NASIONAL
UNYSEF 2013
OLEH:
KUPANG
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
Namun, belumlah cukup bila dalam hidup manusia hanya sampai pada
level bertanya tetapi manusia harus melampaui itu yaitu dengan belajar.
Terkadang juga manusia salah mengartikan bahwa belajar itu hanya di sekolah.
Sehingga menghasilkan out-put yang tidak kompeten, komprehensif, bermoral
buruk dan asusila. Dan ini adalah kesalahan yang sangat besar karena dalam
hidup manusia belajar itu untuk kehidupan. Sebagaimana dikatakan oleh Seneca,
non scholae sed vitae discimus: Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan
untuk hidup. Itu artinya, kita belajar bukan sekadar untuk mendapatkan nilai
namun bagaimana kita menerapkan nilai itu dalam kehidupan praktis. Jadi, kata-
kata itu menunjukkan bahwa sekolah memiliki aspek teoretis dan praktis
sekaligus.
2
Melalui semboyan di atas, menampilkan dua paradigma dalam menilai
proses belajar:1
1
Pius Pandor, CP., “Ex Latina Claritas Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan”, (Jakarta:
Obor, 2010), hlm. 93-94.
3
2. Apa itu pendidikan budi pekerti? Dan bagaimana mencapai manusia
Indonesia yang berbudi pekerti dan bertata krama?
3. Kira-kira mata pelajaran apa yang layak agar tercapainya manusia
Indonesia yang berbudi pekerti dan bertata krama?
4
BAB II
LANDASAN TEORETIS
Kata pendidikan berasal dari kata kerja Latin, Educare. Kata educare
dalam bahasa Latin memiliki konotasi “melatih” atau “menjinakkan” (seperti
dalam konteks manusia melatih hewan-hewan liar menjadi semakin jinak
sehingga bisa diternakkan), menyuburkan (membuat tanah itu lebih menghasilkan
banyak buah karena tanahnya telah digarap dan diolah). Jadi, pendidikan
merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan,
mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar semakin tertata, semacam
proses penciptaan sebuah kultur dan tata keteraturan dalam diri sendiri maupun
dalam diri orang lain (Bdk. Doni Koesoema A, 2007, hlm. 53).2
Istilah pendidikan atau pedagogi berasal dari kata bahasa Yunani yaitu
paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak. Paedagogia berasal dari suku
kata paes yang berarti “anak” dan again yang berarti “membimbing atau
memimpin.” Dari sini muncul istilah paedagogos yang berarti seorang pria bujang
yang pada zaman Yunani Kuno bertugas menghantar dan menjemput anak ke dan
dari sekolah. Dalam tugas ini secara simbolis terkandung inti pendidikan yaitu
membimbing anak di dalam pertumbuhannya ke arah yang dewasa dan
bertanggungjawab.3
2
Pius Pandor, CP., Op. Cit., hlm. 79-80.
3
Nelsonsius Klau Fahik, “Pendidikan Integral: Pendidikan Yang Memahami Manusia”,
(Kupang: PT. Grafika Timor Idaman, 2006), hlm. 8.
5
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai
proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.4
4
Tanti Yuniar , Sip., “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”, (Agung Media Mulia), hlm.
164.
5
Nelsonsius Klau Fahik, Op. Cit.
6
http://www.hasbihtc.com/2012/12/apa-itu-pendidikan-pengertian-pendidikan.html
6
Pada dasarnya pendidikan ditinjau dari Undang-Undang SISDIKNAS No.
20 tahun 2003 yaitu sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagaamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya dan masyarakat. 7
7
bangsa. Di sana juga terkandung suatu jalinan yang lebih mendalam yaitu bahwa
pendidikan merupakan suatu usaha bersama dalam proses terpadu terorganisir
untuk membantu manusia demi pengembangan diri dan mempersiapkan diri
dalam keberpartisipasian pengembangan masyarakat dan dunianya di hadapan
Tuhan Yang Maha Esa.
