Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH ETNOGRAFI

Dosen Pengampu : Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Oleh:

Sherly Kurnia Dafani


Tiara Dwi Astuti
Nurianti Rohani
Non Sopika
Sarisah
Siti Fatimah

ANTROPOLOGI

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


UNIVERSITAS MATARAM

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan hidayah-
Nya sehingga makalah Antropologi dapat kami susun dengan baik. Sholawat dan salam
tetap terlimpahkan kepada nabi Muhammad SAW, yang telah membawa manusia kejalan
yang benar.

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi prodi Sosiologi
Universitas Mataram. Diharapkan dengan penyusunan makalah ini pemahaman kami
tentang Etnografi beserta kajiannya dapat semakin dalam. Tidak lupa kami berharap kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak demi terwujudnya makalah yang lebih baik
lagi.

Mataram, 22 September 2019

Penyusun

i|Page
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 1

BAB II. PEMBAHASAN


2.1 .......................................................................................................................... 2

BAB III. PENUTUP


3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 17
3.2 Saran ............................................................................................................. 17

 DAFTAR PUSTAKA

ii | P a g e
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepercayaan dan keyakinan adanya kekuatan gaib yang melebihi kekuatan manusia
biasa akan pengakuan akan wujud tertinggi, dituangkan dalam kepercayaan marapu.
Kepercayaan ini mengutamakan unsur-unsur kesucian, kebersihan jiwa, perdamaian,
kerukunan, cinta kasih, keselarasan hubungan, keserasian, dan keseimbangan dunia
akhirat, antara Tuhan dengan manusia, manusia dengan alam, kerukunan antara
Kabihu/Marapu yang dipuja masing-masing Kabihu, serta dalam satu Kabihu.
Kepercayaan Marapu, adalah agama suku tradisional, yang berisi “hukum dan ilmu suci”
bagi penganutnya, dalam wujud “Budaya dan Religi”.

Pengakuan adanya yang maha pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau
kalimat kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa
penting saja. Dalam keyakinan marapu, yang maha pencipta tidak campur tangan dalam
urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk
menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap
sebagai media atau perantara untuk mengubungkan manusia dan perciptanya,
kedudukan dan peran para Marapu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu-
ketu papajolongu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai
perantara) antara manusia dengan tuhannya.

Premis dasar dari setiap pemujaan adalah kepercayaan akan adanya jiwa, sesuatu yang
bersifat supranatural, dan kekuatan supranatural. Dalam artinya pemujaan didalam religi
tersebut mempunyai mekanisme yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan
budaya mesyarakat Sumba, para penganut marapu hidup dalam ketergantungan
kekuatan alam lain.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa definisi dan konsep dari Marapu dalam masyarakat Sumba Timur?
1.2.2 Upacara apa saja yang terdapat dalam kepercayaan marapu?
1.2.3 Bagaimana pengaruh budaya luar terhadap marapu?

1.3 Tujuan
1.3.1 Memahami defenisi dan konsep Marapu dalam lingkungan masyarakat Sumba
Timur
1.3.2 Memahami upacara-upacara dalam kehidupan marapu
1.3.3 Memahami pengaruh budaya luar terhadap marapu

1|Page
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Marapu dan konsep kepercayaan Marapu di Pulau Sumba

Marapu merupakan kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat sumba


terkhususnya di Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dari segi etimologis, istilah Marapu merupakan gabungan dua kata yang apabila dipecah
dapat menimbulkan makna yang berbeda-beda. Menurut L. Ovlee (dalam Wellem, 2001)
kata Marapu dianggap berasal dari dua kata, yakni ma dan rappu. Ma bermakna “yang” dan
rappu bermakna “dihormati”, “disembah”, dan “didewakan”. Oleh karena itu, marapu merujuk
pada arti sesuatu yang dihormati, disembah, atau didewakan.

