukkan bahwa terdapat reduksi samping itu, toleransi antarumat beragama
dalam upaya manusia untuk memahami Yang sangat diperlukan untuk menjaga kedamaian
Mutlak itu. Itulah keterbatasan manusia di di kawasan Indonesia.
hadapan Yang Mutlak itu. Dalam keadaan
seperti itu, maka tidak seorang manusia Epistemologi Pemikiran Kristen Pluralis
pun yang dapat mengklaim bahwa dia dapat tentang Pluralisme Agama di Indonesia
Pada umumnya gagasan-gagasan para pemi-
kir Kristen pluralis di Indonesia di atas tidak
jauh berbeda dengan semua gagasan kaum
damaian, dan Masa Depan: Punjung Tulis 60 tahun Prof.
Dr. Olaf Herbert Schumann, ed. Panitia Penerbitan Buku pluralis dunia seperti John Hick, Paul Knit-
Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Balitbang ter, Raimundo Panikkar. Hal ini disebabkan
PGI (Jakarta: Gunung Mulia, 1999), 112-113. pendidikan lanjut yang mereka tempuh berlo-
52
“Bangunan Agama dan Toleransi,” dalam Agama kasi di negara-negara yang diwarnai dengan
dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian, dan Masa Depan: pluralisme agama sebagai cara berteologi.
Punjung Tulis 60 tahun Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann,
53
ed. Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Her- Religiusitas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme
bert Schumann, Balitbang PGI (Jakarta: Gunung Mulia, dan Transformasi Agama-agama (Salatiga: Satya Wacana
1999), 84. University Press, 2013), 170-71.
72 Apologetika Prasuposisional Triperspektivalisme John M. Frame (Andry Setiawan)

