Anda di halaman 1dari 29

LOMBA KARYA TULIS PENDIDIKAN

NASIONAL

UNYSEF 2013

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI MENJADIKAN MANUSIA


INDONESIA BERBUDI PEKERTI DAN BERTATA KRAMA

OLEH:

DEODATUS PARERA (Ketua)

ARIANTO ADNAN BERKANIS (Anggota)

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA

KUPANG

2013

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia adalah ens rationale, makhluk berakal budi yang berbeda dengan
makhluk hidup lainnya. Dengan akal budi, manusia mampu berpikir dengan baik
dan benar. Hal serupa dikatakan oleh Immanuel Kant, cogito ergo sum, artinya
saya berpikir, maka saya ada. Artinya, eksistensi manusia ditegaskan dengan
berpikir. Karena berpikir adalah satu aktivitas khas manusia untuk menemukan
kepastian dan kebenaran.

Manusia adalah makhluk yang selalu bertanya. Bila ia berhadapan dengan


sesuatu yang membuatnya bingung, heran, kagum, tentu saja hal pertama yang ia
buat adalah dengan mempertanyakan. Dengan mempertanyakan manusia akan
dapat menemukan titik terangnya.

Pendidikan adalah satu medium atau sarana yang membantu manusia


untuk mengaktualisasikan segala potensialitas atau kapasitas dalam dirinya.
Pendidikan membentuk manusia menjadi pribadi yang integral. Dengan kata lain,
pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi seluruh pribadi manusia:
baik tubuhnya maupun pikiran, bahkan seluruh jiwanya. Pendidikan juga
mengandung aspek intersubjektivitas.

Namun, belumlah cukup bila dalam hidup manusia hanya sampai pada
level bertanya tetapi manusia harus melampaui itu yaitu dengan belajar.
Terkadang juga manusia salah mengartikan bahwa belajar itu hanya di sekolah.
Sehingga menghasilkan out-put yang tidak kompeten, komprehensif, bermoral
buruk dan asusila. Dan ini adalah kesalahan yang sangat besar karena dalam
hidup manusia belajar itu untuk kehidupan. Sebagaimana dikatakan oleh Seneca,
non scholae sed vitae discimus: Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan
untuk hidup. Itu artinya, kita belajar bukan sekadar untuk mendapatkan nilai
namun bagaimana kita menerapkan nilai itu dalam kehidupan praktis. Jadi, kata-
kata itu menunjukkan bahwa sekolah memiliki aspek teoretis dan praktis
sekaligus.

2
Melalui semboyan di atas, menampilkan dua paradigma dalam menilai
proses belajar:1

Pertama, belajar adalah bagian dasariah dari kehidupan manusia. Artinya,


pendidikan harus dibuat untuk hidup di dunia, dan menyambut dunia. Di sekolah,
anak diajak untuk mengenal dan mengalami dunia sehingga yang diharapkan ada
sikap penerimaan terhadap dunia dengan penuh optimisme, daya juang, dan
gembira. Karena itu, perlunya konsistensi, ketekunan, habitus baru, dan
kedisiplinan agar peserta didik bisa menerapkan apa yang telah mereka peroleh di
sekolah. Dengan demikian, sekolah tidak kehilangan karakternya yang mulia.

Kedua, belajar sebagai upaya mengakumulasi ilmu pengetahuan sebanyak-


banyaknya. Namun, kadang orang salah mengartikan bahwa sekolah sebagai
sarana hanya membantu orang untuk mengejar ijazah dan gelar, akibatnya
pembentukan karakter bagi peserta didik terabaikan.

Karena itu, pendidikan harus didasarkan pada pendidikan budi pekerti


sehingga membentuk pribadi-pribadi yang memang layak dikagumi, dihargai,
dihormati dan dicintai. Karena pribadi tersebut juga membangun relasi yang sehat,
baik dan benar dengan sesama, alam dan Tuhan.

Dengan demikian, maka, alangkah lebih baiknya sebuah proses pendidikan


didasarkan pada pendidikan budi pekerti agar menghasilkan manusia Indonesia
yang berbudi pekerti dan bertata krama. Dengan maksud-maksud ini, maka
penulis ingin mengkaji lebih jauh dan mendalam tentang pembentukkan karakter
manusia terdidik di bawah judul: PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
MENJADIKAN MANUSIA INDONESIA BERBUDI PEKERTI DAN
BERTATA KRAMA.

1.2 Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang pemikiran di atas, maka penulis mencoba


untuk merumuskan beberapa pokok persoalan sebagai berikut:
1. Apa itu pendidikan?

1
Pius Pandor, CP., “Ex Latina Claritas Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan”, (Jakarta:
Obor, 2010), hlm. 93-94.

3
2. Apa itu pendidikan budi pekerti? Dan bagaimana mencapai manusia
Indonesia yang berbudi pekerti dan bertata krama?
3. Kira-kira mata pelajaran apa yang layak agar tercapainya manusia
Indonesia yang berbudi pekerti dan bertata krama?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan


1.3.1 Tujuan Penulisan
1. Ingin mendalami realitas pendidikan yang terjadi di Negara Republik
Indonesia ini yang akhir-akhir banyak diperbincangkan.
2. Ingin menyumbangkan ide yang kiranya berguna demi mencapai
penciptaan masyarakat Indonesia yang berbudi pekerti dan bertata krama.
3. Ingin berbagai pandangan yang positif tentang pendidikan dengan turut
berpartisipasi mengikuti lomba karya ilmiah tingkat nasional yang
berpayungkan judul Pendidikan Budi Pekerti sebagai daya upaya untuk
memanusiakan manusia.

1.3.2 Manfaat Penulisan


1. Agar pendidikan kita ini ditata lagi secara baik dengan kurikulum yang
kiranya dapat membantu peserta didik menemukan jati diri mereka yang
sesungguhnya.
2. Agar mata pelajaran yang kiranya penting untuk pembentukkan karakter,
budi pekerti dan tata krama peserta didik tidak dihilangkan dari dan dalam
kurikulum pendidikan nasional kita.
3. Agar peserta didik memahami perilakunya secara baik dan benar dalam
membangun sebuah relasi sosial dan komunikasi yang baik dan benar
dalam lingkungan masyarakat tempat tinggalnya.

