Anda di halaman 1dari 16

Meneropong Makna Penderitaan Manusia

Menurut Konsep Teodise C. S. Lewis


Esther Gunawan*

*Rohaniwan Gereja Kristen Kalam Kudus, Jl. Semeru No. 30, Malang, Jawa Timur.
Email: esthergunawan90@gmail.com

Abstrak: Ketika berhadapan dengan fenomena penderitaan manusia, kecenderungan yang dila-
kukan oleh kaum injili adalah meneropong penderitaan manusia tersebut berdasarkan kacamata
kedaulatan dan providensia Allah yang tidak terelakkan atas diri manusia. Sikap pasrah berka-
itan dengan kedaulatan Allah yang mutlak tersebut, tanpa disadari sebenarnya telah memuncul-
kan konsep “fatalisme praktis.” Akibatnya, relasi erat antara hukum alam dan tanggung jawab
manusia pada akhirnya menjadi hal yang terabaikan. Studi tentang konsep teodise C.S. Lewis ini
diharapkan mampu memberikan paradigma baru bagi kaum injili di Indonesia dalam meman-
dang masalah penderitaan manusia. Paradigma baru tersebut adalah cara pandang yang aktif
dan positif terhadap peran hukum-hukum alam sebagai wahyu umum di balik fenomena pen-
deritaan tersebut. Konteks natural kehidupan manusia dengan hukum-hukum alam yang tetap
dan beraturan diharapkan dapat menjadi “kunci” untuk membuka “pintu rahasia” fenomena
penderitaan manusia.
Kata-kata kunci: Clive S. Lewis, Teodise, Masalah Penderitaan, Hukum Alam, Wahyu Umum

Abstract: When faced with the phenomena of human suffering the default of the evangelical community
is to examine human suffering through the lens of God’s sovereignty and providence which are inev­
itable forces faced by human beings.  An attitude of fate, which arises as a direct response to God’s
absolute sovereignty, actually leads to a concept of practical fatalism. The close relationship between
natural law and human responsibility is ultimately neglected.  It is hoped that a study of C. S. Lewis’
concept of theodicy can provide a new paradigm for the Indonesian evangelical community as it per­
tains to the problem of human suffering.  This new paradigm proffers an active and positive estima­
tion of the role of natural law as general revelation underlying the phenomena of suffering by positing
the idea about the natural context of human life and the idea of fixed and uniform natural laws as a
key to understanding the phenomena of human suffering.
Keywords: Clive S. Lewis, Theodicy, The Problem of Suffering, Natural Law, Common Revelation

17
18 Meneropong Makna Penderitaan Manusia Menurut Konsep Teodise C. S. Lewis (Esther Gunawan)

Pengantar penderitaan manusia. Penulis berharap, arti-


kel ini dapat menolong para pembaca untuk
Teodise adalah suatu bentuk apologetika menarik sumbangsih yang berguna dalam
kepada Allah untuk membenarkan kebera- memandang masalah yang bersinggungan
daan-Nya yang Mahabaik dan Mahaadil atas sangat dalam dengan pergumulan manusia
masalah kejahatan yang ada dalam dunia sepanjang abad tersebut.
ini, bahwa Ia tidak dapat dipersalahkan atas
keberadaan kejahatan tersebut. Teodise mem- Dari sekian banyak apologet yang menulis
buktikan bahwa ada jawaban logis berdasarkan secara khusus tentang the Achilles’ heel bagi
firman Tuhan bagi pergumulan manusia terha- wawasan dunia teistik tersebut, konsep teo-
dap masalah kejahatan. Michael L. Peterson dise Lewis menarik untuk disimak. Ia mena-
dengan jelas mendefinisikan teodise sebagai: ruh fondasi teodisenya pada teodise Agus-
tinian yang menempatkan kehendak bebas
a positive reason or reasons to justify God’s sebagai penyebab kejahatan manusia dan
permission of horrendous evils. The enter­ memandang Allah berkuasa melakukan apa
prise of constructive theodicy assumes that pun atas ciptaan-Nya sejauh itu tidak berten-
we can have a measure of insight to God’s tangan (konsisten) dengan natur-Nya sendiri.
ways, including into the sorts of goods for the Ia memberikan pernyataan awal secara sing-
sake of which evils are permitted.1 kat dalam buku teodisenya dengan mengemu-
Harus diakui, posisi kaum injili dalam meman- kakan sebuah silogisme umum: “If God were
dang masalah penderitaan manusia berpegang good, He would wish to make His creatures per­
erat pada konsep reformed tentang kesempur- fectly happy, and if God were almighty He would
naan kedaulatan dan predestinasi Allah, di be able to do what He wished. But the crea­
mana segala pertanyaan yang tidak terjawab tures are not happy. Therefore, God lacks either
tentang fenomena penderitaan manusia ter- goodness, or power, or both.”4 Dari penyataan
jawabkan (cukup terpuaskan) dengan konsep tersebut, ia mengangkat ide tentang konteks
kehendak-Nya yang tersembunyi.2 Dengan natural kehidupan manusia dengan hukum-
tidak bermaksud menyingkirkan hal terse- hukum alam yang tetap dan beraturan seba-
but, penulis melihat konsep teodise Clive S. gai “kunci” untuk membuka “pintu rahasia”
Lewis3 mampu memberikan paradigma baru fenomena penderitaan.
bagi kaum injili dalam memandang masalah
Nilai-nilai yang Objektif Berdasarkan Wahyu
Michael L. Peterson, “C. S. Lewis on the Necessity
1 Umum
of Gratuitous Evil,” dalam C. S. Lewis as Philosopher, ed.
David J. Bagget, Gary R. Habermas, dan Jerry L. Walls Lewis sangat mendukung nilai-nilai yang
(Downer Grove: InterVarsity, 2008), 180. Dalam artikel objektif berdasarkan wahyu umum. George
ini, penulis akan secara spesifik mengartikulasikan “masa- Sayer mengatakan: “It is generally seen as his
lah kejahatan” dengan menggunakan istilah “penderitaan
manusia.” [Lewis] most important phamplet and the best
existing defense of objective value and natural
Konsep ini didasarkan pada Ul. 29:29 dan berakar
2

dari konsep Calvin tentang “hidden will of God” atau law.”5 Bahkan, Lewis mengatakan bahwa
“Deus Absconditus,” di mana Allah menetapkan manusia mereka yang berada di luar dari hukum alam
memiliki keterbatasan untuk mengenali eksistensi dan tidak memiliki dasar untuk mengritik baik
kehendak-Nya secara ontologis dan bahwa Allah dengan
kehendak-Nya sendiri menetapkan batas bagi penyataan
hukum alam atau apa pun.6 Hukum alam
diri-Nya terhadap manusia. adalah fondasi bagi pemahaman tentang diri
3
Lih. Clive S. Lewis, The Problem of Pain (New York: 4
Ibid., 26.
Macmillan, 1968). Buku ini adalah buku apologetika Lewis
yang pertama, yang dibacakan bab demi bab di hadapan George Sayer, Jack: C. S. Lewis and His Times
5

The Inklings, kelompok diskusi informal sastrawan Uni- (New York: Harper & Row, 1988), 183.
versitas Oxford, Inggris, selama hampir dua dekade antara
tahun 1930 dan 1949 yang berkumpul setiap minggu sekali.
6
Clive S. Lewis, “Abolition of Man,” dalam C. S.
Termasuk di dalamnya adalah Charles Williams dan J. R. Lewis: The Complete C. S. Lewis Signature Classics,
R. Tolkien. ed. Joseph Rutt (San Francisco: Harper, 2002), 481.
Veritas, Volume 16, Nomor 1, Juni 2017: 15-32 19

