Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Manusia hidup. Manusia mengalami bahwa ia hidup. Manusia menghayati hidupnya.


Malah manusia mencintai hidupnya. Hidup dialami sebagai sesuatu yang bagus dan berarti.
Manusia segan untuk meninggalkan hidup ini. Manusia mau memperkaya, menghias dan
melipatgandakan hidup ini. Kalau ia sakit, maka ia mau memulihkan diri. Kalau diancam
maka ia mau membela dan mempertahankan hidup ini. Hidup dialami sebagai bermakna dan
bernilai.

Hidup dan kehidupan manusia itu diwarnai oleh praktek dan perilaku tertentu. Praktek
dan perilaku yang dimaksudkan di sini adalah praktek dan perilaku yang berarti dan perlu
serta bernilai bagi hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Karena itu boleh jadi bahwa
hidup dan kehidupan manusia juga bergantung dan ditentukan oleh praktek perilaku tersebut.

Dalam kehidupan masyarakat praktek dan perilaku itu ada beberapa ruang
cakupannya. Ada praktek dan perilaku yang lingkupnya pribadi, ada yang menyangkut
hubungan antar umat manusia, ada yang berkaitan dengan hidup dalam masyarakat, ada yang
menyangkut adat istiadat, dan terlebih menyangkut hubungan antara manusia dengan
Tuhannya karena Dialah sang pemberi hidup dan sumber kehidupan itu sendiri. Dari Dialah
kita berasal dan kepada Dia pulalah kita kembali.

Dalam kaitan dengan itu di sini kita perlu mengetahui bahwa jika semua praktek
kehidupan tadi berjalan dengan baik maka manusia akan mengalami keselamatan dan
kebahagiaan sebab dari situlah hidup manusia akan semakin bermakna. Keselamatan hanya
dapat terjadi jika manusia pandai dan tahu membuat relasi yang baik atau dengan kata lain
keselamatan hanya dapat dialami jika manusia mampu memperjuangkannya. Namun tak
dapat dipungkiri bahwa keselamatan itu telah ditawarkan oleh Tuhan sendiri kepada umat
manusia sejak dari awal hidup manusia di muka bumi ini.

Mengutip perkataan Paus Yohanes Paulus II “ supaya injil hidup dalam kebudayaan-
kebudayaan”, perkataan ini memberi inspirasi bagi peneliti untuk mengkaji dan menelaah
Kebudayaan lokal yang masih hidup dalam masyarakat setempat terkhususnya budaya dalam
masyarakat Lauli sebagai tempat asal dari peneliti sendiri. Peneliti coba mengurai bagaimana
makna keselamatan dalam kebudayaan Marapu sebagai religi lokal masyarakat Lauli.

Dalam kebudayaan ada tiga wujud yang terdiri dari delapan unsur elemen sistemik
yang terdiri dari elemen sistem komunikasi, elemen sistem organisasi, elemen sistem mata
pencharian, elemen sistem teknologi, elemen sistem permainan, elemen sistem kesenian,
elemen sistem religi dan elemen sistem pengetahuan 1. Dalam kaitan dengan ini, peneliti
mengkaji tentang sistem religi lokal dari kebudayaan Marapu di pulau Sumba .

Yang menjadi kajian peneliti melalui tulisan ini adalah tentang


pandangankeselamatan menurut kepercayaan Marapu sebagai religi lokal. Marapu
merupakan kepercayaan asli orang Sumba.Sebagian besar orang Sumba mengidentifikasi diri
mereka terhadap kepercayaan Marapu. Marapu memiliki pengaruh yang amat besar bagi
kehidupan masyarakat di pulau Sumba . Misalnya dalam ritus religi lokal seperti zaizo
( Upacara pemanggilan arwah ), Pasola ( upacara lempar lembing sambil menunggang
kuda ), Woleka ( Upacara syukuran panen ), Wulla Poddu dan upacara adat lainnya di pulau
Sumba . Dalam upacara-upacara adat ini, orang Sumba sungguh mempercayai peran serta
Marapu sebagai wujud tertinggi yang Namapadikangu awangu-tana ( menciptakan langit dan
bumi ), Marapu sebagai Mawulu tau ( pencipta manusia ), Marapu sebagai Ama amawolo-
Ina amarawi” ( Bapa yang memintal-ibu yang menenun ) . 2

Sama seperti budaya kepercayaan lain di berbagai pelosok dunia yang mempercayai
akan adanya kehidupan setelah kematian. Orang Marapu jugamempercayai akan adanya
kehidupan setelah kematian. Setiap manusia yang mati akan beroleh keselamatan dari
Ndapateki tamo - Ndapateki ngara (yang tak dapat di samakan dan yang tidak disebutkan
namanya). Orang Marapu percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian manusia di alam
fana. Asalkan manusia bertindak secara baik terhadap sang sang penciptasebagai
penyelenggara kehidupan maka akan beroleh keselamatan dan perlindungan dari sang
pencipta kehidupan. Jika tidak menghormati sang pencipta kehidupan sebagai ilah tertinggi
maka akan beroleh melapetaka.3