4
BAB II

LANDASAN TEORETIS

2.1 Pengertian Pendidikan

Kata pendidikan berasal dari kata kerja Latin, Educare. Kata educare
dalam bahasa Latin memiliki konotasi “melatih” atau “menjinakkan” (seperti
dalam konteks manusia melatih hewan-hewan liar menjadi semakin jinak
sehingga bisa diternakkan), menyuburkan (membuat tanah itu lebih menghasilkan
banyak buah karena tanahnya telah digarap dan diolah). Jadi, pendidikan
merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan,
mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar semakin tertata, semacam
proses penciptaan sebuah kultur dan tata keteraturan dalam diri sendiri maupun
dalam diri orang lain (Bdk. Doni Koesoema A, 2007, hlm. 53).2

Istilah pendidikan atau pedagogi berasal dari kata bahasa Yunani yaitu
paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak. Paedagogia berasal dari suku
kata paes yang berarti “anak” dan again yang berarti “membimbing atau
memimpin.” Dari sini muncul istilah paedagogos yang berarti seorang pria bujang
yang pada zaman Yunani Kuno bertugas menghantar dan menjemput anak ke dan
dari sekolah. Dalam tugas ini secara simbolis terkandung inti pendidikan yaitu
membimbing anak di dalam pertumbuhannya ke arah yang dewasa dan
bertanggungjawab.3

Dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan usaha manusia untuk


mengembangkan segala potensialitas bawaan dalam diri baik jasmani maupun
rohani sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan kebudayaan.
Hal ini nampak dalam upaya pengembangan kapasitas-kapasitas internal dan
penanaman nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku umum dan diterima dalam
masyarakat, sehingga tetap lestari sebagai warisan untuk generasi ke generasi.

2
Pius Pandor, CP., Op. Cit., hlm. 79-80.
3
Nelsonsius Klau Fahik, “Pendidikan Integral: Pendidikan Yang Memahami Manusia”,
(Kupang: PT. Grafika Timor Idaman, 2006), hlm. 8.

5
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai
proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.4

Menurut Carter V. Good dalam “Dictionary Of Education”,5 pendidikan


mengandung beberapa pengertian antara lain: Pertama, proses perkembangan
kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam
masyarakatnya; Kedua, proses sosial di mana seseorang dipengaruhi oleh suatu
lingkungan yang terpimpin (dalam hal ini sekolah) sehingga ia dapat mencapai
kecakapan sosial dan mengembangkan pribadinya. Jadi, yang ditekankan C. V.
Good adalah mengenai cara hidup seseorang yang sangat ditentukan oleh
pendidikan, karena di dalam pendidikan itu terjadi modifikasi dalam pandangan
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya interaksi antara kecerdasan,
perhatian, pengalaman dan sebagainya, yang dinyatakan dalam perilaku,
kebiasaan, paham kesusilaan, budi pekerti, tata krama, dan sebagainya.

Menurut UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan


terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan, dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara. Selanjutnya Ki Hajar Dewantara atau Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia menjelaskan pendidikan adalah sebagai tuntutan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, dengan maksud menuntun segala kekuatan kodrat yang
ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Sedangkan H. Horne, mengatakan bahwa pendidikan adalah proses yang terus
menerus (kekal) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang
telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan,
seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan
dari manusia.6

4
Tanti Yuniar , Sip., “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”, (Agung Media Mulia), hlm.
164.
5
Nelsonsius Klau Fahik, Op. Cit.
6
http://www.hasbihtc.com/2012/12/apa-itu-pendidikan-pengertian-pendidikan.html

6
Pada dasarnya pendidikan ditinjau dari Undang-Undang SISDIKNAS No.
20 tahun 2003 yaitu sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagaamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya dan masyarakat. 7

Jadi, pendidikan adalah medium atau sarana sekaligus sebagai proses


pendewasaan manusia muda dari pelbagai aspek kehidupan baik aspek afektif,
kognitif, konatif, kreativitas, inovatif, inisiatif, moral-etis, agamais maupun
budayais.

2.2 Makna Pendidikan

Pendidikan sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya,


yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan
umum dari masyarakat, maka anak-anak dan kaum muda hendaknya dibina
sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral dan
intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh rasa tanggung
jawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan
benar, dan terbina pula untuk berperan-serta secara aktif dalam kehidupan sosial.

Sistem pendidikan nasional yang dibangun di Indonesia, walaupun


berubah-ubah dari waktu ke waktu, memiliki tujuan atau arah dasar yang menjadi
pegangan bersama bangsa. Mengenai arah pendidikan nasional Indonesia, telah
ditegaskan baik dalam GBHN 1978 maupun dalam GBHN 1983. Di sana
ditegaskan bahwa arah pendidikan nasional adalah meningkatkan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan dan mempertinggi budi
peketi, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar
tumbuhlah manusia-manusia pembangun yang dapat membangun dirinya sendiri
serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa.8

Berdasarkan rumusan di atas ini, pembangun pribadi langsung


dihubungkan dengan pembangunan bangsa. Ada kaitan erat antara pribadi-pribadi
dengan bangsa. Pribadi-pribadi adalah elemen-elemen pembentuk masyarakat dan
7
Ibid.
8
Nelsonsius Klau Fahik, Op. Cit., hlm. 11-12.

7
bangsa. Di sana juga terkandung suatu jalinan yang lebih mendalam yaitu bahwa
pendidikan merupakan suatu usaha bersama dalam proses terpadu terorganisir
untuk membantu manusia demi pengembangan diri dan mempersiapkan diri
dalam keberpartisipasian pengembangan masyarakat dan dunianya di hadapan
Tuhan Yang Maha Esa.

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan itu berawal dari


pemahaman akan dan tentang manusia. Karena pendidikan sejati adalah
pendidikan yang memahami manusia. Artinya, proses pendidikan membantu
orang untuk memahami dirinya, kepribadiannya secara totalitas, utuh, holistik,
komprehensif sehingga ia menjadi sadar akan Tuhan, sesama dan alam sekitarnya,
termasuk menjadi sadar akan kenyataan-kenyataan dalam hidupnya: bagaimana
dimengerti, dihargai, dihormati, dijunjung tinggi dan dicintai.9

2.3 Tujuan Pendidikan

Pendidikan memiliki tujuanya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam


GBHN 1978 dan ditegaskan kembali dalam GBHN 1983 sebagaimana telah
dikemukakan. Selain itu Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3, ditegaskan mengenai tujuan
pendidikan nasional Indonesia yaitu “pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab”. Jadi, menurut GBHN ada empat tujuan pendidikan yaitu
pembangunan pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan
dan pengembangan bangsa. Tetapi juga ada tiga segi yang perlu diusahakan, yaitu
segi kognitif, afektif dan konatif (psikomotorik), agar budi peserta didik lebih
berkembang, agar sikap hatinya semakin tumbuh seimbang, dan agar kehendak
dan tingkah laku menjadi kian baik.10

Artinya, tujuan pendidikan adalah untuk membantu peserta didik agar


dapat mengembangkan kemampuan kodratinya dengan memahami alam, sesama

9
Drs. H. M. Djumransjah, M. Ed., “Pengantar Filsafat Pendidikan”, (Malang:
Bayumedia, 2004), hlm. 19-24.
10
Nelsonsius Klau Fahik, Op. Cit., hlm. 12-13.

8
dan Tuhan serta mampu menyikapi segala realitas hidup yang dialami dan yang
akan dihadapi sebagai pribadi yang bermartabat, berbudaya, beradab dan
bermoral. Atau dengan kata lain pendidikan memampukan manusia untuk
mengembangkan cita, rasa dan karsa. Sehingga tujuan dari pendidikan bukan
hanya melulu pada aspek intelektual melainkan sebagai medium atau sarana bantu
agar peserta didik mampu mengembangkan segala potensi diri, segala bakat
talenta dan mengetahui lebih banyak hal. Untuk juga bisa menemukan
pemahaman yang fundamental akan diri sendiri (sesama), alam dan Tuhan. Agar
peserta didik dimampukan untuk berelasi sosial secara baik dan benar dengan
alam, sesama dan Tuhan.