sendiri dan juga dunia di mana manusia ting- Konsep Lewis tentang kejahatan tersebut
gal: senada dengan konsep kejahatan Agusti-
nus dan Thomas Aquinas, di mana di dalam
naturnya, kejahatan bertentangan dengan
Hal-hal ini, menjadi dua hal yang ingin saya
esensi dari kebaikan dan tidak memiliki eksis-
tegaskan. Pertama, bahwa umat manusia,
tensi pada dirinya sendiri.10 Kejahatan ada-
di seluruh muka bumi, memiliki gagasan
lah ketiadaan, kekurangan ataupun korupsi
yang khas bahwa mereka harus berperilaku
dari kebaikan. Kejahatan bukan merupakan
dengan cara tertentu, dan tidak bisa benar-
sebuah keberadaan, tetapi sebuah penyim-
benar melepaskan diri darinya. Kedua,
pangan atau kerusakan dari sesuatu yang baik.
bahwa mereka pada kenyataannya tidak
Pemahaman Lewis tentang kejahatan sebagai
berperilaku seperti itu. Mereka menge-
suatu korupsi dari kebaikan bukan berarti
nal Hukum Alam; mereka melanggarnya.
kejahatan itu hanya sekadar ilusi manusia
Kedua fakta ini adalah fondasi dari semua
belaka, namun juga sebagai kebaikan yang
pemikiran yang jelas tentang diri kita dan
terdistorsi sehingga berbuahkan penderitaan.
alam semesta yang kita huni.7
Konsep kejahatannya tersebut dijelaskan
Sebelum masuk kepada inti konsep teodise oleh Corey Beals demikian: “Evil is still experi­
Lewis, pemahaman yang komprehensif ten- enced as presence, since there is something good
tang konsepnya mengenai kejahatan perlu (which has substance) that is distorted . . . saying
dipahami terlebih dahulu. that evil is distorted goodness doesn’t deny that
evil has consequences that are often solid, con­
Kejahatan adalah Korupsi dari Kebaikan crete, and felt with great intensity of pain and
suffering.”11 Penyataan Beals tentang konsep
Lewis memandang kejahatan bukan hanya kejahatan Lewis ini senada dengan penyataan
sekadar perasaan atau respons emosional Clyde S. Kilby, bahwa ketika kebaikan itu ter-
tentang hal-hal yang tidak menyenangkan.8 distorsi atau mengalami korupsi maka yang
Sebagaimana pemahaman doktrin ortodoks, terjadi adalah kejahatan:
ia juga melihat natur kejahatan sebagai suatu
ketiadaan, korupsi dari kebaikan, suatu para- Like most theologians, he [Lewis] regards
sit dalam kebaikan. Baginya: evil not as a thing-itself but rather the absence
of good. There can be no such thing as “per­
fect badness” because when you take away
In human terms, you put it as though God is from badness such good elements as intelli­
in his cosmic laboratory concocting evil with gence, will, memory, energy, and even exis­
test tubes and bubbling breaker. The ques­ tence there will be nothing else.12
tion must first be addressed regarding the
nature of evil. Is it a thing that exists on its
own? In my view it is a privation-something 10
Norman L. Geisler menyimpulkan pemahaman
that is missing. Evil needs goodness to exist, Agustinus atas kejahatan sebagai “ontological parasite”
to spoil, but good exists on its own. Evil can (dalam Philosophy of Religion [Grand Rapids: Zondervan,
1982], 338). Senada dengan Geisler, R. Douglas Geivett
only live as a parasite upon the good.9 mengatakan bahwa bagi Agustinus: “Evil is parasite on
being; it is not a substance as such. Rather, it is a privation
in a substance” (dalam Evil and the Evidence for God [Phi-
ladelphia: Temple University Press, 1993], 15). Lihat juga
7
Clive S. Lewis, Mere Christianity, terj. Grace P. Chris- Velarde, Conversations with C. S. Lewis, 54-55; Eugene
tian (Bandung: Pioner Jaya, 2006), 31; lihat juga 45, 46. TeSelle, Augustine the Theologian (Oregon: Wipf & Stock,
2002), 144.
8
Art Lindsey, “The Problem of Evil: C. S. Lewis Speaks
to Life’s Most Difficult Questions,” 1, diakses 8 Mei 2013, Corey Beals, “Evil: The Presence of Absence,” dalam
11

http://www.cslewisinstitute.org/webfm_send/636. Good and Evil: Quaker Perspectives, ed. Jackie L. Scully


dan Pink Dandelion (Hampshire: Ashgate, 2007), 146.
9
Robert Velarde, Conversations with C. S. Lewis: Ima­
ginative Discussions about Life, Christianity and God (Dow- 12
Clyde S. Kilby, The Christian World of C. S. Lewis
ners Grove: InterVarsity, 2008), 54-55. (Grand Rapids: Eerd­mans, 1964), 43.
20 Meneropong Makna Penderitaan Manusia Menurut Konsep Teodise C. S. Lewis (Esther Gunawan)

Pembelaan terhadap Allah sisten) dengan natur-Nya itu sendiri. Natur


Allah melekat pada karakter-Nya dan Ia tidak
Lewis percaya bahwa penjelasan filosofis ter- dapat mencabut ketetapan atau hukum yang
hadap penderitaan dapat dilakukan. Guna telah dibuat atau kontradiktif dengan diri-
menjawab argumen-argumen antiteisme, ia Nya sendiri. Misalnya, Ia tidak mungkin pada
mengangkat pembahasan tentang kemahaku- saat yang bersamaan menjadi benar dan tidak
asaan dan kebaikan Allah untuk menunjukkan benar (hukum nonkontradiksi). Lewis mene-
bahwa keberadaan-Nya tersebut konsisten gaskannya dengan mengatakan: “You may
dengan fenomena penderitaan.13 Pembe- attribute miracles to Him, but not nonsense.”16
laan terhadap Allah tersebut dapat dikatakan Menurut Lewis, kemahakuasaan berarti
sebagai fondasi bagi konsep teodisenya yang kuasa untuk melakukan segala sesuatu yang
menekankan kehendak bebas manusia. mungkin secara intrinsik, bukan untuk mela-
kukan yang tidak mungkin secara intrinsik.17
Allah adalah Allah yang Mahakuasa
Lewis percaya bahwa menciptakan dunia
Lewis mengakui bahwa Allah adalah Allah yang bebas dari kehendak bebas dengan
yang Mahakuasa dan sempurna. Dalam jaminan tanpa penderitaan adalah sesuatu
pe­ng­­­akuannya, ia berargumen bahwa ketika yang bersifat tidak mungkin secara intrinsik
mengaplikasikan kata “kemahakuasaan” sehingga pada akhirnya Allah tidak memiliki
pada Allah dalam relasi dengan hukum alam pilihan lain selain membuka kemungkinan
yang Allah ciptakan, makna kata tersebut akan hadirnya penderitaan. Allah mungkin
tidak sama dengan yang dimiliki kebanyakan saja mampu memperbaiki efek dari penya-
orang atau dalam makna populer. Kemaha- lahgunaan kehendak bebas melalui mukji-
kuasaan Allah bukan berarti Allah sanggup zat, namun Lewis menegaskan bahwa secara
melakukan segala sesuatu. Kemahakuasaan efektif, mukjizat tersebut malah akan mem-
Allah tersebut dibatasi oleh hal-hal yang batalkan kehendak bebas. Atau dengan kata
secara intrinsik bersifat mustahil untuk Allah lain, Allah bertindak dalam dunia ini dibatasi
lakukan: “not even Omnipotence can do what oleh hukum-hukum alam yang Allah sendiri
is self-contradictory,”14 dan bahwa: “power to telah tetapkan sehingga Allah tidak mungkin
do all that is intrinsically possible, not to do membatalkan kehendak bebas yang Ia sudah
the intrinsically impossible. You may attribute berikan kepada manusia.18 Jika tidak ada
miracles to Him, but not nonsense. This is no kehendak bebas, semua manusia akan memi-
limit to His power.”15 Dengan kata lain, Allah lih untuk melakukan kebaikan karena tidak
berkuasa melakukan apa pun atas makhluk ada godaan bagi manusia untuk melakukan
ciptaan sejauh itu tidak bertentangan (kon- kejahatan. Namun, Lewis tidak mengklaim
13
Lih. Jeff McInnis, Shadows and Chivalry: C. S. Lewis
bahwa dirinya, ataupun orang lain, mengeta-
and George MacDonald on Suffering, Evil and Goodness hui apa yang Allah bisa lakukan dan apa yang
(Milton Keynes: Paternoster, 2007), 54. tidak bisa Dia lakukan.19 Kemampuan manu-
Clive S. Lewis, “Miracles,” dalam C. S. Lewis: The
14 sia dalam memilih melalui kehendak bebas-
Complete C. S. Lewis Signature Classics, ed. Joseph Rutt nya yang bersifat relatif independen pada
(San Francisco: Harper, 2002), 241.
akhirnya berpotensi memunculkan kebaikan,
15
Lewis, The Problem of Pain, 28. Pemahaman Lewis begitu pula dengan kejahatan, sehingga keja-
tentang ketidakmungkinan secara intrinsik sama dengan
apa yang dipahami oleh para filsuf lain dengan istilah
hatan bagaikan buah atau hasil dari penya-
tidak mungkin secara logika. Untuk membedakan mana
tindakan-tindakan yang bersifat mungkin secara logika 16
Ibid.
dan mana tindakan-tindakan yang bersifat tidak mungkin
secara logika, harus dinyatakan dengan ide saling kon- 17
McInnis, Shadows and Chivalry, 55.
tradiktif. Suatu tindakan yang bersifat saling kontradiktif 18
Lewis, The Problem of Pain, 33. Untuk lebih mema-
adalah tindakan yang bersifat tidak mungkin secara logika
hami bagaimana sebenarnya konsep Lewis tentang mukji-
sedangkan tindakan-tindakan yang tidak bersifat saling
zat, lihat “Miracle,” 217-223.
kontradiktif adalah tindakan yang bersifat mungkin secara
logika. 19
Lewis, The Problem of Pain, 35.
Veritas, Volume 16, Nomor 1, Juni 2017: 15-32 21

