Dengan kata lain, Tuhan kita tidak puas kalau hanya satu golongan saja yang memuliakan
dan menyembah Dia. Sebaliknya, Ia ingin supaya semua suku bangsa dan ras masuk dalam
koor yang menyembah-Nya. SEMUA MANUSIA ADALAH ORANG BERDOSA
Masalahnya, sampai saat ini target Allah tersebut belum tercapai. Tidak ada satu pun suku
bangsa yang benar. Semuanya telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Dosa telah
memisahkan manusia dengan Allah. Dalam Roma 3:9-20, Paulus membeberkan daftar
panjang dosa kita. Dan semua itu merupakan suatu realitas yang tidak dapat kita mungkiri.
Manusia diciptakan untuk memuliakan Tuhan, tetapi mereka malah mencemari dirinya
dengan melanggar perintah Tuhan. Oleh karena itu, seluruh penduduk sedunia sudah berada
di bawah hukuman Allah dan sudah terpisah dari Allah untuk selama-lamanya. Karena itu
pula, para nabi terus mengangkat masalah dosa manusia untuk menyadarkan mereka akan
keberadaannya yang sesungguhnya. Seluruh ungkapan para nabi itu ditujukan agar manusia
mau berbalik kepada Allah, Penciptanya. PRINSIP TUHAN: DOSA MENANTIKAN
HUKUMAN Paulus menjelaskan dalam Roma 1:18-22, "Sebab murka Allah nyata dari sorga
atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman.
Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah
menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu
kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya
sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. Sebab sekalipun mereka
mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-
Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.
Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh."
Sebenarnya, ada banyak orang yang menyadari bahwa apa yang mereka perbuat tidak bisa
diterima oleh Tuhan (Roma 1:21). Karena mengetahui segudang dosa dalam kehidupannya,
mereka menciptakan berbagai agama untuk menenangkan hati nurani mereka (Roma 1:21-
23). Mereka membuat cara untuk bisa mengerjakan banyak amal. Akan tetapi, Tuhan tidak
bisa disuap dengan 12
berbagai amal buatan manusia (Roma 3:20). Sebaliknya, hanya lewat firman Tuhanlah
mereka dapat mengenal dosa mereka. Di mana ada dosa, di sana pulalah mestinya ada
hukuman. Hukuman yang layak atas dosa manusia adalah hukuman mati. "Sebab walaupun
mereka mengetahui tuntunan-tuntunan hukum Allah, yaitu bahwa setiap orang yang
melakukan hal-hal demikian, patut dihukum mati, mereka bukan saja melakukannya sendiri,
tetapi mereka juga setuju dengan mereka yang melakukannya" (Roma 3:9-20, lihat juga
Roma 6:23). Semua manusia sudah divonis (Roma 3:19b; Yohanes 3:18,36), tetapi
pelaksanaan hukuman ini masih ditangguhkan. Meskipun Tuhan kita panjang sabar dan
lapang hati, manusia tetap tidak akan selamat bila tidak bertobat. Sebaliknya, manusia akan
menjalani hukuman (Roma 2:5-11). Hal ini selaras pula dengan apa yang dikemukakan dalam
Nahum 1:3, "Tuhan itu panjang sabar dan besar kuasa, tetapi Ia tidak sekali-kali
membebaskan dari hukuman orang yang bersalah." JANJI-JANJI TUHAN Suku-suku
bangsa di dunia ini memang hidup di dalam dosa. Akan tetapi, anugerah Tuhan yang luar
biasa tidak membiarkan manusia untuk terus berada di dalam dosa. Melalui Anak-Nya, Ia
mengajarkan firman-Nya kepada manusia, bahkan merelakan diri-Nya untuk menanggung
semua hukuman sebagai ganti manusia (Roma 3:23,24). Meskipun demikian, Tuhan harus
menegakkan kebenaran. Ia tidak mungkin menerima semua orang karena bila demikian,
surga akan dicemari oleh kehadiran orang-orang yang tidak disucikan. Oleh karena itu,
manusia harus dibebaskan dari belenggu dosa dan disucikan oleh darah Yesus. Dan hal ini
hanya terjadi kalau manusia menerima karya Tuhan Yesus dengan imannya (Roma 3:22,25).
Karena Tuhan adalah suci dan hanya orang-orang yang sudah disucikan Tuhan saja yang
akan berada di surga. Firman-Nya jelas tentang hal ini, yaitu tanpa kekudusan tidak ada orang
yang akan melihat Tuhan (Ibrani 12:14; Matius 5:8). Alkitab penuh dengan janji-janji bahwa
suku-suku bangsa akan diselamatkan. Ketika Ismael dan ibunya disuruh meninggalkan rumah
Abraham, mereka mengembara di padang gurun, lalu mereka berseru kepada Tuhan. Seruan
itupun didengar Tuhan (Kejadian 21:17). Mereka pun mendapat air hidup. Dari peristiwa ini,
kita menyadari bahwa keturunan dari Ismael pun bisa berseru kepada-Nya. Anak-anak
Ismael, yaitu Nebayot dan Kedar, akan membawa korban di dalam kebaktian Tuhan,
sebagaimana disebutkan dalam Yesaya 60:7, "Segala kambing domba Kedar akan berhimpun
kepadamu, domba-domba jantan Nebayot akan tersedia untuk ibadahmu; semuanya akan
dipersembahkan di atas mezbah-Ku sebagai korban yang berkenan kepada-Ku, dan Aku akan
menyemarakkan rumah keagungan-Ku." Dari firman tersebut kita melihat bahwa Ismael tidak
disingkirkan untuk selama-lamanya. Melalui anak- anaknya ia akan memberikan kontribusi
yang sangat penting di dalam ibadah kepada Tuhan. Tidak hanya anak-anak Ismael yang akan
datang ke kebaktian besar pada akhir zaman, tetapi suku-suku bangsa lainnya juga. Hal ini
disebutkan dalam Yesaya 60:3-6, "Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu,
dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu. Kelimpahan dari seberang laut akan beralih
kepadamu, dan kekayaan bangsa-bangsa akan datang kepadamu. Sejumlah besar unta akan
menutupi daerahmu, unta-unta muda dari Midian dan Efa. Mereka semua akan datang dari
Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur Tuhan."
Orang dari seberang laut yang dimaksud adalah orang yang datang dari pulau-pulau.
Perhatikan pula ayat-ayat berikut ini.
Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah Tuhan akan berdiri tegak
di hulu gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan
berduyun-duyun ke sana, dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: "Mari, kita naik
ke gunung Tuhan, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya,
dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman
Tuhan dari Yerusalem." (Yesaya 2:2,3)
Segala ujung bumi akan mengingatnya dan berbalik kepada Tuhan; dan segala kaum dari
bangsa-bangsa akan sujud menyembah di hadapan-Nya. (Mazmur 22:28)
Banyak bangsa akan menggabungkan diri kepada Tuhan pada waktu itu dan akan menjadi
umat-Ku dan Aku akan diam di tengah-tengahmu. (Zakharia 2:11)
Beginilah Firman Tuhan semesta alam: "Masih akan datang lagi bangsa-bangsa dan
penduduk banyak kota." (Zakharia 8:20)
13
Kiranya raja-raja dari Tarsis dan pulau-pulau membawa persembahan- persembahan;
kiranya raja-raja dari Syeba dan Seba menyampaikan upeti! Membaca dan merenungkan
semua janji ini -- yang bisa ditambahkan --, tidak bisa diragukan lagi, bahwa dari semua suku
bangsa dalam dunia ini, ada yang ikut pada hari raya besar ini. (Mazmur 72:10)
VISI Tuhan memberikan janji dalam Yesaya 49:6, "Tetapi Aku akan membuat engkau
menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung
bumi." Tapi siapa yang akan bertanggung jawab untuk mewujudnyatakan janji tersebut?
Paulus menerapkan ayat ini kepadanya sendiri, "Sebab inilah yang diperintahkan kepada
kami: Aku telah menentukan engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa yang tidak
mengenal Allah, supaya engkau membawa keselamatan sampai ke ujung bumi" (Kisah Para
Rasul 13:47). Janji-janji Tuhan itu telah menjadi perintah baginya dan berdasarkan hal itulah
ia memberitakan Injil. Bilapun tidak dapat berangkat, ia mendoakan suku bangsa lain agar
mereka selamat (Kolose 1:28-2:3). Meskipun berita Injil harus disampaikan dan diedarkan
seluas-luasnya, sampai kini masih ada suku bangsa yang belum mendengar berita
keselamatan lewat darah Yesus (Roma 3:24,25). Mengapa kita mau menyimpan berita Injil
keselamatan ini untuk diri kita sendiri? Mengapa hati kita tidak dipenuhi dengan belas
kasihan kepada semua orang yang masih hidup dalam kegelapan (Roma 9:1-3)? Tidakkah
Saudara berbeban berat ketika menyadari adanya manusia, malah seluruh suku, yang sedang
menuju ke neraka, sementara mereka sendiri tidak menyadarinya? Bukankah tugas kita justru
memperingatkan mereka? Mengapa banyak orang Kristen tidak peduli ketika banyak manusia
juga ciptaan Allah yang tidak mau menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran, padahal
mereka diciptakan untuk menyembah Tuhan (Roma 11:33-36)? Bagaimana solusi untuk hal
ini? Pergilah dan beritakanlah Injil Yesus Kristus kepada mereka, tetapi lebih dahulu
berdoalah! Tanpa doa tidak ada wewenang! Andaikata tidak ada orang Kristen yang bersedia
untuk berdoa syafaat, mendukung pelayanan, dan pergi kepada suku-suku bangsa lain,
mereka tidak akan beroleh kesempatan. Tuhan sangat memedulikan setiap suku bangsa. Oleh
karena itu, kita harus mengutamakan suku-suku terabaikan sebagai sasaran pelayanan kita
sebagai gereja. Bila kita melakukan hal ini, itu berarti kita berada dalam poros kehendak
Tuhan. Dan kita dapat terlibat lewat doa syafaat dan pergumulan kita melibatkan diri dalam
penginjilan di antara suku-suku terabaikan. Dengan demikian, akan lebih banyak orang dan
suku bangsa yang mau mengerti keselamatan dalam Kristus dan masuk dalam kerajaan
Tuhan. Bersediakah Saudara?
BAB VII
Mengadopsi Salah Satu Suku
Definisi adopsi:
1. Mengangkat anak orang lain dan mengesahkan sebagai anak sendiri; memelihara orang
lain seperti anak sendiri.
2. Mengambil keputusan untuk mempelajari, mendoakan, dan melayani salah satu suku yang
belum mengenal kasih Allah.
3. Membuat satu komitmen formal, sebagai gereja, atau jemaat setempat, atau yayasan, untuk
mendoakan, mengutus, serta mendukung pelayanan lintas budaya dan melayani salah satu
suku yang belum terjangkau.
2. Karena banyak suku yang tidak dapat dilayani oleh pelayanan biasa. Pola pelayanan yang
kontekstual, disesuaikan dengan bahasa daerah setempat, ciri budaya suku tersebut, dan
situasi dan kondisi di tempat tersebut. Kita harus lebih mementingkan ciri budaya suku itu
daripada ciri budaya gereja kita sendiri untuk "memenangkan sebanyak mungkin" (1
Korintus 9:19-23).
3. Untuk menciptakan kemitraan yang konstruktif dan mengurangi persaingan. Setiap suku
memerlukan berbagai macam pelayanan pemuridan, pelayanan sosial, dan pelayanan
gerejawi di seluruh wilayahnya. Namun, kadang kala muncul persaingan yang tidak
konstruktif. Suatu
14
kemitraan daerah dapat menjadi forum komunikasi antarpelayanan dan sebagai saluran
berbagi sumber-sumber pelayanan, misalnya data mengenai budaya, terjemahan, dan buku
cetakan. Kemitraan di lapangan harus dimulai dengan kemitraan doa di gereja dan jemaat
setempat.
2. Menentukan bentuk adopsi yang cocok bagi kelompoknya sendiri pada saat ini
Mendoakan. Masing-masing dari kita bisa mulai berdoa syafaat bagi suatu suku.
Mulai mempelajari, mendoakan, mengunjungi, dan melayani suku. "I will give you every
place where you set your foot, as I promised Moses." (Jos. 1:3, NIV).
Allah kita bekerja melalui doa syafaat umat-Nya. Membuat komitmen untuk berdoa syafaat
adalah keputusan serius. Hal-hal yang didoakan antara lain, siapa dan di mana suku itu
berada, berbagai ciri budaya setempat, kebutuhan jasmani dan rohani, dan hambatan
pelayanan tertentu
2. Mengadopsi untuk Mendukung.
Jika belum siap mengutus pelayan, orang Kristen dapat mendukung pelayanan dalam bentuk
dana, bahan pelatihan, atau tenaga kerja.
3. Mengadopsi untuk Mengutus Pelayan.
Suku-suku ini belum dijanngkau oleh karena pola pelayanan yang biasa tidak efektif di dalam
lingkup budaya yang begitu berbeda. Jadi harus ada kemitraan/kerja sama di dalam proses
mempersiapkan dan mengutus calon pelayan lintas budaya. Seorang pelayan lintas budaya
adalah seorang yang dewasa di dalam Kristus, mampu mengajar, mampu menyesuaikan diri
dengan budaya setempat, dan berpengalaman dalam kerja sama tim secara efektif. BAB VIII
BUDAYA Berasal dari bahasa Latin “colore” yaitu mengolah atau mengerjakan, Inggris
“culture.” Secara umum kebudayaan berarti :
- Cara hidup yang terus berkembang
- Teladan hidup
- Sesuatu yang akan mempengaruhi keseluruhan pengertian, nilai, norma, tingkat
pengetahuan dan meliputi struktur social, religious, dan sistem ide atau gagasan yang terdapat
dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak dan menjadi ciri khas suatu masyarakat.1
Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan disampaikan dapat
mencapai tujuan dan efektif.
- Kebudayaan Material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret,
temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian, arkeologi mencakup barang-barang.
- Bahasa, alat pengantar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap wilayah, bagian dan
negara memiliki perbedaan yang sangat komplek.
15
- Sistem kepercayaan, mempengaruhi sistem penilaian yang ada dalam masyarakat,
mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara
mengkonsumsi, dan cara bagaimana berkomunikasi.2
2Ibid, 261-266. 3G. Kartasapoetra dan R.G. Widyaningsih, Teori Sosiologi, (Bandung: 1982),
51. 4G. Kartasapoetra, Teori Sosiologi, 67.