Menurut Aristoteles tujuan pendidikan sebagai disiplin ilmu pengetahuan


memiliki tiga aspek, yakni pengetahuan sebagai disiplin teoritis, pengetahuan
sebagai disiplin praktis, dan pengetahuan sebagai disiplin produktif. Aristoteles
juga melanjutkan bahwa pendidikan yang baik perlu adanya perpaduan antara
disiplin teoritis, praktis dan produktif. Visi besar yang diembannya adalah
menumbuhkan semangat belajar dalam diri siswa dengan memerhatikan aspek-
aspek etis dan kemanusiaan. Inilah model pendidikan untuk hidup. Mewujudkan
pendidikan untuk hidup berarti menumbuhkan pendidikan nilai. Dalam konteks
ini, “Mendidik berarti memasukkan anak ke dalam alam nilai-nilai, atau
memasukkan dunia nilai-nilai ke dalam jiwa anak. Dunia manusia berada dalam
sistem nilai. Anak dimasukkan ke dalam sistem itu dan dalam sistem itu dipelajari
hidup” (Karya Lengkap Driyarkara, 2006: 408).11

Pendidikan juga bertujuan membantu manusia menjadi manusia yang


utuh. Manusia dituntun untuk hidup lebih baik berdasarkan nilai moral yang
benar, mempunyai karakter yang baik, bertanggungjawab terhadap apa yang
dilakukannya, jujur, dan bersikap solider terhadap sesama.12

Jadi, Pendidikan menuntun peserta didik untuk keluar dari ketidak-tahuan,


keluar dari pengetahuan yang keliru tentang aneka hal (takhyul, mitos, stereotip,
kebohongan) dan masuk ke dalam alam pengetahuan yang benar.

2.4 Manfaat Pendidikan


11
Pius Pandor, CP., Op. Cit., hlm. 95.
12
Pius Pandor, CP., Op. Cit., hlm. 81.

9
Adapun manfaat dari pendidikan adalah sebagai medium untuk
menjadikan manusia cerdas, menjadikan manusia berpribadi luhur, menjadikan
manusia yang belajar seumur hidup, menjadikan manusia yang berbudi pekerti
dan bertata krama, sekaligus sebagai proses hominisasi dan humanisasi.

2.4.1 Menjadikan Manusia Cerdas

Pendidikan menjadikan manusia cerdas seutuhnya. Mengapa? Karena


pendidikan mengangkat eksistensi manusia yang semula hanya sebagai tabula
rasa ke arah yang lebih sempurna. Di mana manusia berada dalam suatu lingkaran
ketidaktahuan diangkat menjadi pribadi yang tahu segala hal. Karena dengan
pendidikan manusia yang semulanya tidak tahu apa-apa dibentuk menjadi orang
yang mampu berpikir kritis, sistematis, metodis dan komprehensif.

Artinya, pendidikan itu harus bersifat dialogal. Di mana murid dan guru
adalah sama-sama subjek, sama-sama aktif dan bukannya murid dijadikan objek
dan menjadi pasif. Sebagaimana dikatakan oleh Paulo Freire dalam bukunya
“Pedagogy of the Oppressed” bahwa sistem pendidikan sekarang ini lebih
menghasilkan manusia-manusia pasif, karena inisiatif, kreativitas anak disunat.
Guru mengajar, dan murid diajar. Guru bertindak sebagai subjek sedangkan murid
sebagai objek. Guru tahu semua hal sedangkan murid tidak tahu apa-apa. 13
Menurut Paulo Freire, pendidikan gaya tabula rasa hendaknya dibuang sehingga
kreativitas dan inisiatif anak dijunjung tinggi. Guru dan murid adalah subjek yang
sama-sama belajar. Perlu komunikasi yang dialogal antara murid dan guru. Guru
mengajar dan murid diberi hak untuk bertanya agar kuriositas murid tak disunat.

Pendidikan harus dipahami sebagai proses untuk memerdekakan orang


dari ranah ketidaktahuan, ketidakpastian, kekeliruan, dan kekaburan. Pendidikan
bertujuan menuntun peserta didik agar keluar dari ketidaktahuan, ketidaktahuan
akan aneka rahasia kehidupan yang ada dalam diri kita, yang ada dalam diri
makhluk lain dan gejala di luar diri kita, di lingkungan sekitar kita. Pendidikan
juga menuntun kita keluar dari kekeliruan tentang sesuatu hal. Pendidikan dapat
membantu kita untuk mengetahui aneka potensi dan kemampuan yang ada dalam

13
Tony Kleden, Suara Dari Bukit: Tapak-Tapak Undur, dalam Seri Buku Vox, Edisi
Khusus-Lustrum VIII, 1993 (Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero), hlm. 9-10.

10
diri kita, sebagaimana diilustrasikan oleh Plato lewat perumpamaan tentang gua.
Pendidikan itu adalah proses seseorang untuk keluar dari gua untuk mengetahui
kebenaran. Realitas di luar gua adalah realitas sejati (genuine) dan realitas dalam
gua adalah realitas yang tidak benar, kabur dan palsu. Maka, untuk mencapai
kebenaran, yang perlu ialah suatu pendidikan; harus diadakan suatu usaha khusus
untuk melepaskan diri dari panca indera yang menyesatkan.14

2.4.2 Menjadikan Manusia Berpribadi Luhur

Pendidikan hendaknya menjadikan atau bila perlu menghasilkan manusia


yang berpribadi luhur. Artinya, pribadi yang dihasilkan dalam pendidikan adalah
pribadi yang berkualitas di masyarakat yang tahu mendahulukan kepentingan
umum daripada kepentingan individu, yang hidup selalu menghargai aneka nilai,
yang memiliki moralitas yang baik, berpribadi luhur dan mulia sebagai makhluk
yang berbangsa dan bernegara dan sekaligus menunjukkan bahwa dirinya adalah
makhluk yang Berketuhanan Yang Maha Esa.

2.4.3 Menjadikan Manusia yang Belajar Seumur Hidup

Pendidikan juga hendaknya membantu manusia untuk mencapai satu


pemahaman yang sempurna bahwa belajar bukan sekedar karena sekolah
melainkan belajar untuk hidup. Artinya, lewat pendidikan seorang anak harus
mampu menjadi pribadi mandiri, matang, dan mampu untuk manjadi diri sendiri.
Seorang anak tidak perlu memiliki satu konsep bahwa saya belajar hanya di
sekolah tetapi saya belajar di mana saja entah di rumah atau pun di sekolah
prinsipnya adalah bahwa saya ini pribadi yang tidak pernah berhenti belajar.