Berangkat dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas maka penukis memilih
judul MAKNA KESELAMATAN MENURUT KEPERCAYAAN MARAPU DALAM
MASYARAKAT LAULI.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1
Watu Yohanes Vianey, Bahan Kuliah Pnelitian Budaya (Fakultas Filasafat Agama Unwira kupang
2009)
2
F.D. Wellem, injil dan Marapu, (Jakarta : Gunung mulia,2004)hal 41

3
De. H. Kapita, Sumba Di dalam jangkauan jaman ( Jakarata : Gunung Mulia , 1976 ) hal 223-231.
Untuk membantu penulis dalam penulisan ini maka penulis merumuskan beberapa
masalah pokok

1. Bagaimana Marapu dalam Adat masyarakat Lauli?

2. Bagaimana konsep keselamatan menurut Marapu?

3. Bagaimana titik temu antara kepercayaan Marapu sebagai religi lokal dan Gereja
Katholik sebagai budaya Global dalam hubungannya dengan makna keselamatan?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1.3.1. Tujuan penelitian

Melalui tulisan ini, penulis memiliki tujuan yaitu menyelami, memahami,


menafsirkan dan mendeskripsikan makna Marapu untuk orang Sumba pada umumnya dan
orang Lauli pada khususnya . Selain itu pula melalui tulisan ini penulis dapat mendapat
tambahan pengetahuan sebagai tambahan wawasan tentang budaya penulis sendiri.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah berikut ini.

1. Penelitian ini juga kiranya berguna bagi gereja Katolik setempat sebagai suatu bentuk
dokumentasi terhadap warisan leluhur yang hendaknya dikonservasi dan ditransformasi.
Melalui penelitian ini, masyarakat Lauli diharapkan dapat tersadarkan dan beriktiar
untuk menjadi pelindung dan pelastari budaya kepercayaan mereka sendiri.

2. Penelitian ini Juga berguna bagi peneliti sendiri agar lebih mengetahui kepercayaan asli
daerah dan juga sebagai ajang bagi peneliti untuk semakin mengembangkan semangat
cinta kebudayaan daerah.

BAB II

KAJIAN TEORITIS

2.1 Pustaka Dari Peneliti Asing


Perhatian akan budaya lokal dari peneliti asing menjadi perkembangan yang
Signifikan di abad 21 ini. Budaya kepercayaan Marapu merupakan salah satu kearifan lokal
yang diteliti oleh peneliti Asing. Budaya Marapu yang termuat dalam buku Between The
Folds (2001) karya Jill Forshee yang adalah seorang Peneliti pada pusat studi Asia Tenggara
dari Northern Territory University, Darwin, Australia. Jill Forshee mengkaji Budaya kain
Adat Sumba secara historis dan makna kain Adat bagi orang Sumba . Selain itu bab II dalam
bukunya, Forshee memberi penjelasan tentang Identitas, Sejarah, dan Lokasi Pulau Sumba .
Kajian Pada Bab ini Forshee meneliti dan menjelaskan tentang Identitas dari Orang Sumba
berdasarkan Sejarah dan Wilayah domisilinya. Forshee tidak berbeda dengan peneliti lainnya
baik peneliti lokal maupun Asing. Dalam buku ini, Forshee juga mulai dari Agama lokal
orang Sumba ( Marapu ) tentang kisah Mitologi Marapu yang menurut orang Sumba pada
umumnya sebagai asal usul eksistensi orang Sumba di pulau Sumba . Sedangkan lokasi
pulau Sumba , Forshee memakai gaya pembahasan deskripsi dari segi geografis letak pulau
Sumba .4

Secara simbologi, Forshee banyak meneliti tentang kain tenun Sumba ( “ingi” dalam
bahasa wewewa). Menurut Forshee, simbol kain tenun Sumba mengandung banyak makna
falsafah hidup orang Sumba . Makna itu tersirat dalam tuangan gambar yang terlukis pada
kain tenun. Misalnya lambang Mamoli ( sebuah alat pembelisan peninggalan Zaman
Megalitikum) sebagai lambang kewanitaan. Gambaran tentang Marapu dan kekristenan
sebagai leluhur tersirat dalam bentuk gambar manusia Sumba dan malaikat.

2.2 Pustaka Dari Peneliti Lokal

Kajian tentang kepercayaan Marapu di pulau Sumba telah menjadi telaah hasil
penelitian dari beberapa tulisan peneliti lokal yang memiliki antusias terhadap budaya
Marapu di pulau Sumba . Karya tulis tentang Marapu secara sosio-religius dalam buku “Injil
dan Marapu”( 2004 ) ditulis oleh seorang rohaniwan dan dosen yakni F.D Wellem.
Kepercayaan Marapu menjadi tradisi dalam tatanan Masyarakat Sumba . Orang Sumba yang
tidak menganut agama yang diakui di Indonesia, mengidentifikasikan dirinya sebagai orang
Marapu. Seluruh kehidupan orang Sumba terikat dengan pemahaman tentang Marapu5.
Dalam buku ini juga termuat pendapat secara etimologis dan terminologis kata Marapu itu
sendiri dari beberapa penulis.

Beberapa penulis mencoba memberi pengertian atau defenisi tentang Marapu. L.