Epistemologi pemikiran Kristen pluralis sama.56 Kebenaran yang ada di dalam setiap
tersebut meliputi beberapa hal. Pertama, agama di Indonesia diyakini oleh kaum plura-
konteks wilayah Indonesia: Latar belakang lis menunjuk kepada kebenaran yang sama di
agama-agama pendatang yang sama sekali mana masing-masing agama memiliki “kebe-
berbeda konteks bumi Indonesia. Perbedaan naran” yang bersifat parsial dan komplemen-
yang dimaksud mencakup perihal geografis, tari. Gordon D. Kaufman menegaskan hal
iklim, sosial, politik, dan budaya. Implikasi- senada, “None of us—Christian or non-Chris-
nya, lahir sebuah filosofi religius yang berbeda tian—possesses absolute or final truth, truth
dari agama-agama “asal” di Indonesia. Bam- adequate to orient humankind in face of the
bang R. Utomo menjelaskan hal ini dengan enormous problems we confront in today’s wor-
gamblang, “Agama agama [pendatang] terbi- ld.57 Absolutisme kebenaran agama apa pun
asa membagi dunia menjadi dua, yakni dunia tidak dapat diberlakukan dan dipertahankan
kafir, dunia yang belum percaya. Agama- lagi.
agama yang belum banyak mempunyai penga-
laman hidup bersama dengan umat beragama Aplikasi Apologetika Prasuposisional
lain secara heterogen.”54 Agama-agama ter- Triperspektivalisme John M. Frame terhadap
sebut lambat laun menggeser dan menggan- Pemikiran Kristen Pluralis tentang Pluralisme
tikan agama-agama sebelumnya. Hal ini Agama di Indonesia
mengakibatkan dikotomi religius tersebut
Di bagian ini, APT akan diaplikasikan untuk
diwariskan dari satu generasi ke generasi
menyoal pemikiran kaum pluralis Kristen
yang lain. Ujung-ujungnya, dikuatirkan tole-
tentang pluralisme agama di Indonesia. Hal
ransi beragama tidak dapat dilakukan dengan
ini akan dilakukan berdasarkan kemampuan
semestinya di Indonesia yang berdasar pada
triperspektivalisme untuk menghadapi epis-
Pancasila dan memiliki semboyan “Bhinneka
temologi pemikiran Kristen pluralis, yaitu
Tunggal Ika.”
dengan menunjukkan sebagai perspektif nor-
Kedua, empirisme: Pandangan bahwa semua matif, membela sebagai perspektif eksisten-
agama sama didasari dengan fakta fenomena sial, dan menyingkapkan sebagai perspektif
agama-agama dan akhir dari tujuan agama- situasional. Ketiga perspektif ini akan mun-
agama.55 Dari sisi positif, fenomena semua cul di dalam tiga strategi apologetika, yaitu
agama sama-sama mengajarkan kebajikan apologetika konstruktif (normatif), ofensif
bagi pemeluknya, yaitu hidup baik, bijak- (situasional), dan defensif (eksistensial).58
sana, dan kudus. Secara historis-kultural,
masing-masing agama dibentuk oleh penga- Apologetika Konstruktif (Normatif)
ruh-pengaruh konteks budaya hirarki-dogma- Apologetika konstruktif adalah sebuah stra-
tis dan hasil rekonstruksi filosofis. Termasuk tegi untuk menunjukkan sebuah dasar rasi-
klaim agama paling unggul adalah produk onal bagi iman Kristen. Dengan kata lain,
dari interaksi kreatif antara pengaruh-penga- sebuah usaha untuk menunjukkan bahwa
ruh budaya yang hierarkis.
56
Kebenaran adalah “Questions about meaning and
Ketiga, relativisme atau subjektivisme: sebuah truth will be related to the way we actually live. . . . Doing the
paham yang menganggap bahwa semua truth is one way of showing what the truth is, what the world
is really like” (Kevin J. Vanhoozer, First Theology: God,
agama sama, semua agama adalah benar dan Scripture and Hermeneutics [Downers Grove: InterVarsity
semua agama memiliki keprihatinan yang Academic, 2002], 363-364).
57
“Religious Diversity, Historical Consciousness, and
54
Hidup Bersama di Bumi Pancasila: Sebuah Tinjauan Christian Theology” dalam The Myth of Christian Unique-
Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia (Malang: Pusat ness, ed. John Hick dan Paul F. Knitter (London: SCM,
Studi Agama dan Kebudayaan, 1993), 258. 1988), 13.

Sudianto Manullang, “Konflik Agama dan Pluralisme


55 58
John M. Frame, Apologetics: A Justification of Chris-
Agama di Indonesia, “ Te Deum 4, no. 1 (Juli-Desember tian Belief, ed. Joseph E. Torres, ed. ke-2 (Phillipsburg:
2014), 112. P&R, 2015) 3.
Veritas, Volume 17, Nomor 1, Juni 2018: 61-80 73

kekristenan itu benar di mata kaum pluralis. kontrol, otoritas, dan kehadiran. Fakta-fakta
Segala bukti dan argumentasi dapat dipakai tersebut diprasuposisikan dari konsep ketu-
dalam usaha tersebut dengan memprasupo- hanan dan dipakai untuk memuliakan Allah.
sisikan Kitab Suci adalah firman Allah yang Ia dapat menjelaskan terlebih dahulu bahwa
menjadi sumber, standar, dan metode bagi Allah dinyatakan secara jelas melalui alam
seorang percaya dalam mempelajari kebe- semesta melalui argumen kosmologis, tele-
naran. Di luar hal tersebut adalah pemberha- ologis, keberadaan yang sempurna.61 Argu-
laan. William C. Davis berpendapat senada, men-argumen di atas memprasuposisikan
“The Bible never suggests that we should attempt Allah yang dinyatakan di dalam Kitab Suci.
to defend the faith from a position of neutra- Jika tidak demikian, premis-premis tersebut
lity.”59 Hal ini berarti tidak ada netralitas di akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda
dalam berapologetika. dengan yang dimaksudkan Kitab Suci.

