Anda di halaman 1dari 22

EKOTEOLOGI DALAM PRESPEKTIF BIBLIKA PERJANJIAN BARU

Dosen Pengajar : Pdt. Dr. Sientje Abram

Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
 REMALIA PUTRI MATSINO
 PRICILIA N E RORONG
 SUDIRMAN POROBATEN
 EDWIN ALDRIN ESSING

PASCASARJANA INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI


IAKN MANADO
2020

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur di panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas karena kasih dan
karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik. Dan juga sangat
berterima kasih kepada Ibu Pdt.Dr. Sientje Abram selaku Dosen mata kuliah Ekoteologi
yang telah memberikan tugas ini.
Kami dari Kelompok 2 sangat berharap Makalah ini dapat berguna serta bisa
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai Ekoteologi terlebih khusus dalam
prespektif Perjanjian Baru. Kami dari kelompok menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
pembuatan makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
kami sangat mengapresiasi apabila adanya setiap kritik, saran dan usulan yang
membangun dari para pembaca untuk kelengkapan serta kesempurnaan dari
pembuatan makalah ini.
Semoga Makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah susun dapat berguna bagi teman-teman dan bagi siapa
saja yang membacanya. Sebelumnya kami dari kelompok 2 memohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. Sekian dan Terima kasih.

Manado, Juni 2020

2
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar.........................................................................................….2

Daftar Isi....................................................................................................….3

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................….5

Latar Belakang Masalah...........................................................................….5


Rumusan Masalah....................................................................................….5
Tujuan Penulisan......................................................................................….5
BAB 2 PEMBAHASAN............................................................................….7

Ekoteologi…………………………………………………………………………..8
Paradigma Ekologi…………………………………………………………………8
Faktor Kerusakan Lingkungan Hidup……………………………………………10
Perspektif Biblika Perjanjian Baru terhadap Ekoteologi……………………….12
Perspektif Injil terhadap Ekoteologi………………………………………………12
Perspektif Surat Paulus terhadap Ekoteolgi…………………………………….18
BAB 3 PENUTUP.....................................................................................….21

Kesimpulan...............................................................................................….21

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................….22

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Alam adalah titipan dari Allah untuk dimanfaatkan/dipakai/digunakan manusia


memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi sekaligus adalah rumahnya. Maka sumber-
sumber alam diberikan kepada manusia tidak untuk diboroskan. Manusia harus
menggunakan dan memanfaatkan sumber- sumber alam itu secara bertanggung jawab.
Maka pemanfaatan/penggunaan sumber- sumber alam haruslah dilihat sebagai bagian
dari pelayanan. Alam digunakan dengan memerhatikan keseimbangan antara
kebutuhan manusia dengan kebutuhan lingkungan, yaitu menjaga ekosistem. Tetapi
alam juga digunakan dengan memerhatikan kebutuhan sesama, termasuk generasi
yang akan datang.

Memanfaatkan alam adalah bagian dari pertanggungjawaban talenta yang


diberikan/dipercayakan oleh Tuhan kepada manusia (Mat. 25:14-30). Allah telah
memercayakan alam ini untuk dimanfaatkan dan dipakai. Untuk dilipatgandakan
hasilnya, untuk disuburkan, dan dijaga agar tetap sehat sehingga produknya tetap
optimal. Oleh karena itu, alam mesti dipelihara dan keuntungan yang didapat dari alam
sebagian dikembalikan sebagai deposit terhadap alam. Tetapi juga dipergunakan
secara adil dengan semua orang. Ketidakadilan dalam memanfaatkan sumber-sumber
alam adalah juga salah satu penyebab rusaknya alam.

Rumusan Masalah

1. Apa perspektif biblika Perjanjian Baru terhadap paradigma ekologi?


2. Bagaimana seharusnya paradigma ekologi berlandaskan Biblika Perjanjian
Baru?

4
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini difokuskan pada:
1. Untuk mengetahui tentang pengertian Ekoteologi dalam Prespektif Perjanjian
Baru
2. Untuk menambah wawasan baru tentang Ekoteologi dalam Prespektif
Perjanjian Baru
3. Untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Ekoteologi

BAB II

5
PEMBAHASAN

A. Ekoteologi
Sebagai bagian dari etika Kristen, maka pokok teologi lingkungan atau
ekoteologi memberi suatu dimensi yang baru bagi etika sosial 1. Ekoteologi termasuk
dalam teologi sistematika (etika) yang secara khusus memperhatikan kondisi
lingkungan dunia sebagai ciptaan Allah yang sedang terancam hancur 2.

Ekoteologi merupakan sebuah konsep teologi yang mendekatkan kembali


pemahaman teologis Kristen, dengan jejaring lingkungan alam. Ekoteologi hadir
sebagai sebuah tanggapan terhadap krisis lingkungan yang terjadi. Ekologi menandai
sebuah era baru mengenai hubungan antara manusia dengan alam. Alam yang
sebelumnya dieksploitasi oleh manusia. Hubungan manusia dan alam dalam ekoteologi
dimaknai sebagai rekan sekerja, dan relasi dalam mewujudkan kerajaan Allah 3. Konsep
ekoteologi ini berangkat dari asumsi bahwa manusia sebagai pusat ciptaan yang
ditugaskan Allah untuk merawat keutuhan ciptaan. Manusia mendapatkan tanggung
jawab baru dalam membangun relasinya dengan alam dan menjaga keberlangsungan
alam.Para teolog berkomitmen untuk melibatkan diri dalam ranah akademis maupun
praktis secara global untuk menebus ekologi dari ancaman kematian dan kepunahan. 