lahgunaan kehendak bebas.20 Tentang hal ini Allah.24 Selain penolakan Lewis terhadap
Lewis menekankan: “Perhaps this is not the konsep Calvinisme tentang kerusakan total
‘best of all possible’ universe, but the only pos­ manusia, ia juga menegaskan alasan lain
sible one.”21 yang membuat pemahaman manusia tentang
kebaikan Allah pada akhirnya membutuh-
Sebagai kesimpulan, apa yang dimaksud kan suatu koreksi karena manusia memiliki
Lewis dengan kemahakuasaan adalah kuasa “kesadaran asali tentang dosa.” Pengertian
untuk melakukan segala sesuatu yang mung- ini membuat seorang manusia tidak mung-
kin secara intrinsik, bahwa Allah berkuasa kin mengatakan bahwa dirinya lebih baik dari
melakukan segala sesuatu sejauh itu tidak orang lain karena keberadaan mereka yang
bertentangan (konsisten) dengan natur Allah berdosa di hadapan Allah. Baginya, penger-
itu sendiri. Allah tidak bertanggung jawab tian lama manusia tentang dosa adalah keber-
atas penderitaan, namun melalui keberadaan adaan atau hakikat manusia yang berdosa
penderitaan, Allah tengah mengerjakan keba- dan tidak berkenan di hadapan Allah. Berita
ikan yang lebih besar bagi manusia berdasar- keselamatan dari Allah tidak bisa dipahami
kan hasil dari kehendak bebas yang manusia oleh manusia kecuali manusia bersedia untuk
miliki tersebut. Root dengan tepat menyim- mengakui dosa-dosanya.25
pulkan apa yang Lewis maksudkan tentang
konsep ini: Reppert menganalisis bahwa apa yang diker-
jakan Lewis adalah mengeksplorasi kondisi
because God is good and all-powerful, will­ manusia yang sangat membutuhkan koreksi
ing to create creatures with the capacity for dengan cara memulihkan apa yang Lewis
relationships, He has willed for conditions to sebut sebagai kesadaran asali tentang dosa.
exist where evil is possibility. In His wisdom, Ia mencoba meruntuhkan berbagai argumen
He chose these conditions under which the bahwa manusia tidaklah sejahat yang diperki-
universe operates, and He anticipated evil rakan:
arise under these conditions. God is not
responsible for evil, as if He acted in an evil Lewis then explores the human condition,
manner Himself, though He can be seen to arguing that the way in which humans behave
be responsible for it in that He created the is in profound need of correction, attempting
conditions from which it would arise. . . . He to recover what he calls “the old sense of sin.”
would accomplish a greater good through it.22 Here he attempts to undermine a wide range
of arguments people make for the claim that
Allah adalah Allah yang Mahabaik they are not such bad people after all.26
Konsep Lewis tentang kebaikan Allah berang- Eric W. Rodgers menyebut konsep Lewis
kat dari tiga hal yakni: (a) penolakannya atas tentang efek dosa pada diri manusia atau
ide Calvinisme tentang kerusakan total manu- kesadaran asali tentang dosa sebagai keti-
sia yang berpandangan bahwa manusia tidak dakmampuan untuk melihat, mengerti, atau
lagi mampu memahami kebaikan Allah;23 (b) mengetahui kebenaran.27 Bagi Lewis, dosa
kesadaran asali tentang dosa; dan (c) ketidak-
mengertian manusia tentang makna kebaikan 24
Lewis, The Problem of Pain, 37-38; lih. juga Peter Kre-
eft, “Lewis’s Philosophy of Truth, Goodness and Beauty,”
dalam C. S. Lewis as Philosophers, 27.
25
Lewis, The Problem of Pain, 57; lih. juga Victor Rep-
pert, “The Ecumenical Apologist: Understanding C. S.
20
Jerry Root, C. S. Lewis and the Problem of Evil (Ore-
Lewis’s Defense of Christianity,” dalam C. S. Lewis: Apo­
gon: Pickwick, 2009), 66.
logist, Philosopher, and Theologian, ed. Bruce L. Edwards
21
Lewis, The Problem of Pain, 32. (Westport: Greenwood, 2007), 3:19-20.
22
Root, C. S. Lewis and the Problem of Evil, 67. 26
Reppert, “The Ecumenical Apologist,” 19.
23
Lih. Will Vaus, Mere Theology: A Guide to the Thought 27
Eric W. Rodgers, “Lewis on Sin,” diakses 7 April 2013,
of C. S. Lewis (Downer Grove: InterVarsity, 2004), 50. http://www.scribd.com/doc/8632774/Lewis-on-Sin.
22 Meneropong Makna Penderitaan Manusia Menurut Konsep Teodise C. S. Lewis (Esther Gunawan)

bagaikan topeng di mana manusia menik- bedaan pemahaman Allah dengan manusia
mati keberdosaan mereka sehingga tidak tentang makna kebaikan tidaklah bersifat
menyadari bahwa mereka dalam kondisi kontradiktif, namun lebih bersifat diturun-
berdosa. Dosa bersifat memecah-belah dan kan atau derivatif. Manusia bisa memahami
efeknya bagaikan kutukan neraka bagi manu- kebaikan Allah, namun tidak bersifat utuh
sia.28 Rodgers juga mengatakan bahwa Lewis dan komprehensif.31
sangat menekankan pengetahuan tentang
dosa, mengingat dampak yang diakibatkan Lebih lanjut, Lewis menekankan bahwa
oleh dosa tersebut, sehingga manusia dapat untuk memahami implikasi secara utuh ten-
menyadari keberdosaannya dan bertobat di tang kebaikan Allah, juga diperlukan pema-
bawah salib Kristus: haman makna kata “kasih” yang berbeda
dengan kebaikan. Kasih memiliki makna
for Lewis, knowledge of sin is imperative yang lebih dalam dari sekadar kebaikan hati.32
before repentance can take place. For Lewis, Kesadaran tentang perbedaan antara kasih
this was the center of repentance, and repen­ dan kebaikan, serta pengakuan tentang apa
tance was the basis of conversion. Sin holds artinya menjadi objek kasih Allah akan mem-
sway over our lives, damning, dividing, and buat manusia lebih mudah untuk memahami
making us unaware of the extent to which mengapa kasih tidak bertentangan dengan
we are ruined. Left alone, we would be lost penderitaan. Karena Allah mengasihi manu-
forever to our own self-will and pride. But sia, Ia tidak akan beristirahat sampai Ia meli-
because of Christ’s work on the cross, we are hat manusia sepenuhnya dicintai.
forgiven.29
Lewis berargumen bahwa di dalam keagungan
Berdasarkan penolakan kerusakan total kasih Allah, Dia ingin memberi sebuah jenis
manusia serta kesadaran asali tentang dosa, kebahagiaan yang bersifat kekal kepada
Lewis mencoba untuk berhadapan dengan manusia yakni kebahagiaan hidup dalam
premis pertama yakni: jika Allah itu baik, Ia persekutuan dengan diri-Nya sendiri. Oleh
semestinya membuat semua makhluk cip- karena itu, Dia tidak dapat dipuaskan hanya
taan menikmati kebahagiaan yang sempurna. dengan kepuasan ciptaan yang tidak memper-
Tetapi karena kehendak bebasnya, manusia dalam hubungan ciptaan dengan-Nya. Dia
tidak selalu memilih yang benar. Demikian adalah kasih pada natur-Nya dan apa yang Ia
pula, karena kesadaran tentang dosanya, kerjakan atas diri manusia lebih dari sekadar
manusia tidak selalu memilih yang baik. Itu- menunjukkan kebaikan hati. Lewis berkata:
lah sebabnya, ide besarnya tentang kebaikan “He has never regarded us with contempt. He
Allah tersebut pada akhirnya mensyaratkan has paid us the intolerable compliment of loving
hadirnya penderitaan. Sama seperti pema- us, in the deepest, most tragic, most memorable
haman tentang kemahakuasaan Allah, ia sense.”33
juga menyoroti pemahaman manusia yang
tidak sempurna akan makna kebaikan-Nya. Karena Allah adalah kasih, Allah meng­
Ia menegaskan bahwa apa yang kita maksud izinkan penderitaan berguna untuk membuat
dengan baik, yang mengacu pada-Nya, harus
sepadan dengan apa yang dimaksud dengan as our evil. Herein lies, I believe, a solution to the problem
of evil” (“C. S. Lewis and the Problem of Evil,” Christian
baik bagi ciptaan.30 Namun menurutnya, per- Scholar’s Review 17, no. 1 [1987]: 43).
28
Ibid. 31
Lewis, The Problem of Pain, 39.
29
Ibid. 32
Ibid., 40. Talbott mengatakan bahwa dengan membe-
dakan kebaikan dengan kasih sebenarnya: “Lewis identifies
Lewis, The Problem of Pain, 37. Thomas Talbott meli-
30
divine goodness with something other than perfect love and
hat perbedaan konsep Allah dan manusia tentang keba-
divine love with something other than desire for true human
ikan yang dikemukakan oleh Lewis adalah suatu solusi
happiness. But nothing could be farther from the truth” (“C.
bagi masalah kejahatan: “God’s judgment must differ from
S. Lewis and the Problem of Evil,” 45).
us because he is wiser than we are; on the other, as indicated
in the previous quotation, God’s good cannot be the same 33
Lewis, The Problem of Pain, 41.
Veritas, Volume 16, Nomor 1, Juni 2017: 15-32 23

