Anda di halaman 1dari 68

BAB I.

GEREJA KITA = GEREJA YESUS KRISTUS?

Kalau 'Church', 'Kirche' atau 'kerk' itu berhubungan dengan 'kuriake' dan mempunyai arti 'miliknya Tuhan',
maka Gereja erat berhubungan dengan Tuhan Yesus. Boleh dikatakan bahwa Kristuslah dasar Gereja. Kalau
dikatakan bahwa Kristus adalah dasar Gereja, maka orang dapat bertanya apakah hal itu berarti bahwa 'Yesus
telah menciptakan atau mendirikan Gereja'.Pada tahun 1908 buku Loisy, L'Evangile et l'Eglise sudah dicetak
empat kali. Di situ (hal. 153) dia menuliskan kalimatnya yang terkenal: "Jesus annoncait le royaume, et c'est
l'Eglise qui est venue" (Yesus mewartakan Kerajaan Allah, tetapi yang lahir malah Gereja). Kalimat itu merangsang
banyak fihak waktu itu mempersoalkan: sungguhkah Yesus mau mendirikan Gereja? Kapan? Bagaimana?
Beginikah?

G. Lohfink menghadapi masalah itu dengan mengatakan bahwa pada waktu Yesus datang, sudah ada
paguyuban umat beriman. Yang perlu dipersoalkan adalah: Bagaimana Yesus menghendaki paguyuban Nya? Dalam
bukunya Wie hat Jesus Gemeinde gewollt? (Freiburg dll, 1983) Lohfink, G. mengatakan, Gereja Yesus Kristus
adalah suatu "societas in cordibus" (persekutuan batiniah) (hal. 13).

Jelas, bahwa pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah maupun karya-karyaNya sangat terarah dan
berkaitan dengan jemaah dan Israel. Dengan panggilan Keduabelasan, gambaran tentang Israel eschatologik
ditampilkan. Penyembuhan-penyembuhan Yesus pun harus dilihat dalam terang eschatologik itu yaitu tanda-tanda
kedatangan Kerajaan Allah dan bahwa Kerajaan itu sudah hadir: tak seorang pun akan dikecualikan dari
keselamatan. Bahkan kalau Yesus mengucapkan sesuatu yang terkhususkan bagi Israel, maka kaum non-israel
tidak dibuang. Pemikiran Yesus memang teracukan kepada Israel tetapi tidak terbatas pada Israel. Nas jembatan
antara kedua kelompok itu dilihat oleh G. Lohfink dalam Mat 8:11 dst (par. Lk 13:28 dst) yang dilihatnya bersama
dengan nubuat Pesta eschatologik (Yes 25:6-8) dan gambaran tentang Pejiarahan Bangsa-bangsa (Yes 2:1-3).
Kerasnya-hati Israel tidak menyingkirkan janji penyelamatan Allah bagi mereka tetapi membuka pintu bagi semua
bangsa lain. Gerakan Yesus untuk mengumpulkan pengikut, terutama dalam Keduabelasan, dengan begitu tidak
sia-sia, tetapi malah menghadapi cakrawala yang lebih luas: seluruh umat manusia.

Tidak semua yang mendengarkan Yesus ternyata mengikutiNya. Para murid yang mengikutiNya merupakan
pralambang umat eschatolo gik. Hal itu diungkapkan dengan khusus dalam Sabda di Bukit. Semangat mengikuti
Kristus itu secara istimewa terpapar dalam ucapan-ucapan tentang keluarga baru (bdk Mrk 10:29 dst; 3:20 dst.
31-35; juga Lk 12:52 dst). Arahnya: keterbukaan, melawan struktur penguasa, menerima hanya satu Bapa. Yesus
mengajarkan gerakan menolak kekerasan (bdk Mat 5:39-42 par) dan pelepasan senjata (bdk Mrk 6:7-11 par; Lk
10:2-16). Yang terlahirkan adalah Paguyuban Alternatif. Dan yang menyolok: paguyuban semacam itu tidak hidup
bagi dirinya sendiri melainkan hanya mengacu kepada "Yang Lain" dan terus menerus menuju kepada 'Yang Lain'.

Pertanyaan yang masih dapat timbul adalah: Apakah Gereja sesudah Kebangkitan Kristus memang Gereja
yang dikehendaki Yesus Kristus? Tampaknya ada beberapa hal yang sama pada jemaah sebelum dan sesudah
Kebangkitan yaitu: solidaritas dengan Yesus yang membawa keselamatan dan mengikuti Yesus serta menampilkan
diri sebagai pengikut Yesus maupun pewarta pesan-pesan Yesus. Masalah yang perlu ditelaah adalah: 1)
Kesinambungan dan 2) Perubahan.

1) Perihal kesinambungan: Soalnya: apabila gerakan sesudah Kebangkitan secara dasariah sama dengan
gerakan jesuanik, maka harus memperlihatkan kesinambungan pola yang jelas; dan ini secara historik sulit,
walaupun dapat diusahakan. Ada beberapa hal yang senantiasa dapat ditemukan dalam kedua gerakan itu ialah:

* Kesetiaan kepada Yesus: tindakan Yesus mengumpulkan murid dengan arah eschatologik itu diteruskan

1
seperti tampak dalam hal: bahwa mereka menyadari sudah datangnya akhir jaman serta menantikannya di tempat
mulainya yaitu di Yerusalem; mereka sama-sama memakai lambang tobat eschatologik yang diajarkan Yohanes
Pembaptis yaitu baptis sebagai tanda pengguyuban eschatologik Israel (bdk Kis 2:37-41); lambang Keduabelasan
sebagai lambang pemanggilan keduabelas suku Israel di akhir jaman juga mereka pertahankan dengan memilih
Matias (Kis 1:14-26).

* Faham Umat Allah yang Baru: baik sebelum maupun sesudah Kebangkitan, hal itu dipelihara dengan
indikasi-indikasi penggunaan kata-kata "Kudus" dan malah justru dengan istilah "Gereja" dengan keterbukaan
kepada umat nonisrael. Namun Paulus, misalnya, menggunakan secara teologik istilah "Keturunan Abraham" (bdk
Rom 10:12; 1 Kor 12:13; Kol 3:11 dan terutama Gal 3:28 dst). Semua orang yang seperti Bapa Bangsa itu
beriman, dia menikmati karunia Israel. Jemaah pasca Paska merasa menjadi Israel Baru itu berkat anugerah Roh
yang dalam tulisan para nabi dilukiskan sebagai anugerah eschatologik bagi Umat Allah (bdk Yes 32:15; 44:3;
Yehesk 11:19; 36: 26 dst; 37:14; Joel 3:1 dst). Seperti Yesus, juga para Rasul dalam masa pasca Paska
mewartakan Kerajaan Allah dan membuat mukijizat. Bahkan Paulus melihatnya sebagai karisma penting (bdk 1
Kor 2:4 dst; 12:9 dst.28; 2 Kor 12:12; Gal 3:1-5; 1 Tes 1:5).

* Kebersamaan yang penuh Roh: kebersamaan umat pasca Paska mendobrak batas-batas suku, aliran dan
lain-lain karena kepenuhan Roh. Koinonia mereka sampai berbagi milik (Kis 4:32). G. Lohfink menunjukkan
pentingnya peranan 'saling' dalam proses koinonia (Rom 12:10; 15:7.14; 16:16; 1 Kor 11:33; 1 Tes 5:11.13.15;
Kol 3:13; Jak 5:16; 1 Yoh 1:7).

2) Perihal Perubahan: Soalnya: mengingat bahwa Yesus Mulia itu berkarya tidak lagi secara inderawi
sehingga jemaahNya menempati peranan penting, maka perubahan Jemaah itu perlu diperhitungkan untuk
waktu-waktu kemudian. W. Thuessing menggunakan istilah 'transformasi' untuk hal ini: (1) dalam arti penampilan
Yesus Nazaret berubah sebelum ke sesudah Paska; (2) dan dalam arti Jemaah mengalami citra Yesus secara baru
sehingga mempunyai 'kristologi baru'. Maka:

(1) Warta tentang Kerajaan Allah bergeser menjadi Injil tentang Yesus Kristus. Pewartaan Yesus
ditempatkan dalam rangka Injil tentang Yesus Kristus (Mrk 1:1). Rupanya pewartaan Yesus mengenai Kerajaan
yang berwarna teologik dan teosentrik itu berkembang menjadi bersifat echatologik, soteriologik dan kristologik
secara berangsur-angsur. Sebaliknya dari sudut kotbah-kotbah pasca Paska oleh Paulus maupun Petrus (mis. Kis
2:14-36; 3:11-26; 4:8-12; 5:29-32; 10:34-43; 13:16-40; 17:22-31 dst) tampaklah bahwa jemaah pasca Paska
amat kristosentrik dan kristologik; agaknya kotbah-kotbah Yesus yang teosentrik dan teologik digeser oleh
kotbah-kotbah yang kristosentrik.

Mungkin masalah di atas dapat difahami dalam pandangan bahwa orang melihat betapa dalam peristiwa
Yesus Kristus itu Bapa berkarya. Dengan begitu, kepercayaan kepada Yesus Kristus merupakan wujud baru dari
iman para murid (post paskah) tentang Allah mereka. Maka keselamatan yang diwartakan Yesus menjadi juga
keselamatan iman mereka kepada Allah. Dalam penghayatan itu maka "Persekutuan dengan Allah terjadi dalam
persekutuan dengan Yesus Kristus". Lalu, sebagaimana dalam kotbah Yesus itu persekutuan dengan Allah yang
menyelamatkan itu tidak hanya merupakan sesuatu yang di 'dunia sana' melainkan juga di dunia 'sini' dengan
segala keduniawiannya, demikian pulalah keselamatan dalam Yesus Kristus pada masa pascapaska terlaksana
tidak hanya dalam 'suasana doa-pengenangan prive' melainkan dalam hidup sehari-hari, hidup bersama di tengah
jemaah. Lalu tema yang ke-

(2):Penghadiran kembali Yesus Kristus dan Kehadiran Roh. Transformasi pascapaska mengenai
jemaah-baru dalam bentuk perubahan cara penghadiran Yesus dan menjadikan Gereja berfungsi sebagai sarana
utamanya (LG a.1): Sakramen persatuan dengan Allah dan persatuan antara seluruh umat manusia. Penghadiran
Yesus Kristus itu baik sebagai pewarta Kerajaan Allah maupun sebagai penghadir Kerajaan Allah itu sendiri. Di situ
Yesus Pewarta menjadi Yesus Yang Diwartakan. Dengan begitu pewarta Kabar Gembira juga bergeser: Gereja
menjadi pewarta dan Rasul. Pergeseran itu tidak berwarna seperti estafet melainkan sbb.: karena Yesus menjadi
penghadir Kerajaan Allah maka pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah merangkum penghadiranNya. Dengan
begitu diharap kelihatan, bahwa Paguyuban Umat Beriman pascapaska memang di satu fihak merupakan
pelanjutan kumpulan murid sebelum Kebangkitan, namun dari lain fihak juga menghadirkan perubahan
yang terjadi justru karena peristiwa Kebangkitan yang menentukan segalanya kembali. Atas dasar
keinginan Yesus untuk mewartakan Kabar Kedatangan Kerajaan Allah, yang ternyata merangkum
Kabar tentang Yesus Yang adalah Penghadir Kerajaan Itu, maka pewartaan tentang Kerajaan Allah
yang merangkum pewartaan mengenai diriNya juga dikehendaki. Kalau Dia menghendaki pewartaan
itu maka Dia juga menghendaki adanya pewarta-pewartaNya. Padahal Dia dahulu mewartakan dalam
lingkungan kebersamaan dan untuk menciptakan kebersamaan yang baharu, maka disimpulkan bahwa
Dia pun juga menghendaki adanya lingkup kebersamaan yang baru. Dan itulah Gereja.

Dengan begitu tidak mau dikatakan, seakan-akan segala yang ada dalam Gereja sekarang ini pasti
dikehendaki dan dibentuk oleh Yesus Kristus sejak semula. Kita melihat bahwa memang Allah mengirimkan Sang

2
Putera untuk menjelma dan karena itu mengambil bentuk manusiawi, juga yang konkret. Maka sejauh itu saja
dikehendaki, yaitu bahwa pewartaan dan pewujudan Kerajaan Allah itu mengkonkret; tetapi bentuk tertentu A dan
B sendiri merupakan hal kontingen yang dapat dipergunakan, tetapi dapat pula ditanggalkan (misalnya: Hirarki
Gereja sekarang yang terdiri dari Uskup, Imam, dan Diakon, adalah badan struktural Gereja yang baru muncul
kemudian dalam perkembangan sejarah Gereja, yang memang perlu untuk mengatur kehidupan Gereja, tetapi
bentuknya yang seperti itu bukanlah merupakan hal substansial dalam Gereja)

1. Yesus historis mendirikan Gereja?

Sebelum kebangkitan-Nya Yesus tidak mendirikan suatu Gereja. Apa sebabnya tidak? Sebab dalam seluruh
pewartaan dan pekerjaan-Nya tidak pernah Yesus menghadapi suatu kelompok khusus untuk menyendirikannya
dari umat Israel.

Sewaktu Yesus di Israel terdapat cukup banyak kelompok-kelompok khusus, misalnya Umat Qumran yang
menganggap diri sebagai 'sisa suci', umat pilihan Allah yang satu-satunya berkenan kepada Allah. Tetapi Yesus
tidak pernah mendirikan suatu kelompok khusus, sebab Kerajaan Allah yang Ia wartakan, tidak hanya un tuk suatu
kelompok khusus atau suatu 'sisa suci'. Pewartaan Yesus justru bermaksud mengucilkan segala diskriminasi dan
pengecualian. Kabar gembira yang disampaikan kepada kaum terhina, mujizat-mujizat-Nya yang menyelamatkan
kaum terbuang dari masyarakat, pergaulan-Nya dengan kaum berdosa, seluruh tingkah laku Yesus ini
membuktikan bahwa Ia hendak mencegah segala pengkhususan atau pemisahan. Yesus tahu bahwa Ia tidak diutus
demi orang-orang saleh, tetapi untuk mengumpulkan seluruh kaum Israel. Yesus menolak mengadakan pemisahan
antara yang baik dan yang jahat, antara gandum dan rumput. Seluruh kaum Israel dan bukan sebagian atau
sekelompok saja, dipanggil-Nya untuk menerima kedaulatan atau Kerajaan Allah.

Kalau demikian, apakah artinya kelompok dua belas rasul? Halnya bahwa Yesus mengumpulkan dua belas
murid untuk menjadi rasul-rasul-Nya, tidak bertujuan mendirikan suatu kelompok khusus, melainkan justru
merupakan manifestasi bahwa seluruh Israel dipanggil. Sambil memilih dua belas rasul, Yesus menunjukkan bahwa
keduabelas suku Israel diundang turut serta dalam Kedaulatan Allah pada akhir zaman. Keduabelas rasul tidaklah
merupakan sisa suci yang disendirikan dari kaum Israel lainnya, melainkan duabelas wakil dari seluruh kaum.
Mereka menjadi pemimpin dari Israel pada masa eskatologis, yaitu ketika Putera Manusia bersemayam di takhta
kemuliaan, mereka pun duduk di atas dua belas takhta untuk 'menghakimi keduabelas suku Israel' (Mat 19:28).
Dikatakan oleh K. Rahner: "Tak dapat disangkal bahwa Yesus mengumpulkan murid-murid. Mereka itu pertama-
tama orang Israel. Dalam mengumpulkan murid itu, menarik perhatian bahwa Yesus membentuk XII. Tak
disangsikan bahwa hal itu harus diartikan secara historis. Yesus mengungkapkan bahwa maksudnya mau meng-
claim kewibawaanNya atas seluruh [12] suku Israel. Dengan demikian, bahkan secara historis kelirulah untuk
mengira bahwa Yesus hanya sekedar mengumpulkan murid di sekitar diriNya sendiri. Ia memandang pengumpulan
itu hanya sebagai bagian dari persekutuan religius dalam kerangka Israel. Justru dengan angka 12 itu Ia secara
simbolis menghendaki representasi seluruh Israel, yaitu Israel eschatologislah yang ada dalam benak Yesus. Oleh
sebab itu mereka diutus Yesus untuk mewarta dan berpartisipasi dalam kuasa penyembuhan Yesus, yang
merupakan tanda bahwa kerajaan eskatologis sebagai realita yang nyata dan mendesak sudah berkarya sekarang
dan di sini bagiNya". (K. Rahner, Foundations of Christian faith, an introduction to the idea of Christianity,
London, 1978, p.333).

Murid-murid lain pun yang dipanggil Yesus untuk mengikutiNya diutus kepada seluruh Israel (bdk. Lk 10:1).
Keselamatan tidak hanya disajikan kepada murid-murid yang khusus saja ini, melainkan kepada setiap kota dan
tempat di Israel. Keanggotaan kelompok murid-murid itu bukannya prasyarat untuk masuk Kerajaan Allah.

Tidak mengherankan bahwa Injil-injil tidak menyajikan perkataan Yesus yang menunjuk kepada tindakan
mendirikan Gereja, maupun suatu sabda Yesus yang mengundang orang untuk menjadi anggota kumpulan suci
yang khas. Seandainya Yesus telah mendirikan suatu umat yang khusus, maka corak radikal dan universal dari
pewartaan Yesus dikaburkan oleh-Nya. Dalam tradisi-tradisi Injil-injil tidak ada petunjuk-petunjuk bahwa demi
masuknya ke dalam Kerajaan Allah, Yesus telah menuntut lebih daripada kepercayaan akan kabar-Nya dan
pertobatan kepada kehendak Allah. Mat 16:18, inilah teks satu-satunya dari keempat Injil di mana ada kabar
tentang 'Εκκλήσίά' (Gereja) dalam arti Gereja total. Dalam eksegese dipersoalkan entah perkataan ini merupakan
sabda Yesus yang otentik atau tidak. Bagaimana pun juga, ternyata bahwa sabda Yesus itu tidak berupa undangan
kepada kaum Yahudi dan orang-orang lain untuk menjadi anggota jemaat yang khusus. Sabda ini tertuju kepada
para murid dan menunjuk kepada masa depan. Dalam saat atau masa depan itu Gereja akan dibangun.

2. TIDAK ADA GEREJA TANPA YESUS HISTORIS

(a) Dalam pewartaan dan karya Yesus, Gereja telah disiapkan.

Sebelum Paska, Yesus telah meletakkan dasar-dasar Gereja. Sesudah Paska, Gereja muncul dan

3
berkembang, yakni karena pewartaan dan karya-karya-Nya. Maka semua tradisi Injil-injil menaruh perhatian besar
atas pekerjaan dan pewartaan Yesus sebelum Paska, bahkan sampai pada detail-detailnya. Munculnya Gereja
sesudah Paska mempunyai kaitan langsung dengan tingkah laku Yesus sebelum Paska. Apa sebabnya?

(1) Yesus telah mewartakan bahwa Kedaulatan Allah yang akan datang pada akhir zaman, sudah datang
dan dekat sekarang, yakni dalam dan melalui Yesus sendiri. Maka olehnya karya Yesus bagi para penyaksi (para
rasul) merupakan saat yang menentukan demi keselamatan mereka. Iman atau ketakpercayaan, ketaatan atau
kedurhakaan sifatnya menentukan untuk selama-lamanya. Yesus mengundang seluruh kaum untuk bertobat dan
percaya akan kabar gembira. Akibatnya bahwa kabar itu telah membuat suatu pemisahan antara mereka yang
menerima dan menolaknya. Walaupun Yesus tidak mengumpulkan kaum beriman dalam suatu umat yang khusus,
namun mereka yang percaya diterima oleh Yesus sebagai calon-calon warga Kerajaan Allah atau cikal-bakal
anggota Umat Allah eskatologis.

(2) Di samping 'yang Duabelas', Yesus telah mengumpulkan cukup banyak murid di sekitarnya.
Murid-murid itu turut serta dalam cara hidup Yesus. Anggota-anggota pertama Gereja sesudah Paska identik
dengan murid-murid sekitar Yesus sebelum Paska. Mereka telah menerima janji-janji Yesus yaitu bahwa mereka
boleh ambil bagian dalam perjamuan dengan Allah Bapa dalam Kerajaan Allah kelak.

(3) Menjelang kematian-Nya dan penolakan oleh kaum pemimpin Yahudi, kiranya Yesus sudah yakin bahwa
pengutusan-Nya kepada kaum Israel tidak berhasil sewaktu hidup-Nya. Kedaulatan Allah hanya dapat diterima
oleh orang lain (non-Israel), kalau Yesus menerima peranan Hamba Yahwe. Sekurang-kurangnya sejak munculnya
keyakinan itu, Yesus telah memperhitungkan suatu masa yang agak panjang antara hidup-Nya dan kedatangan
Kedaulatan Allah yang definitif. Dan karena Yesus melihat lebih dahulu bahwa Israel yang dipanggil menolak
undangan yang disampaikan oleh Yesus, sehingga kaum pemuja berhala akan diundang untuk turut serta dalam
perjamuan pesta eskatologis, maka Yesus mewartakan bagi zaman terakhir juga suatu Umat Allah yang baru yang
meliputi segala bangsa.

(b) Ikatan antara murid dan Yesus bersifat menetap

Tentu saja Yesus yakin bahwa murid-murid-Nya mengikat diri secara definitif dengan Yesus. Yesus tahu
bahwa sesudah kematian-Nya, para murid akan berkumpul lagi dan turut serta dalam perjamuan yang sama. Ia
yakin juga bahwa murid-murid-Nya akan dianiaya oleh anggota-anggota Umat Israel yang tidak beriman, sehingga
mereka mau tidak mau merupakan suatu kumpulan khusus di tengah-tengah Umat Yahudi. Penghayatan bersama
akan pribadi Yesus dan pewartaan-Nya, peringatan akan kebersamaan secara pribadi dengan Yesus, tentu akan
mendorong para murid untuk berhimpun dalam peringatan atau kenangan akan Yesus itu.

Jadi menurut pengharapan Yesus sendiri, ikatan pribadi murid-murid dengan Yesus akan menetap setelah
wafat-Nya. Khususnya bilamana para murid berkumpul untuk makan bersama-sama, tentulah mereka
memperingati Yesus Kristus, karena sewaktu hidup-Nya para murid sering makan bersama dengan Yesus itu.

3. GEREJA ADA SEJAK PASKA

(a) Gereja ada sejak orang beriman akan kebangkitan Yesus.

Sejak orang-orang berkumpul karena iman akan Yesus yang telah bangkit untuk menantikan pemenuhan
Kedaulatan Allah dan kedatangan Tuhan yang Bangkit dalam Kemuliaan (Parousia), sejak saat itu Gereja ada.
Dengan demikian, sejak Paska, dan bukan sebelum Paska ada kabar tentang Gereja.

Jadi anggapan seakan-akan pada permulaan ada suatu jangka waktu Gereja tidak dikenal dan hanya
sejumlah orang yang bersemangat akan Yesus Kristus saja, sedangkan Gereja baru diben tuk kemudiannya sebagai
suatu organisasi yang ketat, anggapan sedemikian tidaklah benar. Bersama dengan kebangkitan Yesus dan
pencurahan Roh Kudus, maka hal mendirikan Gereja dipandang sebagai suatu pekerjaan Allah juga. Dan sebagai
institusi Allah, Gereja dilihat sebagai persatuan orang-orang yang secara fundamental berbeda dengan
himpunan-himpunan manusiawi lainnya.

(b) Tanpa kebangkitan, pewartaan Yesus dan iman kepercayaan sia-sia.

Dikatakan oleh Paulus dalam 1 Kor 15:14-20 bahwa tanpa kebangkitan Yesus Kristus, pewartaan Kristiani dan
iman kepercayaan kita sia-sia saja. Tanpa kebangkitan Yesus Kristus, umat beriman yaitu Gereja, tidak ada arti
dan dasar. Baru karena kepastian bahwa Dia yang tersalib kini hidup dalam kemuliaan Allah, maka misteri hidup
dan pekerjaan Yesus sampai pada penyelesaiannya; arti dan tujuan kehidupan-Nya menjadi nyata. Lagi, berkat
kebangkitan, hidup dan wafat-Nya mulai menjadi suatu kuasa abadi yang memungkinkan dan menyanggupkan
manusia untuk berhimpun dalam kesatuan damai dan cinta. Dengan demikian, Gereja menjadi mungkin dan riil
berkat kebangkitan Yesus Kristus. Setelah karya keselamatan dalam Yesus Kristus selesai, maka Gereja lahir dari
lambung Yesus yang terbuka sebagai buah pertama karya keselamatan.

4
(c) Sabda Pengutusan Yesus yang bangkit menciptakan Umat Baru

Menarik perhatian bahwa penampakan-penampakan Yesus yang Bangkit sering diakhiri dengan Sabda-sabda
Pengutusan Yesus yang di dalamnya murid-murid dilantik menjadi saksi kebangkitan dan saksi tentang
segala-galanya yang diajarkan dan dibuat Yesus waktu hidup-Nya. Pengutusan mengambil tempat sentral dalam
karya Yesus yang bangkit.

Mateus mencatat perintah pengutusan: "... pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka ... Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Mat 28:19-20). Mrk 16:15: "Pergilah ke
seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk ... Mereka pun pergi memberitahukan Injil ke segala
penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya". Lk 24:47;
"... dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa,
mulai dari Yerusalem. Kamu adalah saksi dari semuanya ini" (bdk. juga Kis 1:8). Yoh 20:21: "Sama seperti Bapa
mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu ....".

Yang menyolok dalam teks-teks yang dikutip di atas dan sesungguhnya dalam semua ceritera tentang
penampakan Yesus yakni bahwa Gereja muda tidak mempergunakan kesempatan untuk meletakkan dalam mulut
Yesus yang bangkit sabda-sabda yang menunjuk kepada hal mendirikan Gereja. Yang selalu ditonjolkan ialah
pengutusan murid-murid ke segala penjuru dunia untuk memaklumrkan pengampunan dosa dan menjadikan
sekalian orang menjadi murid Yesus.

Jadi berdasarkan sabda-sabda pengutusan itu harus dikatakan bahwa sesudah Paska pun Gereja tidak dilihat
sebagai suatu kelompok khusus yang disendirikan dari kaum Israel untuk menerima keselamatan bagi dirinya
sendiri, melainkan sebagai suatu kelompok yang mendapat pengutusan demi seluruh dunia dan segala bangsa.
Para murid berkumpul lagi dalam kesadaran bahwa mereka diutus untuk menjadi saksi. Pengutusan dan kesaksian
itu merupakan undang-undang pokok dari eksistensi Gereja. Tidak ada Gereja di luar pelaksanaan pengutusan dan
kesaksian itu. Gereja tidak berada demi dirinya, melainkan demi orang-orang lain.

(d) Pengakuan iman akan Yesus yang Bangkit menciptakan Umat Baru.

Roh Kudus merupakan anugerah masa eskatologis atau Kurnia dari zaman terakhir. Hal itu merupakan
anggapan para nabi juga. Kehadiran dan kegiatan Roh merupakan tanda pilihan dan tanda kehadiran Allah sendiri.
Melalui Yesus Kristus, Roh Kudus itu diberikan kepada Umat dari Perjanjian Baru. Hal ini dialami oleh Umat Baru
itu. Pengalaman ini bagi mereka merupakan pengalaman istimewa dan dahsyat, karena dalam Pencurahan Roh itu
menjadi nyata bahwa Umat Baru itu merupakan ahli waris Perjanjian Lama serta menjadi Umat pilihan Allah. Lagi,
pencurahan Roh itu berarti bahwa dalam pelaksanaan pengutusan dan kesaksian atas perintah Yesus, masa
eskatologis mulai berlangsung, sama seperti dalam pekerjaan dan pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah.

Roh Kudus mengerjakan dalam Umat Baru itu pelbagai kharisma atau pelbagai kurnia demi pem bangunan
Umat: nabi-nabi, pewarta-pewarta, pemimpin-pemimpin, pengajar, kurnia berbicara dalam pelbagai bahasa,
kurnia membuat mujizat-mujizat dan teristimewa kurnia cintakasih satu sama lain. Dengan ini menjadi nyata
bahwa Umat baru ini merupakan Umat dari zaman terakhir, karena Umat baru ini dilahirkan oleh karena karya
Allah eskatologis itu yaitu yang bersifat definitif dan menentukan bagi sekalian manusia.

BAB II

GEREJA YANG KITA KENANGKAN:

GEREJA HISTORIS

I. POLA-POLA PAGUYUBAN UMAT BERIMAN (MISTERI GEREJA) DALAM PERJANJIAN LAMA.

5
Kita tak dapat membicarakan segala hal berhubungan dengan Paguyuban Umat Beriman dalam Perjanjian
Lama. Yang dapat kita lakukan hanya merembug beberapa pola yang lebih menonjol.(41a)

1. Paguyuban Umat Beriman sebagai Umat Allah

Gambar yang tampak dalam layar kenangan adalah Umat Israel yang menyadari diri sebagai Umat Terpilih
dan sebagai Perhimpunan yang siap untuk membela Nama dan Kemuliaan Yahwe,- kalau perlu dengan berperang.

Sebagai Umat Terpilih, Israel merasa menjadi Bangsa Suci, yang dalam Kel 19:5 dst dinyatakan sebagai milik
khusus Allah di tengah segala bangsa yang diikat dalam suatu Perjanjian. Sebagai Umat ('am) Yahwe, mereka itu
tersendirikan dari segala bangsa lain, para kafir (gojim).

Istilah 'am sendiri dalam pengertian Ibrani mengandung bayangan sebagai kelompok se-darah. Jadi ada
warnanya kekeluargaan, wangsa, 'trah' (Jawa) sehingga sangat pas/cocok untuk disebut 'Paguyuban Umat'. Maka
dari itu warga umat adalah 'saudara', yang kemudian tak lagi hanya disebabkan oleh karena se-keturunan atau
senasib sepenanggungan, melainkan karena berbagi rasa dalam hidup bersama yang adil dan penuh kasih. Hal itu
hanya mungkin kalau ada pusat-kasih di tengah-tengah mereka, yaitu Yahwe.

Sebagai suku pengembara, Israel memandang Yahwe sebagai Allah pemimpin, yang tak terpaku pada satu
tempat, melainkan terus-menerus menemui UmatNya sepanjang waktu pengembaraan dan di mana pun juga.
Maka faham umat Allah begitu kuat dalam kurun waktu 'Keluaran' (bdk. mis. Kel. 3:7; 3:10; 8:16 -19; 9:1.13;
10:3). Allah Israel adalah Allah Pengungsian/Keluaran. (42)

Sebagai Pembela Kemuliaan Yahwe Israel mempunyai jiwa kewiraan. Suasana perjuangan menandai hidup
dan iman Israel. Yang menjadi Umat Allah adalah mereka yang ikut serta dalam perang Yahwe (43). Dalam Kitab
Ulangan, Israel sebagai Umat Allah tak hanya merupakan Jemaat Ibadat, akan tetapi juga Regu Pejuang;
sedangkan Tradisi Kitab Imamat menyebut rombongan Israel yang keluar dari Mesir sebagai Pasukan Yahwe (Kel
77:4; 12:41) sehingga dalam pengembaraan pun mereka disebut pasukan. (44)

Pola ini akan menjadi pangkal pandangan tentang 'Gereja Pejuang'. (45)

2. Paguyuban Umat Beriman sebagai Sisa-sisa Suci

Bahwa Israel menjadi Umat Allah itu bukan pertama-tama dipandang dari sudut sosial-politis, melainkan
sebagai faham iman. 'Umat Allah' adalah suatu istilah teologis. Maka jumlah anggota tidaklah menentukan
kadarnya sebagai Umat Allah. Bahkan seandainya Israel tinggal tersisa sedikit, asal sisa ini masih suci (setia
kepada Yahwe), Umat Allah masih suci (setia kepada Yahwe), maka Umat Allah masih ada (46). Dalam Eklesiologi
Perjanjian Lama sangat penting gagasan sisa-sisa yang suci ini. (47)

Ternyata pemenuhan Perjanjian (Keselamatan) terlukiskan sebagai terjadi tak hanya dalam tetapi juga
dengan kejahatan (bdk. 1 Rj 19:14.18 dan bdk. Rom 11:1-6). Hal itu terjadi pada jaman Yesaya (Yes 1:9),
kehancuran Yerusalem (Yehesk 9:8), sepulang dari pembuangan di Babylon (Esr 9:8.13.15; Neh 1:2 dst. Bdk.
Zach 8:11-15).

Terjalin juga dalam tema 'Sisa-sisa suci' ini suatu pandangan bahwa diperlukan 'pemilihan', pengadilan,
penyusutan, pemotongan, penyaringan. Seperti jaman Nuh (Kej 7:23), Abraham pun disaring dari bangsa-bangsa
(Kej 12:1 dst) dan Wangsa Yakub juga dapat disebut hasil saringan penyelamatan (Kej 45:7). Dengan kata lain,
sejarah penyelamatan Israel secara konstitutif mengandung unsur 'pembersihan' yang 'terus menerus'.

Yang dapat masuk golongan sisa-sisa Suci adalah mereka yang mengakui dosanya dan percaya pada Kasih
Allah yang menyelamatkan (Keb 3:1.2dst). Mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai iman kepada Yahwe
(bdk Yes 7:2-9; 28:16 dengan Kej 15:6).

3. Paguyuban Umat Beriman sebagai Himpunan Ibadat

Bagi Israel, urusan dan organisasi kenegaraan senantiasa sekunder: hanya mendukung urusan keagamaan.
Sesudah mereka hancur dari segi tatanegara, maka kembalilah mereka pada kesatuan keagamaan. Seperti dulu,
kinipun tanpa tanah air, kenisah dan kekuasaan politis, mereka dapat menjadi Umat Yahwe. Hal itu ditonjolkan
oleh Tradisi Iman dengan mengingatkan orang pada jaman Sinai, waktu mereka berkumpul sekitar Kemah Yahwe.
Itulah pralambang 'Himpunan Ibadat' (bdk khususnya Bil 2:1-34; 9:15-23; 10:11-28).

Dalam pengertian ini tersangkut beberapa unsur:

a. Umat ini hanya menjadi Umat Yahwe semacam ini karena panggilan Yahwe (Qahal itu seakar dengan qol
yang berarti 'panggilan'). Jadi penyebab lahirnya umat adalah Yahwe. Maka dalam arti sebenarnya mereka itu

6
Umat-nya Yahwe.

b. Pengumpul Himpunan ini adalah Yahwe (Yahwe berada di tengah mereka Bil 16:3). Oleh tradisi Kitab
Imamat hal itu diungkapkan dengan kisah, bahwa Umat ini berkumpul di sekitar Kemah Allah, Kemah Pewahyuan,
Kemah Perjumpaan. Selanjutnya, peranan Kemah Pewahyuan di tengah mereka ini, menyucikan seluruh hidup
orang Israel,- bahkan yang paling profan sekalipun.

c. Pewahyuan Yahwe terlaksana di tengah Himpunan Ibadat ini dengan diwartakannya Kehendak Allah.
Maka Israel sebagai Himpunan Ibadat menjadi Jemaat Sabda Allah.

d. Jemaat ini berkumpul untuk melakukan Upacara Ibadat. Berkat upacara ini, jemaat semakin lama
semakin dikuduskan oleh Yahwe (bdk. Mz 22:23-27).

4. Paguyuban Umat Beriman sebagai Kerajaan-Kedaulatan Allah

Pemahaman istilah ini harus hati-hati. Sebab maksudnya mau menerjemahkan kata Basileia Theou (Yunani)
atau Malkut Yahwe (Ibrani). Akan tetapi Basileia dan Malkut pertama-tama berarti kehormatan, kekuasaanNya.
Baru kemudian juga berarti tanah yang dikuasai seorang raja (Esr 1:14.20; 2:3; Yer 10:7; Dan 1:20; 9:1; Mat
4:8; 5:20; 12:25; 19:23; Mrk 6:23; 10:14st.23). Maka dari itu 'masuk Kerajaan' (Mat 5:20; 7:21; 18:3; 19:23st
dll) itu sama saja artinya dengan 'masuk ke kehidupan ...' (Mat 18:8; 19:17) dan ikut mengambil bagian dalam
keselamatan.

'Kedaulatan Allah' menyatakan tindakan Allah menguasai segala untuk menyelamatkan semua. Dia menjadi
penyelamat dan diterima 'hak cipta-Nya' (Yes 43:15 dan 44:6) serta senantiasa berkuasa atas Israel (Mz 14:2)
sebagai Rajanya (Kel 15:18). Maka dalam Israel itu terkandung suatu kesetiaan untuk mengambil sikap iman,
menyambut kekuasaan Allah dan membawahkan diri kepadaNya (lih. Mz 5:3; 84:4).

Dalam perkembangan Sejarah Keselamatan, Israel menyadari; bahwa walaupun sekarang mereka kerap
gagal mengabdi Allah Sang Raja, namun sekarang sudah mulai tindakan Allah merajai semesta alam dan
UmatNya. Artinya: Kerajaan Allah yang eschatologis sudah mulai datang sekarang ini sampai tiba saatnya, bahwa
semua orang akan menundukkan diri di hadapan Yahwe (Zach 14:9-16). Sedangkan Paguyuban Umat Beriman
yang sekarang sudah ada ini menjadi tanda dan awal seluruh realisasi kehadiran Kerajaan Allah, yang akan
mengatasi segala (Dan 7:18.27; bdk Mz 149 dan Kebij 3:8). Singkat kata: Kerajaan Allah sudah dan sekaligus
belum ada.

5. Catatan Akhir

Maksud kita mengamat-amati Israel adalah untuk mengenali pelbagai pola Paguyuban Umat Beriman di masa
Perjanjian Lama. Tampak sekali, bahwa Umat Beriman mewujudkan paguyuban selaras dengan latar belakang
situasi yang berubah-ubah: jaman pengembaraan, jaman Palestina, jaman pasca-pembuangan, dst.

Namun di balik pasang surut dan perubahan bentuk penghayatan iman bersama Israel itu toh tersirat
kesadaran kokoh yang selalu mengatasi segala halangan dan kegagalan, yaitu: menjadi Umat Allah yang merajai
BangsaNya. Dengan lain kata: Paguyuban Umat Beriman adalah tanda dan sarana bahwa Kerajaan Allah
kita imani hadir dalam Yesus Kristus, yang dalam kekuatan Roh Kudus sekarang masih menyelamatkan
umat manusia tanpa batasan apa pun.

Selain itu terlihat terus-menerus adanya tegangan yang tak henti-hentinya menandai perjalanan Israel
menjadi Umat Allah, yaitu tegangan antara Pemilihan Khusus Umat Israel dan Kehendak Allah untuk
menyelamatkan seluruh Umat Manusia serta antara hubungan Allah dengan masing-masing pribadi dan dengan
bangsa Israel sebagai keseluruhan. Tambahan pula masih ada tegangan antara kenyataan bahwa Allah sudah
mulai menguasai UmatNya dan janji eschatologis, bahwa Allah masih akan menyempurnakan tindakannya kelak
pada Akhir Jaman.

Demikianlah di balik pelbagai bentuk berbeda-beda dari Paguyuban Umat Beriman itu terasa nafas kuat dari
hubungan mesra antara Allah yang mewahyukan Diri dan Israel yang beriman

1.Pola-pola Paguyuban Umat Beriman dalam Perjanjian Baru

Dalam banyak kesempatan orang mengkritik Gereja masa kini. Kerap kali tujuannya baik, yaitu menginginkan
bahwa Gereja masa kini menjadi Gereja sebagaimana diharap oleh Yesus Kristus. Untuk menemukan hal itu
dicobalah untuk menemukan gambaran Gereja dalam Perjanjian Baru. Banyak orang terhenyak ketika mendapati,
bahwa dalam Perjanjian Baru terdapat lebih dari satu gambaran Gereja. Lalu sering orang mencari urut-urutan
terjadinya Gereja, dengan harapan bahwa dapat ditemukan satu citra Gereja yang 'paling asli'. Hal itu tidak
mudah. Sebab suatu rekonstruksi historis membutuhkan lebih banyak daripada yang sampai sekarang tersedia.
Selain itu, Perjanjian Baru memang bukanlah buku sosiologi atau laporan pandangan mata atau laporan perjalanan
atau sistem manajemen paroki/Gereja. Pada kesempatan ini, yang kita cari bukanlah terbentuknya Gereja secara

7
kronologis. Kita bermaksud mengamat-amati pelbagai pola Paguyuban Umat Beriman dalam Perjanjian Baru,
ketika kelompok para murid terbentuk. Proses menjadi murid Tuhan Yesus itu ternyata bermacam-ragam dan
menghasilkan pola relasi Guru-Murid yang bermacam-macam pula. Dinamika yang sering disebut pemuridan itu
amat kaya dan penuh dengan warna-sari. Tujuan kita adalah untuk memperoleh acuan bagi Model-Model Gereja
yang kita temukan di Jaman Sekarang.

Dalam menyimak tulisan-tulisan Perjanjian Baru perlu disadari, bahwa tujuan penulisan Perjanjian Baru
bukanlah menyusun biografi, sejarah atau sistematika Gereja, melainkan 'terutama' sebagai kisah iman
sekelompok orang yang begitu terpesona kepada hadirnya Daya Ilahi dalam Yesus sehingga yakin bahwa Allah
Bapa sudah mulai merajai mereka. Maksud itu dalam bahasa Alkitab dikatakan: "Kerajaan Allah telah mendekat".
Oleh sebab itu sering orang mengatakan bahwa "gambaran Gereja yang paling penting adalah sebagai Kerajaan
Allah". Dalam pada itu kita mengetahui bahwa setiap penulis Alkitab mempunyai latarbelakang dan arah tersendiri
dalam mengungkapkan pengalaman dan penghayatan imannya. Maka tampil pula pelbagai lukisan Gereja yang
dihayati dalam iman perdana. Sewaktu menyimak penuturan para penginjil pantaslah kita mencermati pelbagai
faktor metodis terebut. Pengalaman itu menjadi pedoman dan norma kita semua dalam beriman kepada Allah
dalam Yesus Kristus berkat dorongan Roh Kudus. Kita akan menaruh perhatian kepada beberapa tulisan, yang
melukiskan pola-pola mencolok tentang Paguyuban Umat Beriman pada penampilan perdananya.

Dalam kaitan itu baiklah diperhatikan gagasan yang dikatakan H. Küng:

"Hal ini disebabkan tidak hanya karena kekhasan aneka penulis dan tradisi yang menjadi sumbernya,
melainkan juga karena pelbagai sikap teologis para penulis dan komunitas yang menjadi alamat penulisan itu"
(Hans Küng, The Church, p. 37).

1. Pola-pola Gereja pada Matius

(a) Gereja yang berakar pada iman akan Kerajaan Allah.

Kita mencoba mencermati, paguyuban murid macam apakah yang merupakan citra mencolok Gereja dalam
Injil Matius. Sebagai umat-nya Yesus, Gereja dilukiskan sebagai hidup dari inspirasi Roh Yesus dan bergerak
menuju terpenuhinya janji-janji Yesus. Janji Yesus berkaitan erat dengan kesadaran mulai datangnya Kerajaan
Allah, Kerajaan Surga dan kekuasaan Putra Manusia (16:28) serta pemenuhannya. Jadi warna eschatologis sangat
menonjol, baik sehubungan dengan kehadiran Kerajaan itu (6:10), maupun dalam gambaran pesta (8:11st;
26:29) atau panen (8:12; 13:41 dst; 25:30) serta kebahagiaan atau kutuk abadi (5:12.22.23.33; 18:13;
25:21.23). Dengan gambar itu, eschaton mengambil tempat penting dalam peziarahan Gereja.

Menurut penghayatan para murid, Kerajaan Allah yang eschatologis itu sudah tiba dalam Sabda Yesus
(13:19-20), khususnya dalam Kabar Baik tentang hal itu (4:23; 9:35) dan dalam seluruh peristiwa Yesus Kristus.
Kabar Baik tentang Kerajaan Allah ini diperuntukkan bagi semua orang, akan tetapi terlebih-lebih bagi kaum
pendosa (9:12st). Kecuali itu Kerajaan Allah juga sudah tiba berkat mukjijat-mukjijat Yesus yang memperlihatkan
daya ilahi (11:20st.23; 13:54.58; 14:2) dan karena itu merupakan tanda datangnya saat yang dinanti-natikan
(kairos). Terutama Kerajaan Allah datang dalam pribadi Yesus sendiri, yang menantang setiap orang untuk
mengambil sikap (10:39; 11:6). Sebab bila orang mengambil sikap terhadap Yesus, dia pun mengambil sikap
terhadap Allah Bapa yang mengutusNya (26:39.42). Hal itu hanya mungkin terlaksana dalam Roh Kudus.

(b) Gereja sebagai Paguyuban para murid dan pengikut Yesus.

Datangnya Kerajaan Allah dalam Pribadi Yesus juga membekas dalam orang-orang yang mengikutiNya:
dalam para murid dan pengikut Yesus, yang kelak disebutNya 'Gerejaku' (16:18). Matius kerap berbicara tentang
'ochlos' atau 'ochloi' (orang banyak) yang disapa oleh Tuhan Yesus (4:25; 5:1; 7:28; 8:1; 9:8.23.25.33; 11:7;
12:32; 14:13; 15:10.32 dst). Di tengah orang banyak itu Yesus berjalan, berdesak-desakan, bercanda, melakukan
mukjijat. Mereka semua dipanggilNya (11:28). Kadang-kadang ada satu-dua yang beriman (8:10; 9:2.20 dst;
15:21 dst).

Tetapi, diantara orang banyak itu ada sebagian yang dikhususkan (5:1st; 8:21.23; 13:2; 14:13 dst).
Agaknya Matius melihat kelompok ini sebagai kelompok terbuka, jumlahnya tak tetap (bdk 277:57). Mereka ini
mirip murid-murid Yohanes (9:14; 11:2; 14:12). Para murid tersebut adalah kelompok khusus karena dipanggil
dan selalu mengikutiNya (5:1). SebabYesus adalah Guru (9:11; 17:24; 23:8; 26:18) dan disapa begitu pula (8:19;
12:38 dll). Sedangkan para Murid adalah temanNya (12:1), teman makan (9:10st), pembantuNya (14:15 dst;
15:32 dst; 21:2.6; 26:17 dst). Mereka melakukan apa saja yang diperbuat oleh Yesus (tak berpuasa: 9:14; ikut ke
mana-mana 8:21); diperkenalkan pada rahasia-rahasia Kerajaan Allah (13:11) dan dikabari tentang kesengsaraan
Yesus (16:21; 17:22st.; 26:1st).

Tetapi yang amat khas pada mereka adalah bahwa mereka telah memutuskan untuk mengikuti Yesus kemana
pun Dia pergi (4:20.22; 8:22), melepaskan segala milik (9:9; 10:37; 19:21st.27st), penuh iman (18:6.10),
mengikuti jalan sengsaraNya juga (bdk 8:19st; 12:22 dst; 13:53 dst.)

8
Matius juga melukiskan hubungan antara mereka satu sama lain. Yaitu: mereka adalah saudara (5:22st; 7:3
dst; 18:15.21.35; 23:8). Maka hendaknya mereka berdamai satu sama lain (5:24), saling memaafkan
(18:21st.23st), tidak saling memberi kendala (18:6st), tidak menghina (18:10), saling memperingatkan (18:15st),
dan melayani (23:11). Sebagai pengikut Yesus mereka itu juga ikut serta dalam pengutusan Yesus untuk sudah
menggarap masa penuaian, yang mulai dalam karya Yesus (9:37st; 10:1st), walaupun mereka sendiri masih
mempunyai banyak kelemahan, seperti tak menangkap ajaran Yesus (15:15 dst; 19:25st); tak memahami pribadi
Yesus (16:21 dst; 26:8) atau kurang beriman (8:26; 14:31; 16:8; 17:20).