9
Drs. H. M. Djumransjah, M. Ed., “Pengantar Filsafat Pendidikan”, (Malang:
Bayumedia, 2004), hlm. 19-24.
10
Nelsonsius Klau Fahik, Op. Cit., hlm. 12-13.
8
dan Tuhan serta mampu menyikapi segala realitas hidup yang dialami dan yang
akan dihadapi sebagai pribadi yang bermartabat, berbudaya, beradab dan
bermoral. Atau dengan kata lain pendidikan memampukan manusia untuk
mengembangkan cita, rasa dan karsa. Sehingga tujuan dari pendidikan bukan
hanya melulu pada aspek intelektual melainkan sebagai medium atau sarana bantu
agar peserta didik mampu mengembangkan segala potensi diri, segala bakat
talenta dan mengetahui lebih banyak hal. Untuk juga bisa menemukan
pemahaman yang fundamental akan diri sendiri (sesama), alam dan Tuhan. Agar
peserta didik dimampukan untuk berelasi sosial secara baik dan benar dengan
alam, sesama dan Tuhan.
9
Adapun manfaat dari pendidikan adalah sebagai medium untuk
menjadikan manusia cerdas, menjadikan manusia berpribadi luhur, menjadikan
manusia yang belajar seumur hidup, menjadikan manusia yang berbudi pekerti
dan bertata krama, sekaligus sebagai proses hominisasi dan humanisasi.
Artinya, pendidikan itu harus bersifat dialogal. Di mana murid dan guru
adalah sama-sama subjek, sama-sama aktif dan bukannya murid dijadikan objek
dan menjadi pasif. Sebagaimana dikatakan oleh Paulo Freire dalam bukunya
“Pedagogy of the Oppressed” bahwa sistem pendidikan sekarang ini lebih
menghasilkan manusia-manusia pasif, karena inisiatif, kreativitas anak disunat.
Guru mengajar, dan murid diajar. Guru bertindak sebagai subjek sedangkan murid
sebagai objek. Guru tahu semua hal sedangkan murid tidak tahu apa-apa. 13
Menurut Paulo Freire, pendidikan gaya tabula rasa hendaknya dibuang sehingga
kreativitas dan inisiatif anak dijunjung tinggi. Guru dan murid adalah subjek yang
sama-sama belajar. Perlu komunikasi yang dialogal antara murid dan guru. Guru
mengajar dan murid diberi hak untuk bertanya agar kuriositas murid tak disunat.
13
Tony Kleden, Suara Dari Bukit: Tapak-Tapak Undur, dalam Seri Buku Vox, Edisi
Khusus-Lustrum VIII, 1993 (Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero), hlm. 9-10.
10
diri kita, sebagaimana diilustrasikan oleh Plato lewat perumpamaan tentang gua.
Pendidikan itu adalah proses seseorang untuk keluar dari gua untuk mengetahui
kebenaran. Realitas di luar gua adalah realitas sejati (genuine) dan realitas dalam
gua adalah realitas yang tidak benar, kabur dan palsu. Maka, untuk mencapai
kebenaran, yang perlu ialah suatu pendidikan; harus diadakan suatu usaha khusus
untuk melepaskan diri dari panca indera yang menyesatkan.14
14
Prof. Dr. K. Bertens, “Sejarah Filsafat Yunani”, : Edisi Revisi, (Yogyakarta: Kanisius,
1999), hlm. 135-136.
11
pendidikan bukan tidak lain adalah menentukan manusia itu. Ketertentuan
manusia dengan segala aspek pribadinya mendatangkan totalitas keberadaan
pribadi manusia itu sendiri sebenarnya ditemukan dalam pendidikan. Sehingga
pendidikan tidak selalu menjadi pawong untuk menyelamatkan satu aspek dari
diri manusia melainkan mau menegaskan keutuhan dirinya dalam perjuangannya
menata dunia kepada satu keutuhan pula.