Dalam hubungan dengan masyarakat, budaya dan sosial terintegrasi sejak manusia itu lahir
berawal dari kehidupan dalam lingkungan keluarga selanjutnya secara bertahap meningkat
terus sehingga menjalin hubungan sosial menyesuaikan dan menentukan cara-cara hidup
masyarakat. Dalam sosiologi modern, budaya dianggap sebagai hasil usaha manusia,
dilimpahkan dari generasi tua kepada generasi muda sehingga setiap orang berpartisipasi ke
dalam budaya itu.3 Pengamatan terhadap realita budaya harus dianalisa dengan metode
visualisasi empat tingkat pemahaman yang berurutan dengan menggunakan ilustrasi yang
disebut dengan teknik “Man from Mars” yaitu seorang mahluk dari Mars baru-baru ini telah
mendarat dengan menggunakan pesawat antariksa di bumi dan ia melihat realita kehidupan
manusia di bumi dari sudut pandangan seorang pengunjung asing dari antariksa. Adapun 4
tingkatan tersebut terdapat dalam gambar di bawah ini :
Gambar Empat tingkatan pengamatan budaya.4 Lapisan pertama dan lapisan permukaan yang
akan diamati oleh seorang asing adalah tingkah laku orang. Lapisan kedua dalam pengamatan
adalah pilihan-pilihan orang tersebut terhadap apa yang baik atau terbaik yang mencerminkan
nilai-nilai pokok orang itu. Lapisan ketiga adalah kepercayaan seseorang yang membuat
orang itu melakukan hal-hal yang dianggapnya benar. Lapisan keempat ialah pandangan
hidup seseorang dalam suatu kebudayaan yang menjadi inti dari ekspresi sebuah tingkah laku
atau pola hidup. Bentuk-bentuk kebudayaan dalam Alkitab harus dipahami dalam konteks
kebudayaannya. Bentuk-bentuk kebudayaan itu tidaklah sakral, tetapi maknanyalah yang
sakral. Sesungguhnya semua kebudayaan bersifat relatif, termasuk kebudayaan-kebudayaan
dalam Alkitab. Menurut Richard Niehbur dalam buku Christ and Culture hubungan
Kekristenan dengan budaya digambarkan dalam lima pandangan yaitu : 16
1. Christ against culture.
Penganut pandangan ini berpendapat bahwa dunia ini dan budayanya penuh dosa dan najis
bagi Tuhan sehingga Kekristenan harus menentang seluruh dunia ini serta budayanya.
2. Christ of culture
Penganut pandangan ini berpendapat bahwa Kekristenan adalah bagian dari budaya sehingga
Kekristenan menerima pengajaran budaya yang dianggap sama dengan pengajaran Kristus.
3. Christ above culture
Pandangan ini menyatakan Kekristenan berada di atas budaya. Budaya dianggap sebagai
hukum alam sedangkan di atasnya kekristenan adalah hukum surgawi.
4. Christ and culture in paradox
Pandangan ini bersifat dualistis karena di satu pihak menganggap semua budaya adalah buruk
dan di pihak lain mengakui bahwa mereka berada di dalam masyarakat budaya yang buruk
itu, tetapi Tuhan memelihara mereka setiap saat oleh anugerah.
5. Christ transforming culture
Penganut ini memiliki pemahaman bahwa Kekristenan harus merubah dan memperbaharui
budaya yang fana dan penuh dosa.5
5H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, (New York: Harper & Row, 1951), 55.
BAB IX
Memahami Budaya
Apa itu budaya? Bagi mereka yang baru mulai mempelajari antropologi misionaris,
pertanyaan ini sering kali menjadi tanggapan pertama mengenai deskripsi, definisi,
perbandingan, model, paradigma, dll. yang membingungkan. Mungkin tak ada kata dalam
bahasa Inggris yang lebih luas daripada kata budaya; tak ada bidang lain yang lebih kompleks
daripada antropologi budaya. Namun, pemahaman mendalam akan arti budaya adalah
prasyarat agar Kabar Baik dari Tuhan dapat disampaikan secara efektif kepada kelompok
orang yang berbeda. Prosedur dasar dalam pembelajaran budaya adalah memahami
budayanya sendiri. Setiap orang memiliki budayanya sendiri dan tidak ada seorang pun yang
bisa lepas darinya. Memang benar bahwa siapa pun bisa menghargai budaya lain dan
berkomunikasi secara efektif dengan dua atau lebih budaya. Namun, tak seorang pun yang
bisa mengungguli budayanya sendiri atau budaya orang lain untuk mendapat cara pandang
yang melampaui batas budaya. Karena alasan inilah perkara mempelajari budaya menjadi hal
yang sulit, meskipun itu budayanya sendiri. Dan hampir mustahil untuk melihat suatu hal
yang hanya menjadi bagian dari seseorang secara menyeluruh dan objektif. Salah satu metode
yang berguna adalah memandang suatu budaya, membayangkan beberapa lapisan secara
berturut-turut, atau tingkat pemahaman saat melihat arti budaya yang sebenarnya. Dengan
begitu, teknik "pria dari Mars" ini akan berguna. Bayangkanlah seorang pria dari Mars baru
saja mendarat (dari pesawat ruang angkasa) dan melihat semua hal melalui kacamata alien.
Hal pertama yang akan diperhatikan seorang pengunjung adalah perilaku orang. Inilah
lapisan terluar yang akan diperhatikan oleh alien. Kegiatan apa yang akan diamatinya? Apa
yang sudah dilakukannya? Saat memasuki sebuah ruang kelas, tamu kita mungkin mengamati
beberapa hal yang menarik. Orang bisa berada di ruangan ini karena satu atau lebih
penyebab. Tampaknya mereka mengitari ruangan dengan sewenang-wenang. Seorang yang
lain berpakaian berbeda dengan yang lainnya dan mengatur posisinya sehingga berhadapan
dengan orang-orang dan mulai berbicara. Saat semua ini diamati, beberapa pertanyaan akan
muncul, "Mengapa mereka berada di kelas ini? Mengapa si pembicara berpakaian berbeda?
Mengapa banyak yang duduk ketika satu orang berdiri?" Ini adalah pertanyaan tentang arti
yang timbul karena mengamati perilaku. Menanyakan perbedaan cara bertindak pada
beberapa orang mungkin menjadi suatu hal yang menarik untuk dilakukan. Namun, beberapa
orang mungkin akan mengangkat bahu dan berkata, "Memang beginilah cara kami
melakukan sesuatu." Tanggapan ini menunjukkan fungsi penting dari budaya, yaitu
memberikan "cara yang terpola dalam melakukan sesuatu", seperti yang dijelaskan oleh satu
kelompok ahli antropologi misionaris. Anda bisa menyebut budaya sebagai "lemsuper" yang
mengikat orang dan memberikan rasa identitas dan kelangsungan yang hampir tak bisa
ditembus. Identitas ini paling jelas terlihat dari perilaku -- cara melakukan sesuatu.
Dalam mengamati penduduk, alien mulai menyadari banyak perilaku yang didikte oleh
pilihan-pilihan serupa yang telah dibuat masyarakat. Pilihan ini mencerminkan masalah nilai-
nilai budaya, lapisan berikutnya dari pandangan kita akan budaya. Masalah ini selalu
berhubungan dengan pilihan mengenai apa yang "baik", apa yang "menguntungkan", atau apa
yang "terbaik". 17
Jika pria dari Mars itu terus menyelidiki orang-orang di kelas tersebut, dia mungkin akan
menemukan bahwa ada berbagai pilihan untuk mereka dalam melewatkan waktu. Selain
belajar, mereka bisa bekerja atau bermain. Banyak yang akan memilih belajar karena yakin
itu pilihan yang lebih baik dibandingkan bermain atau bekerja. Dia menemukan berbagai
pilihan lain yang telah mereka buat. Sebagian besar dari mereka memilih datang ke ruangan
dengan kendaraan kecil beroda empat karena merasa kemampuan untuk dapat berpindah
dengan cepat sebagai hal yang sangat menguntungkan. Memasuki ruangan beberapa saat
setelah orang-orang lain masuk dan segera keluar setelah pertemuan berakhir. Orang-orang
ini mengatakan bahwa sangat penting bagi mereka untuk menggunakan waktu dengan efisien.
Nilai adalah keputusan "yang ditetapkan sebelumnya" di antara pilihan yang umumnya
dihadapi, yang dibuat oleh suatu budaya. Ini membantu orang-orang yang tinggal di dalam
budaya tersebut untuk mengetahui apa yang "sebaiknya" atau apa yang "harus" dilakukan
agar "cocok" dan sesuai dengan pola kehidupan. Melebihi pertanyaan mengenai perilaku dan
nilai, kita menghadapi pertanyaan yang lebih mendasar mengenai budaya. Hal ini membawa
kita menuju tingkat pemahaman yang lebih mendalam, yaitu kepercayaan budaya.
Kepercayaan ini memberi jawaban atas pertanyaan "apa yang benar". Nilai-nilai dalam
budaya tidak dipilih secara sembarangan, tapi mencerminkan sistem kepercayaan yang
mendasari. Misalnya, dalam kelas, seseorang yang menyelidiki lebih jauh mungkin akan
menemukan bahwa "pendidikan" memiliki arti penting tertentu karena anggapan mereka
tentang apa yang benar dari orang tersebut, kemampuannya untuk berpikir dan memecahkan
masalah. Dalam hal ini, budaya diartikan sebagai "cara pandang yang dipelajari dan dibagi
bersama" atau "orientasi kognitif yang dibagi bersama". Menariknya, alien penyelidik kita
bisa menemukan bahwa orang yang berbeda dalam ruangan tersebut, saat menunjukkan nilai
dan perilaku yang sama, bisa menyatakan kepercayaan yang sangat berbeda. Dan dia juga
bisa menemukan bahwa nilai dan perilaku bertentangan dengan kepercayaan yang seharusnya
menghasilkannya. Masalah timbul dari kebingungan antara kepercayaan pelaksanaan
(kepercayaan yang memengaruhi nilai dan perilaku) dan kepercayaan teoritis (menyatakan
kepercayaan yang hanya sedikit memengaruhi nilai dan perilaku). Inti dari semua budaya
adalah pandangannya terhadap dunia. Hal ini menjawab pertanyaan paling dasar, "Apa yang
sebenarnya?" Bidang budaya ini berkaitan dengan pertanyaan "terakhir" yang terpenting
mengenai kenyataan, pertanyaan yang jarang ditanyakan, namun yang jawaban terpentingnya
dapat diberikan oleh budaya. Beberapa tamu kita dari Mars bertanya pada orang-orang,
pernahkah mereka serius memikirkan pandangan hidup yang terdalam, yang telah membawa
mereka ada dalam kelas ini. Siapa mereka? Dari mana mereka datang? Adakah hal atau orang
lain yang mengambil kenyataan yang seharusnya dipikirkan? Apakah mereka melihat apa
adanya atau adakah sesuatu yang lain? Apakah hanya saat ini yang terpenting? Ataukah masa
lalu dan masa depan secara signifikan memengaruhi pengalaman masa kini mereka? Setiap
budaya memiliki jawaban rinci atas pertanyaan-pertanyaan ini dan jawaban itu
mengendalikan dan menyatukan semua fungsi, aspek, dan komponen budaya. Pemahaman
akan pandangan dunia sebagai inti setiap budaya menjelaskan kebingungan akan banyaknya
pengalaman pada tingkat kepercayaan. Pandangan dunia seseorang memberi satu sistem
kepercayaan yang tercermin dalam nilai dan perilaku orang itu yang sebenarnya. Terkadang
diperkenalkan sistem kepercayaan yang baru atau yang bersaing, namun pandangan dunia
tetap tidak berubah dan tidak tertantang sehingga nilai dan perilaku mencerminkan sistem
kepercayan yang lama. Kadangkala orang yang menceritakan Injil secara lintas budaya tidak
memperhitungkan masalah pandangan dunia ini. Karena itulah, mereka merasa kecewa
karena kurangnya perubahan yang dihasilkan usaha mereka. Model budaya ini terlalu
sederhana untuk menjelaskan banyak unsur dan hubungan kompleks yang ada pada setiap
budaya. Bagaimanapun juga, model yang sangat sederhana ini menjadi garis besar dasar bagi
setiap murid yang mempelajari budaya.
BAB X
Budaya dalam Kerangka Pikir Misiologi
MEMAHAMI BUDAYA
Setiap orang memiliki budaya dan tidak seorang pun dapat dipisahkan dari budayanya
sendiri. Tantangan berat bagi para misionaris (baik dalam maupun luar negeri) adalah
mengidentifikasi diri dengan orang-orang yang dilayani. Untuk itu, mereka dituntut
memahami budaya kelompok masyarakat yang dituju. 18
Langkah pertama untuk belajar budaya-budaya lain adalah menguasai budaya sendiri.
Apakah arti budaya itu? Budaya menurut para sarjana Antropologi adalah hal-hal yang
bersangkutan dengan akal (Kuncaraningrat). Budaya adalah sejumlah kebiasaan yang saling
berkaitan (Antropolog AS Boas Kroeber, Clinton, dll.). Budaya adalah organisasi sosial yang
direfleksikan oleh keseluruhannya (Antropolog Inggris Malinowski, Raeliffie Brown). Lloyd
E. Kwast menjelaskan: "Budaya memiliki empat lapisan yang terdiri dari tingkah laku, nilai-
nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan cara pandang dunia." 1. Tingkah laku: "Apa yang Dibuat
atau Dikerjakan" Lapisan yang paling luar adalah "tingkah laku", yang dapat diamati dengan
mudah. Hal-hal yang dapat diamati adalah: kebiasaan-kebiasaan serta bahasa-bahasa dalam
berbagai bentuk dan arti. Rangkaian antara bentuk dan arti menghasilkan suatu simbol: "Apa
yang dikerjakan?" Pertanyaan tersebut melahirkan pertanyaan: "Apa artinya?" Contoh:
Acungan jempol, berjabat tangan, orang Barat berpelukan sambil mencium pipi, dan lain-
lain. 2. Nilai-Nilai: "Apa yang Baik atau yang Terbaik?" Tingkah laku kebanyakan
bersumber dari suatu sistem nilai-nilai standar tingkah laku dan pertimbangan yang
memberikan tuntutan ke dalam hal apa yang baik dan indah atau terbaik dan terindah. Sistem
nilai biasanya tumpang tindih dengan budaya. Pertanyaan "Apa yang baik atau yang terbaik?"
mencetuskan pertanyaan lain: "Apa yang dibutuhkan?" Contoh: Di Irlandia jumlah penduduk
lebih besar daripada persediaan makanan. Penduduknya sering mengalami kekurangan
makanan yang amat dahsyat, dan itu sudah biasa bagi mereka. Oleh karena itu, ada kebutuhan
yang nampak dan mendesak yaitu mengurangi jumlah penduduknya. Tetapi karena jumlah
mayoritas penduduk adalah pemeluk agama Kristen yang menolak KB, maka jalan keluarnya
adalah menyusun dan mengembangkan kebudayaan dengan suatu anjuran yang menyerupai
keharusan. Setiap penduduknya diminta untuk tidak menikah sebelum berusia 30 tahun.
