Anda di halaman 1dari 5

Biografi Penginjil Paulus Tosari

Oleh

Apriliani Margareta

Tugas

Diserahkan Kepada

Endro Kusworo, M.Th

Sebagai Bagian dari Tugas dalam Mata Kuliah

Sejarah Gereja Indonesia

Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia

Purwokerto

November 2019
Biografi Paulus Tosari

Ia dilahirkan kira-kira pada tahun 1812 dengan nama kecil, Kasan. Ayahnya, orang Madura
adalah petani dan penganut ilmu kebatinan, sedangkan ibunya adalah penganut agama Islam
yang taat. Mereka tinggal di Kedung Turi, Rawa Pulo, Bulang, keresidenan Surabaya, di mana
banyak orang Madura tinggal di situ. Kasan dibesarkan lebih dekat kepada ibunya dibandingkan
dengan ayahnya. Ia anak manja, apapun yang dimintanya selalu dituruti oleh ibunya. Dari sejak
kecil, dia menunjukkan minat yang besar terhadap wayang. Hampir setiap malam dia keluyuran
untuk menonton wayang di desa-desa tetangga. Dari kebiasaannya sejak kecil ini, yakni
keluyuran, penulis dapat meyakini, bahwa Kasan memiliki kecenderungan berperilaku buruk.

Ia memasuki pesantren dengan sedikit paksaan dari ibunya. Walaupun pada mulanya dia adalah
anak yang sulit diatur, pada akhirnya dia menjadi murid yang paling berprestasi di
pesantrennya; sehingga gurunya berkata, bahwa satu kali kelak Kasan sendiri akan menjadi
seorang guru agama. Apabila ada hajatan di satu kampung, dia sering diminta oleh gurunya
memulai doa pembukaan singkat. Setelah disunat, dia diberi nama Djarjo.Perkawinan
pertamanya adalah hasil penjodohan oleh ibunya sendiri. Hanya bertahan dua bulan saja. Ia
mencari nafkah dengan berdagang kapas. Usaha dagangnya semakin maju dan hasilnya
melebihi kebanyakan teman-temannya. Ia menikah lagi, anaknya diberi nama Satipah, sejak itu
dia dipanggil orang sebagai Pak Satipah. Ia banyak bergaul dengan orang-orang Tionghoa yang
gemar berjudi dan mengisap candu. Ia terjerumus dalam pergaulan yang salah, dia menjadi
penjudi sampai seluruh hartanya habis-habisan hanya tinggal pakaian melekat ditubuh. Ia
bertobat kembali setelah hutang-hutangnya dilunasi oleh seorang temannya yang masih
berbelas kasihan kepadanya. Ia kembali menjalani kehidupan yang normal sebagai pedagang.
Isterinya diceraikan karena dinilainya tidak setia kepadanya.
Ia kawin lagi dengan seorang janda bernama Gadung, bekas isteri seorang Madura. Ia
bersahabat dengan Kariman yang kegemarannya sama, yaitu wayang dan ngelmu. Ia juga
pernah belajar ngelmu tetapi tidak pernah menyelesaikannya.Ayah Kariman (Pak Tego), kepala
kampung Kedung Turi mendengar tentang agama baru di Ngoro, yang berbeda dengan agama
mereka. Tentang agama baru ini diceritakannya kepada Kariman. Bersama murid-muridnya,
Kariman pergi ke Ngoro membandingkan ngelmu Jawanya dengan ngelmu Kristennya Coolen.
Hasil kunjungan Kariman itu menyita perhatian lebih dalam terhadap dirinya, sehingga dia
memutuskan sendiri pergi menuju Ngoro.

Pada pertemuan pertama dengan Coolen, dia mendengar khotbah tentang ucapan Yesus dalam
Khotbah di Bukit, yakni “Bahagialah orang yang miskin di hadapan Allah …“. Khotbah ini
demikian menyentuh kalbunya yang terdalam, sehingga membuat jiwanya hanyut terkenang-
kenang dengan kekelaman masa mudanya. Bagian ayat-ayat Khotbah di Bukit ini begitu
menggugah bawah sadarnya untuk bertobat dan menerima Yesus. Demikianlah Tosari, yang
awalnya bernama Kasan Jariyo, mendengar ajaran Coolen soal pengampunan dosa. Dia pun pergi ke
Ngoro pada 1840, dan berguru pada Coolen. Namanya kemudian diubah menjadi Tosari. Namun karena
Coolen tidak memiliki hak untuk melakukan pembaptisan, maka Tosari pergi ke Surabaya menemui
Pendeta Johannes Emde dan dibaptis pada 12 September 1844. Nama baptis Tosari adalah Paulus.

Paulus Tosari dikenal sebagai seorang penginjil Jawa di Surabaya. Keberadaan Gereja Kristen Jawi
Wetan yang masih eksis hingga kini tak lepas dari hasil besutannya. Paulus Tosari dikenal oleh banyak
orang di luar daerahnya karena menulis pelajaran-pelajaran agama dalam bentuk tembang atau puisi
Jawa.Paulus Tosari sendiri adalah murid Coenraad Laurens Coolen. Jika Nommensen ialah si Rasul Suku
Batak dan J Kam ialah si Rasul Suku Ambon, maka Coolen-lah bisa disebut sebagai Rasul Suku
Jawa.Namun Johannes Emde berbeda seratus delapan puluh derajat dari Coolen. Menjadi Kristen ala
Emde justru harus menolak seluruh kebiasaan budaya Jawa. Emde tak hanya membaptis, juga menyuruh
orang Jawa memotong rambut, memakai pakaian Eropa, dan menjauhkan diri dari menonton wayang
kulit yang dianggapnya sebagai seni ritual yang bersifat semisakral.