Hakekat dari pendidikan adalah belajar dan mengajar. Hal ini dikatakan
oleh Seneca melalui karyanya, Epistulae ad Lucilius (surat kepada Lucius)17
dengan mottonya homines, dum docent, discunt yang berarti manusia sementara
15
Dra. Nurul Zuriah, M. Si., Op.Cit., hal 67.
16
Nelsonsius Klau Fahik, Op. Cit., hlm. 14.
17
Pius Pandor, CP., Op. Cit., hlm. 85-86.
12
mengajar, belajar. Ia mengatakan bahwa pendidikan adalah proses perjumpaan,
yang mana perlu adanya hubungan timbal balik antara guru yang mengajar dan
murid yang belajar atau mendengar. Perjumpaan terpusat pada subjek. Guru
adalah subjek yang memiliki otoritas untuk mengajar, sementara murid adalah
subjek mandiri yang mau mencari, dan mencintai kebenaran. Karena murid adalah
subjek, maka perlu diberi kebebasan untuk melakukan berbagai pilihan dalam
mengembangkan potensi dirinya. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator,
mediator dan motivator yang senantiasa memberikan peluang kepada murid untuk
aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran. Maka, mengajar dilihat sebagai seni
membantu peserta didik untuk belajar mencari dan mencintai kebenaran.
2.5.1 Orangtua
2.5.2 Masyarakat
13
perkembangan serasi anak-anak dan kaum muda menurut segi pandangan fisis,
moral, spiritual, religius dan intelektual.18
Tentu saja kita tidak bisa sangkal bahwa lingkungan sosial tempat tinggal
anak sangat berperan penting bagi pertumbuhan karakter anak. Sehingga apabila
lingkungan sosial itu menampilkan penghayatan yang luhur akan nilai-nilai dan
norma-norma, maka anak secara tidak langsung juga dibentuk untuk berkembang
dan hidup menurut koridor nilai dan norma yang dihayati dalam hidup
bermasyarakat. Juga sebaliknya, jika dalam masyarakat justru menampilkan
aktus-aktus yang bertolak belakang dengan nilai-nilai luhur, maka bukan tidak
mungkin anak-anak juga secara keliru telah mengimitasinya dan bisa jadi dapat
menuju kehancuran masa depan.
Namun, di sini juga anak harus mampu membedakan hal yang baik dan
yang salah, menerima yang benar dan mengelakkan yang buruk dan jahat. Anak
juga diharapkan untuk mampu menerima nilai dan norma sebagai petunjuk dan
patokan dalam hidupnya.
2.5.3 Sekolah
18
J. Drost, SJ., “Sekolah: Mengajar Atau Mendidik”, (Yogyakarta: Yogyakarta, 1999),
hlm. 32.
14
guru antara lain: pertama, menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar
melalui kerja sama dalam merencanakan program pembelajaran; kedua,
menemukan kebutuhan belajar; ketiga, merumuskan tujuan dan materi yang cocok
untuk memenuhi kebutuhan belajar; keempat, merangsang pola belajar dalam
sejumlah pengalaman belajar untuk peserta didik; kelima, melaksanakan kegiatan
belajar dengan menggunakan metode, teknik dan sarana belajar yang tepat, dan ;
keenam, menilai kegiatan belajar serta mendiagnosis kembali kebutuhan belajar
untuk kegiatan pembelajaran berikutnya.19
Dalam hal ini guru tidak hanya mengajar, tetapi belajar, seperti ditegaskan
dalam pepatah Latin, Qui docet, discit, artinya siapa yang mengajar, dia juga akan
mengajar. Dia belajar untuk mengembangkan semangat kerja sama, menemukan
metode yang tepat dan efisien dan belajar mengembangkan proses belajar agar
semakin menarik dan bermutu. Dari sinilah ia terbantu untuk belajar mengenal
dan mengembangkan dirinya agar semakin cakap, arif-bijaksana dalam
mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Dan dalam mengembangkan
proses belajar mengajar, ia (guru) juga perlu mengikuti kurikulum yang berlaku
secara nasional tanpa mengabaikan kebijaksanaan lokal (local wisdom) yang
menjadi cirikhas dalam sebuah masyarakat.20
19
Pius Pandor, CP., Op. Cit., hlm. 86-87.