De facto, kebanyakan orang salah mengerti tentang term belajar. Sehingga


bila orang menyebut kata belajar ia langsung mengingat sekolah dan bukannya di
rumah atau kegiatan-kegiatannya di luar sekolah.

2.4.4 Menjadikan Manusia yang Berbudi Pekerti dan Bertata Krama

Sejatinya, pendidikan membimbing manusia terdidik khususnya ke arah


berbudi pekerti luhur dan bertata krama mulia. Sebab, demikianlah manfaat yang
ditengarai dari pendidikan itu sendiri. Apa yang terjadi dalam seluruh proses

14
Prof. Dr. K. Bertens, “Sejarah Filsafat Yunani”, : Edisi Revisi, (Yogyakarta: Kanisius,
1999), hlm. 135-136.

11
pendidikan bukan tidak lain adalah menentukan manusia itu. Ketertentuan
manusia dengan segala aspek pribadinya mendatangkan totalitas keberadaan
pribadi manusia itu sendiri sebenarnya ditemukan dalam pendidikan. Sehingga
pendidikan tidak selalu menjadi pawong untuk menyelamatkan satu aspek dari
diri manusia melainkan mau menegaskan keutuhan dirinya dalam perjuangannya
menata dunia kepada satu keutuhan pula.

Di sini, pendidikan lalu memiliki konsekuensi di masa depan dengan


berasaskan pula pada masa-masa yang terbangun selama proses itu berlangsung.
Tidak berangkat dari satu kebutuhan pemanusiaan manusia secara utuh maka
pendidikan itu akan dipandang hanya dari segi luarnya tidak masuk lebih dalam
dan mengakar. Demikianlah, sasaran pendidikan budi pekerti luhur dan bertata
krama mulia “mengandung hati nurani (conscience) sebagai kesadaran diri
(consciousness) untuk berbuat kebajikan (virtue)”.15

2.4.5 Sebagai Proses Hominisasi dan Humanisasi

Mengutip pendapat Prof. Dr. N. Driyarkara bahwa pendidikan harus


membantu agar seseorang secara tahu dan mau bertindak sebagai manusia dan
bukan hanya secara instingtif saja (pendidikan adalah proses hominisasi).
Melampaui itu, pendidikan harus membantu agar seluruh sikap dan tindakan serta
aneka kegiatan seseorang benar-benar bersifat manusiawi (pendidikan adalah
proses humanisasi).16

Artinya, bahwa pendidikan itu harus mampu untuk membentuk seseorang


menjadi pribadi yang tahu berbuat sekaligus tahu bertanggungjawab sebagai
manusia. Pendidikan juga harus mendewasakan seseorang agar sikap, pikiran,
perilaku yang benar-benar bersifat manusiawi.

2.5 Hakekat Pendidikan

Hakekat dari pendidikan adalah belajar dan mengajar. Hal ini dikatakan
oleh Seneca melalui karyanya, Epistulae ad Lucilius (surat kepada Lucius)17
dengan mottonya homines, dum docent, discunt yang berarti manusia sementara
15
Dra. Nurul Zuriah, M. Si., Op.Cit., hal 67.
16
Nelsonsius Klau Fahik, Op. Cit., hlm. 14.
17
Pius Pandor, CP., Op. Cit., hlm. 85-86.

12
mengajar, belajar. Ia mengatakan bahwa pendidikan adalah proses perjumpaan,
yang mana perlu adanya hubungan timbal balik antara guru yang mengajar dan
murid yang belajar atau mendengar. Perjumpaan terpusat pada subjek. Guru
adalah subjek yang memiliki otoritas untuk mengajar, sementara murid adalah
subjek mandiri yang mau mencari, dan mencintai kebenaran. Karena murid adalah
subjek, maka perlu diberi kebebasan untuk melakukan berbagai pilihan dalam
mengembangkan potensi dirinya. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator,
mediator dan motivator yang senantiasa memberikan peluang kepada murid untuk
aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran. Maka, mengajar dilihat sebagai seni
membantu peserta didik untuk belajar mencari dan mencintai kebenaran.

2.5 Elemen-Elemen Pendidik

Pembentukkan watak atau karakter seorang peserta didik tidak terlepas


dari campur tangan pihak yang lain. Karena itu, ada elemen-elemen penting yang
kiranya turut berperan aktif dalam proses itu, di antaranya: orangtua, masyarakat
dan sekolah.

2.5.1 Orangtua

Orangtua dan keluarga disebut sebagai sekolah pertama atau lingkungan di


mana seorang manusia mendapatkan proses pendidikan pertama. Di mana tempat
pertama anak-anak dibesarkan, dididik, diasah, diasuh sesuai dengan porsi yang
dimiliki oleh orangtua dan atau keluarga bersangkutan. Dalam hal ini, orangtua
mempunyai peranan penting dalam pembentukan karakter seorang anak agar
kelak ia menjadi pribadi yang memiliki sopan santun, etiket, budi pekerti dan juga
tata krama dalam hidup bermasyarakat.

2.5.2 Masyarakat

Elemen kedua dari pendidikan adalah masyarakat. Masyarakat


bekerjasama membantu orangtua dalam mendidik dan mempersiapkan anak dan
kaum muda untuk menjadi anggota masyarakat yang bertanggungjawab. Semua
pendidik (masyarakat) mengambil bagian dalam usaha meraih tujuan hidup
sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Usaha ini dilakukan melalui

13
perkembangan serasi anak-anak dan kaum muda menurut segi pandangan fisis,
moral, spiritual, religius dan intelektual.18

Tentu saja kita tidak bisa sangkal bahwa lingkungan sosial tempat tinggal
anak sangat berperan penting bagi pertumbuhan karakter anak. Sehingga apabila
lingkungan sosial itu menampilkan penghayatan yang luhur akan nilai-nilai dan
norma-norma, maka anak secara tidak langsung juga dibentuk untuk berkembang
dan hidup menurut koridor nilai dan norma yang dihayati dalam hidup
bermasyarakat. Juga sebaliknya, jika dalam masyarakat justru menampilkan
aktus-aktus yang bertolak belakang dengan nilai-nilai luhur, maka bukan tidak
mungkin anak-anak juga secara keliru telah mengimitasinya dan bisa jadi dapat
menuju kehancuran masa depan.

Oleh karena itu, diharapkan agar masyarakat menciptakan iklim edukatif


yang kiranya mendukung kemajuan pendidikan. Masyarakat juga penting
memiliki fungsi kontrol terhadap kesosialan anak sebagai suatu pendidikan yang
sifatnya orientatif. Dengan maksud agar anak-anak tidak salah memilih dan
terjerambab dalam praktek hidup yang menyuramkan hidup dan masa depan
mereka.

Namun, di sini juga anak harus mampu membedakan hal yang baik dan
yang salah, menerima yang benar dan mengelakkan yang buruk dan jahat. Anak
juga diharapkan untuk mampu menerima nilai dan norma sebagai petunjuk dan
patokan dalam hidupnya.

2.5.3 Sekolah

Satu-satunya elemen pendidik di sekolah adalah Guru atau Dosen.