Pada 1844 Johannes Emde sebagai pendeta mendirikan sebuah desa yang diberi nama Mojowarno,
berlokasi 6 kilometer dari Ngoro. Paulus Tosari diangkat menjadi Pemuka Jemaat Kristen Jawa di
Mojowarno sesuai Surat Keputusan dari Majelis Jemaat Kristen Protestan.“Karena itu, jarang ditemukan
kritik tentang dia dalam tulisan para misionaris, yang umumnya sangat keras terhadap orang-orang
Kristen Jawa,” tulis C. Guillot dalam Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa.Paulus Tosari tetap
mengajarkan Injil ala Coolen. Dia mengabarkan Injil dengan menggunakan kultur Jawa tapi tetap
mempraktikkan sakramen. Dia memakai wayang sebagai media menyebarkan ajaran Kristen. Sebab, bagi
masyarakat Jawa, wayang merupakan sesuatu yang akrab dalam kehidupan mereka. Dengan wayang
justru Injil terkabarkan dengan baik. Dia juga menulis tembang Kristen yang dikumpulkan dengan judul
Rasa Sedjati.

“Sebanyak 23 syair panjang dalam bahasa Jawa yang sangat indah digubah Paulus Tosari dalam
irama tembang Jawa, asmaradana, kinanthi, pucung, pangkur, maskumambang, mijil, gambuh,
dandanggula, megatruh, hingga sinom,” tulis Dody Wisnu Pribadi, dalam “Paulus Tosari dan Persoalan
Sosial”, untuk memperingati 75 tahun Gereja Kristen Jawi Wetan, yang dimuat Kompas, 13 Desember
2006.Isi syairnya antara lain: “Rasa sajati pinangkanipun saking Gusti Allah; tanpa rasa sajati manungsa
boten leres wonten ngarsanipun Pangeran. Suraosing gesang ingkang nunggil kaliyan suraosing Gusti
Allah punika kaurmatan lan pangabekti; saged langgeng wonteng ing pejah saha gesang, punapa malih
begja utawi cilaka. Manungsa ingkang nampi dhawuhing Gusti Allah punika ingkang kanggenan rasa
sajati; gadhah kamukten salabetipun nandhang nistha, saha kabegjan salebetipun nandhang sangsara,
tindaking gesangipun boten miturut raosing hawa napsu.”

Berpuluh-puluh tahun tembang karya Paulus Tosari beredar dalam bentuk salinan-salinan, dan baru
pada 1925 ada pemikiran untuk mencetaknya. “Generasi tua di Jawa Timur pada pertengahan abad ini
gemar melantunkan Rasa Sedjati pada malam hari di bawah terang lampu teplok, untuk memperoleh
ketenangan diri sebelum tidur,” tulis Emmanuel Gerrit Singgih dalam Mengantisipasi Masa Depan:
Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium IIIIII. Selain tembang Rasa Sedjati, peninggalan berharga
lainnya dari Paulus Tosari adalah Gereja Mojowarno, yang diresmikan pada 8 Maret 1881. Bersama
gereja-gereja Jawa di Jawa Timur, pada 11 Desember 1931, di gedung gereja Jemaat Mojowarno
diresmikan Majelis Agung yang merupakan upaya mempersatukan 29 raad pasamuwan alit (majelis
jemaat) di seluruh Jawa Timur. Pemerintah Hindia Belanda secara resmi menyebut sebagai Oost
Javaansche Kerk, yang akhirnya menjadi Gereja Kristen Jawi Wetan.

Kelebihan Penginjil Paulus Tosari

Pelayanannya di Gereja Kristen Jawa Timur selama tiga puluh tahun tidak dijumpai satu
pun catatan buruk tentang pribadinya. Di antara Coolen, Tunggul Wulung maupun Sadrach,
dialah suku Jawa Kristen yang memandang Yesus sebagai Juruselamat tanpa melalui sentuhan
kebudayaan sebagai titik temu iman. Dan, dia juga mengajarkan iman Kristen kepada murid-
muridnya dengan cara yang lebih mendekati alkitabiah dibandingkan para koleganya yang
tersebut di atas. Mungkin hanya dengan Sadrach saja dia dapat disejajarkan dalam hal kadar
intelektualnya, mengingat mereka pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Walaupun
kharismanya tidak sebesar Coolen, Tunggul Wulung atau Sadrach, dia dicintai oleh jemaatnya
dan dia dipuji oleh pendeta Harthoorn yang pada masa itu adalah misionaris paling kritis. Ia
memimpin jemaatnya dengan standar kedisiplinan yang cukup tinggi. Apa yang diucapkan
dalam khotbahnya, itu pula yang dilakukannya. Paulus Tosari meninggal dunia pada tanggal 21
Mei 1882.-

Kekurangan Penginjil Paulus Tosari

Kekurangan dari penginjil Paulus Tosari adalah dia hanya menggunakan metode penginjilan
coolen, ia tidak mengembangkan pola penginjilan dengan metode lain sehingga menurut
penulis penginjilan nya kurang maksimal.

Anda mungkin juga menyukai