(c) Gereja dalam kelompok Keduabelasan.

Ini pola lebih khusus. Sebab jumlah orangnya amat terbatas dan amat tertentu. Mereka itu memang
sekelompok murid, akan tetapi mempunyai peran istimewa dan disebut khusus (10:5; 20:17; 26:14.20). Sebagai
kelompok mereka mempunyai tugas tertentu: "Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Surga sudah dekat.
Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan" (10:7st). Itu
semua 'tugas pengutusan eschatologis' Yesus. Artinya tugas yang menunjukkan bahwa 'akhir jaman sudah mulai
tiba'.

Keduabelasan itu pula, yang diajak Yesus untuk ikut serta dalam Perjamuan Malam terakhir. Mereka itu
dalam rupa roti dan anggur menyambut penyerahan Diri Yesus Kristus (Mat 26:20 -25; Mrk 14:17-21; Lk
22:14.21dst). Kelak mereka ini juga akan menggantikan para Bapa Bangsa ikut serta dengan Hakim Ilahi
mengadili orang hidup dan orang mati (10:6; 19:28).

Di antara para Keduabelasan ini sebagian mempunyai kedudukan khusus: misalnya anak-anak Zebedeus
(4:21; 10:2; 20:20; 26:37; 27:56). Akan tetapi yang benar-benar mendapat tempat istimewa itu Simon Petrus.
Walaupun sesekali imannya kecil (14:31), kurang dapat memahami arti kesengsaraan Mesias (16:22st), gagal di
kebun Jaitun (26:36st) dan tiga kali menyangkal Yesus (26:34.57.69dst), namun Petrus menjadi jurubicara para
murid (15:15; 17:4.24st; 18:21; 19:27; 25:40). Dia itu murid pertama (4:18 dst) dan disebut paling depan dalam
deretan para Rasul (10:2). Dalam 16:17st (yang bertumpu pada Mrk 8:29) Matius melukiskan Petrus sebagai
orang:
(1) yang atas nama para murid secara meriah menyebut Yesus sebagai Mesias, Putera Allah;

(2) yang untuk itu diberi wahyu khusus oleh Allah;


(3) yang dipilih Yesus menjadi batu karang, dasar yang tak tergoyahkan bagi Gereja;
(4) yang menerima dan menyimpan kunci Surga, dengan wewenang untuk 'mengikat' dan 'melepaskan'
orang bagi Kerajaan Surga.
Jadi, Gereja yang dilukiskan Matius adalah paguyuban orang beriman, yang memiliki pelbagai lapisan
anggota; sejak awal mempunyai sifat hirarkis.

(d). Gereja sebagai paguyuban universal.

Bagi Matius Gereja adalah persaudaraan para murid Yesus yang bersifat universal, bukannya terbatas pada
kelompok tertutup. Gereja adalah umat yang terpanggil dari segala bangsa mana pun (Mat 28:19) dan merupakan
Israel sejati yang mengganti Umat Israel lama, domba-domba yang hilang.

Dalam umat ini Yesus yang diberi segala kuasa di bumi dan di surga hadir sebagai Mesias dan Putera Allah. Ia
membimbing umat-Nya terus menerus sampai pada akhir zaman ketika Ia akan menampakkan diri sebagai Tuhan
dan hakim (Mat 25:31 dst.).

Berkat kehadiran Yesus Tuhan di tengah-tengah umat-Nya dan berkat kesatuan umat dengan Yesus, Gereja
adalah umat yang di dalamnya Kerajaan Allah eskatologis sudah sedang bergiat dan berkuasa, meskipun masih
tersembunyi.

Singkat kata: Yesus mewartakan Kerajaan Allah. Banyak orang mendengarkan dan mengikutiNya. Yang
secara tetap menyertaiNya disebut para Murid. Diantara mereka ada sekelompok khusus berjumlah 12 orang.
Kelompok ini oleh Yesus secara eksplisit dipilih, dipanggil, diberi kuasa, diutus dan diangkat menjadi pengganti
para Bapa Bangsa bagi Israel Baru untuk mengikuti Yesus mewartakan kedatangan Kerajaan Allah. Di tengah
Keduabelasan itu Petrus menduduki tempat utama karena dengan segala kelemahannya dia dipilih Yesus menjadi
dasar murid-murid mendatang yang Yesus sebut sebagai 'GerejaKu'. Himpunan murid-murid dengan inti
keduabelasan yang dijurubicarai Petrus itu merupakan pra-wujud Gereja, yang akan merangkum semua orang
(universal), termasuk kaum pendosa, berkat Wafat dan Kebangkitan Yesus,- diutus sampai ke akhir Jaman dan
tepi dunia menjadi pewarta Kabar Baik Yesus, dengan doa ajaran dan tata hidup berstruktur.

2. Pola-pola Gereja pada Lukas

(a) Gereja sebagai Himpunan orang yang percaya pada Karya Allah.

9
Lkas menekankan pengalaman Gereja Perdana, yang dalam Yesus Kristus merasakan bahwa Allah berkarya.
Khususnya karya Allah itu dirasakan Gereja semenjak Kebangkitan Yesus dan akan terus terlaksana sampai akhir
jaman, yaitu Parusia,- sebagaimana diwariskan para Nabi (bdk Kis 13:41). Menurut H. Conzelmann, Sejarah
Keselamatan dibagi oleh Lkas atas tiga masa yakni: pertama ialah masa Israel yang diwarnai dengan Hukum
maupun Nabi-nabi dan berlangsung sampai dengan Yohanes Pemandi (Lk 3:20), kedua ialah masa Yesus yang
mulai dengan pembaptisan Yesus dan turunnya Roh Kudus atasNya (Lk 3:21-22) dan berlangsung sampai dengan
kenaikanNya (Lk 24:50-53), ketiga ialah masa Gereja yang mulai sesudah kenaikan Yesus (Kis 1:9) dan ber-
langsung sampai dengan kedatangan-Nya kembali (Kis 1:11). Menurut R. Schnackenburg, oleh Lkas "Gereja
diletakkan dalam kesinambungan rencana Allah dan persiapan ilahi ke keselamatan" (R. Schnackenburg, op.cit., p.
74). Yang memberi hidup kepada Gereja ini adalah Allah Sang Pencipta sendiri (Bdk Kis 14:11-16; 17:22-29;
19:29 dst; 28:6 dst), yang sudah meniupkan Roh Kehidupan (Kej 1-2 dan Paska), yang mewahyukan diri kepada
Israel, akan tetapi bertujuan mewartakan Diri secara definitif dalam Yesus Kristus (Kis 13:16 dst; bdk Lk 24:27;
28:23) sejak lahir, di salib dan bangkit (Kis 2:22 dst; 10:36 dst). Dengan begitu, bagi Paguyuban Umat Beriman
ini Karya Allah sudah merupakan kenyataan.

(b) Gereja sebagai Paguyuban orang yang percaya akan Karya Roh.

Oleh Lkas dilukiskan, bahwa di tengah jemaat Kristiani itu berkaryalah Roh Kudus (Kis 1:2.5.8.16; 2:4.18),
yang juga Roh Yesus Kristus (Kis 16.7): Roh inilah yang berkarya menciptakan Gereja dengan menguatkan
Keduabelasan dan Paulus untuk diutus mewartakan Injil. Menarik sekali-lah kenyataan, bahwa daftar para Rasul
yang telah disusun dalam Injil (Lk 6:12-16) itu oleh Lkas diulang kembali (Kis 1:13). Agaknya dengan begitu mau
ditekankan, bahwa tokoh-tokoh itu masih tetap berfungsi sebagai tokoh-tokoh Paguyuban Murid Yesus Kristus ini,
juga sesudah Wafat dan Kebangkitan Yesus. Mereka ini berfungsi sebagai facilitator proses penyatuan jemaat baru.
Dalam jemaat menurut Kisah, mereka hanya disebut sekali sebagai 'Keduabelasan' (6:2), dan waktu lain disebut
dengan nama 'para Utusan/Rasul' (1:26; 2:37.42.43; 4:33 dst),- nama yang sejak dalam Injil Lkas sudah
dikenakan pada mereka (6:13; 9:10; 17:5; 22:14; 24:1). Kekuatan para Rasul ini diperoleh dari Roh Kudus yang
dijanjikan oleh Yesus yang bangkit dan mati (Lk 4:4; Kis 1:4st.8). Artinya: bahwa mereka mampu menjadi saksi
Yesus di Yerusalem, di seluruh Yudea, Samaria dan sampai ke akhir dunia' (Kis 1:8), itu karena mereka dipenuhi
oleh Roh dan agar mereka dapat 'membagikan Roti'.

Kalau kita memperhatikan cara Lkas menceritakan bagaimana Petrus penuh Roh berbicara di depan sidang
(Kis 4:8), atau bagaimana orang yang mendustai para Rasul disebut menipu Roh Kudus (Kis 5:3), atau bagaimana
orang mencoba Roh Tuhan (Kis 5:9), atau bagaimana Petrus dan Yohanes memohonkan Roh Kudus bagi orang
Samaria (Kis 8:15 dst), atau bagaimana Roh berkata kepada Petrus waktu ada orang mencarinya (Kis 10:19),
atau bagaimana keputusan para Rasul dan Penatua adalah keputusan Roh Kudus (Kis 15:28), maka maksudnya
mau menegaskan bahwa para rasul itu memenuhi lingkungannya dengan Roh. Dan contoh terbesar adalah
pewartaan Petrus di Kaisaria kepada Kornelius dan kawan-kawannya (Kis 10:44-48).

Hal yang sama dapat dikatakan tentang Paulus. Dia ini tak tergolong pada keduabelasan tetapi lebih
merupakan guru kharismatis dari jemaat Antiokia. Panggilannya bertumpu pada penampakan dan pemilihan Yesus
Kristus yang bangkit (Kis 9:3 dst; 33:6 dst; 26:12 dst) dan pada pencurahan Roh Kudus, buah dari Kebangkitan
(Kis 13:1-4).

(c) Gereja sebagai Himpunan orang yang bersatu karena Sabda para Rasul.

Roh Kudus, Roh Allah dan Roh Yesus Kristus, yang menjadi jalan bahwa Allah terwahyukan dalam Yesus
Kristus, itu terkalimatkan dan terkomunikasikan dalam sabda para Rasul . Sudah Lk 12:12 (=Mat 10:20)
memperlihatkan, bahwa Rohlah yang akan mewartakan Gereja sendiri. Lalu, kalau dalam Kis 1:8 Roh dijanjikan
maka dalam Kis 2:4 dinyatakan bahwa Roh benar memenuhi mereka sehingga dapat menjadi Saksi Tuhan.

Maka kata-kata para Rasul itu di satu pihak Sabda Allah (Kis 4:29.31; 8:14; 11:1; 13:7 dll) atau di lain pihak
juga kata-kata para Rasul sendiri (Kis 2:14; bdk 10:44; 11:14 dan Kis 26:25). Ajaran mereka adalah ajaran para
Rasul (Kis 2:42; bdk 5:28; 17:19) yang sekaligus juga ajaran Tuhan (Kis 13:12). Maka orang-orang itu berhimpun
karena sabda para Rasul yang juga Sabda Roh.

Sabda para Rasul itu merupakan Kabar yang menggembirakan, mengajar, mewartakan, menyatakan secara
terang-terangan Pesan Tuhan, bahwa ini kerygma. Kata-kata itu bernada membesarkan hati, memperingatkan,
memesan dan mengundang. Dalam semua itu, kata-kata para Rasul adalah Sabda sejati (bd Kis 4:4; 6:4; 8:4;
10:36.44; 11:19 dll). Isi inti pewartaan itu adalah bahwa Yesus Kristus dibangkitkan dari antara orang mati (Kis
1:21st; 2:30 dst; 4:33; 22:14st; 26:16).

Akan tetapi dalam kalimat itu tersirat pula pengakuan, bahwa yang dibangkitkan Allah itu Yesus Kristus yang
telah mereka kenal, yang sudah bersengsara dan wafat di salib (Kis 17:3; 26:22 dst). Jadi Salib dan Kebangkitan
dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa lain dalam hidup Yesus, yang disaksikan oleh Keduabelasan (Kis 10:36-42).
Dengan begitu seluruh peristiwa semenjak pembaptisan Yohanes sampai dengan kelak waktu Yesus akan datang
kembali sebagai Hakim agung itu dipandang dalam terang Sejarah Keselamatan (Kis 13:16-43).

10
Dalam pewartaan, para Rasul menyampaikan Kabar Baik itu kepada seluruh umat manusia (bdk Kis 26:23).
Hal itu terjadi atas kuasa Roh Kudus. Berkat peristiwa itu terbentuklah dan berkembanglah Jemaat Beriman.

(d) Gereja sebagai Umat yang beriman, berdoa dan tersusun rapi.

Gereja yang dikisahkan oleh Lkas bukan hanya jemaat yang mendengarkan sabda para Rasul saja, melainkan
juga umat yang mengimani pewartaan itu, dan berbuat selaras dengan iman itu (Kis 4:4 bdk 13:7.8). Jadi:
seseorang mendengarkan pewartaan, Tuhan membuka hati, orang yang menyambut sabda itu menangkap maksud
inti pewartaan dan percaya kepada Tuhan (bdk Kis 16:14st), lalu minta dibabtis.

Iman itu mengandaikan pertobatan, yang juga terjadi berkat kuasa Roh Kudus (bdk Lk 24:45.49) dan hal itu
berarti bahwa orang menjauhi dosa (Kis 2:38; 3:19), menerima ampun (Kis 5:31) dan mendekat pada Allah (Kis
14:15). Mereka yang melakukan hal itu menjadi anggota jemaat dan berkumpul sewaktu-waktu (bdk Kis 1:4.6.13
dst; 2:1.44; 4:31 dll). Mula-mula mereka berkumpul di kenisah (Lk 24:53; Kis 2:46), lalu juga di rumah para
warga sendiri (Kis 5:42; 12:12; 16:5.40; 20:20). Kisah itu semua rupanya melukiskan situasi mereka.

Kecuali itu mereka masih lebih 'giat' lagi. 'Ringkasan' kegiatan mereka terlukis antara lain dalam Kis 2:42 -47
(48). Kita dapat melihat gambaran persekutuan jemaat Perdana.

Unsur-unsur persekutuan itu:


(1) menekuni ajaran para Rasul (didache ton apostolon);

(2) kesejahteraan bersama (koinonia);

(3) pemecahan roti (acara yang semula selalu mengawali dan mengakhiri 'makan bersama'. tetapi kemudian
dipisahkan dan menjadi kenangan khusus pada Jamuan Makan Terakhir dengan Tuhan (bdk Lk 24:30.35; Kis
2:42.46; 20:7.11);

(4) doa bersama yang menutup pertemuan itu.

Kecuali itu jemaat mempunyai milik bersama. Hal tersebut menjadi ungkapan bahwa mereka menjadi suatu
Persaudaraan.

Walaupun begitu, toh dalam jemaat ada kelompok yang lebih terkemuka daripada warga-warga lain. Mereka
itu adalah: orang-orang yang mempunyai karunia-karunia khusus (karisma istimewa) dan mereka-mereka yang
mempunyai jabatan. Dalam hal itu, bersama Lkas perlulah kita sedikit teliti.

(1) Jelaslah bahwa Roh Kudus diimani sebagai berada pada seluruh jemaat. Bukankah dikatakan bahwa
waktu Pentekosta semua berada di satu tempat (Kis 2;1), dan semua mereka dipenuhi dengan Roh Kudus (Kis
2:4).

(2) Namun di antara anggota jemaat memang ada yang memperoleh karunia-karunia istimewa
(karisma-karisma khusus) demi pelayanan jemaat. Lkas menyebutkan 'karya-karya berkat karisma-karisma
khusus' ini (nubuat: Kis 11:27 dst; 21:10 dst; orang-orang ber-Roh istimewa: Kis 6:8.10.15; 4:55).

(3) Lalu ada pula orang-orang yang mempunyai jabatan-jabatan khusus. Misalnya: para penatua
(presbyteroi) yang disebut pertama kali dalam Kis 14:30 (lih. kemudian Kis 15:2.6.23; 16:4). Mereka ini tidak
begitu saja identik dengan para Rasul (apostoloi). Menurut Kis 15 dan 16:4, di Yerusalem para penatua dan para
Rasul membentuk masing-masing suatu dewan, yang bersama-sama mewujudkan dewan pimpinan di bidang
ajaran maupun kewibawaan 'organisasi' (lih. Kis 15:13 dst yang menampilkan Jakobus sebagai tokoh, berbicara
sesudah Petrus dan Kis 12:17; 21:18 yang memperlihatkan, bagaimana orang-orang berkumpul di sekitar
Yakobus). Di luar Yerusalem, Lkas menceritakan bagaimana 'Rasul Barnabas dan Paulus mengangkat penatua'
(bdk Kis 14:4.14.23).

Jadi, tampaknya para penatua diangkat oleh Rasul (Barnabas, Paulus) dengan penumpangan tangan (Kis
14:23). Dengan begitu mereka dijadikan penilik oleh Roh Kudus (Kis 20:28), dan dengan demikian mereka
menerima wewenang dan tugas secara berturutan (dalam suksesi) dari pada Rasul; bersama dengan para Rasul
mereka mempunyai wewenang untuk menentukan ajaran dan kepemimpinan dalam Gereja (Kis 15:1st; bdk Kis
20:28). Di sini tampak bahwa permasalahan jabatan sudah mulai menonjol dalam Gereja Perdana.

(e) Gereja sebagai utusan Tuhan.

Selanjutnya, bagi Lukas Gereja adalah utusan Yesus Kristus. Mereka pada hakikatnya hidup dalam misi
Tuhan. Misi Gereja pertama-tama diarahkan kepada Umat Allah yang lama. Hal ini secara geografis juga
dinyatakan oleh Lkas. Yerusalem diberi tempat sentral dalam perjalanan sejarah keselamatan. Yesus mengadakan
perjalanan ke Yerusalem (Lk 9:51), penampakan-penampakan terjadi sekitar kota Yerusalem, setelah Yesus naik
ke Surga para rasul berdiam di Yerusalem (Lk 24:49, 53), dan karya para rasul berpangkal di kota Yerusalem (Kis
1:8, 12). Kemudian, setelah ternyata bahwa Umat Allah yang lama tidak bersedia menerima pewartaan para rasul,

11
maka kabar keselamatan diwartakan kepada kaum penyembah dewa-dewa (Kis 28:25-28). Misi Gereja tidak hanya
terbatas kepada kelompok manusia tertentu, melainkan tertuju kepada segala bangsa di bumi.

3. Pola-pola Gereja menurut Yohanes

Dalam hal ini menarik untuk dicatat bahwa dalam Injil Yohanes kita tak menemukan kata 'εκκλήσίά'. Bahkan
'Gereja' juga tidak dibicarakan secara khusus. Akan tetapi kelihatannya 'jemaat' diandaikan dan dibayangkan
dalam seluruh Injil.

(a) Gereja sebagai Himpunan Orang Beriman.

Itulah kiranya yang dimaksudkan kalau Yohanes menulis "... semua orang yamg menerimaNya diberiNya
kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namaNya" (Yoh 1:12) atau "...
Barangsiapa percaya kepadaNya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah di bawah hukuman,
sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah" (Yoh 3:18). Akan tetapi ada pula orang beriman yang
tidak dalam arti "warga lingkungan murid-murid Yesus" (bdk Yoh 44:39.41; 4:53; 9:38; 11:27 dll).

Mereka itu dibedakan dari orang-orang yang tak percaya (Yoh 5:38), yang tak dapat percaya (Yoh 5:44;
12:39), yang telah melihat Yesus tetapi toh tak percaya (Yoh 66:36; 10:24 dst; 15:24 dll). Sedangkan di antara
para beriman juga ada pembedaan: antara mereka, yang percaya secara sembunyi-sembunyi (12:42; 19:38)
dengan mereka yang percaya karena telah melihat tanda-tanda Yesus tetapi tak sepenuhnya diberi wahyu oleh
Yesus (2:23st).

Iman sejati kepada Yesus (dan karena itu keanggotaan dalam Himpunan Orang Beriman) mempunyai
beberapa ciri: (1) Tinggal dalam Sabda Yesus (8:31) atau Sabda Yesus tinggal pada mereka (5:38; 15:7); (2)
Mengetahui dan 'menangkap' Yesus (66:69 dll); (3) Menghasilkan buah (15:8).

Selaras dengan ciri-ciri itu, maka para Keduabelasan,-khususnya Petrus-, menjadi lambang utama kaum
beriman.

(b) Gereja sebagai Persekutuan Murid-Murid.

Di sini Gereja diukiskan sebagai orang-orang yang dikumpulkan oleh Roh Kudus untuk menjadi murid-murid
Yesus Kristus. Jemaat merasa diberikan oleh Bapa kepada Yesus (Yoh 6:39.44.65) dalam pengalaman bahwa
mereka menjadi murid itu karena dipilih (Yoh 6:70; 13:18; 15:16; 15:19), sedangkan pilihan itu atas dasar cinta
(Yoh 13:1) sampai mati (15:12st). Akan tetapi justru dengan mati itu Yesus sampai kemuliaanNya dan karena itu
dapat tinggal seterusnya di antara para murid dalam RohNya, yang mereka terima dlam iman (Yoh 7:39). Dalam
Roh itu Yesus menemani para murid dan mereka melihatnya (Yoh 14:16 dan Yoh 14:3.17; 16:22) serta semakin
menangkap pewartaanNya (Yoh 16:13 dst).

Dengan pengertian itu dapat dikatakan, bahwa Yesus mewahyukan Diri, baik kepada kawannya selama Dia
hadir fisik maupun kepada jemaat maka kemulianNya (Yoh 14:22). Murid-murid ini menjadi sahabat-sahabatNya,
karena mereka telah dipilihNya ntuk menghasilkan buah (Yoh 15:14st). Anak buah ini adalah saudara-saudara
Yesus pula (Yoh 13:33) yang hidup dariNya.

Dari Yoh 15:1st kita membaca maksud Yohanes, menekankan bahwa para murid sangat erat bersatu dengan
Yesus; Dialah sumber hidup dan daya mereka; dalam kesetiaan terhadap iman akan Yesus Kristus mereka
menghasilkan buah cintakasih. Sedangkan bila mereka bercerai dari Yesus akan kering dan mati (49).

Sedangkan Yoh 10:1-17 menggambarkannya selaras dengan latar belakang kemasyarakatan dan sastra masa
itu. Yesus adalah pemilik kawanan ini, yang membawa mereka ke padang rumput untuk menyelamatkan mereka.
Bahkan sebagai gembala yang baik, Dia rela mempertahankan hidupnya bagi mereka: mau menjaga mereka
sampai titik darahNya yang terakhir.

Singkat kata: menurut Yohanes, kawanan murid, yang diterima dari Bapa dan dipilih oleh Yesus, yang
dimilikiNya berkat penyerahan DiriNya, yang dibentuknya berkat Roh Kudus dan DoaNya, itu memperoleh hidup
dari Dia dipandang dari segala sudut. Yesus adalah awal, tujuan,dan pusat hidup bersama mereka ini.

(c) Gereja yang merangkum semua orang

Agaknya Yohanes berkeyakinan, bahwa sudah semenjak masa Yesus masih hadir fisik, Dia mau menjangkau
orang-orang di luar orang Yahudi. Kepada wanita Samaria Dia membuka Diri sebagai Messias (Yoh 4:26) dan
wanita itu dibiarkanNya memberitahukan hal itu kepada orang-orang sekotanya (Yoh 4:28 dst). Nada eskatologis
pada Yoh 4:31; 38 menggarisbawahi keinginan Yesus untuk merangkum semua orang. Juga dalam Yoh 12;12 dst.
tampak kesemestaan itu,- sehingga dalam kelompok sekitar Yesus malah sudah ada orang Yunaninya (Yoh 12:20)
serta orang-orang proselyt (Yoh 12:21).

12
Jadi Yohanes membayangkan Gereja Semesta yang bertumpu pada peristiwa Yesus, dan bukan
pertama-tama hasil jerih payah para Murid. Gereja semesta itu dikehendaki Yesus (bdk Yoh 10:16 dan 17:20 pula,
dan malah dituju dengan korban Salib (Yoh 11:51 dst)

Tetapi Gereja Semesta tak menuju pada diri sendiri, melainkan bersasaran, bahwa dengan memandang
kerukunan Gereja, dunia beriman pula (Yoh 17:21.23). Dengan kata lain, Gereja dibutuhkan ada, dalam kesatuan
cinta Allah dan Yesus Kristus agar semua orang beriman pada pewahyuan Bapa dalam Yesus Kristus.

(d) Gereja yang ada dalam Dunia

Sebagaimana Yesus, demikian pula para murid diutus ke dunia (Yoh 17:18). Memang mereka tidak hidup dari
dunia akan tetapi mereka dipilih dari dunia (Yoh 15:19) tanpa diambil dariNya (17:18).

Dunia yang gelap penuh dengan dusta dan dosa (Yoh 8). Dusta itu seperti dosa yang jahat (Yoh 3:19st)
bertentangan dengan kebenaran serta bermuara pada maut. Maka manusia, sejauh di dunia ber -'warna kematian'
(Yoh 5:25) walaupun mereka memang mencari cahaya dan hidup (bdk Yoh 4:15; 6:31). Sayang manusia itu buta
dan mengira melihat (Yoh 9:41) serta beranggapan bahwa diri mereka itu cahaya, kebenaran, kebebasan dan
hidup, sehingga tak menaruh kepercayaan kepada Yesus, Sang Cahaya, Kebenaran, Kebebasan dan Hidup (Yoh
5:39; 8:24 dll),- malah mau menghancurkanNya (Yoh 8:37 dst). Kawanan Murid, Gereja Yesus di tengah dunia itu,
percaya kepada Yesus dan hidup daripadaNya, sehingga mereka juga mengambil bagian dalam garis-hidup Yesus
waktu itu dan selanjutnya (Yoh 15:18). Oleh sebab itu, seperti Yesus (Yoh 9:22) mereka akan dikeluarkan dari
perkumpulan-perkumpulan agama (Yoh 16:2 dst).

Dunia beranggapan bahwa para murid ini pantas dibenci (Yoh 17:14). Akan tetapi kepada dunia inilah para
murid diutus untuk meyakinkan bahwa Allah mencintai dunia dan untuk membawa mereka pada iman dan dengan
begitu menyelamatkannya (bdk Yoh 3:16 dst; 5:34 dst).

(e) Gereja yang berstruktur.

Yohanes memandang Gereja juga sebagai jemaat konkrit manusiawi, dengan segala kelahiriahannya. Jemaat
ini diutus, sebagaimana Yohanes Pembabtis diutus Allah (Yoh 1:6.33; 3:28) dan seperti Yesus diutus BapaNya (Yoh
3:17; 5:36.38; 6:29; 4:34; 5:30; 6:38). Dalam kaitan ini muncul istilah 'apostolos' (Rasul: Yoh 13:16).

Dalam hubungan ini pantas diperhatikan ucapan "Saya mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu
usahakan" (Yoh 4:38). Pengutusan itu mempunyai warna eschatologis. Rangkaian pengutusan tampak dari doa
"Sama seperti Engkau (Bapa) telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula aku telah mengutus mereka ke
dalam dunia" (Yoh 17:18). Jadi jemaat meneruskan pengutusan Yesus, Sang Utusan Utama (bdk Yoh 13:20). Hal
itu secara meriah dan resmi disabdakan oleh Yesus Kristus yang telah bengkit dari mati kepada kesepuluh Rasul
(tanpa Thomas dan Yudas Iskariot): "Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian
juga sekarang Aku mengutus kamu" (Yoh 20:21). Pada waktu itu Yesus juga lalu mengaruniakan Roh Kudus
kepada para Murid dan dengan begitu memberi kekuasaan untuk mengampuni dosa atau tidak. Dalam konteks ini
gambaran dasariah tentang Gereja Misioner tampil.

Dalam gambaran Gereja yang berstruktur ini muncul pula pelayanan gerejawi. Hal itu tampak dalam diri dan
peranan Petrus. Disini hanya disebutkan salah satu murid, walaupun memang menjadi juru bicara mereka (Yoh
6:68). Akan tetapi bagi Yohanes agaknya toh ada kelebihannya. Yohanes langsung pada awal pengenalan Petrus,
memberinya sebutan Kephas, yang dalam Tradisi berarti Dasar Gereja mendatang (Yoh 1:42). Lalu ada 'murid
yang dicintai Yesus' (Yoh 13:23; 19:26; 20:2; 21:7.20) yang agaknya sama dengan 'murid yang lain' pada Yoh
20:3.8 dan 18:15 dst. Serta mungkin juga dengan 'dia', yang memberi kesaksian atas benarnya kesaksian ini' (Yoh
19:35) dan sama pula dengan 'penulis Injil' (Yoh 21:24).

Agaknya ada semacam persaingan antara Petrus dengan Murid, 'yang dicintai Yesus ini', seperti antara 'yang
memegang jabatan' dengan 'yang karismatis' (50). Malah setiap kali kedua orang itu muncul bersama (Yoh 13:23
dst; 20:1 dst; 21:7.20 dst) ada warna khas: murid yang dicintai Yesus ini tergambar sebagai orang yang dekat
sekali dengan Yesus; sedang Petrus adalah orang yang menduduki sesuatu jabatan.

Yoh 14:26; 16:13 dst dan 15:26 dst menyiratkan pandangan tentang hal yang kelak disebut Tradisi. Tradisi
menunjuk pada keseluruhan hidup menggereja yang melatarbelakangi aneka ajaran dan rumus iman. Tradisi itu
juga yang kemudian menjadi cakrawala penafsiran pewarisan khasana hidup menggereja dan menjadi acuan
penting untuk mengembangkan Gereja mendatang. Sebab di situ disebutkan peranan Roh Kudus untuk membantu
para Rasul agar kelak dapat menafsirkan dan mengerti segala yang mereka alami dan dengar.

Lalu kalau diperhatikan baik-baik, ibadat Gereja pun sudah mendapat perhatian Yohanes. Dia berbicara
tentang orang beribadat kepada Bapa dalam Roh dan Kebenaran, ibadat yang mengatasi dan menggantikan segala
ibadat, baik di Yerusalem maupun di Gunung Garizim. Dengan kedatangan Yesus, tiba pulaluah saat eschatologis:
Ibadat sejati yang berlangsung dalam Roh (Yoh 4:9-24). Dengan Kebangkitan Yesus maka model Ibadat Lama
dalam Kenisah dihancurkan (Yoh 2:18-21) dan berdirilah Kenisah Tubuh Yesus. Seluruh Umat Beriman menjadi
bagian Kenisah Baru ini.

13
Mengenai sakramen-sakramen dapat dikatakan bahwa 'perlunya Babtis' disebut secara terang-terangan
dalam percakapan Yesus dengan Nikodemus (Yoh 3:1 dst). Babtis yang dimaksudkan di situ berbeda dengan babtis
Yohanes yang dengan air saja itu (Yoh 1:26.31.33). Sebab Babtis yang dibicarakan oleh Yesus dengan Nikodemus
ini dengan roh dan air (Yoh 3:5). Hasilnya: orang yang dilahirkan kembali, dilahirkan dari atas, dilahirkan dari Roh
(Yoh 3:6). Sedangkan Yoh 19:34 menyiratkan kaitan Babtis dan Eucharisti dalam Wafat Yesus. Dan Yoh 6
seluruhnya menggambarkan arti Ekaristi bagi Jemaat dalam hubungannya pula dengan Wafat dan Kebangkitan
Yesus. Lalu Yoh 20:21 dst kiranya dapat ditafsirkan sebagai tak hanya pelanjutan catatan tentang Kekuasaan
Yesus mengadili, melainkan sebagai pengutusan para Murid oleh Yesus yang bangkit: dengan dilengkapi oleh
kekuasaan kongkrit untuk mengampuni dosa.

(f). Gereja sebagai utusan cintakasih.

Bagi Yohanes Gereja adalah umat yang melanjutkan pengutusan yang dipercayakan kepada Yesus oleh Allah
Bapa yaitu menyerahkan diri bagi dunia. Karena itu Umat hidup berkat Sabda-sabda Yesus, melakukan perintah
cintakasih-Nya dan hidup karena disokong oleh Doa Yesus. Lagi, karena itu umat ini mengalami nasib yang sama
dengan Yesus yakni menderita. Seperti halnya dengan Yesus, Gereja berdiam dalam dunia yang penuh dengan
dusta, penuh dengan dosa dan maut dan yang tidak bersedia menyambut kabar kehidupan.

Yohanes menekankan segi spiritual umat beriman ini. Tetapi itu tidak berarti bahwa struktur -struktur Gereja
disangkal atau tidak diperhatikannya. Segala struktur (Permandian, Ekaristi, Jabatan) dilihatnya dari sudut iman
dan hubungannya dengan Yesus Kristus sendiri.

4. Pola-pola Gereja menurut Surat-surat Yohanes.

Sejauh terselidiki maka surat-surat Yohanes itu lebih muda daripada Injil Yohanes. Tidak ada kepastian, siapa
penulis masing-masing surat itu. Tetapi mereka berasal dari satu gugus tradisi yang sama, yaitu di sekitar tradisi
teologis Yohanes.

(a) Gereja sebagai jemaat yang dihimpun oleh Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Jemaat yang disapa dalam Surat-surat Yohanes menyadari diri sebagai jemaat yang dihimpun bersama
dengan Bapa dan Putera oleh Roh Cintakasih. Maka adanya Gereja itu hanya karena Allah dan Yesus Kristus
mencintai umatNya. Dengan kata lain, jemaat lahir hanya karena cinta Tuhan. Maka Jemaat ini secara dasariah
dan penuh-penuh diisi Roh Allah (1 Yoh 4:2). Dalam Gereja, Roh ini menjadi pengurapan Suci (bdk. Krisma) yang
tinggal dalam setiap warga (1 Yoh 2:20.27). Dia ini Roh Kebenaran (1 Yoh 4:6) yang menganugerahkan
pengetahuan sejati (1 Yoh 2:20).

Berkat kekuatan Roh, jemaat menerima Sabda Kehidupan (1 Yoh 1:1 dst) dan dapat mewartakan Sang Sabda
Yang Menjadi Daging. Dengan begitu jemaat bersatu dalam koinonia dengan satu sama lain dan dengan Tuhan (1
Yoh 1:2 dst). Sabda yang diterima dan diwartakan oleh jemaat itu dalam Tradisi selalu sama dan dihadirkan
kembali karena Rohnya selalu sama pula. Maka terus meneruslah jemaat dihidupi oleh Sabda itu.

(b) Gereja sebagai jemaat yang ada di dunia.

Sebagai orang-orang yang beriman, anggota jemaat sadar, bahwa mereka terbedakan, bahkan terpisahkan
dari dunia (1 Yoh 2: 2:15 dst). Mereka adalah murid Tuhan yang dipilih untuk pengutusan demi Keluarga Allah.
Dunia, dalam hal itu, difahami sebagai nafsu manusia yang berdosa, manusia yang mencari diri sendiri dan hidup
dari diriNya sendiri (bukan dari Tuhan). Jadi: hidup dari 'yang terbatas', bukan 'yang abadi', hidup dari yang tak
sempurna, berdosa; bahkan dikuasai olehNya (1 Yoh 5:19).

Beda antara Gereja dan dunia sebegitu besar, sehingga 1 Yoh 3:10 menyebutnya 'anak Allah dan anak setan'.
Sebab tindakan dunia, yakni dosa, itu pelanggaran hukum (1 Yoh 3:4) dan berasal dari setan, yang sejak awal
mula berdosa (1 Yoh 3:8).

Dosa, yang pertama-tama adalah ketidakadilan, pelanggaran hukum, tak mencintai saudara dan hanya
mencintai diri sendiri. Dosa itu terbukti tidak lain daripada perbuatan setan (1 Yoh 3:8). Maka kedatangan Putera
Allah itu untuk menghancurkan pekerjaan setan (1 Yoh 3:8). Dan jemaat mengalahkan yang jahat (1Yoh 2:14)
berkat hadirnya Sabda Tuhan di tengah mereka. Tetapi jemaat pun merasa bahwa mereka sebetulnya juga sudah
kecolongan. Dunia telah merasuki Gereja. Hal itu tampak dalam penyelewengan-penyelewengan dalam umat (51).
Rupanya dalam jemaat ada banyak 'antikris' (1 Yoh 2:18) dan penyelewengan (1 Yoh 7). Disitu banyak nabi-nabi
palsu (1 Yoh 4:1) yang menyesatkan jemaat (1 Yoh 2:26 Bdk 1 Yoh 3:2).

Rupanya mereka itu termasuk aliran 'Doketisme' (yang tak mengakui bahwa Yesus yang sebelum Paska itu
Kristus (1 Yoh 2:22 dst). Para penyeleweng ini tak mengakui adanya dosa (1 Yoh 1:8, 3:4.7 dst). Maka penulis
surat 1 Yoh menganjurkan anggota jemaat untuk menjauhi mereka ini.

Suasana itu dihayati para anggota Gereja sebagai suasana eschatologis. Artinya: adanya anti-kris dan

14
penyelewengan-penyelewengan itu merupakan tanda datangnya 'Saat-saat Terakhir' (1 Yoh 2:18). Pada saat ini
terasa adanya kegelapan akan tetapi Sang Cahaya Abadi akhirnya akan mengusirnya (1 Yoh 2:8). Datangnya Sang
Cahaya secara pasti itu kalau Hukum Lama dan Hukum Baru sudah terlaksana.

5. Pola-pola Gereja menurut Surat-surat Paulus

(a) Gereja sebagai Umat Allah.

Paulus tidak begitu sering mempergunakan istilah 'Umat Allah' untuk menyebut Gereja (hanya dalam Rom
9:25 dst dan 2 Kor 6:16; itupun dalam kutipan Perjanjian Lama). Ini dapat menyiratkan pendapat Paulus, bahwa
memang ada kesinambungan antara 'Umat Allah' dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru (52). Akan tetapi, dari
lain pihak rupanya Paulus beranggapan bahwa istilah Umat Allah itu kurang menggambarkan Gereja ang nyata
ada. Untuk ini Paulus memakai istilah 'Εκκλήσίά'. (53)

Sebagai terjemahan qahal (atau lebih tepat qehal-jahweh) istilah 'he εκκλήσίά tou Theou' (jemaat Allah)
dinilai Paulus sebagai sangat cocok untuk menggambarkan keadaan sebenarnya (1 Kor 1:2; 10:32; 11:16.22;
15:9; Gal 1:13; 1 Tes 2:14; 2 Tes 1:4). Dalam 1 Tes 2:14 dan Gal 1:22 tampak sekali bagaimana Gereja Allah
dalam Yesus Kristus mempunyai kesinambungan dan sekaligus kekhususan dibandingkan dengan Umat Allah
dalam Perjanjian Lama. Dengan begitu Gereja digambarkan sebagai berakar dalam Sejarah Keselamatan, namun
toh mempunyai segi yang baru secara menentukan. Gereja bersambungan hidup dengan Pohon Jaitun 'tradisional'
(Rom 11:17), yang berasal dari Benih Abraham, Bapa kaum beriman (Rom 4:11 dst; 9:7 st; Gal 3:6 dst.29).
Sebaliknya Gereja bertalian dengan Israel bukan lewat pertautan darah melainkan melalui kaitan iman (Rom 9:6
dst; 1 Kor 10:18): karena dipilih oleh Allah berkat rahmatNya (Rom 9:27 dst; 11:5.7).

Dengan begitu Gereja menjadi pemenuhan Israel menjelang jaman akhir: jadi sebagai 'rekanan' Tuhan yang
masih harus dihimpun (Yer 31:1); Yeh 48; Zakh 9:1 dst) untuk mengikat Perjanjian Baru (Yer 31:31 dst) sebagai
Bangsa Tuhan yang definitif, (54) yang diresmikan dalam Darah Tuhan Yesus dan diperbarui terus -menerus dalam
Perjamuan Tuhan (1 Kor 11:25) sampai mencapai keutuhan abadi (1 Kor 10:5 dst).

Gereja Tuhan ini hanya satu walaupun muncul di mana-mana. Adapun Gereja-gereja setempat itu merupakan
penyataan Gereja yang satu ini: entah Gereja di daerah tertentu (Rom 16:1.16.23; 1 Kor 4:17; 6:4), entah
Himpunan Orang Beriman dalam rumah tertentu (Rom 16:5; 1 Kor 16:19 b; Kol 4:15; Phlm 2). Memang Paulus
kerap menyebut 'gereja-gereja', kalau menunjuk Himpunan-Himpunan Setempat (Rom 16:4; 1 Kor 11:16; 14:35
dst; 16:1.19 dll). Akan tetapi Gereja memang kerap disebut-sebut berganti-ganti dengan mufrad dan jamak (1
Kor 10:32; 11:16; 14:34.35; Gal 1:13.22; Phil 3:6). Barangkali rumusan 1 Kor 1:2 dan 2 Kor 1:1 dapat
memperlihatkan hubungan antara Gereja Semesta dan Gereja Setempat di mana bagi Paulus: Gereja Semesta
terhadirkan dalam Gereja-Gereja Setempat.

Kecuali itu Gereja dalam setiap penampilannya merupakan Pertemuan Resmi Suci. Untuk memahaminya
dapat diperhatikan bahwa Paulus kerap menyebut Gereja sebagai orang-orang yang 'dipanggil untuk dikumpulkan
oleh Allah' (1 Kor 1:2; Rom 1:7); Padahal pengertian itu merupakan terjemahan LXX bagi istilah Ibrani mikra
kodes (Kel 12:16; Im 23:2 dst; Bil 28:25). Yang berarti Pertemuan Resmi Suci: yakni Pertemuan Jemaat Israel
setiap hari Sabat dan Peska. Dari situlah kedudukan setiap (dan seluruh) jemaat menemukan dasarnya (Rom 1:6;
8:28; 1 Kor 1:24 dan Rom 8:33; 16:13; Kol 3:12; dan khususnya Rom 8:27; 12:13; 16:2.15; 1 Kor 6:1 dst;
14:33). Gereja Allah rupanya juga disebut Gereja dalam penampilan 'non-sakral'-nya. Ini tampak dari 1 Tes 1:1; 2
Tes 1:1 atau 2 Kor 8:1. Teks-teks ini mengenai hidup jemaat 'pada umum'-nya. Sebutan itu hanya mungkin
mereka terima, kalau di luar waktu 'pertemuan sakral' mereka juga disebut 'Gereja' (bdk Kis 19:32.39.40). Jadi
jemaat itu ternyata diakui sebagai suatu badan publik. Malah Paulus kadang-kadang juga menyebut Geeja dengan
istilah yang 'lebih profan' yakni dengan 'politeia' (kewarganegaraan). Jemaat non-yahudi dikatakan: dulu jauh dari
politeia Israel tetapi kini sama-sama politeia para Kudus (Ef 2:12.19). Dan dalam Phil 3:20 jemaat disebut sebagai
mempunyai kewarganegaraan surgawi.

Singkat kata: bila Paulus menyebut jemaat sebagai Gereja, maka dia memandang sebagai Umat Allah, yang
sudah disiapkan di masa Israel dan kini, di jaman 'akhir' terdiri dari orang Yahudi dan Non-Yahudi, di mana-mana
dan toh merupakan satu Gereja, yang secara resmi berhimpun sebagai Bangsa Tuhan dan yang juga diakui dalam
tindak publiknya.

(b) Gereja sebagai Tubuh Kristus.

Bagi Paulus sangat jelas bahwa jemaat Kristiani itu Gereja-Nya Kristus (Rom 16:16; 1 Tes 2:14; bdk Gal
1:22). Untuk menggarisbawahi hubungan mesra antara jemaat dan Kristus itu Paulus menyebut Gereja sebagai
Tubuh Kristus.(55)

Seperti manusia tampil dalam tubuhnya, demikian pula Kristus tampil dalam TubuhNya, dalam GerejaNya
tanpa dapat dipisahkan. Kristus merupakan kepala bagi GerejaNya (Kol 1:18). Kristus dan Gereja memang saling
berkaitan akan tetapi Kristus berada di kedudukan yang lebih tinggi dan merupakan orientasi hidup TubuhNya (Ef
4:15 dst). Kristus adalah Prinsip Perdana bagi hidup GerejaNya (Kol 1:18).

15
Hubungan manusia dengan tubuhNya juga dapat dilukiskan secara lain: seperti hadirnya manusia lain, yang
memang sangat dicintai (misalnya mempelai sendiri; bdk. Ef:21 dst). Dalam gambar semacam itu Kristus
memandang Gereja sebagai pengantinNya. Lalu Gereja boleh percaya bahwa dicintai dan dihidupi serta diberi
'nafkah' oleh Kristus.

Lain daripada itu, penyebutan Gereja sebagai Tubuh Kristus juga dapat diartikan sebagai ' kesatuan' dari
sekian banyak anggota Tubuh' (Rom 12:4; Ef 4:4; Kol 3:15). Gereja sebagai Tubuh Kristus mau merangkum
semua saja (bdk Ef 2:16; 4:4; Kol 1:16 dst). Dalam 'merangkum semua itu tersirat pula kesempatan Gereja:
bahwa jemaat membuka diri terhadap seluruh umat manusia. Kekuasaan Kristus sendiri (yang ditampilkan oleh
Gereja) sebetulnya malah menjangkau sampai ke segenap ciptaan Allah (bdk Ef 1:10; 3:18).

Kecuali itu Paulus juga menelaah hubungan antara anggota Tubuh yang satu dengan yang lain. Ini khususnya
dibicarakan dalam 1 Kor dan Rom. Sebetulnya tentang hal ini ada dua hal yang perlu diperhatikan:
1) bahwa Tubuh sebagai keseluruhan itu mengatasi anggota (ini lebih disentuh dalam Surat kepada
orang-orang di Kolose dan Efesus);

2) bahwa Tubuh itu persatuan para orang beriman (ini lebih digarap dalam Rom 12 dan 1 Kor 12:12 dst).

Gereja adalah suatu badan sosial. Anggota-anggota badan sosial ini tergantung satu sama lain dan ada bagi
satu sama lain. Oleh sebab itu keanggotaaan mereka dalam Gereja baru sempurna kalau mereka menderita
bersama, bersuka satu sama lain, saling memperhatikan Pokoknya: saling mencintai (bdk Rom 12:3 dst; 1 Kor
12:14 dst; Ef 4:1 dst).

Singkat kata: Gambaran 'Gereja sebagai Tubuh Kristus' mengandung lukisan tentang hubungan Gereja
dengan Kristus, dengan dunia, dengan warga-warganya dan hubungan antara warganya satu sama lain.

(c) Gereja sebagai Kenisah Allah

Beberapa kali Paulus menggambarkan Gereja sebagai Kenisah Allah (1 Kor 3:16 dst; bdk 1 Kor 6:16; Ef
2:21). Ini berkaitan dengan gambaran Gereja sebagai bangunan (bdk Ef 2:19 dst), rumah (Gal 6:10; Ef 2:19; bdk
1 Tim 3:15). Juga lukisan ini dekat dengan penggambaran Gereja sebagai kota. (56)

Dengan melukiskan Gereja sebagai Kenisah, maka Paulus membuka diri pula kepada pewarnaan eschatologis.
Sebab bagi orang keturunan Yahudi jaman itu selalu masih tersimpan harapan bahwa Kenisah akan dipulihkan
kembali seperti dulu, sekurang-kurangnya pada jaman eschaton (57). Menurut gambaran itu, dalam Gereja
Kenisah eschatologis mulai terwujud. Dalam Kenisah Baru ini Allah berkarya berkat RohNya, sehingga Dia
memenuhi janji bahwa "akan tinggal dan berada di antara mereka, dan menjadi Allah mereka serta mereka
menjadi UmatKu" (Im 26:11 dst; Yehesk 37:26 dst; Zach 8:8).