Perspektif Normatif Perspektif Eksistensial


Perspektif normatif dari apologetika kon- Perspektif eksistensial dari apologetika kon-
struktif adalah seorang apologet Kristen men- struktif akan menunjukkan bahwa seorang
jelaskan kepada kaum pluralis bahwa setiap apologet dapat menjelaskan dan membuk-
manusia memiliki pengetahuan akan Allah. tikan bahwa kekristenan itu rasional, bukan
Pengetahuan ini diperoleh dari penyataan berdasarkan pada kemampuannya sendiri.
Allah baik melalui Kitab Suci maupun dunia Sebaliknya, semua itu dilakukan karena Kitab
dan manusia. Kitab Suci menyatakan bahwa Suci menjadi komitmen tertinggi bagi dirinya.
alam diciptakan oleh Allah untuk menyata- Hal itu akan ditunjukkan dengan sikap yang
kan diri-Nya baik bagi orang Kristen maupun rendah hati dan memegang hal itu secara kon-
non-Kristen. Lebih lanjut, Frame menegas- sisten dan penuh ketaatan di dalam kehidup-
kan, “Creation and providence do show that annya. Implikasinya, ia akan mampu untuk
God exists, and they also reveal his character, his menginterpretasi Kitab Suci dengan benar
righteous standards for human life, and his holy dan tepat. Selain itu, ia dapat menjelaskan
wrath against human sin.”60 Allah mencipta- apa yang ia imani di dalam Kristus Yesus
kan alam semesta supaya orang-orang menya- kepada kaum pluralis dengan lembah lembut
dari bahwa Allah itu ada tetapi bukan melalu- dan hormat.
inya, mereka memperoleh keselamatan kekal.
Kemudian Kitab Suci memberitahu identitas Apologetika Defensif (Eksistensial)
Allah itu, yaitu sang Pencipta alam semesta
yang dikenal melalui Yesus Kristus dan Kitab Ketika kaum pluralis telah mendengar segala
Suci. penjelasan dari apologet Kristen mengenai
Allah yang dinyatakan di dalam Kitab Suci,
Perspektif Situasional Yesus Kristus, alam semesta, dan manusia
disertai pula dengan argumen-argumen yang
Di dalam perspektif situasional, seorang apo- mendukungnya, maka mereka akan membe-
loget akan menunjukkan kepada kaum Kristen rikan respons. Respons yang dimaksud ada-
pluralis tentang fakta-fakta yang ada di dalam lah inisiatif untuk mempertanyakan kembali
dunia di mana mendukung akan keberadaan kebenaran kekristenan dari prasuposisi plura-
Allah yang berpribadi dan memiliki atribut lis. Seorang apologet harus siap sedia untuk
59
menjawab setiap keberatan yang diajukan
William C. Davis, “Frame in the Context of Recent
Apologetics,” dalam Speaking the Truth in Love: The The- oleh mereka. Hal ini akan dilakukan di dalam
ology of John M. Frame, ed. John J. Hughes (Phillipsburg: apologetika defensif yang berfokus pada per-
P&R, 2009), 493. spektif eksistensial di mana juga melibatkan
60
John M. Frame, Perspective on the Word of God: An perspektif normatif dan situasional.
Introduction to Christian Ethics (Phillipsburg: P&R, 1990),
61
21. Lihat Frame, Apologetics: A Justification, 116.
74 Apologetika Prasuposisional Triperspektivalisme John M. Frame (Andry Setiawan)

