Anda di halaman 1dari 12

Ekoteologi dalam

Perspektif
Dogmatika
Kristen
Oleh Kelompk 3
Daniel Langelo
Juliana Paat
Friske Legi
Engelia Sesa
LATAR BELAKANG

Munculnya eko-teologi dalam kajian


dogmatis merupakan upaya teolog
masa kini untuk merumuskan kembali
pandangan gereja terhadap
lingkungan hidup atau planet bumi
sebagai bagian dari ciptaan Allah
yang harus dijaga oleh manusia
sebagai makhluk yang memiliki etos
dibandingkan dengan makhluk hidup
lain yang ada di bumi. Selain itu, eko-
teologi dalam perspektif dogmatika
ini mencoba untuk merumuskan
kembali pandangan dogmatis gereja
terkait dengan lingkungan hidup yang
masih bersifat antroposentris,
dimana gereja memahami bahwa
manusia adalah spesies paling pusat
dan penting daripada spesies hewan
atau penilaian kenyataan melalui
sudut pandang manusia yang ekslusif.
LATAR BELAKANG

Pandangan antroposentrisme-dualisme pun dapat dilihat dari seorang


teolog mula-mula yang cukup berpengaruh yaitu Origenes (185-254).
Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh neo-platonisme sehingga ia juga
cenderung menganut pandangan dualisme. Menurut Origenes, Allah
menciptakan dunia karena pemberontakan rohani di sorga. Penciptaan
dunia terkait dengan kejatuhan ke dalam dosa. Roh-roh yang jatuh
terjerat dalam dunia materi yang telah diciptakan bagi mereka. Jadi,
dunia materi diciptakan untuk menjadi tempat penyucian di mana
manusia yang jatuh dididik melalui penderitaan untuk kembali ke roh
murni, asal-usul mereka. Jelaslah bahwa Origenes mempunyai pandangan
yang merendahkan dunia materi, khususnya tubuh, yang diangkatnya dari
askestisme radikal dimana dunia daging dianggap dunia iblis dan hal-hal
yang kasar dianggap lingkungan setan. Jelaslah bahwa Origenes sangat
tidak menghargai dunia materi.
LATAR BELAKANG

Pandangan dualisme dalam gereja tampak dalam pandangan para


reformator, walaupun lebih lunak dan halus, misalnya dalam bentuk paham
dualisme keselamatan yang memandang keselamtan sebagai karya dari
penebusan Kristus hanya untuk manusia sedangkan alam dan obyek materi
lainnya tidak mengambil bagian dalam dalam keselamatan dari penebusan
Kristus. Menurut Luther, alam bukanlah sesuatu yang manusia cari untuk
bersekutu dengannya. Alam bukan saksi kemuliaan Allah. Sedangkan pusat
perhatian Calvin adalah hubungan manusia dengan Allah. Alam tambahan
saja dan menjadi latar belakang dari drama penyelamatan manusia.
LATAR BELAKANG

Dewasa ini, yang menjadi perhatian gereja dalam merumuskan kembali


pandangannya mengenai ekologi ialah munculya anggapan-anggapan dari
para ekolog mengenai kekristenan yang dianggap sebagai penyebab
terjadinya krisis lingkungan hidup. Misalnya anggapan dari Lynn White, Jr
seorang sejarawan menyatakan bahwa Kristen merupkan agama
antroposentris yang memicu manusia mendominasi alam semesta. Dan juga
Prediger menyimpulkan bahwa teologi Kristen telah mendorong dunia
melakukan eksploitasi terhadap alam. Dalam versi Alkitab TB Indonesia,
teks yang dipermaslahkan berbunyi :

“Tetapi hari Tuhan akan tiba


seperti pencuri. Pada hari itu
langit akan lenyap dengan
gemuruh yang dahsyat dan
unsur-unsur dunia akan hangus
lenyap oleh nyala api, dan bumi
dan segala yang ada diatasnya
akan hilang lenyap (2Pet 3:10).
PEMBAHASAN

EKO-TEOLOGI DALAM PERSPEKTIF DOGMA KRISTEN

TEOSENTRIS-HOLISTIS

Alkitab sangat menekankan kepeduliaan Allah atas ciptaan. Hubungan Allah


dengan ciptaan-Nya, baik dengan manusia maupun dengan ciptaan yang lain
adalah hubungan yang bersifat holistis. Artinya, hubungan yang tidak
menganggap Allah dan alam adalah sama, tetapi juga hubungan yang tidak
menciptakan dualisme antara ciptaan, baik antara manusia dengan alam,
maupun antara tubuh dengan jiwa. Seluruh ciptaan berada dalam hubungan
yang harmonis berpusat pada Allah. Karena itu, penilaian terhadap alam adalah
penilaian yang positif. Alam adalah ciptaan Allah yang baik, dikuduskan dalam
penebusan Kristus dan berada dalam pengawasan dan pemeliharaan Allah.
Karena seluruh ciptaan berpusat pada Allah, maka pandangan ini disebut
teosentris.
Beberapa teolog yang menekankan penilaian terhadap alam secara positif
antara lain:

Irenaeus (130-200) teolog yang hidup sezaman


dengan Origenes, mempunyai pandangan yang
positif terhadap materi dan tubuh jasmani. Dunia
dipahaminya sebagai ciptaan yang khusus
bertujuan menjadi rumah bagi manusia, dilindungi
dan ditebus oleh Allah, bersama manusia. Dalam
ajarannya tentang dosa, Irenaeus berpendapat
bahwa dosa Adam tidak merusak alam. Alam
masih tetap baik. Sedangkan tubuh manusia
dianggapnya sebagai tubuh maha karya Allah,
yang menunjukan kebijaksanaan Allah sendiri.
a tu j u a n dari
ne k a n k a n bahw segala
43 0 ) m e a h d a l a m
ug u s t i nus (354- m e m u l i ak an All
u n g k a pkan
A u k e n g
t a a n a da lah unt tu j u a n u n tuk m m e lalui
cip b e r l l a h
ra k n y a . Ciptaan d a n k e m uliaan A a hi pula
sema , ke ba i k a n
gga ri s -b a w
keajaiban . Augustinus men a s i n g . S et i a p
keindaha
nnya
i r in y a m asing-m d i ri dari
a m d a s e n
k n a c i pt aan dal k n a b a g i diriny hannya
ma n y a i m a k e i n d a
empu dalam llah.
ciptaan m i manusia, karena u l i a a n A
k n a n y a bag e m a n ca r kan kem
ma alam m
Teologi Kristen tetap menghayati pesan Alkitab yang menegaskan bahwa Allah
memandang seluruh ciptaan-Nya itu baik adanya bahkan amat baik (Kej 1:10,
12, 17, 25, 31).
Dalam bahasa Ibrani, kata ‘baik’ digunakan tob dan ‘amat baik’ digunakan
tob me’od, yang berarti sesuai dengan tujuannya, yaitu adanya hubungan yang
baik antara pencipta dengan ciptaannya. Pandangan ini sebenarnya sangat
kuat ditekankan dalam doktrin Kristen sepanjang sejarah. Dipelihara adanya
keyakinan walaupun alam ini tidak ilahi, namun ia adalah karya yang baik
dari Allah karena diciptakan dengan alasan dan tujuan tertentu. Penegasan
Alkitab bahwa ciptaan Allah itu baik dengan sendirinya menentang pandanga
dualistis terutama pandangan yang menganggap dunia materi sebagai yang
inheren jahat. Alam ciptaan Allah tidak hanya mempunyai makna
deterministic-materialistik sebagaimana dipahami dalam materialism
humanisme, tidak pula inheren jahat seperti yang dianut oleh dualisme
Platonisme dan Gnostisme, tetapi juga tidak menjadi sama seperti Allah
seperti dianut oleh panteisme.
John Salmon, dalam makalahnya, Christology and Climate Change (2006),
menyatakan doktrin-doktrin kristologi, khususnya inkarnasi, berperan besar dalam
menyemaikan dan mengokohkan kecenderungan antroposentrisme. Uraian tersebut
dipertegas oleh pandangan Hannah Arendt dalam Human Condition yang
menunjukkan bahwa ditemukan juga akar-akar antroposentrisme ini pada doktrin
Kristen (Protestan), yang “merestui” dan memicu perilaku manusia untuk
mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Oleh pengaruh Pencerahan dan juga Reformasi gereja, terjadi alienasi
manusia terhadap dunianya. Kapasitas diri ke-manusia-an semakin
diperkembangkan dengan harapan dapat “menundukkan” alam, bumi ini.
Di dalam perkembangannya, hak kepemilikan pribadi semakin diperkuat
dalam tatanan sosio-ekonomi masyarakat di dataran Eropa seiring dengan
proses industrialisasi, pola produksi dan konsumsi yang meningkat tajam.
Pola demikianlah mendasari dan mendukung perilaku manusia
mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam secara berlebihan. Tentu perlu
ditegaskan juga bahwa kecenderungan antroposentrisme bukanlah satu-
satunya “suara” dalam Kekristenan. Sebagai penyeimbang mengenai wajah
Kekristenan yang tidak melulu bersifat non-ekologis. Sallie McFague,
seorang teolog Kristen, dalam “Life Abundant: Rethinking Theology and
Economy for A Planet in Peril” (2001) mengenai kosmos. Allah dipahami
sebagai yang berinkarnasi dalam seluruh yang ada di dunia ini, tidak
dimutlakkan hanya pada satu kedagingan manusia saja. McFaque
menghimbau Kekristenan untuk mulai memandang kosmos sebagai tubuh
Allah.
KESIMPULAN
Ekoteologi yang ber-etika sudah sepantasnya
diperjuangkan untuk memperbaiki teologi-
teolog sebelumnya, khususnya di Indonesia
yang tidak melihat manusia - alam sebagai
ciptaan yang sejajar dan tidak melihat alam
sebagai bagian yang telah ditebus serta
diciptakan baik adanya sebagai perwujudan
dari kemuliaan dan kebesaran Allah, sehingga
dapat dieksploitasi dengan semena-mena.
Paradigma ekoteologi yang ber-etika
teosentris-holistis adalah melihat manusia -
alam sebagai ciptaan yang saling bergantung
dan berpusat pada Allah. Keberadaan ciptaan
yang satu ditentukan oleh keberadaan ciptaan
lain. Tanpa kesalingbergantungan ini, maka
tidak akan ada kehidupan di muka bumi serta
memandang kosmos sebagai tubuh Allah.

Anda mungkin juga menyukai