makhluk ciptaan pada akhirnya menjadi lebih bebas manusia sebagai kemampuan untuk
baik: “His love must, in the nature of things, merespons Allah, dalam rangka untuk men-
be impeded and repelled by certain stains in jadi lebih baik atau lebih buruk.37 Kebebasan
our present character, and because He already yang Allah anugerahkan kepada manusia ada-
loves us He must labour to make us lovable.”34 lah kebebasan yang sejati dan tidak bersifat
Allah menginginkan manusia mendapatkan kompatibilistik, sebagaimana pernyataannya:
kebahagiaan sejati, bukan seperti apa yang “the freedom of a creature must mean freedom
dipikirkan oleh manusia, bahwa ia mengeta- to choose; and choice implies the existence of
hui dengan jelas apa yang bisa membuatnya things to choose between.”38 Kejatuhan bukan
bahagia tetapi Allah sebenarnya di dalam ditetapkan oleh Allah melainkan karena
kasih-Nya memiliki rencana yang lebih indah. kehendak bebas manusia itu sendiri. Kehen-
Allah seperti orangtua yang kadangkala harus dak bebas tersebut adalah kebebasan untuk
berkata “tidak” bagi anaknya namun sang memilih yang benar dan yang salah, baik
anak tidak mampu memahami alasan di balik- internal maupun eksternal tanpa dibatasi oleh
nya. Manusia harus menyelami makna keba- apa pun, termasuk kemahakuasaan Allah.
hagian yang sejati menurut paradigma Allah, Konsep Lewis ini dengan jelas ia kemukakan
termasuk melalui penderitaan: “What we sebagai berikut:
would here and now call our ‘happiness’ is not
the end God chiefly has in view: but when we Allah menciptakan hal-hal yang memiliki
are such as He can love without impediment, we kehendak bebas. Itu berarti makhluk-
shall in fact be happy.”35 Sebagai kesimpulan, makhluk bisa entah menjadi salah atau
bagi Lewis, karena kasih telah menjadi bagian benar. Sebagian orang berpikir mereka
dari natur Allah, Ia mengizinkan penderi- bisa membayangkan suatu makhluk yang
taan itu dialami oleh manusia agar manusia bebas tetapi yang tidak memiliki kemung-
mengalami kebaikan-Nya. Dengan kata lain, kinan untuk berbuat kesalahan; saya tidak.
penderitaan ada dalam rangka Allah membe- Jika sesuatu itu bebas untuk menjadi baik,
rikan kebaikan yang lebih besar bagi manusia. sesuatu itu juga bebas untuk menjadi jahat.
Baginya, kebaikan-Nya mensyaratkan hadir- Dan kehendak bebas adalah sesuatu yang
nya penderitaan. telah membuat kejahatan itu mungkin.39
Kehendak bebas ini yang kemudian memung-
Kehendak Bebas Mensyaratkan Konteks kinkan hadirnya kejahatan sebab Allah yang
Natural Kehidupan Manusia dengan Hukum- Mahakuasa dan Mahabaik rela membatasi
Hukum Alam yang Tetap dan Beraturan diri-Nya atau tidak campur tangan secara
Dalam bagian ini penulis akan membahas inti penuh pada diri manusia sehingga ia mampu
dari konsep teodise Lewis yang memandang menikmati kebebasannya.40 Pada bagian
bahwa kehendak bebas mensyaratkan suatu kan: “Thus, and not otherwise, the world was made. Eit­
penetapan Allah atas hukum-hukum alam her something or nothing must depend on individual choi­
ces” (ibid. 175); lih. juga Clive S. Lewis, Screwtape Letters,
yang tetap dan beraturan. Lewis memahami terj. Trivina (Bandung: Pionir Jaya, 2009), 43; bdk. Lewis,
konsep kehendak bebasnya dalam konteks “Miracle,” 277; Clive S. Lewis, “The Great Divorce,”
libertarian.36 Lewis memandang kehendak dalam C. S. Lewis: The Complete C. S. Lewis Signature
Classics, ed. Joseph Rutt (San Francisco: Harper, 2002),
Ibid., 48.
34 340 dan Clive S. Lewis, Studies in Words (Cambridge:
Cambridge University Press, 1990), 187.
Ibid.
35
37
Will Vaus, Mere Theology, 49.
36
Penjelasan diri Lewis sebagai libertarian, dinya-
takannya dalam The Problem of Pain, 24-25; hal ini juga 38
Lewis, The Problem of Pain, 29.
ditekankan oleh Reppert, “The Ecumenical Apologist,” 39
Lewis, Mere Christianity, 81.
3. Konsep Lewis tentang kehendak bebas libertarian-
nya juga dipaparkan dalam buku-buku fiksi selain buku- 40
Ibid., 81-82. Gerard Reed dalam C. S. Lewis and the
buku apologetikanya. Di antaranya adalah dalam volume Bright Shadow of Holiness, terj. Efie Shofia Sompie (Batam:
kedua karya trilogi ruang angkasanya, Parelandra (New Gospel, 2003), 67, menegaskan bahwa konsep: “isu kehen-
York: Macmillan, 1986). Dengan tegas Lewis mengata- dak bebas ini cukup memberinya [Lewis] alasan untuk
24 Meneropong Makna Penderitaan Manusia Menurut Konsep Teodise C. S. Lewis (Esther Gunawan)

penutup Mere Christianity Lewis mengatakan: He is the C. S. Lewis who is not, in the end,
“Carilah diri Anda, dan pada akhirnya Anda interested in reconciling human free will and
hanya akan menemukan kebencian, kesendi- God’s sovereignty along logical-causal lines.
rian, keputusasaan, murka, kehancuran, dan He is the C. S. Lewis who is sure in his own
kerusakan. Tetapi carilah Kristus dan Anda case that his decision for Christ was not all
akan mendapatkan Dia, dan segala hal lain that important. What is important is that he
akan didapatkan kembali.”41 Oleh karena was “decided upon.” God’s decision made
itu, setelah kematian, Allah akan memberi- all the difference in C. S. Lewis’s life, as it
kan apa yang manusia inginkan, bahkan jika has in many other lives before and since.44
itu adalah hidup tanpa Dia untuk selamanya.
Art Lindsey dengan tepat menyimpulkan apa Dengan kata lain, Lewis konsekuen dengan
yang Lewis maksud dengan kehendak bebas pandangan libertariannya, namun ia tetap
libertian dalam relasinya dengan kejahatan, mengakui kedaulatan Allah walau tanpa
bahwa ia melihat dunia dengan kehendak usaha mengorelasikannya dengan kehendak
bebas dan kejahatan di dalamnya adalah bebas, sehingga ia tetap pada asumsi awalnya
dunia yang terbaik yang Allah dapat ciptakan: bahwa manusia mampu datang kepada Kris-
tus bagi keselamatan.
God did not create evil but He did create
within human beings the capacity to choose Berdasarkan paparan di atas, jelas tampak
evil. While that capacity to choose evil is not Lewis melakukan respons terhadap isu Allah
evil itself, it nevertheless provides the possibi­ dan kejahatan berlandaskan teodise kehen-
lity for evil to be chosen. God could have cre­ dak bebas,45 di mana ide mengenai “makh-
ated a world in which evil choices could not luk ciptaan yang rasional dengan kehendak
be made, but it is possible, as many believers bebasnya” memainkan suatu peranan yang
have argued, that such a world would not be begitu menonjol di dalamnya. Bagi Lewis,
the best world.42 Allah tidak mendeterminasikan kejatuhan
manusia, sebaliknya, kehendak Allah sejalan
Dari penguraian konsep kehendak libertarian dengan hukum alam atau pemahaman ten-
Lewis di atas, muncul pertanyaan, apakah ia tang yang benar dan salah secara intrinsik.
menolak kedaulatan Allah? Apakah ia meng-
abaikan banyak catatan Alkitab tentang pro- Konteks Natural Kehidupan Manusia
vidensia Allah? Mengenai hal ini, Will Vaus dengan Hukum-hukum Alam yang Tetap dan
menjelaskan bahwa Lewis tampaknya tidak Ber­aturan
tertarik mengungkapkan konsepnya tentang
kedaulatan Allah dalam relasi dengan kehen- Bagi Lewis, masalah kejahatan memiliki
dak bebas dalam hubungan sebab akibat peran penting bagi teisme sebab selain ber-
(sebagaimana dikerjakan oleh kompatibilis), fungsi sebagai argumen bagi eksistensi Allah,
namun bukan berarti ia menolak kedaulatan masalah kejahatan juga mampu menjadi
Allah.43 Vaus mengatakan: petunjuk bagi realitas natur ciptaan. Pada
waktu Ia menciptakan manusia dengan kebe-
basan yang sejati, hal tersebut mensyaratkan
tersedianya suatu konteks natural kehidupan
menetapkan pijakan kakinya, dan dengan jelas dia berpi-
jak pada penganut paham kehendak bebas. Dia tidak bisa 44
Ibid., 61
memahami kalau Allah yang penuh kasih itu ingin ‘robot’ 45
Teodise kehendak bebas adalah konsep umum yang
dan bukan anak-anak, dan dia yakin tidak bisa membentuk
dipegang oleh banyak filsuf. Teodise ini mengatakan
suatu rumus etika yang menghapus tanggung jawab manu-
bahwa kejahatan terjadi karena pilihan-pilihan bebas dari
sia dari rumusannya.”
makhluk rasional. Allah tidak menyebabkan, mengontrol
41
Lewis, Mere Christianity, 307-308. apalagi menetapkan apa yang akan terjadi pada makhluk
rasional tersebut, sehingga Allah tidak dapat dipersalah-
42
Lewis, “The Problem of Evil.”
kan atas keberadaan kejahatan (lih. Art Lindsley, C. S.
43
Lihat pembahasan Vaus tentang penerimaan Lewis Lewis Case for Christ Insight from Reason, Imagination and
pada kedaulatan Allah dalam Mere Theology, 49-61. Faith [Downers Grove: InterVarsity, 2005], 55).
Veritas, Volume 16, Nomor 1, Juni 2017: 15-32 25