Perspektif Normatif Perspektif Situasional


Perspektif normatif dari apologetika defensif Dalam perspektif ini, kaum Injili dapat mem-
menekankan sejauh mana seorang apologet pergunakan bukti-bukti di luar Alkitab untuk
memahami Kitab Suci dan terampil untuk membela Kitab Suci terhadap keberatan
menggunakannya demi mempertahankan dari kaum pluralis dengan catatan bukti-
kebenaran iman Kristen. Berdasarkan epis- bukti tersebut diinterpretasi secara alkitab-
temologinya, kaum pluralis akan memperta- iah. Geivett dan Phillips menyadari bahwa
nyakan kepada kaum Injili mengenai konsep di dalam proses dialog jika seseorang tidak
ketuhanan kaum Injili, yaitu dasar keyakinan menerima dan mengalami kebenaran firman
kepada Tuhan yang diwahyukan dalam Kitab Tuhan maka pemaparan bukti-bukti diperlu-
Suci adalah Tuhan yang benar dan tidak kan.63 Gagasan dari kaum pluralis mengenai
sama dengan allah yang dinyatakan di dalam semua agama menyembah Tuhan yang sama
agama-agama lain. Untuk menanggapi per- (the Real atau Ultimate Reality) tidak masuk
tanyaan ini, kaum Injili perlu menjelaskan akal. Hal ini disebabkan kaum pluralis—dan
kepada kaum pluralis tentang sumber otori- kebanyakan orang di dunia—menyimpulkan-
tasnya yang tertinggi, yaitu Kitab Suci. Kitab nya dari segelintir agama besar di dunia tanpa
Suci menyatakan bahwa Allah yang dinyata- memperhitungkan sejumlah keyakinan lain
kan di dalam Kitab Suci adalah Tuhan yang yang notabene minoritas.
benar dan sejati. Ia tidak dapat dibandingkan
dengan ilah-ilah lain di dalam agama-agama Perspektif Eksistensial
yang lain. Demikian polanya adalah Kitab
Suci menyatakan rasionalitas Allah kemudian Dalam perspektif ini, kaum Injili berapologe-
hal itu diterima dengan iman oleh manusia tika terhadap kaum pluralis untuk meyakin-
dan itu menjadi pola berpikir dari manusia kan mereka akan kebenaran Kitab Suci. Hal
tersebut. ini dilakukan dengan berusaha untuk men-
dengar dan memahami dengan penuh kasih
Konkretnya, kaum Injili dapat menjelaskan kebutuhan dari kaum pluralis. Kaum Injili
kepada kaum pluralis tentang sejumlah epis- perlu menyadari bahwa ketika mereka mem-
temologi tradisional yang cenderung dipakai berikan dorongan kepada kaum pluralis untuk
oleh umat manusia, yaitu rasionalisme, empi- mengakui imannya di hadapan Allah yang
risme, dan subjektifisme.62 Pertama, rasio- dinyatakan di dalam Kitab Suci, ada kemung-
nalisme adalah pandangan yang menyatakan kinan mereka menolak. Hal ini disebabkan
bahwa pengetahuan manusia mengasumsikan mereka mengetahui kebenaran, tetapi sedang
adanya prinsip-prinsip tertentu yang dipahami menekan, membengkokkan, bahkan memu-
terlepas dari pengalaman pancaindra dan tarbalikkan kebenaran itu. Sebab itu, dapat
prinsip-prinsip itulah yang mengatur peng- dipahami bahwa akar dari penolakan kaum
alaman pancaindranya. Kedua, empirisme pluralis adalah masalah hati yang kemudian
adalah pandangan yang menyatakan bahwa memengaruhi intelektual mereka (the noetic
pengetahuan itu didasarkan pada penga- effects of sin).
laman pancaindra. Ketiga, subjektivisme
adalah pandangan yang menyatakan bahwa Apologetika Ofensif (Situasional)
tidak ada kebenaran “objektif,” yang ada ada-
lah kebenaran “bagi” subjek yang dibuktikan Ketika kaum Injili berapologetika dengan
dengan kriteria internal subjek itu sendiri. kaum pluralis, mereka bukan hanya mema-
parkan dan membela kekristenan tetapi juga
menyingkapkan “kebodohan” dari kaum
63
Lihat “A Particularist View: An Evidentialist
Approach,” dalam Four Views on Salvation in a Pluralis-
62
Lihat penjelasan detail di Frame, The Doctrine of the tic World, ed. Dennis L. Okholm dan Timothy R. Phillips
Knowledge of God, 109-122. (Grand Rapids: Zondervan, 1996), 215.
Veritas, Volume 17, Nomor 1, Juni 2018: 61-80 75