A. A. Yewangoe (1980:52) berpendapat bahwa marapu merupakan gabungan dari kata


ma (yang) dan rappu (tersembunyi), sehingga kata marapu bermakna “yang tersembunyi”.
Selain itu, Yewangoe juga memperkirakan bahwa marapu berasal dari mera (sama/serupa)
dan appu (nenek moyang). Dalam istilah sehari-hari, masyarakat Sumba memang biasa
menyebut nenek moyang mereka dengan sebutan marapu. Adapun yang dimaksud dengan
Kepercayaan Marapu ialah sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan terhadap
arwah-arwah leluhur. Premis dasar dari setiap pemujaan adalah kepercayaan akan adanya
jiwa, sesuatu yang bersifat supernatural, dan kekuatan supranatural (Djawa, 2014). Dalam
artinya pemujaan didalam religi tersebut mempunyai mekanisme yang berhubungan dengan
kehidupan sehari – hari dan kekuatan alam lain.

Dalam kacamata Yewangoe (1980), kepercayaan Marapu dapat dikelompokkan


kepada agama-agama alam, sebab di dalam agama ini kuasa dan kekuatan alam sangat
dihormati dan mengambil peran penting dalam konsep kepercayaannya. Meminjam
pengelompokan Mariasusai Dhavamony (1995) tentang bentuk-bentuk “agama primitif”,
maka agama Marapu dapat dikelompokkan sebagai agama yang berbasis pada animisme
dan pemujaan terhadap leluhur. Walaupun dalam budaya Sumba tidak dikenal bahasa
tulisan, orang Sumba mempunyai kesusasteraan suci yang hidup dalam ingatan para ahli
atau pemuka-pemuka agama mereka. Kesusasteraan suci ini disebut Lii Ndai atau Lii
Marapu yang diucapkan atau diceriterakan pada upacara-upacara keagamaan dengan
diiringi nyanyian adat. Masyarakat Sumba juga mengenal ilah tertinggi sebagai Pande Peku
Tamu – Pande Yura Ngara (ia yang tidak diketahui namanya). Meskipun dijuluki sebagai
“yang tidak diketahui namanya”, namun pada kenyataannya masyarakat Sumba menamai
ilah tertinggi tersebut dengan sebutan Anatala. Menurut penyelidikan Kapita (dalam Wellem,
2004:42), nama Anatala kemungkinan dipengaruhi oleh konsep Islam yang menyebut Tuhan
dengan sebutan Allah Ta’ala. Konsep ini mungkin dibawa oleh orang Ende (Flores) dan
Bima (Sumbawa) yang telah masuk Islam yang melakukan hubungan politik maupun
perdagangan dengan orang Sumba jauh sebelum orang Eropa datang menguasai Pulau
Sumba sekitar abad ke-19. Nama ilah tertinggi tersebut dianggap keramat dan mempunyai
kekuatan magis, sehingga dilarang disebut sembarangan karena dapat menimbulkan
malapetaka. Oleh sebab itu, dalam bahasa sehari-hari, masyarakat Sumba mengganti
nama Anatala dengan menyebut sifat-sifat ketuhanannya, misalnya dengan
perkataan Mawulu Tau – Majii Tau (ia yang menciptakan manusia), Ina Nuku – Ama
Hara (sumber dari segala aturan), dan sebutan-sebutan penghormatan lainnya (Wellem,
2|Page
2004:42-43). Dari konsepsi masyarakat Sumba ini dapat digambarkan bahwa eksistensi
Tuhan sangat dibedakan dengan manusia, baik karena sifatnya yang adikodrati maupun
tempatnya yang jauh di atas sana.