Ekoteologi digagas oleh seorang teolog eko-feminis Amerika Serikat, yakni Sallie
McFague. Pembicaraan tentang ekofeminisme dalam kaitan dengan Teologi
Penciptaan, tidak dapat dipisahkan dari krisis ekologis serta upaya-upaya yang
dilakukan baik oleh feminism maupun ekofeminisme untuk menanggapi krisis tersebut 4.

Karel Phil Erari, Tanah Kita, Hidup Kita: Hubungan Manusia Dan Tanah Di Irian Jaya
1

Sebagai Persoalan Teologis: Eko Teologi Dalam Perspektif Melanesia, (Pustaka Sinar Harapan, 1999),
14.

2
B.F Drewes & Julianus Mojan, Apa Itu Teologi ? : Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi,
(Jakarta : Bpk Gunung Mulia, 2007), 135.

3
P. Louis Leahy, SJ., editor : J. Sudarminta & S. P. Lili Tjahjadi, Dunia, Manusia dan Tuhan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2008). 70

Peter C. Aman, Iman Yang Merangkul Bumi : Mempertanggungjawabkan Iman Di Hadapan


4

Persoalan Ekologi, (Jakarta : Obor, 2013), H. 137.

6
McFague menempatkan alam seperti perempuan yang juga ditindas oleh kaum patriaki.
Alam sama-sama menderitanya dengan kaum perempuan, yang terus dieksploitasi,
tanpa memiliki jaminan keberlangsungan hidup. Untuk itu harus ada hubungan yang
baik antara manusia dengan alam sebagai bagian dari ciptaan Allah. 

Ekoteologi menggambarkan kisah penciptaan secara kosmosentris yaitu bahwa


makluk hidup lainnya telah diciptakan terlebih dahulu, sebelum manusia diciptakan.
Dengan demikian manusia menyusul kehadirannya dimuka bumi ini, untuk itu harus ada
relasi antara manusia dengan makluk ciptaan lainnya 5. Ekoteologi terkait dengan
pengalaman kaum miskin yang diusir dai wilayah dan tempat nenek moyang mereka
hidup berabad-abad lamanya. Petani tradisional dan perempuan melihat tanah sebagai
ibu pertiwi nyang di percayakan Allah agar dipelihara demi kehidupan semua mahkluk 6

Ekoteologi menolak pencintraan manusia sebagai Tuhan atas ciptaan lainnya,


karena hal tersebut tidak sejalan dengan kisah penciptaan. Manusia memang hadir dan
berinteraksi dengan makluk hidup lainnya yang telah diciptakan Allah sebelumnya,
namun bukan menjadi Tuhan atas mereka. Budaya partiaki menurut para ekoteolog
merupakan sumber pemicu rusaknya hubungan antara manusia  dengan alam.7

Ekoteologis melukiskan kembali relasi antara Tuhan dengan semua ciptaan dan
relasi antar semua ciptaan. Manusia harus mengenakan kasih Tuhan dalam menyapa
dan memelihara ciptaan Tuhan lainnya. Eksploitasi manusia terhadap cipataan lainnya,
merusak relasi ciptaan dengan pencipta-Nya dan merusak ekologi. Menurut Ruether,
ekologi akan pulih dari kerusakannya, hanya jika manusia merubah perannya dari
penguasa atas ciptaan menjadi pelayan bagi mereka. 8 

Ekoteologi memberikan pemahaman baru bagi manusia dalam memahami


keberadaannya diantara makluk hidup lainnya. Manusia menjadi sama dengan makluk

5
Ibid.

6
Marie Claire Barth, Pengantar Teologi Feminis, (Jakarta : Bpk Gunung Mulia, 2006), 21.

7
Ibid

7
hidup lainnya, dan diberikan peran untuk merawat dan memelihara alam, sebagai
bagian dari tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh Allah. Manusia tidak lagi
akan menjadi penakluk alam dalam pemahaman yang sempit, namun akan menjadi
bagian dari pekerja ladang Allah yang salah satunya adalah menjaga dan memelihara
ciptaan yang lain. Didalam manusia juga ada roh Allah yang bekerja. Bekerja untuk
menjamin kelangsungan alam, dan menjaga keutuhan ciptaan Allah.Tindakan praktis
manusia terhadap alam, merupakan wujud perilaku ibadahnya terhadap Allah. Peneliti
mengemukakan beberapa hal tersebut untuk menjawab kesalahpahaman Lynn White
yang mengatakan bahwa krisis lingkungan hidup disebabkan oleh ilmu dan teknologi
modern yang dimungkinkan oleh ajaran alkitab Ibrani tentang penciptaan. 9