20
Ibid.
15
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
16
Metode yang peneliti gunakan dalam penelitian adalah metode
bagaimana pentingnya pendidikan Budi Pekerti bagi seorang anak (peserta didik).
Dengan itu, seorang individu akan mengetahui dan memahami bahwa pendidikan
yang baik dan berguna adalah pendidikan budi pekerti karena membentuk
manusia menjadi pribadi yang berkarakter, beradab, berbudi luhur, berbudi pekerti
3.2 Interpretasi
penelitian di atas, penulis akan berusaha menemukan dan mengkaji gagasan atau
3.3 Induksi-Deduksi
masalah- masalah yang ada. Konsep-konsep dan data-data akan dikumpulkan dan
lain.
3.4 Holistik
21
A. Bakker dan A. Charris Zubair, “Metodologi Penelitian Filsafat”, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 41.
17
Setiap persoalan akan diteliti, sehingga pembahasan selalu berada dalam
satu kesatuan yang utuh yang berpatokkan pada sumber pustaka dalam kaitannya
3.5 Deskripsi
mendasar mengenai topik penelitian ini, menatanya secara teratur dan tepat serta
pustaka, tetapi sama sekali tidak menutup kemungkinan bagi peneliti untuk
BAB IV
18
3.1 Defenisi Budi Pekerti dan Tata Krama
Bila kita berbicara tentang budi pekerti sama artinya dengan karakter yang
tentunya juga berhubungan dengan tata krama, maka penulis juga menjelaskan
semuanya secara rinci.
22
Rm. Florens Maxi Un Bria, Pr., “Kembali Ke Akar Peradaban Budi Pekerti dan Tata
Krama 2 Buku Pegangan Guru dan Bahan Pembelajaran Untuk Murid-Murid SLTP”, (CPH,
Caritas Publishing House-Indonesia, 2004), hlm.11-12.
23
Dra. Nurul Zuriah, “Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan:
Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual Dan Futuristik”, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), hlm. 17.
19
yang memiliki watak mulia dan pengetahuan tinggi akan disanjung dan dijunjung
tinggi serta dicintai oleh masyarakat.
Tata krama adalah sebutan lain untuk Etiket. Tata krama juga disebut
sebagai sopan santun, tata pergaulan yang harus dipelajari, diketahui dan
dilaksanakan dalam hidup.24
Tata krama adalah satu sikap yang sangat urgen dalam hidup manusia.
Karena dengannya manusia mampu membangun relasi yang baik dan benar,
berkomunikasi, bekerjasama dalam hidup kemasyarakatan. Setiap masyarakat
baik dari yang paling kuno sampai yang paling modern pun tahu tentang tata
krama. Karena mereka telah dibentuk dalam satu budaya yang memiliki
pemahaman akan dan tentang etika dan tata krama. Di sini, orang yang tahu akan
tata krama dan etika tentunya ia sangat dijunjung tinggi, dihargai, dicintai dan ia
dipandang sebagai manusia berbudaya dan beradab. Misalkan, bila kita berjumpa
dengan orang baru atau sesama kita tentunya kita akan memberikan salam, atau
kita mendengarkan orang lain yang sedang berbicara, dan lain sebagainya.
Tata krama membentuk dan menghantar orang kepada hidup yang lebih
baik, lebih luhur, lebih mulia, bermartabat dan sekaligus beradab sehingga
perilaku, pembawaan diri secara sehat dan kebajikan-kebajikan hidup yang
dihasilkan mempesonakan dan mengagumkan.
Budi Pekerti dan Tata Krama membantu membentuk orang menjadi Homo
Dei Admiranda et Amanda; menjadi manusia Allah/Tuhan yang pantas
dikagumi.25
24
Rm. Florens Maxi Un Bria, Pr., Op. Cit., hlm. 12-13.