pluralis. Dalam strategi ini, kaum Injili dipang- dirinya dan kebenarannya sebagai kebenaran
gil untuk menjadi orang-orang yang membu- mutlak. Jadi, dialektika ini bersumber dari
kakan pemikiran dan hati—tentu saja dalam ketidakpercayaan kaum pluralis.
pertolongan Roh Kudus—dari kaum pluralis
dengan penuh kasih dan lemah lembut. Perspektif Situasional

Perspektif Normatif Munculnya pluralisme telah membuat kon-


teks apologetika menjadi sangat jelas. Dalam
Dalam perspektif ini, APT berfokus kepada APT, perspektif situasional penting seperti
situasi dan kondisi dari kaum pluralis tetapi yang telah ditekankan oleh Petrus dan Pau-
tetap melibatkan perspektif normatif dan lus di dalam Kisah Para Rasul 10; 11; 17:16-
eksistensial. Kaum Injili akan mendengar 34. Perlu diketahui bahwa Perjanjian Baru
dengan saksama dan menyesuaikan pendekat- ditulis di tengah pluralitas budaya. Daripada
annya dengan kebutuhan spesifik dari kaum membela iman dengan pemikiran objektif,
pluralis agama. Seorang apologet Kristen pemikiran rasional, para apologet abad per-
mengalihkan perhatiannya dari menghibur tama akan menempatkan kesetiaan kepada
orang percaya kepada berhadapan dengan ketuhanan Kristus pada awal dari argumen
dunia yang belum diregenerasikan (percaya mereka dan mendorong orang tidak percaya
kepada Yesus), maka penekanan APT atas untuk bertobat. Mereka mengenali bahwa
konteks dan mendengar budaya menjadi kru- permasalahan yang sebenarnya bukan berke-
sial. Konteks Indonesia sangat heterogen di naan dengan perihal intelektual semata mela-
dalam segala hal, termasuk agama. Kebe- inkan kebutaan dan pemberontakan rohani.
naran-kebenaran Kristen bersifat rasional
ketika diukur terhadap standar rasionalitas Perspektif Eksistensial
Allah. Namun, standar rasionalitas demikian
yang dibantah oleh kaum pluralis. Kaum plu- Dalam perspektif ini, kaum Injili berusaha
ralis menggantikan kebenaran dengan dusta, untuk mengenal para pemikir Kristen pluralis
menggeser Allah dari tempat yang seharus- sebagai individu-individu. Hal ini dilakukan
nya dan menggantikan diri-Nya dengan ilah- dengan dialog yang berlangsung dua arah dan
ilah yang lain. Tindakan ini merefleksikan lebih banyak saling mendengarkan. Hal ini
struktur pemikiran otonomis yang disebut merupakan wujud dari kasih Allah yang tidak
dialektika rasionalis-irasionalis. Kaum plu- bersyarat. Lalu kaum Injili berbicara dengan
ralis mencoba untuk menjadikan epistemo- cara yang dapat dimengerti oleh masing-
loginya sendiri (empirisme, subjektivisme, masing pihak sesuai dengan permasalahan
dan rasionalisme) sebagai kriteria kebenaran yang dihadapi (case by case). Mengapa kaum
dan menolak wahyu Allah. Pola pikir ini injil perlu berdialog dengan agama-agama
yang disebut rasionalisme. Konsekuensinya, lain? Jawabannya sederhana, yaitu sebab
mereka akan jatuh pada ateisme. Tidak ada Yesus sudah terlebih dahulu melakukannya.
pilihan yang lain atau daerah abu-abu. Jika Jadi, tidak ada alasan bagi kaum Injili untuk
kaum pluralis tidak menyembah Allah yang tidak berdialog dengan agama-agama lain.
dinyatakan di dalam Kitab Suci maka mereka Titik kontak di dalam dialog ini bukan ber-
menyangkal Allah (teoritis) dan hidup seo- ada pada kriteria kebenaran netral yang
lah-olah Allah tidak ada (praktis).64 Di saat tidak mengasumsikan kepercayaan maupun
yang sama, kaum pluralis juga menyangkal ketidakpercayaan melainkan pada beberapa
adanya kebenaran yang mutlak dan final di fakta atau norma yang yang diketahui baik
dalam Yesus Kristus dan Kitab Suci. Hal oleh kaum Injili maupun pluralis. Konkret-
ini yang disebut irasionalisme. Pola pikir ini nya, pengetahuan tentang Allah dari penya-
akan berakhir pada penyembahan berhala taan Allah. Hal ini ditekankan oleh Frame,
(idolatry) di mana kaum pluralis menjadikan yaitu “Our appeal is not to those criteria, but
64
Lihat Frame, Apologetics: A Justification, 198. to that knowledge of God which the unbeliever
76 Apologetika Prasuposisional Triperspektivalisme John M. Frame (Andry Setiawan)