Gambaran ini pula menjadi tumpuan keyakinan, bahwa Gereja disebut kudus (1 Kor 3: 17 b). Kesucian ini
dapat menyingkirkan kejahatan dan kesalahan, agar kedosaan menyingkir dari Gereja (bdk 1 Kor 5:7 dst; 6:9.12
dst 20; 10:7.14-18 dst; 2 Kor 6:16 a; 1 Tes 4:3 dst). Sebab dalam kenisah Allah (Gereja) ini akhirnya setiap orang
beriman sendiri merupakan Kenisah Roh yang mendiaminya (1 Kor 6:19) dan karena itu menjadi milik Roh.

(d) Gereja sebagai rahasia.

Gambaran ini terutama dilukiskan dalam Surat kepada orang-orang di Efesus (58). menurut Paulus Gereja
berasal dari Rahasia Penyelenggaraan Ilahi. Allah sudah sejak awal mula menghendaki Gereja: mengumpulkan
semua orang beriman dalam Kristus (bdk Ef 1:10). Kini, dalam Gereja rahasia itu terlaksana dan ternyatakan (bdk
Ef 3:10). Jadi, Gereja ada bukan karena kebetulan atau mengikuti arus sejarah saja, melainkan karena Rahasia
Rencana Penyelamatan Allah. Hakikat Gereja adalah Rahasia Allah menyelamatkan manusia secara bersama-sama
dalam Yesus Kristus (bdk Kol 1:16 dst).

Hal yang sama dapat dilihat dari sudut lain. Rahasia Rencana Penyelamatan Allah sudah dinyatakan dalam
Yesus Kristus, Sang Mesias. Penyataan itu mencapai puncaknya yi. dalam Wafat dan KebangkitanNya. Itulah
sebabnya maka Kol 2:2 menyebut Yesus Kristus sebagai 'Rahasia Allah' sendiri sedangkan Salib dan Kebangkitan
sebagai 'rahasia Kristus' (Kol 4:3).

Menurut 2 Kor 5:14 dst, Yesus Kristus mati untuk semua. Dalam kematian Kristus, semua orang mati. Tetapi
dengan begitu juga mereka semua hidup. Dengan kata lain, semua orang mendapat dasar baru bagi hidupnya
berkat tawaran Yesus untuk menyerahkan hidupNya (bdk Rom 14:7 dst). Dalam mati, Yesus Kristus telah
menerima hidup bagi kita semua dan dengan begitu menjadi kenyataan Rahasia Penyelamatan Bapa. Jadi, Rahasia
Allah dalam Rahasia Yesus adalah Rahasia pemberian DiriNya yang penuh kasih dalam Tubuh kongkrit Yesus yang
mati bagi kita di salib dan menyebabkan kita tak lagi urusan kita saja melain kan mejadi urusan Yesus dan menjadi
milikNya serta kembali diterima Allah, lepas dari kekuasaan Dosa (bdk Rom 8:31; 39).

Bagaimana hubungan antara Tubuh Kristus ini dengan Tubuh Kristus yang disalibkan? Tubuh Kristus yang di

16
salib adalah ungkapan cinta Allah yang memperhatikan dunia, mau mengajak berdamai, mendukung hidup dunia
dan membuka serta menyuburkan kembali hidup dunia. Itu menjadi dimensi penyelamatan Tubuh Gereja berkat
Roh Kudus. Dari situ dapatlah kita mengatakan bahwa dengan kekuatan Roh Kudus Gereja menjadi hasil nyata dan
penampakan Rahasia Rencana Penyelamatan Allah, yang secara definitif terlaksana dalam Yesus Kristus.

(e). Gereja sebagai paguyuban manusia:

Bagi Paulus Gereja adalah umat yang mempunyai hubungan horisontal satu sama lain (dalam hal ini pantas
diingat usaha Paulus dalam hal kolekte bagi umat di Yerusalem: Gal 2:10; 1 Kor 16; 2 Kor 8 dst.; Rom 15:25 -27,
yang mempunyai hubungan historis dengan Yesus historis, khususnya dengan Yesus yang tersalib, yang
mempunyai hubungan dengan para rasul di Yerusalem (bdk. Gal 2), yang mempunyai hubungan vertikal dan
pneumatis dengan Yesus Tuhan yang diwujudkan dalam Roh Kudus. Demikian terhadap umat-umat ex-kafir yang
merupakan lapangan kerja Paulus, dua hal ini dilaksanakan oleh Paulus:

a. Koreksi terhadap aktualisme

Paulus memberi koreksi terhadap aktualisme umat bekas kafir yang berat sebelah:
-- Bukanlah gejala-gejala luar biasa yang merupakan norma kekristenan, melainkan pembangunan
umat (1 Kor 12-14) dan pengakuan akan Yesus Kristus.
-- Yesus bangkit sebagai Tuhan tidak dapat dilepaskan dari Yesus yang tersalib dan siapa menerima
kemuliaan kebangkitan harus menerima juga kebodohan penderitaan dan salib, karena Yesus Tuhan adalah identik
dengan Yesus historis di atas kayu salib (1 Kor 12:13; 1:18; 2:2).
-- Paulus menekankan hubungan antara umat bekas kafir dengan Israel lama (Rom 9-11; Ef 3:1
dst.).
-- Juga Paulus menekankan hubungan dengan umat di Yerusalem dan kesaksian para rasul (1 Kor
15:1 dst.).

b. Dasar teologis

Paulus memberi dasar teologis kepada penghayatan aktualistis dan pengalaman pneu matis-kharismatis umat
bekas kafir:
-- Dikemukakannya dasar sakramental hubungan dengan Kristus yakni melalui Permandian dan
Ekaristi (Gal 3:27 dst.; 1 Kor 12:13 dst.; 1 Kor 10:17 dst.).
-- Lagi dinyatakannya bagaimana hubungan antara Kristus dengan umat. Hubungan mereka adalah
seperti kepala dan tubuh saling berhubungan dalam satu Tubuh. -- Roh Kudus mempunyai peranan dalam Gereja
dalam hubungan erat mesra dengan Yesus Tuhan (1 Kor 3:16; Ef 2:22). Demikianlah umat merupakan kediaman
Roh.

6. Pola-pola Gereja menurut Surat-surat Pastoral

Surat-surat Pastoral dipandang sebagai dokumen Perjanjian Baru yang ditulis pada masa pasca Paulus (59).
Tampaknya gambaran Gereja-nya berbeda dengan dokumen-dokumen lain. Tetapi bentuk baru ini, khususnya
sehubungan dengan jabatan-jabatan gerejawi itu merupakan perkembangan wajar dari ajaran Paulus dan sejauh
itu selaras dengan maksud dan semangat Paulus.

(a) Gereja adalah milik Yesus Kristus.

Gereja adalah milik Yesus Kristus karena lahirnya oleh penyerahan diri Yesus (Tit 2:14). Kecuali itu Gereja
juga disebut sebagai Keluarga Allah ( 1 Tim 3:5), keluarga milik Allah (1 Tim 33:15), yang merangkum dan
melindungi semua umat (bdk Ibr 3:6 dan 1 Ptr 4:17). Sekaligus Gereja dilihat sebagai Rumah (Allah) yang juga
merupakan bangunan kokoh (1 Tim 3;15).

(b) Gereja yang kokoh ditopang oleh Jabatan Rasuli.

Ada sejumlah hal yang ditekankan dalam Surat-surat pastoral (60).

Dasarnya adalah kerasulan Paulus untuk mewarrtakan Injil yang dipercayakan Allah kepadanya (1 Tim 1:11).
Paulus ditetapkan untuk tugas pelayanan ini (1 Tim 1:12; bdk 2 Tim 4;17). Akan tetapi pada masa sesudahnya
perlu dipikirkan lagi, bagaimana tugas itu dapat berjalan dengan baik. Menurut 2 Tim 1:11 dan 1 Tim 2:7 Paulus
ditetapkan sebagai pewarta dan utusan serta guru. Dalam kedudukan itulah dia tetap hadir pada para muridn ya,
sebab ajaran dan Berita Gembiranya menjadi dasar dan norma tradisi selanjutnya (1Tim 1:93; 2 Tim 1:12 dst).

Juga kekuasaan Paulus untuk memerintah dan mengatur masih diakui dalam Surat-surat Pastoral. Ibadat,
tata kegerejaan, hidup sehari-hari, jalan pikiran orang beriman semua dilaksanakan berdasarkan
petunjuk-petunjuk Sang Rasul. Dia mengantar mereka untuk menata norma-norma penunjukan pejabat,
prinsip-prinsip dasar pelayanan dan sikap serta hubungan-hubungan mereka. Sang Rasul memegang kekuasaan
penghakiman (1 Tim 1:2) dan kekuasaan pentahbisan (2 Tim 1:6; bdk 1 Tim 4:14).

17
(c) Gereja yg dijabarkan dalam pelaksanaan Jabatan Kerasulan.

Apa yang dulu berlangsung antara Paulus dan Jemaat, kini harus dijabarkan secara kelembagaan, tanpa
menggantungkan jemaat hanya pada hubungan pribadi. Agaknya suara-suara profetik menunjukkan bahwa
Timotheus pantas menjadi pengganti dan penerus Sang Rasul (1 Tim 1:18). Pengangkatan resmi terjadi dengan
penumpangan tangan, yang sekali selama-lamanya menandakan pemberian kharisma kepelayanan, yang harus
dilaksanakannya (bdk 1 Tim 1:18; 4:14; 2 Tim 1:6; 1:2; Tit 1:5). Sesudah tahbi san ini Timotheus dapat menjadi
pengganti Paulus (1 Tim 3:15; 4:13; 2 Tim 4:9) dan penerus jabatannya (2 Tim 4:5 dst) untuk daerah gerejawi
tertentu.

Perincian tugas tampaknya berkisar pada 'mengajar', 'beberapa jenis pemerintahan' dan 'menguduskan'.
'Tugas mengajar' menyangkut pelbagai pelayanan Sabda, Pewartaan, Kesaksian, Pelajaran dan Pemberian nasehat
untuk melawan ajaran-ajaran sesat selaras dengan Tradisi (bdk 1 Tim 4:7; 6:20; 2 Tim 2:14.23 dst; 4:2). Isi
pewartan adalah iman, tingkahlaku, tata hidup bersama (bdk 1 Tim 2:12; 4:3).

Sedangkan 'tugas pemerintahan/kepemimpinan' itu berkaitan dengan bagaimana tingkahlaku orang (1 Tim
3:15), mengatur pelaksanaan pelbagai pelayanan (1 Tim 5:7), menjaga ketertiban para penatua (1 Tim 5:17 dst).
'Tugas pengudusan' meliputi pengangkatan penatua (Tit 1:5) dan acara-acara ibadat lain.

(d) Gereja yang dihayati dalam Jabatan

Jabatan digambarkan sebagai segi hidup rasul dengan pemenuhan Roh dan hidup sehari-hari. Roh menjadi
dasar dan kekuatan pelaksanaan jabatan (2 Tim 1;6 dst.14; 2:1; 1 Tim 4:14). Jadi memang merupakan ' jabatan
rohani'. Karena Roh meresapi seluruh diri, maka situasi berjabatan itu juga mempengaruhi seluruh hidup manusia
ybs. (1 Tim 6:11 dst; bdk 2 Tim 2:3 dst) sehingga Dia dapat menjadi contoh bagi jemaat (1 Tim 4:12 ; Tit 2:7).
Jabatan gerejawi adalah sekaligus perjuangan (1 Tim 1:18; 2 Tim 2:3.4) dan pelayanan (1 Tim 1:12; 4:6; 2 Tim
4:5).

Mereka harus melaksanakan itu dalam hubungan erat dengan Sang Rasul (1 Tim 6:3; 2 Tim 2:14; Tit 3:1);
baik perihal rumusan-rumusan ajarannya (2 Tim 1:13 dst; dan 2 Tim 2:7 dst) sehingga Tuhan mendampingi dalam
iman. Hal yang sama berlaku untuk tugas kepemimpinan/pemerintahan (1 Tim 5:19) dan hidup harian (bdk 1 Tim
3:1 dst 7 dst; Tit 1:5 dst; 1 Tim 5:3 dst).

Tempat Pejabat dalam Gereja. Perlu diingat lagi, bahwa suasana spiritual jaman itu adalah suasana
eschatologis Tampaknya perananan pejabat dalam keadaan itu menjadi amat menonjol sedangkan jemaat tak
begitu berperan selain mendengarkan (1 Tim 4:16), dan berdoa (1 Tim 2:1.8; 5:5). Memang ada
sukarelawan-sukarelawan dari jemaat untuk beberapa tugas (bdk 2 Tim 1:16.18; 4:10 dst 19 dst; 4:11; Tit 3:12).
Anggota jemaatpun dianjurkan untuk saling memperingatkan dan memberi nasehat (Tit 2:3 dst)> Namun dalam
Surat-surat Pastoral ini mencoloklah kenyataan bahwa kaum 'karismatik' tak begitu muncul.

7. Pola-pola Gereja pada Surat Petrus.

(a). Gereja: Kelompok orang yg menyambut Tawaran Rahmat.

Menurut Surat Pertama Petrus tersedialah bagi manusia Tawaran Rahmat dalam Peristiwa Yesus Kristus
sehingga bagi manusia terbuka kemungkinan hidup baru.(61)

Injil Yesus Kristus di sini dipandang sebagai pemenuhan Nubuat tentang Rahmat Allah pada para nabi (bdk 1
Ptr 1:11). Akan tetapi, supaya Tawaran Rahmat itu menjadi eksplisit perlulah pengutusan Roh secara baru dari
surga (1 Ptr 1:25). Roh itu pula yang mewarnai hidup dan Sabda serta karya Yesus; malah Dia pula yang
membangkitkanNya untuk dimuliakan (1 Ptr 1:21), agar kini dapat hadir terus di dunia dalam pewartaan InjilNya,
menawarkan Cinta Bapa.

Terhadap tawaran itu manusia memasang telinga dan hati serta mau memberikan imannya. Menyambut
pewartaan iman itu berarti percaya kepada Sabda (bdk 1 Ptr 2:8; 3:1; 4:17). Maka pewartan Injil itu sekaligus
anugerah (bdk 1 Ptr 1:21) dan pengambilan sikap manusia (1 tr 1:7) yang beriman. Iman ini bagi Surat Pertama
Petrus adalah 'menaruhkan segenap harapan keselamatan pada Tuhan' (1 Ptr 1:21).

Konsekuensi sikap iman penuh harapan itu terlaksana dalam babtis, yang hanya sekali disebut eksplisit (1 Ptr
3:21) tetapi jelas melatarbelakangi seluruh pembicaraan, sehingga banyak yang menyebut surat ini sebagai
pengajaran untuk babtis (62).

(b) Gereja sebagai umat Allah.

Dengan tawaran rahmatNya, Allah menciptakan lagi umat Allah dari orang-orang yang dulu kafir dan tak
dirahmati ( 1 Ptr 2:10) sehingga Israel mencapai pemenuhannya. Gerejalah yang sekarang menjadi Umat Pilihan
Allah (1 Ptr 2:9). Tanahair mereka surgawi dan bukan di dunia ini, yang hanya tempat tinggal saja (63). Jadi di

18
dunia ini mereka menjadi orang asing (paroikoi: 1 Ptr 2:11). Umat ini mewarisi pula segala julkan Israel seperti
'raja','iman' dan 'nabi'. Dan sebagai umat Allah mereka ini juga bagian dari kawanan Yahwe (1 Ptr 5:2).

Selama Gembala Agung tak hadir, maka dalam kawanan ini ada gembala manusiawi, yang menggembalakan
kawanan ini sampai ke eschaton (1 Ptr 5:2) seperti Musa dan Yoshua (Bil 27:15 dst) serta Daud (Mzm 78:70 dst)
berfungsi bagai Israel. Dalam 1 Ptr 5:1-4 kita temukan semacam daftar petunjuk tentang penggembalaan bagai
para panatua. (64). Khususnya mereka harus memberi bimbingan, makanan, perlindungan (65). Para gembala ini
dituntut untuk siaga melayani, tak mencari keuntungan sendiri dan giat serta dapat dicontoh hidupnya. Umat Allah
juga disebut Rumah Allah (1 Ptr 4:17) dalam arti: keluarga Allah yang terdiri dari saudara-saudara (1 Ptr 1:3.23)
dan juga Kenisah Allah yang baru (1 Ptr 2:5). Dasar Rumah Allah ini Yesus Kristus sendiri.

(c) Gereja sebagai jemaat di tengah Dunia

Gereja merupakan himpunan umat beriman di tengah dunia yang penuh gejolak. Warga Gereja dinasehati
agar dalam situasi itu tak jatuh dalam godaan menuruti nafsu saja (1 Ptr 1:14).

Gejolak dunia menghimpit warga Gereja juga dari sudut sesama (1 Ptr 2:19 dst; 3:1 dst 7; 4:4). Surat ini
bicara banyak mengenai pengajaran atas jemaat. Mereka diadukan (1 Ptr 4:14 dst; 5:9), difitnah (1 Ptr 2:12),
dicacimaki (1 Ptr 3:9; 4:14 dst).

Dalam situasi itu hendaknya mereka bertahan (1 Ptr 1:7), mempertahankan harapan (1 Ptr 1:13), sabar (1
Ptr 1:6 dst; 2:20 dst; 5:6 dst), rendah hati (1 Ptr 3:8; 5:5), berbuat benar (1 Ptr 2:14.15.20), hidup adil (1 Ptr
2:24), mencinta tanpa syarat (1 Ptr 1:22;2:17; 3:8 dst; 4:8). Untuk itu perlu rahmat yang boleh dimohon.

8. Gambaran Gereja menurut Surat kepada Orang Ibrani.

Surat ini melukiskan Gereja sebagai Umat Allah yang mengembara di dunia (Ibr 3:7 - 4:11). Umat Allah ini
mengambil bagian dalam harta surgawi karena kesatuannya dengan Imam Agung Kristus dan mereka hidup dari
janji akan istirahat pada hari ke tujuh dalam kota yang akan datang (bdk. Ibr 4:1 dst.; 13:14). Karena Yesus
Kristus Umat Allah ini tiba di kota Allah yang hidup yakni Yerusalem surgawi (Ibr 12:22 dst.). Demikian janji dan
pemenuhan saling mencakup dalam umat ini, walaupun mereka masih menderita sama seperti Yesus Kristus
dahulu (Ibr 10:32).

9. R a n g k u m a n.

Dari sekian banyak gambaran tentang Gereja dalam Perjanjian Baru agaknya ada beberapa unsur yang
pantas digarisbawahi.

(a) Bila Perjanjian Baru berbicara tentang Gereja, maka yang dimaksud adalah Gereja konkret (entah
semesta, entah setempat), bukan Gereja ideal dan sebagainya. Namun yang dimaksud bukan sekedar
pengelompokan umat beriman (jadi suatu pengertian teologis). Gereja dilihat sebagai berasal dari Allah, dibentuk
atas dasar Yesus Kristus dan dijiwai oleh Roh Kudus.

(b) Menurut Perjanjian Baru, Gereja adalah Karya Allah yang penuh misteri dalam merencanakan
penyelamatan bagi manusia bukan hasil perkembangan sejarah kemasyarakatan.

(c) Gereja berdasarkan pada penyerahan diri Yesus Kristus, Sang tersalib, yang telah dibangkitkan dari
maut dan menampakkan diri serta dimuliakan. Tubuh Kristus yang tersalib adalah ungkapan puncak dari cinta
Kristus bagi manusia; dan cinta ini merupakan inti diriNya yang tetap memperkuat Gereja pada masa sesudah
Paska.

(d) Gereja yang berpangkal pada Salib dan Kebangkitan Yesus itu ber-prasejarah pada Israel, sebagai
Himpunan Umat Manusia yang beriman kepada Allah dan taat kepada kehendak Yahwe.

(e) Gereja pun berpangkal secara khusus pada Himpunan Murid-Murid Yesus Kristus, yang disaring dari para
pendengar Yesus menjadi persekutuan yang terbuka, teratur dan terstrukturkan sebagaimana Kristus Iman
berprawujud dalam Yesus Sejarah.

(f) Dari Kebangkitan dan Pemulihan Yesus yang tersalib dianugerahkan kepada Gereja Roh Kristus , yang
menjadi Jiwa Gereja. Maka dari itu Jaman Gereja adalah Jaman Roh Kudus. Dialah yang menjadikan Paguyuban
Manusia ini Gereja, yang membuat satuan manusiawi ini ilahi.

(g) Gereja yang apostolik-semesta-satu ini adalah Gereja Allah, Gereja-Nya Yesus Kristus dan Roh Kudus.
Gereja ini sejak awal bertumpu pada pengutusan dunia sebagai kesatuan dalam Tuhan. Gereja Perjanjian Baru
yang berasal dari Allah, yang diben tuk oleh Yesus Kristus dan yang dijiwai oleh Roh Kudus, dibangun atas dasar
para rasul sebagai saksi-saksi dari hidup, wafat dan kebangkitan Yesus yang dibimbing oleh Roh Kudus dalam

19
pelaksanaan tugas memberi bentuk kepada Gereja Kristus.

(h) Gereja yang satu, semesta dan apostolik ini adalah Gereja Sabda dan Gereja Sakramen: Gereja yang
terbit dari pewartan Sabda Tuhan dan terwujud dalam pelbagai perbuatan yang menandakan berdayagunanya
Rahmat.

(i) Gereja yang satu, semesta dan apotolik, yang juga Gereja Sabda serta Gereja Sakramen itu sejak awal
mula sudah merupakan Gereja yang teratur dengan strukturnya dan dilengkapi dengan aneka kharisma khususnya
kharisma kenabian, serta pelbagai Jabatan demi kesatuan jemaat dalam segala seginya. Hakekat teologis Gereja
tidak dapat diperoleh terlepas dari bentuk konkret yang diberikan oleh para rasul kepadanya, maupun terlepas dari
gambaran-gambaran yang diberikan di atas. Namun dari pihak lain bentuk lahir dan gam baran-gambaran itu tidak
identik dengan hakekat Gereja tersebut.

(j) Warga Gereja terangkum ke dalam Gereja berkat pertobatan yang menuju iman dan berlambangkan
babtis. Dalam hal itu iman digambarkan dengan tekanan beraneka. Iman dewasa tampil dalam harapan yang
kokoh pada Tuhan dan cinta yang tuls pada sesama.

(k) Gereja ini ada dalam Dunia, di tengah umat manusia yang dalam otonominya terjerat dalam akibat
dosa, padahal bukan dari dunia sehingga Gereja selalu menderita walaupun toh tetap percaya akan pendampingan
Sang Penebus.

(l) Gereja yang di dunia ini bersifat eschatologis; sebagai tanda sudah hadirnya Kedaulatan Allah
menjelang Jaman Akhir, waktu segalanya disatukan dengan Allah.

III. GAMBARAN GEREJA PADA MASA PASCA PERJANJIAN BARU

Kita tidak bermaksud menelusuri data-data rinci sejarah gereja. Di lain pihak kita juga tidak mau mencari
jalan pintas sehingga hanya mengikuti dokumen-dokumen dogmatis untuk melihat Gereja dari abad ke abad.
Secara ringkas saja kita akan melihat beberapa pola yang nyata tampil dalam Sejarah Gereja. Juga di sini kita
tidak bermaksud mengumpulkan saja fakta yang terjadi dalam sejarah, melainkan mencoba melihat, gambaran
Gereja macam apa yang tersimpan dalam kurun waktu sesudah Perjanjian Baru. Sejarah Gereja sesudah
masa Perjanjian Baru akan dibagi menjadi beberapa tahap dan dalam masing-masing tahap akan dicoba
ditemukan beberapa penekanan sifat Gereja. Hal itu diharapkan memperlihatkan berbagai pola penekanan yang
lebih menonjol untuk aneka tahap. Akan tetapi tidak perlulah lukisan itu berarti, seakan-akan dalam tahap itu tidak
ada segi lain yang terlaksana dalam Gereja atau seakan-akan pola yang satu sama sekali hilang dalam tahap
berikut yang disebut mempunyai pola lain. Untuk menilai penekanan gambaran Gereja, perlulah diperhitungkan
rumusan syahadat, ibadat, spiritualitas, teologi, seni dst.

3.1. Gambaran Gereja pada masa Pasca-Rasuli (Zaman Patristik)

Yang di sini dimaksudkan dengan masa Pasca Rasuli adalah 3 abad pertama. Khususnya kita akan
mempelajari tulisan para Bapa Gereja. Pandangan ini meliputi masa Bapa-bapa Gereja, seperti Clemens dari
Roma, Ignasius, Hermas, Polykarpus, Papias dan masa para Apoleget, seperti misal Aristides, Yustinus Martir,
Tatianus, Minucius Felix.

Hidup Konkret Gereja pada masa itu

Waktu itu Gereja berada dalam situasi penganiayaan yang panjang. Sesudah masa para rasul, anggota
Gereja berkembang dalam jumlah dan jemaat mengembangkan sayapnya ke kota-kota besar kekaisaran romawi.
Pada waktu masih merupakan kelompok kecil, Gereja tumbuh secara antropologis sebagai bagian komunitas
yahudi. Namun lama kelamaan jemaat memisahkan diri dari kalangan yahudi dan menjadi komunitas keagamaan
tersendiri. Dari kalangan yahudi maupun romawi lambat laun muncul sikap tidak bersahabat. Bahkan dalam dua
abad pertama masehi Gereja di daerah kekuasaan romawi pada umumnya mengalami banyak pengejaran.
Akibatnya, seperti dikatakan oleh Hubert Jedin:

"Hidup Kristiani dalam kadar tertentu menarik perhatian lingkungan kafir di sekitarnya: biasanya disebabkan
oleh antipati rakyat setempat; sedangkan negara kafir belum mempunyai kebijakan pasti mengenai hubungannya
dengan agama baru itu" (Hubert Jedin, History of the Church, Vol I, London, 1980, p. 124).

Sebagai kawanan kecil mereka kerap diancam oleh masyarakat sekitar. Dengan pengalaman dikejar-kejar itu
jemaat merasa diri berbeda dari warga masyarakat lain. Di tengah dunia yang menurut kategori Kristiani waktu itu
penuh dengan dosa, kekudusan diberi perhatian oleh mereka. Sejenis idealisme tertentu meliputi mereka yang
menjadi anggota Gereja: "Memang keanggotaan Gereja tidak membawa untung, melainkan pembuangan dan
penderitaan. Walaupun demikian pahala mulia disediakan". Penganiayaan dan penderitaan dipandang oleh umat
bukan sebagai bukti kemerosotan iman mereka, bukan sebagai bukti bahwa mereka melawan iman kepercayaan

20
Kristiani, melainkan sebagai tanda bukti bahwa mereka dipilih oleh Allah yang Mahakudus. Semakin berat penga -
niayaan mereka alami, semakin kuat mereka menaruh dan memberi tekanan atas pengharapan akan pemenuhan
janji-janji Yesus Kristus, untuk dipersatukan dengan Yang Terkudus (Hal ini sebenarnya sudah nampak dalam
Surat Ibrani dan I Pt). Pandangan serupa itu bergema dalam ungkapan kaum Apologet: "Iman berjumpa dengan
permusuhan yang semakin lama semakin kuat dalam setiap bagian hidup publik" (Ibid., p. 171).

Gereja tidak dilihat oleh mereka sebagai suatu lembaga yang berdiri di luar diri mereka, melainkan sebagai
suatu dimensi hidup mereka sendiri dalam kaitan dengan Yang Mahakudus. Sabda dan Sakramen, khususnya
Ekaristi, tidak dialami sebagai sesuatu yang diterimakan kepada mereka, melainkan sebagai ungkapan dan wujud
iman, cinta dan pengharapan mereka sendiri: tanda bahwa Roh Kudus menaungi mereka.

Penganiayaan atas mereka justru menyebabkan terciptanya kesatuan erat antar mereka. Oleh sebab itu
beberapa ungkapan menyatakan jemaat sebagai "orang-orang kudus". Kata itu tidak difahami secara moral
melainkan secara teologis: yaitu disatukan dengan Yang Kudus melalui Sakramen-sakramen. Segala perbedaan
antar umat, yang bersifat politis, kultural, struktural dan segala perbedaan asal dan keluas diatasi. Dikatakan oleh
Jedin: "Seluruh persekutuan membentuk suatu umat baru, Gereja Semesta, yang menjadi nyata dalam setiap
jemaat.Semua bangsa diharap mengenali, bahwa umat Kristiani adalah umat Allah dan domba-domba di padang
rumputNya. Di bawah panji Kristus, umat beriman, baik yang berasal dari bangsa Yahudi maupun dari bangsa lain,
dipersatukan dalam satu tubuh, yalah Gereja Kristus. Semua yang telah menerima meterai adalah satu dalam
iman yang sama, dalam satu kasih. Kristus telah memberikan tubuhnya untuk umatnya yang baru." (Ibid., p.
150). Tetapi kesatuan itu bukanlah terwujud dalam suatu keseragaman yang mati, melainkan dalam
suatu kemajemukan yang hidup dan dinamis. Lagi pula hal itu tidak berarti, seakan-akan segala kesesatan
dibiarkan dan penyelewengan dianggap tidak ada. Di mana azas-azas iman akan Yesus Kristus digoncangkan,
umat mengadakan reaksi.

Secara keseluruhan, pada 3 abad Pertama itu Gereja sedang mencari-cari bentuk publiknya. Setiap Gereja
Setempat berusaha mewujudkan kesaksian Kristiani dalam konteks mereka yang berlain-lainan. Oleh sebab itu
tidak mudah menemukan keserupaan dalam menggambarkan Gereja. Apalagi harus diingat pula bahwa iman
Kristiani pada waktu itu belum jelas isi dan pewujudannya pula. Orang masih terutama menggumuli pesona
besarnya Misteri Penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus, sehingga pada masa tersebut Gereja terutama
tergambar sebagai Misteri. Akan tetapi misteri yang besar itu masih dirincikan secara berbeda-beda selaras dengan
penekanan masing-masing kurun waktu.

(a) Gereja sebagai jemaat seputar Misteri Allah

Gambar ini berkisar pada rahasia iman yang mempesonakan umat dalam ibadat maupun dalam penyatuan
Gereja 66). Di latar belakang tersirat kenangan akan Yahweh yang secara misteri menaungi umat Israel selama 40
tahun mengembara maupun tantangan agama misteri yang merebak dalam masyarakat Yunani dan Romawi waktu
itu.

Jaman para Bapa-Bapa Apostolik ini melanjutkan jaman Gereja Perdana, dengan tulisan para Apologet dan
diteruskan oleh para Bapa Gereja 67). Gereja memandang diri sebagai paguyuban, yang dipanggil seturut Rencana
Allah penuh misteri, yang terpenuhi dalam Yesus Kristus; jadi diundang oleh cintakasih Tuhan yang tertuang dalam
pengampunan dosa, ekaristi dan baptis serta disucikan dalam pengudusan Roh dan dipadukan dalam koinonia.
Tidak sembarang orang terpanggil untuk bergabung. Hanya orang terpilih saja mendapat kesempatan untuk masuk
dalam misteri ilahi yang dimungkinkan oleh Roh Kudus.

Penggambaran Alkitab tentang Paguyuban Umat yang Beriman pada Rencana Penyelamatan Allah yang penuh
misteri menantang mereka untuk diuraikan dan dilaksanakan sepantasnya. Bahwa Gereja dipandang sebagai
Misteri Iman adalah dalam arti bahwa Gereja adalah Communio atau Koinonia atau Persatuan di sekitar Misteri
Rencana Penebusan Allah. Sekaligus jemaat Kristiani mempunyai pola bergabung yang 'jalan, walau tidak sama
dengan model misteri Yunani atau Romawi'.

-- Persatuan ini tidak terjadi karena alasan-alasan sosiologis atau politik, melainkan karena alasan-alasan
iman.

-- Persatuan ini merupakan pernyataan (tanda) dan pelaksanaan (realisasi) persatuan Allah Bapa dengan
bangsa manusia melalui Yesus Kristus dan Roh Kudus.

-- Karenanya persatuan ini hidup karena panggilan Allah, karena anugerah-anugerah Yesus Kristus yakni
Sabda dan Sakramen-sakramen-Nya dan karena karunia-karunia Roh Kudus (kharismata).

Dengan gambaran itu, Gereja memang tampak dalam pelbagai ritus dan pelayanan antar jemaat. Namun
keseluruhan Gereja menjangkau melampaui praktek jemaat yang terbatas menurut lingkungan budaya mereka.

(b) Gereja sebagai Umat Baru

Umat ini Baru dalam hubungan dengan Perjanjian Lama, sebab Yesus Kristus memang membawa pembaruan,

21
bahkan penyempurnaan bagi Umat Allah dalam Israel Lama. Sebagai Umat Allah mereka ini tidak lagi
mendasarkan diri pada keturunan biologis dan kultural dari Abraham melainkan pada iman pada Yesus Kristus.
Mereka tidak bersikap eksklusif seperti umat yudaistis, melainkan terbuka bagi siapa saja yang mau menyambut
datangnya Kerajaan Allah 68).

Dalam gambaran ini terkandung dua pola menggereja yakni:


-- bahwa mereka memiliki hubungan dengan Israel, Umat Allah lama. Gereja adalah ahli waris janji-janji
yang diberikan kepada Israel.

-- Sementara itu Gereja sedang mengembara atau sedang berjalan ke arah Kerajaan Allah yang akan
datang. Pengembaraan atau jiarah itu menyongsong kedatangan Kristus yang kedua pada akhir jaman. Dalam
lukisan itu termaktub realisme maupun sifat eschatologis Gereja. Dengan begitu Gereja melihat diri sebagai
pemenuhan janji-janji Allah kepada Umat Perjanjian Lama dan sebaliknya memandang masa Israel sebagai masa
'preeksistensi' Gereja 69).

Gagasan tentang pra-eksistensi Gereja ini menunjuk pada kesemestaan Gereja dari sudut waktu maupun dari
sudut tempat. Artinya, Gereja tidak mengidentikkan diri dengan perwujudan sewaktu dan setempat. Gereja
mempunyai warna universal. Mereka juga melihat Gereja sebagai sudah terencanakan semenjak penciptaan dunia.
Mengikuti Ef 1:10 orang merasa diajak untuk menggambarkan kehadiran Gereja semenjak dunia direncanakan
atau semenjak 'awal mula' atau 'sedari Adam' atau 'sedari Abel' seperti dikatakan Agustinus 70).

(c) Gereja sebagai Tubuh

Gambaran ini memperkembangkan secara lebih intensif lagi apa yang sudah kita lihat: bahwa Paulus
melukiskan Gereja sebagai Tubuh Kristus 71). Kita ingat bahwa lukisan itu menggambarkan Gereja Partikular (Rom
dan 1 Kor) dan Gereja seluruhnya (Ef dan Kol). Kristus dilihat sebagai hadir dalam Gereja dan Gereja menghayati
Kristus melalui Sabda, Sakramen dan Kurnia-Kurnia Roh lainnya. Khususnya Agape,- melalui Eucharistia- adalah
tanda dan sarana bahwa Kristus hadir dalam Gereja 72). Dari sudut lain terperilah Gereja sebagai suatu kesatuan
banyak anggota dengan aneka pelayanan dan pelbagai fungsi. Ignatius dari Antiochia menyebutkan bahwa struktur
dalam Tubuh Gereja semacam itu, khususnya di bidang ibadat, merupakan gambaran tata susunan hidup surgawi.
Sedangkan di bidang hidup publik tercatat bahwa Uskup, menurut Ignatius Antiochia, adalah pusat Gereja yang
menentukan, sebagai ungkapan cinta dan persatuan dalam jemaat. Gambaran ini diterapkan baik kepada Umat
setempat (bdk. Rom dan 1 Kor), maupun kepada Gereja Universal. Terkandung dalam gambaran ini tiga pola ini:
-- bahwa anggota jemaat terjalin melalui fungsi-fungsi dalam Gereja demi pembangunan umat;

-- bahwa jemaat dipadukan melalui Sabda, Sakramen, cinta persaudaraan serta kharisma-kharisma
lainnya antara Gereja dan Kristus dan antara Kristus dan Gereja;

-- bahwa ada hubungan hakiki antara Ekaristi (Tubuh Kristus) dan Gereja (Tubuh Kristus).

Kelak abad 20 akan meneruskan lagi pemahaman ini dan menjadikannya salah satu paham utama dalam
eklesiologi modern.

(d) Gereja sebagai Kenisah atau Rumah Allah

Dengan gambaran ini tidaklah dimaksudkan bahwa Gereja adalah gedung-kultus, melainkan yang
dimaksudkan ialah bahwa Gereja adalah Umat beriman sebagaimana terlihat dalam pertemuan-pertemuan
peribadatan. Sebagaimana dalam Perjanjian Lama Rumah atau Bait Allah merupakan tempat Hadirat Allah dan
tempat pertemuan dengan Allah, demikian dalam Perjanjian Baru Umat beriman adalah tempat hadirat Allah dalam
Yesus Kristus dan tempat pertemuan dengan Allah melalui Yesus Kristus.

Gambar ini pun merupakan pengembangan gambaran dalam Perjanjian Baru 73). Yang ditekankan di sini
adalah bahwa jemaat itu himpunan orang yang mengarahkan perhatian secara istimewa kepada Allah. Gereja
sebagai Paguyuban Umat Beriman adalah tempat Allah secara istimewa mendekati manusia dan manusia
memperoleh kesempatan maju ke arah Allah.

Hal itu hanya mungkin dan menjadi kenyataan, karena pusat Gereja yakni Yesus Kristus yang tersalib dan
dibangkitkan itu adalah Pribadi ilahi-manusiawi, tempat Allah dapat didekati manusia dan tempat manusia boleh
menemui Allah. Maka setiap kali orang berkumpul atas nama Kristus, di situlah ada Kenisah atau Rumah Allah.
Oleh sebab itu, 'tempat' orang Kristiani berkumpul untuk beribadat itu sampai sekitar abad V tidak disebut 'gereja'.
Dan di lingkungan Kristiani, gedung Gereja tidak dinilai 'seangker' seperti Kenisah Perjanjian Lama atau
tempat-tempat ibadat agama lain. Gedung gereja hanyalah mempunyai fungsi sebagai tempat agar 'Rumah Allah'
yang sebenarnya (Jemaat) dapat bertemu dan diejawantahkan.

(e) Gereja sebagai Persekutuan Orang Kudus

22
Gambaran ini merupakan konsekuensi pandangan bahwa Gereja adalah rumah Allah (= Yang Kudus) atau
Kenisah 74). Dalam gambaran ini Gereja dipandang sebagai lingkungan tempat orang berjumpa dalam rangka
hubungan mereka dengan Yang Kudus. Ada dua hal yang perlu dijelaskan dalam rumusan tersebut. Di satu pihak
jemaat itu merupakan paguyuban orang beriman berkat ikut serta mereka dalam Sabda Suci dan Tanda-Tanda
Kudus (Sakramen) yang merupakan ungkapan cintakasih Allah yang hadir di situ; di lain pihak jemaat itu
merupakan kumpulan orang yang dikuduskan oleh hadirnya Yang Kudus dalam Sabda dan Tanda -Tanda itu. Itulah
yang kemudian masuk dalam rumusan Syahadat Kristiani bahwa Gereja kita adalah Gereja yang kudus.

Dengan gambaran ini dinyatakan bahwa Gereja adalah persekutuan manusia yang dikuduskan oleh
anugerah-anugerah atau karunia-karunia Kristus dan Roh Kudus: Sabda, Sakramen dan cinta-kasih. Anugerah
terakhir ini menjadi ciri-khas persekutuan ini.

(f) Gereja sebagai Pengantin Kristus

Gambaran ini pun merupakan perkembangan atas gagasan yang sama dalam Alkitab 75). Dasarnya:
kesadaran tentang betapa besar dan mesranya cintakasih Allah kepada umatNya yang ditampilkan secara
memuncak dalam Yesus Kristus, dipersatukan sempurna antara Allah dan manusia (bdk Ef 5). Kristus dan Gereja
bersatu secara sempurna, walau terasa justru juga berbeda. Jelas juga bahwa Kristuslah yang menjadi Pemuka
cinta.

Gambaran ini sekaligus dipergunakan sebagai pemberian nasehat, agar Gereja hidup sepantasnya sebagai
Pengantin Kristus: penuh kasih, iman dan harapan, bersedia untuk taat dan melayani. Sekaligus gambar itu
menuntut agar Gereja siap menantikan kedatangan Sang Mempelai: suatu sikap eschatologis (Why 22:17). Dari
lain pihak Surat Klemens (12:1), Yustinus (Dialog 111:4), Ireneus (Adversus Haereses IV:20) dan Origenes (in Jos
Hom 3:4) memperlihatkan kesadaran, betapa sering Gereja tidak memperlihatkan cinta kepada Tuhan, betapa
sering Gereja tidak setia pada Kristus, dan menjadi pendosa 76).Itulah sebabnya men gapa kedosaan dipandang
sebagai salah satu sifat jemaat dari abad ke abad.

Terkandung dalam gambaran ini tiga pola menggereja:


-- Kesatuan Gereja dengan Kristus. Kesatuan ini mengkonkretkan kesatuan mesra antara Allah dan bangsa
manusia. Segi ini terungkap juga dalam gambaran Tubuh Kristus (bdk. Ef 5).

-- tidak-identiknya Kristus dan Gereja. Gereja menghadap Kristus sebagai Pengantin Wanita menghadap
Pengantin Laki-laki yakni Kristus, Tuhan. Dalam arti ini Gereja mengharapkan semuanya dari Kristus.

-- peringatan akan ucapan pengantin wanita dalam Kitab Wahyu: "Marilah". Ucapan ini merupakan
perharapan atas kedatangan Tuhan Yesus (Maranatha).

(g) Gereja sebagai Ibu

Gambaran ini tidak sulit tercapai setelah gambaran tentang Gereja sebagai Pengantin. Yang dituju oleh
gambaran ini adalah arti, fungsi dan karya Gereja. Khususnya berlatar-belakang-kan Eva dan Maria ditonjolkanlah
peranan Gereja sebagai 'pemberi hidup' 77). Lewat Gerejalah manusia menemukan hidup baru dalam Kristus.

Lewat pembandingan Gereja dan Eva (yang diciptakan 'dari tulang rusuk' Adam) sampailah pula para Bapa
Gereja pada gagasan tentang Gereja sebagai 'pribadi baru' yang terbit dari Kristus di salib dengan mengaitkannya
pada darah dan air yang tercurah dari lambung Yesus (Yoh 19:34). Sebab Kristus dilihat sebgai Adam yang kedua.
Selanjutnya, 'darah dan air' yang mengalir dari Yesus Tersalib itu diterima sebagai pralambang bagi Sakramen
Baptis dan Ekaristi 78).

Terkandung dalam gambaran ini bahwa Gereja adalah pengantara hidup dalam kebenaran dan keselamatan
melalui Sabda, Sakramen, khususnya Permandian, Ekaristi dan Tobat, tetapi juga melalui pembinaan misteri iman
(mistagogi) dan pastoralnya.

Gambaran ini dikenakan pada Gereja keseluruhannya, mencakup segala fungsi dan jabatan dalam Gereja
yang masing-masing sebagai bunda memelihara Gereja.

(h) Gereja sebagai Tiang Utama dan Pondamen Kebenaran

Gambar ini diambil dari 1 Tim 3:15 dan dipakai khususnya oleh Ireneus, yang paling banyak menyebut dan
mengolah gambaran-gambaran Gereja seperrti telah kita lihat. Khususnya pada kurun waktu dia banyak melawan
aliran gnostik, Ireneus memandang Gereja sebgai penampung kebenaran dan penyambut Roh, Sang Sumber
Kebenaran. Gereja disebutnya Ibu karena Gereja memberikan kebenaran dalam bentuk hidup dan menyampaikan
hidup dalam kebenaran (lih. Adv. Haer III, 38,1).

(i) Gereja sebagai Bahtera

23
Di sini Gereja dilukiskan sebagai bahtera yang berlayar di tengah samudra dunia ini. Kristuslah
pengemudinya. Gereja percaya bahwa tak akan tenggelam atau kandas dan pasti akan sampi ke tujuan. Gambaran
ini berkaitan pula dengan pelukisan Gereja sebagai Bahtera Nuh (bdk 1 Ptr 3:20). maksudnya untuk
memperlihatkan bahwa di tengah taufan di dunia, Gereja memberi ketenangan, penyelamatan dan keamanan,
bahwa Gereja adalah Bahtera Keselamatan, bahwa tanpa Gereja tak ada keselamatan (Cyprianus dari Carthago,
Epistola 73,21; 55,24), bahwa Gereja diperlukan manusia untuk selamat, bahwa Kristus (seperti Nuh) ada dalam
bahtera dari angkatan baru manusia. Khususnya Gereja diterakan sebagai Perahu Petrus. Perahu ini diakui pula
sebagai Perahu Petrus, yang berdosa (Hk 5:3). Bahtera Petrus ini dikemudikan oleh Yesus Kristus. Di situ Petrus,-
dan kemudian juga para Penggantinya (di Roma)-, mempunyai kedudukan khusus 79).

Bahtera Gereja berlayar di atas lautan dunia. Bahtera atau kapal itu terbuat dari kayu dengan tiang salib.
Jurumudinya adalah Yesus Kristus. Bahtera atau kapal itu 'fluctuat, non mergitur' diombang-ambingkan oleh,
mengalun karena ombak lautan, namun tidak tenggelam. Simbolik pelayaran ini melukiskan organisasi, struktur
dan jabatan-jabatan Gereja.

Bahtera Nuh

Di tengah-tengah air bah zaman dan dunia ini Gereja memberikan perlindungan dan keselamatan. Di luar
bahtera itu tiada keselamatan: "extra εκκλήσίά, nulla salus". Sama seperti Nuh, Yesus Kristus merupakan bapak
bangsa yang baru. Angkatan manusia baru dilahirkan oleh-Nya. Seperti dalam bahtera Nuh ter-kumpul juga
binatang-binatang najis, demikian juga Gereja mengandung orang-orang berdosa yang toh juga sekaligus
diselamatkan.

Perahu Petrus

Gereja adalah Perahu Petrus yang dikemudikan oleh Yesus Kristus dan terdiri dari orang-orang berdosa (Lk
5:3). Perahu itu berlayar di atas tasik dunia, di mana 'mengamuklah taufan yang dahsyat dan ombak menyembur
masuk ke dalam perahu" (Mrk 4:37). Tetapi perahu itu membawa Yesus, sehingga tidak bisa dibinasakan.