Onvlee berpendapat bahwa kata Marapu terdiri dari dua kata, Yaitu Ma dan rapu. Kata ma
berarti “yang“ sedangkan kata rappu berarti “dihormati”, “ disembah”, dan “didewakan’’.
A.A Yewangoe menduga kata Marapu terdiri dari dua kata, yaitu ma dan rappu. Kata ma
berarti “yang” dan rappu artinya “tersembunyi”, “yang tak terlihat”, Yewangu juga memberi
kemungkinan lain. Ia berkata bahwa terdapat kemungkinan Marapu terdiri dari dua kata, kata
Mera dan kata appu. Mera berarti “serupa” dan appu berarti “nenek moyang.”Marapu artinya
“serupa dengan nenek moyang”. W.Pos mengatakan bahwa Marapu bukanlah dewa tetapi
suatu roh pelindung rumah dan negeri, sedangkan De Roo van der Alderwelt mengatakan

4
Jill Forshee, Between The Folds,(Darwin : Northern Territory University, 2001), hal 43-50
5
F.D Wellem, Loc. Cit.
bahwa Marapu adalah roh yang berbuat jahat. D.K. Weilenga dalam beberapa tulisannya
mengatakan Marapu adalah dewa, roh pelindung, arwah orang mati.6

Menurut Wellem, pendapat dari beberapa penulis diatas belum memberikan


penjelasan yang memadai tentang pengertian Marapu. Pengertian mereka hanya terarah pada
penyembahan terhadap arwah nenek moyang saja padahal Marapu mempunyai pengertian
yang lebih luas. Pengertian yang diberikan C.Nooteboom lebih memperlihatkan pengertian
yang lebih luas dan memadai. Menurut C. Nooteboom, Marapu adalah kekuatan
supernatural, baik yang bersifat oknum maupun yang tidak, yang tampil dalam berbagai
macam bentuk. Kata Marapu dapat pula berarti suci, mulia dan sakti sehingga harus
dihormati dan tak dapat di perlakukan sembarang.7

Uraian secara etimologis dan terminologis kata Marapu dari beberapa penulis yang
diramu secara rapi oleh F.D Wellem ini amat berguna bagi peneliti baik dalam proses
penelitian maupun sebagai penambah wawasan bagi peneliti sendiri. Pengertian dari beberapa
penulis diatas membangun suatu pemahaman yang koherensi tentang Marapu sebagai sistem
kepercayaan dari orang Sumba pada umumnya dan pada khususnya bagi masyrakat Lauli.

Selanjutnya, dalam buku Mosaik Sumba Barat ( 2002 ) karangan Mikhael Beding
dan Indah Lestari Beding juga memuat artikel tentang kepercayaan Marapu. Buku ini
diterbitkan oleh Pemda Sumba Barat di era kepimpinan mantan Bupati Sumba Barat yakni
Bapak Timotius Langgar S.H. Buku ini diterbitkan sebagai usaha pemerintah Sumba Barat
dalam melancarkan program pemerintahan demi meningkatnya Mutu hidup Masyarakat
Sumba Barat. Selain itu pula buku ini juga menjadi pelestarian budaya dan penanaman
tradisi kepercayaan Marapu yang makin kurang mendapat tempat dalam bidang hidup
masyarakat Sumba Barat di tengah derasnya arus globalisasi.

Dalam buku ini, Mikael Beding dan Indah lestari Beding banyak memuat diskripsi
historis tentang kepercayaan Marapu di berbagai kecamatan yang ada di kabupaten Sumba
barat. Kepercayaan Marapu menjadi akar utama bagi kehidupan masyarakat Sumba barat
pada umumnya. Dalam buku ini termuat berbagai ritus adat dan permainan dari kabupaten
Sumba Barat, sebagai kegiatan penyembahan pada arwah leluhur, orang mati,dan bagi Sang
Pencipta kehidupan.

Selanjutnya hasil penelitian Rm.Dr.Herman Punda Panda yang tertuang dalam


artikelnya pada majalah “Lumen Veritatis” ( 2009 ) dengan judul, “Mencari Titik Temu
antara Marapu dan Kekristenan”. Tulisan ini menjadi landasan peneliti sebagai usaha
pembanding tentang makna keselamatan pandangan kepercayaan Marapu dengan Agama
kristen katolik sebagai Agama mayoritas Global. Artikel ini membuat usaha perbandingan
doktrin antara Marapu dan Kekristenan.

Konstruksi teologi Lokal dari Rm. Herman Punda Panda atas Doktrin utama dalam
Agama Marapu tentang konsep akan sang pencipta dan manifestasi sang pencipta itu dalam
sejarah memberi penjelasan yang memadai dalam mencari titik temu antara agama Marapu
6
Ibid
7
Ibid
dan agama Kristen sebagai Agama yang saat ini memiliki banyak penganut di Pulau Sumba . 8
Menurut Rm. Herman Punda Panda, ada banyak perbedaan antara agama Marapu dan
Kristen. Ada lima komponen yang diangkat dalam artikel ini sebagai kerangka perjumpaan
dua doktrin itu adalah tentang Allah pencipta, pengantara, penyertaan Allah, dalam hidup
Manusia, hakekat manusia sendiri, dan lingkup hidup sosial manusia.Kelima komponen ini
sama-sama menjadi unsur konstitutif kedua Agama tersebut.9

Dengan berbagai sumber buku dan artikel ilmiah yang termuat pada majalah yang
disebut diatas, memberi inspirasi dan motivasi baru Bagi peneliti untuk semakin antusias dan
konsisten tanpa menyampingkan keharmonisan batin dari peneliti untuk melakukan
penelitian yang fundamental tentang tema penelitian ini, yaitu Tentang Makna Keselamatan
Menurut Kepercayaan Marapu. Penelitian ini dilakukan bukan pada keseluruhan pulau
Sumba namun hanya pada wilayah kecamatan Lauli yang belokasi diwilayah kabupaten
Sumba Barat sebagai tempat berdomisili Peneliti sendiri.