Paradigma Ekologi
Antroposentrisme
Kerusakan (krisis) lingkungan yang terus-menerus terjadi selama ini, salah satu faktor
penyebabnya adalah kesalahan cara pandang (paradigma) yang mengacu pada etika
Antroposentrisme. Akibat cara pandang ini, telah menuntun manusia untuk berperilaku
tertentu, baik terhadap sesamanya maupun terhadap alam lingkungan. Paradigma
Antroposentrisme memadang bahwa manusia sebagai pusat dari alam semesta dan
hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar
sebagai alat pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Nilai tertinggi adalah
manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat
perhatian. Segala sesuatu yang lain yang ada di alam semesta ini hanya akan
mendapat nilai dan perhatian, sejauh dapat menunjang dan demi kepentingan manusia.
Manusia dianggap sebagai penguasa alam yang boleh melakukan apa saja terhadap
alam, termasuk melakukan eksploitasi alam dan segala isinya, karena alam/lingkungan
dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri. Etika hanya berlaku bagi manusia.
Segala tuntutan mengenai kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap lingkungan
hidup, dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Etika
Antroposentrisme bersumber dari pandangan Aristoteles dan para filsuf modern.

9
Louis Leahy, Dunia, Manusia, Dan Tuhan (Yogyakarta : Kanisius, 2012), 29.

8
Aristoteles dalam bukunya The Politics menyatakan: tumbuhan disiapakan untuk
kepentingan binatang, dan binatang disediakan untuk kepentingan manusia. 10

Biosentrisme
Paradigma Biosentrisme berpendapat bahwa tidak benar apabila hanya manusia yang
mempunyai nilai, akan tetapi alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri yang
terlepas dari kepentingan manusia. Setiap kehidupan dan makluk hidup mempunyai
nilai dan berharga pada dirinya sendiri, sehingga semua makluk pantas mendapat
pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu diperlakukan secara moral, terlepas
dari apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak. Paradigma ini mendasarkan moralitas
pada keluhuran kehidupan, baik pada manusia maupun pada makluk hidup lainnya.
Setiap kehidupan yang ada di muka bumi ini memiliki nilai moral yang sama, sehingga
harus dilindungi dan diselamatkan. Manusia mempunyai nilai moral dan berharga
justeru karena kehidupan dalam diri manusia bernilai pada dirinya sendiri. Hal ini juga
berlaku bagi setiap entitas kehidupan lain di alam semesta. 11

Ekosentrisme
Sebagaimana paradigma biosentrisme, paradigma ekosentrisme ini merupakan
paradigma yang menentang cara pandang yang dikembangkan oleh antroposentrisme,
yang membatasi keberlakuan etika pada komunitas manusia. Ekosentrisme sering kali
disebut sebagai kelanjutan dari biosentrisme, karena keduanya memiliki kesamaan
dasar pandangan. Paradigma ekosentrisme menyampaikan pandangannya bahwa
secara ekologis, makluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama
lainnya. Kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makluk hidup,
tetapi juga berlaku terhadap semua realitas ekologis. Arne Naess, seorang filsuf asal
Norwegia, yang merupakan salah satu tokoh paradigma ekosentrisme, mengemukakan
sebuah pandangan yang dikenal dengan Deep Ecology. Pandangan ini adalah suatu

A. Sonny eraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas,2006), 89


10

11
Alber Schweitzer, The Ethicts of Reverence for Life, dalam The Philosophy of Civilization, 1964,
sebagaimana dimuat dalam Susan J. Amstrong dan Richard G. Botzier (ed), dalam A. Sony Keraf, Etika
Lingkungan. (Jakarta: Kompas,2006), 51
9
etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makluk hidup
seluruhnya dalam kaitan untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup. 12

Faktor Kerusakan Lingkungan Hidup


Berdasarkan faktor penyebabnya, bentuk kerusakan lingkungan hidup dibedakan
menjadi 2 jenis, yaitu bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat peristiwa alam dan
kerusakan lingkungan hidup karena faktor manusia.
a. Bentuk Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Peristiwa Alam (Letusan gunung
berapi, gempa bumi, angin topan, tsunami, dll.)
b. Kerusakan Lingkungan Hidup karena Faktor Manusia 13
Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi berperan besar dalam
menentukan kelestarian lingkungan hidup. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
yang berakal budi mampu merubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana sampai
ke bentuk kehidupan modern seperti sekarang ini. Namun sayang, seringkali apa yang
dilakukan manusia tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan
generasi berikutnya. Banyak kemajuan yang diraih oleh manusia membawa dampak
buruk terhadap kelangsungan lingkungan hidup.
Beberapa bentuk kerusakan lingkungan hidup karena faktor manusia, antara
lain:
1) Terjadinya pencemaran (pencemaran udara, air, tanah, dan suara) sebagai dampak
adanya kawasan industri.
2) Terjadinya banjir, sebagai dampak buruknya drainase atau sistem pembuangan air
dan kesalahan dalam menjaga daerah aliran sungai dan dampak pengrusakan
hutan.
3) Terjadinya tanah longsor, sebagai dampak langsung dari rusaknya hutan 14.