Akhirnya, laju pertambahan penduduk bisa dikurangi karena adanya penundaan pernikahan.
Di India terjadi sebaliknya, pernah juga terjadi kelaparan yang sangat hebat sehingga rata-rata
orang di sana hanya berusia 28 tahun. Hampir setengah dari anak-anak meninggal sebelum
berusia 5 tahun, sehingga terjadilah kekurangan penduduk. Dengan demikian nampaklah
suatu kebutuhan dan budaya yang harus dikembangkan sebagai jalan keluar dari masalah
tersebut. Wanita-wanita di India diwajibkan untuk menikah pada usia 12 atau 13 tahun.
Akhirnya terjadilah ledakan jumlah penduduk yang luar biasa sampai sekarang. 3.
Kepercayaan-Kepercayaan: "Apa yang Benar?" Nilai-nilai merupakan refleksi dari
kepercayaan-kepercayaan. Sering kali, kepercayaan-kepercayaan dipertahankan secara
teoretis tetapi tidak memengaruhi nilai-nilai atau tingkah laku. Sistem kepercayaan-
kepercayaan berperan untuk memberikan tuntutan kepada masyarakat setempat dalam
mengambil keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan. Contoh: Perang antara suku Madura
dengan suku Dayak di Kalimantan Barat. Suku Dayak identik dengan kekristenan yang
percaya bahwa tidak diperbolehkan membunuh manusia. Tetapi kebutuhan akan
kelangsungan hidup dan kejayaan suku tersebut membuat mereka memilih membunuh
daripada tetap mengikuti kepercayaannya. 4. Cara Pandang Dunia: "Apa yang Terjadi?" Cara
pandang dunia adalah keyakinan dasar seseorang yang berfungsi sebagai lensa tafsir terhadap
kenyataan dan penuntun menuju suatu keputusan. Contoh: Orang dari suku Jawa percaya ada
hari-hari tertentu yang baik yang bisa mendatangkan kebaikan dan ada hari-hari tertentu yang
tidak baik yang mendatangkan sial. Jika ada rumah tangga yang berhasil atau gagal sering
ditafsirkan karena pengaruh hari perkawinannya. Sifat Umum dari Budaya 1. Allah
menciptakan budaya. Para misiolog, khususnya yang berpaham injili, rata-rata percaya bahwa
budaya adalah ciptaan Allah yang baik pada mulanya dan rusak bersama dengan jatuhnya
manusia dalam dosa. 2. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk berbudaya. 19
Ini adalah satu hal yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain yaitu manusia
sebagai makhluk yang berbudi dan berbudaya. 3. Budaya telah rusak bersama dengan
rusaknya gambar dan rupa Allah dalam diri manusia. Karena manusia tidak bisa dipisahkan
dengan budayanya, maka penebusan sudah barang tentu meliputi budaya. Oleh karena itu,
para misiolog perlu mengamati dan menghargai budaya-budaya lain, mengantisipasi karya
Allah di dalam dan melalui budaya-budaya tersebut. INJIL DAN BUDAYA Injil di Balik
Budaya Dalam gerakan pemberitaan Injil yang dilakukan oleh para misionaris, pernah terjadi
perbedaan yang tidak jelas antara Injil dan kebudayaan. Walaupun tidak mudah, perbedaan
Injil dan budaya harus dibuat dengan jelas. Jika perbedaan antara kedua unsur tersebut kurang
jelas, akan ada bahaya bagi pembawa Injil untuk membiarkan budayanya sendiri menjadi
pesan Injil. Ada beberapa contoh "bagasi budaya" yang dijadikan bagian dari pesan Injil,
seperti demokrasi, kapitalisme, bangku dan mimbar gereja, sistem organisasi, peraturan,
pakaian resmi pada hari Minggu, dll.. Akhirnya, sering kali terjadi permasalahan terhadap
budaya asing yang ditambahkan atau dilampirkan pada pesan Injil mengakibatkan penolakan
terhadap kekristenan. Injil vs Budaya Ketika berhadapan dengan budaya, Injil sering
menghadapi dua kemungkinan, yaitu Injil menelan budaya atau budaya menelan Injil. Kedua-
duanya sama-sama mendatangkan kerugian. Jalan keluarnya adalah kontekstualisasi.
Beberapa contoh: a. Orang-orang Kristen di Jawa tidak lagi mengurusi kuburan leluhurnya
dan memanjatkan doa di sana sehingga kuburan-kuburan orang Kristen Jawa menjadi rusak,
kotor, dan tidak terawat. Akibatnya orang-orang Jawa yang belum Kristen takut masuk
Kristen karena takut kuburannya tidak terawat dan tidak dikirimi doa oleh kerabatnya. b.
Orang-orang Kristen di Afrika tidak lagi membersihkan sampah dan kotoran-kotoran yang
menurut keyakinan sebelumnya dipakai sebagai tempat persembunyian roh-roh jahat; mereka
tidak lagi takut dengan roh-roh tersebut. Akibatnya, sampah dan kotoran-kotoran tersebut
menjadi sarang penyakit dan banyak mendatangkan kematian. Hal tersebut menghalangi
orang lain untuk menjadi Kristen. Orang-orang Kristen Indonesia yang beribadah di sebuah
gereja dengan mimbar dan bangku, pakaian bagus, tata ibadah, paduan suara, seperangkat alat
musik dan lain-lain lebih mencirikan budaya Barat daripada Injil, sehingga bagi orang-orang
yang tidak bisa menerima budaya Barat dengan sendirinya menolak Injil. ANALISA
BUDAYA Agar tidak terjadi kekeliruan, para utusan Injil harus menganalisa budaya sesuai
dengan tahapan-tahapannya, sehingga ada peluang untuk membuka pintu masuk bagi Injil.
Tahap Fenomenologis Tahapan ini hanya melihat fenomena dari permukaan saja. Dalam
ilmu alami kita menyelidiki fenomena dari pengalaman panca indra. Para ilmuwan sosial
(anthro, sosio, psiko) memandang dari "pendekatan orang dalam" ("pendekatan emic")
terhadap realita. Kita menyelidiki bagaimana orang dalam memandang sesuatu, sebab ini
merupakan kerangka untuk kita mengerti kepercayaan dan tingkah lakunya. "Pendekatan
orang dalam" ini menolong kita mengerti orang dari kebudayaan lain dari sudut pandang
mereka. Tetapi pendekatan ini tidak disertai dengan pemikiran kritis. Penjelasan tentang
suatu fenomena diterima sebagai suatu kebenaran. Jadi, kalau mereka berkata bahwa penyakit
cacar disebabkan oleh suatu roh atau karena kutukan nenek moyang, maka jawaban itu akan
diterima sebagaimana adanya. "Pendekatan emic" akhirnya hanya akan menghasilkan pikiran
naif dan relativisme kebudayaan. Tidak ada yang mutlak atau benar secara universal. Tahap
Ontologis
Pada tahap ini kita berusaha menggali fenomena lebih dalam lagi untuk mengetahui "realita
yang sebenarnya". Pada tahap ini kita mengevaluasi berbagai teori; kita menerima teori yang
lebih dapat 20
menjelaskan realita dan menolak yang lain. Pada tahap ontologis kita menegaskan bahwa ada
suatu realita yang benar yang didukung oleh teori-teori, dan bahwa ada "penyebab" absolut
atas segala sesuatu. Dalam ilmu antropologi pendekatan ontologis disebut sebagai
"pendekatan etic". "Pendekatan etic" berarti kita mengembangkan suatu sistem untuk
membandingkan dan mengevaluasi berbagai kultur untuk mencapai suatu teori universal.
Misalnya, kita mengambil konklusi bahwa malaria di seluruh dunia disebabkan oleh nyamuk.
Atau, gerhana matahari disebabkan oleh bulan melintas di bawah matahari. Tahap
Misiologis Dalam pelayanan lintas budaya kita harus menghadapi perbedaan antara
pendekatan emic dan etic. Misalnya ada kultur yang membenarkan pembunuhan anak, tetapi
berdasarkan Alkitab kita menegaskan perbuatan itu sebagai dosa. Hitler membenarkan
pembunuhan orang Yahudi, sebagai orang Kristen kita kutuk perbuatan itu sebagai dosa.
Dalam hubungan kita dengan masyarakat non-Kristen kita perlu memulai dengan
kepercayaan dan praktik mereka. Misalnya, kepada orang yang beragama lain yang menolak
pembunuhan segala sesuatu, kita jelaskan obat luka sebagai "obat membersihkan luka",
bukan "obat pembunuh kuman'". Atau, di masyarakat yang masih percaya kepada dukun kita
mungkin bisa menawarkan alternatif baru daripada menantang jawaban yang lama, seperti
obat sebagai ganti dukun. Bahaya memakai pendekatan emic ialah kita menguatkan
kepercayaan mereka. Ada bagian-bagian dalam setiap kebudayaan yang tidak dapat diterima
oleh Injil, dan bagian ini perlu ditantang. Ketika Injil tidak menantang kultur, melainkan
mendukungnya, maka akan timbul suatu aliran kepercayaan. Supaya kita menghasilkan orang
Kristen dewasa, maka kita harus menantang kepercayaan palsu dan memperkenalkan
kebenaran alkitabiah. Artinya, kita harus memperkenalkan standar dan kepercayaan eksternal.
Oleh karena itu pendekatan misiologi yang baik adalah yang menggabungkan pandangan
emic dan etic, dan rela bekerja dalam ketegangan yang akan timbul di antaranya. BAB XI
Lebih Jauh Tentang Budaya dan Identifikasi Jika ada orang Kristen yang menghakimi
orang non-Kristen dengan menyebut mereka sebagai jahat, kafir, dan berdosa, orang Kristen
itu telah bersalah. Budaya "Kristen" yang seperti itu sebenarnya juga suatu dosa. Pekerja
lintas budaya perlu memahami bahwa sebagian besar budaya adalah netral. Lausant Covenant
dalam artikelnya, "Penginjilan dan Budaya", mengatakan, "Karena manusia adalah ciptaan
Tuhan, sebagian budayanya kaya dalam hal keindahan dan kebaikan." Dalam komentarnya,
John Stott menjelaskan, "Budaya bisa disamakan dengan permadani hiasan, rumit namun
indah, yang dibuat oleh masyarakat tertentu untuk mengekspresikan identitas hukumnya.
Kepercayan dan budaya adat adalah bagian dari permadani ini. Lausanne Covenant
menentang pemasukan "budaya alien" ke dalam Injil. Willowbank Report dengan tegas
menyatakan, "Terkadang dua kesalahan budaya ini dilakukan bersamaan, dan si penginjil
bersalah karena imperialisme kultural merusak budaya lokal dan bahkan membawa masuk
budaya alien." Setiap budaya harus diuji dan dinilai oleh Kitab Injil seperti yang ditegaskan
Lausanne Covenant. Kebanyakan budaya bisa diperluas menjadi sarana untuk mengabarkan
Injil. Dalam kitab Kisah Para Rasul 17:26-28, Paulus -- dalam sidang Areopagus di Atena --
mengatakan bahwa Tuhan sudah menentukan tempat yang tepat di mana orang harus tinggal.
Karena itulah, budaya merupakan bagian dari rencana Tuhan. Dan Ia menempatkan orang di
tempat di mana mereka harus tinggal agar mereka dapat mencari dan menemukannya. Pada
kesempatan ini, kita mungkin menemukan bahwa pendekatan Paulus terhadap orang Atena
berbeda dengan pendekatannya pada jemaatnya. "Pandangan dunia" orang Atena perlu
diperhitungkan dan diperhatikan. Paulus sudah melihat bahwa kota itu penuh dengan berhala
dan hal itu membuatnya sedih. Dalam pesannya, ia mulai membuat referensi mengenai cara
hidup rohani dan objek berhala mereka. Secara khusus, dia sangat tertarik dengan sebuah
mezbah yang bertuliskan: KEPADA ALLAH YANG TIDAK DIKENAL.
Lalu ia menyatakan siapa Tuhan itu, Sang Pencipta, Allah surga dan bumi yang tidak
menetap di kuil-kuil buatan manusia. Dialah Pemberi semua nafas kehidupan. Kemudian
Paulus 21
membuat referensi mengenai di mana manusia harus tinggal sebagai sesuatu yang ditentukan
Tuhan. Tuhan melakukan ini agar orang-orang mencari dan bisa menemukan-Nya. Paulus
juga mengutip filsafat Yunani dan menegaskan apa yang telah mereka katakan. Dari kutipan
salah satu puisi mereka, dia memperkenalkan Injil. Setelah membicarakan inti dari
kepercayaan mereka, dia memperkenalkan kebenaran. Berbagai macam tanggapan muncul
ketika Paulus membicarakan penyaliban. Hanya sedikit yang memercayainya, termasuk
seorang anggota Areopagus. Rasul Paulus peka terhadap budaya. Dia tentu sudah menyadari
bahwa orang-orang tersebut sangat berpegang pada budayanya dan dibentuk oleh latar
belakang mereka ketika dia menulis surat 1 Korintus 9. Konteks ini berkaitan dengan
penyerahan hak-haknya sebagai seorang rasul. Dia membuat satu pernyataan yang
mengagumkan, "Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba
dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang." Lebih jauh
lagi dia mengatakan, "Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi ....
Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat (non-Yahudi) aku menjadi seperti
orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat ...." Perhatikanlah kata "seperti" dan
renungkan artinya. Paulus bertekad untuk menjadi "segalanya bagi semua manusia" agar
dapat menyelamatkan mereka. Dalam beberapa kitab Galatia, Paulus mengenali bahwa hanya
ada satu Injil. Namun, Injil ini akan diartikan berbeda oleh orang-orang Yahudi dan non-
Yahudi. Oleh karena itu, dalam membawa berita Injil kepada orang non-Yahudi, orang
Yahudi tidak boleh memaksakan unsur-unsur keyahudiannya kepada orang non-Yahudi.
Karena unsur-unsur tersebut tidaklah penting untuk Injil, malah merusakkan kebenaran Injil.