2.3 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.3.1 KONSEP

2.3.1.1 Keselamatan

Dalam kehidupan maupun percakapan sehari-hari, ataupun dalam kerangka pewartaan


(kesaksian), umat beragama pada umumnya dan orang Kristen pada khusunya,kita sering
menggunakan atau mendengar istilah selamat atau keselamatan. Secara umum istilah
selamat Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti terbebas atau terhindari dari
bahaya, malapetaka, bencana; tidak kurang suatu apa pun; tidak mendapat gangguan, dsb.
Sedangkan keselamatan diartikan dengan perihal (keadaan dsb) selamat; kesejahteraan;
kebahagiaan dsb.10 Keselamatan (salvation) merupakan istilah komprehensif untuk
merumuskan keadaan bebas dari penderitaan serta kejahatan, baik dalam lingkup pribadi
maupun kolektif.

Kata keselamatan menerjemahkan kata Ibrani syaloom, yang dipakai dalam Perjanjian
Lama berbahasa Ibrani dan kata Yunani eirene yang dipakai dalam terjemahan Yunani
Perjanjian Lama (Septuaginta) dan dalam Perjanjian Baru yang berbahasa Yunani. Kata
syaloom dan eirene itu oleh Penerjemah Alkitab ke dalam bahasa Indonesia (terbitan
Lembaga Alkitab Indonesia) diterjemahkan dengan kata majemuk damai-sejahtera (yang
agak berdekatan dengan arti kata syaloom atau eirene). Kata syaloom menunjuk kepada suatu
keadaan yang kurang lebih mantap. Bentuk kata Indonesia ke-selamat-an juga menunjuk
kepada suatu status, keadaan mantap.11 Sedangkan kata Indonesia pe-nyelamat-an (yang

8
Herman Punda Panda, “Mencari Titik Temu antara Marapu dan Kekristenan”,dalam Lumen veritatis
Jurnal Filsafat dan Teologi, vol. 2. No. 2, Oktober 2008-Maret 2009 ( Kupang: Fakultas Filsafat Agama Unwira
), 101-116, hlm 112.
9
Ibidhlm 114-115
10
Departemen Pendidikan Nasional., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (PT Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta, 2008), hlm. 1248-1249
11
Dr. C. Groenen, OFM., SoteriologiAlkitabiah; KeselamatanyangdiberitakanAlkitab, (Yogyakarta:,
1989), hlm. 30-31
menurut kaidah bahasa menunjuk kepada suatu tindakan, kejadian, dinamika) dipilih untuk
menerjemahkan kata Ibrani yesyu’a’ dan kata Yunani sooteria. Terjemahan Lembaga Alkitab
Indonesia biasanya menerjemahkan sooteria dengan keselamatan. Kata Ibrani yesyu’a
dankataYunani sooteria memang paling sering mempunyai konotasi dinamis.12 Penyelamatan
tidak menunjuk kepada suatu tindakan, melainkan kepada suatu proses.

Dari uraian di atas, semakin jelas menunjukkan, bahwa istilah “selamat” dan
“keselamatan” mencakup beranekaragam gagasan dan pandangan. Sebagai kategori
pemikiran teologis, istilah ini lebih ditunjukkan keadaan manusia yang –secara negatif– tidak
ada dosa: ia telah bebas dari dosa, dan yang – secara positif – dalam keadaan baik serta
bahagia karena bersatu dengan Allah. Maka, paham “keselamatan” dalam arti ini
mengandaikan situasi manusia yang “dalam bahaya”, paling tidak sebagai suatu
kemungkinan yang real. Bahaya yang dimaksudkan adalah ancaman kejahatan yang merusak,
bahkan menghancurkan hidup manusia. Sebagai keadaan di mana terputuslah hubungan
manusia dengan Allah sehingga ia tidak menikmati perlindungan Tuhan, maka keadaan jahat
ini disebut “dosa”. Sebaliknya, dengan kata “penyelamatan” diungkapkan gagasan bahwa
manusia dibebaskan dari situasi dosa, dan pembebasan ini dilakukan oleh Allah sendiri yang
telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-
Nya yang kekasih” (Kol 1:13) sehingga kita dijadikan orang beriman, berharap, dan pengasih
yang memperoleh keutuhan pribadi di dalam Allah Pencipta, Penebus, dan Penolong.13
Lebih dari sekedar istilah biasa yang dipakai dalam percakapan maupun dalam pewartaan
Kristen, keselamatan merupakan makna kehidupan Kristiani.14

Dari pengertian yang sudah dipaparkan di atas tadi, penulis dapat mengatakan bahwa
keselamatan berarti perihal mengenai keadaan, situasi keselamatan, kesejahteraan,
kebahagiaan. Selamat berarti terhindar dari bencana, tidak mendapat gangguan. Atau dengan
kata lain keselamatan adalah suatu keadaan jiwa manusia yang bebas dari hambatan atau
tantangan untuk bersatu dan berbahagia dengan penciptanya, untuk selalu ada bersama dalam
keadaan bahagia. Keselamatan manusia berarti keadaan sejahtera dan bahagia bagi manusia
yang telah meninggal dunia. Suatu situasi dimana jiwa manusia mengalami kedamaian
sempurna seluruhnya dan seutuhnya di hadapan pencipta.