Tentunya kita tahu bahwa sekolah yang adalah medium dan juga sekaligus objek
di dalamnya terdapat subjek-subjek. Subjek-subjek itu tidak lain adalah murid dan
guru. Namun di sini penulis lebih menekankan subjek guru, yang dapat membantu
murid untuk belajar mencari dan menemukan kebenaran. Adapun beberapa peran

18
J. Drost, SJ., “Sekolah: Mengajar Atau Mendidik”, (Yogyakarta: Yogyakarta, 1999),
hlm. 32.

14
guru antara lain: pertama, menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar
melalui kerja sama dalam merencanakan program pembelajaran; kedua,
menemukan kebutuhan belajar; ketiga, merumuskan tujuan dan materi yang cocok
untuk memenuhi kebutuhan belajar; keempat, merangsang pola belajar dalam
sejumlah pengalaman belajar untuk peserta didik; kelima, melaksanakan kegiatan
belajar dengan menggunakan metode, teknik dan sarana belajar yang tepat, dan ;
keenam, menilai kegiatan belajar serta mendiagnosis kembali kebutuhan belajar
untuk kegiatan pembelajaran berikutnya.19

Dalam hal ini guru tidak hanya mengajar, tetapi belajar, seperti ditegaskan
dalam pepatah Latin, Qui docet, discit, artinya siapa yang mengajar, dia juga akan
mengajar. Dia belajar untuk mengembangkan semangat kerja sama, menemukan
metode yang tepat dan efisien dan belajar mengembangkan proses belajar agar
semakin menarik dan bermutu. Dari sinilah ia terbantu untuk belajar mengenal
dan mengembangkan dirinya agar semakin cakap, arif-bijaksana dalam
mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Dan dalam mengembangkan
proses belajar mengajar, ia (guru) juga perlu mengikuti kurikulum yang berlaku
secara nasional tanpa mengabaikan kebijaksanaan lokal (local wisdom) yang
menjadi cirikhas dalam sebuah masyarakat.20

Seneca juga memperkenalkan satu model pengajaran lewat teladan.


Bahwasannya, dalam kancah pendidikan, guru juga perlu memberi teladan baik
dengan kata-kata maupun dengan tindakan, sebagaimana dalam ungkapan Latin:
Verba movent, sed exempla trahunt, artinya kata-kata memang dapat
menggerakkan orang, namun teladan menarik hati. Di sini, guru hendaknya
memilih diksi yang tepat untuk memotivasi peserta didik dan sekaligus
menghindari diksi yang mungkin dapat melukai hati.

19
Pius Pandor, CP., Op. Cit., hlm. 86-87.
20
Ibid.

15
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

16
Metode yang peneliti gunakan dalam penelitian adalah metode

kepustakaan seperti yang ditawarkan oleh A. Bakker,21dan penekanannya lebih

berfokus pada penelitian kepustakaan.

3.1 Jenis Studi

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan menggunakan jenis studi

deskriptif. Dan melalui cara ini, penulis berusaha untuk mengungkapkan

bagaimana pentingnya pendidikan Budi Pekerti bagi seorang anak (peserta didik).

Dengan itu, seorang individu akan mengetahui dan memahami bahwa pendidikan

yang baik dan berguna adalah pendidikan budi pekerti karena membentuk

manusia menjadi pribadi yang berkarakter, beradab, berbudi luhur, berbudi pekerti

dan bertata krama.

3.2 Interpretasi

Dalam menguraikan konsep-konsep yang berkaitan dengan topik

penelitian di atas, penulis akan berusaha menemukan dan mengkaji gagasan atau

konsep dasar mengenai pentingnya pendidikan budi pekerti di dalam Sekolah

(formal), orangtua dan masyarakat (non-formal).

3.3 Induksi-Deduksi

Penulis akan menggunakan metode induksi-deduksi untuk menjawabi

masalah- masalah yang ada. Konsep-konsep dan data-data akan dikumpulkan dan

kemudian dianalisa serta diinterpretasikan dengan melihat keterkaitan satu sama

lain.

3.4 Holistik

21
A. Bakker dan A. Charris Zubair, “Metodologi Penelitian Filsafat”, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 41.

17
Setiap persoalan akan diteliti, sehingga pembahasan selalu berada dalam

satu kesatuan yang utuh yang berpatokkan pada sumber pustaka dalam kaitannya

dengan pengalaman harian.

3.5 Deskripsi

Peneliti berusaha untuk menjelaskan dan menguraikan pendapat-pendapat

mendasar mengenai topik penelitian ini, menatanya secara teratur dan tepat serta

berpatokan pada apa yang diperoleh dari berbagai sumber bacaan.

3.6 Refleksi Pribadi

Peneliti mempunyai satu kewajiban untuk tetap setia pada referensi

pustaka, tetapi sama sekali tidak menutup kemungkinan bagi peneliti untuk

memberi sumbangan berupa refleksi atau pikiran pribadi.

BAB IV

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI MENJADIKAN MANUSIA INDONESIA

BERBUDI PEKERTI DAN BERTATA KRAMA

18
3.1 Defenisi Budi Pekerti dan Tata Krama

Bila kita berbicara tentang budi pekerti sama artinya dengan karakter yang
tentunya juga berhubungan dengan tata krama, maka penulis juga menjelaskan
semuanya secara rinci.

3.1.1 Budi Pekerti

Budi pekerti dapat diartikan sebagai moralitas yang mengandung


pengertian tentang; adat-istiadat, sopan santun dan perilaku. (Edi Sedyawati, dkk.,
1995:5) secara harafiah budi pekerti dimaknai sebagai budi yang peka, budi yang
tanggap, budi yang halus dan lembut terhadap pelaksanaan norma dan adat-
istiadat hidup bersama, yang berkaitan dengan kepentingan dan kebaikan
bersama.22

Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris,


yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung pengertian sebagai
adat-istiadat, sopan santun dan perilaku. Namun, pengertian budi pekerti secara
hakiki adalah perilaku. Sementara itu menurut draft kurikulum berbasis
kompetensi (2001), budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan
diukur menurut kebaikan dan keburukkannya melalui norma agama, norma
hukum, tata krama dan sopan santun, norma budaya dan adat istiadat masyarakat.
Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat
terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan dan kepribadian
peserta didik.23

Biasanya orang menyebut budi pekerti sebagai watak. Apabila seseorang


memiliki watak mulia tetapi pengetahuannya rendah ia juga tentunya akan tetap
dihargai di masyarakat, orang yang memiliki watak rendah dan pengetahuan
tinggi ia tidak akan mendapat penghargaan dari masyarakat, sedangkan orang

22
Rm. Florens Maxi Un Bria, Pr., “Kembali Ke Akar Peradaban Budi Pekerti dan Tata
Krama 2 Buku Pegangan Guru dan Bahan Pembelajaran Untuk Murid-Murid SLTP”, (CPH,
Caritas Publishing House-Indonesia, 2004), hlm.11-12.
23
Dra. Nurul Zuriah, “Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan:
Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual Dan Futuristik”, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), hlm. 17.