Masalah yang umum dengan para pekerja lintas budaya adalah mereka sering kali sudah
memiliki pandangan awal tentang apa yang membantu pelayanan mereka. Bukan hanya
memiliki pola budayanya sendiri yang ternyata sulit untuk diubah, mereka juga membawa
"sub-budaya Kristen" mereka. Misalnya, seorang misionaris yang terlibat dalam perintisan
gereja tentunya sudah memikirkan cara perintisan tertentu. Pemikiran seperti itu akan
merintangi penginjilan. Yang sama buruknya, orang-orang yang tinggal di kota sasaran
penginjilan akan meneliti unsur Kristen baru dan berpikir bahwa mereka harus menerima dan
mempraktikkan unsur-unsur ini agar menjadi orang Kristen. Tidak mengherankan, banyak
orang Asia yang memandang agama Kristen sebagai agama Barat. Melihat kembali sejarah
kekristenan pada tahun 1500-1900 di Asia, Paul Johnson membuat pernyataan tajam. "Adalah
ketidakmampuan kekristenan untuk berubah dan mengurangi sifat keeropaannya sehingga
kesempatan yang ada terlewatkan. Sangat sering gereja Kristen menempatkan dirinya sebagai
perluasan konsep sosial dan intelektual Eropa daripada sebagai perwujudan kebenaran
universal .... Meskipun kekristenan lahir di Asia, saat diekspor kembali dari abad enam belas
ke depan, kekristenan gagal untuk mendapatkan sifat keasiaannya." Banyak misionaris Barat
pada masa lampau yang tidak mau mengenali budaya asli tempatnya berada karena tekanan
dan ketegangan yang akan mereka hadapi dalam proses pengenalan itu. Kini ketika orang-
orang Asia terlibat dalam pelayanan lintas budaya, mentalitas yang sama ini harus
disingkirkan. Kita bisa disalahkan karena merusak prinsip alkitabiah misi. FUNGSI,
BENTUK, DAN ARTI Misionaris yang terlibat dalam perintisan gereja harus berhati-hati
dalam membedakan fungsi dan bentuk. Fungsi adalah kegiatan penting yang memiliki tujuan.
Sedangkan bentuk adalah pola, struktur, atau metode yang digunakan untuk melaksanakan
fungsi. Orang Kristen baru perlu mengekspresikan kepercayaan mereka dan menyembah
dalam cara kultural yang berarti. Mereka harus memiliki kebebasan untuk menolak pola
kultural alien dan mengembangkan pola kulturalnya sendiri. Mereka bebas untuk
"meminjam" bentuk budaya dari yang lain, namun harus yang berarti. Seseorang dengan latar
belakang religius Asia akan terbiasa jatuh dan lemah dalam menyembah Tuhan daripada
duduk di kursi dengan mata tertutup. Di Afrika, drum digunakan di beberapa daerah untuk
memanggil orang-orang dalam penyembahan, meskipun sebelumnya alat tersebut tidak
diterima. Di Bali, dewan penatua gereja mempelajari kepercayaan alkitabiah dan kultural,
lalu menentukan bahwa gaya arsitektural tertentu untuk jemaat mereka akan bisa dengan jelas
menunjukkan kepercayaan mereka. Karena orang-orang Bali sangat "visual", mereka
mengekspresikan kepercayaan terhadap Trinitas dengan merancang atap bangunan gereja
mereka menjadi bertingkat tiga. Dalam suatu budaya, hampir semua adat akan melaksanakan
fungsi yang penting. Untuk itulah, adat seharusnya tidak dicap "jahat" dan dihapuskan tanpa
melihat fungsi dan artinya. Terkadang, adat lama bisa memberi arti yang baru. Beberapa
memang harus dihapuskan. Dalam beberapa contoh, bisa diberikan adat penggantinya yang
menjalankan fungsi sama. 22
KEUNIVERSALAN INJIL Ketika kita mengenali orang-orang dari budaya yang berbeda,
pesan yang kita bawa, yaitu Injil bisa disampaikan. Injil ini ditemukan dalam Alkitab. Di satu
sisi, isi Injil ditemukan dalam keseluruhan Alkitab yang menjelaskan Injil dengan berbagai
macam cara kepada orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Ada sesuatu dari Injil yang
relevan dengan budaya apa pun. Yang harus kita hindari adalah membawa Injil yang belum
dikemas ke dalam satu budaya baru. Banyak kelompok yang terburu-buru "mengambil
keputusan untuk Tuhan" telah menjadi tidak bijaksana dalam melaksanakan metode.
Akibatnya, mereka lebih banyak mengakibatkan kerusakan daripada perbaikan dan terkadang
pula menutup jalan bagi pekerjaan lintas budaya yang selanjutnya. Orang bisa menolak pesan
Injil bukan karena mereka antipati terhadap Kristus atau kekristenan, namun karena
kekristenan dianggap sebagai ancaman terhadap budaya dan solidaritas masyarakat mereka.
Ini tidak hanya terjadi pada masyarakat suku dan religius, tetapi juga pada masyarakat
sekuler. Oleh karena itu, faktor kultural tidak bisa diartikan hanya di permukaan saja. Ketika
firman Tuhan mulai menembus suatu masyarakat, firman itu memiliki kuasa untuk berbicara
kepada adat dan kepercayaan masyarakat tersebut. Adat dan kepercayaan yang tidak cocok
dengan Kitab Injil harus dihapuskan. Yang tidak bertentangan dengan Injil bisa
dipertahankan, bahkan dipoles dan diubah di bawah pemerintahan Tuhan. Dan saat orang
berserah dalam pemerintahan Tuhan, Roh Kudus meneranginya melalui kitab Injil untuk
memahami kebenaran dengan cara yang baru melalui pandangan mereka sendiri.
PEMERINTAHAN TUHAN ATAS BUDAYA Saya ingat, ketika akan masuk universitas,
bagaimana bapa rohani saya menasihati saya untuk melihat semua seni, ilmu, dan filosofi
yang akan saya geluti di bawah pemerintahan Kristus. Ini semua harus diuji di bawah
ketelitian Kitab Injil. Nasihatnya tidak pernah saya lupakan. Adalah petualangan untuk
melihat semua studi lewat pandangan ini. Jika Kristus sungguh-sungguh Tuhan atas
segalanya, budaya harus berada di bawah-Nya. Prinsip ini cukup berguna karena pekerja
lintas budaya harus hidup dengan tingkat ambiguitas (suatu persyaratan agar pekerja lintas
budaya menjadi efektif). Lausanne Covenant dalam salah satu arikelnya di Penginjilan dan
Budaya menyatakan, "Injil ... mengevaluasi semua budaya menurut kriteria kebenarannya
dan menuntut kemutlakan moral di setiap budaya." Maka dari itu, firman Tuhan menolak
berhala-berhala yang menentang keunikan Tuhan. Hukum moral Tuhan juga bersifat mutlak,
sedangkan budaya mengandung adat istiadat dengan nilai yang berkaitan. Injil Anugerah juga
menolak budaya, bentuk, dan praktik yang didasarkan pada kebaikan manusia untuk
memperoleh keselamatan. Ketika orang terbuka terhadap pengajaran Injil, kita bisa
memercayai bahwa Roh Tuhan mengubahkan "pandangan dunia" orang-orang ini saat
mereka menaati firman Tuhan.
BAB XII
Aspek-Aspek Komunikasi Lintas Budaya
A. Utamakan yang Terpenting Ada dua hal penting yang perlu kita pelajari agar berhasil
menginjili siapa pun, khususnya kelompok mayoritas. Tanpa kedua hal ini, usaha kita akan
sia-sia. Pertama adalah hidup yang kudus, dan yang kedua adalah doa dan kepercayaan yang
teguh bahwa Allah masih melakukan mukjizat guna meneguhkan kebenaran Injil. Hidup
yang Kudus Penginjilan yang berhasil tidak pernah bergantung pada perdebatan yang hebat
atau teknik-teknik yang diterapkan secara sempurna. Berpikir dan belajar bagaimana
memberitakan Injil secara lebih baik tetap merupakan hal yang penting. Walaupun demikian,
betapa pun menariknya kesaksian kita kepada kelompok mayoritas, kesaksian kita ini tidak
akan berguna jika hidup kita tidak mencerminkan kepribadian Kristus. Hal itu seperti
menghidangkan makan malam yang lezat di piring yang kotor. Saksi Kristus yang tidak hidup
kudus mungkin akan lebih banyak merugikan daripada menguntungkan perluasan
pemberitaan Injil.
Saya kenal seorang laki-laki yang senang berbicara tentang Yesus dan Injil dengan siapa saja
yang mau mendengar. Dia memandang dirinya sendiri sebagai pengkhotbah dan penginjil,
namun dia sudah menikah beberapa kali. Baru-baru ini saya melihat dia bersama wanita lain
yang bukan 23
istrinya. Orang itu tidak memiliki kesaksian yang baik di lingkungannya; dia dianggap orang
munafik. Demikian pula dengan orang yang tidak mau meminjamkan uang kepada orang
yang sedang membutuhkan pinjaman. Demikian pula dengan orang yang gampang marah,
orang yang tidak membayar hutangnya, atau yang suka berbohong. Hidup orang seperti itu
tidak membangkitkan rasa hormat dari orang-orang yang tidak percaya. Bagaimana mereka
dapat memercayai Injil dari mulutnya? Apakah kita harus sempurna dahulu baru kita berhak
menginjil? Tentu saja tidak. Yang kita perlukan ialah menjadi semakin serupa dengan Yesus.
Kita tidak dapat membenarkan gaya hidup yang terang-terangan melanggar perintah Allah.
Sebaliknya, orang yang belum percaya harus melihat adanya kualitas-kualitas yang baik pada
pengikut-pengikut Kristus. Orang-orang percaya mungkin tidak menyadari bahwa kualitas-
kualitas ini diperhatikan oleh orang lain. Walaupun demikian, Allah sendiri bekerja di dalam
diri kita untuk mengubah kita menjadi orang-orang yang lebih baik. Kalau kita mengabaikan
dosa yang ditunjukkan Allah dalam hidup kita, kita tidak akan dapat menjadi saksi-Nya yang
berguna. Allah telah menciptakan kita sebagai bejana yang kudus (2 Korintus 4:7). Kita telah
dikuduskan untuk membawa Injil kepada orang-orang yang belum mendengarnya. Hal ini
tidak mungkin dapat dilakukan kalau kita tidak meneladani Yesus. Kita masing-masing harus
berusaha mengenal Allah dan hidup dalam kekudusan-Nya. Hal itu harus menjadi tujuan
yang paling penting dalam kehidupan kita. Dengan demikian, Dia akan memakai kita.
Berdoa untuk Mukjizat Penginjilan merupakan bagian dari peperangan rohani yang besar.
Sebelum masuk dalam peperangan, tentara-tentara harus memiliki senjata yang tepat dan
ampuh. Paulus mendaftarkan senjata yang kita butuhkan dalam Efesus 6. Ketika semua
senjata itu sudah siap untuk dipakai dan semua tentara itu sudah siap untuk berperang, Paulus
berkata itulah waktunya untuk berdoa. Maksudnya, doa adalah tempat untuk menghadapi
musuh. Medan peperangan ada di dalam doa. Kita diberitahu bahwa doa orang yang benar
sangat berkuasa dan efektif (Yakobus 5:16). Kebenaran adalah perkara menaati Allah dan
hidup dalam kekudusan, maka di dalam doa kita dapat mengatasi perlawanan musuh.
Sebelum kita mulai bersaksi, kita harus berdoa untuk orang yang tersesat, supaya mata
mereka tercelik dan hati mereka terbuka. Kita berdoa untuk seluruh keluarga dan tetangga
supaya mereka beriman kepada Kristus. Kita berdoa supaya Allah menyadarkan mereka
bahwa mereka membutuhkan keselamatan dan hal-hal yang kekal. Kita berdoa melawan
kuasa-kuasa kegelapan yang mengikat seluruh kelompok orang itu. Ketika Roh Allah
berjalan di depan kita, maka kita pergi memberitakan Injil. Ketika kita berdoa, kita tahu
bahwa Roh sedang bekerja. Dia memakai doa kita untuk menghancurkan benteng-benteng
kejahatan (2 Korintus 10:4). Usaha kita yang terpenting harus terpusat pada doa. Orang yang
terbeban untuk memberitakan Injil kepada kelompok mayoritas sering bergumul dalam upaya
menemukan kunci yang tepat untuk membuka hati orang-orang yang belum percaya. Tetapi
dari pengalaman, kita melihat bahwa hal tersebut tidak sesederhana itu. Siapa pun yang
pernah berusaha membuka gembok yang sudah karatan tahu bahwa gembok itu tidak mudah
dibuka, sekalipun dengan kunci yang tepat. Jika gembok itu sudah lama tidak dibuka,
mungkin diperlukan pelumas. Pelumas untuk membuka kunci hati dan pikiran orang-orang
adalah minyak roh. Roh Allah bekerja membuka hati mereka ketika kita berdoa dan terus
mencoba kunci Injil. Salah satu doa yang paling dinamis ditemukan dalam Kisah Para Rasul
4:23-31. Saat itu murid-murid diancam karena mengabarkan Injil. Allah telah meneguhkan
kebenaran pemberitaan mereka dengan menyembuhkan seorang yang lumpuh. Petrus dan
Yohanes memimpin jemaat itu dalam doa supaya Allah menolong mereka, dan supaya
mereka tetap berani walaupun ada ancaman dari para pemimpin Yahudi. Lebih jauh lagi,
mereka meminta Allah untuk terus mengadakan mukjizat demi menyatakan kebenaran Injil
Yesus Kristus. Allah berkali-kali mengabulkan doa itu melalui banyak tanda dan berbagai
keajaiban. Dan mereka terus menginjili.
Allah masih melakukan mukjizat sampai saat ini. Tetapi, keajaiban-keajaiban itu bukan hal
utama untuk menguatkan kita yang sudah percaya. Memang kita akan menjadi semakin
bersemangat ketika melihat Allah bekerja dengan cara yang luar biasa, namun kita memiliki
firman Allah dan janji-janji-Nya untuk menguatkan kita. Allah memakai tanda-tanda dan
keajaiban, khususnya untuk meneguhkan Injil kepada orang-orang yang akan percaya. Saat
ini Allah memberi mimpi dan penglihatan kepada mereka yang mencari Dia. Orang-orang
disembuhkan dan dijamah Allah dengan cara-cara yang luar biasa. Kita harus berdoa supaya
Allah mengadakan tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban untuk meneguhkan kesaksian kita
kepada teman-teman dan keluarga kita yang beragama lain. Allah mungkin memakai
mukjizat untuk membawa mereka yang Anda kenal kepada Kristus. Karena itu, berdoalah
supaya Allah mengadakan tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban. Allah ingin 24
menjawab doa yang seperti itu supaya dunia ini dipenuhi oleh pengetahuan akan kemuliaan-
Nya (Habakuk 2:14). Pendekatan yang Alkitabiah Pendekatan yang alkitabiah untuk
menyampaikan Kabar Baik ialah hidup berdampingan dengan orang-orang yang belum
mendengarnya, kemudian ceritakan Injil kepadanya. Yesus memakai cara ini di jalan ke
Emaus (Lukas 24:13-35). Dia berjalan berdampingan dengan 2 orang yang sedang berbicara
tentang arti penyaliban Yesus dan tentang kebangkitan-Nya. Dia ikut berbicara dengan
mereka. Dia mengarahkan percakapan mereka pada pesan nabi-nabi di dalam firman Allah.
Beberapa waktu kemudian, mereka mengerti apa yang Yesus jelaskan kepada mereka.