2.3.1.2 Marapu

Marapu merupakan kepercayaan asli orang Sumba . Sebagian besar orang Sumba
mengidentifikasi diri mereka terhadap kepercayaan Marapu. Marapu memiliki pengaruh
yang amat besar bagi kehidupan masyarakat di pulau Sumba . Misalnya dalam ritus religi
lokal seperti zaizo ( Upacara pemanggilan arwah ), Pasola ( upacara lempar lembing sambil
menunggang kuda ), Woleka ( Upacara syukuran panen ), Wulla Poddu dan upacara adat
lainnya di pulau Sumba . Dalam upacara-upacara adat ini, orang Sumba sungguh
mempercayai peran serta Marapu sebagai wujud tertinggi yang Namapadikangu awangu-

12
Ibid
13
Dr. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2,(Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 132
14
Karl-Heinz Peschke., Etika Kristiani: Pendasaran Teologi Moral, Jilid I, (Ledalero-Maumere, 2003),
hlm. 55
tana ( menciptakan langit dan bumi ), Marapu sebagai Mawulu tau ( pencipta manusia ),
Marapu sebagai Ama amawolo-Ina amarawi” ( Bapa yang memintal-ibu yang menenun ) . 15
Sama seperti budaya kepercayaan lain di berbagai pelosok dunia yang mempercayaui
akan adanya kehidupan setelah kematian. Orang Marapu jugamempercayai akan adanya
kehidupan setelah kematian. Setiap manusia yang mati akan beroleh keselamatan dari
Ndapateki tamo-Ndapateki ngara (yang tidak disebutkan namanya dan tak dapat di samakan).
Orang Marapu percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian manusia di alam fana.
Asalkan manusia bertindak secara baik terhadap sang Penciptasebagai penyelenggara
tertinggi maka akan beroleh keselamatan dan perlindungan dari sang pencipta kehidupan.
Jika tidak menghormati sang pencipta kehidupan sebagai ilah tertinggi maka akan beroleh
melapetaka.16

L. onvlee, berpendapat bahwa kata Marapu terdiri dari dua kata yaitu ma dan rapu.
Kata ma berarti yang sedangkan kata rapu berarti dihormati, disembah dan didewakan. A.A
Yewangoe melihat kata Marapu terdiri dari dua kata yaitu ma dan rapu. Kata ma berarti yang
dan rapu berarti tersembunyi. Jadi secara etimologis pengertian Marapu belum mendapat
kesesuaian pengertian diantara para penulis dan tua-tua adat. 17 Untuk sementara ada beberapa
pengertian yang dapat dikemukakan di sini sebagai arti dari kata ‘Marapu’ yaitu:

Marapu sebagai Para penghuni langit yang hidup abadi, Makhluk-makhluk mulia itu
merupakan makhluk-makhluk yang berwujud dan dan berkepribadian seperti manusia.
Terdiri dari pria dan wanita, mereka juga berpasangan sebagai suami istri. Diantara
keturunannya ada yang menghuni bumi dan menjadi cikal bakal nenek moyang segenap
suku-suku yang hidup di Sumba . Ada yang mengatakan bahwa Marapu merupakan Arwah
nenek moyang di kampung besar. Arwah sanak keluarga Makhluk-makhluk halus yang
menghuni seluruh penjuru dan ruang alam. Mereka mempunyai kekuatan gaib, magis yang
mempengaruhi kehidupan manusia di alam ramai.18

2.3.1.2.1 Kepercayaan Akan Marapu

Bebicara tentang Sumba berarti kita juga berbicara tentang Marapu. Pernyataan ini
hanya mau menandaskan bahwa hidup orang Sumba tak bisa dipisahkan dari Marapu.
Marapu menjadi aktivitas sentral hidup masyarakat Sumba . Para Marapu tak lain adalah
para penghuni langit yang abadi yang merupakan pengantara yang menghubungkan manusia
dengan wujud tertinggi. Kepercayaan Marapu mempunyai konsepsi tentang adanya “Yang
Ilahi” yang menciptakan alam semesta dan kehidupan segala makhluk, “Ama amawolo-Ina
amarawi” (Bapa yang memintal-ibu yang menenun) segala doa, permohonan, sembah bakhti
serta korban yang ditujukan manusia kepada wujud tertinggi disampaikan dengan perantaraan
para Marapu.