Yesus mempergunakan perahu Petrus untuk memberi pengajaran kepada orang banyak. Hal ini menunjuk
juga kepada kedudukan khusus dari Petrus dan pengganti-penggantinya yakni para Paus dalam Gereja (Lk 5:3).

j. Yang sulung di antara segala makhluk

Gereja digambarkan sebagai Yang sulung di antara segala makhluk. Demikian demi dunia diciptakan. Latar
belakang dari gambaran ini ialah hubungan erat mesra antara Gereja dan Kristus. Gereja ambil bahagian dalam
universalitas peranan Yesus Kristus. Hal selaras dengan pandangan Augustinus: "Εκκλήσίά ab Adam", "Εκκλήσίά ab
Abel".

k. Eva

Gambaran ini melukiskan Gereja sebagai Pemberi Hidup. Sebagaimana Eva lahir dari lambung Adam dan
memberi hidup, demikian Gereja lahir dari lambung Kristus yang ditikam di atas kayu salib, mengelarkan air dan
darah. Air dan darah merupakan simbol kedua sakramen dasar Gereja yang menganugerahkan kehidupan, yakni
Permandian dan Ekaristi.

l. Mysterium Lunae (= Misteri Bulan)

Gambaran ini melukiskan Gereja sebagai sumber cahaya. Tetapi sebagaimana bulan tidak bersinar karena
sumber cahaya sendiri, melainkan karena cahaya matahari, demikian Gereja tidak bersinar karena sumber cahaya
sendiri, melainkan karena sumber cahaya Kristus. Gereja adalah terang dari Terang Kristus. Seperti bulan dalam
kegelapan malam senantiasa bersinar, demikian pun Gereja dalam kegelapan dunia ini senantiasa bercahaya.
Sebagaimana bulan hanya meneruskan sinar matahari secara terputus-putus dan tidak murni, demiikian pun
Gereja meneruskan cahaya Kristus. Gambaran ini menunjukkan kerapuhan dan ketidak-tetapan Gereja dalam
sejarah manusia baik secara batin, maupun secara lahiriah.

Kesimpulan
(a) "Berilah dirimu diselamatkan dari angkatan yang jahat ini" (Kis 2:40). Perkataan Petrus ini menyimpulkan
seluruh sikap umat Kristiani dua abad pertama. Mereka menghadap dunia (=kosmos), bahkan bertentangan
dengan dunia. Yang secara khusus ditegaskan ialah kedosaan dan kejahatan dunia: kebengisan, immoralitas (bdk.
Rom 1:24-32) dan khususnya lagi pemujaan berhala.

(b) Menghadap dunia yang jahat itu, Gereja memandang diri sebagai umat Allah yang benar, persekutuan
orang-orang kudus, "yang telah dilepaskan dari kuasa kegelapan" (Kol 1:13). Melihat bahwa yang bertobat

24
hanyalah sejumlah kecil orang saja, maka tidaklah mengherankan bahwa Umat Kristiani itu melihat diri seba gai
'sisa suci' yang selaras dengan nubuat para nabi.

(c) Struktur politik, ekonomis dan sosial Kerajaan Romawi tidak dipersoalkan kaum Kristiani. Mereka tidak
bersemangat pemberontak, tidak berkehendak untuk campur tangan dalam soal-soal itu. Pemerintah duniawi
ditaati, sejauh peraturan-peraturan mereka tak bertentangan dengan kehendak Allah (bdk. Kis 4:19 dan Rom
13:1-4, lagi lukisan-lukisan Kitab Wahyu mengenai Negara sebagai Binatang dan Babel). Selain itu, mereka
berpegang pada Sabda Yesus: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada
Allah apa yang wajib kamu beri kan kepada Allah" (Mat 22:21). Bukanlah maksud sabda ini untuk mengadakan
pembagian antara wilayah negara dan wilayah Allah. Yesus menganjurkan supaya semua nilai duniawi yang adalah
nilai tak sejati, diserahkan kepada orang-orang dunia saja. Kaum Kristiani harus melepaskan diri dari segala nilai
itu dan hanya memelk nilai-nilai rohani yakni iman, cinta dan pengharapan.

(d) Ada satu bidang tertentu yang toh sungguh dihargai oleh umat Kristiani itu yakni kebudayaan intelektual
kaum romawi dan kaum Yunani. Dan penghargaan itu cukup cepat berkembang. Paulus sendiri yang menulis:
"Hati-hatilah supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran
turun-temurun dan roh-roh dunia" (Kol 2:8) ternyata dalam surat-suratnya memakai gaya sastera Yunani. Masih
pada permulaan abad ke 3 para guru yang diwajibkan membaca buku-buku karangan pengarang-pengarang kafir
tidak diterima sebagai ketekumin. Tetapi para pengarang gerejawi sendiri mempergunakan metode-metode dan
istilah-istilah dari pengarang-pengarang kafir yang sama itu. Khususnya Yustinus dan Clemens dari Alexandria
tidak hanya memakai serta mengemukakan gagasan-gagasan atau pikiran-pikiran filsuf-filsuf Yunani dan Romawi,
melainkan juga mengakui bahwa di antara kaum kafir terdapat orang-orang yang sungguh baik yang menyediakan
jalan ke arah Kristus dan sudah merefleksikan kebenaran-kebenaran yang dibawa oleh Kristus (khususnya
penghargaan diberikan kepada Plato, Plotinus dan aliran Stoa).

Pada abad ke 3 Gereja mengalami perubahan-perubahan fundamental. Segala lapisan sosial telah
ditembus oleh Gereja. Kaum Kristiani tidak hanya berasal dari lapisan sosial tertentu. Penyebaran gereja itu
disebabkan oleh jangka waktu aman dan tenang yang agak lama. Terjadilah suatu peralihan dari Gereja kawanan
kecil menjadi Gereja orang banyak. Meskipun syarat-syarat untuk menjadi katekumin berat, toh mutu umat
merosot atau menurun. Pada waktu itu terjadi juga penganiayaan-penganiayaan yang meskipun tidak lama,
namun hebat: penganiayaan oleh Decius (250/252), dan penganiayaan Valerianus (257/258). Akibat
penganiayaan-penganiayaan itu banyak orang Kristiani yang berkecil hati, kemudian murtad. Sesudah masa
penganiayaan itu lewat, mereka mengajukan permohonan diangkat kembali ke dalam kalangan Gereja lagi.

(e). Gereja dipandang sebagai Umat Berdosa

Hidup konkret Gereja seperti dilukiskan di atas menyebabkan lahirnya gambaran baru mengenai Gereja.
Gereja dipandang sebagai Umat Berdosa. Demikian Gereja disebut: -- Pelacur suci murni (Casta meretrix)

Sering Gereja diumpamakan dengan Pelacur Rahab, Tamar dan Magdalena.

-- Ladang dengan lalang dan gandum (bdk. Mat 13:30).

-- Pukat dengan ikan yang baik dan tidak baik (bdk. Mat 13:47-52)

-- Bahtera Nuh

Gambaran ini mengoreksi secara tegas tekanan yang berlebihan atau berat sebelah atas gambaran Gereja
sebagai persekutuan para kudus. Hal ini merupakan suatu langkah penting dalam perkembangan pengertian diri
Gereja yang lebih seimbang.

Tidak bisa dipisahkan dari gambaran ini perluasan praktek pengampunan pada masa itu. Sebelumnya
ditegaskan, tiga dosa besar yang dibuat sesudah pembaptisan: Zinah (adulterium), membunuh, dan memuja
berhala (= murtad) tidak dapat diampuni. Tetapi, Paus Callistus (217-222) melembutkan persyaratan
pengampunan atas perzinaan. Dan sejak saat itu Gereja bersikap semakin rahim terhadap kelemahan dan
kedosaan manusia. Perubahan Paus itu menimbulkan suatu skisma: Hippolitus dan Tertulianus dari satu pihak dan
kaum montanis yang sebagai orang-orang rigoristis tak dapat menerima praktek kelembutan hati Gereja itu di
pihak lain.

Singkatnya: dalam jaman Bapa Gereja ini ada banyak gambaran tentang Gereja, yang sampai kinipun masih
sering dipergunakan. Bahkan peranan Petrus serta Uskup dalam kepemimpinan Gereja seperti sekarang sudah
tamppak 80). Juga sudah kelihatan sejak jaman ini beberapa gagasan yang menunjuk pada 'notae' Gereja,
satu-kudus-katolik-apostolik 81).

25
Salah satu hal penting di jaman Patristik yang pantas diingat adalah, bahwa mereka tidak membuat
bangunan Gereja secara khusu (sebagai 'tempat suci'). Jemaat bertemu di rumah-rumah para warga. Sebab
menurut keyakinan mereka, Kenisah Sejati bagi Tuhan bukanlah tumpukan batu, melainkan paguyuban umat
Tuhan yang berhimpun.

3. 2. Gambaran Gereja pada masa "Imperium Romanum" dan Abad Pertengahan

Tidak mudah menunjukkan batas waktu masa ini. Akan tetapi secara kasar dapat dikatakan bahwa masa ini
mulai dengan pertobatan Konstantin dan Keputusan Milan (313) serta berakhir menjelang Reformasi.

Hidup Konkret Gereja pada masa itu: Kerajaan Romawi menjadi Kerajaan Kristiani

Dapatlah disebut beberapa fakta historis:


-- Gereja terlepas dari situasi terbelenggu: penganiayaan, ketakutan dan penghinaan, menjadi religio
licita: Gereja merdeka.

-- Lama-kelamaan agama-agama lain dirampasi hak-hak mereka, kemudian pada akhirnya dilarang.

-- Dari kawanan kecil Gereja berkembang menjadi Gereja Besar, malah Kerajaan Kristiani.

-- Luasnya Gereja lama-kelamaan sama dengan Kekaisaran Romawi.

-- Dalam mengorganisir, Gereja mengambil-alih pembagian organisatoris dan struktur-struktur Kekaisaran


Romawi.

-- Uskup-uskup memperoleh pangkat tinggi dalam kalangan pegawai-pegawai negara atau kekaisaran
dengan hak-hak dan privilese-privilese yang istimewa.

-- Kenisah-kenisah dan gedung-gedung lain diambil-alih dan dikhususkan sebagai tempat ibadat kaum
Kristiani.

-- Uskup Roma memperoleh martabat kekaisaran, sedangkan Kaisar mendapat martabat gerejawi yang
tertinggi dalam kalangan gereja.

Akibat-akibatnya bagi kedudukan Gereja


-- Jarak antara Gereja dan dunia dihapuskan, sebab lama-kelamaan batas Gereja dan batas kerajaan
duniawi menjadi identik.

-- Keanggotaan Gereja tidak lagi berdasarkan pemilihan iman, katekumenat dan Permandian, melainkan
berdasarkan kelahiran dalam umat Kristiani, yang disahkan oleh Permandian, dan dikembangkan oleh pendidikan
biasa. -- Musuh-musuh Gereja menjadi identik dengan musuh-musuh kekaisaran romawi. Musuh-musuh itu adalah
mereka yang tidak Kristiani, yang berada di luar batas kekaisaran Romawi. Mereka menjadi musuh Gereja dan
musuh politik. Salib merupakan lambang kemenangan atas baik musuh Gereja, maupun musuh politik.

-- Uskup-uskup dan Paus mendapat kuasa politik, sehingga Gereja dipandang sebagai suatu institut yang
berkuasa di dunia ini.

Akibat-akibatnya bagi kedudukan Kaisar


-- Sang Kaisar adalah ahli-waris Kekaisaran Romawi. Dialah monarki absolut yang berkuasa atas segala
lapisan hidup masyarakat menurut segala aspeknya, melalui badan-badan pemerintahan yang tersusun secara
hirarkis.

-- Pada waktu sang Kaisar, pucuk pimpinan badan pemerintahan itu, menjadi Kristiani, dengan sendirinya
beliau menganggap sebagai kewajibannya mengurus dan memajukan hidup Kristiani. Segala penduduk
kerajaannya harus dikristianisasikan. Azas-azas kristiani mengilhami hukum-hukum dan para pemimpin Gereja
menerima privilese-privilese dan kuasa khusus.

-- Sebagai yang ideal yang dilihat oleh Gereja, ialah satu Allah, satu Tuhan, satu Kaisar dan satu Gereja
dalam satu sifat Kristiani. Dan kaisar melihat diri sebagai utusan Allah yang diberi kuasa langsung oleh Allah.

-- Kaisar diberi gelar 'episkopos tou ektos": Uskup dari orang-orang luaran, yakni penduduk-penduduk
kerajaan yang belum diKristianikan. Kaisar merasa bertanggungjawab supaya mereka semua diseranikan.

26
-- Kaisar mengumpulkan uskup-uskup dalam konsili, menjaga pelaksanaan keputusan-keputusan,
mengusir orang-orang yang membahayakan kesatuan ke dalam pembuangan dan memajukan kesatuan religius
dengan sarana politik.

Gambaran-gambaran Gereja yang menonjol pada masa itu:

(a). Gereja sebagai Imperium

Dengan keputusan Milan (313) Gereja Kristiani yang semula tersebar-sebar secara tak sah dalam masyarakat
Romawi, lalu diakui hak hidupnya secara resmi. Jumlah warganya berkembang peat. Kawanan kecil menjadi
perkumpulan raksasa, yang mengambil alih isttilah-istilah dan cara-cara bergaual serta mengatur diri, yang
dipergunakan oleh negara. Mereka semakin mengorganisasikan diri sejak dari perkara-perkara pemerintahan dan
moral sampai ke soal ibadat dan doa. Pemimpin Gereja mendapat penghormatan dan kedudukan sepperti
pemimpin-pemimpin negara. Dunia masuk Gereja dan Gereja masuk dunia. Sifat eschatologis berangsur-angsur
tersisih digantikan sifat pendekatan dpada dunia kini, temppat Kerajaan Allah mewujudkan diri 82).

Anak-anak terlahir dalam lingkungan Kristiani sehingga mereka ini tak terlalu perlu mengambil sikap iman
secara khusus utuk jadi Kristiani. Rakyat negara boleh dikatakan sam sebangun deng warga Gereja.
Lama-kelamaan 'Umat Allah' disamakan dengan 'Umat Kristiani',,- dan itupun lambat laun menjadi istilah
kebudayaan serta malah menjadi pengeritan politis saja.

Dalam situasi itu sebgaimana negara begitu pula Gereja memandang diri sebagai Imperium; Gereja adalah
'Tuan Puteri' yang berkuasa. Kalau hal itu disempurnakan dengan pendekatan Gereja pada ‘Kerajaan Allah’, maka
denga gampang teolog seperti Eusebius menganggap bahwa kemenangan-kemenangan Konstantin itu pemenuhan
nubuatt-nubuat Alkitab.

Waktu pemerintah sipil melemah, dan pusat Kekaisaran Roma berpindah ke Konstantinopel, maka para
pemimpin Gereja di Barat (Roma dan sekitarnya), khususnya paus, 'terpaksa' menjalankan fungsi -fungsi yang
sebetulnya bersifat politis (mis menghimpun untuk perang dll). Ternyata para Paus berhasil dalam fungsi itu (mis
Leo I dan Gregorius I) bahkan secara gemiluang. Hal itu memperkuat rasa harga diri mereka dan menyebabkan
Gereja semakin mengokohkan diri sebgai penguasa dengan segala kekuasaannya 83).

Tidak aneh kalau lalu muncul ketegangan antara Kaisar dan Paus, negara dan Gereja siapa yang berkuasa,
siapa yang berwenang di bidang yang mana. Timbul bahaya pencampuradukan kekuasaan: Paus berperang dan
Kaisar memanggil Konsili (Nikaia dst). Justinus mengawali wacana mengenai 'Theokrasi' 84). Tetapi di daerah Asia
Barat dan Yunani Gereja sibuk juga dalam hal-ha teologis. Berkat usaha-usaha Klemens Alexandria, Origenes,
Athanasius, Johanes Chrisostomus, Dionysius Areopagita, Johanes dari Damaskus, gagasan tentang ekonomi
keselamatan makin diperdalam dan menyiapkan pemahaman tentang Trinitas (ingat pertentangan perihal 'Fili -
oque'), Kristologi dan Soteriologi. Dalam rangkaian ini perlu diingat bahwa konsili-konsili pertama diselenggarakan
di daerah tersebut (430: di Efesus; 451 di Chalcedon) mengakibatkan bahwa uskupnya menginginkan kedudukan
sepadan (Synode Konstantinopel tahun 381 memberi dia kedudukan langsung di bawah Uskup Roma, - sejajar
dengan Alexandria dan Antiochia) sehingga akhirnya menjadi 'Patriarch'. Pertentangan ini dan semakin dekatnya
Paus dengan kekaisaran Franken a.l menyebabkan schisma (perpisahan) Gereja Barat dan Timur 85) akan tetapi
justru masa ini di Barat pengakuan akan kepemimpinan Uskup Roma (sebagai paus) semakin menguat.

(b) Gereja sebagai jemaat dengan kepemimpinan yang kuat

Sekitar abad 11 muncul suatu gerakan yang nantinya memberi gambar lain pada Gereja. Ini bermula ada
pembaharuan Clny, yang mau mencari kemerdekaan Gereja: Kebebasan dari kemerosotan moral dan relegius,
yang mulai dengan pembaharuan hidup membiara, yang pada gilirannya mempengaruhi hidup para pemimpin
Gereja (Klerus). Waktu biarawan Cluny Hildebrand menjadi Paus Gregorius VII, dia menggerakkan pembaharuan
Gereja, melawan Simoni, melarang imam menikah dan mengadakan penerbitan-penerbitan hidup klerus. Ideal
biara menjadi cita-cita pemimpin Gereja pula. Maka Gerreja diberi gambar monastik dan kepemimpinan rohani
mau semakin ditonjolkan. Gambaran Gereja adalah bagaikan sebuah biara 86). Paus dan para Uskup yakni para
pemimpin rohani sampai pada ekstrim lain yakni bahwa para pemimin rohani dapat menilai dan mengadili segala
hal 87). Isitlah-istilah 'Papa' (Bapa) dikhususkan hanya untuk Paus dan "Tahta Suci' juga hanya untuk Uskup Roma
saja. Istilah 'Tubuh Kristus' yang dulu berlaku untuk Gereja lalu beralih untuk menyebut Ekaristi, kini mendapat
tampahan 'Corpus εκκλήσίάe mysticum' (Tubuh Gereja yang mistik), tetapi arti 'mistik' hanyalah 'kiasan'88).
Kekuasaan klerus semakin besar. Istilah laos yang semula berarti umat dan berlaku bagi seluruh Gereja kini
dibatasi hanya untuk para 'non-klerus-89, sedangkan 'rohaniwan' yang semula dimaksudkan bagi seluruh umat
(karena semua ber-Roh bdk 1 Ptr 2:5) pada masa ini beralih menjadi hanya dipakai untuk menyebut klerus yang
ditahbiskan. Istilah dunia yang semula berarti 'yang bukan gereja atau bukan ilahi' sekarang dipergunakan untuk
menunjuk pada 'situasi atau wewenang kenegaraan dan masyarakat pada umumnya'. Teori 'Dua pedang'(Lk
22:38) dimanfaatkan untuk menunjukkan bahwa Paus mempunyai kekuasaan ganda: ilahi dan duniawi 90).
Kekuasaan itu paling menyolok dalam Perang Salib: Paus berkuasa secara ilahi dan milter 91. Khususnya ilmu
kanonistik menggarap soal kekuasaan Gereja itu. Dalam keadaan ini, dengan kata 'Gereja', yang dimaksud adalah

27
'Hirarki'.

(c) Gereja sebagai Paguyuban Rohani

Di samping arus kekuasaan hirarkis - yuridis sebetulnya dalam Gereja waktu itu juga ada Gambaran lain,
yaitu Gereja sebgai misteri, Gereja yang rohani 92). Roh Kudus memdapat perhatian yang lebih banyak dalam aliran
ini. Gereja di sini digambarkan tidak dalam kekuasaan dan kekayaan lahiriahnya, tetapi justu dalam pengingkaran
harta serta dirinya dan dalam semangat pelayanannya. Tokoh utama dlam hal ini adalah Joachim Fioni dan
Fransiskus Asisi 93. Dasar kekuatan mereka adalah persatuan mistik dengan Yesus Sang manusia, yang Wafat dan
bangkit tetapi lebih dulu menderita dan disalibkan bagi manusia, suatu mistik yang juga meneguhkan Bernardus
Clairvaux, Henricus Seuse dan Johanes Tauler. Dengan cara itu mereka ini melancarkan pembaharuan, mengritik
Gereja saat ini, bersama dengan Dante, Wilhelm dari Ockham dll 94.

(d). Domina dan Imperatrix

Perkembangan Kerajaan Romawi ke arah Kerajaan Kristiani, sebagaimana dilukiskan di atas, menyebabkan
Gereja menggambarkan diri sebagai suatu Imperium dengan pelbagai gambaran dari Imperium itu: domina,
imperatrix dan sebagainya. Pandangan ini masih diperkuat oleh tafsiran Injil-injil yang mengidentikkan Gereja
dengan Kerajaan Allah sejauh sudah terrealisir sekarang. Apalagi gagasan Kerajaan Allah tidak lagi difahami dalam
arti biblis, melainkan menurut gambaran monarki absolut kerajaan Romawi. Teolog-teolog tertentu, misal Eusebius
dari Cesarea, melihat kemenangan-kemenangan Konstantin sebagai pemenuhan janji-janji mengenai Kedatangan
Kerajaan Allah.

(e). Kerajaan Allah di dunia ini

Gereja adalah Kerajaan Allah sejauh sudah terealisir di dunia ini. Tekanan pada 'sudah' dan 'di dunia ini'
menghilangkan pengharapan eskatologis yang menjiwai kalangan orang Kristiani ketiga abad pertama. Keyakinan
bahwa kita adalah pendatang yang tidak memiliki tempat menetap di sini, diganti oleh keyakinan lain bahwa Umat
Gereja tertanam dalam dunia dan sejarah ini serta merupakan Kerajaan Allah yang sudah terrealisir.

(f). Populus Christianus

Mengganti keyakinan sebagai Umat Allah yang memberi tekanan pada hubungan Gereja dengan janji-janji
Israel serta panggilannya untuk mengembara di dunia ini, Gereja memandang diri sebagai 'Populs Christianus',
yang mengungkapkan:
-- hubungan erat dengan 'populus' politik yakni bangsa-bangsa dari Kerajaan Romawi,

corak statis Gereja, karena tekanannya pada hal-hal yang sudah dicapai dan khususnya kegiatannya terarah
pada penyebaran luas populus itu.

Kesimpulan
a. Gereja adalah seluruh masyarakat Kristiani pada waktu itu. Istilah Gereja diterapkan kerajaan sebagai
realita politik dan sebagai realita Kristiani.

b. Gereja dipimpin dan dikuasai oleh dua penguasa, yakni penguasa duniawi-rajawi dan penguasa
keimaman.

c. Mulai pada abad keempat kekuasaan penguasa duniawi-rajawi semakin besar sehingga 'Sacerdotium'
(Penguasa keimaman: Paus dan uskup-uskup) diperingati oleh Kaisar/Raja dan badan-badan pemerintahan
kekaisaran atau kerajaan.

3. 3. Gambaran Gereja Sekitar Jaman Reformasi: Gereja yang terpecah-pecah

Ada beberapa hal yang ikut menentukan gambaran Gereja kurun waktu ini: bahwa Gereja tak lagi identik
dengan satu Imperium melainkan hidup dalam banyak daerah-daerah yang seara kenegaraan berdiri
sendiri-sendiri, berdirinya banyak biara yang amat memajukan keterlibatan awam dalam hidup gerejawi ini agak
'menyaingi klerus dalam hal itu', berkembangnya filsaat yang lebih mementingkan kebebasan pribadi manusia,
kemerosotan para klerus dan lingkungan pusat pemerintahan Gereja dan timbulnya Gerakan Reformasi 95.

28
Hidup Konkret Gereja pada masa itu

a. Banyak Gerakan Kritis di dalam Gereja Katolik

Gereja mengalami penyelewengan-penyelewengan. Muncullah dalam Gereja Luther dan kaum reformator
lainnya mengajukan kritik dan protes. Tetapi hal ini tidak sepenuhnya menghasilkan pembaharuan dalam Gereja,
sebaliknya menyebabkan salah pengertian, kekerasan hati dan kesesatan dua belah pihak, yang akhirnya
menghantar gerakan Protestan menjadi konfessi tersendiri, yang sendiri lagi terpecah-pecah dalam pelbagai
macam konfessi.

Selanjutnya, baik kaum Protestan, maupun kaum katolik mulai memberi tekanan pada unsur-unsur yang
berbeda dan kurang memperhatikan unsur-unsur yang sama yang bisa mempersatukan. Dikatakan oleh Y. Congar:

"... berhadapan dengan posisi eklesiologis protestan, apologet katolik secara kodrati memilih menekankan
segi-segi lain dan membelanya ..." (Y. Congar, l'Eglise de saint Augustine à l'époque moderne, Paris, 1970, p.
359-360).

Tidak disadari kesamaan-kesamaan, misalnya: kesamaan dalam pengakuan iman pokok, seperti dirumuskan
dalam konsili-konsili yang pertama, atau kesamaan dalam Kitab Suci. Perbedaan-perbedaan dibesar-besarkan,
sedangkan kesamaan disembunyikan untuk membela dan menjelaskan apa sebabnya konfessi ini terpisah dari
yang lain. Akhirnya dilihat, kaum Protestan bukanlah katolik, sedangkan kaum Katolik bukanlah kaum Protestan
atau Reformasi.

Di kalangan Gereja Katolik, hal membesar-besarkan perbedaan dan kurang memperhatikan kesamaan
nampak dalam pelaksanaan Konsili Trente (1545-1563). Memang Konsili ini mengusahakan pembaharuan Gereja
dalam cahaya Injil sesuai kritik kaum reformator, namun teristimewa Konsili ini menekankan perbedaan-perbedaan
dengan kaum Protestan atau Reformasi demi untuk membatasi pengaruh mereka. "Persebaran Protestantisme dan
kebutuhan drastis akan reformasi moral dan administratif dalam Gereja Katolik Roma menimbulkan harapan luas di
antara orang katolik untuk mengadakan Konsili" (The Oxford Dictionary of the Christian Church, ed. F.L.
Cross, Oxford, 1974, p. 1392). Konsili itu tidak mengelarkan traktat khusus mengenai Gereja. Akan tetapi
dibicarakan banyak pokok penting bagi eklesiologi, misalnya: "Dalam sesi IV (8 April 1546) ditegaskan keabsahan
baik Alkitab dan Tradisi sebagai sumber kebenaran religius, satu-satunya hak Gereja untuk menafsirkan Kitab Suci.
(...). Keputusan penting diambil dalam sesi XIII (11 Oktober 1551) mengenai Ekaristi dan pada sesi XIV (25
November 1551) tentang Sakramen Tobat dan Orang Sakit. Ajaran Transubstansiasi diteguhkan dan ajaran Luther,
Calvin serta Zwingli mengenai hal itu ditolak " (Ibid., hal 1392-1393).

Semakin besar kewibawaan Sri Paus dan Klerus, semakin hebat juga kritik di dalam Gereja dilancarkan,
khususnya terhadap Paus-paus yang menyalahgunakan kekuasaannya dan lebih menghiraukan kekuasaan politik
daripada kekuasaan dari Injil. Khususnya pada abad ke 12 timbullah pelbagai gerakan rohani yang bertujuan
membarui Gereja: menekankan perhatian kepada Injil daripada ke-pada kemewahan dalam Gereja. Misalnya:
Gerakan Fransiskan (Fransiskus: 1182-1226); Bernardus Clairvaux (1090-1153) mendesak supaya Paus lebih
menyerupai Petrus daripada Konstantin; Katharina dari Siena (1347-1380) melaksanakan reformasi rohani.
Thomas Aquino (1225-1277) dan Bonaventura (1217-1274) mempertahankan eklesiologi Patristik. Ide pokok
eklesiologi Thomas ialah Gereja adalah 'Congregatio Fidelium', kewibawaan merupakan pelayanan yang
membutuhkan kharisma cintakasih.

Waktu itu sering terdengar kritik terhadap para Uskup yang tak memberikan perlindungan kepada kaum
miskin. Juga muncul gerakan-gerakan yang menekankan keberdikarian Gereja-gereja Nasional, yang menekankan
desentralisasi dan demokratisasi.

b. Reformasi Klerus dan kedudukan Paus

Reformasi klerus mulai terjadi dalam biara atau pertapaan Cluny, di mana dilaksanakan pemugaran
aturan-aturan Benedictus. Dan melalui pembaharuan kembali hidup membiara pada umumnya klerus diosesan
mulai mengusahakan juga suatu reformasi. Tokoh pembaharuan itu adalah Paus Gregorius VII. Selibat
dipulihkannya, simoni ditentangnya dan investitur oleh kaum awam dihapuskannya.

Selain reformasi klerus, juga pada waktu itu terjadilah reformasi kedudukan Paus. Pada abad-abad menjelang
reformasi ini kelakuan dan sikap para Paus menjadi suatu skandalm besar dalam Gereja dan masyarakat. Mereka
tidak menghiraukan atau memperduluikan kepentingan-kepentingan religius Gereja. Sebaliknya, mereka hidup dan
bertindak sebagai raja-raja duniawi saja. Apalagi dalam segala hal mereka harus tunduk kepada kaisar dan
raja-raja politik. Leo IX (1049-1054) dan Gregorius VII (1073-1085) memulihkan martabat para Paus.

c. Tuntutan-tuntutan Sri Paus

(1) Terhadap kaisar dan raja-raja

Paus memandang diri sebagai Origo, caput et radix dari segala kuasa. Karena itu Paus menuntut hak untuk

29
melantik dan mengganti serta memecat raja-raja dan kaisar. Hanya atas nama Paus mereka memerintah negara,
kerajaan atau kekaisaran. Kalau sebelumnya kaisar memandang diri sebagai Tuhan segenap Populus Christianus,
maka kini Sri Paus melihat diri sebagai Tuhan seluruh Populus Christianus dalam segala lapisan dan bidangnya.

(2) Terhadap Uskup-uskup dan Umat-umat lain

Pada waktu itu dinyatakan bahwa hanya Uskup Roma yakni Paus memiliki fungsi universal. Hanyalah beliau
berhak menegaskan Undang-undang baru, mendirikan Umat-umat baru. Hanyalah beliau berhak memecat
uskup-uskup tanpa persetujuan sinode-sinode. Tiada satu pun sinode atau pun konsili yang dapat disebut umum
tanpa persetujuan Sri Paus. Terhadap penegasan-penegasan Sri Paus tidak mungkinlah untuk naik banding. Sri
Paus tidak dapat diadili oleh siapa pun juga. Semua perkara penting harus dikemukakan kepada Takhta Suci.
Gereja Romawi tidak pernah sesat dan tidak dapat sesat untuk selama-lamanya. Dan tidak seorang pun dapat
dipandang sebagai katolik bila tidak bersatu dengan Gereja Romawi dan Paus.

(3) Gagasan-gagasan yang melatarbelakangi

Kepada Kristus diberikan segala kuasa. Paus adalah wakil Kristus di dunia. Jadi dia mempunyai segala kuasa
di dunia.

Barangsiapa sanggup melaksanakan sesuatu yang bernilai lebih tinggi dapat juga melaksanakan sesuatu yang
bernilai lebih rendah. Hal-hal rohani bernilai lebih tinggi daripada hal-hal jasmani. Jadi, Sri Paus yang menguasai
hal-hal rohani juga dapat menguasai hal-hal jasmani.

Teks Yer 1:10: "Engkau Ku-beri tugas atas bangsa-bangsa dan kerajaan-kerajaan untuk mencabut dan
merobohkan, untuk membinasakah dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam".

d. Di samping soal-soal kemasyarakatan, para pembaharu Gereja terdorong oleh perta nyaan-pertanyaan
teologis:

Bagaimana memahami Allah yang mau berbelaskasih pada manusia dalam Yesus Kristus dan tinggal dalam
GerejaNya yang hirarkis dan tertuang dalam primat Paus. Pernyataan jelas tentang pendirian Reformasi terjadi
dalam debat di Leipzig (1519) waktu oleh Johanes Eck, Luther dipojokkan untuk berkata, bahwa Kepausan bukan
dari Allah dan Konsili-Konsili dapat salah. Jalan keselamatan manusia, menurut Luther, tidak ditentukan oleh
manusia sendiri melainkan oleh Allah semata-mata. Jalan itu dapat dilalui hanya berkat iman pada Sabda Allah.
Dari Tuhan Gereja hanya menerima Sabda dan Sakramen-Sakramen Babtis dan Perjamuan, Gereja tidak
ditentukan adanya oleh struktur lahiriah, hukum dan seorang Paus. Pemersatu paguyuban umat beriman suci ini
adalah Sabda Tuhan dan iman yang benar. Tetapi Luther beranggapan bahwa Gereja harus tampak secara lahiriah
pula (lih Confessio Augustana, 1950).

Jawab para tokoh katolik mulai dengan teologi kontroversi tetapi tak berhenti di situ 96. Tekanan yang
diletakkan dalam teologi kontroversi ini hanya terbatas pada membela asal ilahi dari primat Seri Paus dan tata
hirarkis Gereja sera membuktikannya dengan alasan-alasan dari Alkitab dan Tradisi. Di samping sekelompok orang
yang tak melampaui batas polemik, ada juga yang berusaha memahami pandangan kaum protestan dan mencoba
menjawabnya secara adil 97. Pada tahun 1529 Nikolaus Febrer (Herbon) untuk pertama kalinya menyusun tulisan
khusus tentang ciri-ciri Gereja yang benar 98. Dan Kardinal Stanislaus Hosius untuk pertama kali
mensistematisasikan Notae dalam rangka keempat ciri Syahadat 99. Lalu sebelum Konsili Trente Albertus Pighius
(Pagge) menyusun pembelaan tentang successio apostolica yang menjamin keaslian Tradisi (1538: Hierarchia
εκκλήσίάsticae). Yang tidak dapat sesat menurut Pighius itu hanya Paus,- bukan konsili.

Konsili Trente mencoba untuk mengambil sikap terhadap situasi itu 101. Trente tidak bermaksud unuk
menyelesaikan segala soal, melainkan hanya mau menonjolkan butir-butir terpenting dalam perdebatan, agar
soalnya menjadi lebih jelas. Gambaran Gereja menurut Trente dapat dipetik dari dekrit-dekrit tentang sifat-sifat
korban dari Ekaristi, Imamat Jabatan, Hirarki, Ajaran tentang Persekutuan para kudus (lih DS 1739-1743; 1764;
1770; 1821-1822). Gereja disebut sebgai Tubuh Kristus dan Pengantin Kristus. Pembenaran, Tobat dan Silih
dipandang dalam kerangka persatuan Gereja dalam Kristus (DS 1545-1550; 1679; 1690). Dalam Gereja Semesta
Paus-lah yang menjadi pemimpin tertinggi (DS 1616; 1687). Akan tetapi Primat belum didefinisikan karena terasa
belum cukup didiskusikan 102. Meskipun begitu secara faktual Seri Paus diakui primatnya dengan kenyataan bahwa
segala keputusan Konsili dimintakan persetujuan dari Paus. Kelak 'Katekismus Romawi'. Buku Missal dan Brevir
semua diterbitkan dengan pengesahan Paus (Pius V).

Definisi Gereja yang kemudian paling lama berpengaruh dalam Gereja adalah susunan Robertus Bellarminus:
Gereja adalah paguyuban manusia yang sama-sama memeluk iman kristiani dan dihimpun oleh persekutuan para
gembala yang sah dan khususnya di bawah satu-satunya wakil Kristus di dunia yakni Paus di Roma 103.

30
Gambaran-gambaran Gereja pada masa itu

a. Konsentrasi pada Sri Paus

Kalau pada masa pasca-apostolik dan Patristik 'Umat beriman' diutamakan sehingga semua gambaran
dijabarkan kepada umat itu, maka pada masa ini, khususnya karena kedudukan dan martabat baru Sri Paus,
segala perhatian dikonsentrasikan kepada beliau.

(1) Mengenai gelar-gelar

Gelar 'Papa" (Bapa) dikhususkan bagi Paus. Gelar 'Apostolica Sedis' (Takhta Apostolik) yang sebelumnya
diterapkan kepada tiap-tiap takhta Uskup yang didirikan oleh seorang Rasul, kini dikhususkan bagi Takhta Uskup
Roma saja. Gelar 'Mater Εκκλήσίά' (Bunda Gereja) yang sebelumnya diterapkan kepada Umat Gereja seluruhnya,
kini hanya diterapkan kepada Gereja Roma, bahkan kepada Gedung Gereja pribadi Sri Paus yakni Basilika Lateran.
Gelar Vicarius Christi yang sebelumnya diterapkan kepada setiap manusia yang melalui dan karenanya Allah dalam
Kristus menyelamatkan manusia lain, kini dikhususkan bagi Sri Paus saja.

(2) Mengenai teks-teks

Teks-teks yang oleh Kitab suci diterapkan kepada sekalian umat beriman dalam hubungan mereka dengan
Roh Kudus, kini dikhususkan bagi Sri Paus saja. Misalnya:
-- Yer 1:10 (bdk. di atas)
-- 1 Kor 2:15: "Manusia rohani menilai segala sesuatu, tetapi ia sendiri tidak dinilai oleh orang lain".
-- 1 Kor 6:2-3: "Tidak tahukah kamu bahwa orang-orang kudus akan menghakimi dunia? ... Tidak tahukah kamu
bahwa kita akan meng-hakimi malaekat-malaekat? Jadi apalagi perkara-perkara biasa dalam hidup kita
sehari-hari".
-- 1 Ptr 2:9: "Kamulah Imamat Rajawi".
-- Mat 16:19: "Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kau lepaskan di
dunia ini akan terlepas di sorga" (bdk. Mat 18:18).

b. Gambaran Yuridis tentang Gereja

Gelar-gelar ini tidak diterapkan lagi kepada Umat ber-iman seluruhnya, melainkan kepada Hirarki Gereja.
Gereja sebagai Imperium menjadi nyata dalam susunan hirarkis Gereja. Sebab semuanya yang terjadi dalam
Gereja, semua anugerah Rahmat, dise-rahkan kepada Umat Beriman melalui hirarki. Imperium dijalankan oleh
Sacerdotium.

Hirarki berpuncak pada Sri Paus, yang dipandang sebagai Origo, Radix dan Fons dari jabatan-jabatan
gerejawi. Klerus menerima delegasi dari Paus saja. Segalanya dalam Gereja diturunkan dari Sri Paus, seperti
dalam kebudayaan kuno semuanya dianu-gerahkan oleh Kaisar/Raja. Karena itu Gereja disebut Negara Paus.
Sebenarnya seluruh Gereja dipandang sebagai satu Keuskupan besar, di mana para Uskup berfungsi sebagai
Vikaris Jendral.

Gelar 'Tubuh' dipakai untuk melukiskan hubungan antara Kristus Jaya dengan Umat Gereja, di mana
walaupun terdapat banyak anggota, toh membentuk satu kesatuan dalam Kristus, khususnya melalui Tubuh
Ekaristi Kristus. Tubuh mengandung misteri hubungan antara Kristus dengan Umat. Tetapi kini hubungan antara
Kristus Jaya dengan Umat beriman mulai kurang diperhatikan. Sebagai gantinya ditegaskan bahwa Yesus Kristus
historis memberi kuasa kepada para rasul dan pengganti-pengganti mereka. Gereja tidak lagi dilihat sebagai Tubuh
yang diberi hidup secara aktual oleh Kristus dan Roh-Nya melalui Sabda, Sakramen dan Kharisma, melainkan
sebagai Badan yang diatur dan dipimpin oleh Hirarki.

Mengenai Mysticum, sampai masa itu sebutan 'Corpus Christi Mysticum' dipergunakan untuk Ekaristi.
Kemudian kata Mysticum kehilangan arti aslinya, yakni in mysterio atau in sacramento dan memperoleh arti
kiasan. Lantas sebutan itu diterapkan kepada Gereja. Gereja disebut Tubuh Kristus yang tidak sesungguhnya atau
Tubuh Gereja dalam arti kiasan.

Gelar Laos sebenarnya merupakan gelar bagi seluruh Gereja, yang mengungkapkan gagasan pokok Gereja.
Kini Laos mendapat arti 'laicus' (awam) yang dibedakan dari Klerus, atau Hirarki yang sering diidentikkan dengan
Gereja. Kaum awam disebut 'kaum duniawi', sedangkan Klerus atau Hirarki disebut 'kaum rohaniwan' yang
sebenarnya merupakan gelar bagi semua orang yang dipermandikan (bdk. 1 Ptr 2:5). Sebelumnya dunia
menghadap Gereja, kini dunia terdapat dalam Gereja.

Εκκλήσίά militans

Sebelumnya gelar ini mempunyai arti rohani sesuai dengan Kitab Suci, yang berbicara mengenai perjuangan
melawan kuasa-kuasa setan dan kejahatan. Kini difahami secara politik dan menurut alam peperangan: melawan
Islam (Perang Salib), melawan kaum heretik dan lama-kelamaan, melawan kaum Yahudi.

31
c. Gambaran Gereja menurut Reformasi

Alasan-alasan Reformasi:

Prinsip-prinsip teologis Luther bertolak dari pertanyaan: 'Bagaimana kutemukan Allah yang rahim dan
berbelaskasih? Jawabannya ialah pembenaran kaum berdosa lantaran iman kepercayaan dan bukan karena
perbuatan-perbuatan hukum (Sola Fide).

Selanjutnya, sebagai konsekuensi langsung harus dikatakan bahwa betapa penting pengalaman akan
keAllahan Allah (Transendensi Allah), atau Rahmat Allah (Sola Gratia) yang dicurahkan melalui Sabda Allah yang
hanya ditemukan dalam Kitab Suci (Sola Scriptura). Dan konsekuensi-konsekuensi tidak langsung ialah
Kewibawaan Hati Nurani mengatasi atau melampaui kewibawaan Hirarki, Imamat Kaum Beriman mengatasi
Imamat Jabatan: Imam sebagai pengantara antara Allah dan (Hati-Nurani) manusia.

Kritik-kritik terhadap Gereja pada waktu itu kewibawaan mengajar Gereja tidaklah disangkal secara prinsipiil.
Haruslah dikatakan bahwa kewibawaan itu seharusnya berpatokan kepada Kitab Suci yang adalah norma-norma
satu-satunya dan menghormati keputusan nurani yang merupakan hakim yang pada akhirnya menentukan.

Dibela oleh Luther kewibawaan Konsili di atas Sri Paus dan menurut pandangannya, baik Konsili maupun Sri
Paus dapat sesat. Beliau juga mengeritik terhadap keadaan buruk dalam Gereja: kemewahan Gereja,
campurtangan agama dan politik, Simoni dsb.

Gambaran CALVIN tentang Gereja adalah di satu pihak sebagai paguyuban umat yang terpilih sejak asal mula
dunia (yang hanya diketahui oleh Tuhan) dan di lain pihak sebagai himpunan orang-orang yang tersebar di seluruh
dunia, yang mengaku beriman pada Kristus dan bercirikan pewartaan Injil serta penerimaan sakra men-sakramen
100
. Menurut Calvin, urutan pelayan gerejawi adalah: Pastor - Guru - Diakon - Penatua. Adapun juga alasannya,
ternyata tantangan pembaharuan pada abad 16 ini menciptakan ciri Gambaran Gereja yang amat menyolok
selanjutnya yakni, Gereja yang terpecah-terpecah dalam kelompok-kelompok gerejawi.

(1) Menurut Luther

Sebenarnya Luther tidak suka mempergunakan istilah 'Gereja', karena biasanya pada waktu itu istilah
tersebut diterapkan kepada Gedung Gereja. Beliau berbicara mengenai Umat Kristiani atau perkumpulan Kristiani,
atau paling tidak Sifat Kristiani Suci.

Yang menjadi ciri Gereja adalah Pewartaan Injil, Pembaptisan dan Perjamuan. Tetapi yang paling penting
ialah pewartaan Injil. Dan karena tekanan diberikan kepada pewartaan Injil, maka Umat setempat memperoleh
fungsi yang paling penting. Umat setempat mempunyai hak dan kuasa mengadili segala pengajaran, lagipula
melantik dan memecat pengajar-pengajar. Demikian baginya Gereja adalah perkumpulan atau Jemaah Kristiani
yang sama sekali hidup dari Injil dan di bawah Injil Yesus Kristus.

(2) Menurut Konfessi Augsburg

Konfessi ini melukiskan Gereja sebagai 'Congregatio sanctorum/fidelium, in qua evangelium recte docetur et
recte administrantur sacramenta': Umat Orang Kudus/kaum beriman di mana Injil diwartakan dengan
sungguh-sungguh dan benar dan Sakramen-sakramen diselenggarakan dengan baik.

Pada pokoknya hidup Gereja tergantung pada Sabda dan Sakramen. Dan Uskup mempunyai tugas istimewa
melayani Sabda dan Sakramen itu. Inilah kuasa rohani para uskup. Konfessi ini meno lak campur-baurnya kuasa
rohani dengan kuasa politik. Diadakan perbedaan prinsipiil antara dua kerajaan dan penguasa itu. Dua kuasa itu:
imperium dan Εκκλήσίά terlepas satu dengan yang lain, secara langsung berasal dari Allah dan harus saling
menghormati.

Demikian, ditekankan oleh Konfessi itu bahwa Gereja tidak hanya merupakan organisasi benda -benda dan
tanda-tanda lahir, melainkan suatu persekutuan dalam iman kepercayaan dan Roh Kudus. Gereja adalah Tubuh
Kristus,

(3) Gereja Spiritual

Dapat disimpulkan bahwa Umat Reformasi menggambarkan Gereja sebagai Gereja Spiritual. Unsur-unsur
spiritual mendapat tekanan dan mereka kurang menghargai unsur-unsur lahiriah. Bagi mereka unsur-unsur
hakiki/konstitutif Gereja adalah Injil dan nurani yang diterangi oleh Injil dan bukanlah tanda-tanda lahiriah dan
kewibawaan para pemimpin. Dikatakan oleh Luther:

"Aku percaya, di bumi ini terdapat satu Gereja Kristiani yang kudus, yakni Jemaah atau perkumpulan semua
orang Kristiani di dunia, yang disebut Pengantin Kristus satu-satunya dan Tubuh Kristus yang rohani. Sifat Kristiani

32
yang sama itu tidak hanya dalam Gereja Roma atau di bawah Sri Paus saja, melainkan terdapat di segala tempat
di dunia. Karena itu harus diakui bahwa Sifat Kristiani terpecah-pecah dalam secara badaniah, akan tetapi
terkumpul secara rohaniah yakni dalam Injil yang satu itu".

d. Sikap Gereja Katolik dalam kaitan dengan Gereja Protestan

Hubungan Gereja dengan Yesus Kristus melalui Roh Kudus yang menjadi pokok perhatian Kitab Suci dan
Patristik, tidak lagi mendapat perhatian. Dalam rangka perdebatan dengan kaum Protestan, maka yang ditonjolkan
ialah unsur-unsur gerejawi yang disangkal atau kurang dihiraukan oleh kaum Protestan: sakramen-sakramen,
hirarki dan jabatan, perbedaan hakiki antara para imam dan kaum awam, tekanan atas tradisi, tekanan atas
penghormatan orang-orang kudus dan khususnya konsentrasi atas Sri Paus sebagai kepala kelihatan seluruh
Gereja. Unsur-unsur gerejawi yang benar dari Reformasi dilaluaikan, misal peranan Sabda Allah, sifat rahasia
Gereja, corak spiritual Gereja, Kitab Suci sebagai 'norma normans' yang satu-satunya, fungsi hati nurani.

Dalam hal ini Robertus Bellarminus (1542-1621), seorang Kardinal, teolog sangat berpengaruh. "He is
usually quoted as the most characteristic representative of the Ecclesiology or the Counter -Reformation up to
Vatican II. He exposed his views in his Controversiae Generales, containing many volmes and written between
1576 and 1588. His definition of the Church is namely that 'the one and true Church is the Community of men
brought together by the profession of the same faith and conjoined in the communion of the same sacraments
under the goverment of the legitimate pastors and especially the one Vicar of Christ on earth, The Roman Pontiff:
"Εκκλήσίάm esse coetum hominum, eiusdem Christianae fidei professione et eorumdem sacramentorum commun-
ione colligatam sub regimine legitimorum pastorum acpraecipue unius Christi in terris Vicarii Romani Pontificis".