Begitulah cara Yesus berkomunikasi dari waktu ke waktu. Filipus, melakukan hal yang
serupa (Kisah Para Rasul 8:26-40). Allah memanggil dia untuk pergi ke padang gurun dekat
Gaza. Ketika sedang berjalan, Filipus mendekati seseorang yang berada di dalam kereta.
Maka, Filipus berlari mendekatinya. Orang itu sedang membaca dari kitab Nabi Yesaya dan
memunyai beberapa pertanyaan. Dia mengundang Filipus untuk naik ke keretanya. Filipus
mengambil kesempatan itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang tersebut. Lalu dia
mengarahkan percakapan itu kepada Kabar Baik. Seperti Yesus, Filipus secara harfiah telah
berjalan berdampingan dengan orang yang diinjili olehnya. Kita tidak harus berjalan bersama
seseorang setiap kali kita memberitakan Injil. Namun secara kiasan, aturan yang sama tetap
berlaku. Kita harus berusaha berjalan ke arah yang sama dengan arah orang itu. Kita
melakukan hal itu sambil berusaha mengetahui bagaimana dia berpikir. Kita harus memasuki
dialog (percakapan dua arah) dengan dia, bukan monolog (percakapan satu arah) atau
memberi ceramah. Cobalah untuk mendengarkan mereka terlebih dahulu. Berusahalah untuk
mengerti keadaan mereka. Anggaplah diri Anda sendiri sebagai seseorang yang sedang
belajar memahami posisi orang lain. Setelah Anda mendengarkan dan mengerti, maka Injil
kebenaran Allah akan dapat Anda ungkapkan secara lebih tepat. Di samping itu berjalanlah
dengan wajar, jangan tergesa-gesa. Kadang-kadang itu merupakan perjalanan yang panjang.
Jarak dari Yerusalem ke Emaus lebih dari 11 kilometer. Bahkan, Yesus pun perlu menempuh
setiap langkah dalam perjalanan yang panjang itu untuk meyakinkan kedua orang itu yang
sebelumnya sudah pernah mendengar Dia berbicara berhadapan muka dengan mereka.
Tujuannya adalah untuk menyampaikan kebenaran Injil kepada teman-teman kita dengan
lembut dan perlahan. Mungkin ilustrasi berikut ini akan memperjelas apa yang dimaksudkan
dengan berjalan berdampingan. Bayangkan sebuah kereta kuda yang berlari kencang tanpa
kusir ke arah Anda. Apakah Anda akan berusaha menghentikannya langsung dari depan? Jika
Anda melakukan hal itu, Anda mungkin akan mendapati diri Anda terbaring di rumah sakit
atau lebih buruk lagi daripada itu. Anda akan berhasil jika Anda berlari berdampingan dengan
kuda itu dan berusaha menangkap tali kendalinya untuk memperlambat derap kuda itu. Lalu
Anda dapat menghentikannya atau membelokkannya ke arah yang benar. B. Diperlukan
Waktu Proses menceritakan Kabar Baik kepada mereka yang belum pernah mendengarnya
memerlukan waktu yang tidak sedikit. Jarang sekali ada orang yang langsung beriman setelah
mendengar Injil untuk pertama kali atau untuk kedua kalinya. Lebih jarang lagi ada orang
yang langsung beriman setelah mendengar Injil dari orang yang tidak dikenal olehnya. Yesus
sendiri menunjukkan bahwa diperlukan waktu untuk berbincang-bincang dengan satu sama
lain. Dia meninggalkan surga selama 30 tahun lebih untuk melakukan hal itu. Kedatangan-
Nya kepada kita dan kesediaan-Nya meluangkan waktu bersama kita merupakan hal yang
penting bagi kita. Dengan demikian, kita dapat lebih mengerti tentang Kerajaan Allah. Hal itu
penting bagi keselamatan kita. Orang-orang Kristen perlu mengikuti teladan Yesus; mereka
perlu pergi kepada orang-orang yang belum mendengar Injil. Kalau tidak demikian, dengan
cara bagaimana orang-orang itu akan mendengar Injil (Roma 10;14-17)? Jarang sekali
mereka datang kepada kita. Kitalah yang harus pergi kepada mereka. Memang hal itu
merupakan proses yang panjang dan melelahkan. Waspadalah terhadap cara-cara penginjilan
yang cepat dan mudah. Gaya Hidup yang Terbuka Jadi, berapa banyak waktu yang
diperlukan? Apakah cukup kalau kita berkunjung sekali seminggu selama 1 atau 2 jam? Jika
waktu kita bersama orang-orang yang belum percaya itu dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya, dan jika kita menggunakan cara-cara yang kreatif, bukankah itu cukup?
Tentu hal itu sangat baik. Program kunjungan yang dilakukan gereja hampir selalu
menghasilkan sesuatu yang baik bagi gereja. Jika pelayanan kita kepada Allah di bidang
lainnya dapat ditingkatkan dengan adanya perencanaan dan daya cipta, demikian pula di
bidang penginjilan. Walaupun 25
demikian, untuk menjangkau orang-orang yang tersesat, kita harus menyediakan cukup
banyak waktu, dan itu akan menuntut seluruh waktu kita. Hal itu dimulai dengan kesediaan
untuk melakukan apa saja yang diperlukan untuk membawa orang yang tersesat kepada
Kristus. Inilah yang dimaksudkan Paulus ketika dia berkata, "Bagi semua orang aku telah
menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari
antara mereka" (1 Korintus 9:22). Penyerahan diri secara menyeluruh seperti itu sulit
dilaksanakan kalau kita dibatasi oleh jadwal atau rencana. Jadwal dan rencana memang
sangat penting dan berguna, tetapi waktu yang diperlukan untuk menjangkau orang yang
tersesat adalah waktu untuk saling berbagi kehidupan. Sama seperti yang dilakukan Yesus,
kita harus berjalan bersama teman-teman kita, makan bersama mereka, bertemu mereka di
tempat kerja, bahkan bergadang sambil mengobrol bersama mereka. Kita harus rela berbagi
semua aspek kehidupan. Semua waktu kita harus diserahkan ke bawah pengendalian Roh
Kudus. Dengan demikian Allah dapat memakai kita untuk menjangkau orang-orang yang
tersesat. Itu merupakan gaya hidup pelayanan yang mencakup segalanya. Teman-teman saya
menilai orang berdasarkan apakah dia mudah bergaul/terbuka atau tidak. Mereka menilai
orang yang terbuka sebagai teman dan orang yang berharga. Orang-orang yang tidak terbuka
dianggap sombong dan tidak ramah. Bila kita memahami hal itu, maka kita memunyai
kesempatan untuk memberitakan Injil. Teman-teman kita ingin agar kita bersikap terbuka dan
ramah setiap saat. Keramahan seperti ini merupakan alat yang dapat kita gunakan untuk
memberitahu mereka tentang kebenaran Allah. Banyak orang Kristen hanya mengenal sedikit
sekali orang yang non-Kristen. Jika ada waktu luang, itu sering dipakai untuk kegiatan gereja.
Gaya hidup Kristen kita yang padat dengan kesibukan hanya menyisihkan sedikit waktu bagi
orang-orang yang tidak mengenal Kristus. Hubungan kita dengan orang-orang yang tersesat
begitu jauh dan tidak ramah. Atau mungkin kita sama sekali tidak memunyai hubungan
dengan mereka. Apa yang akan dikatakan Yesus kepada kita tentang hal itu? Yesus adalah
orang yang terbuka, yang suka meluangkan waktu dengan orang-orang yang perlu mendengar
Kabar Baik. Jika Dia hidup pada zaman sekarang, dan menghadapi apa yang kita hadapi,
apakah sikap dan perbuatan-Nya akan berbeda dari kita? Keputusan yang Tidak Mudah
Diambil Banyak gereja merencanakan kegiatan sepanjang hari pada Hari Kemerdekaan atau
pada hari-hari libur lainnya. Oleh karena itu, khususnya pada Hari Kemerdekaan, orang-
orang Kristen tidak hadir dalam kegiatan-kegiatan yang penting di tengah-tengah masyarakat.
Banyak orang Kristen berpendapat bahwa bergabung bersama saudara-saudara seiman dan
melakukan kegiatan-kegiatan di gereja pada hari libur lebih penting daripada ikut
berpartisipasi bersama para tetangga dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh lingkungan
setempat. Mereka tidak mau mengecewakan saudara-saudara seimannya di gereja. Akibatnya,
orang Kristen dianggap tidak tertarik kepada lingkungan dan tetangganya atau mereka tidak
berjiwa nasionalis. Karena hari-hari libur umumnya merupakan waktu untuk menjalin
hubungan sosial bersama para tetangga, orang-orang Kristen dianggap tidak tertarik untuk
menjalin ikatan ketetanggaan yang akrab. Jadi hilanglah kesempatan untuk menjadi garam!
Orang-orang Kristen banyak yang tidak menghargai pentingnya berpartisipasi dalam
lingkungan tempat tinggal mereka sendiri. Maka dari itu mereka dianggap tidak ramah atau
bahkan dianggap anti sosial. Teman-teman kita, sebaliknya, memberikan kesan bahwa
mereka lebih memerhatikan lingkungannya dan orang-orang di sekitarnya. Kebanyakan
kegiatan diawali dengan doa dalam bahasa Arab. Ketidakhadiran orang Kristen hanya
meneguhkan pemikiran yang salah bahwa Yesus bukan untuk mereka. Ada juga hari-hari
yang digunakan untuk kerja bakti. Kegiatan-kegiatan itu sering jatuh pada hari Minggu pagi.
Apakah mereka sengaja membuatnya bertepatan dengan waktu kebaktian gereja? Tidak
selalu. Hal itu hanya disebabkan karena hari Minggu adalah satu-satunya hari libur bagi
kebanyakan orang Indonesia. Itu merupakan hari bagi sebagian besar orang Indonesia
melakukan kegiatan-kegiatan sosial bersama.
Tidakkah lebih baik absen satu kali di gereja sekalipun pada kebaktian Minggu pagi demi
menjangkau orang-orang yang tersesat, sesuatu yang diperintahkan dalam firman Allah? Ini
mungkin kedengarannya radikal, tetapi mengapa jadwal kebaktian Minggu pagi dan jadwal
kegiatan-kegiatan lainnya tidak diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan orang-orang
Kristen berpartisipasi dalam kegiatan lingkungannya demi menjangkau orang-orang itu yang
tersesat? Yesus sering bertindak berlawanan dengan tradisi agama supaya dapat meluangkan
waktu bersama orang-orang yang tersesat (Matius 9:9-13). Memang tidak mudah untuk
mengambil keputusan seperti itu. Jika kita ingin berhasil dalam memenuhi panggilan Allah,
yaitu menjalin hubungan yang penuh perhatian dengan orang-orang yang masih tersesat,
maka kita harus membatasi waktu yang kita pakai untuk melakukan hal-hal lainnya. Kita
memang diperintahkan untuk tidak meninggalkan pertemuan dengan orang-orang percaya
lainnya (Ibrani 10:25), tetapi kita juga diperintahkan untuk memberitakan Injil 26
kepada dunia. Kita harus melakukan kedua-duanya. Karena itu kita perlu meminta kepada
Allah agar Ia memberi tuntunan. Kasih Berarti Mengatakan "Tidak" Kepada Diri Sendiri
Paulus dengan jelas mengajar kita bahwa kita harus melakukan apa saja yang diperlukan
untuk memenangkan orang yang tersesat (1 Korintus 9:22). Jika sebaiknya kita tidak makan
daging, maka kita harus rela melakukannya (1 Korintus 8:9-13). Kasihlah yang menjadi
alasannya (1 Korintus 13). Karena Paulus merujuk pada daging, marilah kita berbicara
tentang daging babi/anjing. Makan daging babi/anjing sangat menjijikkan bagi orang lain.
Daging babi/anjing dianggap makanan haram. Anjing sebagai binatang peliharaan tidak dapat
disetujui oleh sebagian tetangga yang beragama lain, walau sebagian lainnya tidak keberatan.
Tidak ada dari mereka yang mau dijilat oleh anjing. Orang Kristen yang hendak menjalin
hubungan dengan mereka harus memerhatikan masalah itu. Jika Paulus mengatakan bahwa
lebih baik tidak makan daging sama sekali daripada menimbulkan pertentangan, tidakkah kita
seharusnya mempertimbangkan untuk tidak makan daging babi dan tidak memelihara anjing?
Jika hal itu terlalu memberatkan Anda, bagaimana kalau Anda tidak makan daging babi bila
sedang berada dekat teman-teman Anda, dan menyembunyikan anjing Anda di suatu tempat
sehingga mereka tidak merasa jijik? Beberapa tahun yang lalu, sebuah kelompok jemaat
melakukan pendekatan terhadap satu kelompok pemuda dari kelompok etnis lain. Orang-
orang ini cukup terbuka kepada Injil sebagai hasil kesaksian seorang pendeta awam yang
berasal dari kelompok etnis yang sama. Gereja itu merencanakan suatu kegiatan pada hari
libur dan mereka mengundang kelompok pemuda ini. Kaum wanita di gereja itu telah
mempersiapkan makanan. Segala sesuatu berjalan dengan baik sampai mereka duduk untuk
makan. Pada saat itulah mereka mengetahui bahwa daging yang dipersiapkan untuk mereka
adalah daging babi. Mereka tidak memakannya. Sejak itu mereka tidak pernah lagi
berhubungan dengan gereja itu. Hilanglah segala kesempatan untuk bersaksi lebih jauh lagi.
Ada satu gereja di daerah kami yang ditutup oleh pemerintah karena keluhan dari tetangga-
tetangganya. Saya tahu, ada gereja-gereja yang ditutup atau tidak diberi izin walaupun tidak
melakukan apa-apa yang menyinggung tetangga-tetangga mereka. Tetapi dalam perkara ini
gereja tersebut telah memanggang daging babi di luar gedung gereja mereka. Reaksi para
tetangga menunjukkan betapa hal itu menimbulkan syak di hati mereka. Tidakkah lebih baik
bagi gereja tersebut untuk tidak melakukan kegiatan itu? Karena kesalahan itu, tidak ada lagi
gereja di daerah tersebut. Mungkin orang-orang Kristen akan bertanya, "Apakah kita tidak
berhak makan daging babi di gedung milik gereja kita jika kita mau?" Tentu saja kita berhak.
Tetapi hukum kasih lebih tinggi daripada hak kita. Yesus, sebagai contoh, memiliki hak yang
tinggi, tetapi Dia tidak mempertahankannya (Filipi 2:6). Kasih mendorong Yesus untuk tidak
memakai hak itu. Ia bertindak demikian demi kita. Kita pun harus melakukan hal yang sama
demi memenangkan teman-teman kita. Penyesuaian lain yang perlu dipertimbangkan adalah
bagaimana kita berpakaian, khususnya wanita. Saya tidak menganjurkan wanita Kristen
memakai penutup kepala walaupun di beberapa tempat di Indonesia ada yang memakainya.