2.3.1.2.2 Fungsi Marapu


15
F.D. Wellem, Loc. Cit.

16
De. H. Kapita, Sumba Di dalam jangkauan jaman ( Jakarata : Gunung Mulia , 1976 ) hal 223-231.
17
F.D. Wellem, Loc. Cit.
18
B Mikhel Beding dan S. Indah Lestari Beding,Mozaik Sumba Barat, (Waikabubak : Pemda Sumba
Barat,2002) hal 33
A. Pembantu Dalam Penciptaan

Pencipta adalah wujud tertinggi yang di sebut magholo-marawi. Marapumoripa yaitu


roh-roh yang ada terlebih dahulu merupakan pembantu sang pencipta dalam penciptaan
segala sesuatu dan sekaligus merupakan leluhur yang menurunkan manusia. Dalam cerita
mithos tentang penciptaan tidak disebutkan bahwa pencipta menciptakan Marapuex nihilo,
tetapi hanya dikatakan bahwa Marapu itu lahir dalam lingkungan ilahi. Di sini kurang jelas
apakah Marapu itu ada dalam level ciptaan atau bersifat ilahi. Tetapi tentang manusia
(walaupun merupakan keturunan Marapu) cukup tegas dikatakan bahwa merupakan ciptaan
sang pencipta sebagaimana nyata dari gelar-gelar pencipta. Dia disebut “Pencipta manusia”
(Mawulu tau) dan bahkan digambarkan pula bahwa Dia menciptakan manusia itu dengan
detil-detilnya : “membentuk jari tangan dan kaki, membentuk kepala dan rambut”. Dapat
dikatakan bahwa hakekat manusia adalah ciptaan tertinggi dan membawa dalam dirinya
unsur Ilahi (sebagai keturunan Marapu).

B. Cerminan Sang Pencipta

Marapu sebagai “divine beings” merupakan cerminan atau bayangan sang pencipta
(ninu mawulu tau). Para Marapu berbeda diantara pencipta dan ciptaan. Mereka sekaligus
dekat dengan pencipta dan dekat pula dengan ciptaan. Mereka “menampakkan” Sang
pencipta yang jauh tak terjangkau itu kepada manusia. Kedekatan itu nyata dalam
pemahaman orang Sumba bahwa para Marapu merupakan leluhur pertama yang menurunkan
bangsa manusia di bumi. Peranan pencipta sebagai penopang dan penyelenggara keberadaan
segenap ciptaan dijalankan oleh Marapu. Karena merupakan cerminan sang pencipta, maka
komunikasi dengan para Marapu dalam ritus keagamaan bertujuan akhir pada sang pencipta.

A. Pengantara Manusia Dan Pencipta

Para Marapu memiliki fungsi sebagai pengantara antara manusia dan pencipta.
Mereka disebut sebagai lede papala- kaito papadola (jembatan yang dilewati dan jolok yang
diulurkan), a nggabbana paneghe a papana kadauka (mitra bicara manusia). Tiap-tiap suku
memiliki Marapu pelindung utama selain arwah leluhur yang juga berfungsi sebagai
pelindung. Selain sebagai pelindung Marapu juga merupakan pengantara komunikasi, doa-
doa, persembahan dan bakti manusia kepada sang khalik. Mereka bukan tuan pemujaan
anggota-anggota klen melainkan sebagai pengantara dan karena itu secara mutlak amat
dibutuhkan. Tidak ada komunikasi dengan pencipta tanpa Marapu.

Sebagai anak bangsa dan juga sebagai putera daerah hendaknya setiap kita sadar akan
perlunya melihat kembali sejauh mana keberadaan kita selama ini dan sudah sejauh mana kita
telah berbalik dan melihat keselamatan yang ada dalam budaya kita masing-masing. Jika
kesadaran itu telah sirna termakan waktu dan pengaruh dunia globalisasi maka hendaknya
kita membangkitkan kembali kesadaran itu tentunya melalui moment seperti ini dengan
memandangnya sebagai suatu kekayaan religius yang patut dibanggakan. Jangan kita terlalu
terbawa dengan pikiran modern yang selalu mengandaikan dan menyamakan budaya kita
sebagai yang kuno.
2.3.1.3 BENTENG MEGALITIK MARAPU DI SUMBA

Ketika menapaki sebuah bukit , persis di tengah kota Waikabubak, ibu kota sumba
barat, era modern terasa seolah lenyap . bayang-bayang kehidupan zaman prasejarah
langsung menyergap. Kenyataan di depan mata adalah sebaran batu-batu besar berupa menhir
dan dolmen, yang menyatu dengan rumah-rumah menara beratap ilalang, berdinding ayaman
bambu.Rumah-rumah tradisional sumba itu berdiri di tepian puncak bukit. Di wilayah
terbuka dibagian tengah kampung, tampak menyolok sisa-sisa kebudayaan megalitikum
(zaman batu besar) berupa dolmen (batu besar dengan empat tiang batu), dan menhir (menara
dari batu). Beberapa dolmen terdapat hiasan batu pahat berupa manusia yang duduk di kepala
kerbau. Di titik pusat perkampungan, terletak katoda, yaitu sebuah batu bulat dengan
sebatang kayu tertancap di tengahnya. Inilah tempat menaruh kepala musuh yang berhasil di
bawah pulang seusai perang.

Puncak bukit kecil itulah letak kampung tarung, yang bersebelahan dengan kampung
waitabar. Kedua kampung tua ini merupakan sebagian dari wilayah-wilayah kampung
bernuansa megalitik yang ada di pulau sumba, provinsi NNT. Masih dalam wilayah kota
waikabubak, perkampungan serupa bisa jumpai di Tambelar, desa elu, bodo ela, dan
kampung paletelolu. Sisa –sia megalit juga terdapat di Anakalang (sumba tengah) dan prailau
(sumba timur).