manusia.46 Di sini, Lewis melihat suatu relasi sekaligus penderitaan, sebagaimana penje-
antara konteks natural kehidupan manu- lasan McInnis bahwa Lewis:
sia tersebut dengan kesadaran diri tentang
kehadiran Allah dan sesama manusia di luar admits that this fixed state of nature is a
dirinya, di mana: “A creature with no environ­ double-edged sword. The same independent
ment would have no choices to make: so that nature that allows for the performance of
freedom, like self consciousness (if they are not, good acts also allows for the performance of
indeed, the same thing) again demands the pre­ evil acts. The independent nature itself may
sence to the self of something other than the not be evil, but it does make evil acts possi­
self.”47 Konsepnya ini jelas didasarkan pada ble.50
komitmennya kepada hukum alam yang telah Selain mensyaratkan konteks natural kehi-
Allah tetapkan. Kathryn Lindskoog dan Gra- dupan manusia, kebebasan yang sejati juga
cia F. Ellwood menjelaskan komitmen Lewis menuntut konteks natural kehidupan manu-
terhadap hukum alam demikian: sia tersebut bersifat “tetap” dan “netral” (ber-
According to Lewis, we learn more about aturan) dan bukan sebaliknya, dengan tujuan
God from Natural Law than from the uni­ agar manusia dapat menggunakan kehendak
verse in general, just as we discover more bebasnya.51 Akan tetapi, keadaan konteks
about people by listening to their conver­ natural kehidupan manusia atau materi yang
sations than by looking at the houses they bersifat tetap dan netral tersebut dapat mem-
build. Natural Law shows that the Being bawa dampak sebaliknya apabila manusia
behind the universe is intensely interested in mengeksploitasi konteks natural kehidupan
fair play, unselfishness, courage, good faith, manusia atau materi yang tetap dan netral
honesty and truthfulness. However, Natural tersebut untuk melukai sesamanya (sebagai
Law gives no grounds for assuming that God bentuk penyalahgunaan kehendak bebas yang
is soft or indulgent. Natural Law obliges us Allah berikan).52 Bagi Lewis, Allah dengan
to do the straight thing regardless of the pain, kemahakuasaan-Nya mampu mengoreksi
danger or difficulty involved.”48 penyalahgunaan kehendak bebas manusia
tersebut, namun hal ini malah akan meniada-
Lebih lanjut, Lewis mengatakan bahwa kon- kan kejahatan dan kehendak bebas. Manusia
teks natural kehidupan manusia tersebut tidak lagi menjadi manusia yang bebas karena
harus memenuhi dua syarat yakni: secara manusia hanya melakukan apa yang dike-
relatif bersifat “independen” dan “tidak bisa hendaki oleh Allah, bukan kehendak mereka
ditawar.” Ia mengatakan: “I am going to sub­ sendiri. Ia melihat bahwa struktur dunia yang
mit that not even Omnipotence could create a Allah ciptakan sebenarnya telah memberi-
society of free souls without at the same time cre­ kan konteks bagi keputusan-keputusan moral
ating a relatively independent and ‘inexorable’ yang riil. Allah tentu saja mampu campur
Nature.”49 Konteks natural kehidupan manu- tangan sehingga tidak ada konsekuensi buruk
sia yang relatif bersifat independen dan yang yang mengikuti pilihan-pilihan jahat, tapi hal
tidak bisa ditawar tersebut akan memungkin- itu akan membuat posibilitas pembentukan
kan ciptaan untuk memilih dan pada akhirnya karakter menjadi mustahil. Dunia tersebut
memberi peluang bagi hadirnya kebaikan, hanyalah akan membatalkan kehendak bebas
itu sen­diri.53
Lewis, The Problem of Pain, 30; lih. McInnis, Shadows
46

and Chiv­alry, 57-59. Lewis juga mencatat peran Iblis di balik


hukum alam dan penderitaan yang terjadi
Lewis, The Problem of Pain, 29.
47

48
Kathryn Lindskoog dan Gracia F. Ellwood, “C. S. 50
McInnis, Shadows and Chivalry, 57.
Lewis: Natural Law, the Law in Our Hearts,” diakses 21 51
Lewis, The Problem of Pain, 31-32.
Mei 2013, http://www.religion-online.org/showarticle.
asp?title=1433. 52
Ibid., 33.
Lewis, The Problem of Pain, 29.
49 53
Ibid.
26 Meneropong Makna Penderitaan Manusia Menurut Konsep Teodise C. S. Lewis (Esther Gunawan)

dalam dunia. Alam yang sama sebenarnya humanity to the goodness and rightness of
mampu menyebabkan terjadinya penderitaan moral law.57
ataupun kesenangan bagi manusia. Di sinilah
Iblis kemudian berperan memengaruhi manu- Dengan kata lain, bagi Lewis, suatu kon-
sia dalam mengubah pengelolaan alam, yang teks natural kehidupan manusia yang stabil
seharusnya untuk kebaikan, namun akhirnya (hukum alam) adalah penting bagi manusia
disalahgunakan sehingga timbullah penderi- karena mendatangkan kebaikan dan kebe-
taan.54 Penderitaan mengubah maksud Allah naran. Manusia hidup berdasarkan atas
yang semula atas manusia kepada kehancuran tanda-tanda yang alami, stabil, dan beraturan.
yang membawa penderitaan.55 Hal ini juga Keberadaan kejahatan adalah tanda bagi
diutarakannya dalam Screwtape Letters: dunia dan sebuah sketsa yang ia buat untuk
menjelaskan intelektualitas masalah kejahat-
Dia seorang hedonis di dalam hati-Nya. . . . an.58 Prediktabilitas yang diberikan oleh kese-
Ia tidak merahasiakan hal ini; di sisi ragaman hukum alam, memungkinkan manu-
kanan-Nya ada “nikmat senantiasa.”. . . sia bertumbuh dalam pemahaman moral.
Dia sangat vulgar, Wormwood. Pikiran- Untuk itu, segala tindakan jahat haruslah ber-
Nya begitu borjuis. Dia mengisi dunia-Nya buahkan kejahatan dan segala tindakan keba-
dengan penuh kesenangan. Ada banyak ikan haruslah berbuahkan kebaikan.
hal yang bisa dilakukan manusia sepan-
jang hari tanpa ada sedikit pun keberatan Selain itu, agar manusia dapat hidup dengan
dari-Nya – tidur, mencuci, makan, minum, damai sejahtera serta produktif di dunia,
bercinta, bermain, berdoa, bekerja. Semu- manusia membutuhkan suatu konteks natu-
anya itu harus dibengkokkan agar bisa ber- ral kehidupan manusia yang diatur oleh suatu
guna bagi kita.56 hukum yang tetap dan beraturan. Konteks
natural kehidupan manusia yang tetap dan
Konsep ini (kehendak bebas yang mensyarat- beraturan tersebut pada akhirnya membawa
kan suatu konteks natural kehidupan manusia manusia kepada pengenalan akan kejahatan,
dengan hukum-hukum alam yang beraturan) sebab Allah tidak mungkin mencabut hukum
tampak dipengaruhi oleh teodise hukum gravitasi yang telah Ia tetapkan guna menyela-
alam, sebagai lawan dari teori perintah ilahi matkan seseorang yang jatuh dari atas jurang
(divine command theory). Peterson menga- ataupun menghentikan pergerakan matahari
takan bahwa dengan menolak teori perintah demi menghindari wabah kekeringan di suatu
ilahi dan menerima teori hukum alam, maka tempat terpencil. Konteks natural kehidupan
Lewis menerima bahwa manusia diciptakan manusia yang tetap dan beraturan tersebut
untuk kebaikan dan kebenaran berdasarkan harus berlaku tanpa mengurangi sedikit pun
hukum moral (Tao): eksistensi Allah sebagai yang Mahakuasa dan
Mahabaik.
Lewis rejects Divine Command Theory,
which bases moral obligation exclusively Kesimpulan
on divine command or volition, because it
reduces the human relation to God to sub­ Hal yang perlu diperhatikan dalam meli-
mission to absolute power and will. By con­ hat konsep ini adalah bahwa pembaca harus
trast, Lewis embraces Natural Law Theory, memiliki prasuposisi yang tepat terhadap
which affirms a general resonance in created Lewis. Penolakannya terhadap doktrin keru-
sakan total dan providensia yang bersifat par-
57
Peterson, “C. S. Lewis on the Necessity of Gratuitous
Evil,” 179; lih. juga penjelasan John M. Frame tentang
Lewis dan pembelaan lingkungan yang stabil dalam Apo­
Lindsley, C. S. Lewis Case for Christ, 57.
54
logetika bagi Kemuliaan Allah, terj. R. BG. Steve Hendra
Ibid.
55
(Surabaya: Momentum, 2000), 212-213.
Lewis, Screwtape Letters, 118.
56 58
Lindsey, The Problem of Evil, 4.
Veritas, Volume 16, Nomor 1, Juni 2017: 15-32 27