Tetapi wanita-wanita Kristen hendaknya tidak memakai rok mini, baju ketat, atau pakaian-
pakaian lain yang tidak sopan. Bagi tetangga-tetangga kita, hal itu seperti mengiklankan
kerendahan moral kita. Dapatkah Anda membayangkan apa yang mereka pikirkan ketika
melihat wanita yang memakai rok mini pergi ke kebaktian Kristen? Mereka berpikir bahwa
orang Kristen tidak memerhatikan moral. Mode telah menjadi lebih penting daripada
pendapat umum. Jika kita memberi kesan yang tidak pantas melalui pakaian kita, bagaimana
mungkin kita dapat berbicara kepada mereka tentang Allah yang kudus? Hal lain yang layak
dipertanyakan apakah laki-laki perlu memakai dasi ke gereja? Mengapa orang yang
memimpin kebaktian harus memakai dasi dan jas? Mengapa laki-laki diharapkan memakai
pakaian barat ke gereja? Khususnya pendeta! Di banyak gereja, memakai kemeja batik dapat
diterima. Bagaimana kalau laki-laki memakai sarung dan peci? Di banyak tempat, sarung dan
peci adalah pakaian Indonesia. Hal-hal seperti itu memerlukan kebijaksanaan. Seorang
Kristen memakai sarung dan peci pada hari-hari khusus seperti Idul Fitri. Teman-teman
menganggap perbuatan itu sangat menghormati mereka. Di daerah lain, seorang Indonesia,
apalagi orang barat, yang dikenal sebagai orang Kristen mungkin sama sekali dilarang
memakai peci. Karena itu, kenalilah para tetangga Anda dan temukan sendiri apa yang dapat
diterima oleh mereka. Isu-isu yang berhubungan dengan apa yang halal dan apa yang haram
juga berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain. Sulit untuk memberi penuntun yang
jelas. Setiap orang percaya harus bersikap hati-hati. Hindarilah kesan-kesan negatif.
Perhatikan tetangga-tetangga Anda untuk mengetahui apa yang mereka lakukan dan
mengapa. Kita harus aktif berbicara kepada mereka untuk mengetahui bagaimana gaya hidup
kita memengaruhi mereka. 27
Menghindari Pertentangan Bukan rahasia lagi, kekristenan dan Islam sudah sejak dahulu
bertentangan. Orang-orang Islam dan orang-orang Kristen saling menyerang, saling
menganiaya, dan saling membunuh. Tidak ada gunanya di sini untuk menentukan pihak mana
yang lebih banyak menyerang, atau pihak mana yang orang-orangnya paling banyak mati
syahid. Yang nyata pertentangan itu terus berkepanjangan dan sulit diatasi. Hal itu terasa
ketika kita menyadari bahwa mereka perlu mendengar Injil. Saya hendak memaparkan dua
hal lainnya yang harus dihindari. Pertama, hindarilah perkataan yang menentang nabi mereka.
Kita percaya bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Manusia sempurna yang pernah
hidup. Al-Qur'an sendiri meneguhkan bahwa Yesus tidak pernah berdosa (QS 19:19). Nabi
mereka adalah manusia biasa. Al-Qur'an memberi kesan bahwa dia berdosa (QS 47:19). Hal
ini sesuai dengan kebenaran Alkitab bahwa tidak ada seorang pun kecuali Yesus yang tidak
berdosa (Ibrani 4:15 dan Roma 3:23). Walaupun demikian, sedikit sekali manfaatnya bila kita
meninggikan Kristus tetapi merendahkan nabi mereka. Kehidupan Kristus tidak bercela. Dia
akan dimuliakan sekarang dan selamanya. Akan lebih bermanfaat kalau kita menunjukkan
hormat kepada pendiri agama itu. Bukankah orang-orang Kristen tidak berharap akan
diserang oleh kelompok mayoritas? Kita pun hendaknya tidak menyerang mereka. Kritik
terhadap nabi lain biasanya menimbulkan kemarahan. Kalau seseorang menjadi marah, maka
mereka tidak dapat berpikir jernih. Mereka tidak akan bersikap terbuka terhadap cara baru
untuk mempertimbangkan pendapat-pendapat. Apakah benar bila kita mengakui nabi mereka
sebagai nabi bagi suku-suku Arab? Dia diutus untuk menyampaikan pesan. Dia memanggil
mereka dari kekafiran untuk percaya kepada Allah Pencipta. Dia berusaha membela hak
orang yang miskin dan tertindas. Dia juga mengerti banyak mengenai Mesias. Pada
kenyataannya, dia menyebut Isa Almasih, yaitu Yesus Kristus, sebagai yang paling
ditinggikan di dunia ini dan yang akan datang (QS 3:45). Saya menganggap itu sebagai
peranan seorang nabi. Mengingat hal itu, orang Kristen seharusnya tidak merendahkan nabi
itu. Isi Al-Qur'an itu sendiri sering dipakai oleh Allah untuk mengarahkan orang-orang agar
mereka percaya kepada Kristus. Karena itu, kita juga boleh menyebut nabi mereka sebagai
nabi yang dipakai Allah. Kedua, Al-Qur'an adalah buku yang dikritik oleh orang-orang
Kristen. Orang Kristen tidak menganggap Al-Qur'an diwahyukan Allah. Sekali lagi, sama
seperti halnya menyerang nabi mereka bukan merupakan hal yang produktif, demikian pula
tidak efektif bila kita menyerang Al-Qur'an. Entah mereka membaca Al-Qur'an atau tidak,
tetapi mereka bergantung kepadanya secara emosional sebagai bagian hakiki dari imannya.
Usaha-usaha orang Kristen untuk mengubah pandangan mereka mengenai Al-Qur'an hanya
akan lebih mengobarkan peperangan yang sudah sejak lama terjadi. Lebih berguna kalau kita
memakai titik-titik persamaan antara Alkitab dan Al-Qur'an sebagai jembatan bagi mereka.
Paulus "gusar" ketika menyadari adanya praktik-praktik dan kepercayaan yang salah di
Athena (Kisah Para Rasul 17:16). Namun dia memakai prasasti dari salah satu altar kafir itu
untuk memberitakan Injil (Kisah Para Rasul 17:23). Demikian pula, kalau kita mengarahkan
mereka pada kesamaan-kesamaan Al-Qur'an dan Alkitab, itu bukan berarti kita sepenuhnya
menerima Al-Qur'an sebagai firman Allah. Titik-titik persamaan itu dapat menekankan
kebenaran Allah yang tertera di dalam Alkitab. Hiasan-Hiasan Kristen Masalah lain yang
harus dihindari berhubungan dengan apa yang sangat disayangi oleh setiap orang Kristen:
salib Kristus. Salib merupakan batu sandungan bagi teman-teman kita, walaupun itu
merupakan lambang keselamatan bagi orang Kristen (1 Korintus 1:23-24). Sayang sekali,
bagi mereka, salib telah menjadi simbol orang kafir sejak zaman Perang Salib. Tentara-
tentara Kristen dalam Perang Salib menghiasi perisai mereka dengan salib sementara mereka
membantai desa-desa Islam. Kalau orang-orang Kristen memakai kalung salib atau
menggantungkan salib di dinding rumah mereka, secara otomatis mereka menyebabkan
banyak dari mereka merasa syak. Di sinilah kita harus hati-hati. Kenyataan tentang salib,
yaitu bahwa Yesus telah datang ke dunia dan mati, akan selalu sulit untuk diterima oleh
orang-orang yang belum percaya. Itu merupakan batu sandungan. Tetapi itu merupakan inti
Injil dan tidak boleh dipudarkan dengan cara apa pun. Sayang sekali, lambang salib telah
dimuati dengan kesan-kesan negatif dan dipandang sebagai bagian dari kebudayaan Kristen
Barat yang mereka tolak. Sering kali [hiasan salib] menjadi penghalang komunikasi antara
orang Islam dan orang Kristen. Kenyataan bahwa Yesus sudah mati di kayu salib itulah yang
harus kita pegang erat-erat, bukan kalung salib atau hak untuk menghiasi rumah kita dengan
cara yang menyenangkan diri kita sendiri.
Jika kalung salib atau penjepit dasi berbentuk salib yang kita pakai menghalangi kita untuk
didekati oleh tetangga kita, kita seharusnya tidak memakainya. Jika salib yang tergantung di
dinding rumah kita menghalangi mereka mengunjungi rumah kita, kita harus
memindahkannya. Pasti ada 28
cara lain yang lebih tepat untuk menyatakan diri sebagai pengikut Kristus daripada dengan
menunjukkan salib. Misalnya, cara yang lebih baik untuk menunjukkan bahwa Anda
pengikut Yesus adalah dengan mengasihi tetangga kita. Jika lambang salib membuat syak
teman-teman kita, jika hal itu menutup kesempatan bagi mereka untuk mendengar Injil, maka
kita perlu membuat perubahan. Hal lain yang mungkin juga tidak berkenan ialah gambar
tangan yang sedang berdoa, Yesus yang rambut-Nya pirang dan yang mata-Nya biru, yang
sedang membawa anak domba; gambar-gambar Kristen Barat tradisional lainnya juga
mungkin menimbulkan akibat yang sama. Haruskah kita malu menjadi orang Kristen? Tentu
saja tidak. Namun kita harus ingat bahwa hiasan-hiasan Kristen di rumah kita dapat menjadi
penghalang bagi teman-teman kita. Sebutan Kita harus hidup dengan memerhatikan
masalah-masalah itu. Kita harus terus bertumbuh menjadi semakin peka terhadap tetangga-
tetangga kita. Seorang yang tersinggung tidak akan mendengarkan kita. Bahkan istilah
"Kristen" sudah mengandung arti negatif sehingga sering tidak produktif bagi kita untuk
menyebut diri "orang Kristen" kepada mereka. Orang-orang percaya mula-mula disebut
sebagai pengikut-pengikut Kristus atau pengikut Jalan Tuhan (Kisah Para Rasul 9:2). Kata
"Kristen" ditemukan tiga kali di dalam Alkitab (Kisah Para Rasul 11:26; 26:28 dan 1 Petrus
4:16). Istilah itu semula dianggap sebagai penghinaan, tetapi istilah itu sekarang sudah
menjadi lambang kehormatan bagi orang-orang yang menerima Kristus sebagai Tuhan.
Namun, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, istilah itu mengingatkan mereka akan
kekejaman tentara Kristen dalam Perang Salib -- peperangan antara denominasi gereja, atau
boleh dikatakan antara partai politik barat. Kalau ditanya, penulis lebih suka
memperkenalkan diri sebagai "pengikut Isa Almasih". Sebutan itu biasanya akan
menimbulkan beberapa pertanyaan yang dapat menjadi titik tolak pembicaraan tentang Kabar
Baik. Hal itu dinilai positif sebab Isa adalah nama Islam untuk Yesus. Pada suatu
kesempatan, ketika ditanya apa artinya menjadi pengikut Isa, saya dapat memberitakan
seluruh Injil kepada mereka. Sebutan lain yang positif adalah "Nasrani". Ini juga merupakan
istilah yang artinya orang Kristen. Istilah itu dapat ditemukan di dalam Al-Qur'an. BAB XIII
Petunjuk dan Tantangan Lintas Budaya Ada delapan petunjuk bagi misionari yang ingin
melakukan pelayanan misi kontekstual lintas budaya yaitu:
1. Alkitab harus menjadi otoritas final dalam proses kontekstualisasi, tidak boleh patuh
kepada ideologi manusia yang pada akhirnya akan menimbulkan sinkritisme.
2. Elemen “Supracultural” Injil harus dipelihara dalam proses kontekstualisasi.
3. Pemimpin lokal perlu berada di garis depan dalam merefleksi hasil-hasil formulasi teologi
kontekstualisasi, struktur gereja, dan metode penginjilan.
4. Formulasi teologi perlu dibangun berdasarkan informasi refleksi teologi yang sebelumnya
dan menjadi bahan dialog dengan komunitas Kristen yang lebih luas untuk menolak bidat dan
sinkritisme.
7. Instrumen yang tepat diperlukan untuk menganalisa konteks sosial budaya masyarakat
setempat.
8. Sebuah model kontekstualisasi yang menyeimbangkan Alkitab dan konteks sosial budaya
harus dilakukan.6
Agar misionari tidak mengalami penolakan penginjilan karena kebudayaan yang sangat
berbeda dengan konteks misi, maka misionari harus mengerti elemen-elemen budaya dan
mampu mengindentifikasi budaya setempat. Elemen budaya terdiri dari perilaku, nilai-nilai,
kepercayaan dan cara pandang. Langkah pertama mengidentifikasi budaya setempat ialah
memasuki sebuah budaya dengan pandangan yang terbuka, percaya, dan menerima. Langkah
kedua ialah menanggapi perbedaan-perbedaan budaya dengan rendah hati sebagai seorang
pelajar. Tujuan utama identifikasi bukanlah sampai seberapa jauh miripnya seseorang bisa
capai dalam sebuah budaya, tetapi sampai dimana keefektifannya berkomunikasi dengan
mereka yang berbudaya lain.7 Komunikasi Lintas Budaya David J. Hesellgrave (pakar
komunikasi lintas budaya) membagi komunikasi lintas budaya dalam dua paradigma yaitu
paradigma klasik dan paradigma zaman sekarang. Paradigma klasik terbagi dalam tiga
kategori yaitu pembicara atau sumber berita misionari, isi dari berita misionari dan gaya dari
berita misionari. Paradigma zaman sekarang terbagi dalam tujuh dimensi yaitu:
7CWMC, Kairos: Allah, Gereja dan Dunia (Butuan City, Philippines: Living Springs
International, 2005), 7-2 – 7-12. 8David J. Hesselgrave, Communicating, 142-160. 9Ibid, 183
10Todd Elefson, Diktat “Komunikasi Lintas Budaya”, 58-59.
1. Pandangan-pandangan dunia – cara-cara memahami dunia
2. Proses-proses kognitif – cara-cara berpikir
3. Bentuk-bentuk linguistik – cara-cara mengekspresikan gagasan
4. Pola-pola perilaku – cara-cara bertindak
5. Struktur-struktur sosial – cara-cara berinteraksi
6. Pengaruh Media – cara-cara menyalurkan berita
7. Sumber-sumber motivasional – cara-cara memutuskan.8
Tugas misionari adalah untuk mengomunikasikan Kristus secara lintas budaya. Ini berarti
bahwa misionari harus menafsirkan berita dari Alkitab berkenaan dengan kebudayaan dimana
hal ini diberikan dan menghindari pengaruh yang tidak semestinya dari kebudayaanya
sendiri, meneruskan berita yang sesungguhnya dalam istilah-istilah yang akan bersifat
informatif dan persuasif di dalam kebudayaan respondennya.9 Prinsip-prinsip yang dapat
diterapkan dalam komunikasi lintas budaya sesuai kelompok sosial yaitu:
1. Mulai pada awal hubungan
2. Pakai konsep yang mereka pahami
3. Sampaikan Injil secara tidak langsung dengan cerita yang membawa pada pembersihan
hati
4. Jalin persahabatan yang erat dengan petobat baru
5. Ambil sikap seorang guru yang akrab
6. Atur alur percakapan
7. Tawarkan doa langsung (doa berkah).10
BAB XIV
Banyak Tantangan untuk Para Pekerja Lintas Budaya
Di Indonesia, banyak suku-suku terabaikan membutuhkan para pengerja Injil yang dapat
memberkati mereka dengan Kabar Baik tentang Tuhan Yesus, Juru Selamat dunia.