Sebenarnya, hampir di setiap sudut pulau yang terkenal dengan sebutan sandalwood
island ini bisa dijumpai batu-batu besar bertiang dan batu-batu yang ditancapkan ke tanah. Ini
merupakan tanda peringatan dan lambang nenek moyang.

Semua ornamen masa lalu menjadi bagian erat dari kehidupan hampir 30% dari
611.422 jiwa penduduk pulau sumba (data 2005), yang menganut agama marapu. Marapu
adalah agama asli orang sumba sebelum bersentuhan dengan agama Kristen. Komunitas
marapu tidak tinggal berkelompok, melainkan menyebar di hampir seluruh wilayah pulau
seluas 11. 153 km2 ini.

Dalam laporan kependudukan versi pemerintah tahun 2008, jumlah penduduk sumba
sebayak 647. 928 jiwa. Penganut agama marapu tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi di
tulis dalam kolom ‘ lain –lain ‘ berjumlah 81. 943 jiwa. Penganut agama lainya, protestan
393. 470 jiwa, katolik 142. 687 jiwa, islam 28. 983 jiwa, dan hindu 746 jiwa.

2.3.1.3 Lauli

Lauli merupakan salah satu kecamatan di pulau Sumba khususnya Sumba Barat.
Letak geografis wilayah kecamatan Lauli amat strategis karena berdekatan dengan ibu kota
Kabupaten Sumba Barat yakni Waikabubak. Namun seringkali kedua kecamatan ini
dipahami sebagai satu wilayah. Padahal masing-masing kecamatan memiliki daerah teritorial
tersendiri. Secara geografis dapat di deskripsikan demikian. Bagian selatan berbatasan
dengan kecamatan Wonakaka, bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Tana Righu,
bagian timur berbatasan dengan Kecamatan Anakalang ( Kabupaten Sumba Tengah, dan
bagian barat berbatasan dengan kecamatan Wewewa Timur ( Kabupaten Sumba Barat Daya)
Pelataran wilayah ini pula memiliki kekhasan tersendiri dengan memiliki lokasi
persawahan ,perkampungan-perkampungan adat yang berbaris rapi di pingggiran jalan, pagar
batu yang berada di tiap perkampungan dan kubur-kubur megalitik yang senantiasa
menghiasi panorama alamnya menunjukan kalau manusia yang berdomisili di lokasi ini
memiliki penghormatan yang tinggi terhadap kebudayaan setempat. Rata-rata masyarakat
Lauli bermata pencarian sebagai petani dan peternak, hanya sedikit saja yang bekerja menjadi
pegawai negeri sipil ( PNS ).

( Kata Kunci : Keselamatan Dan Marapu )

2.3.2 LANDASAN TEORI

Penelitian ini coba menggunakan teori semiotika dalam menetukan hasil


penelitiannya.Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda dan pemaknaan. Teori
semiotika dalam konteks penelitian inilah untuk meneliti dalam menganalisis symbol motif
(Materi) yang melukiskan yang transenden dari kepercayaan terhadap Marapu dan makna
dari tanda itu sekaligus mencoba mengaitkannya dengan konteks kehidupan masyarakat
Lauli. Maksudnya dari symbol-simbol itu bisa diangkat hal-hal dalam tanda itu yang mana
menjadi hal yang dihayati dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya Jill Forshee, dalam
bukunya Between The Folds yang berbicara tentang kain tenun Sumba ( “ingi” dalam
bahasa wewewa). Menurut Forshee, simbol kain tenun Sumba mengandung banyak makna
falsafah hidup orang Sumba .19 Makna itu tersirat dalam tuangan gambar yang terlukis pada
kain tenun. Misalnya lambang Mamoli ( sebuah alat pembelisan peninggalan Zaman
Megalitikum) sebagai lambang kewanitaan. Gambaran tentang Marapu dan kekristenan
sebagai leluhur tersirat dalam bentuk gambar manusia Sumba dan malaikat.
Selain itu pula, Dalam penelitian ini menggunakan teori predikabilia yang di mana
lebih menekankan pada sifat-sifat yang khas dari suatu tradisi atau budaya. Dasar filosif teori
predikabilia ini diperkenalkan oleh Imanuel Kant, yang melaluinya menjelaskan tentang
nilai-nilai suatu budaya yang diakui dalam suatu tempat. Di mana sangat ditekankan wujud
atau entitas dari suatu budaya dan praksisnya suatu budaya serta arti, tujuan dan makna dari
budaya tersebut.
penelitian ini juga menggunakan metode komparatif yang menekankan perbandinagn
dengan kebudayana lain. Dalam arti bukan menyangkut kualitas melainkan untuk
mendapatkan suatu persamaan, perbedaan dan juga bisa merakibat lanjut pada inkulturasi
atau penggabungan yang perlu untuk saling mengisi, memberi, melengkapi.

Teori yang paling utama dalam penelitian ini adalah teori ritus. Dimana Teori Ritus ,
menjelaskan aksi Afirmasi akan representasi citraan ilahi dan insani yang ada dan dirayakan
dalam entitas Ritus dan Praktis. Hal ini dikarenakan ritus kebudayaan masyarakat Lauli
memiliki tujuan pertama dalam pelaksanaan ritus kebudayaan tertentu yakni ditujukan kepada
Marapu sebagai penghormatan pada leluhur.