12
Ibid., 56
13
Kathleen Simpson, Selidik National Geographic : Cuaca Ekstrem, (Jakarta : KPG, 2012),
49.
14

10
Gereja mesti sungguh sadar bahwa ia menjalankan tugas perutusan Kristus agar
keselamatan yang datang dari Allah mencapai dan merangkul semua orang serta
segenap ciptaan. Keselamatan bukan perkara relasi manusia dengan Allah saja tetapi
dengan segala sesuatu. Karena itu soal ekologi adalah soal iman, soal relasi dengan
Allah, soal keselamatan.Taruhan kesejatian iman kita adalah keprihatinan dan
kepedulian kita bidang ekologi.15
Kepedulian Gereja juga dilakukan karena alasan keadilan: keadilan ekologis dan
keadilan antar generasi. Keadilan ekologis mencakup perilaku manusia terhadap alam,
sebagai subyek moral, bahwa alam berhak atas perlakuan yang mengembangkan
kehidupan dan bukan merusak dan menghancurkannya.Persoalan ekologi adalah
persoalan moral, menyangkut mutu atau kualitas personal manusia sebagai “gambar
dan rupa Allah”.Merusak alam, tidak hanya suatu tindakan tercela terhadap alam, tetapi
tindakan perendahan martabat manusia sebagai makhluk moral. 16
Tuntutan keadilan antar generasi juga menjadi penting untuk diperhatikan.
Generasi yang akan datang berhak atas warisan alam semesta sebagai “ruang hidup”
dan rumah kehidupan mereka. Apa dasar klaim bahwa kita berhak merusak dan
menghabiskannya, sambil menyisahkan penderitaan , kemiskinan dan kelaparan untuk
generasi mendatang.
Saat ini konsumerisme menjadi pemicu eksploitasi alam .Karena itu mesti
dikedepankan pertimbangan etika yang cukup, sehingga manusia bisa dan dapat
mengendalikan diri dari sikap hidup konsumeris, karena kita tidak dapat semena-mena
mengeksploitasi alam. Ada tiga pertimbangan yang perlu kita perhatikan yaitu kita
manusia tidak bisa menggunakan sumber-sumber alam berdasarkan kemauan sendiri,
tetapi harus memperhatikan nilai alam, sumber-sumber alam terbatas, dan ekslpoitasi
alam menyebabkan bencana alam dan bencana kemanusiaan, mulai dari polusi serta
bencana-bencana alam lainnya, yang pada akhirnya merupakan bencana bagi manusia
sendiri.

15
Ibid.
16
Ibid.
11
Perspektif Biblika Perjanjian Baru
Terhadap Ekoteologi
Dalam cerita penciptaan dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan
seluruh alam semesta. Itu berarti bahwa manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan
dengan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang
diciptakan sebagai gambar Allah (Imago Dei) dan yang diberikan kewenangan untuk
menguasai dan menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, manusia
adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan), akan tetapi di lain segi, ia diberikan
kekuasaan untuk memerintah dan memelihara bumi. Maka hubungan manusia dengan
lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani secara
seimbang. 17

Perspektif Injil terhadap Ekoteologi

Tidaklah mengherankan, bahwa para penulis eko-teologis berpaling kepada


gambaran tentang Yesus dalam Injil, dan menemukan bahwa Yesus merupakan model
bagi kepedulian pada lingkungan dan ciptaan Allah. Melawan tuduhan negative dari
Lynn White dan yang lainnya, bahwa tradisi Kristen mendorong agresivitas manusia
dalam menguasai dan mengeksploitasi alam, pendekatan ekoteologis menunjukkan
gambaran positif yang ditemukan dalam KS, khususnya dalam Injil.

Sean McDonagh misalnya menulis: “Teologi Kristen mengenai lingkungan hidup


mesti belajar banyak dari sikap hormat yang diperlihatkan Yesus terhadap dunia
ciptaan. Dalam Perjanjian Baru tidak ditemukan sikap boros pada masyarakat, yang
merusak dunia ciptaan dan menghasilkan tumpukan sampah yang tidak dapat terurai …
para murid Yesus diminta untuk menjalani hidup hemat di dunia … Yesus menunjukkan
kedekatan dan keakraban dengan pelbagai jenis ciptaan Allah serta proses-proses
yang ada dalam alam.

Ia sama sekali tidak terdorong oleh sikap menguasai dan mengontrol dunia
ciptaan. Dia lebih memperlihatkan sikap hormat dan kontemplatif terhadap ciptaan. Injil

17
Marthin Harun, Alkitab dan Ekologi, Jurnal Ilmiah Popouler (Jakarta: Lembaga Indonesia, 2001), 2
12
mengatakan bahwa alam memainkan peran penting dalam hidup Yesus”. McDonagh
kemudian menambahkan bahwa Yesus menjalani masa “formasi” di “padang gurun”,
dan secara teratur berangkat ke bukit untuk berdoa” dan menyampaikan ajaran-Nya
“dengan mengacu kepada bunga bakung (Lk.12:27), burung di udara (Mt.6:26) dan
serigala (Lk.9:58).”18

Para penulis lain menyampaikan bahan-bahan yang sama, dengan mengutip


Yesus yang mengajarkan tentang perhatian Allah kepada burung-burung (Mt.6:26;
10:29; Lk.12:6,24), serta bunga (Mt.6:28) atau mengutip pelbagai perumpamaan Yesus
yang mengangkat alam dan pertanian (Mt.13; Mk.4:1-20.26-32; Yoh.15:1-8). Hal-hal
yang disampaikan Yesus dalam ajaran-Nya menunjukkan bahwa Allah memelihara
ciptaan dan memperlihatkan kepekaan Yesus pada ciptaan.