25
Rm. Florens Maxi Un Bria, Pr., Op. Cit., hlm. 13-14.
20
Manusia adalah seorang individu yang memiliki hati nurani, kehendak
bebas, dan hak untuk menentukan diri sendiri menjadi manusia yang mandiri.
Karena itu relasi dengan orang lain sangat penting bagi seorang individu. Artinya,
kehadiran orang lain memberi makna bagi diriku, “Esse est co esse”.
Manusia tak bisa hidup sendirian. Ia membutuhkan orang lain karena itu,
dibutuhkan seperangkat norma etis, Tata Krama dan Budi Pekerti agar membantu
manusia hidup secara benar sebagai makhluk yang berbudi dan bersusila. Dengan
Budi Pekerti, Tata Krama dan norma-norma etis seseorang mampu menampilkan
jati dirinya sebagai citra Tuhan yang berbeda dengan makhluk yang lain.
Sebagai makhluk sosial setiap insan harus patuh pada norma-norma etis,
tata krama dan budi pekerti yang hidup agar mereka dapat diterima sesama yang
lain. Sebagai mahkluk yang berhati nurani setiap orang diharapkan mampu hidup
menurut kesadaran dan tuntunan hati nurani. Dengan menghayati hidup yang
demikian, orang mampu menampilkan diri sebagai pribadi-pribadi yang tangguh,
bermoral, berbudaya dan berhati nurani sehingga mereka pantas dikagumi dan
layak dicintai dalam hidup, karena mereka selalu mengusahakan perilaku yang
baik, luhur dan terpuji di hadapan diri sendiri, sesama dan Tuhan.
Dalam hal ini, manusia sebagai makhluk yang memiliki tujuan ultim
dalam dirinya yang selalu berkehendak untuk mencapai apa yang diinginkannya
dengan cara yang beradab, bertata krama, berbudaya, bijaksana-arif, sekaligus
berbudi pekerti yang juga menegaskan bahwa manusia adalah makhluk berakal
budi, berkehendak bebas dan juga berhati nurani.
21
Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah
yangbertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati
nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya
melalui kejujuran, dapat dipercaya (credible), disiplin, dan kerja sama yang
menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif
(berpikir rasional) dan ranah skill atau psikomotorik (keterampilan, terampil
mengolah data, mengemukakan pendapat dan kerja sama).
22
3.5.2.2 Penanaman Nilai-Nilai
23
jalan tengah. Bagi Aristoteles keberadaan sekolah tidak boleh hanya untuk
meningkatkan aspek kognitif dan keterampilan melainkan juga keutamaan, Budi
Pekerti dan Tata Krama. Bahwa kita memperoleh keutamaan dengan berlaku
dengan baik, agar kita tidak terhimpit oleh “lingkaran setan”. Untuk berlaku
dengan baik sudah mesti ada keutamaan dan keutamaan itu diperoleh dengan
berlaku dengan baik. Dan untuk memperoleh keutamaan, kita mesti mulai dengan
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik secara objektif saja, artinya perbuatan-
perbuatan yang oleh umum dianggap bersifat baik. Tetapi lambat laun suatu
kebiasaan yang kokoh akan terbentuk dalam watak kita, sehingga untuk
selanjutnya kita melakukan perbuatan-perbuatan baik berdasarkan keutamaan.27
3.8 Mata Pelajaran yang Dapat Membentuk Diri Peserta Didik Menjadi
Pribadi Berkarakter atau Berbudi Pekerti dan Bertata Krama
27
Prof. Dr. K. Bertens, Op. Cit., hlm. 195-196.
24
Penulis juga sedikit menelaah lebih jauh bahwa ada mata pelajaran penting
yang diharapkan dapat dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan nasional
karena sangat berguna untuk pembentukan pribadi manusia indonesia yang
berbudi pekerti dan bertata krama.