Sayangnya, tidak banyak orang yang bersedia mengabarkan Injil dan mendirikan jemaat
lintas budaya. Mereka yang bersedia pun menghadapi bermacam-macam tantangan. Boleh
dikatakan, mereka yang melayani suku-suku terabaikan umumnya kurang disokong oleh
gereja-gereja atau organisasi Kristen yang mengutus mereka. Mereka membutuhkan
dukungan doa, dana, dan persekutuan yang menguatkan jiwa, perasaan, dan kerohanian
mereka.
Pelayanan lintas budaya adalah tantangan yang cukup rumit dan berat. Pada umumnya, kita
kurang mengerti bahwa setiap orang yang melayani suku lain harus belajar banyak tentang
sifat, bahasa, dan cara hidup suku itu. Jika kita bergaul secara biasa dengan menggunakan
bahasa Indonesia saja, 30
maka banyak orang tidak akan mengerti maksud dan tujuan kita. Hal ini dapat diperlihatkan
dalam lima pokok berikut.
1. Bahasa Setiap bahasa yang terdapat di Indonesia mengandung ciri-ciri yang khas. Jika kita
bicara soal rohani kepada seseorang, kita harus menguraikannya dengan bahasa yang paling
cocok untuk orang itu. Jika tidak demikian, ada kemungkinan besar ia tidak akan menangkap
maksud kita.
2. Pandangan Hidup Pandangan hidup setiap suku terabaikan terdiri dari filsafat dan
teologi mereka. Jika mereka memunyai pandangan hidup yang berbeda dari kita, maka
mereka akan sukar untuk menerima Injil. Misalnya, jika seseorang memiliki pengertian
tentang Tuhan, manusia, dosa, keselamatan, dunia gaib, dan sebagainya yang berbeda dari
pandangan dunia Alkitab, ia tidak akan langsung mengerti Injil. Injil mempunyai pandangan
hidup tersendiri yang harus dijelaskan dengan contoh-contoh yang dapat ditangkap oleh
orang itu.
3. Nilai-nilai Kita harus mempelajari nilai-nilai yang dihargai oleh suku terabaikan itu.
Pengertian kita akan nilai-nilai mereka membuka banyak peluang untuk Injil. Kita
menghormati nilai-nilai mereka yang baik dan menguatkan nilai-nilai itu yang sesuai dengan
pandangan hidup Alkitab.
4. Kepemimpinan Cara kepemimpinan setiap suku juga memunyai ciri khas yang perlu
diperhatikan oleh kita. Jika kita tidak berusaha memimpin jemaat baru dengan cara yang
dapat dimengerti dan dihormati oleh mereka, maka mereka tidak akan merasa betah. Para
penginjil perlu mempelajari cara kepemimpinan orang-orang yang mereka layani.
5. Organisasi sosial Sistem organisasi sosial sebuah suku juga penting untuk kita pelajari.
Misalnya, hampir setiap suku di Indonesia memegang sistem bapak/anak buah, tapi cara
melaksanakannya cukup bervarisasi. Kita harus memerhatikan sistem-sistem sosial, seperti
sistem kekeluargaan, sistem pendidikan, dan sistem-sistem masyarakat yang lain. Jika tidak,
kita seolah-olah masih berada di luar ruang lingkup kehidupan mereka. Penyesuaian ini tidak
begitu mudah dilaksanakan oleh seorang penginjil atau gembala yang berasal dari suku lain.
Kesimpulannya Tidak heran jika sebagian besar para penginjil dan pendeta yang melayani
suku-suku terabaikan tidak bertahan lama dalam pelayanan. Mereka merasa pusing karena
tantangan-tantangan yang besar, kurang dibimbing untuk pelayanan yang berat itu, dan
kurang didukung oleh gereja dan saudara-saudara seiman. Marilah kita memerhatikan para
pekerja lintas budaya, mendoakan, dan menyokong mereka secara khusus agar mereka
dikuatkan oleh Tuhan dalam mengemban tugas yang berat itu. Jika kita berusaha mengenal
dan membantu para penginjil lintas budaya, kita juga telah mengambil bagian dalam
pengabaran Injil kepada orang-orang yang belum pernah mengerti berita tentang Yesus Anak
Allah.
BAB XV
Mengidentifikasi Talenta Para Pekerja Lintas Budaya
Supaya bisa berfungsi sebagai satu tubuh, jemaat/gereja sebagai Tubuh Kristus dalam lingkup
kehidupan yang lebih kecil, membutuhkan anggota-anggota tubuh yang lain. Tubuh
memerlukan mulut sehingga Tuhan memilih beberapa nabi dan pendeta atau para pengajar.
Tubuh perlu berfungsi secara "sopan dan teratur" sehingga Tuhan memberikan karunia
kepada beberapa orang untuk mengatur administrasi. Tuhan kadangkala membutuhkan
seseorang yang senantiasa "dibutuhkan kehadirannya seperti apendiks atau lampiran pada
buku", karena menjangkau keluar adalah salah satu fungsi utama gereja, seperti yang Tuhan
katakan, "Ladang adalah duniaini" (Matius 13:38), maka Allah telah menempatkan setiap
bagian tubuh untuk melayani pelayanan lintas budaya.
Di banyak gereja, pekerja lintas budaya tidak diberikan kesempatan untuk menggunakan
talenta mereka. Jadi, mereka duduk diam dan bertanya-tanya, "Untuk apa aku di sini?"
Mereka barangkali mencoba mencari pelayanan di bidang yang lain, namun mereka selalu
merasa tidak cocok untuk pelayanan tersebut. Oleh karena itu, dengan frustrasi mereka
berpindah dari satu pelayanan ke pelayanan yang lain, atau dari satu gereja ke gereja yang
lain. Gerejalah yang bertugas membantu mereka memperkenalkan jenis pelayanan lintas
budaya dan melatih mereka untuk menjadi bagian dari pelayanan ini. 31
Ketika Barnabas dan Paulus pulang dari Yerusalem ke Antiokhia dengan membawa hasil
laporan pertama para rasul, maka gereja segera mengidentifikasi talenta-talenta setiap orang
dan menempatkan lima orang yaitu para nabi dan para pengajar, termasuk para pemimpin
gereja. Lalu, melalui doa dan puasa, gereja mendengarkan suara Roh Kudus mengatakan,
"Aku menginginkan Barnabas dan Saulus untuk beberapa tugas lintas budaya." (Terjemahan
bebas dari Kisah Para Rasul 13:1-2, Red). Orang-orang percaya dalam persekutuan Anda
harus mengambil inisiatif di dalam proses misi dengan mengidentifikasi talenta-talenta yang
ada pada pelayanan lintas budaya gereja Anda dan mengizinkan mereka menggunakan
karunia-karunia mereka. Suatu persekutuan misi di gereja dapat menjadi tempat ujian yang
ideal bagi para calon utusan Injil yang potensial. Di bawah pengarahan seorang jemaat awam
atau anggota majelis yang percaya bahwa mereka dapat menjadi bagian dari pelayanan lintas
budaya -- mereka dapat mempelajari semua aspek misi. Mereka dapat ditantang untuk
menjalankan tugas menjangkau jiwa dengan pelayanan lintas budaya. Mereka dapat
mempraktikkan seni mendukung utusan Injil secara moral, termasuk urusan logistik, dengan
melayani melalui lembaga misi di kota Anda. Sebagai orang-orang yang berpotensi untuk
pergi ke ladang-ladang misi, mereka dapat melakukan misi jangka pendek atau perjalanan
misi singkat untuk mendapatkan pengalaman. Dan mereka yang diidentifikasikan memiliki
talenta sebagai pengutus, dapat menggunakan karunia mereka. Pendeta, panitia misi atau
persekutuan, janganlah menjadi orang terakhir yang mengetahui bila seorang anggota dari
gereja Anda turut terlibat dalam misi! Ambillah inisiatif, buatlah kegiatan untuk menjangkau
pelayan lintas budaya sebagai bagian visi Allah yang telah diberikan kepadamu. Memelihara
Tanggung jawab dalam Pelayanan Pertanggungjawaban telah menjadi slogan dalam
budaya kita. Bagaimana dengan orang-orang yang menjadikan prinsip "uruslah urusanmu
sendiri" sebagai falsafah hidupnya? Toh, dari segala bangsa, ada ratusan pendeta dan
pemimpin gereja yang tidak tahu apa-apa tentang apa yang mereka lakukan di luar gereja.
Beberapa orang mengatakan: "Mereka bersama misi XYZ. Bukankah itu suatu misi yang
baik?" Ya, sangat mungkin. Akan tetapi, apakah misi itu sesuai dengan tujuan pelayanan dari
gereja Anda? Apa target pelayanan itu? Apakah kemampuan dan karunia sang utusan Injil
sesuai dengan pekerjaan misi itu? Dimensi kedua dari tanggung jawab, antara lain: pada saat
Anda yakin bahwa pekerja lintas budaya Anda itu terlibat dalam suatu pelayanan yang sesuai
dengan talenta dan mandat dari gereja, Anda harus melakukan suatu evaluasi yang terus-
menerus dan berkesinambungan untuk mengetahui apa saja yang telah dicapai dalam
pelayanan itu. Laporan yang teratur dari supervisornya akan membantu Anda memantau
pelayanan mereka. Bila utusan Injil Anda bekerja melalui suatu badan misi, maka
usahakanlah jalur hubungan pertanggungjawaban tetap terbuka, jelas, dan masuk dalam
persekutuan Anda. Ingatlah, utusan Injil ini masih bagian dari satu tubuh gereja Anda.
Laporan dari pekerja Anda itu harus diisi secara rinci. Usahakanlah menghubungi pekerja
Anda secara berkala. Laporan pekerja lain di ladang pelayanan yang sama, kunjungan oleh
seorang tua-tua gereja akan meyakinkan Anda bahwa pelayanan sungguh-sungguh berjalan
sebagaimana mestinya. Di atas semuanya itu, hasil kerja mereka yang berangkat sebagai
utusan Injil maupun yang melayani sebagai pengutus-pengutus, merupakan usaha dan
pekerjaan suatu tim! Memperkukuh Pertumbuhan Rohani Betapa sedihnya hati kita
tatkala menyimak beberapa laporan statistik yang menyatakan bahwa para pelayan lintas
budaya, yang sebelumnya "mendengarkan suara Tuhan," dan yang mendapat dukungan
penuh dari jemaat, ternyata lebih dari separuhnya tidak mampu menyelesaikan komitmen
mereka alias gagal di tengah jalan. Kebanyakan di antara mereka tak sanggup melakukannya
akibat kekeringan rohani. Mereka hanya sampai pada taraf mencoba untuk memberi lebih
banyak dari apa yang mereka terima. Pemimpin gereja harus mendukung pertumbuhan rohani
pekerja misi pada saat: 1. Sebelum sang misionari pergi; 2. Ketika mereka berada diladang
misi; 3. Saat mereka kembali. 1. Mendorong Pertumbuhan Rohani Sebelum Mereka
Pergi
Jemaat Antiokhia memberikan suatu teladan yang baik: Barbanas dan Saulus adalah
pemimpin-pemimpin yang dewasa rohaninya, yang dipilih oleh Roh Kudus untuk suatu tugas
yang sangat berat dan sukar. Karena itu, tidak terlalu sulit bagi kita untuk memahami
mengapa faktor pengetahuan yang baik tentang Kitab Suci menjadi kualifikasi yang penting.
Mereka juga mengajak Yohanes Markus untuk ikut bersama mereka. Tetapi, kenyataannya, ia
tidak siap dan belum matang. Buktinya, tatkala mereka menemui kesulitan, ia meninggalkan
mereka! Beberapa tahun kemudian, Paulus merasa bahwa Yohanes Markus pun masih belum
siap (Kisah Para Rasul 15:38). Namun, beberapa tahun setelah itu, Paulus meminta agar
Timotius membawa serta Yohanes Markus, karena "ia sangat membantu dalam pelayananku"
(2 Timotius 4:11). Kerinduan seseorang yang mau dan bersedia pergi 32
tidak berarti bahwa ia telah siap untuk diutus. Ada gereja yang berbuat begini: Setiap orang
yang berpikir dan merasa bahwa ia adalah bagian dari Tubuh Kristus dalam pelayanan lintas
budaya, maka orang itu dianjurkan agar selalu menghadiri persekutuan misi yang dipimpin
oleh seorang koordinator lintas budaya. Di sinilah mereka secara teratur diekspos bagi
pelayanan lintas budaya melalui doa syafaat bagi bangsa-bangsa diseluruh dunia, baik
mendengar pengajaran dari para pembicara melalui pelayanan video dan berbagai
kesempatan pelayanan, maupun beragam perjalanan pelayanan rohani. Apabila seseorang,
atau keluarga (pasangan suami-istri) maupun kelompok, merasakan panggilan untuk menjadi
utusan Injil, maka orang tersebut mulai berhubungan dengan pendeta senior dalam pelatihan
pemuridan. Setelah ia diangkat dalam posisi kepenatuaan di gereja dan aktif dalam suatu
kurun waktu tertentu, maka ia pun siap untuk pelatihan misi lintas budaya, dan mau
membangun tim pendukung pribadi. Gereja harus mengutus seorang pekerja yang memenuhi
syarat dan memiliki kredibilitas; ia harus tahu apa yang ia percayai dan mengapa ia
mempercayainya. Kepercayaan itu dapat ia peroleh melalui kombinasi dari berbagai macam
pelatihan dan program persiapan. Selain itu, gereja harus mengutus orang yang telah
dilengkapi dengan keterampilan dasar dan pengajaran yang dalam tentang Kristus, serta
memahami berbagai kebudayaan, seperti kebudayaan Asia, Yunani, dan Ibrani, sehingga ia
dapat mengerti budaya dari negeri yang akan dimasukinya. Dengan begitu, ia dapat
melakukan pemberitaan Injil dengan menggunakan konteks yang sesuai dengan kebudayaan
setempat. Para pengutus, harus mengutus orang yang telah dilatih dalam hubungan antar-
pribadi (inter-personal relationship). Sebab, kekurangan dalam hal inilah yang menjadi alasan
terbesar ambruknya para utusan Injil di ladang pelayanan. Gereja harus mengutus orang-
orang yang berjiwa besar yang mau belajar, dan tidak pernah merasa telah mencapai
pengetahuan akan kebenaran secara lengkap (2 Timotius 3:7). Atau, orang yang senantiasa
mau diisi pengetahuan dan pengenalannya akan Allah (Kolose 1:10). 2. Mendorong
Pertumbuhan Rohani di Ladang Misi Ketika seorang pelayan lapangan dibebani dengan
urusan penghidupannya di rumah (lihat 2 Timotius 2:4), dan terhanyut dalam kesibukan
pelayanan yang begitu menumpuk, sangat mudah baginya untuk mengabaikan kehidupan
rohaninya. Itu sebabnya, ia harus selalu bekerja keras bagi Pokok Anggur yang benar,
sehingga apabila ada carang-carang yang rusak mesti dikerat atau dipangkas, agar pohon
anggur itu tetap bersih, terpelihara, dan menghasilkan buah yang lebat. Sebaliknya, apabila
pohon anggur itu tidak diurus dengan baik, maka beragam doa yang dinaikkan kepada Allah
dan pembacaan Alkitab, serta belajar firman Allah, hanyalah merupakan rutinitas belaka.