Jalinan komunikasi dengan Tuhan hanya dapat terjadi dengan perantara arwah nenek
moyang, yaitu para marapu. dan melalui marapu pula Hupu Ima – Hupu Ana mengirimkan
pesan atau jawaban atas permohonan tersebut. Sebagaimana dibahas pada bagian
sebelumnya, marapu adalah kelompok manusia pertama yang turun dari langit untuk
menetap di bumi. Sebagai generasi pertama yang turun dari langit, marapu dianggap
sebagai makhluk yang mewarisi sifat-sifat adikodrati. Untuk menghormati para marapu,
masyarakat Sumba membuat simbol berupa benda-benda, seperti tombak, benda-benda
dari emas, gong, gading, manik-manik, dan benda-benda khusus lainnya. Benda-benda ini
dianggap sebagai obyek fetis, dikeramatkan, dan tidak sembarang orang dapat
menyentuhnya. Hanya para rato yang boleh memegangnya dalam suatu upacara
keagamaan. Marapu penting karena dapat menjadi penghubung antara manusia dengan
Tuhan. Selain itu, ia telah mewakili Tuhan dalam tugas-tugas menolong atau menghukum
manusia. Jika marapu dipuja, maka ia akan memberikan pertolongan, perlindungan, dan
keselamatan. Begitu juga sebaliknya, jika ia tidak disembah akan menimbulkan malapetaka.

Di samping percaya terhadap roh para leluhur, masyarakat Sumba juga meyakini adanya
roh-roh halus yang dapat menolong atau mencelakakan kehidupan manusia. Roh-roh halus
ini mendiami tempat-tempat tertentu. Seperti diutarakan oleh Dhavamony (1995),
kepercayaan terhadap roh merupakan kebutuhan untuk menangkal kejahatan, musibah,
atau untuk menjamin keselamatan. Di dalam pemujaan terhadap roh terdapat komunikasi
antara manusia kepada roh, yaitu permohonan manusia untuk diberikan keselamatan.

Masyarakat sumba percaya bahwa Jika seorang individu membuat kesalahan dengan
nenek moyangnya, anggota klan lain mungkin menderita kemalangan (Yewangoe, 1980).
Namun, ketika manusia tidak memperhatikan nenek moyang mereka, bencana dapat
mengganggu para anggota klan (Twikromo, 2008). Di dalam masyarakat Sumba dapat tidak
ada satu segi kehidupan yang tidak diliputi oieh rasa keagamaan. Sudah sejak lahir
seseorang dipersiapkan untuk melayani kepentingan marapu-nya. Anak-anak selalu dibawa
untuk turut serta di dalam upacara pemujaan. Bahkan anak-anak itulah yang makan nasi
sesaji yang sudah dipersembahkan dengan maksud agar mereka dikenal oleh marapu. Hal
demikian menunjukkan bahwa semua perilaku maupun kegiatan yang dilaksanakan oleh
penganut marapu sangat perilakunya sehari-hari.

Djawa (2014) menjelaskan kepercayaan marapu segala perilaku yang dilakukan akan di
saksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang di tujukan melalui kalimat-kalimat kiasan Na
Mailu Paniningu Na Mangadu Katandakungu yang artinya (Yang Memandang dengan Teliti
dan Meninjau dengan Tuntas, Yang mengetahui segala perbuatan baik atau buruk dari
tingkah laku manusia). Hampir semua segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa
keagamaan sehingga bisa dikatakan agama Marapu menjadi inti dari kebudayaan
mereka. Dengan demikian kepercayaan Marapu masih dipegang hingga kini meskipun
beberapa penduduk telah memeluk agama lain seperti Kristen dan Islam ( Hariyanto, dkk.
2012 )

3|Page
Belis

Sumba merupakan salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terbagi menjadi
empat kabupaten: Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Timur.
Meski demikian, masyarakat Sumba memiliki beragam tradisi yang secara turun-temurun
telah diwariskan kepada generasi penerusnya. Tradisi-tradisi inilah yang menjadi magnet
tersendiri bagi Sumba sehingga mampu mengundang turis baik lokal maupun manca negara
untuk datang berkunjung ke Sumba. Dari sekian banyak tradisi masyarat Sumba, ada satu
tradisi yang menarik bagiku untuk didiskusikan. Tradisi "Belis" namanya.