19
yang memiliki watak mulia dan pengetahuan tinggi akan disanjung dan dijunjung
tinggi serta dicintai oleh masyarakat.

Maka, seorang pendidik dan peserta didik seharusnya menganut paham


ini: sebagai orang yang berwatak mulia dan juga berpengetahuan tinggi. Dengan
demikian, seseorang akan mencapai kesuksesan dalam hidup dan juga akan tetap
dihargai, dihormati dan dicintai oleh masyarakat, bangsa dan negara.

3.1.2 Tata Krama

Tata krama adalah sebutan lain untuk Etiket. Tata krama juga disebut
sebagai sopan santun, tata pergaulan yang harus dipelajari, diketahui dan
dilaksanakan dalam hidup.24

Tata krama adalah satu sikap yang sangat urgen dalam hidup manusia.
Karena dengannya manusia mampu membangun relasi yang baik dan benar,
berkomunikasi, bekerjasama dalam hidup kemasyarakatan. Setiap masyarakat
baik dari yang paling kuno sampai yang paling modern pun tahu tentang tata
krama. Karena mereka telah dibentuk dalam satu budaya yang memiliki
pemahaman akan dan tentang etika dan tata krama. Di sini, orang yang tahu akan
tata krama dan etika tentunya ia sangat dijunjung tinggi, dihargai, dicintai dan ia
dipandang sebagai manusia berbudaya dan beradab. Misalkan, bila kita berjumpa
dengan orang baru atau sesama kita tentunya kita akan memberikan salam, atau
kita mendengarkan orang lain yang sedang berbicara, dan lain sebagainya.

Tata krama membentuk dan menghantar orang kepada hidup yang lebih
baik, lebih luhur, lebih mulia, bermartabat dan sekaligus beradab sehingga
perilaku, pembawaan diri secara sehat dan kebajikan-kebajikan hidup yang
dihasilkan mempesonakan dan mengagumkan.

3.2 Manfaat Budi Pekerti dan Tata Krama

Budi Pekerti dan Tata Krama membantu membentuk orang menjadi Homo
Dei Admiranda et Amanda; menjadi manusia Allah/Tuhan yang pantas
dikagumi.25
24
Rm. Florens Maxi Un Bria, Pr., Op. Cit., hlm. 12-13.
25
Rm. Florens Maxi Un Bria, Pr., Op. Cit., hlm. 13-14.

20
Manusia adalah seorang individu yang memiliki hati nurani, kehendak
bebas, dan hak untuk menentukan diri sendiri menjadi manusia yang mandiri.
Karena itu relasi dengan orang lain sangat penting bagi seorang individu. Artinya,
kehadiran orang lain memberi makna bagi diriku, “Esse est co esse”.

Manusia tak bisa hidup sendirian. Ia membutuhkan orang lain karena itu,
dibutuhkan seperangkat norma etis, Tata Krama dan Budi Pekerti agar membantu
manusia hidup secara benar sebagai makhluk yang berbudi dan bersusila. Dengan
Budi Pekerti, Tata Krama dan norma-norma etis seseorang mampu menampilkan
jati dirinya sebagai citra Tuhan yang berbeda dengan makhluk yang lain.

Sebagai makhluk sosial setiap insan harus patuh pada norma-norma etis,
tata krama dan budi pekerti yang hidup agar mereka dapat diterima sesama yang
lain. Sebagai mahkluk yang berhati nurani setiap orang diharapkan mampu hidup
menurut kesadaran dan tuntunan hati nurani. Dengan menghayati hidup yang
demikian, orang mampu menampilkan diri sebagai pribadi-pribadi yang tangguh,
bermoral, berbudaya dan berhati nurani sehingga mereka pantas dikagumi dan
layak dicintai dalam hidup, karena mereka selalu mengusahakan perilaku yang
baik, luhur dan terpuji di hadapan diri sendiri, sesama dan Tuhan.

3.3 Budi Pekerti dan Dimensi Filosofis Manusia

Dalam pendidikan, budi pekerti diketemukan utuh berada di samping


pendirian filsafat dalam arti mencintai kebijaksanaan. Dari sanalah, antara dia
sebagai makhluk berakal budi disadari keutuhannya melalui cara pandangnya
akan dirinya juga dalam lingkungan sosial ia (manusia) bisa memperoleh dirinya
dalam relasi yang korelasional dengan manusia yang lain (masyarakat). Artinya,
manusia yang mencintai kebijaksanaan itu tidak lain adalah manusia yang berbudi
pekerti.

Dalam hal ini, manusia sebagai makhluk yang memiliki tujuan ultim
dalam dirinya yang selalu berkehendak untuk mencapai apa yang diinginkannya
dengan cara yang beradab, bertata krama, berbudaya, bijaksana-arif, sekaligus
berbudi pekerti yang juga menegaskan bahwa manusia adalah makhluk berakal
budi, berkehendak bebas dan juga berhati nurani.

3.4 Pendidikan Budi Pekerti

21
Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah
yangbertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati
nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya
melalui kejujuran, dapat dipercaya (credible), disiplin, dan kerja sama yang
menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif
(berpikir rasional) dan ranah skill atau psikomotorik (keterampilan, terampil
mengolah data, mengemukakan pendapat dan kerja sama).

3.5.1 Sekolah Sebagai Rekayasa Etis-Moral Untuk Mencerdaskan Manusia


Seutuhnya yang Berpijak Pada Budi Pekerti dan Tata Krama

Sekolah yang mampu mencerdaskan manusia seutuhnya adalah sekolah


yang mengajarkan Budi Pekerti dan Tata Krama. Karena dengan mempelajari
pendidikan Budi Pekerti dan Tata Krama manusia akan menjadi baik, cerdas,
terampil dan mampu mengaktualisasikan diri secara utuh sebagai seorang pribadi.

Dengan demikian, maka masyarakat membentuk rekayasa etis-moral


untuk menghadirkan sekolah sebagai pencerdasan manusia seutuhnya. Tidak ada
sekolah di muka bumi ini yang tidak berkaitan dengan pembentukan manusia.
Karena itu, sekolah tentunya berkorelasi dengan norma-norma, Budi Pekerti, Tata
Krama, orangtua, guru dan murid. Sekolah tentunya juga memiliki visi dan
misinya dalam proses pembentukan pribadi-pribadi.

3.5.2 Sekolah Utama dan Pertama adalah Keluarga

Orangtua menjadi sekolah utama dan pertama. Mengapa? Karena


pendidikan itu dimulai sejak anak dikandung, dilahirkan oleh seorang ibu sampai
ketiadaan atau kematiannya anak membutuhkan pendampingan dari orangtua. Di
dalam keluarga inilah seorang anak berkembang menjadi pribadi yang berbudi
pekerti, bertata krama, menghargai nilai-nilai dan memiliki keutamaan-keutamaan
hidup.