Congar mengatakan:

"Bellarmine had a great inflence in the first Vatican Council. His definition on the Church had inspired a great
deal of treatises until the Second Vatican Council".

This definition was discovered as Belluarmine considered the Church as an external or visible thing that are
able to see and touch, to pin down fairly well in terms of familiar categories. "The Church is indeed as an
association of men, so visible and tangible as the Roman People, or the realm of France and the Republic of Venice:
"Εκκλήσίά enim est coetus hominum ita visiblis et palupabilis ut est coetus populi Romani, vel regnum Galliae aut
respublica Venetorum". For him, therefore, the way of defining a chair is the same as the way of defining the
Church.

The above definition incldes three particular, external, visible elements of the Church. The first one is
profession of true faith. Such a faith means an essential element of the Church; yet it is visible, whereas actual
belief is an internal and univerifiable factor but is not essential. Faith refers to the inheritance of doctrinal truths,
decrees of the councils, and decisions of the Popes. The luast ones are mostly assembled and kept in the Codex
Juris Canonici (1917), comprising two older volmes, the Decretum Gratiani (1140) and the decrees of the Popes.
Also, some universal custom of the Church and some commonly held doctrines of theologians might be considered
as belonging to our faith.

The second characteristic is communion in the sacraments. The sacraments indicate the essential rites,
namely the seven sacraments. Belluarmine adds to his definition of the Church the following considerations which
highlight the proper perspectives of his definition of the Church. "To be considered in a certain fashion to be part of
the true Church (...) we don't think to be required any interior virtue but only the external profession of faith and
the external sacramental communion, which can easily be perceived by our senses: ut aliquis aliquo modo dici
posit pars verae Εκκλήσίάe (...) non putamus requiri ullam internam virtutem, sed tantum externam professionem
fidei et sacramentorum communionem quae sensu ipso percipitur".

The third characteristic is submission to the legitimate pastors, especially the one Vicar of Christ on earth, the
Roman Pontiff. This one is highly substantial for the Church, since the structure of government was regarded as the
formal element of a society. The legitimate pastors, especially the Roman Pontiff, had powers and functions which
represent the nature of the Church, nemely teaching, sanctifying and governing. Hence, as Congar says: "The
Church is regarded as machinery of hierarchical mediation, of the powers and primacy of the Roman See, in a word
hierarchology". From the point of view of its teaching function, the Church is a unique type of school in which the
hierarchy has the power to impose their doctrine with juridical and spiritual sanction. As for the sanctifying
function, the Pope and bishops, assisted by priests and deacons, are described somewhat as if they were engineers
opening and shutting the valves of grace. And as far as the governing function is concerned, the hierarchy has a
merely ministerial function, transmitting the doctrine and grace of Christ himself.

So the Church is not conceived as a democratic or representative society, but as one in which the fulness of
power is concentrated in the hands of a ruling cluass that perpetuates itself by cooption. Even more, the ruling
cluass itself is unequal. It has the model of a pyramid. The Pope is the vicar of Christ, his only representative on
earth. From him all εκκλήσίάstical power derives. The Pope is in a way the universal bishop (episcopus universalis).
Belluarmine says:

33
"As the unique Vicar of Christ, the Pope posesses a universal jurisdiction over the Church, ordinaria et
transmissibilis, that is essentially pertaining to his office which he can delegate".

The bishops, just as the other Apostles in difference from Peter, receive an εκκλήσίάstical jurisdiction which is
only 'delegata et intransmissibilis', that is delegated from the Pope and which they cannot delegate to others. In
other words, the bishops do possess their jurisdictional power exclsively over their own territory which is, as such,
delegated from the Pope. Hence, The Church becomes a monarchy.

The Three distinguishing characteristics must be entirely fulfilled in order to be called a true Church of Christ.
Thus, we say that the members of the Church are those who profess the approved doctrines, communicate in the
legitimate sacraments and subject themselves to the duluy appointed pastors. Considering the three visible
elements as conditional for being named the Church of Christ, we conclde that only the Roman Catholic Church
meets all three. Defacto, the three elements are regarded as having been imposed in the Roman Catholic Church
by Christ from all aternity. Indeed, in the other Christian Churches there exist doctrines as faith; yet not the
approved ones, since they reject the primacy of the Pope who has power to justify those doctrines. In the other
Christian Churches, de facto, there exist sacraments; yet not all seven are accepted. Equally, in the other Christian
Churches there in fact are pastors and bishops, yet not the properluy appointed ones, since they left the apostolic
succession or do not recognize the primacy of the Pope (P.C. Mandagi, The Importance and Relevance of
Ecumenical Dialogue, Leuven, 1981, pp.79-87).

Kesimpulan

Yang mendapat perhatian dari Gereja abad 16 adalah unsur-unsur kelihatan Gereja, sedangkan unsur-unsur
spiritual-rahasia Gereja dikesampingkan, karena unsur-unsur itu justru memperoleh perhatian dari Gereja
Reformasi yang merupakan lawan Gereja Kontra-Reformasi atau Gereja Katolik. Alam pertentangan dan sekaligus
apologetika mewarnai penggambaran Gereja.

Tekanan atau unsur-unsur kelihatan Gereja membuat Gereja bersifat monarkis, hirarkis, statis, piramidal.
Dalam Gereja Paus mempunyai kekuasaan sentral. Kepada-Nya hendaknya seluruh perhatian Gereja diarahkan.
Gereja adalah negara Paus. Memang para uskup mempunyai kuasa, tetapi kekuasaan mereka hanyalah didelegir
oleh Puas. Mereka hanyalah mengambil bagian dari kekuasaan Paus yang bersifat sentral. Demikian, kehidupan
Gereja tidak diwarnai atau dijiwai oleh kebebasan. Ketertutupan menjadi ciri Gereja. Gereja Kristus yang benar
identik dengan Gereja Roma Katolik.

3.4. Gambaran Gereja menjelang dan sekitar Konsili Vatikan I

a. Hidup konkret Gereja

Pada abad ke 19 muncul suatu gerakan baru dalam literatur dan kesenian yang memberi tekanan atas
perasaan-perasaan dan imajinasi sebagai reaksi terhadap rasionalisme yang menandai abad ke 18. Gerakan ini
terkenal dengan nama Romantisisme.

Gerakan ini membawa pengaruh atas kehidupan agamawi atau kehidupan gerejawi. Tidak hanya dengan
pengetahuan (knowing) dan kebajikan-kebajikan (doing) manusia beragama, menyatakan ketergantungan kepada
Allah dalam Yesus Kristus. Juga imajinasi dan perasaan-perasaan memainkan peranan penting dalam hal itu. "Le
romantisme apportait surtout un dépassement de l'individualisme par le goût du communautaire, le sens de l'unité
de l'oeuvre humaine dans le temps, enfin et surtout le sentiment de l'organisme vivant" (Y. Congar, op.cit.,
p.418). Yang dimaksudkan dengan perasaan-perasaan tidaklah dalam arti emosi, melainkan feeling, being
sensitive to, intuitive knowledge atau contemplation. Dikatakan oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834):

"Let me interpret in clear words what most pious persons only guess at and never know how to express.
Were you to set God as the apex of your science, as the foundation of all knowing as well as of all knowledge, they
would accord praise and honour, but it would not be their way of having and knowing God. From their way, as they
would readily grant, and as is easy enough to see, knowledge and science do not proceed. It is true that religion is
essentially contemplative (...). The contemplation of the pious is the immediate consciousness of the universal
existence of all finite things, in and through the Infinite, and of all temporal things in and through the eternal.
Religion is to seek this and find it in all that lives and moves, in all growth and change, in all doing and suffering. It
is to have life and to know life in immediate feeling, only as such an existence in the Infinite and eternal. Where
this is found religion is satisfied, where it hides itself there is for her unrest and anguish, extremity and death.
Wherefore it is a life in the infinite nature of the whole, in the One and in the All, in God, having and possessing all
things in God, and God in all. Yet religion is not knowledge and science, either of the world or of God. Without
being knowledge, it reognizes knowledge and science. In itself it is an affec tion, a revelation of the Infinite in the
finite, God being seen in and it in God" (Frank de Graeve, Theology of interreligious encounter, Leuven, 1979,

34
pp. 7-8).

Gereja Katolik mulai menyadari bahwa pergumulan-pergumulan demi kebenaran dan dogma ternyata tidak
menghasilkan damai dan persatuan, melainkan konflik-konflik yang berkepanjangan. Dalam masa pergumulan itu,
seperti dikatakan oleh Erasmus dari Rotterdam, jumlah fasal-fasal Iman bertambah, tetapi cintakasih berkurang.
Karena itu Gereja mencari usaha-usaha lain. Gereja mulai cenderung dan berusaha supaya perbuatan-perbuatan
baik dan benar (Orthopraksis) diambil-alih sebagai daya pengikat atau daya persatuan antar manusia. Gereja
mulai memberi tekanan atas cintakasih, pengampunan, toleransi dan memang semuanya ini cocok atau sesuai
dengan ajaran Kristiani dan tuntutan akal budi manusia. Gereja hidup dalam masa Pencerahan, di mana akal budi
diberi tekanan dan kebajikan-kebajikan manusia dilepaskan dari ketaklukannya kepada mitos-mitos atau dari
ketidakdewasaan. Manusia didorong untuk mempergunakan otaknya sendiri, untuk percaya kepada daya kritis akal
budi. Menusia diundang untuk hidup bebas dan sekaligus melaksanakan kebajikan-kebajikan. Manusia diundang
untuk membangun toleransi dan persaudaraan. Manusia seharusnya meluputkan diri dari kepercayaan sia-sia,
sebab hal itu akan menghantarnya kepada kebahagiaan sejati.

Dengan memakai akal budinya, manusia mampu melaksanakan kebajikan-kebajikan atau


perbuatan-perbuatan yang baik. Dalam hal ini Yesus menjadi contoh. Yesus dipandang dan dilukiskan sebagai guru
moral, guru kehidupan yang baik dan benar bagi seluruh umat manusia. Beliau mengajarkan bagaimana menjadi
manusia yang sejati yang berbudi dan berkebajikan. Hidup dengan akal budi dan kebajikan-kebajikan merupakan
realisasi sejati dari panggilan mengikuti Yesus. Hidup dengan kebajikan-kebajikan merupakan agama yang
sebenarnya. Tidak ada lagi suatu dimensi ke arah Allah. Sebab Allah justru dihormati karena tingkah laku moril.
Liturgi dipandang sebagai religi irrasional atau kepercayaan sia-sia.

Dengan memberi tekanan pada akal budi yang dimiliki oleh setiap manusia, maka akan dihasilkan kedamaian
yang diimpikan setiap orang. Kemanusiaan yang sama dan akal budi yang sama yang merupakan prinsip
kesamaan seharusnya dilihat dan disadari. Kalau demikian, damai akan dihasilkan. Orang semakin jemu dengan
segala pertentangan, pertikaian atau peperangan agama yang tidak membawa hasil. Lebih baik, kesamaan
diberikan perhatian dan tekanan. Memang konfessi-konfessi itu tidak ditiadakan. Toh semuanya itu lebih tepat
diangkat masuk dalam satu konteks yakni Agama Kristiani universal yang berasaskan kodrat dan akal budi
manusia.

Gereja dipandang sebagai masyarakat manusiawi yang memiliki prinsip-prinsip dan undang-undang
manusiawi, seperti setiap masyarakat manusiawi. Kalau begitu, seperti dikatakan oleh G.E. Lessing (1729 -1781):
sifat Kristiani tidak mempunyai "a privileged and lasting position in history. History is man in the making. All great
positive religions have their part in the process and are equally valable and respectable. As long as people have not
outgrown them, they are useful and good and are to be tolerated equally. ... All beliefs and practices of primitive or
magical religion were good so far as they naturally belonged to more imperfect stages in the process of human
development" (Jan Walgrave, Unfolding Revelation, Philadelphia, 1972, pp.201-202).

Dengan demikian, Gereja didesakralisasikan dan ditafsirkan sebagai suatu badan moril manusiawi yang
berkembang, yang terdiri dari anggota-anggota yang melaksanakan kebajikan-kebajikan atau
perbuatan-perbuatan baik sesuai dengan tuntutan akal atau hukum kodrat yang berasal dari Allah. "The work of
God's creation and fovernance completely conincides with man's autonomous endeavor to self -realization" (Ibid.,
p. 202). Sekaligus badan moril ini memperoleh tugas mengarahkan manusia ke arah kedewasaan: 'hidup dengan
memakai akal budi dan demikian mampu melaksanakan kebajikan-kebajikan yang menghantar kepada kehidupan
damai sejahtera.

Tetapi badan moril ini sifatnya tak sederajat. Anggota-anggotanya tak sederajat. Penggunaan akal dan
pemilikan kebajikan sifatnya berbeda-beda pada anggota-anggota. Dengan demikian, dalam badan itu terdapat
anggota-anggota yang menjadi pengajar, hakim dan pemimpin bagi yang lain, yakni klerus. Mereka itu anggota
penuh badan Gereja, sedangkan awam hanya menerima saja.

Selain dipengaruhi oleh rationalisme, Gambaran Gereja sedemikian diinspirasikan oleh Deisme. Hanya pada
awal dialami peranan Allah, yakni dalam Yesus Kristus mendirikan Gereja. Selanjutnya Gereja berkembang
menurut hukum-hukum immanen dan otonom menurut struktur sosiologis yang dikemudikan oleh hirarki.

Demikian dalam kehidupan konkret Gereja, perhatian secara khusus diberikan kepada tradisi dan sejarah
abad-abad pertengahan yang mengungkapkan suatu kehidupan yang dijiwai oleh semangat komuniter. Di samping
itu juga, yang kurang mendapat tekanan adalah mitos-mitos, dongeng-dongeng yang dipandang sebagai ungka-
pan-ungkapan semangat masyarakat dan persekutuan mereka.

b. Gambaran Gereja:

Berkat pengaruh Romantisisme yang terutama melanda Jerman, beberapa teolog dari Sekolah Katolik
Tbingen, seperti misalnya J.M. Sailer, J.S. Drey dan teristimewa J.A. Möhler, menggambarkan Gereja atas cara
lain daripada gambaran Gereja abad ke 18. Penggambaran mereka itu selanjutnya dikembangkan dan
mempengaruhi penggambaran Vatikan II mengenai Gereja. Dikatakan oleh Congar:

35
"C'est d'une tout autre facon, dans un tout autre esprit, que l'école de Tubingue a formulé, à l'encontre des
idées de l'Aufklärung, une vision renouvelée du mystère de l'Englise, dont la fécondité s'est affirmée jusqu'à nos
jours" (Y. Congar, op.cit., p.417).

Bagaimanakah penggambaran mereka itu bisa dilukiskan?

J.M. Sailer, teolog Tübingen yang terkenal menyebabkan ter-jadinya peralihan dari Eklesiologi Pencerahan
kepada Eklesiologi Romantik, sambil menolak pandangan mengenai Gereja yang terlalu yuridis, melihat Gereja
sebagai pengantara yang hidup dari sifat Kristiani batiniah dan sekaligus atas pengaruh alam romantik, ia melihat
Gereja sebagai pengantara dalam arti organis dan komuniter, seperti nampak dalam kehidupan liturgis. Pandangan
ini menunjukkan penemuan kembali realita Tubuh mistik. Selanjutnya, J.S. Drey, pendiri Sekolah Teologia Katolik
Tübingen, mengintroduksikan dalam teologi kesatuan organis rencana Allah. Gereja dipandangnya dalam konteks
rencana Allah. Gereja merupakan manifestasi Kerajaan Allah dan organ pewahyuan Allah, suatu organisme yang
dipengaruhi dari dalam oleh Roh. Pertama-tama dikemukakannya tema sentral yakni semangat sifat Kristiani yang
diwujudkan dalam Gereja Katolik, dan yang terkandung dalam Tradisi yang hidup. Gagasannya mengenai Kerajaan
Allah banyak dipengaruhi oleh Schelling.

J.A. Möhler (1796-1838) yang menjadi Profesor Sejarah Gereja di Sekolah Teologia Katolik Tubingen sejak
tahun 1825 sampai 1833 dan kemudian di München, dalam eklesiologinya pandangan-pandangan mengenai Gereja
yang sifatnya moralistis dan sosiologis. Lagi, ia berusaha tidak mau terlibat dalam pertentangan-pertentangan
dengan kaum Protestan. Dalam menggambarkan Gereja, ia kembali kepada pandangan-pandangan Patristik yang
pada dasarnya melukiskan Gereja sebagai misteri dan sakramen. Baginya Roh Kuduslah pangkal Gereja. Dialah
yang merupakan daya batin Gereja (tradisi) yang dicurahkan melalui Inkarnasi Kristus dan yang sekaligus
mempunyai ungkapan-ungkapan atau bentuk-bentuk lahiriah-kelihatan (tradisi objektif). Berkat daya batin itu
Gereja memiliki iman Kristiani dan cinta yang hidup dan akhirnya membentuk suatu persekutuan atau
persaudaraan. Katanya:

"L'Eglise est avant tout en effet de la foi chrétienne, le résultat de l'amour vivant des fidèles réunis par
l'Esprit-Saint" (Y. Congar, op.cit., p.420).

Persekutuan Gereja sifatnya dialektis. Dalam Gereja terjadi dialektika antara daya batin (tradisi) dan
bentuk-bentuk lahiriah (tradisi objektif). Dan justru dialektika ini menyebabkan perkembangan atau pertumbuhan
dalam Gereja. Pandangan Möhler ini merupakan penemuan kembali realita Tubuh Kristus dalam arti yang
sebenarnya. Bentuk-bentuk atau struktur-struktur lahiriah dipandang sebagai ungkapan daya batin Gereja yakni
Roh Kudus, Roh Kristus Jaya. Kemudian, teristimewa dalam Symbolik, tradisi objektif mendapat tekanan atau
perhatian lebih. Roh Kudus sebagai Roh Kristus Jaya yang datang kepada manusia melalui Inkarnasi Yesus,
dilanjutkan oleh Gereja melalui bentuk-bentuk lahiriah, misalnya pewartaan. Oleh pewartaan proses Inkarnasi itu
diteruskan dan demikian, pewartaan itu melahirkan iman kepercayaan dan membangun Gereja. "L'Eglise est
rattachée à l'institution du Verbe incarné et vue comme union de l'humain et du divin selon une structure
d'incarnation" (Y. Congar, op.cit., p.422-423). Pewartaan merupakan interpretasi Roh Kudus atau wahyu yang
diberikan oleh Kristus. Dan kuasa mengajar Gerejalah yang menjamin otentisita pewartaan-pewartaan itu.

Tampak bahwa ada dua kecondongan yang pada masa ini ternyata mendapat angin untuk mempengaruhi
gambaran Gereja. Yang satu dari arah situasi kemasyarakatan, sedang lainnya lebih dari arah pikiran.

(a) Gereja sebagai perkumpulan yang diwarnai partikularisme

Situasi Reformasi ternyata toh secara faktual mempengaruhi praxis Gereja dalam arti, bahwa semakin banyak
wilayah gerejawi yang mau menampilkan wajah khas (partikulir)-nya- smapai sebagaian agak keterlaluan.

--1 Gallikanisme

Ini berkaitan dengan keinginan Perancis untuk lebih menonjolkan kakhasannya, yang memuncak dengan
'Dekluarasi Kebebasan Gallikan' pada tahun 1682 105. Tahap-tahapnya sudah mulai dari perang antara raja Philipps
IV dari Perancis melawan Paus Bonifacius VIII; Pembuangan Seri Paus di Avignon; Skisma Barat Konkordat 1516
antara Raja Francis I dan Paus Leo X (yang memberi kuasa praktis tak terbatas kepada raja ata jabatan -jabatan
gerejawi; penolakan Perancis untuk mengumuMrkan Keputusan-keputusan pembaharuan Konsili Trente). Yang
terpenting dalam seluruh peristiwa itu adlah keinginan Perancis untuk lebih berdikri terhadap pimpinan Roma.
Pemerintahan absolut Louis XIV adalah puncak usaha ini. Tahun 1663 parlemen Perancis memaksa Fakultas
Teologi Sorbonne untuk memelk Gallikanisme, bahwa konsii berdiri di atas Paus, yang juga tak diakui bahwa tak
dapat sesat. Akhirnya pada tahun 1682 dinyatakan 'Dekluarasi Kebebasan Gallikan' dalam Maje lis Klerus Perancis
bahwa:
1) Paus hanya diberi Allah kekuasaan rohani;
2) Kepenuhan kekuasaan Paus dibatasi oleh Dekrit-Dekrit Konsili Constance tentang wewenang
Konsili Ekumenis;
3) Pelaksanaan kekuasan Paus diatur oleh Kanon-Kanon gerejawi; selain itu masih berlaku pula
ketentuan-ketentuan dan adat kuno untuk Gereja Perancis;

36
4) Perihal keputusan tentang soal-soal iman memang Paus mempunyai wewenang terbesar akan
tetapi bila tidak disepakati oleh Gereja Semesta maka keputusan itu bukannya tak dapat diperbaiki.
106
Menurut penyelidikan keempat hal itu disiapkan oleh Menteri J.B. Colber walau sering dikatakan bahwa
disusun oleh Bossuet.

Pada tahun 1690 Paus Alexander secara resmi mengutuk deklarasi itu tampa memberi hukuman jelas (DS
2285) dan pada tahun 1693 Raja mencabut dekluarasi itu, tetapi nyatanya masih dipraktekkan di Perancis sampai
abad 19. Penyelesaian definitif akan diberikan oleh Vatikan I dengan dogma tentang ketidak-dapat-sesatan Paus.

--2 Febronianisme

Di Jerman para Uskup juga berfungsi sebgai pangeran-pangeran. Mereka ini menerima pengaruh Gallikanisme
dan berusaha menggeser titik berat kepemimpinan Gereja dari Paus kepada para Uskup (seperti dalam abad
pertengahan tampak dalam peranan Uskup-Uskup Konstantinopel, Theims dan Milan untuk mengombangin kekua-
saan Roma). Di Trer Episkopalisme ini lama bersemi 107. Lalu pada abad 18 aliran ini menjadi lebih ekstrim di
bawah pimpinan Uskup pembantu Trier yakni J.N. von Hontheim, yang memakai nama samaran Febronius
(meninggal tahun 1790). Di bawah pengaruh Z/B. van Espen dari Leuven, Febronius menulis 'De Statu εκκλήσίάe
et legitima potestate Romani Pontificis (terbit 1763-1773 sebanyak 5 jilid di Bouillon) yang a.l. menyatakan bahwa
perlulah dalam Gereja ada desentralisasi sehingga setiap keusukupan lebih kuat. 'Kekuasaan kunci' itu pada prinsip
dan dasarnya berlau bagi seluruh Gereja. Paus bukannya tak dapat salah dan dia mempunyai kekuasaan terbatas.
Para uskup bisa menerima atau menolak pernyataan Paus. Sebaai ganti Monarki kepausan hendaknya setiap Epis-
kopat kenegaraan berkuasa dan dalam kebersamaan pada Kosili memegang wewenang tertinggi dalam Gereja.

Kelak Febronius/Hontheim menarik kembali bukunya dan tahun 1786 dikutuk oleh Breve 'Super soliditate
petrae' serta secara definitif akan dijawab oleh Vatikan I.

--3 Josephinisme

Ini gambaran tentang Gereja di Austria 108. Sudah Ratu Maria Theresia mengambil inisiatif untuk mengadakan
pembaharuan dalam Gereja dengan sedapat mungkin sethu Paus. Anaknya, Joseph II (1765-1790) dipengaruhi
Konselir Anton Wenzel von Kaunitz Rietberg membawahkan Gereja dalam segala hal kecuali hal-hal yang
berhubungan dengan dogma dan jiwa-jiwa. Josephinisme banyak memperbaiki administrasi dan
organisasi/lembaga-lembaga gerejawi (menambah jumlah paroki, menaikkan gaji para pastor, reorganisasi studi
teologis). Akan tetapi hal itu berakibat bahwa Paus tidak mempunyai yurisdiksi langsung atas uskup-uskup dan
Gereja di Austria. Seminari-seminari juga tidak di bawah yurisdiksi Uskup. Dosen-dosen rasionalis dimasukkan ke
Seminari.

Ini berarti bahwa Kaisarlah yang praktis menjadi kepala langsung dari Gereja Austria, yang mau dibuatnya
menjadi Gereja Nasional.

(b) Gereja sebagai perhimpunan manusia yang ditantang oleh Fajar Budi
(1) Sesudah lelah karena banyak perang agama dan pertengkaran antar kelompok agama,
orang-orang di jaman ini haus akan suasana damai dan tenang. Itu hanya mungkin tercapai, kalau 'hal-hal yang
memisahkan' dapat disisihkan dan kalau dapat diketemukan hal-hal yang mempersatukan: semakin mendalami
hak orang-orang Kristiani, semakin kokoh dapat membangun kesatuan. Masa Fajar Budi (Aufkluarung) menaarkan
unsur pemersatu senacam itu, yaiu pemahaman dan kesepahaman tentang manusia, kodrat, budi dst. Maka dari
itu faham-faham keagamaan yang bernada dogma lalu diterjemahkan ke dalam pandangan-pandangan manusiawi
'netral' tentang Allah, keabadian, kebebasan, kebahagiaan, kesusilaan dll. Sekaligus hal itu memperlihatkan,
betapa tampaknya manusia sebetulnya dapat mengatasi soal-soal dan kesultan sendiri serta mampu memperguna-
kan budi untuk membebaskan diri dari kebuntuan dan kepicikan serta kekanak-kanakannya sendiri 109. Dengan
cara ini ajaran-ajaran dogma seperti rahmat pembenaran, keselamatan, yang semula membawa pertengkaran, lalu
dicairkan menjadi ajaran-ajaran filsafat yang tak merangsang emosi keagamaan seperti pemahaman, pem-
bersihan, penjernihan, perbaikan manusia. Dogma-dogma lain di-'salurkan' dengan dicari manfaat moralnya. Maka
dengan tak langsung 'misteri' dibuang. Keutamaan etislah puncak dari 'keagamaan'. Yesus Kristus diterima sebagai
guru budi pekerti yang mengajarkan caranya menjadi manusia sempurna.
Gereja di-'bebas'-kan dari gambaran 'yang disebut mistik dan sakral' sehingga menjadi Lembaga
Moral, sebgai badan Moral, suatu perkumpulan manusia saja. Prinsip struktural Gereja dinilai sebgai prinsip
perhimpunan manusia biasa. Faham 'Tuhan Kristus' di tafsirkan hanya dari dimensi sisiologisnya. Tugas Gereja
adalah mendidik manusia untuk berbudi, untuk berdamai dengan semama dan berkeutamaan yang manjanjikan
kebahagiaan. Pewartaan Injil menjadi pendidikan tentang kewajiban-kewajiban manusia biasa. Ibadat
disederhanakan agar menjadi 'masuk akal' semua danjangan membangkitkan tahyul yang mengasingkan orang
dari kenyataan manusiawi 110.
(2) Gereja sebagai organisasi dengan struktur hirarkis
Secara sosiologis rasional dapat diperlihatkan, bahwa dalam setiap kelompok perlu ada
petugas-petugas yang dapat bertindak atas nama kelompok dalam hal Gereja, yang memimpin kelompok, yang
menjaga aturan ditepati, yang memberitahukan dasar-dasar tindak hidup bersama, yang atas nama Sang Penebus

37
menyampaikan penyembuhan dst. Itulah para Klerus. Sebetulnya, dalam gambaran ini, mereka inilah pelaku
utama tindakan-tindakan gerejawi, yang atas nama jemaat mendengarkan bisikan Roh dan menjabarkan dalam
pelbagai tindakan. Sikap ekstrim dalam hal ini sampai pada pandangan, bahwa sesudah Roh menyampaikan
pesanNya, maka segalanya diserahkan pada kebijakan Klerus.
J.A. Möhler memberikan kritiknya dengan merumuskan pandangan ekstrim ini sbb: "Pada awal
mula Tuhan menciptakan hirarki, dan sejak itu sudah tercukupilah kebutuhan Gereja sampai akhir jaman" 111.
Dalam suasana itu, klerus mendapat kekuasaan besar.
(3) Gereja sebagai Paguyuban yang pneumatosentrik:
Keterlaluannya rasionalisme menerbitkan aliran romantik, yang mau memberi lebih banyak
perhatian pada segi rasa dan 'yang rohani' dalam manusia. Dalam teologi, di Tubingen hal itu digarap oleh J.M.
Sailer, J.S. Dray dan J.A. Möhler. Mereka berusaha menghindari berat sebelahnya rasionalisme, deisme,
spiritualisme maupun pietisme 112. Iman, harapan dan cintakasih yang hidup dalam Gereja itu berasal dari Roh
Kristus dan membuahkan penyatuan dalam Gereja. Dan berfungsinya jabatan serta segala hubungan dalam Gereja
itu merupakan pengejawantahan tindak penyatuan Roh Kudus. 'Tindak penyatuan' Roh Kudus yang terbesar
adalah penjelmaan /inkarnasi. Maka tampilnya Gereja itu harus dilihat dari prinsip inkarnasi: yaitu sebagai
kalanjutan tindak Allah menjadi manusia. Juga sesudah Wafat dan Bangkit, Allah Putera terus menjadi daging. Dari
pandangan itu sepantasnya orang berbicara tentang Gereja sebagai Tubuh Kristus 113. Pandangan ini meluas
sampai keluar Tubingen, bahkan keluar Jerman 114
(4) Gereja sebagai perkumpulan yang sentralistik
Pada masa itu kekuasaan politis Paus merosot, di Perancis uskup-uskup semakin dikuasai negara
dan banyak keusukupan semakin terpecah belah. Suasana itu menimbulkan hasrat untuk lebih menegaskan dan
mengukuhkan supremasi Paus, kewenangan Paus dalam masalah iman dan moral serta ketidak-dapat-sesatan
Paus. Banyak yang beranggapan, bahwa pandangan Ultramontanisme dan Papalisme ini akan dapat melindungi
kebebaan Gereja dan mencegah supaya Gereja tidak semakin merosot. Tokoh-tokoh seperti J. de Maistre, F. de la
Mennais (Perancis), Lieberman (Mainz), Döllinger dan Görres (Műnchen), Hofbauer (Wien) serta Manning (Inggris)
memperjuangkan, agar kekuasaan Seri Paus dipulihkan kembali.
Hasrat itu berjalan seiring dengan bangkitnya kembali teologi di Roma (Neoscholastik) untuk
'membela' Gereja dari 'kemerosotan' jaman dan noda-noda aliran-aliran pemikiran terbaru. Ajaran abadi Gereja
harus dipulihkan/direstorasikan kembali.

(c) Konsili Vatikan I: 1869-1870

Tujuan Konsili ini menurut 'surat undangannya': untuk mempersatukan dunia katolik agar secara perkasa
dapat memperlihatkan kebenaran yang berlawanan dengan kesesatan-kesesatan jaman sekarang dan untuk
menyesuaikan disiplin Gereja dengan situasi-situasi baru. Bagi gambaan Gereja, Konsili ini penting, sebab dalam
sidang Semesta ini, untuk pertama kalinya secara resmi dan panjang lebar Gereja mengatakan sesuatu tentang
Gereja dan Jabatan Tertinggi 115.

Konstitusi Dogmatis Pastor Aeternus (De Εκκλήσίά Christi) mengupas Primat Yurisdiksi Paus dan bahwa Paus
Tak-dapat-salah. Maksudnya: Paus memiliki kepenuhan kekuasaan kepemimpinan Gereja dalam taraf yang
tertinggi, secara 'biasa' dan 'langsung' atas seluruh Gereja, atas setiap jemaat, semua Gembala dan atas segeap
umat beriman. Kekuasaan tersebut meliputi baik masalah-masalah iman dan susila maupun soal-soal disiplin dan
kepemimpinan Gereja. Lalu, bila Seri Paus berbicara ex cathedra maka keputusannya dari dirinya sendiri (ex sese)
tak dapat salah dan tak dapat diubah (lih DS 3050-3075). Yang dimaksudkan dengan 'berbicara ex cathedra' yakni
bila ia dalam tugas melaksanakan Jabatannya sebagai gembala dan Pengajar seluruh umat Kristiani berket
wewenang apotoliknya yang tertinggi, mengambil keputusan definitif ajaran tentang iman dan kesusilaan.

Mengenai 'Paus tak dapat salah' sudah tradisi yang kuat 116. Rumusan Konsili Vatikan I sudah berasal pada
pengumuman meriah Fogma tentang Maria Dikandung Tanpa Noda, 1854. Memang waktu itu Pius IX meminta
pandapat para Uskup sedunia. akan tetapi keputusan menjadikannya dogma itu diambil oleh Paus tanpa minta
pendpat para Uskup (bdk DS 2803-2804). Bahwa pada waktu itu Dogma tsb diterima praktis tanpa bantuan,
rupanya merupakan tanda, bahwa ajaran 'Paus tak dapat salah' itu memang sudah tersebar secara umum dalam
Gereja.- walaupun sekarang kerap diperdebatkan kembali (sekurang-kurangnya mengenai artinya).

Akan tetapi keputusan Konsili tentang Primat Yurisdiksi Paus sebetulnya juga penting. Sebab hal ini
merupakan titik akhir dari perdebatan yang lama sekali, khususnya usaha Gregorius I (590 -6604) dan Gregorius
VII (1073-1085) seputas keterikatan setiap jemaat partikular kepada Roma. Sentralisaasi Vatikan I ini merupakan
sikap Gereja Semesta waktu itu terhadap aneka gerekan antai-Paus selama berabad-abad, baik di dalam gereja
(Konsiliarisme dan Episkopalisme) maupun di luar Gereja (Galikanisme, Josephinisme).

Dan toh masih ada masalah lain: yakni perihal hubungan antara Paus dan para Uskup. Sebetulnya ada
rancanan bahan debat untuk Konsili Vatikan I tentang Hal Otonomi para Uskup dan hubun gan mereka dengan
Paus. Sayang bahan itu tak sempat dibicarakan, karena konsili harus diputus mengingat suasana perang 117. Meski-
pun begitu, sebenarnya Konsili Vatikan I tak mengurangi hak otonomi para Uskup. Sebab di sana dikatakan:
"Kekuasaan Imam Agung tertinggi tidak menodai kekuasaan sendiri dan langsung, hak seorang Uskup, yang
diperolehnya dari pemberian Roh Kudus (bdk Kis 20:28) sebgai pengganti para Rasul dan untuk sebgai Gembala
sejati mengembalakan dan memimpin kawanan masing-masing" (DS 306).

38
Jadi: para Uskup itu bukan sekedar wakil atau sarana pelaksanaan kebijaksanaan Paus. Kelak Konsili Vatikan
II akan membicarakan juga masalah ini dan memperdalammya.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, saya akan mengutip langsung apa yang dikatakan oleh Y. Congar: "L'importance de
Möhler et de l'ecole de Tubingue qui compta d'autres voms après li, est d'avoir ouvert ou rouvert le chapitre d'une
considération vraiment théologique et surnaturelle de l'Englise. Celle-ci était vue de manière assez extérieure, soit
sous le signe de la potestas (papale) dans les traités scolaires issus de la Contre-Réforme, soit dans des traités
apologétiques ou l'on justifiait seulement son autorité de magistère, soit enfin dans les présentations très humaines
de l'Aufklärung. Chez les théologiens de Tubingue, l'Eglise est contemplée on elle-même en dépendance de ses
sources divines dans l'Incarnation du Fils et la mission du Saint-Esprit, dans la suite ou le déploiement de la
sotériologie. Le point de vue trinitaire est souvent explicite, la continuité avec l'Incar nation nettement posée, la
primauté des principes et des finalités spirituels affirmée, de mêmo que le caractéro de communion â travers le
temps comme à travers l'espace".

Dapat dikatakan, sejak masa Perjanjian Baru sampai dengan abad ke 3, ke-'misteri'-an Gereja mendapat
perhatian. Gereja adalah persekutuan manusiawi yang dibentuk oleh Allah dalam Yesus Kristus melalui Roh Kudus.
Kemudian terjadilah suatu peralihan. Sejak abad ke 4 (masa Konstantin), atau lebih jelas lagi, sejak abad
pertengahan (abad ke 11), aspek institutional, kelihatan Gereja diberi tekanan, malah sungguh ditonjolkan, ketika
terjadi penggabungan antara kekaisaran atau negara dan Gereja.

Mula-mula kaisar menjadi element utama dalam Gereja dan Negara yang kemudian peranannya diambil -alih
oleh Sri Paus. Posisi serta kekuasaan kaisar-kaisar dicari dasar dan kekuatannya dalam Injil. Injil dan Agama
dipergunakan untuk memperjuangkan cita-cita politik mereka, mengamankan rakyat yang tidak senang dan
mencegah perubahan-perubahan yang membahayakan posisi mereka. Undang-undang yang dikeluarkan oleh
mereka bersifat sakral. Akibatnya, pemberontakan melawan undang-undang dipandang sebagai pemberontakan
terhadap Gereja dan Allah sendiri.

Selain itu juga, akibat penggabungan negara dan Gereja, struktur negara diambil-alih oleh Gereja, sehingga
Gereja terendam oleh sistem feodal, seremoni-seremoni istana, bentuk organisatoris negara dan sebagainya. Misi
rohani kharismatis, profetis Gereja sering hilang atau tersembunyi. Dalam Gereja terjadi pembagian kluas: klerus
dan kaum awam. Gereja memberi sistem moral bagi seluruh masyarakat dan melalui klerus Gereja menguasai dan
mengawasi seluruh hidup masyarakat supaya moral Gereja dilaksanakan oleh seluruh rakyat.

Selanjutnya, akibat penggabungan itu, kebudayaan barat mewarnai hidup Gereja. Hukum Romawi
mengurung hidup Gereja. Kalau dalam umat purba ditekankan bahwa Umat dibangun oleh pelayanan-pelayanan
yang dilakukan oleh masing-masing anggota, maka di bawah pengaruh hukum romawi pembangunan umat
diharapkan dari kuasa-kuasa yang diterima langsung dari Allah melalui Yesus Kristus, Tuhan dan Raja universal.
Pewartaan kharismatis kabar gembira diganti dengan mandat-mandat hirarki yang berlaku sebagai yang
mengesahkan pewartaan Injil. Persaudaraan kaum beriman sebagai Corpus Christi Mysticum, sebagai kediaman
Roh Kudus, sebagai pra-realisasi kerajaan Cinta nanti dikurung oleh hukum-hukum romawi yang berbicara tentang
hak-hak, kewajiban-kewajiban, kontrak, izin dan struktur-struktur.

(d) Masa sesudah Konsili Vatikan I dan memasuki Abad 20

--1 Gereja sebagai perhimpunan yang mau memantapkan Pemulihan

Keputusan Konsili dilaksanakan dalam bentuk Ensiklika-Ensiklika, pembinaan sistem pemerintahan (Curia)
Gereja, pembentukan Nunsiatur-Nunsiatur, aturan pengangkatan Uskup serta penyusunan Codex Juris Canonici
(CIC = Kitab Undang-undang Hukum Gereja).

Sikap Konsili Vatikan I yang melawan aliran-aliran pemikiran jaman itu masing berkelanjutan puluhan tahun
kemudian. Ini a.l. tampak dalam debat tentang 'yang disebut Modernisme' 118. Pius X menyebut Modernisasi sebgai
wadah segala penyelewengan saat itu dan mengutuknya sumpah 'anti-modernisme' (bdk DS 3475-3500). Kecuali
itu banyak hambatan dialami oleh pembaharuan-pembaharuan di Itali, Perancis, Jerman 119. Hal itu mengakibatkan
Gereja lebih kaku menutup diri dari aneka perkembangan dunia (selain beberapa lingkungan yang bersikeras untuk
membaharui gereja: di bidang Tafsir Kitab Suci, Liturgi, Teologi). Gereja sebagai Lembaga terasa terlalu tertutup
bagi bisikan roh dalam perubahan sosial di masyarakat. Dalam keadaan itu orang berusaha untuk memahami
Gereja dari atas. Artinya Gereja mau mulai dilukiskan melalui ucapan-ucapan tentang Paus dan kekuasaan
primatnya. Gambaran Gereja Belluarminus dipertahankan terus: khususnya dari sudut bagian rumusan bahwa
'Gereja itu perhimpunan manusia ... yang terikat pada pemimpinnya yang kelihatan .... Seri Paus'.

--2 Gereja sebgai jemaat yang mencari sumbernya

Sementara itu banyak usaha dicurahkan untuk menemukan tolok ukur pelbagai gambaran Gereja itu. Dan
tolok ukur itu dicari orang dlam sejarah dan akar gereja: agar Gereja yang sejati dapat dilukiskan dengan tepat 120.

39
Kecuali itu pendalaman arti Gereja dicari pula lewat gerakan ekaristis liturgis yang didorong oleh Pius X dan
dikobarkan oleh L. Beauduin dalam khotbahnya yang terkenal pada Hari Katolik Belgia di Mecheln (1909). Sarana
yang dipakai adalah misa dan pembacaan Alkitab dalam paroki dan kelompok-kelompok kecil untuk lebih
merasakan hadirnya Tubuh Kristus. Hidup Gereja juga mau digiatkan dengan menghidupkan kerasulan awam yang
pada tahun 1925 diberi bentuk khusus oleh Pius XI, yakni Aksi Katolik. Kecuali itu Gereja Semesta juga mau
diwujudkan secara lebih nyata dengan dorongan Pius XI untuk mendidik rohaniwan-rohaniwati pribumi di luar
Eropa dan dengan persetujuannnya memberi ijin pemakaian adat-adat tertentu (Tiongkok, Jepang dll) dalam
Gereja. Dengan begitu tampaklah, bahwa Gereja menghargai segala kebudayaan dan mau diperkaya olehnya 121.
Gereja Katolik juga mencari jalan ke arah pemersatuan kembali sekian banyak kelompok Gerejawi dengan lebih
membuka jalan untuk mempelajari Gereja-gereja lain. akan tetapi pendalaman tentang hakekat gereja yang paling
menonjol adalah Ensiklik. Ensiklik ’Mystici Corporis Christi’ dari Paus Pius XII 122. Ini merupakan kelanjutan dari
Ensiklik Leo XII, ’Satis Cognitum’ (1896), yang menekankan hubungan Ekklesiologi dan Kristologi khususnya
Inkarnasi.

--3 Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus

(a) Pada sekitar Perang Dunia II berlangsunglah diskusi tentang faham Ekklesiologi yang paling tepat 123. Pius
XII melontarkan gambaran 'Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus" . Dalam ensiklik yang tersebut di atas,
diperlihatkanlah, bahwa gereja tak cukup dilukiskan sebagai perhimpunan secara Yuridis organisa toris. Pius XII
menekankan, bahwa kelembagaan Gereja harus dikaitkan dengan seluruh misteri Yesus Kristus dan iman kita
padaNya 124.

Meskipun begitu dari diskusi-diskusi sesudahnya toh kelihatan, bahwa dalam ensiklik itu ada beberapa hal
yang kurang dijelaskan, yang dapat memberi kesan, bahwa beberapa arti "TUBUH dicampuradukkan. 'Tubuh"
dapat bermaksud menyebut 'Tubuh Ekaristik' yang memang diselami oleh Gereja dalam Perayaan ekaristi. 'Tubuh
Mistik' dapat pula membawa bayangan Gereja yang dikaitkan dengan penjelmaan sebagai 'Penjelmaan Kristus
yang terus menerus' 125. Gereja juga dapat disebut 'Tubuh' dalam kesejajaran dengan badan-badan moral lain.
Pendeknya, ensiklik tersebut tidak cukup memilah-milahkan pelbagai pengertian itu. Kendati keberataan-keberatan
tersebut, toh ensiklik ini berjasa dengan mengangkat problematik ekklesiologik menjadi bahan surat besar pertama
yang ditulis oleh seorang Paus.

(b) 'Mystici Corporis' juga menyamakan gereja Katolik Roma dengan tubuh Mistik Kristus (no. 668)

Kelak andangan ini diulang oleh Pius XII dalam ensiklik 'Humani Generis' 126. Dengan keterangan ini Gereja
mau dijelaskan tidak sebgai berbadan moral atau badan fisik melainkan sebgai paguyuban yang bertingkat di atas
segala tata kodrati manapun berkat Roh Penebus yang menjiwainya. Istilah 'katolik 'Toma' mau menekankan
kekhasan gereja ini dibanding dengan Gereja-gereja lain, sejauh menerima prinsip hirarkis, sebgaimana
dirumuskan Konsili Vatikan I mengenai Primat dan Kekuasaan Mengajar Paus. Cara "Mystici Corporis' ini
menggariskan batas jelas antara rekan-rekan ekumenik; hal itu dapat menghambat ekumene. Vatikan II kekak
akan merumuskan situasi itu dengan cara yang lebih elegan dan simpatik: "Gereja Kristus dalam dunia dibentuk
dan ditata sebagai perhimpunan. Gereja ini berasa dalam Gereja Katolik, yang dipimpinnya oleh Penganti Petrus
dan para Uskup dalam kebersamaan. Hal itu tidak menutup kemungkinan, bahwa di luar jajarannya tertemukan
beraneka unsur pengudusan dan kebenaran" 127.

(c) Warga Sejati Tubuh Mistik Kristus adalah orang-orang Kristiani Katolik Roma

'Mystici Corporis' menegskan bahwa yang sungguh-sungguh menjadi anggota tubuh Mistik Kristus hanyalah
mereka yang telah menerima Babtis, mengakui iman yang benar, tidak memisahkan diri karena 'heresi' (ikut
Gereja Reformasi) atau 'schisma' (ikut Gereja Timur) atau karena dikucilkan (apostasi). Orang-orang Kristiani
'non-katolik' disebut oleh ensiklik ini sebagai 'mempunyai sesuatu hubungan dengan Tubuh Mistik Kristus sejauh
secara sadat merindukannya'. Hal ini menimbulkan diskusi tentang pertanyaan 'apakah untuk diselamatkan orang
harus masuk gereja?'. Pada 8-8-1949 Kongregasi Ajaran Iman menulis kepada Uskup Agung Cushing di Boston,
bahwa Gereja perlu untuk keselamatan. ini merupakan penafsiran baru tentang pandangan Cyprianus 'extra
εκκλήσίάm nulla sals' (di luar gereja tak ada keselamatan). Diskusi ini akn berkecamuk terus pada tahun -tahun
berikutnya 128.

3.5. Gereja sekitar Konsili Vatikan II

a. Hidup Konkret Abad 20

1) Gerakan-gerakan baru dalam Gereja

Pada abad ke 20 sebelum Vatikan II timbul gerakan baru dalam Gereja yang bertujuan membarui Gereja
yang kenyataannya mengisolir diri atau menutup jendela terhadap dunia dan agama-agama lain. Gerakan-gerakan
ini sangat berjasa dalam membangkitkan kembali kesadaran bahwa Gereja pada dasarnya adalah misteri:

40
pernyataan dan pelaksanaan rencana keselamatan Allah yang telah diwujudkan sepenuhnya dalam diri Kristus.
Gereja bukanlah pertama-tama merupakan societas perfecta yang tersusun secara hirarkis. Tetapi benar juga,
kalau dikatakan, kesadaran bahwa Gereja adalah misteri menyebabkan munculnya gerakan-gerakan baru itu.