has “deep down,” as Van Til liked to say. The digunakan ini hanya merupakan alat yang
point-of-contact issue, therefore, is a spiritual dapat dipakai oleh Allah untuk membawa
one, one by which we examine our motives, not mereka kepada perubahan hati dan pikiran.
one by which we can quickly assess the intenti-
ons of our fellow apologists.”65 Titik kontak Kesimpulan
ini tidak dimulai dari prasuposisi kaum plura-
lis yang menunjukkan otonomi dan netralitas Pluralisme adalah sebuah pandangan yang
melainkan dari pengetahuan yang diberikan menyatakan bahwa tidak ada yang superior
oleh Tuhan kepada mereka di mana telah atau inferior karena semua sama. Hal ini ber-
ditekan dan diputarbalikkan. laku di dalam segala aspek kehidupan manu-
sia termasuk agama. Konsekuensinya, tidak
Dari penguraian di atas, APT Frame dapat
ada satu agama pun yang berhak untuk meng-
digunakan untuk menjawab tantangan pemi-
klaim dirinya sebagai keyakinan yang paling
kiran Kristen pluralis tentang pluralisme
benar di antara agama-agama lain di dunia
agama di Indonesia. Hal ini dapat dibukti-
termasuk di Indonesia. Para pemikir Kristen
kan dari kemampuan APT untuk tetap setia
pluralis di Indonesia juga memiliki pandangan
kepada otoritas dan keunikan Kitab Suci
demikian. Karena itu, hal ini menjadi tan-
sambil menjelaskan bahwa kekristenan itu
tangan bagi kaum Kristen Injili untuk berapo-
rasional, mampu membela iman Kristen
logetika demi menjelaskan dan memperta-
secara kontekstual dan mampu menjawab
hankan keunikan iman Kristen. Apologetika
keberatan-keberatan yang diajukan oleh para
prasuposisional triperspektivalisme John M.
pemikir Kristen pluralis terhadap kekristenan
Frame mampu menjelaskan, membela, dan
Injili, dan menyingkapkan pemikiran dan hati
menyingkapkan kebenaran Kitab Suci kepada
para pemikir Kristen pluralis tentang kera-
kaum Kristen pluralis secara kontekstual
puhan epistemologi mereka yang pada akhir-
tanpa mengkompromikan-Nya. Hal ini dapat
nya membawa mereka kepada ketidakjelasan
terjadi karena setiap argumentasi apologetika
dan kesalahan. Walaupun demikian, APT
memprasuposisikan kebenaran firman Allah.
dilakukan dengan bersandar kepada perto-
longan Tuhan dan argumen-argumen yang
65
Frame, Apologetics to the Glory of God, 85. Lihat juga
K. Scott Oliphint, The Battle Belongs to the Lord: The Power
of Scripture for Defending Our Faith (Phillipsburg: P&R,
2003), 172. Oliphint menekankan, “Our ‘point of connec-
tion,’ or of persuasion, with the unbeliever is the truth that
God has given to him.”
Veritas, Volume 17, Nomor 1, Juni 2018: 61-80 77