Para penulis ekoteologis nampaknya memberi perhatian pada teks-teks favorit


atau penting dalam Injil. Hal ini memperlihatkan bahwa hanya sedikit materi yang jelas-
jelas memiliki relevansi ekologis dalam Injil: Yesus tidak berbicara, sekurang-kurangnya
tidak eksplisit, tentang hubungan manusia dengan ciptaan atau tentang tanggungjawab
manusia terhadap binatang, tanaman atau bumi pada umumnya.

James Jones telah mencoba mengacu kepada teks-teks yang dengan jelas
menyebutkan ciptaan. Dia mengacu kepada teks-teks yang berbicara tentang peran
Putera Manusia. Beberapa dari teks-teks itu mengacu kepada bumi, misalnya Mt.8:26:
Yesus berkuasa atas bumi. Menurut Jones bumi merupakan medan misi Yesus, serta
mengandung tanda tentang komitmen Yesus (dan Allah) kepada bumi, sekarang dan di
masa depan. Jones juga mengacu kepada sejumlah binatang yang disebut dalam Injil,
dan seperti McDonagh, hal itu menunjukkan bahwa Yesus menghidupi suatu kehidupan
yang berhubungan dengan alam, makhluk ciptaan dan tanah.

Itulah sebabnya pemikiran Jones menampilkan gambaran tentang alam dan


jenis-jenis ciptaan Allah. Singkatnya, misi dan ajaran Yesus bukan tentang bagaimana

Haskarlianus Pasang, Mengasihi Lingkungan: Bagaimana Orang Kristen, Keluarga dan Gereja
18

mempraktikan Kebenaran Firman Tuhan untuk menjadi Jawaban atas Krisis Ekologi dan Perubahan Iklim
di Bumi Indonesia (Jakarta: Literatur Perkantas, 2011), 84-85
13
manusia melarikan diri dari alam menuju ke surge, tetapi sebaliknya justru memadukan
sorga dan bumi, sebagaimana disampaikan dalam doa yang diajarkan-Nya: “Jadilah
kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam sorga” (Mt. 6:10) Putera Manusia,
Yesus,adalah tokoh sentral untuk membumikan surga dan mensurgakan bumi.

Jones misalnya menegaskan bahwa dia mencoba mengambil gambaran tentang


Yesus dari teks KS kendati tidak eksplisit menulis tentang Yesus dan lingkungan atau
ciptaan. McDonach menampilkan gambaran tentang Yesus dengan mengutip banyak
teks Injil yang menggambarkan relasi Yesus dengan ciptaan. Nampaklah bagaimana
agenda-agenda dan keprihatinan kontemporer yang mendesak, mempengaruhi
bagaimana para penulis merumuskan pertanyaan dan menemukan jawabannya dalam
Yesus.

Albert Schweitzer sudah menyampaikan kritiknya terhadap penulisan tentang


hidup Yesus, yang dibuat mendahului studi sejarah, di mana para penulis
menghadirkan Yesus menurut gambaran mereka sendiri, menaruh pandangan moral
mereka sendiri yang seolah-olah sudah diantisipasi dan disampaikan oleh Yesus.
Schweitzer menulis: “Teologi pada setiap zaman menempatkan pikirannya sendiri pada
Yesus: hal itu sesungguhnya merupakan cara bagaimana membuat Yesus hidup.
Tetapi hal itu bukan hanya terjadi pada setiap zaman, setiap pribadi pun menciptakan
Yesus sesuai dengan karakternya sendiri. Tidak ada satu tulisan sejarah yang
sedemikian menyingkapkan diri seseorang sebagaimana dalam tulisn tentang hidup
Yesus.19

Karena itu tidaklah mengherankan bahwa Sean McDonagh, seorang


environmentalis dan teolog, menemukan dalam diri Yesus suatu model pribadi yang
melawan konsumsi berlebihan, dan menunjukkan cinta kontemplatif dan keprihatinan
pada lingkungan; tidak mengherankan bahwa Webb, menemukan priabadi Yesus
sebagai model vegetarian bagi orang-orang Kristen. Sejauh mana hal ini merupakan
suatu persoalan, atau sesuatu yang mesti dihindari, akan kita dalami di sini.

Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusiia dan Alam: Jembatan filosofis dan religious menuju
19

puncak spiritual, (Yogjakarta: Ircisod), 20


14
Pertama, perlu secara singkat mendalami teks-teks yang memperlihatkan Yesus
yang peduli pada ciptaan. Bagaimana mungkin, misalnya McDonagh, tidak melihat
kisah Yesus menenangkan gelombang (Mk.35-41), juga Yesus yang berjalan di atas air
(Mk.6:48-50), memperbanyak roti (Mk.6:47-51), membangkitkan orang mati (Yoh 11:38-
44), dst., sebagai kisah-kisah yang membantah apa yang dikatakannya bahwa Yesus
tidak terdorong oleh keinginan untuk menguasai dan mengontrol alam?. Juga,
sekurang-kurangnya dapat dipertanyakan, apakah babi-babi yang terjun ke danau dan
mati (Mk. 5:11-13; Lk. 8:32-33) atau pohon ara yang menjadi kering (Mk. 11:12-14.20-
21; Mt.21:18-20) menunjukkan bahwa pemerliharaan Allah atas ciptaan termaktub
dalam pelayanan Yesus, sebagaimana dikatakan Tim Cooper; apakah, teks-teks itu
menuturkan apa yang dikatakan McDonagh bahwa Yesus memiliki sikap hormat dan
kontemplatif terhadap ciptaan; atau dengan pernyataan Michael Northcott bahwa Yesus
hidup dalam relasi yang amat harmonis dengan ciptaan. 20

Hal yang diterima umum, yang merupakan dasar gagasan Jones, adalah bahwa
Yesus dalam ajaran-Nya mengacu kepada binatang, tanaman dan bumi. Namun hal itu
tidak perlu diartikan bahwa Yesus mempromosikan pemeliharaan dan hormat pada
ciptaan.

Yang utama dari gambaran-gambaran itu adalah bahwa Yesus hidup pada masa
agraris pra-industri, dengan demikian gagasan pastoral dan pertanian seperti itu
merupakan konteks dan isi dari kehidupan masyarakat setiap hari. Seperti pada masa
kita ini, pun, pesawat terbang dan pasar uang, demikian juga Yesus, dalam
perumpamaan-Nya menyebut tentang menabur, memanen, kebun anggur, padang,
burung dan bunga-bunga. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa Yesus tidak pernah
menarik implikasi dari gagasan-gagasan alami itu, seperti misalnya agar para murid
memelihara bunga-bunga dan memperhatikan burung-burung dan alam sekitarnya.

Dan, apa yang dikatakan Jones, memang jelas dan benar bahwa bumi merupakan
arena di mana Putera Manusia menjalankan misi serta memperlihatkan kekuasaan-

Norman C. Habel & Peter Trudinger, Exploring Ecological Hermeneutic (Atlanta: Society of Liberature,
20

2008), 78
15
Nya. Fakta bahwa bumi adalah tempat Yesus hadir dan berkarya sama sekali tidak
perlu menarik suatu kesimpulan khusus dari padanya. Tentu saja, teks yang sering
dikutip untuk menyatakan pemeliharaan Allah atas ciptaan dan bunga-bunga, adalah
sbb: “Karena itu Aku berkata kepadamu: janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang
hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa
yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan
tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?

Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan
tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di
sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? Siapakah di antara kamu yang
karena kekuatirannya dapat menambah sehasta saja pada jalan hidupnya?

Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di


ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata
kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah
satu dari bunga itu. Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini
ada dan esok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu,
hai orang-orang yang kurang percaya?: (Mt. 6:25-30; Lk.12:22-28). 21

Teks ini tentu saja melukiskan tentang pemeliharaan Allah atas seluruh ciptaan:
Allah memberi makan kepada burung-burung dan pakaian kepada bunga-bunga. Tetapi
ayat terakhir menegaskan bahwa teks ini berbicara tentang gagasan mengenai betapa
tingginya nilai hidup manusia. Teks ini adalah teks antroposentris.

Lagi pula, keindahan bunga terjadi sebagai proses transisi vegetasi, hari ini ada
di sini dan esok dibuang. Jadi, sesungguhnya fokus teks ini adalah tentang
pemeliharaan Allah atas hidup manusia, untuk menanggapi kuatnya kecemasan
manusia akan hidupnya. Hal itu sesungguhnya menggambarkan situasi para murid,
yang telah meninggalkan rumah dan keluarga, serta sandaran pokok hidup mereka,
untuk mengikuti Yesus. Kelompok misionaris pengembara ini atau kelompok

John Carmody, Ecology and Religion: Toward A New Christian Theology of Nature (New York: Pailist,
21

1983), 50
16
kharismatik perantau, sebagaimana dikatakan Gerd Theissen, dalam esai yang terbit di
Jerman 1973, merupakan kelompok inti dari gerakan Kristiani. Theissen memberikan
suatu kritik terhadap pemahaman anakronis dan romantik tentang teks ini. Theissen
menulis: “Kita tidak boleh membaca teks ini seolah-olah seperti jalan-jalan santai di
sore hari Minggu bersama keluarga. Teks ini tidak berbicara tentang burung dan bunga-
bunga, dan padang rumput hijau. Sebaliknya: apa yang disampaikan di sini adalah
mengenai kehidupan yang keras dari kelompok kharismatik yang berkeliling, tanpa
jaminan hidup, tanpa rumah dan naungan; orang-orang yang menyusuri desa-desa
tanpa harta milik dan pekekrjaan.”22

Karena itu, tampaknya apa yang terlihat relevan dari perkataan Yesus, sebagai
dasar bagi tindakan dan ajaran berkaitan dengan teologi dan etika lingkungan hidup,
nampaknya hanya sedikit. Gagasan tentang pemeliharaan Allah atas ciptaan
sesungguhnya pun dapat muncul dari KS.