Telah muncul dalam Gereja gerakan-gerakan sosial yang memperhatikan nasib kaum buruh. Disadari oleh
Gereja bahwa kaum buruh yang tertindas oleh kaum majikan tidaklah di luar rencana keselamatan Allah. Gereja
mempunyai misi untuk menyatakan dan melaksanakan rencana Allah itu. Gerakan-gerakan itu terlebih lagi
didukung oleh ensiklik-ensiklik sosial. Leo XIII dalam 'Rerum Novarum' (1891) melukiskan situasi kaum buruh:
mereka melaksanakan kerja paksa dan diperluakukan sebagai budak-budak. Padahal, sesungguhnya mereka harus
diberi kesempatan memperoleh milik dan harta benda sendiri, dan mengorganisir diri. Gereja akan mendukung
segala usaha negara-negara demi peningkatan situasi hidup dan kerja kaum buruh. Pius XI dalam 'Quadragesimo
Anno' (1931) meminta reformasi struktur-struktur masyarakat dan membela prinsip subsidiaritas. Yohanes XXIII
dalam 'Mater et Magistra' (1961) menuntut hak bagi kaum buruh untuk turut menentukan bentuk-bentuk dan
perkembangan perusahaan. Di banyak negara imam-imam dan kaum awam mulai bergerak demi pembaharuan
struktur-struktur sosial.

Pada abad ke 20 juga Gereja Katolik kembali mulai menyadari bahwa rencana keselamatan Allah yang
direalisasikan sepenuhnya dalam diri Kristus tidak hanya menjadi monopoli Gereja Katolik. Gereja -gereja lain juga
menyatakan dan melaksanakan rencana itu. Sekurang-kurangnya mereka mengakui Yesus Kristus. Demikian
dalam Gereja muncul gerakan ekumenis yang memperjuangkan kesatuan gereja-gereja Kristiani. Meskipun dalam
abad-abad sebelumnya diketemukan usaha-usaha demi kesatuan kaum Kristiani, namun pada permulaan abad ke
20 usaha-usaha itu menjadi suatu gerakan mondial. Gerakan itu mulai di luar Gereja Katolik. Gereja Anglikan
sangat aktif (Gerakan Oxford); juga gerakan Misi kaum Protestan membangkitkan kerinduan akan kesatuan
(Edinburgh 1910). Dari pihak Katolik Leo XIII menerbitkan ensiklik 'Satis Cognitum' mengenai kesatuan Kristiani
tanpa polemik terhadap kaum Kristiani bukan katolik, tetapi juga tanpa dorongan positif. Mengenai hubungan
katolik-orthodox Leo XIII menulis dua ensiklik yang kedua-duanya bersifat positif, malahan kontak-kontak praktis
disarankannya. Khususnya Pius XI sangat berusaha demi kontak dengan kaum Ortho dox (Rerum Orientalium,
1928). Teolog-teolog perseorangan turut ambil bagian, misalnya, Paul Couturier di Lyon (1932, 'Minggu Doa
Sedunia'), teolog-teolog dari 'nouvelle théologie’ di Perancis, Verkündigungstheologie di Innsbruck dan teolog
Jerman dari sekolah Tübingen.

Lagi, yang lebih istimewa ialah munculnya dalam Gereja gerakan Liturgi yang terlebih membangkitkan
kesadaran bahwa Gereja adalah misteri. Dikatakan oleh Kevin McNamara: "Much of the inspiration for this theology
came from athe liturgical movement which had then got under way, and the new awareness it brought with it of
the presence of Christ in the Church. The bonds uniting the members of the worshipping community to Christ and
one another made them conscious of the Church as shared life in Christ. Around this realization of the Church as
'mystery', as it may be called, there developed a prowerful movement of religious life, manifesting itself not only in
the Liturgy, too, there developed naturally a new interest in the bible. Men sought in the bible a deeper
understanding of the liturgy, and especially a more direct contact with the person of Christ, of whose presence in
the liturgy and in the whole Church they were becoming increasingly aware. Many were led too to a new
appreciation of the writings of the Fathers, in which was to be found the sense of the scriptures as understood by
Christian antiquity, often expressed in the form of homilies on scriptural readings from the liturgy" (Kevin
McNamara, From Möhler to Vatican II: The Modern Movement in Ecclesiology, dalam Vatican II, The
Constitution on the Church, ed. Kevin McNamara cs, London, 1968, p.12-13). Permulaan gerakan Liturgy
tergabung dengan nama Dom Gueranger (1837-1875), yang memugar Tarekat Benediktin di Perancis.
Perintis-perintis lainnya: Dom Beauduin, Dom Casel, Pius Parsch. Gerakan ini memuncak dalam ensiklik ' Mediator
Dei' (1974) dari Pius XII yang memajukan keaktifan kaum awam dalam Liturgi dan menjadi pendahuluan
Konstitusi Liturgi Vatikan II.

2) Gereja hidup dalam dunia sekuluaristis

a. Situasi masyarakat manusia dewasa ini

--1. Dinamis

Ciri khas situasi dewasa ini ialah: kita hidup dalam masa peralihan revolsi industri dalam abad ke 19
membuka tahap baru dalam sejarah segala bangsa. Sejak waktu itu perubahan-perubahan ekonomis, sosial dan
politik tak putus-putusnya berjalan terus. Ternyata revolsi industri tersebut tidak hanya penting bagi industri
sendiri, melainkan menyangkut segala dimensi kehidupan manusia, bahkan manusia di tempat-tempat terpencil.
Tentu tiap-tiap masa dalam sejarah mengenal perubahan-perubahan, tetapi kiranya dewasa ini perubahan terus
menerus merupakan ciri khasnya. Itu bukan hanya berlaku bagi hidup kemasyarakatan seu mumnya, melainkan
juga bagi masing-masing pribadi: orang-orang naik turun di tangga sosial; situasi hidupnya tidak hanya bergan-
tung pada kelahirannya, melainkan pada kepandaiannya dan inisiatifnya, yang tentu tidak terlepas dari situasi dan
sekitarnya.

Corak dinamis masyarakat kita bukanlah gejala yang bersifat sementara. Kiranya pasti, itulah menjadi corak
menetap. Faktum ini menuntut baik dari masing-masing individu, maupun dari Gereja dan institut lain suatu

41
kesanggupan dan kerelaan untuk tetap mereformir diri, terus menerus mencari orientasi, lagi suatu daya pikir
yang kreatif.

--2. Kesatuan

Bangsa-bangsa terikat satu sama lain berdasar atas aneka kaitan ekonomis, politis dan kultural. Saling
ketergantungan antara bangsa dan individu semakin erat. Perkembangan teknik, pengintensifan produksi
ekonomis, peningkatan di bidang lalulintas, pengaruh media massa, semuanya ini merupakan faktor-faktor yang
menjembatani jarak-jarak antara manusia satu dengan yang lain. Karena informasi yang berlimpah-limpah
manusia sadar akan dan tahu tentang nasib orang-orang yang hidup berjauhan dengan mereka dalam
kebudayaan-kebudayaan lainnya. Krisis di belahan bumi yang lain dapat mempengaruhi suasana kehidupan di sini.

Tetapi, kesatuan sejarah dunia dewasa ini tidak menghapuskan segala perbedaan antara bangsa-bangsa,
kebudayaan-kebudayaan, daerah-daerah dan benua-benua. Semua kebudayaan dan bangsa-bangsa yang saling
berbeda merupakan unsur-unsur dalam satu sejarah yang menyeluruh. Tiap-tiap bangsa boleh merupakan
rintangan atau rangsangan bagi bangsa yang lain. Tiada satu bangsa lagi yang indifferent terhadap yang lain.

--3.Urbanistis

Sebenarnya gejala bahwa manusia hidup dalam kota-kota bukanlah gejala modern. Tetapi pada awal masa
industrial berkembang ke kota besar. Hal ini disebabkan oleh perpindahan dari desa ke kota demi untuk mencari
pekerjaan. Perpindahan itu melahirkan cara hidup dan cara pikir yang baru. Apalagi kota -kota menjadi pusat-pusat
yang memiliki pengaruh atas cara hidup di desa pula.

Cara hidup di kota-kota disifatkan secara khusus oleh suatu poluarisasi antara ketertutupan dan keterbukaan,
antara dunia prive dan dunia publik. Dalam kota-kota manusia memainkan dua peranan: peranan di tengah-tengah
keluarganya (prive) dan peranan di luar dunia prive itu. Sering kedua peranan itu saling berbeda sekali. Semakin
kuat poluarisasi atau pertentangan antara kedua kutub itu, semakin jelaslah hidup orang mengota.

--4 Industrialistik

Seluruh kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh industri. Dengan masyarakat industrial tidak hanya
dimaksudkan suatu masyarakat yang mempunyai industri dengan mesin-mesin dan pabrik-pabrik yang ditemukan
dan diperkembangan oleh ilmu-ilmu teknik, melainkan lebih dari itu bahwa seluruh eksistensi manusia menurut
segala aspeknya dipengaruhi oleh teknik. Dalam masyarakat industrial selalu ada bahaya bahwa seluruh kehidupan
manusia dipandang dari sudut teknis dan fungsional. Misalnya manusia hanya dihargai menurut fungsinya dalam
masyarakat; waktu terluang hanya dilihat sebagai persiapan atas pekerjaan; pengetahuan hanya dihargai sejauh
fungsinya dalam proses teknik dan dalam ekonomi. Hal-hal yang bisa dibuat secara teknis dianggap dengan
sendirinya baik.

Teknik menjadi sungguh berkuasa. Berkat teknik manusia dapat membangun dunianya sendiri, menurut
pikiran-pikiran sendiri dan ke arah tujuan yang sendiri ia dapat tegaskan. Pada masa dulu tentu saja manusia
sudah tahu membuat alat-alat, tetapi alat-alat itu tidak lain daripada perpanjangan badannya sendiri. Jadi manusia
terikat pada kemungkinan-kemungkinan badannya sendiri. Manusia masih sanggup menguasai alat-alat yang
diciptakannya. Tetapi, karena penemuan-penemuan teknik dapat menciptakan hal-hal yang baru, yang mengatasi
kemampuan badannya. Manusia tahu membuat mesin-mesin yang bekerja ganti manusia. Pada masa dahulu
manusia yang menginginkan kebahagiaan harus menyesuaikan diri dengan tradisi-tradisi dan
kemungkinan-kemungkinan yang sudah ada. Penemuan-penemuan tetap bersifat aksidental. Dewasa ini, sejak
perkembangan teknik, manusia yang hendak menjadi bahagia harus mencari jalannya sendiri, membangun hidup
dan masa depannya, memperkembangkannya bakat-bakatnya. Pelbagai jalan terbuka baginya, tidak hanya
memandang, melainkan juga membikin dunia.

--5 Pluralistis

Masyarakat dewasa ini bersifat plralistis. Maksudnya ialah masyarakat yang tidak dijiwai oleh pandangan
hidup dan pandangan dunia yang homogen dan sama untuk semua anggota masyarakat itu, melainkan oleh
berbagai pandangan hidup, pandangan dunia, ideologi dan agama-agama. Masyarakat plralistis ialah masyarakat
di mana individu-individu dan kelompok-kelompok berpengaruh untuk menciptakan struktur-struktur yang selaras
dengan pandangan-pandangan dan keyakinan-keyakinan mereka sendiri. Mereka tidak dipaksakan untuk
menganut satu keyakinan umum, suatu pandangan masyarakat yang umum.

Tetapi apa sebabnya masyarakat masa dulu tidak bersifat plralistis? Dalam sejarah memang terdapat
pelbagai jenis masyarakat, misalnya masyarakat Tionghoa, India, Eropa Barat dan sebagainya, tetapi
masyarakat-masyarakat itu kurang mengadakan kontak satu dengan yang lain. Apalagi dalam masyarakat yang
terbatas secara geografis, diharapkan supaya masing-masing orang menyesuaikan diri dengan pola berpikir dari
masyarakat itu. Misalnya masyarakat Eropa Barat, di mana Gereja Kristiani memulaikan perkembangannya, dijiwai
oleh satu agama yakni agama Kristiani. Itu tidak berarti bahwa agama Kristiani saja menguniforMrkan semuanya,

42
sebab kentara juga bahwa masyarakat masa dulu yang lain dijiwai oleh satu agama atau pandangan hidup yang
uniform. Tentu juga dalam masyarakat masa dulu terdapat golongan-golongan yang ingin berpikir secara lain.
Tetapi ciri-khasnya masyarakat tak plralistis mengideaLkan uniformitas dan non-plralisme.

Selanjutnya, patut ditanyakan apa sebabnya masyarakat modern harus bersifat plralistis? Dalam masyarakat
modern dengan media-massa, tingkat pendidikan dan ilmu, kemungkinan untuk mem-perkembangkan diri,
kemungkinan untuk mendapat informasi tentang pelbagai hal, menyanggupkan manusia untuk memperoleh opini
sendi-ri, untuk melahirkan keyakinan secara bebas, untuk berlaku secara bebas dan untuk membentuk
struktur-struktur demi kebebasan dan kreativitas. Dapat dikatakan, plralisme adalah akibat intrinsik kebebasan
manusia.

b. Sekularisasi

Apakah yang merupakan arti dari istilah ini? Dapatlah disebutkan di sini tiga arti sekularisasi.
a. Dalam hukum Gereja sekularisasi seorang biarawan berarti dispensasi yang melepaskan orang dari
kaulnya, sehingga ia dapat pulang ke dalam dunia atau menjadi sekulir lagi.
b. Dalam hubungan Gereja dunia kata ini dipakai (barangkali) sejak abad ke 17 untuk peralihan
harta benda dan milik Gereja ke dalam tangan kekuasaan instansi-instansi sekulir. Hal itu dapat terjadi tanpa dan
dengan persetujuan Gereja. Baru sejak Revolsi Perancis sekularisasi menjadi suatu tindakan sepihak dari negara
sekulir yang merasa diri tidak terikat kepada Gereja dan menganggap diri berhak merebut milik Gereja.
c. Arti sekularisasi kemudian diperluas sedemikian rupa sehingga tidak saja menyangkut
orang-orang atau harta benda, melainkan juga berkaitan dengan susunan sosial masyarakat, ilmu-ilmu
pengetahuan, alam pikiran bahkan agama sendiri. Sekularisasi dalam arti ini merupakan suatu proses historis yang
sejauh dinilai secara positif tidak lain berarti suatu pembebasan yang berangsur-angsur dari pengawasan religius
dan metafisis.

Proses historis itu berjalan menurut tiga tahap:


a. Sekularisasi adalah pembebasan dari pengawasan gerejawi di bidang ilmu teknik, ekonomi,
rekreasi dan kesenian.
b. Sekularisasi adalah pembebasan dari dunia adikodrati (dunia baka): ruang hidup manusia tidak
terbagi lagi menurut dunia fana dan dunia baka yang saling terpisah. Manusia modern terjun dalam usaha-usaha
bagi dunia sini dan kuasa/pengaruh dunia adikodrati tidak dialami sebagai riil. Apalagi perhatian bagi dunia
adikodrati itu menghalangi jiwa bertindak demi masyarakat dunia sini.
c. Sekularisasi adalah pembebasan dari cara berpikir ontologis-essensialis. Cara berpikir demikian
berarti memandang atau mendefinisikan sesuatu menurut essensinya, 'in se', terlepas dari manfaat atau artinya
bagi manusia. Cara berpikir ini diganti dengan cara berpikir fungsional yang berarti menilai sesuatu menurut
fungsinya atau artinya bagi manusia; hakekat sesuatu adalah tidak lain daripada fungsi dan artinya itu.

Sesudah melihat ketiga arti sekularisasi, secara umum bisa dikatakan bahwa sekularisasi berarti dunia
adikodrati dan pikiran esensialistis kehilangan arti dan nilai bagi manusia yang terpesona oleh perkembangan ilmu
dan teknik. Karena dunia adikodrati kehilangan pengaruhnya, maka sekonyong-konyong manusia menghadap
tugas baru. Manusia baru mengambil-alih pemerintahan atas dunia dan hidupnya sendiri. Kalau sebelumnya Allah
dan wakil-wakil Allah di dunia ini (Gereja, khususnya hirarki) adalah subjek segala tindakan dan manusia
merupakan objeknya, maka gerakan sekularisasi berarti manusia menjadi subjek yang harus merancang kan dan
mengatur hidup dan masyarakat. Kalau sebelumnya dunia adikodrati (dunia fana) memberi nilai kepada hidup di
sini, maka sekarang manusia harus menciptakan nilainya. Kalau sebelumnya manusia dinormir oleh hukum-hukum
adikodrati, maka kini manusia sendiri harus mencari norma-norma dan hukum yang menjamin hidupnya. Kalau
sebelumnya tujuan hidup dan dunia terletak dalam hunia baka, maka kini manusia sendiri mencari tujuan
hidupnya.

c. Sekularisme

Selain bahwa masyarakat manusia dewasa ini dijiwai oleh sekularisasi, kita tidak boleh melupakan pengaruh
sekularisme atas masyarakat manusia dewasa ini. Apakah yang dimaksudkan dengan sekularisme?

Sekularisme berarti aliran dan sikap yang menutup diri bagi dan menyangkal segala transendensi dan
mencari jawaban terakhir tentang arti hidup manusia dalam dunia sini. Manusia terbelenggu atau diperbudak oleh
dunia dan dirinya sendiri. Keterbukaan terhadap sang transenden ditutup, sehingga dunia, hubungan antar pribadi
dan kebebasan didewakan.

d. Gereja dalam diaspora

Halnya bahwa masyarakat manusia dewasa ini diwarnai dengan sekularisasi dan sekularisme membuat Gereja
berada dalam diaspora. Apakah arti penegasan ini? Diaspora adalah kata Yunani. Kata kerjanya ialah diaspeiroo
yang berarti menyebarkan, memencar kemana-mana. Demikian diaspora berarti penghamburan, hal berserakan,
orang banyak yang bersorak-sorai, daerah-daerah pertebaran. Kata diaspora dihubungkan dengan orang-orang
Yahudi yang berdiam secara berserak-serak di antara kaum kafir di luar tanah Palestina. Dipergunakan juga oleh 1

43
Pt 1:1: "Dari Petrus, rasul Yesus Kristus, kepada orang-orang pendatang, yang tersebar di Pontus, Galatia,
Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia" Suratnya ditujukan kepada orang-orang Kristiani yang tersebar di antara kaum
kafir. Selanjutnya, kalau dikatakan Gereja dalam diaspora, itu berarti: "Orang-orang Kristiani yang
sungguh-sungguh bersatu dengan Gereja merupakan suatu minorita antara orang-orang bukan Kristiani. Dengan
ini Gereja tidak lagi berperanan sebagai pemimpin/penguasa duniawi dalam masyarakat modern, seperti terjadi
pada abad pertengahan. Gereja dan orang Kristiani tidak sanggup lagi secara terang-terangan dan mencolok
memberi cap Kristiani kepada masyarakat modern. Gereja menjadi gejala pinggiran dalam masyarakat modern.
Kaum Kristiani tidak sanggup mempengaruhi secara fundamental pola berpikir, pola bertindak masyarakat modern.

Tetapi, bahwa Gereja sedunia berada dalam situasi diaspora tidak usah mengejutkan kita dan membuat kita
mengundurkan diri ke dalam ghetto yakni menciptakan suatu situasi buatan, hidup dan bekerja seolah-olah situasi
diaspora tidak ada, membangun suatu lingkaran tertutup di sekitarnya, mempertahankan situasi dulu, di mana
Gereja merupakan pengawas seluruh masyarakat, memandang masyarakat dunia yang bukan Kristiani sebagai
yang jahat, durhaka, tidak bermanfaat sedikit pun bagi Gereja, memandang dunia yang bukan Kristiani katolik
sebagai dunia yang sudah dihukum oleh Allah, sehingga pergaulan dengannya dilarang dan tidak berguna.
Sebaliknya situasi diaspora seharusnya membuat Gereja menemukan kembali hakekatnya yang sebenarnya:
Gereja adalah misteri atau Gereja adalah sakramen keselamatan dunia. Dalam hal ini Ge-reja ditempatkan dalam
keterbukaan atau keterarahan kepada Allah dan kepada dunia dan tidak menjadikan dirinya sebagai sentrum atau
pusat segala-galanya.

b. Menyongsong Perubahan Gambaran Gereja

Sesudah 'Humani Generis' (12-8-1950) muncul suatu tulisan yang menarik perhatian banyak pengamat
ekklesiologi yakni O.SEMMELROTH, Die Kirche als Ursakrament 129). Sommelroth menonjolkan hadirnya rahmat
yang tak kelihatan dalam gereja yang kelihatan. Maka Gereja menjadi 'Sakramen Perdana' yaitu kerangka segala
sakramen sebagai 'tanda dan penyataan rahmat'. selain itu banyak pula diskusi seputar 'Gereja sebgai struktur
kelembagaan' dan 'Gereja sebgai paguyuban' (Congar di banyak tulisannya). Kebanyakan penulis condong ke arah
pendapat, bahwa Gereja yang berstruktur ini lebih berupa Paguyuban. Tetapi kalau begitu layaklah kalau lalu
muncul soal keanggotaan Gereja. Dan hal ini menyangkut permasalahan dogmatik maupun kanonistik. Sebab
menurut CIC (lama) 87, setiap orang melalui babtis menjadi anggota Gereja. Padahal dogmatik memperhitungkan
unsur-unsur kebebaan, keputusan lingkungan, kesadaran dst, yang tak dapat sepenuhnya dinilai dari sudut yuridis.
Diskusi ini membawa orang pada gagasan lebih lanjut tentang kemungkinan memandang keanggotaaan Gereja
secara berjenjang 130). Perkembangan itu semua menyiapkan Gereja untuk menyongsong perubahan gambaran
sebagaimana tersirat dan tersurat dalam Konsili Vatikan II.

KONSILI VATIKAN II

Konsili Vatikan II merupakan Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja. Antara tgl. 11 Oktober 1962 dan
tgl. 8 Desember 1965 diadakan empat periode Sidang. Jumlah Uskup yang hadir lebih banyak dan berasal dari
lebih banyak negara dari pada yang menghadiri Konsili-Konsili sebelumnya[1]. Jumlah dokumen yang dihasilkannya
pun lebih banyak, dan dampak-pengaruhnya atas kehidupan Gereja katolik lebih besar dari peristiwa mana pun
sesudah zaman Reformasi pada abad XVI.

a. Persiapan

Konsili ini didahului oleh Konsili Vatikan I. Dalam Konsili Vatikan I antara lain dirumuskan primat yurisdiksi
Paus dan Infallibilitasnya, apabila ia sebagai Guru tertinggi Gereja bersama segenap Gereja dengan seluruh
kewenangan mengajarnya menyatakan suatu kebenaran yang diwahyukan Allah sebagai suatu kebenaran yang
harus diterima oleh seluruh Gereja sebagai kebenaran iman. Dengan begitu tidak mau dikatakan, seakan -akan
Gereja tidak memerlukan lagi suatu konsili, karena pengajaran yang tidak dapat salah toh sudah dapat diterima
dari Paus, - suatu hal yang malah juga lebih praktis daripada mengumpulkan uskup seluruh dunia. Kenyataan
bahwa dikumpulkanlah Konsili Vatikan II itu memberi tanda bahwa Gereja menjunjung tinggi prinsip kolegial dan
sinodal. Jelas bahwa Paus tidak dapat diidentikkan begitu saja dengan seluruh Gereja, kendati kuasa primatnya.
Hanya Pius XII yang antara Vatikan I dan Vatikan II menggunakan kuasa mengajarnya yang khas itu pada tahun
1950. Begitulah menjadi jelas juga, bahwa para Uskup memang mempunyai peran penting bagi Gereja Universal,
tidak hanya bagi Gereja Setempat.

Pengikutsertaan warga Gereja non-uskup dalam Konsili Vatikan II terbatas sebagai penasihat karena sidang
itu merupakan pertemuan Dewan Para Uskup, yang bertanggungjawab atas ajaran Gereja. Yohanes XXIII
menyatakan keinginannya untuk memanggil Konsili pada 25 Januari 1959 dan sudah pada 17 Mei 1959 ia
membentuk Panitia Persiapan Konsili. Pada 5 Juni 1960 sudah dibentuk 10 Komisi dan 3 Sekretariat untuk
mempersiapkan bagan-bagan diskusi dan organisasi. Pada 25 Desember 1961 dengan diterbitkannya Konstitusi
Apostolik "Humanae Saltatis" secara resmi dimaklumkanlah Konsili. Pada 2 Fe bruari 1962 Motu Proprio "Consilium"
menegaskan bahwa Konsili akan dimulai 11 Oktober 1962.
11 Oktober 1962 : Sidang Umum I dihadiri 2381 uskup. Ditutup 8 Desember 1962.
3 Juni 1963 : Yohanes XXIII meninggal.

44
27 Juni 1963 : Paulus VI memanggil kembali sidang Konsili.
29 September '63 : Sidang Umum II.
4 Desember 1963 : Sidang pengumuman Konstitusi Liturgi dan Dekrit Komsos.
14 September '64 : Sidang Umum III.
21 November '64 : Sidang pengumuman Konstitusi LG; OE; UR.
14 September '65 : Sidang Umum IV dihadiri 2400 uskup.
15 September '65 : Motuproprio Paulus VI "Apostolica Sollicitudo": pembentukan
Sinode Para Uskup.
28 Oktober '65 : Sidang pengumuman CD; OT; PC; GE; NAE.
18 November '65 : Sidang pengumuman Konstitusi Dogmatis DV dan AA.
7 Desember 1965 : Sidang pengumuman Konstitusi Pastoral GS; PO; AG; DH.
8 Desember 1965 : Sidang Penutup.

Pada masa persiapan itu ada sekitar 70 skema yang dibicarakan dan disiapkan untuk didiskusikan dalam
Konsili. Suatu jumlah yang tidak kecil Apalagi kalau diingat, bahwa hanya 16 tema yang tertinggal untuk
nyata-nyata dibicarakan dalam Konsili. Itu pun dengan merombak total beberapa skema.

Baik Paus Pius XI (1922-1939) maupun Paus Pius XII (1939-1958) pernah berpikir tentang membuka kembali
Konsili Vatikan I (1869-1870), yang karena pecahnya perang antara Perancis dan Prusia (Jerman) terpaksa
dihentikan secara mendadak[2]. Tetapi Paus Yohanes XXIII-lah yang mengejutkan umat katolik sedunia dengan
maklumat beliau yang penuh optimisme pada tgl. 25 Januari 1959 tersebut, bahwa beliau bermaksud mengundang
suatu Konsili[3]. Yang beliau maksudkan bukan sekedar melanjutkan Konsili Vatikan I, melainkan
menyelenggarakan Konsili yang baru sama sekali[4]. Beliau mengharapkan Konsili akan mengajak Gereja semesta
mengevaluasi kehidupan serta pelaksanaan misinya. Ada tiga sasaran yang mau dicapai, yakni: pembaharuan
rohani dalam terang Injil, penyesuaian dengan masa sekarang ("aggiornamento") untuk menanggapi
tantangan-tantangan zaman modern[5], dan pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat Kristiani [6].

Persiapan Konsili dimulai dengan undangan yang ditujukan kepada semua Uskup di seluruh dunia, para
pemimpin tarekat-tarekat imam religius, universitas-universitas serta fakultas-fakultas katolik, dan para anggota
Kuria Romawi, untuk mengemukakan saran-saran mereka bagi permusyawarahan dan penyusunan acara Konsili.
Di sepanjang sejarah Gereja belum pernah diadakan konsultasi seluas itu [7]. Hasilnya ialah lebih dari 9300 saran.
Seluruh bahan itu dipilah-pilah, didaftar, dan dibagi-bagikan kepada sepuluh komisi persiapan, yang oleh Paus
Yohanes diangkat pada tgl. 5 Juni 1960 untuk menyiapkan konsep-konsep naskah ("schemata") untuk dibahas
dalam Konsili.

Komisi-komisi mengadakan rapat-rapat kerja antara bulan November 1960 dan bulan Juni 1962, dan
menghasilkan lebih dari 70 naskah yang kemudian dirangkum menjadi sekitar 20 naskah. Setiap naskah diperiksa
oleh Komisi Persiapan Pusat, diperbaiki dengan memperhatikan catatan-catatan yang dilampirkan, dan akhirnya
dimohonkan persetujuan Paus. Pada musim panas tahun 1962 sejumlah naskah diedarkan di antara para Uskup
sedunia sebagai bahan untuk periode Sidang yang akan dimulai pada musim gugur.

b. Sidang Pertama

Konsili Vatikan II menyelenggarakan empat periode Sidang, yakni: 11 Oktober - 8 Desember 1962, 29
September - 4 Desember 1963, 14 September - 21 November 1964, dan 14 September - 8 Desember 1965. Dalam
uraian pengantar ini tidak mungkin memaparkan ikhtisar sejarah Konsili[8]. Tetapi baiklah disajikan catatan
tentang periode Sidang pertama, yang paling dramatis dan paling peting. Suasana dan keputusan -keputusan yang
diambil ketika itu menggariskan haluan dasar seluruh Konsili. Ada empat momen yang mempunyai relevansi khas.

Momen relevan yang pertama ialah Amanat Pembukaan yang disampaikan oleh Paus Yohanes XXIII pada tgl.
11 Oktober 1962. Beliau mendesak supaya Konsili menempuh arah pastoral[9], menghadapi dunia yang
memerlukan uluran belaskasihan[10]. Bukan maksud utamanya untuk mengulang-ulang saja apa yang jelas sudah
merupakan ajaran katolik, atau melontarkan kecaman-kecaman ("anathema") terhadap kesesatan-kesesatan.
Kendati mendesaknya tantangan-tantangan zaman, para Uskup diundang untuk menjauhkan sikap murung
terhadap dunia modern, dan untuk merenungkan: mungkinkah Allah justru hendak memulai suatu era baru dalam
sejarah manusia? Mereka diharapkan membedakan antara pokok-pokok iman di satu pihak, dan di pihak lain
cara-cara mengungkapkannya yang tergantung juga dari situasi dan kondisi yang silih-berganti, serta bagaimana
pun juga harus menaggapinya. Jadi soal utama ialah: bagaimana pusaka iman diungkapkan dalam konteks situasi
masa kini, untuk sungguh menyentuh hati manusia zaman sekarang dan memecahkan masalah-masalahnya yang
aktual.

Momen kedua yang relevan ialah: ketika pada sidang kerja pertama para Uskup menyatakan tidak bersedia
untuk begitu saja menerima para anggota komisi-komisi konsili, yang disodorkan dalam daftar yang sudah siap,

45
melainka memutuskan untuk memilih sendiri para anggota komisi-komisi. Ketika itu peristiwa itu dianggap
mengungkapkan, bahwa cukup banyak Uskup tidak setuju dengan nada dan isi pokok banyak naskah yang telah
disiapkan. Mereka menginginkan waktu secukupnya untuk saling mengenal, dan memilih para anggota
komisi-komisi, sehingga tidak begitu saja diulangi tekanan-tekanan naskah-naskah persiapan.

Momen ketiga yang sinyifikatif ialah perdebatan Konsili tentang Skema mengenai Liturgi. Diskusi itu
mencerminkan, bahwa mayoritas para Uskup mendukung ajakan Paus untuk membaharui kehidupan Gereja.
Maksud mereka makin jelas ketika dimulai perdebatan tentang Skema "Tentang Sumber-sumber Perwahyuan".
Teks itu oleh banyak Uskup dikritik dengan tajam sekali, dan pada pemungutan suara menjelang akhir diskusi lebih
dari 60% menghendaki agar Skema dibatalkan.

Meskipun jumlah suara itu tidak mencukupi untuk mengembalikan Skema, Paus Yohanes memerintahkan
perombakannya sama sekali. Momen keempat yang dramatis itu menampilkan maksud mayoritas para Uskup
untuk menempuh haluan, yang dalam berbagai aspek menyimpang dari sikap-sikap dan strategi-strategi, yang
menandai Katolisisme Romawi selama 150 tahun sebelumnya.

Paus Yohanes XXIII meninggal pada bulan Juni 1963, dan digantikan oleh Paus Paulus VI. Salah satu tindakan
Paus baru yakni: mengumumkan bahwa Konsili akan dilanjutkan, dan harus tetap mengikuti haluan yang telah
digariskan oleh Paus Yohanes dan dikukuhkan selama periode Sidang I. Selama tiga periode Sidang berikut yang
diketuai oleh Paus Paulus VI terlaksanalah karya pokok Konsili.

c. Dokumen-dokumen Konsili

Konsili Vatikan II menghasilkan enambelas dokumen, yakni empat Konstitusi (tentang Liturgi, tentang Gereja,
tentang Wahyu Ilahi, dan tentang Gereja dalam Dunia Modern), sembilan Dekrit (tentang Upaya-upaya Komunikasi
Sosial, tentang Gereja-Gereja Timur Katolik, tentang Ekumenisme, tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam
Gereja, tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, tentang Pembinaan Imam, tentang Kerasulan
Awam, tentang Kegiatan Misioner Gereja, dan tentang Pelayanan dan Kehidupan para Imam), dan tiga Pernyataan
(tentang Pendidikan Kristiani, tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristiani, dan tentang
Kebebasan Beragama). Judul-judul itu sudah menampakkan, betapa luaslah jangkauan Konsili.

Dokumen utama Konsili ialah Konstitusi dogmatis tentang Gereja ("Lumen Gentium")[11]. Titik-tolaknya ialah
Eklesiologi resmi yang dominan menjelang Konsili, dan ditandai dengan tekanan pada dimensi-dimensi
kelembagaan Gereja[12]. Konstitusi mulai dengan pandangan tentang Gereja sebagai Misteri, sebagai persekutuan
beriman, yang dipanggil untuk ikut menghayati hidup Tritunggal mahakudus. Persekutuan dalam Allah itu
membuahkan persekutuan antara para anggota Gereja, yang menjadikan mereka Umat Allah, Tubuh Kristus dan
Kenisah Roh Kudus. Dalam satu Gereja dimensi ilahi dan manusiawi menciptakan suatu gejala sosial tersediri,
Gereja Kristus yang "berada dalam" Gereja Katolik Romawi, kendati banyak unsur -unsurnya yang baku terdapat
juga di luar batas-batasnya yang kelihatan[13].

Selanjutnya "Lumen Gentium" menguraikan, bahwa dalam Gereja sebagai Umat Allah terwujudlah Misteri
dalam kurun sejarah antara Kenaikan Kristus ke Sorga dan Kedatangan-Nya pada akhir zaman[14]. Ditekankan
kesetaraan fundamental martabat para anggota, yang mendasari perbedaan-perbedaan antara hirarki, kaum
awam dan para religius. Orang menjadi warga penuh dalam Gereja, bila ia memiliki Roh Kristus, dan berada dalam
persekutuan iman, Sakramen-Sakramen, dan tata-laksana serta struktur gerejawi. Gereja itu bersifat "katolik",
artinya: menjangkau semua bangsa dan kebudayaan, dipanggil untuk menghimpunnya di bawah Kristus Tuhan,
dan untuk memperkaya Gereja semesta melalui pertukaran timbal-balik sumber-sumber budaya pelbagai bangsa.
Dalam Konstitusi ini dan dalam dokumen-dokumen lain Konsili kuat-kuat menekankan teologi Gereja setempat;
dengan kata lain: prinsip, bahwa misteri Gereja selalu diwujudkan dalam jemaat-jemaat setempat, paroki-paroki,
keuskupan-keuskupan, wilayah-wilayah geografis dan budaya yang lebih luas. Perspektif itu khususnya nampak
dengan jelas dalam Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja ("Ad Gentes"). Perspektif teologis dan rohani dua bab
pertama "Lumen Gentium" dijabarkan dalam Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi ("Dei Verbum") dan
Konstitusi tentang Liturgi ("Sacrosanctum Consilium")[15]. "Dei Verbum" memandang perwahyuan sebagai komu-
nikasi diri Allah melalui sabda dan karya-Nya, yang mencapai kesempurnaannya dalam Yesus Kristus. Perwahyuan
pembawa penebusan itu disalurkan melalui Kitab suci dan Tradisi. Dalam uraiannya tentang kedua pengantara
perwahyuan itu Konsili menekankan peranan sentral Kitab suci, dan mendukung sahnya penelitian modern secara
kritis ilmiah. Digarisbawahi pula peranan Tradisi, yang difahami sebagai proses hidup menerima serta menafsirkan
Kitab suci dalam kenyataan hidup Gereja sehari-hari.

Sesudah pengantar teologis tentang peranan liturgi dan khususnya Ekaristi suci yang bagi Gereja penting
sekali, Konstitusi "Sacrosanctum Concilium" menggariskan prinsip-prinsip pembaharuan hidup liturgis Gereja
secara mendalam. Upacara-upacara perlu diperbarui sedemikian rupa, sehingga lebih jelas melambangkan misteri
penyelamatan dan memungkinkan partisipasi aktif yang lebih penuh oleh semua warga Gereja.

46
Sesuai pembahasan Gereja sebagai Misteri dan Umat Allah, "Lumen Gentium" mengarahkan perhatian kepada
penggolongan anggota Gereja. Bab III menguraikan peranan hirarki [16], khususnya episkopat, dengan maksud
mengimbangi tekanan Konsili Vatikan I pada wewenang dan "tidak dapat sesatnya" ("infallibilitas") Paus, dengan
menempatkan pelayanan kesatuan dalam konteks lebih luas Dewan para Uskup. Diajarkan sifat sakramental
episkopat, begitu pula tanggugjawab Uskup atas Gereja setempat dan atas kesejahteraan Gereja semesta. Ajaran
Konsili Vatikan I tentang Wewenang Mengajar ("Magisterium") diulangi, tetapi sekaligus ditafsirkan secara lebih
penuh dari yang mungkin tercapai pada tahun 1870. Dua artikel terakhir menguraikan imamat, dan
mencantuMrkan keputusan untuk memulihkan diakonat sebagai pelayanan tetap. Bahan Bab III itu dilengkapi
dengan Dekrit-Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup ("Christus Domius"), tentang Pelayanan dan kehidupan
para Imam ("Presbyterorum Ordinis"), dan tentang Pembinaan Imam ("Optatam totius"). Bab IV "Lumen
Gentius" menguraikan peranan kaum awam[17]. Disajikan "gambaran tipologis" awam sebagai orang Kristiani, yang
berhak penuh untuk ikut menghayati kehidupan dan menunaikan misi Gereja, dengan hidup secara Kristiani dalam
dunia sekuluar. Awam menghadirkan Gereja di dunia, dan dipanggil untuk menanggapi masalah-persoalan
sehari-hari dengan sabda serta rahmat Kristus.

Sekaligus ia menyumbangkan pandangan maupun pengalamannya tentang hidup sekuluar demi


pembangunan Gereja. Prinsip-prinsip yang digariskan dalam bab ini secara lebih penuh dijabarkan dalam Dekrit
tentang Kerasulan Awam ("Apostolicam Actuositatem").

Bab VI tentang para religius dalam Gereja menjelaskan makna tiga kaul, yang diikrarkan oleh para religius
untuk menerima tantangan nasehat-nasehat Injili. Bab ini mendorong mereka untuk menunaikan tanggungjawab
mereka sendiri demi kehidupan dan misi Gereja. Dekrit "Perfectae Caritatis" menyajikan prinsip-prinsip tentang
Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius [18], yang sekaligus mencerminkan cita-cita "aggiornamento" untuk
seluruh Gereja: 1) kembali kepada Injil sebagai pedoman hidup yang utama; 2) kembali kepada sumber-sumber
karisma dan spiritualitas masing-masing tarekat; 3) integrasi dalam Gereja seluruhnya; 4) menanggapi kebutuhan
zaman dalam perihidup maupun kerasulan; 5) penghapusan diskriminasi antara para anggota[19].

Dalam Bab V dan VII "Lumen Gentium" kembali memandang Gereja semesta, sambil menekankan panggilan
semua orang untuk kesucian dan persekutuan Gereja di dunia dengan Gereja yang Jaya dalam Kerajaan Allah. Bab
terakhir Konstitusi dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria, dan menjadikan peranannya sebagai anggota
maupun lambang Gereja kunci untuk menafsirkan teologi tentang Maria.

Eklesiologi "Lumen Gentium" yang lebih mendalam dan lebih kaya besar sekali dampaknya atas
hubungan-hubungan ekumenis antara Gereja katolik dan Gereja-Gereja serta Jemaat-jemaat Kristiani lainnya.
Hubungan-hubungan itu oleh Konsili dijajagi baik alam "Lumen Gentium" maupun dalam Dekrit tentang
Ekumenisme ("Unitatis redintegratio"), dan Dekrit tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan
Kristiani ("Nostra Aetate"). Dokumen-dokumen itu mencetuskan kesanggupan Gereja yang antusias untuk
menggantikan sikap curiga dan bermusuhan antar Gereja dan antar Agama dengan sikap dialog dan kerjasama [20].

Konsili juga menyajikan dua dokumen untuk menanggapi situasi Gereja dalam dunia modern. "Gaudium et
Spes", Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern, menyajikan citra Gereja yang berbagi kegembiraan
dan harapan, penderitaan dan kegelisahan dengan sesama sezaman [21]. Konstitusi GS mengandaikan semua yang
telah ditetapkan oleh Konsili tentang misteri Gereja, tetapi juga melengkapinya, sejauh menekankan bahwa
anggota Gereja ialah anggota masyarakat (bdk. GS 1), dan bahwa Gereja wajib bekerja sama dengan masyarakat
(bdk. GS 40)[22]. Bersama mereka semua Gereja ikut merasa bertanggungjawab untuk mengisi sejarah dunia.
Bagian I dokumen menyajikan refleksi teologis tentang hubungan Gereja dan dunia, serta secara istimewa
menekankan, bahwa pihak yang satu mempunyai sumbangannya kepada pihak yang lain. Asas -asas itu diterapkan
dalam bagian II pada masalah-masalah aktual tentang perkawinan dan keluarga, kebudayaan, kehidupan ekonomi,
sosial dan politik, serta tentang damai dan perang[23].

Dekluarasi tentang Kebebasan Beragama ("Dignitatis Humanae") mencantumkan pandangan Konsili tentang
soal Gereja dan negara. Konsili membela hak pribadi manusia atas kebebasan beragama, dan menentang
campurtangan pemerintah dalam palaksanaan hak itu. Dalam dokumen itu dan dalam Konstitusi "Gaudium et
Spes" Konsili menganjurkan sikap yang jauh lebih terbuka terhadap dunia modern dari pada yang terdapat dalam
Gereja katolik Roma selama 150 tahun sebelumnya.

Konsili ditutup pada tgl. 8 Desember 1965 dengan Amanat Paus Paulus VI [24], dan pembacaan "Pesan-Pesan
Kardinal", dan ditujukan kepada pelbagai kelompok: para pemimpin negara, kaum intelektual, para seniman, kaum
wanita, kaum miskin, mereka yang sakit dan menderita, kaum buruh dan generasi muda.

d. Dampak Konsili

Sebagai peristiwa Konsili mempunyai pengaruh yang besar sekali. Dalam kenangan Gereja Konsili merupakan
pengalaman pertama pelaksanaan kolegialitas. Kewibawaan tertinggi gerejawi [25]. Gereja, yang sampai saat itu

47
sering membanggakan sifatnya tetap tak berubah, menjalani evaluasi diri yang mendalam dan bersikap kritis
terhadap dirinya. Banyak sikap-sikap dan strategi-strateginya ditinjau kembali dan ditantang dalam terang Injil
dan dalam konfrontasi dengan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang.

Gejala itu berkelanjutan di masa pasca Konsili. Perubahan-perubahan yang paling menonjol terjadi dalam
Liturgi. Sebab Paus Paulus VI tidak hanya menghendaki supaya seruan Konsili untuk membaharui diri dilaksanakan
sepenuhnya, tetapi bahkan supaya pembaharuan itu lebih jauh lagi dari apa yang diharapkan Konsili.

Di pelbagai bidang kehidupan Gereja disetujui usaha-usaha pembaharuan: hubungan-hubungan antara klerus
dan awam, antara Uskup dan para imam, antara Roma dan Gereja-Gereja setempat, antara umat katolik dan umat
beragama lain, dan sebagainya. Usaha-usaha pembaharuan yang secara resmi direstui dan didukung sering pula
diiringi dengan gerakan-gerakan di kalangan umat yang penuh semangat. Di antara gerakan-gerakan itu ada yang
menanggapi seruan Konsili dan serasi dengan usaha-usaha pembaharuan yang resmi. Ada pula yang bersifat lebih
radikal dari apa yang digambarkan atau diperintahkan oleh Konsili.

Konsili disambut secara berlain-lainan di pelbagai kawasan dunia dan oleh bermacam-macam lingkungan
budaya. Tetapi kiranya tidak berlebihan mengatakan, bahwa tiada Gereja di dunia yang sama sekali tidak terkena
oleh dampak pembaharuan yang diamanatkan oleh Konsili. Itu sendiri sudah membenarkan tekanan Konsili pada
Gereja setempat dan pada peranserta dan tanggungjawab semua orang Kristiani dalam kehidupan Gereja. Di
beberapa bidang perubahan-perubahan itu begitu pesat dan cukup mendalam, sehingga boleh dipandang sebagai
suatu "krisis" dalam Gereja.

Dua puluh tahun sesudah Konsili masih berlangsunglah suatu diskusi yang hangat baik tentang makna Konsili
maupun tentang nilai apa yang terjadi sejak itu. Pada garis besarnya terdapat tiga tafsiran. Pandangan yang
progresif menganggap Konsili momen yang sudah sangat terlambat bagi Gereja yang terlanjur sudah tidak relevan
lagi, yang akhirnya mau menatap tantangan-tanangan zaman modern. Pandangan yang tradisional menyepakati,
bahwa Konsili mengakibatkan perubahan-perubahan cukup besar, tetapi apa yang oleh kelompok yang progresif
tadi disambut baik, oleh kelompok tradisional dianggap sebagai suatu "kapitulasi" Gereja yang patut disayangkan
terhadap prinsip-prinsip dan gerakan-gerakan yang sebelum itu dengan tepat ditentangnya sejak Revolusi Peran-
cis. Kedua pandangan itu sepakat melihat makna Konsili yang cukup berbobot, sungguh pun keduanya sama sekali
tidak setuju dalam cara mereka menilai perkembangan itu.

Di antara kedua posisi yang sama-sama ekstrem itu terdapat pandangan "jalan tengah", yang masih penuh
ketegangan juga. Ada yang menganggap Konsili "melulu" sebagai usaha pembaharuan, sebenarnya tanpa
memaksudkan banyak perkembangan yang de facto menyusulnya. Atas perkembangan-perkembangan itu yang
mereka anggap bertanggungjawab ialah kaum progresif, yang mengabaikan cara Konsili merumuskan amanatnya
("huruf" Konsili) untuk membela apa yang mereka anggap "semangat Konsili". Menurut kelompok "jalan tengah"
yang pertama itu, kekeruhan-kekeruhan pasca Vatikan II hanya dapat dijernihkan dengan kembali baik kepada
"huruf" maupun kepada semangat Konsili yang sejati.

Kelompok "jalan tengah" lainnya mempertahankan, bahwa - entah apa yang dimaksudkan oleh para Bapa
Konsili sendiri - banyak usaha "pembaharuan" yang dulu mereka dukung de facto mempunyai dampak cukup
"revolusioner" bagi sikap-sikap, strategi-strategi dan adat kebiasaan umat katolik sehari-hari. Secara khas mereka
menunjuk kepada sikap Konsili yang lebih terbuka terhadap dunia modern, kepada seruannya untuk "mawas diri",
dan kepada dukungannya terhadap perwujudan Gereja secara konkret di tingkat lokal. Menuruut tafsiran mereka,
Konsili sendirilah yang bertanggungjawab atas banyaknya perubahan-perubahan yang cukup besar dalam Gereja
sejak Konsili. Dokumen-dokumen Konsili perlu ditekankan makna historis-sosiologisnya dalam konteks dunia
katolik modern. Sinode para Uskup di Roma pada tahun 1985, yang bersidang untuk merayakan ulang tahun ke -20
penutupan Vatikan II, membuka forum diskusi tentang makna Konsili.