3.5.2.1 Penanaman Budi Pekerti dan Tata Krama

Budi pekerti adalah nilai-nilai hidup manusia yang sungguh-sungguh


dilaksanakan bukan karena sekedar kebiasaan, tetapi berdasarkan pemahaman dan
kesadaran diri untuk menjadi baik. Nilai-nilai yang disadari dan dilaksanakan
sebagai budi pekerti dan tata krama hanya dapat diperoleh melalui proses

22
3.5.2.2 Penanaman Nilai-Nilai

Penanaman nilai-nilai bagi seorang individu sudah dimulai sejak dini di


dalam keluarga. Keluarga memiliki peranan penting untuk membentuk dan
mendidik anak menjadi manusia yang cerdas jasmani dan rohani. Keluarga
hendaknya memberikan arahan, didikan agar terinternalisasi nilai-nilai
fundamental dalam diri seorang anak manusia. Keluarga berperan dalam
penerapan nilai moral, nilai etis, nilai budi pekerti, nilai tata krama, nilai sosial
dan nilai agamais kepada anak agar perilaku atau sikap (attitude) yang
ditunjukkan anak dalam pergaulan dan hidup bersama orang lain mencerminkan
anak yang memiliki kepekaan, integritas, keugaharian dan kebajikan hidup.

De facto ternyata keluarga beranggapan bahwa mereka tak memiliki


peranan yang penting bagi anak dalam menanamkan nilai-nilai dalam diri anak
sejak dini. Sehingga yang terjadi adalah perilaku anak sangat melenceng dari
nilai-nilai tersebut. Lalu semena-menanya orangtua “membuang” anaknya ke
dalam sekolah sebagai tempat penyadaran dan pemulihan kembali akan nilai-nilai
khas manusiawi.

3.5.2.3 Penanaman Keutamaan-Keutamaan

Keutamaan diartikan sebagai kebiasaan untuk berbuat baik. Berbuat baik


hanya beberapa kali saja, belum membentuk keutamaan. Keutamaan baru
terbentuk dalam jiwa kita, apabila kita berulang kali melakukannya dan berlanjut
dalam waktu yang panjang.26 Keutamaan-keutamaan itu antara lain: keutamaan,
keadilan, kemurnian, keramah-tamahan, ketelitian, hormat terhadap orangtua
dan pemimpin kita, takluk terhadap mereka, setia, jujur, jangan mengumpat, suka
menolong, jangan mementingkan diri, jangan sombong, berbudi halus, bijaksana,
tahan uji, teguh dan berani tanpa berkeras kepala, rasa terima kasih dan
sebagainya, dan masih banyak lagi. Sedangkan keutamaan yang pokok ada empat
yaitu keutamaan keadilan, keutamaan keperwiraan, keutamaan kebijaksanaan dan
keutamaan keugaharian.

Menurut Aristoteles yang berpendapat bahwa sekolah yang baik adalah


sekolah yang memberi tempat bagi keutamaan, Tata Krama, Budi Pekerti dan
26
Rm. Florens Maxi Un Bria, Pr., Op. Cit., hlm. 109-114.

23
jalan tengah. Bagi Aristoteles keberadaan sekolah tidak boleh hanya untuk
meningkatkan aspek kognitif dan keterampilan melainkan juga keutamaan, Budi
Pekerti dan Tata Krama. Bahwa kita memperoleh keutamaan dengan berlaku
dengan baik, agar kita tidak terhimpit oleh “lingkaran setan”. Untuk berlaku
dengan baik sudah mesti ada keutamaan dan keutamaan itu diperoleh dengan
berlaku dengan baik. Dan untuk memperoleh keutamaan, kita mesti mulai dengan
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik secara objektif saja, artinya perbuatan-
perbuatan yang oleh umum dianggap bersifat baik. Tetapi lambat laun suatu
kebiasaan yang kokoh akan terbentuk dalam watak kita, sehingga untuk
selanjutnya kita melakukan perbuatan-perbuatan baik berdasarkan keutamaan.27

3.6 Sekolah Sebagai Penanaman Budi Pekerti dan Tata Krama

Dewasa ini sekolah–sekolah hanya dilihat sebagai ajang bisnis belaka,


manakala yang mau mengenyam pendidikan harus ber-uang banyak dan jika
tidak, maka hanya menganggur begitu saja atau sebaliknya menghasilkan out-pot
yang membawa stigma negatif di mata masyarakat. Hal ini karena sekolah tidak
menempatkan pendidikan moral, budi pekerti dan tata krama dalam rencana dan
program dasar pembelajaran.

Justru yang terjadi sekarang ini adalah orang mengidentikkan sekolah


yang berbobot dengan sekolah yang mahal. Akhirnya, orang bersekolah hanya
karena gengsi dan ingin diberi pengakuan bahwa ia bersekolah di sekolah yang
bermutu tinggi, bahwa ia kaya. Sehingga semuanya salah kaprah karena
pendidikan moral, budi pekerti dan tata krama yang adalah penting untuk
pembentukan diri peserta didik ditiadakan dan digantikan dengan pelajaran lain
yang mana menunjang pendapatan sekolah. Sekolah mengalami krisis nilai, krisis
krisis norma, krisis hati nurani, krisis moral, krisis jati diri, krisis budi pekerti dan
tata krama. Hal ini karena disebabkan oleh pihak sekolah dan keluarga yang gagal
menularkan nilai-nilai budi pekerti dan tata krama yang memampukan anak
menjadi pribadi mandiri dan yang bertanggungjawab atas kelayakan hidupnya.

3.8 Mata Pelajaran yang Dapat Membentuk Diri Peserta Didik Menjadi
Pribadi Berkarakter atau Berbudi Pekerti dan Bertata Krama

27
Prof. Dr. K. Bertens, Op. Cit., hlm. 195-196.

24
Penulis juga sedikit menelaah lebih jauh bahwa ada mata pelajaran penting
yang diharapkan dapat dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan nasional
karena sangat berguna untuk pembentukan pribadi manusia indonesia yang
berbudi pekerti dan bertata krama.

3.8.1 PPKn

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang


tetap pada prinsipnya yakni menyokong budi pekerti dan tata krama dari setiap
peserta didik (agen terdidik). Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa keharusan
untuk menanamkah nilai-nilai itu tidak lain adalah sebuah kewajiban. Karena
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sendiri memiliki fungsi dan peran
untuk membentuk patriotisme dan nasionalisme kepada bangsa dan tanah air.
Maka, alasan utama dari mata pelajaran ini dapat dimasukkan dalam kurikulum
adalah bentuk penyelamatan terhadap bangsa dan tanah air serta seluruh elemen
yang terkandung di dalamnya. Artinya, pendidikan budi pekerti tidak menjadi
bagian yang terpisah melainkan disisipkan dalam mata pelajaran PPKn.