Daftar Kepustakaan
Boa, Kenneth D. dan Robert M. Bowman Jr. Faith Has Its Reasons: Integrative Approaches to
Defending the Christian Faith. Ed. ke-2. Colorado Springs: Paternoster, 2006.
Clendenin, Daniel B. Many Gods, Many Lords: Christianity Encounters World Religions. Grand
Rapids: Baker, 1995.
Darmaputera, Eka. “Menuju Teologi Kontekstual.” Dalam Konteks Berteologi di Indonesia, diedit
oleh Eka Darmaputera, 1-15. Jakarta: Gunung Mulia, 1988.
Davis, William C. “Frame in the Context of Recent Apologetics.” Dalam Speaking the Truth in
Love: The Theology of John M. Frame, diedit oleh John J. Hughes, 489-524. Phillipsburg:
P&R, 2009.
Edgar, William dan K. Scott Oliphint, ed. Christian Apologetics Past and Present: A Primary Source
Reader: From 1500-. Wheaton: Crossway, 2011.
Ferdinandus, Williem. “Trinity and Religious Pluralism: Peran Doktrin Trinitas dalam Pluralitas
Agama.” Amanat Agung 9, no. 2 (Desember 2013): 200-221.
Frame, John M. “Introduksi pada Iman Reformed.” Veritas 8, no. 2 (Oktober 2007): 169-189.
________. “Logic.” Dalam Dictionary for Theological Interpretation of the Bible, diedit oleh Kevin
J. Vanhoozer, 462-464. Grand Rapids: Baker Academic, 2005.
________. “Presuppositional Apologetics.” Dalam Five Views on Apologetics, diedit oleh Steven
B. Cowan, 208-231. Grand Rapids: Zondervan, 2000.
________. “Presuppositional Apologetics.” Dalam New Dictionary of Christian Apologetics, diedit
oleh W.C. Campbell-Jack, Gavin McGrath, dan C. Stephen Evans, 576-579. Leicester: Inter-
Varsity Academic, 2006.
________. “The Spirit and the Scriptures.” Dalam Hermeneutics, Authority, and Canon, diedit
oleh D.A. Carson dan John D. Woodbridge, 213-235. Grand Rapids: Zondervan, 1986.
________. Apologetics to the Glory of God: An Introduction. Phillipsburg: P&R, 1994.
________. Apologetics: A Justification of Christian Belief. Ed. ke-2. Diedit oleh Joseph E. Torres.
Phillipsburg: P&R, 2015.
________. Cornelius Van Til: An Analysis of His Thought. Phillipsburg: P&R, 1995.
________. Perspectives on the Word of God: An Introduction of Christian Ethics. Phillipsburg: P&R,
1990.
________. The Doctrine of God. Phillipsburg: P&R, 2002.
________. The Doctrine of the Christian Life. Phillipsburg: P&R, 2008.
________. The Doctrine of the Knowledge of God. Phillipsburg: P&R, 1987.
________. The Doctrine of the Word of God. Phillipsburg: P&R, 2010.
Givett, dan Timothy R. Phillips. “A Particularist View: An Evidentialist Approach.” Dalam Four
Views on Salvation in a Pluralistic World, diedit oleh Dennis L. Okholm dan Timothy R. Phil-
lips. Grand Rapids: Zondervan, 1996.
78 Apologetika Prasuposisional Triperspektivalisme John M. Frame (Andry Setiawan)