Perdebatan tidak menampakkan tanda-tanda mereda. Apakah sebenarnya Konsili itu, betapa relevan dan
berjasanya Konsili bagi Gereja, hanya dapat ditentukan dalam rangka penerimaannya oleh Gereja semesta.
Agaknya dua dasawarsa masih terlampau singkat untuk mengadakan evaluasi final tentang Konsili Vatikan II.
Banyak unsur ajaran konsili telah dipraktekkan dan diterima penuh syukur di kalangan luas Gereja. Unsur -unsur
lain sekarang pun masih perlu dilaksanakan. Tetapi sudah jelaslah, bahwa Konsili Vatikan II merupakan titik -balik
dalam sejarah modern Gereja katolik, suatu momen dalam proses Gereja mewujudkan diri secara nyata, proses
yang baru mulai menampilkan kesungguhan dan kekuatannya.

e. Ringkasan Gambaran Gereja menurut Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II boleh dikatakan sebgai Konsili Gereja mengenai gereja. Sebab Konsili ini berbicara
mengenai Gereja, Gereja dan Dunia serta beraneka masalah, yang dalam keputusan-keputusan Konsili diberi
judulu 'Gereja dan ini', 'Gereja dan itu'. Konsili ini pun merupakan Sidang Semesta Gereja yang terbesar dan paling
'universal', yaitu mengingat hadirnya wakil-wakil Gereja dari seluruh dunia. Sidang ini mengolah masalh-masalh
terpenting sejak Konsili Vatikan I seputar iman dan Gereja serta mengintegrasikannya dalam terang Tradisi

48
131)
berabad-abad .

Dibandingkan dengan Konsili-Konsili sebelumnya Konsili Vatikan II memperlihatkan sikap positif. Artinya:
Konsili ini tidak bermaksud memerangi penyelewengan-penyelewengan intern gerejawi atau membela diri terhadap
'serangan-serangan' ari luar. Konsili ini berkeinginan membuat refleksi iman atas kehadiran Gereja dan pengutusan
Gereja pada masa ini: Suatu intensi yang pastoral.

Garis besar bahan pembicaraan Konsili Vatikan II:


1. Pemahaman diri Gereja secara mendasar: LG.
2. Hidup batin Gereja: a. Tugas pengudusan: SC.
b. Fungsi Kepemimpinan Gereja: CD dan OE.
c. Kuasa Mengajar Gereja: LG; DV dan GE.
d. Status Hidup: PO; OT; PC dan AA.
3. Pengutusan Gereja: a. Hubungan dengan orang Kristiani nonkatolik: UR dan OE.
b. Hubungan dengan orang nonKristiani: NAE; DH dan AG.
c. Hubungan dengan plralismus pandangan hidup: DH.
d. Hubungan dengan sikon dunia: GS dan Inter Mirifica.

Cara kerja:
1. Komisi menyusun rencana skema.
2. Konferensi Uskup tertentu atau Uskup-uskup tertentu dimintai pendapatnya.
3. Pembaharuan rencana skema.
4. Pemeriksaan oleh Presidium Pimpinan Sidang Konsili (l0 Kardinal).
5. Diserahkan kepada semua Uskup.
6. Relatio.
7. Studi pribadi.
8. Komentar dalam Pleno dengan kemungkinan memberikan "modi".
9. Sekretariat mengakomodasikan "modi".
10. Diserahkan Uskup-uskup dan relasi.
11. Sekali lagi "modi".
12. Sekretariat kerja.
13. Diserahkan Uskup-uskup.
14. Pemungutan suara: (pengambilan sikap, kalau perlu setuju dengan modi).
15. Promulgatio.

(1) Gereja sebagai jemaat yang menyadari diri

Gereja menyadari diri sebagai Umat Allah (LG bab 2). Dan yang dimaksud dengan Gereja, tiu bukan hanya
awam atau hanya hirarki, melainkan seluruhnya. Sedangkan Hirarki (yang dalam kurun waktu sebelumnya kerap
disamakan dengan Gereja) itu baru dibicarakan dalam LG Bab 3. Artinya: Hirarki memang diperlukan sebgai
pelayan Umat Allah. Sedangkan awam juga dilihat dalam pengutusannya yang lebih luas bukannya menjadi
'pelengkap penyerta' (atau malah sering 'pelengkap penderita') bagi hirarki melainkan sebagai rekan Hirarki untuk
mewujudkan segi sekuler Pengutusan GEreja. Bahkan juga ditegaskan bahwa dalam beberapa segi hidup, hanya
awamlah yang mampu menjalankan pengutusan Gereja (LG a.33). Itulah sebabnya mengapa malah Konsili
menerbitkan dekrit khusus untuk kerasulan awam (Apostolican Actuositatem).

Selain itu Konsili Vatikan II juga ingin mengungkapkan dan menjelaskan ajaran tentang para Uskup,
pengganti para Rasul, yang dengan Pengganti Petrus, wakil Kristus dan Kepala lahiriah seluruh Gereja
bersama-sama memimpin seluruh Gereja (LG a.18). Maksudnya, Konsili Vatikan II mau melengkapi keputusan
Konsili Vatikan II perihal Primat dan Ketidak-dapat-sesatan Paus. Dalam hal itu Vatikan II menggarap kembali
teologi tentang Episkopat yang dalam prjalanan sejarah Gereja (khususnya dalam abad pertengahan) agar
tersisihkan132). Ditegaskan lagi kedudukan kolegialitas ara Uskup, yang memang hanya mempunyai wewenang
dalam kesatuan dengan Uskup Roma sebgai kepalanya serta tanpa menodai kekuasaan primat Paus di atas semua
gembala dan umat beriman (LG a.22-23). Dengan prinsip kolegialitas ini Uskup mengambil bagian dalam
pemeliharaan rohani Gereja-Gereja partikuler yang lain dan seluruh Gereja Semesta. Contoh nyata kolegialitas ini
tampak dalam Konperensi Para Uskup dan Sinode para Uskup yang sudah diinginkan oleh Konsili Vatikan II (sebgai
pendamping efektif bagi Bapa Suci) dan yang secara resmi dibentuk oleh Paulus VI pada tanggal 15 -9-1965
dengan Motu Propio 'Apostolica Sollicitudo' 133).

49
--------------------------
[1] Pada Pembukaan Konsili hadirlah 2540 Bapa Konsili. Baiklah dikenangkan pula dampak relatif cukup besar
29 pengamat dari 17 Gereja lain dan 8 undangan yang bukan katolik, para pendengar pria maupun wanita, perha-
tian besar media cetak, dan makin banyak tersedianya informasi tentang Konsili.
[2] Tentang Konsili Vatikan I, lihat: H. Jedin, "Sejarah Konsili", Yogyakarta: Kanisius 1973, hlm. 111-138; T.
Jacobs, "Latar Belakang dekat Konsili Vatikan II", khususnya hlm. 60-63.
[3] Paus Yohanes XXIII, Konstitusi apostolik "Humanae Salutis", tgl. 25 Desember 1961, memandang sebagai
suatu motivasi untuk mengundang Konsili: membuka kemungkinan bagi Gereja untuk memberi sumbangan efektif
demi pemecahan soal-soal zaman modern.
[4] Dalam Konstitusi apostolik "Humanae Salutis", tgl. 25 Desember 1961, Paus Yohanes XXIII mencetuskan
harapan beliau: semoga Konsili Vatikan II merupakan ulagan Pentakosta bagi umat Kristiani. Juga dogma-dogma
Tradisi Gereja ditempatkan dalam konteks baru dan ditafsirkan secara baru.
[5] Paus Paulus VI pada sidang terakhir Konsili mengartikan "aggiornamento" sebagai usaha untuk makin
mendalami semangat Konsili dan penerapan setia norma-norma yang digariskan.
[6] Amanat Paus Yohanes XXIII pada pembukaan Konsili, tgl. 11 Oktober 1962, antara lain menekankan
perlunya meningkatkan persatuan Kristiani, bahkan seluruh "keluarga manusia". Maksud itu terungkap dengan
jelas misalnya ketika pada tgl. 5 Januari 1964 Paus Paulus VI dalam kunjungan beliau ke Tanah suci merangkul
Atenagoras, Patriark Ortodoks utama dari Gereja Timur. Peristiwa lain: pernyataan bersama, yang diumumkan di
Istanbul dan di Vatikan pada tgl. 7 Desember 1965, tetang peristiwa-peristiwa pada tahun 1054, yang
menimbulkan perpecahan antara Gereja katolik Roma dan Gereja Ortodoks di Isitanbul. "Pernyataan
Katolik-Ortodoks" itu mengungkapkan kerinduan akan persekutuan makin penuh antara Gereja di Istanbul dan
Gereja katolik.
[7] Konstitusi apostolik Paus Yohanes XXIII "Humanae Salutis", tgl. 25 Desember 1961, menampilkan
pentingnya konsultasi seluas itu dalam proses persiapan Konsili.
[8] Lihat: Daftar "Beberapa Peristiwa Penting Selama Konsili Vatikan II".
[9] Menurut "Presbyterorum Ordinis" 12, tujuan pastoral Konsili ialah: 1) pembaharuan Gereja, 2) perwartaan
Injil di seluruh dunia, dan 3) dialog dengan dunia modern.
[10] Amanat Paus Paulus VI pada hari raya Natal 1965 menggarisbawahi, bahwa suasana dominan
selama Konsili diilhami oleh gambaran Injili tentang Gembala Baik, yang tidak berhenti mencari sebelum
menemukan domba yang sesat.
[11] Lih. T. Jacobs, "Gagasan-Gagasan Pokok ...", hlm. 25-38. Suatu "skematisasi" dokumen-dokume
Konsili Vatikan II dalam tiga bagian (pemahaman diri Gereja, pendalaman tentang hidup Gereja sendiri, dan
pendalaman tentang misi Gereja): lih. Mardiatmadja, B.S., "Gagasan-Gagasan Dogmatik ....", hlm. 10-11.
[12] "Lumen Gentium", dan karena itu seluruh Eklesiologi Vatikan II, dikembangkan berpangkal
pada pandangan "Mystici Corporis", seperti dirumuskan dalam skema I tentang Gereja. "Vatikan II memang
membuka pandangan baru terhadap Gereja, tetapi tidak menolak yang lama", bdk. T. Jacobs, "Gagasan-Gagasan
Pokok ...", hlm. 44.
[13] Lih. LG. 8; bdk. UR 3.
[14] Seperti terungkap dalam Bab I dan II, pandangan tentang Gereja berarti "suatu sentralisasi vertikal
pada Kristus dan suatu desentralisasi horisontal pada umat Allah", Y. Congar, "L'Église: De saint Augustin à
l'epoque moderne", Paris: Cerf 1970, hlm. 473.
[15] Tentang bagaimana "Sacrosanctum Concilium" melengkapi "Lumen Gentium", lihat T. Jacobs,
"Gagasan-Gagasan Pokok ...", hlm. 28.
[16] Lih. T. Jacobs, "Gagasan-Gagasan Pokok ...", hlm. 31-33.
[17] Lih. T. Jacobs, "Gagasan-Gagasan Pokok ...", hlm. 33-35.
[18] J.A. Komanchak membuat kesalahan dengan menukarkan bab V (tentang panggilan untuk
kesempurnaan) dengan bab VI (para religius), cf. hlm. 1075.
[19] Bdk. T. Jacobs, "Gagasan-Gagasan Pokok ...", hlm. 37.
[20] Sebelas hari sesudah Konstitusi tentang Gereja resmi diumumkan pada tgl. 21 November 1964, Paus
Paulus VI untuk pertama kalinya mengunjungi India, sesudah pada awal tahun itu juga beliau mengunjungi
Yordania dan Israel.
[21] Amanat para Bapa Konsili pada awal priode Sidang I, tgl. 20 Oktober 1962, memandang sebagai

50
isyu yang mendesak secara khas: di samping perdamaian, masalah keadilan sosial, mengacu kepada Ensiklik Paus
Yohanes XXIII "Mater et Magistra". Juga "Pesan-Pesan Akhir Konsili", yang disampaikan oleh Paus Paulus VI dan
para Bapa Konsili pada tgl. 8 Desember 1965, menggarisbawahi makin perlunya umat Kristiani melibatkan diri
dalam kehidupan masyarakat modern. Tentang GS lihat T. Jacobs, "Gagasan-Gagasan Pokok ...", hlm. 39-42.
[22] Boleh dikatakan juga, bahwa "Lumen Gentium" harus dibaca ke arah "Gaudium et Spes", bdk. T.
Jacobs, "Gagasan-Gagasan Pokok ...", hlm. 23.
[23] Amanat para Bapa Konsili pada awal periode Sidang I, tgl. 20 Oktober 1962, mengacu kepada
amanat radio Paus Yohanes XXIII, tgl. 11 September 1962, yang menekankan kerinduan umat manusia akan
perdamaian.
[24] Dibacakan "Breve" (amanat tertulis singkat) Paus pada hari itu juga, yang menyatakan Konsili ditutup
secara resmi, dan bahwa semua Dekrit harus "dilaksanakan dengan seksama oleh segennap umat beriman".
[25] Dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II ternyata prinsip kolegial dan sinodal dalam
kepemimpinan Gereja bukan hanya tidak dihapus, melainkan bahkan dilaksanakan. Sementara Paus diakui
primatnya (Vatikan I dan II), Paus tidak dapat diidentikkan begitu saja dengan Dewan para Uskup (Vatikan II).

C A T A T A N:

1. Uraian pengantar tentang Konsili Vatikan II ini sebagian merupakan saduran karangan Joseph A.
Komonchak, "Vatican Council II", dalam The New Dictionary of Theology, diterbikan oleh Joseph A. Komonchak,
Mary Collind, Dermot A. Lane, Dublin: Gill and Macmillan Ltd., edisi I, 1987, hlm. 1071-1077. Kecuali itu digunakan
sebagai nara sumber antara lain:
2. Konstitusi Paus Paulus XXIII, Humanae Salutis, tgl. 25 Desember 1961 untuk mengundang Konsili Vatikan
II.
3. Amanat Paus Paulus XXIII, pada pembukaan Konsili, tgl. 11 Oktober 1962.
4. Amanat para Bapa Konsili kepada umat manusia pada awal periode Sidang I Konsili, tgl. 20 Oktober 1962.
5. Dr. B.S. Mardiatmadja SJ, "Gagasan-Gagasan Dogmatik Seputar Konsili Vatikan Kedua", Spektrum
XIV:1-2(1986) hlm. 1-22 (termasuk Daftar Kepustakaan).
6. Tom Jacobs, "Gagasan-Gagasan Pokok Konsili Vatikan II", Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 23-53
(termasuk Daftar Kepustakaan).
7. Tom Jacobs, "Latar Belakang Dekat Konsili Vatikan II", Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 54-71 (termasuk
Daftar Kepustakaan).
8. Dr. C. Groenen OFM, "Gereja Yesus Kristus dari Awal (th. 30) sampai Konsili Vatikan I (1870)",
Spektrum XIV:1-2 (1986) hlm. 72-104 (termasuk Daftar Kepustakaan).
9. Dr. P. Go Twan An, O.Carm, "Beberapa Aspek Moral Hasil Konsili Vatikan II", Spektrum XIV:1-2 (1986)
hlm. 105-150.
10. Dr. P. Go Twan An, O.Carm, "Beberapa Aspek Hukum Kanonik Hasil Konsili Vatikan II", Spektrum
XIVL1-2 (1986) hlm. 151-165.
11. Adolf Heuken SJ, Katekismus Konsili Vatikan II, Jakarta: Cipta Loka Caraka 1987, 224 hlm.

51
GAMBARAN GEREJA SESUDAH VATIKAN II

Semenjak berakhirnya sidang semesta itu Gereja meneruskan nafas yang dihembuskan oleh Konsili Vatikan
II. Gereja tampil dengan banyak hasrat untuk pembaharuan, keterlibatan pda masalah -masalah dunia, soal-soal
sosial, kemiskinan, perang dan damai. Gereja semakin mencari pelaksanaan Gaudium et Spes: mau melayani
dunia. Teologi juga berusaha untuk semakin mengolah iman dalam kencah dunia. Tentu saja hal itu terjadi tidak
tampa ketegangan. Prosesnya tetap dibebani oleh ketegangan antara ekstrim progresif atau konservatif. Bagi
sekelompok, Gereja terlalu lambat melaksanakan keputusan Konsili. Bagi kelompok lain Gereja terlalu radikal dan
kurang memperhatikan orthodoksi dst 134).

Juga sesudah Konsili, Gereja tetap mau melibatkan diri pada dunia, dengan segala kritik dan
dukungannya.Peranan kenabian Gereja tetap mempunyai tugas,- untuk dijalankan dengan penuh kerendahan hati.
Dari lain pihak, situasi masyarakat pasca Kristiani di Eropa dan Amerika, kehausan akan kemajuan taraf
hidup, kemabukan akan perkembangan ekonomi menimbulkan 'rasa dingin' terhadap iman dan segala bentuk
keagamaan serta membangkitkan suasana 'anti Tuhan dan anti Gereja' atau sekularisme dan positivisme gaya
baru. Itu dapat menggoda manusia untuk membasa masalah keagamaan ke dalam lubuk hatinya yang terdalam
dunia privenya sendiri. Maka J.B. Metz, para pejuang Teologi Pemerdekaan dan kawan-kawannya mengingatkan,
betapa 'politis' sifat Gereja Kristiani itu. Maka kita harus mendeprivatisasikan Gereja dan iman. Dunia publik perlu
memperoleh percikan Kabar Gembira. itulah pengustusan Gereja sekarang: itulah wajah dan gambaran, yang
harus ditampilkan oleh Gereja pada masa kini: sebagai Paguyuban Umat yang secara meya kinkan bersikap
mempercayakan diri pada Allah dan sekaligus secara penuh kasih memeluk dunia.

52
CIRI-CIRI GEREJA

Sesungguhnya dalam Syahadat menurut Konsili Konstantinopel (381) kita mendapati rumusan bahasa Latin,
yang kalau di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan: ”Gereja yang disebut satu, kudus, katolik,
apostolik” (DS 150). Rumusan itu diambil dari Syahadat Epiphanius, yang juga mengutipnya dari Cyrillus
Jerusalem, seorang Bapa Gereja yang terkenal. Keempat kata itu biasa dipergunakan untuk merumuskan ”ciri-ciri
Gereja yang benar”. Thomas Aquino mempergunakan istilah conditio untuk menyebut ciri-ciri Gereja itu. Pada abad
15-16 muncul istilah SIGNA (tanda-ciri-ciri) untuk menyebut keempat hal itu. Kadang-kadang dipakai juga istilah
qualitates, indoles, ratio, praerogativa dan terutama proprietates (Catechismus Romanus) atau notae (J. Eck dan
Bellarminus).

Dalam perjalanan sejarah orang makin mencoba untuk mencari kemudahan mengidentifikasikan Gereja yang
sejati. Pada jaman Bapa Gereja Ireneus dan Cyprianus mengidentifikasikan Gereja sejati dengan menelusuri
successio apostolica dan keabsahan tahbisan uskup, sebagai pemimpin suatu jemaat.. Augustinus
menggarisbawahi sifat katoliknya. Vincentius dari Lerin menekankan sifat universalnya; sedang para teolog pada
abad 12-13 menekankan sifat apostoliknya. Tetapi ada pula yang mempersoalkan, bukankah PB mengajukan hal
lain untuk mengidentifikasikan Gereja yaitu misalnya kasih satu sama lain, terjadinya mukjizat, semangat merasul,
dikejar-kejar dan sebagainya. Sebetulnya dalam urusan itu tersangkut pula masalah intisari Gereja yang hakiki:
apakah 'paguyuban umat beriman atau congregatio fidelium' saja ataukah juga sifat persekutuan orang beriman
itu sebagai 'lembaga'? Sudah lama hubungan suatu jemaat di Asia, Afrika atau Eropa dengan Roma disebut
sebagai tolok ukur kesejatian jemaah (DS 354: Geluasianum). Padahal LG malah memulai uraiannya tentang
Gereja dengan mengaitkan Gereja dengan Mysterion. Lihat Beriman dengan Tanggap hal. 55-64.

Kenyataan-kenyataan yang kontingen itu merupakan pelbagai bidang kehidupan Gereja, yang perlu kita
tinjau secara lebih terperinci.

Maksudnya: hal-hal khas yang dapat menunjukkan bahwa sesuatu kelompok itu sungguh Gereja Kristus yang
benar yaitu:

Pembakuan penjelasan mengenai ciri-ciri Gereja diperoleh sesudah jaman Reformasi, kadang-kadang dengan
warna defensif satuan Roma Katolik. Sebab proses itu dikaitkan dengan semacam semangat persaingan untuk
memastikan, manakah Gereja yang merupakan ’kelanjutan murid-murid Yesus Kristus yang sejati’. Maka dalam
kalangan reformasi Indonesia, ciri 'katolik' yang sebetulnya juga diakui, diistilahkan dengan kata Arab ’am’.
Pengurutan SATU-KUDUS-KATOLIK-APOSTOLIK bukanlah urutan logis, melainkan hanya urutan yang kebetulan
dalam sejarah terjadi. Sebetulnya kita dapat membagikan ciri-ciri itu dalam dua kelompok yaitu:
a. Dari sudut hubungannya dengan Yesus Kristus: satu dan apostolik.
b. Dari sudut perannya sebagai saksi semesta: kudus, katolik.

A. DARI SUDUT HUBUNGANNYA DENGAN YESUS KRISTUS:

Jemaah Kristiani mendapatkan namanya dari keinginan dan kenyataan bahwa mereka itu mengikuti Yesus
Kristus dalam mempertaruhkan segala di tangan Bapa dan diperkuat dalam Wafat dan Kebangkitan Yesus Kristus.
Dalam iman kepada Allah dan dipengantarai oleh Yesus Kristus (bdk 1 Tim 2:5) itulah Gereja merupakan suatu
paguyuban yang tunggal yang menjadi saksi iman sejak awal mula, semenjak jaman para ’apostoloi’. Itulah
sebabnya mengapa satu-nya Gereja dan sifat apostoliknya merupakan perpaduan.

1. GEREJA YANG SATU

Gereja yang tampak sebagai perwujudan Kehendak Tunggal Yesus Kristus untuk dalam Roh tetap
hadir kini di tengah manusia untuk menyelamatkan. Bdk. LG 8.

Gereja yang satu: Gereja yang tampak sebagai perwujudan Kehendak Tunggal Yesus Kritus untuk
dalam Roh tetap hadir kini di tengah manusia untuk menyelamatkan. Bdk. LG 8.

Dari Alkitab tampaklah bahwa Gereja terbina oleh Karya Satu Allah (1 Kor 8:6); berkat satu Wahyu
dalam satu Tuhan Yesus Kritus, yang sudah disalibkan, wafat dan bangkit serta dimuliakan (Rm 14:7 dst);
dalam karya satu Roh Allah dan Roh Kristus (Ef 2:18). Kesatuan ini dibuka dalam satu Injil, satu Baptis dan
satu Jabatan yang dikurniakan kepada Petrus dan Keduabelasan.

Kesatuan yang hakiki dan konkret diungkapkan secara bagus oleh Paulus dalam model 'Tubuh': Tubuh
ini dibentuk dengan baptis dan diaktualisasikan dengan Perayaan Pemecahan Roti (1 Kor 10:17). Dalam
Tradisi tentang sakramen Tobat diperlihatkan ketegasan sikap terhadap 'mereka yang di luar kesatuan' - yang

53
berdosa.

Jadi menurut Alkitab sifat 'satu' ini adalah sifat yang sudah selalu ada dan historis nyata dimiliki oleh
Gereja (tak hanya sifat teori dan ideal melulu) berkat tindak kasih Allah yang tunggal dan berlaku bagi semua
anggota Umat Manusia karena pengangkatan Satu Pemimpin yaitu Adam Kedua. Kesatuan ini diberikan
kepada Gereja sebagai Tanda Kehadiran sumbernya yang tunggal pada saat ini.

Dari Refleksi dalam abad-abad berikutnya teologi mengartikan 'sifat satu' ini sebagai ketunggalan dan
kesatuan Gereja. Kedua segi itu sudah ada dalam sejarah teologi sejak cukup awal (bdk. Syahadat-syahadat
DS 802; 870 dst; 3050 dst; 3302 dst; 3802; NR 920; 376, 436, 402). Segi lahiriah sifat 'satu' ini tampak
dalam satunya iman, sakramen, Ibadat dan pimpinan. Semua itu merupakan buah dari Karya Yesus dan
RohNya serta sekaligus mewujudkan bentuk indrawi dari Kehendak Tunggal Allah untuk menyelamatkan
manusia, yang harus ditampilkan oleh Gereja. Sejauh itu, maka perpecahan umat Kristiani harus dipandang
sebagai penyelewengan dan refleksi atas kriteria dasar persekutuan harus lebih digalakkan. Sebab kesatuan
Gereja tidak boleh ditunda sampai akhir jaman melainkan harus tampak kini: Gereja sebagai Tanda Rahmat
dalam kesatuannya.

Lihatlah LG art. 8, 12, 21-23, 28; UR 1, 2, 3, 4; SC 26.

SATUnya Gereja menyangkut baik bahwa Gereja merupakan satu-satunya paguyuban orang beriman
maupun bahwa secara intern Gereja merupakan kesatuan.

Prinsip kesatuan dan persatuan itu adalah Tritunggal seperti tampak dalam Ef 4:2-6. Keikutsertaan
dalam satu Roh Kristus (sifat pneumatologik) menyebabkan bahwa mengikuti Kristus membawa keikutsertaan
dalam kesatuan kristologik-teologik, yaitu persatuan unik antara Kristus dengan Bapa (bdk Yoh 10:30). Hal
itu secara khusus ditampilkan dalam Yoh 17:21-23; bdk Yoh 17:11.

Persatuan intern itu merupakan jiwa dari persatuan ekstern. Dengan kata lain, kesatuan Gereja
merupakan penampilan dari satu iman yang mewujudkan kesatuan masa kini dan harapan di masa depan
(kesatuan antara iman, cinta dan pengharapan). Tanda lahiriah dari iman yang disadari adalah satnya baptis
dan satunya Roti: itulah pula tanda kesatuan bagi Jemaah Perdana (1 Kor 10:16 dst).

Maka bentuk-bentuk persatuan: satu dalam iman, satu dalam ibadat/sakramen-sakramen dan satu
dalam hidup bersama, serta satu dalam pelayanan maupun satu dalam rumusan pewartaan iman.

"Tubuh" (soma) menjadi istilah dasar bagi Paulus untuk menunjukkan hubungan antara Ekaristi dan
Gereja, tetapi juga untuk menunjukkan bagaimana jemaah memahami dirinya. Dari situ muncullah lambat
laun pengertian akan kesatuan dalam kebhinekaan, pentingnya panggilan yang beraneka,
kharisma-kharisma, pemberian dan pelayanan-pelayanan (diakoniai: bdk 1 Kor 12; Rom 12:3-8; Ef
4:11-16). Masalah itu menjadi dasar pula untuk memahami makna sejati Jabatan dalam Gereja, kekuasaan
dan sebagainya.

Gereja adalah Tubuh Kristus

Lama sekali dalam teologi katolik gambaran Umat Allah dan Tubuh Kristus dilupakan dan nanti kemudian
mendapat perhatian lagi teristimewa atas pengaruh J.A. Möhler dan kawan-kawannya dari Sekolah Tubingen.
Vatikan II dalam dokumen-dokumennya, teristimewa Lumen Gentium, Konstitusi mengenai Gereja,
menegaskan kembali gambaran Tubuh Kristus bagi Gereja. "Putera Allah dalam kodrat manusia yang telah
dipersatukan dengan diri-Nya, telah menebus manusia dengan memperoleh kemenangan atas mati dengan
wafat serta kebangkitan-Nya dan telah mengubahnya menjadi suatu ciptaan baru. Dengan memberikan
Roh-Nya, Kristus telah membuat saudara-saudara-Nya yang dihimpun dari segala bangsa, secara gaib
menjadi komponen-komponen Tubuh-Nya sendiri. Dalam Tubuh itu hidup Kristus dicurahkan dengan
mesranya ke dalam kaum beriman yang karena sakramen-sakramen dipersatukan secara nyata dengan
Kristus yang menderita dan dimuliakan" (LG n.7; bdk. UR n.2).

Tetapi selanjutnya menjadi pertanyaan: 'Bagaimanakah kita dapat menerangkan gambaran Tubuh itu?

1) Sejarah Gambaran Gereja sebagai Tubuh Kristus

Pada mulanya istilah Tubuh Kristus dikenakan kepada Ekaristi, dalam arti Tubuh Kristus dalam bentuk
tanda sakramental atau dikatakan Tubuh mistik Kristus. Mistik diartikan hampir sama dengan sakramental.
Kemudian, istilah atau gelar itu dikenakan untuk Gereja, sebab selaras dengan ajaran Augustinus:
'menyambut tubuh Kristus itu tidak lain tidak bukan menjadi Tubuh Kristus sendiri'. Gereja adalah Tubuh
mistik Kristus.

Selanjutnya, ketika Berengarius dari Tours (1010-1088) menyangkal bahwa Kristus sungguh hadir
dalam Ekaristi, maka Tubuh Kristus semakin dipergunakan hanya untuk Gereja. Tetapi dalam arti, Gereja
sebagai suatu badan sosial dan yuridis. Hal ini misalnya terungkap dalam Ensiklik Mystici Corporis Christi, 29

54
Juni 1943 dari Pius XII. Tujuh tahun kemudian Ensiklik Humani Generis dari Paus yang sama (12 Agustus
1950) malah dengan tegas menerangkan bahwa Tubuh mistik Kristus seluruhnya sama dengan Gereja Roma
Katolik.

Baru kemudian dengan Vatikan II, istilah Tubuh Kristus menunjuk kepada atau mengartikan segi
rohani-tak kelihatan Gereja yang terungkap dalam segi kelihatan Gereja. Arti ini memang sudah ditemukan
kembali sebelumnya oleh J.A. Möhler dan kawan-kawannya dari sekolah Tubingen seperti sudah dikatakan di
atas. Arti ni ditemukan dalam LG n.7. Atas tiga bagian n.7 ini bisa dibagikan:
A. Pendahuluan: Keterangan mengenai gagasan pokok Tubuh mistik
B. Kesatuan para anggota dalam satu Tubuh
- Kesatuan berdasarkan Permandian dan Ekaristi
- Keanekaragaman para anggota dalam satu Tubuh: masing-masing anggota mempunyai tempat
dan tugasnya sendiri.
C. Kesatuan dengan Kristus Kepala
- tempat Kristus yang utama dalam seluruh ciptaan
- penerupaan para anggota dengan Kristus sampai seluruh tubuh menjadi serupa dengan
kepala-Nya.
- pertumbuhan tubuh di bawah pengaruh Kepala
- gerakan Roh Kudus yang diutus oleh Kristus
- kepenuhan yang diterima Gereja dari Kristus

2) Arti gambaran Gereja sebagai Tubuh Kristus

Bahwa Gereja digambarkan sebagai Tubuh Kristus berarti Gereja terdiri dari anggota-anggota yang
berbeda-beda, tetapi bersatu dengan Kristus sebagai kepala Gereja. Demikian, bisa dikatakan:
-- Kristus hadir dalam Gereja,
-- Gereja tidak identik dengan Kristus.

a. Kristus hadir dalam Gereja

Kehadiran Kristus dalam Gereja bersifat aktual. Kristus tidak hanya merupakan suatu peristimwa
di masa lampau, lagi suatu peristiwa di masa depan, melainkan suatu peristiwa aktual. Secara aktual
Kristus menjalankan kegiatan-Nya dalam Gereja. Dia yang menjadi Kyrios alam semesta dan segala
bangsa, hadir dan bergiat dalam Gereja-Nya. Gereja tidak hanya hidup berdasarkan suatu peringatan
akan Kristus masa lampau, dan berdasarkan suatu pengharapan akan Kristus masa depan, melainkan
berdasarkan juga kehadiran Kristus aktual. Itu berarti, tidak hanya karya dan pewartaan-Nya (masa
lampau), maupun teladan-Nya (masa lampau) dan cita-cita-Nya (masa depan), melainkan Pribadi-Nya
sendiri. Secara aktual Gereja tidak ada tanpa Kristus dan sebaliknya pula Kristus tidak ada tanpa
Gereja.

Secara istimewa Kristus hadir secara aktual dalam perayaan-perayaan liturgis. Dalam sabda
pewartaan liturgis tidak hanya dikemukakan laporan mengenai perbuatan penyelamatan yang pernah
dilaksanakan oleh Allah, melainkan dalam sabda pewartaan itu Kristus sendiri secara aktual bergiat.
Oleh Permandian dan Penguatan manusia diangkat ke dalam Tubuh Kristus. Maksudnya, Kristus
sendirilah yang mempersatukan manusia dengan anggota-anggota lain dan dengan Dia sendiri.
Perayaan Ekaristi tidak hanya merupakan perayaan perjamuan TUhan berupa peringatan akan
Perjamuan terakhir, melainkan merupakan juga perayaan Perjamuan dengan Kristus Jaya. Dalam
Perjamuan itu Tubuh-Nya dibangun dan anggota-anggota-Nya diutus untuk melayani masyarakat
dunia. Arti dan tujuan Liturgi, khususnya Perayaan Ekaristi, hanya dapa difahami dalam perspektif
kehadiran Kristus yang aktual. Seandainya Kristus tidak hadir sungguh-sungguh secara aktual, maka
segalanya menjadi magi belaka: suatu usaha menguasai Allah dan pembujukan demi terjadinya
kemauan kita. Karena Kristus hadir sejak awal pertemuan liturgis, maka pertemuan itu merupakan
'eklesia', umat Allah, penciptaan Roh Kudus dan Tubuh Kristus. Seandainya Kristus tidak hadir, maka
seluruh perayaan liturgis hanya menjadi tanda kehendak baik saja; karena Kristus hadir, maka
perayaan liturgis merupakan karya penciptaan bagi mereka yang beriman yakni mereka yang
membuka diri bagi kehadiran Kristus itu.

Secara aktual Kristus hadir dalam setiap perayaan liturgis. Kalau begitu setiap pertemuan liturgis
umat setempat merupakan 'eklesia': Umat Allah, penciptaan Roh Kudus dan Tubuh Kristus. Malah,
harus dikatakan, karena umat setempat dibangun oleh perayaan-perayaan liturgis, maka umat

55
setempat yang dipimpin oleh gembala yang sah menghadirkan Kristus secara aktual. Tentu saja, umat
setempat tidaklah identik dengan 'eklesia', sebab umat-umat setempat lainnya juga dapat disebut
'eklesia'. Umat setempat sungguh-sungguh merupakan Tubuh Kristus, karena Kristus hadir di
dalamnya secara utuh dan tak terbagi.

Selanjutnya, karena Tuhan yang satu dan sama hadir dalam semua umat setempat, maka itu
berarti, umat-umat setempat itu tidak berdiri satu di samping yang lain, terlepas satu dari yang lain,
melainkan bersama-sama membentuk satu eklesia: Gereja universal. Terjadilah suatu 'communio' atau
'koinonia' antara umat-umat setempat di dunia semesta ini. Kesatuan mereka berdasarkan satu
Tuhan, dan ikatan mereka merupakan ikatan dalam satu Roh. Demikian, Gereja universal tidak hanya
merupakan perserikatan gereja-gereja setempat, melainkan sendiri juga merupakan 'Umat Allah',
penciptaan Roh Kudus, dan Tubuh Kristus. Sebagaimana suatu umat setempat terdiri dari banyak
anggota yang bersama-sama merupakan satu tubuh, yakni Tubuh Kristus, maka demikian pula Gereja
universal terdiri dari banyak umat yang bersama-sama merupakan tubuh Kristus yang satu dan sama.

b. Gereja tidak identik dengan Kristus

Gereja bukanlah Kristus. Gereja adalah Tubuh Kristus. Kepala Gereja adalah Kristus. Tetaplah
ada perbedaan antara Kristus dan Gereja. Tubuh Kristus Gereja sedang mengarah kepada keserupaan
dengan Tubuh Kristus Mulia yang dibangkitkan dari antara orang mati dan yang telah dikurbankan
demi kita. Dan keserupaan itu sudah dilambangkan, dinyatakan dan dilaksanakan oleh Tubuh Kristus
Ekaristis yang dibagi-bagikan untuk kita.

Demikian, masih ada suatu ketegangan antara Tubuh Kristus mulia, yaitu Kristus sebagai Kepala
Gereja dan Tubuh Kristus Gereja, yakni Gereja sebagai kumpulan kaum beriman yang mengikuti
Kepala itu. Itulah ketegangan 'indikatif' dan 'imperatif'.

3) Arti Gambaran Gereja sebagai Tubuh Kristus bagi Paulus

Dalam konteks ini akan dikemukakan dua pokok: latar belakang gagasan Tubuh Kristus dalam
surat-surat Paulus dan siapakah Tubuh Kristus.

a. Latar belakang gagasan Tubuh Kristus dalam Surat-surat Paulus

--1 Dunia romawi-yunani (Stoisisme dan gnosis)

Mungkin Paulus mengambil gagasan Tubuh Kristus dari dunia kafir, khususnya stoisisme maupun
gnosis. Dalam filsafat stoisisme yang sebenarnya bersifat pantheistis, seluruh alam semesta dipandang
sebagai suatu badan yang besar. Khususnya negara dipandang sebagai semacam badan atau tubuh
dengan pelbagai anggota yang berlainan fungsinya.

Sedangkan di kalangan gnosis terdapat suatu pandangan yang berlainan sekali. Pandangan itu
pun berdasarkan suatu dongengan yang bersifat 'mite'. Menurut mite itu, pada mulanya ada seorang
Manusia sempurna di surga. Kemudian Ia jatuh ke atas bumi dan pecah menjadi ribuan bagian kecil.
Semua bagian itu menjadi manusia kecil. Dan kini, haruslah ada seorang Penyelamat yang datang dari
Surga untuk mengumpulkan lagi semua bagian itu menjadi satu. Dan karena Penyelamat itu serupa
dengan, atau mungkin sama dengan Manusia Pertama itu, maka semua manusia kecil itu harus
dipersatukan dengan Manusia Pertama dan kemudian akan membentuk satu tubuh lagi.

--2 Perjanjian Lama (gagasan 'corporate personality')

Ada yang berpendapat bahwa Paulus mendasarkan gagasan Tubuh Kristusnya pada gagasan
'corporate personlity' dari Perjanjian Lama. Ada pun arti dati gagasan itu ialah: dalam Perjanjian Lama
satu keluarga atau satu suku dipandang sebagai satu pribadi yang bertindak dan bekerja melalui dan
di dalam anggota-anggota suku atau keluarga itu. Tiap-tiap anggota, khususnya anggota yang lebih
berarti, dapat bertindak sebagai wakil bagi keseluruhan keluarga atau suku. Malah ia tidak hanya
bertindak sebagai wakil, melainkan di dalam individu itu seluruh suku atau keluarga sebetulnya hadir.
Demikian sering dikatakan dalam Perjanjian Lama, para bapa bangsa dalam arti tertentu tetap hadir di
dalam bangsa, suku atau keluarga. Malahan dikatakan, seluruh umat manusia dilihat sebagai satu
bangsa manusia dalam Adam.

--3 Liturgi, khususnya Permandian dan Ekaristi

Banyak orang berpendapat, gagasan Tubuh Kristus Paulus mempunyai dasar dalam Liturgi, di
mana melalui Liturgi, khususnya Permandian dan Ekaristi orang bersatu dengan Kristus menjadi satu
tubuh. Teristimewa lagi, Perayaan Ekaristi atas Perjamuan suci dengan Tuhan yang mulia dipandang
sebagai sumber inspirasi bagi Paulus untuk memandang Gereja sebagai Tubuh Kristus: "kita menja di

56
satu tubuh, sebab kita mengambil bagian dalam satu roti itu" (1 Kor 10:17).

Ada beberapa orang yang masih memperluas gagasan atau ide sakramental itu. Mereka melihat,
dasar bagi Tubuh Kristus adalah kesatuan pribadi dengan Kristus dalam iman. Sebab akhirnya yang
dilahirkan dalam sakramen, khususnya dalam permandian, adalah sikap iman. Iman itulah yang
membuat manusia turut serta dalam kematian Yesus, supaya juga manusia ambil bagian dalam
kebangkitan-Nya (bdk. Rom 6:3).

b. Siapakah Tubuh Kristus menurut Paulus

--1 Umat Gereja setempat

Bahwa Umat Gereja setempat adalah Tubuh Kristus terungkap dalam surat Korintus dan Romawi.
"Bukankah cawan pengucapan syukur yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan
darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus?
Karena roti adalah satu, maka kita, sekali pun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua
mendapat bagian dalam roti yang satu itu" (1 Kor 10:16-17). "Karena sama seperti tubuh itu satu dan
anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu sekali pun banyak, merupakan satu tubuh,
demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani,
baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum
dari satu Roh" (1 Kor 12:12-13). Kedua teks itu tidaklah menunjuk kepada Gereja universal,
melainkan secara langsung tertuju kepada Umat di Korintus, umat setempat. Umat ini didiri kan
menjadi Tubuh Kristus karena Permandian dan Perjamuan. "Sebab sama seperti pada satu tubuh kita
mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian
juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah
anggota yang seorang terhadap yang lain" (Rom 12:4-5). Teks ini juga tidak mengarah kepada gereja
universal, melainkan secara langsung dikenakan kepada Umat setempat di Roma.

Baik dalam 1 Kor, maupun dalam Rom anggota-anggota Tubuh Kristus dilihat sebagai
pembawa-pembawa kharisma. Sesungguhnya 1 Kor 12 dan Rom 12 yang merupakan teks-teks kluasik
mengenai Gereja sebagai Tubuh Kristus, sekaligus juga menjadi teks-teks kluasik tentang struktur
kharismatis Gereja. Demikian, Gereja atau umat setempat dipandang baik sebagai Tubuh Kristus,
maupun sebagai Penciptaan Roh Kudus. Kedua gambaran ini saling melengkapi dan tidak bisa
dipisahkan satu dari yang lain.

Sebagai Tubuh Kristus, anggota-anggota Gereja setempat seharusnya diliputi dengan saling
pengertian dan saling membantu, saling menerima dan saling menghargai, saling mendengarkan dan
saling mengampuni. Masing-masing anggota merupakan subjek yang sudah dan sementara bersatu
dengan Kristus, Kepala Gereja dan sekaligus merupakan subjek yang dipenuh dengan Roh Kudus
berkat persatuan dengan Kristus. Memang harus dikatakan, perbedaan-perbedaan antara
anggota-anggota tidak dihapuskan demi kesatuan Gereja. Perbedaan-perbedaan itu tetap menandai
Gereja sebagai Tubuh Kristus. Keseragaman bukanlah sifat Gereja. Keanekaragaman seharusnya
mewarnai kehidupan Gereja. Tetapi adanya perbedaan-perbedaan itu adalah demi pembangunan
seluruh Tubuh (bdk. 1 Kor 12:12-17). Tiap-tiap Gereja setempat merupakan bangunan rohani (1 Kor
3:16 dsj.)

Gambaran Gereja sebagai bangunan rohani atau sebagai bait Roh dipergunakan tidak untuk
Gereja yang ideal, melainkan untuk Gereja yang riil: umat setempat. Umat Korintus yang
diumpamakan sebagai bait Allah yang di dalamnya Roh Allah berdiam, ternyata terdiri dari
orang-orang berdosa juga. Kepada 'orang-orang kudus' yang berdosa ini diberi peringatan: "Tidak
tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada
orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan mem-binasakan dia. Sebab bait Allah adalah
kudus dan bait Allah itu ialah kamu" (1 Kor 3:16-17). Umat dengan segala kenyataan insani disebut
'bait Allah' dan karena merupakan bait Allah, maka seharusnya hidup sebagai bait Allah. Nyatalah,
sekaligus peringatan tersebut bersifat 'indikatif' (Kamu adalah bait Allah) dan bersifat 'imperatif'
(Janganlah membinasakan bait Allah itu). Kendati segala kekurangan, Gereja merupakan tempat
kehadiran Allah di dunia ini yang istimewa. Karena itu, umat Allah itu tidak memerlukan lagi sebuah
bait berupa gedung, karena umat sendirilah merupakan bait Allah. Dan barangsiapa merusakkan
kesatuan umat dengan tindak-tanduk yang keji, maka dialah merupakan pembinasa Umat Allah. Jadi
kalau anggota-anggota umat dibangun sebagai bait Roh atau sebagai bangunan rohani, maka haruslah
mereka ingat akan martabat mereka dan berjalan menurut Roh itu pula.

--2 Gereja Universal

Yang dikatakan Tubuh Kristus tidaklah terbatas pada Gereja setempat, tetapi meliputi juga
Gereja universal. Pandangan ini tergapat dalam surat Efesus dan Kolosa yang ditulis oleh Paulus untuk
menerangkan bahwa seluruh kosmos ada dalam tangan Kristus. Dan melalui Gereja universal Tuhan

57
Kristus menguasai kosmos.

Akar peranan kosmis Kristus ialah suatu peristiwa historis yakni wafat dan kebangkitan-Nya (Kol
1:18, 20, 22; Ef 1:7, 20, 22; Ef 2:15-16). Kristus dilantik menjadi kepala seluruh kosmos dan jagat
raya (Kol 1:15-18 dan Ef 1:22 dsj.), tidak berdasarkan hubungan kosmis antara Kristus dan kosmos
melainkan berdasarkan pelantikan historis dalam wafat dan kebangkitan. Dan, selanjutnya Gereja
merupakan tempat atau bagian dunia di mana daya hidup Kristus dinyatakan dan dilaksanakan dengan
paling jelas dan secara definitif. Dalam surat Efesus Tubuh Kristus disebut 'Pleroma' (kepenuhan) dari
'Dia yang memenuhi semua dan segala sesuatu'. Gereja adalah puncak dan kepenuhan dari karya
keselamatan Tuhan yang sedang dilaksanakan. Tetapi salahlah difahami, kalau dikatakan bahwa
Kristus sebagai kepala hanya hadir di dalam dunia melalui Gereja. Sebab Kristus hadir dalamdunia dan
berkarya di sana melalui Roh Kudus yang telah menciptakan Gereja, namun tidak identik dengan
Gereja. Seharusnya ditegaskan, Gereja sebagai Tubuh Kristus merupakan puncak dan manifestasi
kehadiran Kristus di dunia ini. Melalui pelayanan dan pewartaan Gereja, Kristus hadir dan bergiat
dalam dunia. Tetapi tidak hanya melalui Gereja Kristus hadir, melainkan melalui Roh yang berkarya di
mana dan bilamana saja ia mau demi keselamatan manusia.

1. GEREJA UNIVERSAL MERUPAKAN BANGUNAN ROHANI (EF 2:17-22)

Dalam 1 Kor 3:16-17 gambaran bangunan rohani dikenakan kepada Gereja setempat, sedangkan dalam Ef
2:17-22 kepada Gereja universal, yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir. "Kristus datang dan
memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang 'jauh' dan damai sejahtera kepada mereka yang 'dekat', karena
oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Demikianlah kamu bukan lagi orang
asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah,
yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia
tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga
turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah di dalam Roh".