tikular dari Calvinisme, bagi penulis, dapat sal, di mana Allah juga terikat di dalamnya
dipahami mengingat ia adalah seorang ahli sehingga Ia tidak bisa melakukan tindakan
metafisik dan realis epistemologis yang per- yang bersifat kontradiksi secara logis bagi
caya pada suatu realitas objektif dan percaya diri-Nya. Allah telah membuat alam semesta
bahwa kapasitas rasio manusia mampu mema- dengan hukum-hukum yang mengatur sega-
hami realitas objektif tersebut. Ia juga adalah lanya demi kebaikan seluruh makhluk cip-
seorang yang meyakini rasionalitas manusia taan-Nya, membuat hidup manusia itu sendiri
mampu melakukan penilaian-penilaian moral menjadi mungkin. Dalam hubungan dengan
tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral teodise, Dia tidak bisa mencabut hukum alam
objektif. Sebagai penganut teologi natural yang telah ditetapkan-Nya hanya demi meng-
dan seorang Anglikan sejati (yang lebih dekat hindari penderitaan bagi segelintir makhluk.
dengan Katolik ketimbang Calvinis), komit- Eksistensi manusia bagaikan suatu perma-
mennya terhadap nilai-nilai yang objektif ber- inan catur di mana dalam permainan tersebut
dasarkan wahyu umum tentu bisa ditoleransi. harus ada aturan main yang tidak boleh beru-
Adalah tidak bijaksana jika menilainya secara bah. Jika tidak, catur tidak lagi menjadi suatu
negatif dari kacamata Calvinis mengingat permainan. Di dalam dunia ini, aturan main
minornya pemikiran Calvinisme dalam tradisi tersebut adalah hukum alam atau tatanan
Anglikan. alam. Manusia dapat belajar lebih banyak
tentang Allah berdasarkan hukum alam
Berdasarkan penguraian di atas penulis yang ada pada alam semesta secara umum.
menyimpulkan: pertama, konsep teodise Hukum alam tersebut menjadi aturan main
Lewis adalah konsep yang merelasikan kehen- atau sarana untuk membawa manusia kepada
dak bebas libertarian dan konteks natural pengenalan pada eksistensi Allah di balik
kehidupan manusia. Premis utama Lewis ada fenomena penderitaan.
pada kebaikan yang melekat pada diri Allah,
bahwa semua kebaikan berasal dari-Nya dan Ketiga, ketika Lewis menempatkan kehendak
manusia dapat mengetahui kebaikan terse- bebas sebagai penyebab kejahatan manusia
but melalui alam ciptaan-Nya serta hukum dan memandang Allah berkuasa melakukan
alam, sehingga tidak terjadi konflik riil antara apa pun atas ciptaan-Nya sejauh itu tidak
kebaikan dan kedaulatan-Nya. Konsep teo- bertentangan (konsisten) dengan natur-Nya
dise Lewis tersebut dapat dijabarkan dengan sendiri, tampak jelas bahwa ia menaruh fon-
premis-premis sebagai berikut: Allah adalah dasi teodisenya pada “teodise Agustinian.”
Allah yang Mahakuasa dan Sempurna. Allah Dalam konteks modern, konsep teodise Lewis
memberikan kehendak bebas kepada manu- mewakili kubu “teisme klasik” yang berda-
sia dengan kebebasan yang riil atau sesung- sarkan pada Summa Theologica Aquinas
guhnya. Namun demikian, kehendak bebas dan menekankan bahwa Allah adalah cukup
manusia tersebut dibatasi oleh konteks natu- (simple) di dalam esensi-Nya sementara alam
ral kehidupan manusia dengan hukum-hukum ciptaan-Nya bersifat kompleks.59 Posisinya
alam yang tetap dan beraturan, di mana Allah dalam teisme klasik tersebut tampak dalam
tidak dapat lagi membatalkan hukum-hukum konsepnya tentang kejahatan sebagai korupsi
yang telah Ia tetapkan. Manusia menga- dari kebaikan. Konsep kejahatan ini adalah
lami kejatuhan dan penderitaan berdasarkan konsep kejahatan paling klasik dan populer
kehendak bebasnya. Di balik semua penderi- di kalangan para teolog, yang diajarkan sejak
taan manusia yang mengakibatkan kejatuhan- abad ke-4 M oleh Agustinus. Selain konsep
nya, Allah adalah tetap Allah yang Mahabaik kejahatan, posisi teisme klasik juga tampak
sebab Ia mendatangkan kebaikan di balik dalam konsepnya tentang kedaulatan Allah.
segala penderitaan manusia tersebut.
59
Teisme klasik menggunakan esensialisme ilahi
Kedua, Lewis melihat hukum alam sebagai (Divine essentialism) untuk mendeterminasi, di mana atri-
“hukum moral” (tao) yang bersifat univer- but-atribut-Nya tersebut bersifat penting atau layak bagi
esensi-Nya.
28 Meneropong Makna Penderitaan Manusia Menurut Konsep Teodise C. S. Lewis (Esther Gunawan)

Dari sekian banyak atribut Allah yang dite- berasal dari penyalahgunaan kehendak bebas.
kankan dalam teisme klasik (seperti: pure Baginya, keberadaan kejahatan dibutuhkan
actually, immutability dan impassibility, time­ demi kebaikan yang lebih besar. Dengan kata
less, simplicity, necessity, omniscience), kema- lain, nilai dari kehendak bebas pada akhirnya
hakuasaan Allah berarti bahwa Dia memiliki menunjukkan nilai kejahatan. Lewis melihat
keterbatasan-keterbatasan dalam atribut-atri- bahwa semua kejahatan membawa manusia
but-Nya sendiri, namun Dia tetap memiliki kepada pemurnian dan pendisiplinan. Setiap
kapasitas untuk melakukan segala sesuatu. kejahatan dipakai oleh Allah bagi keba-
Konsep kedaulatan Allah tersebut berdasar- ikan manusia atau dengan kata lain, segala
kan pada tradisi “molinisme” yang dipegang kejahatan bermuara kepada kebaikan yang
Lewis, di mana Allah dianggap sebagai Peng- lebih besar. Setiap kejahatan hanya bersifat
arah segala sesuatu.60 diizinkan dan dipakai oleh Allah bagi keba-
ikan manusia. Dalam kamus teodise, pema-
Keempat, Lewis menolak “kejahatan yang haman ini membawa Lewis kepada komit-
berdiri sendiri” (gratuitous evil)61 sehingga men terhadap “teodise kebaikan yang lebih
konsep teodisenya masuk ke dalam kategori besar.” Dalam teodise kebaikan yang lebih
teodise “kebaikan yang lebih besar” (greater- besar, eksistensi Allah dibenarkan dengan
good theodicy). Ia memandang kejahatan kehadiran kejahatan selama kejahatan ter-
sebagai suatu korupsi dari kebaikan dan tidak sebut membawa kebaikan yang lebih besar:
bersifat riil atau murni dalam dirinya. Keja- “that God is justified in permitting only that
hatan bukan disebabkan oleh Allah namun evil which will bring about a greater good or
60
Lih. Lewis, The Problem of Evil, 35. Dalam tradisi prevent an evil equally bad or worse.”62 “Teo-
molinisme, Allah, melalui pengetahuan tengah-Nya (mid­ dise kebaikan yang lebih besar” mengasum-
dle knowledge), mengarahkan sejarah, namun manusia sikan bahwa Allah menggunakan kejahatan
tetap memiliki kebebasan secara mutlak. Allah menen-
tukan individu mana yang akan tampil di cara dan tempat
untuk tujuan-tujuan baik-Nya, berfokus pada
orang-orang di dalam sejarah tertentu untuk mengatur penolakan terhadap kejahatan yang berdiri
semua yang akan terjadi. Allah mengendalikan semua sendiri sehingga keberadaan Allah dibenar-
peristiwa sementara memungkinkan manusia sebagai kan karena telah mengizinkan kejahatan yang
makhluk spiritual menyempurnakan kehendak bebas
mereka. Penjelasan lebih lanjut tentang konsep kedau- membawa kebaikan bagi manusia. Premis ini
latan Allah molinisme lih. William L. Craig, “The Mid- telah diterima oleh sebagian besar filsuf Kris-
dle-Knowledge View,” dalam Divine Foreknowledge: Four ten dan telah digunakan sebagai sarana untuk
Views, ed. James K. Beilby dan Paul R. Eddy (Downers
mempertahankan posisi teisme klasik terha-
Grove: InterVarsity, 2001), 119-143.
dap masalah kejahatan di sepanjang sejarah
61
Dalam dunia teodise, ada teori yang mengakui keber-
kekristenan.
adaan “kejahatan yang berdiri sendiri,” misalnya Creation
Order Theodicy (lih. Bruce A. Little, A Creation-Order
Theodicy: God and Gratuitous Evil [Maryland: Univer- Sumbangsih bagi Kaum Injili di Indonesia
sity Press of America, 2005]). Menurut penulis, teodise
yang menerima eksistensi kejahatan yang berdiri sendiri Berdasarkan pertimbangan realitas fenomena
telah mengabaikan fakta tentang keterbatasan kapasitas sosial dan alam Indonesia, studi teodise ada-
manusia untuk melihat benang merah providensia Allah
yang mengikat setiap peristiwa untuk membawa manusia lah studi yang sangat kontekstual bagi kekris-
kepada kebaikan yang lebih besar. Oleh sebab itu, kita tenan di Indonesia. Kondisi masyarakat
tidak bisa gegabah menyatakan bahwa kejahatan yang yang sebagian hidup dalam taraf kemiskinan
berdiri sendiri itu eksis (atau mengklaim bahwa posibili-
tas kejahatan natural yang berdiri sendiri sebagai sesuatu
serta belum terciptanya stabilitas keamanan
yang perlu) sebab manusia memiliki keterbatasan untuk nasional yang mantap, menjadikan Indone-
memandang jauh ke depan dan melihat rangkaian suatu sia sebagai salah satu negara dengan tingkat
peristiwa secara utuh. Tidak mungkin pula secara logika
(konsep yang koheren) menerima keberadaan kejahatan
yang berdiri sendiri, jika kita meyakini Allah yang Maha-
kuasa itu ada, kecuali jika kita memandang Allah sudah
tidak lagi memiliki alasan moral yang cukup sehingga 62
Matt Brubaker, “Gratuitous Evil Revisited: Is the
memungkinkan kejahatan yang berdiri sendiri itu eksis. ‘Greater-Good’ Theodicy the Theist’s Best Defense?,”
Kita hanya bisa memandang dengan iman (Rm. 8:28). Faith & Mission 21, no. 3 (Summer 2004): 65.
Veritas, Volume 16, Nomor 1, Juni 2017: 15-32 29