Kutipan bahan-bahan yang relevan dari Injil untuk ekologi, tidak dengan
sendirinya memberi suatu pendasaran biblis bagi teologi ekologi. Banyaknya lukisan
atau gambaran tentang bumi atau lingkungan dalam Injil, tidak berarti bahwa Injil
mengajarkan komitmen untuk menjaga ciptaan atau bahwa ciptaan memiliki nnilai
intrinsik. Tidak dapat diragukan bahwa fokus pewartaan Yesus, melalui tindakan dan
mukjizat-mukjizat-Nya yang dikerjakan-Nya adalah manusia (antroposentris). Bukan
hanya burung dan bunga, tetapi juga babi bernilai lebih rendah dari manusia.
Bagaimana jika kita melihat dalam lingkup lebih luas serta memberi perhatian pada
sejumlah hal pokok dari pewartaan dan tindakan Yesus? Para ahli masih
memperdebatkan, tetapi setidak-tidaknya kita temukan dua hal pokok, dari banyak
pokok utama dalam misi dan pewartaan Yesus, yakni “Yesus sejarah” (yakni kontruksi
pribadi Yesus dari pelbagai informasi Injil), sebagaimana ditampilkan dalam Injil
Sinoptik.

Hessel Dieter T, Theology for Earth Community: A Field Guide (Oregon: Wips & Stock Publishers,
22

1996), 70
17
Di sana kita menemukan dua hal pokok, yakni, pertama, pewartaan tentang
Kerajaan Allah (bdk. Mk. 1:15; 4:11; 9:1); dan kedua, gagasan tentang kerajaan Allah
yang terwujud dalam pewartaan dan tindakan Yesus; yakni bahwa Kerajaan Allah itu
bukanlah sesuatu yang terjadi di masa depan, tetapi sekarang dimulai dan terwujud
dalam pelayanan Yesus. E.P. Sanders misalnya mengatakan bahwa pokok pertama,
yakni kerajaan Allah, merupakan pokok yang dapat dikaitkan dengan Yesus sejarah.
(Sanders 1985:326). Gerd Theissen dan Annette Merz, dalam karya tentang Yesus
sejarah, melihat bahwa pernyataan tentang Kerajaan Allah di masa depan dan yang
sekarang hadir merupakan pokok yang otentik dari Yesus sejarah.

Mereka menyimpulkan: “Kerajaan Allah itu sekaligus di masa depan dan juga
terwujud kini. Saat pemenuhannya sudah terjadi sekarang, dan setan sudah
dikalahkan. Pernyataan-pernyataan mengenai pemenuhan dan perjuangan (konflik
antara kepentingan setan dan Allah) menandakan suatu eskatologi di m,asa kini.
Pernyataan-pernyataan mengenai munculnya Kerajaan juga memiliki makna kekinian.
Pernyataan-pernyataan itu merupakan rumusan dan gambaran yang paradox, yang
menyiratkan bahwa dunia baru sedang dimulai di tengah-tengah dunia lama. Tetapi
hanya masa depan yang akan memberikan perwujudan penuh dari Kerajaan Allah.” 23

Apapun hal yang berkaitan dengan Yesus historis, selalu menyiratkan sesuatu
yang akan datang, yang dimulai masa kini, Mungkin hanya Markus yang kurang,
memberi gambaran tentang “eskatologi yang kini dimulai”. Kerajaan yang diharapkan
itu kini hadir dan kelihatan, walau hanya sebagian dan secara antisipatif, dalam karya
pelayanan Yesus dan kehidupan komunitas Kristiani (lihat diskusi Theissen dan Merz
1998:256-261).

Sejumlah teks penting dikutip di sini: “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan
kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu”
(Mat.12:28//Lk.11:20). “Atas pertanyaan orang-orang Farisi, apabila Kerajaan Allah
akan datang, Yesus menjawab kata-Nya:”Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda
lahiriah, juga orang tidak dapat mengatakan: lihat ia ada di sini atau ia ada di sana!

23
Carmody, Ecology and Religion: Toward A New Christian Theology of Nature, 89
18
Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara lkamu.” (Lk.17:21; lih. Juga Mat.
11:12-13//Lk.16:16; Mat.11:2-6//Lk.7:18-23).

Theissen dan Merz juga menyampaikan bahwa pewartaan Kerajaan Allah yang
hadir kini dapat ditemukan dalam Mk.1:15-16, sedangkan kombinasi kehadiran
Kerajaan di masa kini dan di masa depan ditemukan dalam doa Tuhan. Satu
pertanyaan penting berkaitan dengan kontribusi dari tradisi Yesus bagi etika lingkungan
hidup Kristen adalah apakah Kerajaan – dan kepenuhan masa depan yang diantisipasi
kini mengandung di dalamnya akhir dari segala yang sekarang ada, termasuk alam
ciptaan? Untuk sekarang dapat dikatakan bahwa ide tentang eskatologi yang dimulai
masa kini mengandaikan adanya kontinuitas antara yang lama dan yang baru, karena
ciri-ciri serta perubahan-perubahan yang menandakan Kerajaan masa depan itu kini
sudah kelihatan.