Dengan teliti dalam teks Efese itu dilukiskan susunan batin bangunan Roh. Fundamen atau dasar bangunan
itu ialah para rasul dan para nabi yaitu para Nabi Perjanjian Baru. Para rasul ialah para pemimpin yang secara
resmi diutus oleh Kristus dan kemudian oleh Gereja sebagai orang yang berkuasa untuk melayani umat -umat. para
nabi ialah para pemimpin dan pewarta kharismatis yang berkuasa bukan karena pelantikan resmi, melainkan
karena kuasa Roh yang memenuhi mereka serta karena kelrusan pewartaan mereka tentang Yesus Kristus.
Batu-batu bangunan ialah anggota-anggota keluarga Allah, baik kaum Yahudi, maupun kaum kafir. Batu penjuru
atau batu sendi ialah Kristus Yesus. Yang dimaksudkan dengan batu penjuru ialah batu penghubung yang menutup
bait seluruh kubah dalam suatu bangunan lengkung. Sifat dari bangunan ialah bait Allah yang kudus di dalam
Tuhan, atau tempat kediaman Allah di dalam Roh. Bangunan itu yaitu Umat Gereja, memperoleh gaya dan
kekuatannya dari Kristus Yesus yang bangkit yang dalam Roh-Nya memperkokoh dan mempertahankan seluruh
umat itu. Dalam Roh-Nya Yesus mengikat kaum Yahudi dan kaum kafir satu sama lain menjadi satu persekutuan
yang tak terputuskan lagi.

Dengan begitu kelihatan pula, bahwa kesatuan itu memang merupakan PRINSIP DASAR. Tetapi prinsip itu
merupakan prinsip yang dinamis. Pertama-tama karena jemaah beriman secara konkret berperanserta dalam
perwujudan-perwujudan nyata iman sesaat dan setempat. Lagipula kesatuan Gereja dilaksanakan dalam
keanekaan penampilan iman dan jemaah. Dari lain fihak, ketegangan antara kesatuan dan keanekaan membawa
bahaya ganda: dapat terjadi bahwa baik keanekaan maupun kesatuan hancur dalam ketegangan itu. Namun
kesatuan tak boleh dikaburkan dengan adanya uniformitas mandulu; dan keanekaan tak boleh disamakan dengan
kehadiran tanpa hubungan antara jutaan jemaah belaka. Situasi itu tak akan memikat orang untuk bergabung
(bdk 1 Kor 1:10-13).

Nyatanya terjadi PERPECAHAN:

a. Skisma: yaitu perpecahan karena bukan perbedaan ajaran (mis. Skisma Besar abad 11). Dalam
hal itu perlu diingat kemungkinan perbedaan/diskontinuitas antara intensi dan ekspresi serta ekspresi
individual dan ekspresi bersama.

b. Bidaah: yaitu perpisahan karena perbedaan ajaran iman. Misalnya, perpecahan antara Gereja
Katolik Roma dan Kaum Reformasi. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara perpecahan langsung yang
terjadi antara para pelaku-pelakunya dan keturunannya yang sudah terlanjur tumbuh dalam perpecahan itu.

Untuk mengatasi bahaya itu perlulah bahwa kita semua secara realistik menerima dan memperhitungkan
kelemahan manusia (sebagai kelanjutan dari penerimaan iman akan penjelmaan; kemauan untuk berpikir secara
terbuka dan historis maupun kesiagaan untuk selalu terbuka kepada bisikan Roh. Yesus Kristus memasukkan
keprihatinan seputar KESATUAN itu ke dalam doaNya kepada Bapa pada Yoh 17.

58
2. GEREJA YANG BERSIFAT APOSTOLIK

Lihat LG art. 14-16; 20; 22-23; 36. Gereja yang apostolik, yaitu Gereja yang bertumpu pada para
Rasul dan mengikuti imannya. LG 8, UR 17.

Ini berkaitan dengan hubungan identitas antara Gereja kini dan Gereja jaman para rasul: sesudah sekian
lama berkembang dalam ruang dan waktu toh merupakan Gereja tetap sama (DS 468 st; 732; 2886 dst). Sifat ini
masuk dalam rumusan Syahadat sejak abad 4. Di dalamnya termaktub, bahwa Gereja ini didirikan oleh Yesus
Kristus dalam para Rasul yang menjadi dasarnya dan bahwa dalam hal ajaran dan sakramen -sakramennya secara
hakiki tetap sama dengan para Rasul serta bahwa Paus dan para Uskup benar-benar secara berurutan menjadi
pengganti para Rasul. Hal itu terbantu dengan sahnya urutan tahbisan, perurutan benar, juga berlaku bagi Gereja
Timur.

Gereja yang apostolik, yaitu Gereja yang bertumpu pada para Rasul dan mengikuti imannya. LG
8, UR 17

Lihatlah LG art. 8, 12, 21-23, 28; UR 1, 2, 3, 4; SC 26.

BERSIFAT APOSTOLIK artinya: terarah pada para Rasul. Jadi, istilah APOSTOLIK berarti: setia kepada
asalmula, asalsul. Lain dari pada itu, pengertian itu perlu dilengkapi dengan: setia pada tujuan yaitu: menuju ke
eschaton. Sebab kesetiaan pada asalsul berarti kepada para utusan Yesus Kristus, yang adalah Alpha dan Omega
(Why 1:8; 21:6; 22:13). Dengan kata lain: sifat apostolik itu bagi Gereja merupakan anugerah dan sekaligus
tugas. Sebab Gereja lalu harus mengisi masaantara antara Kebangkitan dan Eschaton. Sifat apostolik membawa
arah retrospektif dan prospektif sekaligus.
ASAL ISTILAH:

Dalam bahasa Yunani klasik, apostolos hampir tidak pernah dipakai dalam arti 'Orang yang diutus'
melainkan armada, kumpulan orang di koloni, surat 'resi' atau paspor. Dalam LXX apostolos berarti seperti Ibr.
saliah, yang menunjuk kepada Utusan. Apostelein berarti mengirim seorang wakil yang berkuasa penuh. Itulah
sebabnya mengapa rasul itu dipandang sama dengan Yang Mengutus.

Nas-nas tertua yang menyebut istilah apostolos terdapat dalam surat-surat Paulus yang tertua (bdk 1 Tes
2:7; Gal 1:1.17.19; 1 Kor 1:1; 4:9; 9:1-11). Tampaknya yang disebut 'rasul' tidak hanya mereka yang pernah
melihat Tuhan melainkan juga yang lain, asal "diberi kuasa penuh untuk mewartakan Kabar Gembira". Rasul
berani dan bertanggungjawab hanya kepada Allah (Rom 2:4).

Dalam INJIL SINOPTIK 'rasul' berkaitan langsung dengan konteks pengutusan yang diberikan Yesus dan
keikutsertaan dengan pengutusan Yesus. Khususnya itu berlaku bagi Keduabelasan (bdk Mat 10:2; Mrk 6:30; Lk
6:13 dst. Juga Kis 1:2.26. Tetapi Lk 11:49 dan Yoh 13:16 lain). Pengutusan terakhir berasal dari Sang
Terbangkitkan dari Maut (Mat 28:18-20; Lk 24:47-49; Kis 1:8).

Dalam INJIL YOHANES teologi tentang kerasulan erat berkaitan dengan Perwahyuan Diri Allah, Penjelmaan.
Pengutusan para Keduabelasan dan utusan-utusan lanjutnya diikutsertakan dalam pengutusan triniter. Bagi Yoh.,
yang khas bagi kerasulan adalah (a) Kesatuan dengan Yesus merupakan jaminan kasih Bapa (Yoh 1:12 dst;
16:27); (b) Kesatuan dengan Kristus dijamin oleh Roh Kudus yang memungkinkan agar pewartaan para Murid
betul (Yoh 14:16 dst; 16:13); (c) Pengutusan merupakan muara dari terpilihnya para Rasul yang dipercaya dengan
kuasa-kuasa Allah (Yoh 14:27; 15:15; 17:2.14.18.22.26).

Keduabelasan mempunyai sifat yang tidak dapat diwariskan lagi yaitu menjadi saksi mata Hidup dan
Pengutusan Yesus Kristus. Saksi mata Hidup Yesus tidak dapat diwariskan. Maka Pengutusan merupakan
satu-satunya ikatan identifikasi yang dapat ada antara Keduabelasan dan Utusan-utusan kemudian.
Bagi kita sekarang penting untuk memperhatikan bahwa ada ketegangan antara kesaksian apostolik (tentang
'yang terjadi') dan kesaksian kenabian (tentang 'maknanya'). Maka dalam pengutusan Gereja perlu diperhatikan
arti dari semua peristiwa itu bagi masa kini.

Mengikuti jejak secara apostolik: apostolisitas tidak cukup terjadi dengan pewartaan. Gereja selalu berurusan
dengan hal-hal konkret. Kesaksian juga terjadi melalui orang-orang konkret. Maka kesaksian terjadi dalam
persekutuan dengan para Rasul dan karena itu dengan Yesus Kristus dan di dalamnya dengan Bapa (bdk 1 Yoh
1:3.7). Dalam peristiwa itu Rohlah yang menjadi prinsipnya (2 Kor 13:13). Dalam pada itu perlu diingat juga
bahwa 'apostolos' tidak identik dengan 'doodeka'. 'Apostolos' terdapat 79 kali dalam PB dengan 34 dalam Paulus
dan 34 pada Lkas. Lkas cenderung mengidentikkan apostolos dengan doodeka; sedang Paulus melihat dirinya
(yang bukan doodeka) juga sebagai apostolos, karena telah bertemu dan diutus oleh Sang Terbangkitkan. Dan

59
memang bagi pengertian Gereja dan Doodeka-pun, yang terpenting adalah iman kepada Sang Terbangkitkan dan
diutus. Maka dapat difahami bahwa bagi Paulus, di luar kel. Doodeka juga ada apostoloi (2 Kor 8:23; Phil 2:25; 1
Kor 12:28; Ef 4:11).

Selanjutnya Gereja mewartakan Injil selaras dengan pengajaran Yesus. Dan bila ada bentrokan jemaah dalam
hal ajaran (misalnya, Abad 2 antara jemaah dengan kelompok gnostik) lalu disadari, bahwa 'yang pokok, apakah
dalam ajaran seseorang itu ada kesesuaian dengan ajaran para Rasul (apostolik).

Sudah sebelum Ireneus dan Tertuallianus jelas adanya kesadaran hubungan antara 'Bapa mengutus
Kristus' dan 'Kristus mengutus murid-muridNya' untuk mewartakan Kabar Gembira. PRINSIPNYA: Gereja adalah
jemaah, yang mulai dengan diutusnya Yesus Kristus lalu juga dengan para utusan Yesus Kristus, yang dipercaya
untuk tersebar dan tumbuh tanpa batas. Jadi titik tolak Gereja adalah misteri Rencana Penyelamatan Allah yang
terlaksana dalam Yesus Kristus.

Selama sekian lama merupakan kejadian biasa, bahwa ada sejumlah orang yang mau menggabungkan diri
dengan utusan-utusan Yesus Kristus (Kis 2:41.47; 5:14; 11:24; 17:4). Jadi: Gereja adalah pelanjutan kelompok
orang yang menyambut pengutusan Yesus.

Kemudian 'apostolik' berarti juga 'sesuai dengan ajaran Rasul-rasul' (Kis 2:42-43; Ireneus, Klemens dari
Roma dan Tertullianus). Dalam abad 5 muncul ucapan "Gereja Apostolik" dalam Syahadat, walaupun belum masuk
ke dalam rumusan pembaptisan. Pada Abad Pertengahan Allah disebut Thomas Aquino sebagai keteguhan Gereja,
yang berdasar pada iman dan ajaran para Rasul. Orang terdorong untuk semakin mendasarkan kesejatian Gereja
pada 'pengutusan' Imamat Jabatan pada Pribadi-pribadi Rasul. Tetapi itu pun mesti difahami sebagai bagian dari
usaha memperjelas asalsul persekutuan umat itu.

Begitulah terumus dasar Communio dan arti representasi dalam Ger. Maka ada 3 lapisan bentuk aposolisitas:

1. apostolisitas iman

2. apostolisitas rumusan iman (ajaran)

3. apostolisitas jaminan iman (kedudukan/kursi pemimpin).

Sebetulnya di dalamnya terangkum jalur personal pengurutan legitimasi jemaah dan jalr komprehensifnya
(melalui tradisi dan ini dapat berupa tradisi verbal dan juga nonverbal).Seluruhnya mempersoalkan: legitimasi
jemaah dari sudut hubungannya dengan Pribadi Yesus Kristus.

b. DARI SUDUT PERANANNYA SEBAGAI SAKSI SEMESTA:

Jemaah Kristiani menemukan legitimasinya tidak hanya dalam hubungannya dengan Sumber Iman,
yaitu Yesus Kristus tetapi juga dari hubungannya dengan penugasannya menjadi saksi.

1. GEREJA YANG KUDUS

Dengan menyebut jemaah sebagai Gereja Yang Kudus, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa
Gereja ini kumpulan bukan-pendosa melainkan, bahwa Gereja bertolak dan hidup seputar serta menuju
kepada Yang Kudus.

Gereja yang kudus: Gereja sebagai perwujudan Kehendak Allah Yang Mahakudus untuk juga sekarang
mau bersatu dengan dan mempersatukan manusia dalam kekudusan. Bdk. LG , 39, 41, 48.

Ini dipandang sebagai tanda Gereja yang benar (DS 3013 st; NR 385). Bahkan sebelum rumusan
Syahadat dikenal orang telah memberi Gereja sebutan 'yang kudus' (lih. DS 1-2, 11, 41, 150, dll; NR 250).
Hal itu menentukan sikap terhadap para pendosa. Secara obyektif sifat 'kudus' berarti bahwa Gereja adalah
sarana keselamatan dan rahmat Tuhan di dunia serta merupakan tanda Rahmat Alah yang kudus, yang akan
menang secara definitif pada eskaton (LG 19; 48; 59; GS 42; 45). Secara subyektif sifat 'ku-dus' berarti
bahwa dalam Gereja tak akan kehabisan tanda dan orang kudus (bdk. Ibr 2:1). Jadi berarti kekudusan para
subyek.

Ajaran ini harus dipahami bersama dengan ajaran iman bahwa pendosa itu pun anggota Gereja sehingga
Gereja memang Perhimpunan Kaum Pendosa pula (Mat 13:47-50; 18:17). Maksudnya: tak hanya bahwa
dalam Gereja ada pendosa tetapi juga bahwa Gereja itu pendosa sejauh warganya, juga para pemukanya
memang berdosa dan akan berdosa. Maka Gereja harus diperbaharui terus menerus (UR 4;6). Lalu sifat

60
'kudus' berarti bahwa Gereja, yang dinodai oleh dosa, itu tak akan sebegitu dirusak oleh dosa sehingga Roh
Kudus sama sekali meninggalkannya atau tak kelihatan lagi (Mat 16:18). Gereja dijamin oleh Tuhan untuk
tak kehilangan RahmatNya kendati dosa. ’Kudus’ berasal dari akar kata qds yang ditasrifkan selanjutnya
menjadi qados (suci) dan qodoes (kesucian) yang merupakan ciri Allah. Arti dasarnya "terkhususkan",
"tersendiri". Di dalamnya tersimpan 3 segi: (1) bahwa semua yang disebut Kudus itu berasal dari Allah Sang
Mahakudus; (2) bahwa kekudusan kultis merupakan sifat ciptaan yang dikhususkan bagi pengarahan manusia
kepada Allah; (3) secara kesusilaan kekudusan itu hanya dimiliki oleh Allah. Kekudusan pola itu dapat pula
berkaitan dengan pengertian Transenden dari semua yang ciptaan.

Dalam Perjanjian Baru, kekudusan melanjutkan arti PL yang berlatarbelakang pandangan bahwa Allah
satu-satunya Yang Kudus (bdk Yes 6:3), tetapi dikaitkan dengan Kristus, yang menerima eksistensinya dari
Yang Kudus (Lk 1:35). Dengan begitu Kristus memang merupakan keseluruhan datangnya Yang Kudus
kepada manusia. Sejak itu hidup manusia menjadi juga hidup dalam Roh dan bersifat 'rohani', spiritual.

Dalam Gereja umat menjadi suci juga berkat hadirnya Roh Kudus, Roh Yesus Kristus. Maka menjadi
Gereja Kudus (1 Ptr 2:9). Gereja disebut "communio sanctorum" dalam arti (1) paguyuban yang
diikutsertakan dalam Hal-yang-kudus (Tubuh dan Darah Tuhan) dan (2) paguyuban orang-orang yang kudus
(dalam arti baik persatuannya orang-orang yang dikuduskan Allah maupun paguyubannya warga Gereja yang
berjuang dengan mereka yang telah mulia di surga).

Meskipun Gereja disebut Kudus, namun tetap mengakui adanya dosa di dalamnya. Di satu fihak Gereja
itu suci karena dari Allah tetapi di lain fihak Gereja terdiri dari manusia yang harus mengaktualisasikan
kehadiran Yang Mahakudus. Jadi ada ketegangan antara "sudah" dan "belum sepenuhnya" kudus. Iman
dalam hal ini berarti menerima bahwa Allah sudah mendatangi namun sadar bahwa belum kudus ("simul
iustus et peccator").

Gereja itu kudus dalam prinsip-prinsip formalnya, yaitu bahwa segala yang ada padanya itu dari Allah.
Sehingga Gereja prinsipiil menjadi Sakramen kesucian. Aktualisasi kekudusan itu masih harus diperjuangkan
terus menerus. Jadi arti kekudusan Gereja itu primer adalah bahwa seluruh hidup dan adanya Gereja itu
dalam rangkuman Sang Kudus. Sebagai himpunan manusia konkret, Gereja yang beriman kepada Yang
Kudus ini tidak sempurna dan kerap gagal dalam menyambut rahmatNya. Gereja pendosa. Dalam arti ini
Dosa menjadi dimensi/matra terbatas dan materiil-historik dalam Gereja. Paguyuban ini merangkum
manusia, pembadanan keterbatasan. Harapannya: di suatu waktu dosa akan secara aktual diolah dalam
Kebangkitan Badan, dalam eschaton.

Maka dari itu juga: dosa dilihat tidak hanya sebagai sesuatu yang personal, melainkan merupakan
sesuatu yang secara struktural ada dalam Gereja. Tobat tidak hanya perlu terjadi secara personal tetapi
juga struktural. Secara personal dan struktural, Gereja itu semper reformanda.

Gereja sebagai perwujudan Kehendak Allah Yang Mahakudus untuk juga sekarang mau bersatu
dengan dan mempersatukan manusia dalam kekudusan. Bdk. LG 8, 39, 41, 48

Ini dipandang sebagai tanda Gereja yang benar (DS 3013 st; NR 385). Bahkan sebelum rumusan
Syahadat dikenal orang telah memberi Gereja sebutan 'yang kudus' (lih. DS 1-2, 11, 41, 150, dll; NR 250).
Hal itu menentukan sikap terhadap para pendosa. Secara obyektif sifat 'kudus' berarti bahwa Gereja adalah
sarana keselamatan dan rahmat Tuhan di dunia serta merupakan tanda Rahmat Alah yang kudus, yang akan
menang secara definitif pada eskaton (LG 19; 48; 59; GS 42; 45). Secara subyektif sifat 'ku-dus' berarti
bahwa dalam Gereja tak akan kehabisan tanda dan orang kudus (bdk. Ibr 2:1). Jadi berarti kekudusan para
subyek.

Ajaran ini harus dipahami bersama dengan ajaran iman bahwa pendosa itu pun anggota Gereja sehingga
Gereja memang Perhimpunan Kaum Pendosa pula (Mat 13:47-50; 18:17). Maksudnya: tak hanya bah-wa
dalam Gereja ada pendosa tetapi juga bahwa Gereja itu pendosa sejauh warganya, juga para pemukanya
memang berdosa dan akan berdosa. Maka Gereja harus diperbaharui terus menerus (UR 4;6). Lalu sifat
'kudus' berarti bahwa Gereja, yang dinodai oleh dosa, itu tak akan sebegitu dirusak oleh dosa sehingga Roh
Kudus sama sekali meninggalkannya atau tak kelihatan lagi (Mat 16:18). Gereja dijamin oleh Tuhan untuk
tak kehilangan RahmatNya kendati dosa.

Dengan menyebut jemaah sebagai Gereja Yang Kudus, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa
Gereja ini kumpulan bukan-pendosa melainkan, bahwa Gereja bertolak dan hidup seputar serta menuju
kepada Yang Kudus.

KUDUS berasal dari akar kata qds yang ditasrifkan selanjutnya menjadi qados (suci) dan qodoes
(kesucian) yang merupakan ciri Allah. Arti dasarnya "terkhususkan", "tersendiri". Di dalamnya tersimpan 3
segi: (1) bahwa semua yang disebut Kudus itu berasal dari Allah Sang Mahakudus; (2) bahwa kekudusan
kultis merupakan sifat ciptaan yang dikhususkan bagi pengarahan manusia kepada Allah; (3) secara
kesusilaan kekudusan itu hanya dimiliki oleh Allah. Kekudusan pola itu dapat pula berkaitan dengan
pengertian ’transenden’ dari semua yang ciptaan.

61
Dalam Perjanjian Baru, kekudusan melanjutkan arti PL yang berlatarbelakang pandangan bahwa Allah
satu-satunya Yang Kudus (bdk Yes 6:3), tetapi dikaitkan dengan Kristus, yang menerima eksistensinya dari
Yang Kudus (Lk 1:35). Dengan begitu Kristus memang merupakan keseluruhan datangnya Yang Kudus
kepada manusia. Sejak itu hidup manusia menjadi juga hidup dalam Roh dan bersifat 'rohani', spiritual.

Dalam Gereja umat menjadi suci juga berkat hadirnya Roh Kudus, Roh Yesus Kristus. Maka menjadi
Gereja Kudus (1 Ptr 2:9). Gereja disebut "communio sanctorum " dalam arti (1) paguyuban yang
diikutsertakan dalam Hal-yang-kudus (Tubuh dan Darah Tuhan) dan (2) paguyuban orang-orang yang kudus
(dalam arti baik persatuannya orang-orang yang dikuduskan Allah maupun paguyubannya warga Gereja yang
berjuang dengan mereka yang telah mulia di surga).

Meskipun Gereja disebut Kudus, namun tetap mengakui adanya dosa di dalamnya. Di satu fihak Gereja
itu suci karena dari Allah tetapi di lain fihak Gereja terdiri dari manusia yang harus mengaktualisasikan
kehadiran Yang Mahakudus. Jadi ada ketegangan antara "sudah" dan "belum sepenuhnya" kudus. Iman
dalam hal ini berarti menerima bahwa Allah sudah mendatangi namun sadar bahwa belum kudus ("simul
iustus et peccator").

Gereja itu kudus dalam prinsip-prinsip formalnya, yaitu bahwa segala yang ada padanya itu dari Allah.
Sehingga Gereja prinsipiil menjadi Sakramen kesucian. Aktualisasi kekudusan itu masih harus diperjuangkan
terus menerus. Jadi arti kekudusan Gereja itu primer adalah bahwa seluruh hidup dan adanya Gereja itu
dalam rangkuman Sang Kudus. Sebagai himpunan manusia konkret, Gereja yang beriman kepada Yang
Kudus ini tidak sempurna dan kerap gagal dalam menyambut rahmatNya. Gereja pendosa. Dalam arti ini
Dosa menjadi dimensi/matra terbatas dan materiil-historik dalam Gereja. Paguyuban ini merangkum
manusia, pembadanan keterbatasan. Harapannya: di suatu waktu dosa akan secara aktual diolah dalam
Kebangkitan Badan, dalam ESCHATON.

Maka dari itu juga: dosa dilihat tidak hanya sebagai sesuatu yang PERSONAL, melainkan merupakan
sesuatu yang secara STRUKTURAL ada dalam Gereja. TOBAT tidak hanya perlu terjadi secara PERSONAL
tetapi juga STRUKTURAL. Secara personal dan struktural, Gereja itu SEMPER REFORMANDA.

2. GEREJA YANG KATOLIK

Ungkapan 'katolik' di sini tidak diartikan dalam pola kontrareformatik, seakan-akan hanya berlaku bagi
Gereja Katolik Roma melainkan secara dasariah berlaku bagi siapa pun yang mengakui Yesus adalah Kristus,
Putera Allah Yang Hidup. Gereja yang katolik: Gereja sebagai perwujudan Kehendak Allah untuk
menyelamatkan semua dan seluruh pribadi manusia. Bdk. LG 8, 13, 23, UR 4 .

Makna kekatolikan Gereja adalah bahwa Gereja, berkat kehendak Allah untuk menyelamatkan semesta
dunia, karena penebusan Yesus Kristus yang secara hakiki berlaku bagi semua orang dan mengingat Karya
Roh Kudus untuk seluruh umat manusia, terbuka dan harus terbuka untuk manusia semua baik dilihat dari
sudut tempat maupun waktu. Maka Gereja harus menerima plralisme yang hakiki bagi sejarah manusia dan
dikehendaki Tuhan = plralisme bidang iman perorangan dan bidang kemasyarakatan. Gereja juga tak dapat
membatasi pewartaan dan bentuk-bentuk hidupnya pada sesuatu bentuk lingungan kebudayaan tertentu atau
suku bangsa tertentu sampai menolak yang lain.

Kekatolikan juga menegaskan, bahwa dalam Gereja ada kepenuhan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus.
Hal ini jelas dari pemanggilan Paulus untuk menjadi rasul bagi orang non-yahudi, sehingga keselamatan
memang tersedia bagi segala bangsa (Ef 2:11-3:11). Ignatius Antiokia lah yang pertama kali menyebut
Gereja bersifat katolik.

ISTILAH "KATOLIK" tidak terdapat dalam PL dan PB. Pada Aristoteles, kath'olon berarti "menyeluruh"
(abad 4 seb. Kristus). Zeno (abad 4-3 seb. Kristus) menyebut prinsip-prinsip umum sebagai 'katholika'.
Polybios (abad 2 seb. Kristus) menyatakan sejarah umum dengan 'tes katholikes kai koines histirias'.
Philo memakai istilah katholikos untuk 'yang umum' (kebalikan dari yang khusus).

Ignatius Antiokia untuk pertamakali menggunakannya bagi Gereja dalam ucapannya yang terkenal: "Di
mana Uskup tampil, di situlah jemaah sebagaimana di mana Yesus Kristus ada, di situlah Gereja katolik" (Ign.
Sm 8:2: sekitar tahun 110). Ada (seperti H. de Lbac dsb) yang menafsirkannya sebagai berikut: Jemaah lokal
dipimpin Uskup, jemaah universal dipimpin Yesus Kristus (Jadi 'katolik' diartikan 'universsal'). Rasanya juga
dapat diartikan: Jemaah yang benar, sejati dan sebagainya. Dan sepanjang abad ke-2 kebanyakan
mengartikan 'katolik' dengan 'yang sejati dan benar'. Klemens dari Alexandria juga menyebut Gereja yang
sejati itu Gereja yang katolik. Begitu pula Tertullianus, sampai kadang-kadang hanya menggunakan kata
'katolik' untuk menamakan Gereja Katolik.

Istilah itu belum masuk dalam Syahadat Nikaia, walaupun suatu rumus baptis Mesir Kuno sudah
menggunakannya. Pada abad ke-4 orang sudah terbiasa menggunakan istilah itu di Timur dan di Barat sejak
abad ke-5.

62
Gereja sebagai perwujudan Kehendak Allah untuk menyelamatkan semua dan seluruh pribadi
manusia. Bdk. LG 8, 13, 23, UR 4

Ungkapan 'katolik' di sini tidak diartikan dalam pola kontrareformatik, seakan-akan hanya berlaku bagi
Gereja Katolik Roma melainkan secara dasariah berlaku bagi siapa pun yang mengakui Yesus adalah Kristus,
Putera Allah Yang Hidup.

ISTILAH "KATOLIK" tidak terdapat dalam PL dan PB. Pada Aristoteles, kath'olon berarti "menyeluruh"
(abad 4 seb. Kristus). Zeno (abad 4-3 seb. Kristus) menyebut prinsip-prinsip umum sebagai 'katholika'.
Polybios (abad 2 seb. Kristus) menyatakan sejarah umum dengan 'tes katholikes kai koines histirias'.
Philo memakai istilah katholikos untuk 'yang umum' (kebalikan dari yang khusus).

Percobaan pemahaman arti 'katolik':

Waktu 1 Tim 2:1-5 (bdk Rom 3:29 dst; 10:12; Ef 4:4 dst) mengundang orang Kristiani untuk suatu doa
katolik, maka didasarkannya itu dengan pengakuan Satunya Allah dan Pengantara. Artinya: rencana Allah itu
universal karena hanya ada satu Allah dan satu Pengantara, dan satu pula RohNya.

Terpenuhinya rencana Allah yang universal itu berlangsung pada kancah kemanusiaan yang secara
universal juga dianugerahi kekayaan yang sama dan kultural, kemanusiaan penuh dengan kekayaanyang
sama-sama menyambut kasih karunia Allah. Jadi kekatolikan merangkum segi kosmik dan historik ciptaan
Tuhan. Penghadiran Kristus dalam sejarah umat manusia dan alam semesta masa kini (LG art. 1)
memancarkan rahasia Sang Putera (Ef 3:8-12).

Kekatolikan terlaksana dalam perjumpaan kepenuhan Kekuatan Penyelamatan yang tersedia dalam
Kristus dan berkarya dalam Gereja, dengan kepenuhan potensial manusia yang tak hentinya berkembang
dalam kesatuan dengan alam semesta (Teilhard de Chardin). Maka Kristus yang Terang Bangsa -bangsa itu
terpancar secara menyeluruh dalam proses dinamik pengkatolikan bagi seluruh Gereja maupun bagi
masing-masing umat.

Dalam LG art. 13 ditegaskan, bahwa umat Allah hadir di segala bangsa. Namun itu tidak berarti bahwa
Gereja menyingkirkan sifat bangsa-bangsa, melainkan bahwa segala kebudayaan dirangkum sebagai bahan
untuk mengimani kebaikan Bapa (bdk Mzm 2:8; 72:10; Yes 60:4-7; Why 21:24). Begitulah Teologi Misi
menemukan dasarnya, dan Teologi Inkulturasi menemukan dukungannya.

Kekatolikan itu perlu dilaksanakan dengan lebih baik lagi apabila mengingat perpisahan antar Gereja (UR
4 dan 10). Dengan kata lain, kekatolikan Gereja berdasar pada keyakinan iman bahwa Kekudusan Allah
secara ekstensif berkarya di seluruh bumi dan sepanjang sejarah. Kepenuhan kekudusan Allah di dunia dalam
penjelmaan Sang Putera merupakan aspek intern kekatolikan dan cakupannya pada segala masa dan seluruh
bumi menyatakan aspek eksternnya. Dengan begitu, kekatolikan Gereja tidak hanya menunjuk pada
penghadiran Gereja secara lokal, kuantitatif, dengan variasi kultural-sosialnya maupun kesinambungan
temporalnya, melainkan pada kenyataan bahwa dalam pergeseran dan pergulatan sepanjang sejarah dan di
semua tempat itu Gereja tetap satu yang sama. Katolisitas dan Satunya Gereja berjumpa: Dasarnyaitu
satunya Gereja dan akibat kekatolikan adalah universalitas.

Gereja sebagai Sakramen Keselamatan bagi dunia mengartikan bahwa keselamatan dihadirkan dalam
Gereja secara sakramental. Dan dalam Gereja setempat Gereja sebagai kehadiran keselamatan secara
sakramental memperoleh bentuk dan pelaksanaannya.

Bila kita memandang kepada Kitab Suci, maka akan diketemukan bahwa perhatiannya tidak hanya
kepada Gereja univeral, Gereja yang terarah kepada seluruh dunia dan segala bangsa, melainkan juga
kepada Gereja setempat. "The Acts of the Apostles speaks reguluarly of the Church in Jerusalem (e.g. 8:1,
and passim). On their missionary journey, Paul and Barnabas appoint elders 'in every Church' (14:22-23).
The Vision of the Apocalypse is addressed 'to the seven churches that are in Asia' (Apoc 1:4) (Peter
Hebbletwaite, The Theology of the Church, Cork, 1969, p.18).

Memang dalam Dokumen Vatikan II tidak ada banyak teks yang berbicara mengenai Gereja setempat,
termasuk juga dalam dokumen yang secara khusus berbicara mengenai Gereja. Dikatakan oleh Hebbletwaite:
"The Constitution On the Church does not take the local church as its starting point. The word 'Church' is used
in the Constitution chiefly of the gathering together of all the faithful under the leadership of the bishops in
communion with the Bishop of Rome. It is the whole Church which is kept in view throughout. This is because
the Council wished to respect the whole mystery of salvation and, therefore, necessarily had to deal with the
Church in this broader sense" (Ibid. p.16). Walaupun demikian, toh ada suatu kutipan dalam konstitusi
mengenai Gereja yang secara khusus berbicara mengenai Gereja setempat, yaitu n.26. Dikatakan dalam
nomor tersebut:

"Gereja Kristus itu sungguh hadir dalam semua jemaah kaum beriman setempat yang syah yang
dalam kesatuan dengan gembala mereka dalam Perjanjian Baru disebut 'Gereja' sendiri. Gereja-gereja

63
itu di tempatnya masing-masing adalah umat baru yang dipanggil oleh Allah dalam Roh Kudus dan
dengan sepenuh-penuhnya (lih. 1 Tess 1:5). Di dalamnya dihimpunkan orang beriman karena
pewartaan Injil Kristus serta dirayakan misteri perjamuan Tuhan supaya dengan Tubuh dan Darah
Tuhan semua saudara perhimpunan dihubungkan erat-erat. Dalam setiap jemaah yang dikumpulkan di
sekitar altar dengan pelayanan suci uskup, nampak lambang cintakasih dan kesatuan Tubuh mistik yang
berupa syarat mutlak untuk keselamatan. Dalam jemaah-jemaah itu, walaupun seringkali hanya kecil
dan miskin atau tinggal tersebar, hadirlah Kristus dan berkat kekuatan-Nya Gereja yang satu, kudus,
katolik dan apostolik pun terkumpulkan" (Terjemahan Tom Yakobs, Lumen Gentium, Terjemahan,
introduksi, komentar, jilid II, Yogya, 1970, p.503-504).

Dikatakan oleh Hebblethwaite:

"This passage was inserted as a result of an intervention by the Auxiliary Bishop of Fulda, Dr. E.
Schich. He pointed out that the actual, concrete life of the Church was being lost sight of and that the
interplay between the εκκλήσίά as the local church and the εκκλήσίά as the unity of those churches was
overlooked" (Peter Hebblethwaite, op.cit., p.17).

a. Komentar Atas Lumen Gentium n.26

(1) Bukan pecahan dari Gereja universal

Gereja setempat bukanlah pecahan dari Gereja universal. Tidak ada saingan antara Gereja universal dan
Gereja setepat. Gereja universal dan Gereja setempat terkait satu dengan yang lain. Bagaimanakah
hubungan itu dapat dijelaskan?

Baik dalam Gereja universal maupun dalam Gereja setempat keselamatan yang mencapai puncak dan
pemenuhannya dalam Yesus Kristus dihadirkan. Dikatakan oleh K. Rahner: "The greatest thing that can be
said of the whole Church, namely that Christ himself is given in her by his gospel, his love and the unity of
believers, can also be said of the local church" (Ibid., p.22).Hanya haruslah dikatakan, dalam Gereja
universal diwujudkan satu aspek yang tidak begitu jelas dalam gereja setempat, yakni bahwa keselamatan itu
diarahkan kepada segala bangsa dan ke seluruh dunia, sedangkan dalam Gereja setempat menjadi jelas
bahwa keselamatan itu merupakan kesatuan hidup dengan Kristus. Gereja universal dan Gereja setempat
merupakan dua pola pelaksanaan karya keselamatan.

Atau lebih jauh patutlah ditegaskan, Gereja setempat merupakan pelaksanaan sakramental Gereja
universal. 'Gereja Kris-tus itu (Gereja universal) sungguh hadir dalam semua jemaah kaum beriman
setempat'. Masing-masing Gereja di tempatnya sendiri merupakan Umat Allah, yang dipanggil oleh Allah
dalam Roh Kudus. Gagasan Umat Allah tidak hanya berlaku bagi Gereja universal, melainkan dalam arti yang
sama bagi Gereja setempat juga. Umat Allah dalam Gereja setempat itu tidak hanya sebagian dari Umat Allah
se dunia, melainkan Umat Allah Gereja universal dihadirkan dalam umat Gereja setempat. Itu berarti,
panggilan Umat Allah dinyatakan dan dijalankan dalam umat setempat. Dalam umat setempat Imamat umum
atau Imamat bersama sekalian kaum beriman memper-oleh bentuk dan pelaksanaannya. Di situ juga
karunia-karunia kharismatis menjadi efektif.

(2) Unsur-unsur konstitutif Gereja Setempat

Sebagai pelaksanaan sakramental Gereja Universal, Gere-ja setempat mempunyai unsur-unsur


konstitutif yang bisa dikatakan sebagai struktur Gereja setempat. Dalam n.26 itu dikatakan bahwa Umat
setempat dibangun dan dihimpunkan terus menerus oleh:

a.Pewartaan Injil

b.Perayaan Ekaristi

c. Persekutuan dalam cintakasih

d.Seorang Gembala sah yang mewujudkan kesatuan umat dengan umat- umat lain dalam Gereja
se dunia.

(3) Gereja setempat dalam diaspora

Dikatakan dalam n.26 itu: "Dalam jemaah-jemaah itu, walaupun seringkali hanya kecil dan miskin atau
tinggal tersebar, hadirlah Kristus". Gereja setempat merupakan kelompok kecil di tengah-tengah dunia yang
tidak Kristiani, kelompok yang tidak ber-kuasa dalam masyarakat, malah yang ditolak dan dianiaya oleh
masyarakat umum. Gereja setempat itu haruslah dipandang sebagai tanda kehadiran Yesus Kristus di dunia.
Keadaan ini tidaklah bersifat sementara waktu. Rasul Paulus sudah mengungkapkan keadaan ini kepada
umatnya di Korintus, katanya:

64
"Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran
manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak ba-nyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang
terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalkan orang -orang yang berhikmat,
dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk mema-lkan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang
dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berar ti, dipilih Allah untuk meniadakan apa
yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah. Tetapi oleh
Dia kamu berada dalam Kristus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan
menguduskan dan menebus kita. Karena itu seperti ada tertulis: "Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia
bermegah di dalam Tuhan" (1 Kor 1:26-31).

Selanjutnya harus dikatakan, bahwa Gereja setempat ada dalam diaspora merupakan konsekuensi
penerimaan pewartaan salib Kristus. Dengan demikian keadaan itu merupakan tanda kehadiran Kristus yang
tersalib. Kata Paulus kepada Umatnya di Korintus:

"Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami
memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang
yang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang
bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah" (1 Kor 1:22-24).

b. Beberapa konsekuensi pemberian peranan sentral kepada Gereja setempat

1. Secara teologis tidak ada pertentangan antara Gereja uni versal dan Gereja setempat.
Kedua-duanya memperoleh kesatuannya dalam Yesus Kristus, Tuhan Gereja. Yesus Kristus dalam Roh
Kudus merupakan prinsip kesatuan baik dari Gereja universal, maupun dari Gereja setempat. Oleh
karena Yesus Kristus dalam Roh-Nya ingin mengumpulkan semua manusia dari segala bangsa dan
zaman, maka terbentuklah Gereja universal. Dan justru karena Yesus Kristus dalam Roh -Nya hendak
menghimpun orang-orang tertentu, pada tempat tertentu dengan kebudayaan, bahasa dan situasi
tertentu, maka terbentuklah Gereja setempat.

2. Secara teologis dan praktis Gereja setempat harus menda pat peranan dan kedudukan
sentral dalam semangat eklesial kaum beriman dan hirarki. Panggilan Gereja terwujud di tempat -tempat
dan dalam situasi masing-masing kelompok, entah kelompok itu berupa sebuah paroki, keuskupan,
Gereja nasional, atau kelompok orang Kristiani apa saja yang bekerja sama di salah satu tempat, dalam
salah satu situasi atau organisasi. Kelompok-kelompok orang-orang Kristiani itu yang merupakan Gereja
setempat bertanggungjawab atas pelaksanaan panggilan Gereja atau tugas Gereja (pewartaan, liturgi
dan diakonia). Mereka tidak boleh menggulingkan tanggungjawab itu atas bahu hirarki Gereja universal.
Lagi, mereka tidak boleh menanti tindakan Gereja universal, bilamana tindakan yang sama itu bisa
diambil oleh Gereja setempat juga.

3. Gereja setempat harus mencegah sikap partikularistis. Kesatuan pokok sekalian


kaum beriman dalam Kristus, lagi, panggilan bersama semua orang Kristiani untuk memberi kesaksian
tentang Kabar Gembira dalam dunia ini, tidak pernah mengizinkan semangat persaingan, tidak mau
kalah, atau usaha untuk membangun umat sendiri dengan merugikan umat-umat yang lain. Dirumuskan
secara positif: Gereja-gereja setempat hendaknya saling membantu dalam pelaksanaan tugas dan
pambangunan umat. Inilah dasar karya misi dewasa ini: Gereja-gereja setempat saling membantu
dalam hal tenaga kerja, kekayaan rohani dan material. Melihat situasi masyarakat modern yang
demikian berbelit-belit dan melihat tun-tutan-tuntutannya kepada Gereja begitu tinggi, maka tentu saja
mutlak perlu suatu dialog menetap antara Gereja-gereja setempat: saling tukar pikiran, saling tukar
pengalaman dalam cara-cara me-wartakan Injil atau memberi kesaksian, dalam cara-cara merayakan
Liturgi dan dalam cara-cara berdiakonia. Dan forum untuk itu ialah pertemuan-pertemuan lokal dan
nasional, Sinode gereja-gereja, konperensi uskup-uskup serta sinode-sinode uskup-uskup sedunia.
4. Gereja dalam situasi diaspora (tak terpandang, hina di tengah-tengah masyarakat,
tergolong kaum miskin dan kaum bodoh, malah mengalami penganiayaan dari masyarakat) bukanlah
sesuatu yang ideal dalam arti ekonomis, sosiologis. Yang sungguh harus dikemukakan ialah: bahwa
Gereja berada dalam situasi diaspora merupakan suatu 'keharusan' dalam sejarah keselamatan. Itu-lah
jalan yang dikehendaki Allah. Bangsa manusia ditebus melalui solidaritas satu dengan yang lain, melalui
solidaritas kaum ber-iman dengan kaum tak beriman, melalui solidaritas antara kaum berada dan kaum
tak berada, melalui solidaritas antara kaum ter-pandang dengan kaum tak terpandang. Gereja harus
hidup dalam diaspora. Hal ini tidak untuk membenarkan dan menyetujui situasi demikian, melainkan
merupakan konsekuensi solidaritasnya dengan dunia yang membutuhkan pengabdian. Gereja tidak
dapat mengundurkan diri dari masyarakat dunia, tetapi sebaliknya bersikap misio-ner terhadap
masyarakat. Memang Gereja harus berusaha supaya jumlah orang-orang Kristiani bertambah, namun
bukanlah dengan mengurbankan azas-azas injili atau mengurangi kebebasan manusia. Gereja harus

65
berusaha supaya semangat Kristiani diwujudkan dalam masyarakat, tetapi bukan melalui ikatan-ikatan
dengan para penguasa yang mengaluangi pewartaan Injil kepada kaum miskin dan yang menolak
pembaharuan struktur-struktur masyarakat. Gereja harus mencari pengaruh dalam organisasi-organisasi
masyarakat dan badan-badan sosial, tetapi bukanlah untuk menguasai organisasi masyarakat tersebut
dan menghantar semua warganegara taklk kepada undang-undang Kristiani, yang mereka sendiri tidak
dapat menerima dengan sukarela dan sepenuh hati. Jadi, pada dirinya sendiri jumlah, pengaruh,
kehormatan, dan kedudukan kaum Kristiani dalam masyarakat tidak penting dan tentu saja bukanlah
sesuatu yang harus dikejar dengan segala daya upaya, sambil mengurbankan cita-cita injili. Karena
orang-orang Kristiani ingin mengabdi dan supaya pengabdian mereka riil, maka mereka harus masuk ke
dalam masyarakat dan badan-badannya. Kesadaran tentang situasi diaspora Gereja mencegah sikap
fanatik terhadap masyarakat dunia, seakan-akan seluruh dunia harus ditobatkan. Sikap fanatik juga
yang berasal dari pandangan bahwa seakan-akan segalanya yang ditawarkan dan dilaksanakan oleh
dunia, terlepas dari Gereja karena bersifat jahat dan buruk. Karena situasi diaspora merupakan suatu
keharusan, maka Gereja tidak usah meluarikan diri dari situasi itu dan menciptakan suatu ghetto.
Kenyataan-kenyataan yang kontingen itu merupakan pelbagai bidang kehidupan Gereja, yang perlu kita
laksanakan secara lebih terperinci.

GEREJA
HISTORIS

PERJANJIAN LAMA

PERJANJIAN BARU

MASA PASCA PERJANJIAN BARU

* EXKURSUS: KONSILI VATIKAN II

SEJARAH

DOKUMEN-DOKUMEN

POKOK-POKOK GAGASAN:

GEREJA SEBAGAI MISTERI

GEREJA SEBAGAI SAKRAMEN

GEREJA DALAM DUNIA

PASCAVATIKAN II

GEREJA MENYELAMI DUNIA MUTAKHIR

POLA GEREJA
(SISTEMATIKA)

PENGERTIAN ‘GEREJA’

ISTILAH: PAGUYUBAN UMAT BERIMAN

GEREJA SEBAGAI PERISTIWA IMAN:

IMAN DAN WAHYU ADALAH RELASI BEBAS

IMAN DAN UNGKAPAN: SENDIRI/BERSAMA

YANG VERBAL DAN NON-VERBAL

ORGANISME DAN ORGANISASI

66
GEREJA = GEREJA YESUS KRISTUS

BAGAIMANA YESUS INGIN GEREJANYA

GEREJA DAN YESUS HISTORIS

GEREJA DAN KERAJAAN ALLAH

GEREJA DAN PASKA

JAMAN GEREJA = JAMAN ROH KUDUS

GEREJA = TUBUH KRISTUS

TIGA CITRA/UNSUR UTAMA GEREJA

KARYA ROH KUDUS

KERAJAAN ALLAH

TUBUH KRISTUS

PELBAGAI WUJUD HIDUP MENGGEREJA

LEITOURGIA )
)
KOINONIA )
)
DIAKONIA )   MARTYRIA
)
KERYGMA )
)
POIMENIK )

CIRI-CIRI GEREJA

DARI SUDUT RELASINYA DG YESUS KRISTUS:

APOSTOLIK

SATU

DARI SUDUT PERANNYA SBG SAKSI SEMESTA:

KUDUS

KATOLIK

PEMERSATUAN GEREJA

GEREJA UNIVERSAL – GEREJA SETEMPAT

PEMERSATU GEREJA

* AWAM

* TAHBISAN

KONSILI TRENTE

KONSILI VATIKAN I DAN PEMIMPIN GEREJA

PEMBAKUAN PROSES PEMERSATUAN: 1918

RAMBU2 PEMERSATUAN KONSILI VATIKAN II:

67
KOLEGIALITAS – SIFAT PARTISIPATIF

”AVAILABILITY” DAN ”ACCOUNTABILITY”

GEREJA DAN PEMBAHARUAN

YOHANNES XXIII

YESUS KRISTUS SANG MESSIAS

HIDUP BAKTI DARI ABAD KE ABAD

PEMBARUAN ABAD 19-21:

HIDUP ROHANI

SEMANGAT MERASUL: MISI

HIDUP BERKELUARGA

PEMBAHARUAN KARISMATIK

SELIBATER AWAM

HIDUP ROHANI LINTAS PUBER

KESADARAN HAM

KEUTUHAN CIPTAAN

68

Anda mungkin juga menyukai