Akibatnya, si pekerja lintas budaya itu pun gugur dimakan 'virus' kekeringan rohani. Penulis
kitab Ibrani berkata, "Janganlah kita terus-menerus meletakkan pengajaran dasar, seperti
memberikan susu kepada balita, tetapi baiklah kita memberikan makanan keras agar ia bisa
bertumbuh ke tingkat kedewasaan yang penuh" (Ibrani 5:12-6:3). Meski pekerja Anda itu
tidak mendengarkan siaran di stasiun radio Kristen, pelayanan firman Allah di stasiun TV,
serta selusin seri pelajaran Alkitab untuk bisa dipilih setiap minggunya, ia tidak perlu merasa
malu. Yang penting adalah bahwa pekerja Anda harus setia mempelajari Alkitab sebagai
sumber kebenaran itu. (2 Timotius 2:15) Ia harus senantiasa "memberi makan" kehidupan
rohaninya. Anda mungkin dapat membantunya dengan mengiriminya rekaman-rekaman kaset
tentang pelajaran Alkitab atau barangkali Anda bisa belajar bersama-sama dengan dia melalui
surat-menyurat membahas kitab demi kitab dalam studi Alkitab. Sebuah keluarga utusan Injil
di Peru, dikirimi oleh gereja mereka rekaman studi Alkitab melalui kaset. Mereka segera
mendengar kaset-kaset itu dalam kelompok studi Alkitab bersama anggota-anggota
pelayanan yang lain. Ketika mereka mulai mendengarkan beberapa bait lagu-lagu rohani
lewat kaset-kaset itu, timbul kerinduan mereka akan musik-musik Kristen. Puji Tuhan!
Kerinduan itu segera terpenuhi ketika sebuah stasiun radio amatir mengumandangkan pujian
rohani Kristen. Bahkan, dari stasiun ini mereka dapat meminta beberapa kaset musik Kristen
lainnya. 3. Mendorong Pertumbuhan Rohani Ketika Mereka Pulang ke Rumah Utusan
Injil Anda mungkin akan pulang untuk waktu yang singkat, sebelum kembali lagi ke ladang
misi. Cobalah cek temperatur kehidupan rohaninya. Banyak yang dihujani dengan sejumlah
ide-ide, perbedaan nilai dan kepercayaan. Apakah ia masih berpegang teguh pada Batu
Karang? Adakah perubahan dalam cara berpikirnya? Kemungkinan, dia membutuhkan
peneguhan dalam imannya. Lebih serius lagi, ia barangkali perlu menyatakan kembali dasar-
dasar iman Kristennya. Beberapa pokok atau doktrin yang agak miring, bisa saja datang dari
tim yang bergabung dengannya, yang berasal dari organisasi lain. 33
Jika pekerja Anda telah pulang ke rumahnya untuk menangani suatu pelayanan baru di
tempat asalnya, Anda tidak boleh beranggapan bahwa kehidupan rohaninya akan berjalan
terus. Di rumahnya, ia mungkin dihujani oleh ilah-ilah materialisme dan kenikmatan hidup.
Hal ini dapat membawa efek negatif pada pengajarannya. Usahakan agar ia masih tetap
membagikan apa yang "pertama-tama ia terima dari Tuhan" dan tetap mengobarkan kasih
mula-mula (1 Korintus 15:3). Ada keluarga tertentu menjalani petualangan misi selama dua
tahun di Asia Timur Jauh. Mereka kembali ke Amerika Serikat guna memulai lagi pelayanan
kurang lebih 15 tahun kemudian. Atas bimbingan pemimpin gereja mereka, mereka
kemudian menyadari adanya serangan rohani yang begitu hebat yang dilancarkan kepada
seluruh keluarga mereka di ladang misi. Karena itu, mereka lalu bekerja menghancurkan
kuasa-kuasa kegelapan, mematahkan kebiasaan-kebiasaan yang merusak, dan mulai hidup
dalam kemenangan dan kebebasan yang tersedia dalam Kristus. Dukungan dan doa terus
menerus yang tulus dari anggota gereja ketika pertama kali kembali ke rumah mereka,
semuanya itu merupakan cara terbaik untuk mengatasi berbagai persoalan yang datang
menyerang mereka. BAB XVI KONTEKSTUALISASI Defenisi Misi Kontekstualisasi
Lintas Budaya
Kata “kontekstualisasi” berasal dari kata context yang akar katanya contextus (Latin) yang
berarti menenun bersama. Kontekstualisasi dapat didefenisikan yaitu membuat konsep dan
metode yang relevan dalam suatu situasi dan sejarah. Dari defenisi ini misi kontekstualisasi
dapat dilihat sebagai pesan karya penebusan dan kasih Allah dalam Yesus Kristus menjadi
kehidupan dan isu yang penting dalam konteks sosiokultural dan mampu merubah cara
pandangnya, nilainya, dan tujuannya. Terminologi kontekstualisasi sebanding dengan
indigenous yaitu melibatkan secara mendalam konteks budaya setempat dalam suatu misi.11
11Taber dan Coe, sebagaimana dikutip Daniel R. Sanchez “Contextualization and the
Missionary Endavor” dalam buku Missiology: An Introduction to the Foundations, History,
and Strategies of World Missions (Nashville: Broadman & Holman Publishers, 1998), 318.
12Bruce Nicholls, sebagaimana dikutip Ailsa C.H. Baker, Diktat Strategi Misi, 113. 13Byang
Kato, sebagaimana dikutip Ailsa C.H. Baker, Diktat Strategi Misi, 113. 14John A. Gration,
sebagaimana dikutip Ailsa C.H. Baker, Diktat Strategi Misi, 113. 15David J. Hesselgrave,
Communicating Christ Cross-Culturally (Malang: Literatur SAAT, 2005), 138-139. 16Enoch
Wan, sebagaimana dikutip Bambang Sriyanto, “Contextual Evangelism” dalam jurnal Pasca
STBI, Volume 7/No. 2/Oktober 2010 (Semarang: STBI, 2010), 86.
Beberapa defenisi kontekstualisasi yang lain ialah penterjemahan inti Injil yang tidak berubah
ke dalam bentuk perkataan yang bermakna /penuh arti bagi kelompok–kelompok orang
dalam budaya dan keadaannya masing-masing.12 Kontekstualisasi adalah membuat
pengertian–pengertian atau cita–cita yang relevan dalam situasi tertentu, karena pesan Injil
diilhamkan tapi sarana ungkapan tidak, maka mengkontekstualisasikan sarana tidak hanya
dibenarkan tapi diperlukan.13 Kontekstualisasi adalah menghubungkan Injil kepada suatu
budaya tertentu termasuk semua dimensinya.14
Menurut David J. Hesselgrave, kontekstualisasi dapat dimaksudkan sebagai usaha untuk
mengkomunikasikan pesan manusia, karya-karya, perkataan, dan kehendak Allah dalam cara
yang setia kepada penyataan Allah, khususnya pada waktu hal ini dikeluarkan di dalam
ajaran-ajaran Kitab Suci, dan yang penuh arti bagi responden-responden di dalam konteks
kultural dan eksistensial mereka masing-masing. Kontekstualisasi itu bersifat verbal maupun
non verbal dan ada hubungannya dengan berteologi, penerjamahan, penafsiran dan penerapan
Alkitab; gaya hidup inkarnasional; penginjilan; pengajaran Kristen; penanaman dan
pertumbuhan gereja; organisasi gereja; gaya penyembahan-sungguh dengan semua aktivitas-
aktivitas yang termasuk dalam melaksanakan Amanat Agung.15
Setidaknya ada dua defenisi utama tentang kontekstualisasi yaitu pertama usaha manusia
untuk memformulasi, mempresentasekan, dan mempraktekkan iman Kristenan dalam budaya
suku fokus yang relevan16, kedua komunikasi lintas budaya tentang kebenaran Alkitab dalam
menemukan 34
nilai dan bagian yang cukup dalam agama lain untuk dapat menjelaskan Alkitab dalam sistem
dan kebudayaan mereka.17 Empat Sifat Budaya Dalam Terang Firman Seorang
misionaris lintas budaya yang ingin melakukan pelayanan kontekstualisasi harus memahami
ada empat sifat budaya dalam terang firman Tuhan yaitu budaya yang bersifat positif, budaya
yang dapat diubah, budaya yang bersifat negatif, dan budaya yang bersifat netral.
17Armin Bachor, sebagaimana dikutip Bambang Sriyanto, “Contextual Evangelism” dalam
jurnal Pasca STBI, 86. 18Arip Sitompul, “Kebudayaan dalam Perspektif Teologis” dalam
Jurnal “Kerusso”, edisi I Vol. 2/2011 (Sidikalang: STT OI, 2011), 30-35. 19Todd Elefson,
Diktat “Komunikasi Lintas Budaya” (Medan: STII, 2005), 30.
1. Budaya yang bersifat positif
Sesungguhnya kebudayaan adalah pola hidup manusia dalam kelompok. Jadi kebudayaan itu
dihayati dan diamalkan dalam hubungan dengan sesama anggota kelompok. Dalam Kejadian
1:26-27 dan Kejadian 2:15 manusia memiliki posisi yang istimewa posisi yang bertanggung
jawab terhadap Allah yang memberi mandat kepadanya. Inilah dasar dan titik tolak manusia
mengembangkan kehidupannya, yang disebut kebudayaan.
2. Budaya yang dapat diubah
Bahagian dari budaya yang bersifat positif adalah budaya yang diubah. Budaya yang dapat
diubah artinya adalah unsur-unsur budaya yang harus diubah menjadi positif sehingga selaras
dengan kebenaran Firman Allah.
3. Budaya yang bersifat netral
Budaya yang bersifat netral adalah, adanya unsur-unsur di dalam budaya yang apabila unsur-
unsur itu dipakai kepada hal-hal yang bertentangan dengan Firman, seperti penyembahan
berhala maka hal itu menjadi negatif dan bertentangan dengan kemuliaan Allah. Namun
sebaliknya, apabila unsur-unsur budaya itu dipakai kepada hal-hal yang tidak bertentangan
dengan Firman maka hal itu menjadi positif. Sementara unsur-unsur budaya tersebut tidak
netral, tergantung pada pemakainya atau tujuan serta motif pemakaiannya.
4. Budaya yang bersifat negatif
Budaya yang bersifat negatif adalah adanya unsur atau elemen yang terkandung di dalam
suatu budaya yang isinya bertentangan dengan kebenaran Firman Allah.18 Contoh unsur-
unsur netral dalam kebudayaan Islam yang dapat dipertahankan sebagai bentuk relevansi
terhadap budaya:
- Penggunaan kopiah
- Kopiah putih di Sumatera Selatan dipakai oleh orang yang belum naik haji, di Jawa, kopiah
ini dipakai oleh orang –orang yang sudah naik haji. Sedangkan kopiah hitam dipakai sebagai
kopiah nasional.
- Pemakaian sarung dan kain kebaya.
- Duduk di lantai atau tikar.
- Cara bersalam-salam
- Membuka sepatu atau sandal ketika masuk ke dalam rumah atau gereja untuk berbakti atau
bersekutu bersama- sama.
- Penggunaan alat-alat musik tradisional
- Di kota Sendang ,Tulung Agung,Jawa Timur, telah dicoba cara mengabarkan Injil dengan
gamelan untuk mengiringi nyanyian-nyanyian penyembahan kepada Tuhan. Cara ini sangat
berhasil, terbukti banyak orang Jawa non Kristen yang menghadiri kebaktian tersebut
.Mereka tidak merasa asing menghadirinya.
- Mengubah cerita- cerita rakyat menjadi cerita-cerita agama.
- Penggunaan bahasa Arab dalam pemberitaan Injil.
- Penggunaan bahasa Arab sangat baik, terutama untuk mendekati orang-orang Islam yang
terdidik sebab bahasa Arab merupakan bahasa kesatuan Islam, sehingga penggunaan bahasa
itu merupakan penghormatan kita terhadap mereka.
- Sunat.19
35
Sikap Terhadap Kebudayaan Paul G. Hiebert menyatakan setidaknya minimal ada 3 sikap
misi terhadap kebudayaan lama yang dimiliki konteks seperti yang dinyatakan dalam skema
berikut ini :
Gambar 2
Skema Sikap terhadap Ajaran/Kebudayaan Lama20
20Paul G. Hiebert, Anthropological Insights for Missionaries (Grand Rapids, Michigan:
1991), 188. 21Paul G. Hiebert, artikel “Critical Contextualization”, 1-5.
Penolakan terhadap budaya lama akan menimbulkan beberapa masalah teologis dan
misiologis. Pertama penolakan itu berdasarkan asumsi secara implisit bahwa bentuk kultural
orang Kristen Barat adalah seperti kultur Kristen. Kedua perlu kebiasaan baru untuk
mengganti kebiasaan yang sudah ditolak oleh para petobat. Ketiga usaha untuk
menghapuskan kebiasaan atau tingkah laku kebudayaan yang lama sering kali gagal.
Penerimaan kebudayaan lama haruslah dilakukan dengan kritisi yang tajam dan diterangi
Firman Tuhan. Apabila kebudayaan lama diterima tanpa dikritisi maka akan menghasilkan
sinkritisme terhadap budaya lama. Tiga pengecekan untuk mengkritisi kebudayaan lama ialah
pertama Alkitab dipandang sebagai kekuasaan yang mutlak dan final, kedua keimaman orang
percaya yang berasumsi bahwa setiap orang percaya mempunyai Roh Kudus yang memimpin
mereka dalam pengertian dan aplikasi Alkitab di dalam kehidupannya sendiri, dan ketiga ada
pengecekan dari gereja.21