GP, Harianto. “Gagasan Pluralisme Agama: Tinjauan Sejarah dari Indonesia sampai Kini dan
Tawaran Dialog ‘Kebenaran Agaphe.’” Pelita Zaman 16, no. 1 (Mei 2001): 31-57.
Kärkkäinen, Veli-Matti. Trinity and Religious Pluralism: The Doctrine of the Trinity in Christian
Theology of Religions. Aldershot: Ashgate, 2008.
Kaufman, Gordon D. “Religious Diversity, Historical Consciousness, and Christian Theology.”
Dalam The Myth of Christian Uniqueness, diedit oleh John Hick dan Paul F. Knitter, 1-16.
London: SCM, 1988.
Lukito, Daniel L. “Eksklusivisme, Inklusivisme, Pluralisme, dan Dialog Antar-Agama.” Veritas
13, no. 2 (Oktober 2012): 251-279.
Manullang, Sudianto. “Konflik Agama dan Pluralisme Agama di Indonesia.” Te Deum 4, no. 1
(Juli-Desember 2014): 111-129.
Oliphint, K. Scott. The Battle Belongs to the Lord: The Power of Scripture for Defending Our Faith.
Phillipsburg: P&R, 2003.
Rakhmat, Ioanes. Membedah Soteriologi Salib: Sebuah Pergulatan Orang Dalam. Ed ke-2.
Jakarta: Borobudur, 2010.
_________. “Bangunan Agama dan Toleransi.” Dalam Agama dalam Dialog: Pencerahan, Penda-
maian, dan Masa Depan: Punjung Tulis 60 tahun Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, diedit oleh
Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Balitbang PGI, 78-89.
Jakarta: Gunung Mulia, 1999.
_________. “The Freethinker Blog: Album buku-buku saya My books album.” The Freethinker
Blog. August 6, 2012. Diakses 2 Mei 2017. http://ioanesrakhmat.blogspot.co.id/2012/08/
album-buku-buku-saya.html.
Sidjabat, W.B. “Religious Tolerance and the Christian Faith.” Disertasi, Princeton Theological
Seminary, 1960.
_________. Religious Tolerance and the Christian Faith. Jakarta: Gunung Mulia, 1965.
Sumartana, Th. “Beberapa Pemikiran tentang Panggilan dan Tanggung Jawab Gereja terhadap
Lingkungan Masyarakatnya, “ Bina Darma 34, no. 9 (1991): 75-90.
_________. “Beberapa Tema Dialog Antar-Agama Kontemporer.” Dalam Agama dalam Dialog:
Pencerahan, Pendamaian, dan Masa Depan: Punjung Tulis 60 tahun Prof. Dr. Olaf Herbert
Schumann, diedit oleh Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schu-
mann, Balitbang PGI, 110-118. Jakarta: Gunung Mulia, 1999.
________. “Pemikiran Kristen mengenai Pluralisme menuju Upaya Merumuskan Teologi
Agama-agama di Indonesia.” Dalam Pluralisme dan Demokrasi: Kumpulan Karangan Semi-
nar Agama-agama XII/1992, diedit oleh Fridolin Ukur dan Retnowinarti, 32-45. Jakarta:
Balitbang PGI, 1995.
________. “Theologia Religionum.” Dalam Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia:
Theologia Religionum, diedit oleh Tim Balitbang PGI, 21-26. Jakarta: Gunung Mulia, 1999.
Titaley, John A. Religiositas di Alenia Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-
agama. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013.
Veritas, Volume 17, Nomor 1, Juni 2018: 61-80 79

Utomo, Bambang R. Hidup Bersama di Bumi Pancasila: Sebuah Tinjauan Hubungan Islam dan
Kristen di Indonesia. Malang: Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993.
Vanhoozer, Kevin J. First Theology: God, Scripture and Hermeneutics. Downers Grove: InterVar-
sity Academic, 2002.
Wim, Chandra. “The Cronicles of Evangelicalism: Sebuah Pengantar Historis terhadap Gerakan
Evangelikal.” Veritas 12, no. 2 (Oktober 2011): 185-207.

Anda mungkin juga menyukai