kriminalitas yang cukup tinggi.63 Selain itu, kebergantungan total kepada-Nya.66 Ketika
struktur alam yang ada membuat Indonesia kaum injili terpaku pada pemahaman reformed
memiliki juga intensitas bencana alam yang tersebut, konsep teodise Lewis di atas, menu-
tinggi. Indonesia memiliki 129 buah gunung rut penulis, akan mampu membuka wawasan
berapi (atau sekitar 13% dari gunung berapi berteodise kaum injili. Paradigma baru terse-
teraktif di dunia) yang berada dalam jalur but adalah cara pandang yang aktif dan positif
tektonik dan memanjang mulai dari pulau- terhadap peran hukum-hukum alam sebagai
pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kepu- wahyu umum di balik fenomena penderitaan
lauan Banda, Halmahera, dan Sangir Talaud manusia.
yang menempati seperenam dari luas daratan
nusantara.64 Muslim Kasim dan Sarbinnor Harus diakui, walaupun doktrin tentang wahyu
Karim mengatakan: umum ini memiliki tempat yang sangat pen-
ting di dalam pengajaran reformed, kaum injili
Kondisi alam Indonesia termasuk daerah cenderung mengabaikan doktrin ini secara
yang berpotensi terjadinya bencana alam. praksis. Ketika berhadapan dengan berbagai
Letak geografis Indonesia yang terletak penderitaan manusia, kecenderungan yang
pada dua lempeng tektonik, menyebabkan dilakukan adalah meneropong semua berda-
Indonesia sering dilanda gempa bumi dan sarkan kacamata kedaulatan dan providensia
tsunami. Sedangkan kondisi tanah dan Allah yang tidak terelakkan. Penekanan ter-
geologi serta kerusakan sumber daya alam hadap keterbatasan manusia secara ontologis
menyebabkan terjadinya bencana banjir untuk mengenal Allah dan kehendak-Nya
dan longsor.65 secara utuh, juga menjadi alasan mengapa
kaum injili tampak pasrah saja menghadapi
Kondisi alam tersebut menyebabkan penderi- penderitaan dan memandang kepasrahan ter-
taan yang disebabkan oleh kejahatan natural sebut sebagai “iman.” Sebagai akibat, kon-
(seperti wabah penyakit, banjir, gempa bumi, sep “fatalisme praktis” terbentuk dan relasi
gunung meletus, tsunami, tanah longsor, erat antara hukum alam dan tanggung jawab
dan lain-lain) menjadi sangat akrab dengan manusia menjadi hal yang terabaikan. Relasi
masyarakat Indonesia. yang terabaikan tersebut, misalnya: penderi-
Selain alasan di atas, studi ini juga mampu taan manusia yang diakibatkan oleh penyakit
memberikan paradigma baru bagi orang- yang timbul sebagai akibat dari gaya hidup dan
orang Kristen, terutama kaum injili di Indo- pola makan yang tidak sehat sehat (merokok,
nesia, dalam memandang masalah penderi- minum-minuman keras, narkoba, workaholic,
taan. Secara umum, kaum injili berakar pada malas berolahraga, dan sebagainya), penderi-
pemahaman reformed yang sangat menekan- taan yang diakibatkan oleh kecelakaan karena
kan kedaulatan dan providensia Allah atas
diri manusia: di balik setiap penderitaan ada 66
Konsep ini berakar dari pemikiran Calvin yang mene-
makna teologis yang tidak berada di luar kankan bahwa manusia memiliki keterbatasan terhadap
pengenalan tentang Allah secara ontologis. Manusia
kedaulatan Allah dan kehendak-Nya yang tetap mampu mengenali Allah, baik secara umum mela-
tersembunyi akan membawa manusia kepada lui wahyu umum dan secara khusus melalui wahyu khusus,
namun keduanya tidak akan membawa manusia kepada
63
Menurut sebuah data, setiap 91 detik terjadi satu pengenalan yang sempurna tentang Allah. Wahyu khusus
kejahatan di Indonesia sepanjang tahun 2012 (Icha Ras- hanya akan membawa manusia kepada keselamatan dan
tika, “Setiap Detik, Terjadi Satu Kejahatan di Indonesia,” bukan kepada pengenalan yang utuh tentang Dia sehingga
diakses 21 Nopember 2013, http://nasional.kompas.com/ tidak ada seorang pun yang mampu melampaui jurang
read/2012/12/26/15260465/Setiap.91.Detik.Terjadi.Satu. yang membentang antara Allah dan manusia. Selain
Kejahatan.di.Indonesia.). alasan keterbatasan ontologis manusia, alasan lain di balik
ketersembunyian kehendak Allah tersebut adalah kehen-
64
Ella Yulaelawati dan Usman Syihab, Mencerdasi Ben­
dak-Nya sendiri yang menetapkan batas bagi penyataan
cana. (Jakarta: Gramedia, 2008), 107.
diri-Nya. Manusia hanya dapat mengenali Allah sejauh
65
Muslim Kasim dan Sarbinnor Karim, Karakteristik apa yang Dia nyatakan dalam Alkitab, yakni karya kese-
Kemiskinan di Indonesia & Strategi Penanggulangannya lamatan yang dapat manusia pahami walaupun secara par-
(Jakarta: Indomedia, 2006), 84. sial dan terpisah-pisah.
30 Meneropong Makna Penderitaan Manusia Menurut Konsep Teodise C. S. Lewis (Esther Gunawan)