3.8.1 PPKn
3.8.2 Agama
3.8.3 Budaya
Budaya berarti “daya dari budi”, yang berupa cipta, rasa dan karsa. Jadi,
kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa. Sebagai mata pelajaran,
budaya memegang peranan yang sangat penting untuk menumbuhkan karakter
manusia menuju kematangan dan kedewasaan sebagaimana yang diharapkan dari
25
setiap agen terdidik. Mengapa demikian? Karena manusia disebut sebagai beradab
karena manusia memiliki budaya. Dalam budaya itu ada nilai-nilai fundamental
yang terkandung di dalamnya sehingga perlu dilestarikan, dijaga, dirawat dan bila
perlu menjadi bagian yang intergral dari hidup manusia. Dengan demikian, nilai-
nilai fundamental yang ada itu turut membentuk pribadi manusia menjadi pribadi
beradab, berbudaya dan berbudi pekerti. Maka, alangkah baiknya, budaya
dijadikan sebagai satu mata pelajaran yang terpisah yang perlu ada dalam
kurikulum pendidikan kita.
3.8.4 Sosial
Manusia disebut ens sociale karena relasinya dengan orang lain. Karena
manusia disebut sebagai makhluk sosial maka, ilmu-ilmu sosial hendaknya
diajarkan dalam dunia pendidikan agar seorang anak dibentuk menjadi pribadi-
pribadi yang tahu menghargai dan menghormati orang lain sebagai bagian
terpenting dalam hidupnya. Dengan demikian, individu tersebut menjadi matang
dan dewasa dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka,
sebaiknya ilmu-ilmu sosial dimasukkan ke dalam kurikulum kita agar peserta
didik memiliki pribadi yang utuh, kompeten, berakhlak baik, berbudi pekerti dan
bertata krama.
BAB V
PENUTUP
4.1 Simpulan
26
urgen dalam faktasitas hidup manusia. Atau dengan kata lain, pendidikan yang
diselenggarakan di sekolah–sekolah sebaiknya pendidikan yang merangkum
manusia secara utuh yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif melainkan juga
aspek afektif, konatif atau psikomotorik. Sehingga dengan demikian, sekolah
menghasilkan pribadi-pribadi yang berkualitas, berkompeten, komprehensif dalam
segala hal, atau all rounded man.
Mengapa? Karena lewat pendidikan budi pekerti dan tata krama dapat
menjadikan atau membentuk orang menjadi pribadi yang berkarakter, berbudi
pekerti dan tata krama, memiliki daya juang yang tinggi, berakhlak, bersusila,
berbudaya, beradab dan bijaksana.
4.2 Saran
27
4. Yang terjadi sekarang ini bahwa kurikulum pendidikan nasional sejatinya
belum berhasil membentuk suatu konsep pendidikan yang membentuk
manusia secara utuh dalam penanaman dan pengamalan akan nilai-nilai
kehidupan yakni kognitif, afektif, moral, sosial, budi pekerti, tata krama
dan arif serta bijaksana. Maka, kurikulum sebagai penentu arah pendidikan
hendaknya memberi porsi yang cukup ketat akan penanaman nilai-nilai
tersebut dan bukannya menggantikan kebijakan kurikulum itu setiap
pergantian kepemimpinan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Bertens, Prof. Dr. K., 1999, “Sejarah Filsafat Yunani”,: Edisi Revisi,
Yogyakarta: Kanisius.
28
Djumransjah, Drs. H. M. M. Ed., 2004., “Pengantar Filsafat Pendidikan”,
Malang: Bayumedia.
Kleden Tony, 1993, Suara Dari Bukit: Tapak-Tapak Undur, dalam Seri
Buku Vox, Edisi Khusus-Lustrum VIII, , Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat
Ledalero.
Pandor, Pius, CP., 2010,“Ex Latina Claritas Dari Bahasa Latin Muncul
Kejernihan”, Jakarta: Obor.
Zuriah, Dra. Nurul, 2007, “Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam
Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara
Kontekstual Dan Futuristik”, Jakarta: Bumi Aksara.
Website:
http://www.hasbihtc.com/2012/12/apa-itu-pendidikan-pengertian-
pendidikan.html
29