19
Jill Forse, Loc. Cit.
2.3.3 MODEL PENELITIAN

Budaya lokal Budaya Global

Makna Keselamatan Menurut


Religi Lokal Kepercayaan Marapu Dalam Agama Katolik
(Agama Marapu) Masyarakat Lauli,Kabupaten
Sumba Barat

Representasi Interaksi (praksis) Makna (Nilai)

Keterangan ( entitas) Marapu

= Inti pembahasan dengan penalaran Induktif-Deduktif

= Interaksi Tekstual dengan penalaran holistik-hereuistik


BAB III

PENUTUP

Heraclitus seorang filsuf pra sokrates,Pernah berkata bahwa “segala sesuatu itu
mengalir”.Perkataan heraclitus in bisa direduksi dengan mengunakan istilah lain yakni “Tak
ada Yang abadi”.Semua ini mengalir dan tak ada yang tinggal tetap.memang benar karena
Heraclitus mengamati dunia yang ia diami dan berkata demikian.Namun di sisi lain tak dapat
disangkal pula bahwa masih ada yang abadi dan karena manusia itu ens contingens,manusia
tidak sungguh mengenal keabadian itu karena keabadian itu juga melampaui dirinya.

Keabadiaan yang melampaui dirinya menurut kaum beragama adalah Sang pencipta
Kosmos (alam semesta) itu sendiri.Pencipta kosmos dalam konteks kristiani di sebut
Allah.Allah itu Abadi dan juga sumber keabadiaan bagi mereka yang datang padanya.Namun
untuk menuju Allah yang abadi itu begitu sulit dilakukan manusia karena Manusia terikat
dengan dunia ini.Keterikatan manusia terhadap godaan duniawi menjadikan manusia sebagai
manusia yang lemah dan mudah jatuh dalam keadaan yang sulit untuk bertemu
Allah.keadaan itu yang manusia sebut dosa.Dalam Kitab Kej.3 :1-24 dikisahkan bagaimana
Manusia pertama begitu tertarik pada buah larangan Allah dan terikat dengan godaan ular
tanpa mengingat perintah larangan Allah.Ketertarikannya pada godaan ular membuat
manusia jatuh dalam dosa sehingga ia tak dapat lagi hidup bersama Allah sang keabadian
dalam taman firdaus.

Dalam budaya Marapu di kecamatan Lauli, kematian merupakan hokum kodrat yang
diyakini sebagai permulaan hidup baru di alam para marapu.Kematian itu tak terelakan dari
eksistensi seorang manusia. Untuk itu dalam kehidupannya, manusia haruslah senantiasa
berjuang untuk melakukan hal yang terbaik dalam hidupnya. Meskipun orang marapu tidak
menyangkal adanya kematian, tetapi mereka meyakini bahwa kematian bukanlah sebuah
keterpisahan hidup dari realitas duniawi. Manusia pun akan beroleh keselamatan di alam
marapu.
Orang Marapu jugamempercayai akan adanya kehidupan setelah kematian. Setiap
manusia yang mati akan beroleh keselamatan dari Ndapateki tamo-Ndapateki ngara (yang
tidak disebutkan namanya dan tak dapat di samakan). Orang Marapu percaya bahwa ada
kehidupan setelah kematian manusia di alam fana. Asalkan manusia bertindak secara baik
terhadap sang Penciptasebagai penyelenggara tertinggi maka akan beroleh keselamatan dan
perlindungan dari sang pencipta kehidupan. Jika tidak menghormati sang pencipta kehidupan
sebagai ilah tertinggi maka akan beroleh melapetaka.20

DAFTAR PUSTAKA

KAMUS

Departemen Pendidikan Nasional., Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia Pustaka


Utama: Jakarta, 2008

SUMBER BUKU

Beding, Mikhael dan S. Indah Lestari Beding,Mozaik Sumba Barat, Waikabubak : Pemda
Sumba Barat,2002.

Forshee, Jill Between The Folds, Darwin : Northern Territory University, 2001.

Gerald, O’Collins dan Edward G. Farrugia., Kamus Teologi, Kanisius: Yogyakarta, 1996.

Groenen Dr. C., OFM., SoteriologiAlkitabiah; KeselamatanyangdiberitakanAlkitab,


Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Heinz, Peschke Karl, Etika Kristiani: Pendasaran Teologi Moral Jilid I, Ledalero : Maumere,
2003.
Kapita, De. H., Sumba Di dalam jangkauan jaman , Jakarata : Gunung Mulia , 1976.

Syukur, Dister Dr. Nico, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Wellem,F.D, Injil Dan Marapu, Jakarta : Gunung mulia,2004.

JURNAL ILMIAH

Panda, Herman Punda. “Mencari Titik Temu Antara Marapu Dan Kekristenan” , Majalah
Lumen Veritatis-Penfui, Fakultas Filsafat Agama Unwira, Oktober 2008.

MANUSKRIP
20
De. H. Kapita, Sumba Di dalam jangkauan jaman ( Jakarata : Gunung Mulia , 1976 ) hal 223-231.
Watu, Yohanes Vianey, “ Bahan Kuliah Penelitian Budaya”Kupang :Fakultas Filasafat
Agama Unwira , 2009.

Anda mungkin juga menyukai