human error atau pelanggaran lalu lintas, pen- yang kuat, keteledoran, ketidakbertangung-
deritaan yang diakibatkan oleh bencana alam jawaban, dan kekejian manusia terhadap
karena ketidakbijaksanaan manusia dalam sesama, alam dan hukum-hukumnya sebenar-
pengelolaan dan pelestarian alam (sampah nya sudah cukup membuktikan ketidakber-
yang menyebabkan banjir, pembakaran hutan salahan Allah, bahwa penderitaan itu terjadi
yang menyebabkan kabut asap, limbah pabrik akibat ulah manusia itu sendiri.
yang menyebabkan pencemaran udara dan
sungai, penebangan hutan yang menyebabkan Khotbah dan pengajaran yang menekan-
tanah longsor), dan sebagainya. Dengan kata kan doktrin yang murni adalah baik, namun
lain, perlu disadari bahwa penderitaan yang lebih baik jika diimbangi dengan implemen-
manusia alami, terkadang adalah akibat dari tasi-implementasi praktis bagaimana orang-
ulah mereka sendiri karena pelanggaran ter- orang Kristen harus bertanggung jawab dan
hadap hukum-hukum alam yang berlaku. bijaksana terhadap dirinya, sesama, dan juga
alam beserta hukum-hukumnya. Dukungan
Apalagi ketika kejahatan moral “terhubung” kepada LSM-LSM Kristen yang bergerak di
dengan kejahatan natural, hasil yang terjadi bidang lingkungan hidup memang layak untuk
amat sangat menghancurkan, sebagai contoh: dikerjakan, namun perlu diimbangi dengan
ketika jutaan warga Afrika Timur mengha- keikutsertaan secara aktif terhadap program-
dapi kelaparan, sakit penyakit, bahkan sam- program pelayanan masyarakat yang bersifat
pai mati. Hal ini terjadi bukan karena paso- holistik dan kepedulian terhadap pelestarian
kan bantuan tidak memadai untuk memenuhi alam. Christopher J. H. Wright memberi
kebutuhan mereka, tetapi karena kedikta- komentar sebagai berikut:
toran pemerintah pada waktu itu yang meng-
gunakan makanan sebagai senjata politik It seems quite inexplicable to me that there
untuk menghancurkan perlawanan pembe- are some Christians who claim to love and
rontak dengan menahan persediaan terse- worship God, to be disciples of Jesus, and yet
but.67 Di tanah air sendiri, kejahatan jenis have no concern for the earth that bears his
ini pun kerap terjadi, seperti: kelalaian dan stamp of ownership. They do not care about
keterlambatan pemerintah dalam melakukan the abuse of the earth and indeed, by their
tanggap darurat bagi para korban bencana wasteful and over-consumptive lifestyles,
alam, praktik-praktik korupsi proyek penga- they contribute to it.68
daan sarana dan prasarana umum yang secara Hal ini menjadi sangat penting untuk disa-
tidak langsung mengakibatkan kesengsa- dari sebab tanggung jawab dan kebijaksanaan
raan masyarakat, prosedur rumah sakit yang terhadap diri, sesama, alam beserta hukum-
menyengsarakan wong cilik (walau sekarang hukumnya tersebut, secara tidak langsung,
telah ada BPJS, namun prosedural masih sebenarnya mampu mereduksi penderitaan
mengganjal) sehingga ada istilah “orang mis- manusia itu sendiri.
kin dilarang sakit,” dan sebagainya. Tanpa
perlu menyodorkan sebuah konsep teodise
68
Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unloc­
William L. Craig, “The Problem of Evil,” diakses 16
67
king the Biblical Grand Narrative (Downers Grove: Inter-
April 2014, http://www.bethinking.org/suffering/the-prob-
Varsity, 2006), 414.
lem-of-evil.
Veritas, Volume 16, Nomor 1, Juni 2017: 15-32 31

Daftar Kepustakaan

Beals, Corey. “Evil: The Presence of Absence.” Dalam Good and Evil: Quaker Perspectives, diedit
oleh Jackie L. Scully dan Pink Dandelion, 141-152. Hampshire: Ashgate, 2007.
Brubaker, Matt. “Gratuitous Evil Revisited: Is the ‘Greater-Good’ Theodicy the Theist’s Best
Defense?” Faith & Mission 21, no. 3 (Summer 2004): 65-73.
Craig, William L. “The Middle-Knowledge View.” Dalam Divine Foreknowledge: Four Views,
diedit oleh James K. Beilby dan Paul R. Eddy, 119-143. Downers Grove: InterVarsity, 2001.
______. “The Problem of Evil.” Diakses 16 April 2014. http://www.bethinking.org/suffering/the-
problem-of-evil.
Frame, John M. Apologetika bagi Kemuliaan Allah. Diterjemahkan oleh R. BG. Steve Hendra;
Surabaya: Momentum, 2000.
Geisler, Norman L. Philosophy of Religion. Grand Rapids: Zondervan, 1982.
Geivett, R. Douglas. Evil and the Evidence for God. Philadelphia: Temple University Press, 1993.
Kilby, Clyde S. The Christian World of C. S. Lewis. Grand Rapids: Eerdmans, 1964.
Lindsey, Art. “The Problem of Evil: C. S. Lewis Speaks to Life’s Most Difficult Questions.” Diakses
8 Mei 2013. http://www.cslewisinstitute.org/webfm_send/636.
______. C. S. Lewis Case for Christ Insight from Reason, Imagination and Faith. Downers Grove:
Inter Varsity, 2005.
Lindskoog, Kathryn dan Gracia. F. Ellwood. “C. S. Lewis: Natural Law, the Law in Our Hearts.”
Diakses 21 Mei 2013. http://www.religion-online.org/ showarticle.asp?title=1433.
Little, Bruce A. A Creation-Order Theodicy: God and Gratuitous Evil. Maryland: University Press
of America, 2005.
Lewis, Clive S. “Abolition of Man.” Dalam C. S. Lewis: The Complete C. S. Lewis Signature Clas­
sics, diedit oleh Joseph Rutt, 465-499. San Fransisco: Harper, 2002.
______. “The Great Divorce.” Dalam C. S. Lewis: The Complete C. S. Lewis Signature Classics,
diedit oleh Joseph Rutt, 311-364. San Francisco: Harper, 2002.
______. Mere Christianity. Diterjemahkan oleh Grace P. Christian. Bandung: Pioner Jaya, 2006.
______. “Miracle.” Dalam C. S. Lewis: The Complete C. S. Lewis Signature Classics, diedit oleh
Joseph Rutt, 205-310. San Fransisco: Harper, 2002.
______. Parelandra. New York: Macmillan, 1986.
______. The Problem of Pain. New York: Macmillan, 1968.
______. Screwtape Letters. Diterjemahkan oleh Trivina. Bandung: Pionir Jaya, 2009.
______. Studies in Words. Cambridge: Cambridge University Press, 1990.
Jeff McInnis. Shadows and Chivalry: C. S. Lewis and George MacDonald on Suffering, Evil and
Goodness. Milton Keynes: Paternoster, 2007.
32 Meneropong Makna Penderitaan Manusia Menurut Konsep Teodise C. S. Lewis (Esther Gunawan)

Kasim, Muslim dan Sarbinnor Karim. Karakteristik Kemiskinan di Indonesia & Strategi Penanggu­
langannya. Jakarta: Indomedia, 2006.
Kreeft, Peter. “Lewis’s Philosophy of Truth, Goodness and Beauty.” Dalam C. S. Lewis as Phi­
losopher, diedit oleh David J. Bagget, Gary R. Habermas, dan Jerry L. Walls, 23-36. Downer
Grove: InterVarsity, 2008.
Peterson, Michael L. “C. S. Lewis on the Necessity of Gratuitous Evil.” Dalam C. S. Lewis as
Philosopher, diedit oleh David J. Bagget, Gary R. Habermas, dan Jerry L. Walls, 175-192.
Downer Grove: InterVarsity, 2008.
Rastika, Icha. “Setiap Detik, Terjadi Satu Kejahatan di Indonesia.” Diakses 21 Nopember 2013.
http://nasional.kompas.com/read/2012/12/26/15260465/Setiap.91.Detik.Terjadi.Satu.Kejaha-
tan.di.Indonesia.
Reed, Gerard. C. S. Lewis and the Bright Shadow of Holiness. Diterjemahkan oleh Efie Shofia
Sompie. Batam: Gospel, 2003.
Reppert, Victor. “The Ecumenical Apologist: Understanding C. S. Lewis’s Defense of Chris­
tianity.” Dalam C. S. Lewis: Apologist, Philosopher, and Theologian. Vol. 3. Diedit oleh Bruce
L. Edwards, 1-28. Westport: Greenwood, 2007.
Rodgers, Eric W. “Lewis on Sin.” Diakses 7 April 2013. http://www.scribd.com/doc/8632774/Lew-
is-on-Sin.
Root, Jerry. C. S. Lewis and the Problem of Evil. Oregon: Pickwick, 2009.
Sayer, George. Jack: C. S. Lewis and His Times. New York: Harper & Row, 1988.
Talbott, Thomas. “C. S. Lewis and the Problem of Evil.” Christian Scholar’s Review 17, no. 1
(1987): 36-51.
TeSelle, Eugene. Augustine the Theologian. Oregon: Wipf & Stock, 2002.
Vaus, Will. Mere Theology: A Guide to the Thought of C. S. Lewis. Downer Grove: InterVarsity,
2004.
Velarde, Robert. Conversations with C. S. Lewis: Imaginative Discussions about Life, Christianity
and God. Downers Grove: InterVarsity, 2008.
Wright, Christopher J. H. The Mission of God: Unlocking the Biblical Grand Narrative. Downers
Grove: InterVarsity, 2006.
Yulaelawati, Ella dan Usman Syihab. Mencerdasi Bencana. Jakarta: Gramedia, 2008.

Anda mungkin juga menyukai