3.8.2 Agama

Kepekaan manusia terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap agama


adalah mutlak bagi kebutuhan pendidikan. Agama menjadi unsur asali manusia.
Apabila agama dijadikan sebagai mata pelajaran yang terpisah dari mata pelajaran
lainnya itu menegaskan bahwa sejatinya manusia tidak bisa hidup tanpa sebuah
dasar yang berarti yang dalam hal ini disebut agama. Kita yakin bahwa setiap
ajaran agama mana pun di muka bumi ini selalu mengajak dan mendesak
penganutnya untuk bertindak baik dan berupaya untuk mengelakkan yang jahat.
Hakikat agama membangun sikap korelasional yang intim dengan diri sendiri,
sesama (orang lain) dan alam sebagai bukti relasi finalnya dengan Tuhan Yang
Maha Esa.

3.8.3 Budaya

Budaya berarti “daya dari budi”, yang berupa cipta, rasa dan karsa. Jadi,
kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa. Sebagai mata pelajaran,
budaya memegang peranan yang sangat penting untuk menumbuhkan karakter
manusia menuju kematangan dan kedewasaan sebagaimana yang diharapkan dari

25
setiap agen terdidik. Mengapa demikian? Karena manusia disebut sebagai beradab
karena manusia memiliki budaya. Dalam budaya itu ada nilai-nilai fundamental
yang terkandung di dalamnya sehingga perlu dilestarikan, dijaga, dirawat dan bila
perlu menjadi bagian yang intergral dari hidup manusia. Dengan demikian, nilai-
nilai fundamental yang ada itu turut membentuk pribadi manusia menjadi pribadi
beradab, berbudaya dan berbudi pekerti. Maka, alangkah baiknya, budaya
dijadikan sebagai satu mata pelajaran yang terpisah yang perlu ada dalam
kurikulum pendidikan kita.

3.8.4 Sosial

Manusia disebut ens sociale karena relasinya dengan orang lain. Karena
manusia disebut sebagai makhluk sosial maka, ilmu-ilmu sosial hendaknya
diajarkan dalam dunia pendidikan agar seorang anak dibentuk menjadi pribadi-
pribadi yang tahu menghargai dan menghormati orang lain sebagai bagian
terpenting dalam hidupnya. Dengan demikian, individu tersebut menjadi matang
dan dewasa dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka,
sebaiknya ilmu-ilmu sosial dimasukkan ke dalam kurikulum kita agar peserta
didik memiliki pribadi yang utuh, kompeten, berakhlak baik, berbudi pekerti dan
bertata krama.

BAB V

PENUTUP

4.1 Simpulan

Pendidikan adalah proses pendewasaan manusia dan proses pengangkatan


manusia dari dalam gua ketidaktahuan ke alam pengetahuan yang benar. Dalam
proses pendidikan itu, sekolah sebagai tempat sekaligus sarana hendaknya
menjadikan pendidikan budi pekerti sebagai salah satu pendidikan yang paling

26
urgen dalam faktasitas hidup manusia. Atau dengan kata lain, pendidikan yang
diselenggarakan di sekolah–sekolah sebaiknya pendidikan yang merangkum
manusia secara utuh yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif melainkan juga
aspek afektif, konatif atau psikomotorik. Sehingga dengan demikian, sekolah
menghasilkan pribadi-pribadi yang berkualitas, berkompeten, komprehensif dalam
segala hal, atau all rounded man.

Mengapa? Karena lewat pendidikan budi pekerti dan tata krama dapat
menjadikan atau membentuk orang menjadi pribadi yang berkarakter, berbudi
pekerti dan tata krama, memiliki daya juang yang tinggi, berakhlak, bersusila,
berbudaya, beradab dan bijaksana.

4.2 Saran

Terhadap realitas pendidikan dewasa ini umumnya dan bangsa Indonesia


khususnya maka kami, para penulis menegaskan beberapa cacatatan penting yang
kiranya diperhatikan dalam dunia pendidikan umumnya dan sekolah khususnya
sebagai berikut:

1. Realitas pendidikan sekarang ini tidak mendidik peserta didik untuk


menginternalisasi nilai-nilai hidup yang telah dipelajarinya dalam peri
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Atas dasar itulah, maka
pendidikan yang baik hendaknya membentuk pribadi peserta didik yang
tanggap terhadap nilai-nilai.
2. Kini, pendidikan dipahami hanya sekedar pengangkatan manusia dari
konsep tabula rasa. Di sana, pendidikan itu jauh dari hakikatnya sendiri
yakni memanusiakan manusia dan membantu manusia untuk
mengaktualisasi diri dan potensinya secara manusiawi (prinsip humanisasi
dan hominisasi).
3. Segala elemen pendidikan (stakeholder) baik itu pendidik, peserta didik,
masyarakat dan siapa saja memiliki panggilan untuk mendukung
pendidikan sebagai satu proses kepada partisipasi akan pewarisan nilai-
nilai luhur. Karena itu, bila terjadi ketimpangan dalam pendidikan
hendaknya dapat bekerjasama untuk menyelesaikannya secara lebih efektif
dan efisien.

27
4. Yang terjadi sekarang ini bahwa kurikulum pendidikan nasional sejatinya
belum berhasil membentuk suatu konsep pendidikan yang membentuk
manusia secara utuh dalam penanaman dan pengamalan akan nilai-nilai
kehidupan yakni kognitif, afektif, moral, sosial, budi pekerti, tata krama
dan arif serta bijaksana. Maka, kurikulum sebagai penentu arah pendidikan
hendaknya memberi porsi yang cukup ketat akan penanaman nilai-nilai
tersebut dan bukannya menggantikan kebijakan kurikulum itu setiap
pergantian kepemimpinan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:

Bakker, A. dan A. Charris Zubair, 1990, “Metodologi Penelitian


Filsafat”, Yogyakarta: Kanisius.

Bertens, Prof. Dr. K., 1999, “Sejarah Filsafat Yunani”,: Edisi Revisi,
Yogyakarta: Kanisius.

28
Djumransjah, Drs. H. M. M. Ed., 2004., “Pengantar Filsafat Pendidikan”,
Malang: Bayumedia.

Drost, J. SJ., 1999, “Sekolah: Mengajar Atau Mendidik”, Yogyakarta:


Yogyakarta,.

Kleden Tony, 1993, Suara Dari Bukit: Tapak-Tapak Undur, dalam Seri
Buku Vox, Edisi Khusus-Lustrum VIII, , Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat
Ledalero.

Pandor, Pius, CP., 2010,“Ex Latina Claritas Dari Bahasa Latin Muncul
Kejernihan”, Jakarta: Obor.

Un Bria, Rm. Florens Maxi, Pr. 2004.,“Kembali Ke Akar Peradaban Budi


Pekerti Dan Tata Krama 2 Buku Pegangan Guru Dan Bahan Pembelajaran
Untuk Murid-Murid SLTP”, CPH, Caritas Publishing House-Indonesia.

Yuniar, Tanti Sip., “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”, Agung Media


Mulia.

Zuriah, Dra. Nurul, 2007, “Pendidikan Moral Dan Budi Pekerti Dalam
Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara
Kontekstual Dan Futuristik”, Jakarta: Bumi Aksara.

Website:

http://www.hasbihtc.com/2012/12/apa-itu-pendidikan-pengertian-
pendidikan.html

29

Anda mungkin juga menyukai