Perspektif Surat Paulus terhadap Ekoteologi

Semua ciptaan (kosmos) diselamatkan melalui Kristus (Kolose 1:15-23) Dimensi


kosmologis yang terkait erat dengan hal keutamaan Kristus, khususnya karya
pendamaian, penebusan, dan penyelamatan-Nya atas semua ciptaan. Dalam ayat 23
dikatakan bahwa Injil diberitakan kepada seluruh alam. Melalui Kristus dunia diciptakan,
dan melalui Kristus pula Allah berinisiatif melakukan pendamaian dengan ciptaan-Nya.
Sekarang alam berada di bawah kuasa-Nya dan dengan demikian kosmos mengalami
pendamaian. Bagian ini juga menekankan arti universal tentang peristiwa Kristus
melalui penampilan dimensi-dimensi kosmosnya dan melalui pembicaraan tentang
keselamatan bagi seluruh dunia, termasuk semua ciptaan. Kristus membawa
pendamaian dan keharmonisan bagi semua ciptaan melalui kematian dan kebangkitan-
Nya. Penebusan Kristus juga dipahami sebagai penebusan kosmos yang mencakup
seluruh alam dan ciptaan. Penyelamatan juga mencakup pendamaian atau pemulihan
hubungan yang telah rusak antara manusia dan ciptaan lainnya.

19
Demikianlah dapat disimpulkan bahwa baik manusia maupun segala ciptaan atau
makhluk yang lain merupakan suatu kesatuan kosmik yang memiliki nilai yang berakar
dan bermuara di dalam Kristus.24

24
Dieter T, Theology for Earth Community: A Field Guide (Oregon: Wips & Stock Publishers, 1996), 90
20
BAB II
PENUTUP

KESIMPULAN

Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, mencatat bahwa Allah yang Mahakasih mengasihi
dunia ciptaan-Nya (kosmos) sehingga Ia mengutus anak-Nya yang tunggal ke dalam
dunia, yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut Firman
(logos) penciptaan (Kol. 1:15-17; Yoh. 1:3, 10a) telah berinkarnasi (mengambil bentuk
materi dengan menjelma menjadi manusia: Yoh. 1:1, 14); dan melalui pengorbanan-
Nya di atas kayu salib serta kebangkitan-Nya dari antara orang mati, Ia telah
mendamaikan Allah dengan segala sesuatu (ta panta) atau dunia (kosmos) ini (Kol.
1:19- 20; 2 Kor. 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah dengan
manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan manusia dengan
alam. Atas dasar itu, maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah dipulihkan.
Pandangan ini yakni Kristus menjadi dasar dalam ber-etika dan terdapat penghargaan
terhadap semua ciptaan dalam hubungan kemitraan yang sejajar sambil melihat tempat
tanggung jawab manusia yakni sebagai penatalayan yang mengurus dan mengelola
alam secara bertanggung jawab.

21
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A Sonny eraf, Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas,2006.

Alber Schweitzer, The Ethicts of Reverence for Life, dalam The Philosophy of Civilization, 1964,
sebagaimana dimuat dalam Susan J. Amstrong dan Richard G. Botzier (ed), dalam A. Sony Keraf, Etika
Lingkungan. Jakarta: Kompas,2006,

B.F Drewes & Julianus Mojan, Apa Itu Teologi ? : Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi, Jakarta : Bpk
Gunung Mulia, 2007

Dieter T, Theology for Earth Community: A Field Guide. Oregon: Wips & Stock Publishers, 1996), 90
Haskarlianus Pasang, Mengasihi Lingkungan: Bagaimana Orang Kristen, Keluarga dan Gereja
mempraktikan Kebenaran Firman Tuhan untuk menjadi Jawaban atas Krisis Ekologi dan Perubahan Iklim
di Bumi Indonesia (Jakarta: Literatur Perkantas, 2011.

Hessel Dieter T, Theology for Earth Community: A Field Guide. Oregon: Wips & Stock Publishers, 1996

John Carmody, Ecology and Religion: Toward A New Christian Theology of Nature.New York: Pailist,
1983.

Karel Phil Erari, Tanah Kita, Hidup Kita: Hubungan Manusia Dan Tanah Di Irian Jaya Sebagai Persoalan
Teologis: Eko Teologi Dalam Perspektif Melanesia. Pustaka Sinar Harapan, 1999

Kathleen Simpson, Selidik National Geographic : Cuaca Ekstrem. Jakarta : KPG, 2012.

Marie Claire Barth, Pengantar Teologi Feminis. Jakarta : Bpk Gunung Mulia, 2006

Marthin Harun, Alkitab dan Ekologi, Jurnal Ilmiah Popouler. Jakarta: Lembaga Indonesia, 2001

Norman C. Habel & Peter Trudinger, Exploring Ecological Hermeneutic Atlanta: Society of Liberature,
2008

P. Louis Leahy, SJ., editor : J. Sudarminta & S. P. Lili Tjahjadi, Dunia, Manusia dan Tuhan. Yogyakarta:
Kanisius, 2008

Peter C. Aman, Iman Yang Merangkul Bumi : Mempertanggungjawabkan Iman Di Hadapan Persoalan
Ekologi. Jakarta : Obor, 2013

Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusiia dan Alam: Jembatan filosofis dan religious menuju
puncak spiritual, Yogjakarta: Ircisod, 20.

22

Anda mungkin juga menyukai