Belis merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak pria kepada pihak wanita dalam
pernikahan masyarakat Sumba. Penyerahan mas kawin tersebut dapat berupa hewan ternak
seperti kuda, kerbau, babi. Selain itu, penyerahan belis juga dapat berupa mamuli(Sebuah
simbol reproduksi wanita dalam identitas kebudayaan lokal), hingga Kain Sumba.

Banyaknya belis tergantung pada kesepakatan dan status sosial daripada calon pengantin
perempuan. Jika yang akan dinikahi adalah wanita dengan status sosial tinggi, maka hewan
yang diberikan mencapai Puluhan ekor. Untuk rakyat biasa sekitar 5-15 ekor. Dan untuk ata
(golongan/lapisan terendah dalam stratifikasi masyarakat Sumba), dibayar oleh maramba
(tuan/bangsawan).

Mahalnya belis yang harus dikeluarkan oleh pihak mempelai pria tak menjadi persoalan sebab
ada makna mulia yang tertanam dalam peristiwa belis ini, yaitu nilai yang menjunjung betapa
berharganya seorang wanita. Namun, seiring berjalannya waktu, belis mengalami pergeseran
makna karena nilainya semakin tinggi dan irrasional.

Hal ini juga menyebabkan kemiskinan yang struktural bagi sang mempelai (tidak termasuk
keluarga mempelai wanita) karena belis dipolitisasi semata untuk memperkaya diri. Bahkan
yang lebih parahnya lagi, kini dibuatkan stratifikasi pendidikan. Semakin tinggi pendidikan
seorang wanita, maka semakin besar pula belis yang harus ditanggung oleh mempelai pria.
Sungguh stratifikasi yang sangat merugikan.

a) Lokasi Suku Sasak

Suku Sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Jumlah penduduk pulau Lombok pada tahun 2001 sekitar
2.722.123 jiwa yaitu sebuah pulau di Kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara
yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah barat dan Selat Alas di
sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini kurang lebih berbentuk bulat dengan
semacam “ekor” disisi barat daya yang panjangnya kurang lebih 70 km. Luas pulau
ini mencapai 5.435 km², menempatkannya pada peringkat 108 dari daftar pulau
berdasarkan luasnya di dunia. Kota utama di pulau ini adalah Kota Mataram.

1. Pembagian Administratif

4|Page
Pulau Lombok termasuk provinsi Nusa Tenggara Barat dan pulau ini sendiri
dibagi menjadi 1 Kotamadya dan 4 Kabupaten :

a. Kotamadya Mataram
b. Kabupaten Lombok Barat
c. Kabupaten Lombok Tengah
d. Kabupaten Lombok Timur
e. Kabupaten Lombok Utara

2. Demografi
Sekitar 80% penduduk pulau ini adalah suku Sasak, sebuah suku bangsa yang
masih dekat dengan suku bangsa Bali, tetapi sebagian besar memeluk
agama Islam. Sisa penduduk adalah orang Bali, Jawa, Tionghoa dan Arab
.

b) Asal Mula Suku Sasak


Suku Sasak telah menghuni Pulau Lombok selama berabad-abad, Mereka telah
menghuni wilayahnya sejak 4.000 Sebelum Masehi. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa orang Sasak berasal dari percampuran antara penduduk asli
Lombok dengan para pendatang dari Jawa. Ada juga yang menyatakan leluhur
orang sasak adalah orang Jawa.

Menurut Goris S., “Sasak” secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang berarti
“pergi” dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu Goris menyimpulkan
bahwa sasak memiliki arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari pengertian inilah diduga
bahwa leluhur orang Sasak itu adalah orang Jawa.

Bukti lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak
disebut sebagai “Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari tanah Jawa, pada
perkembangannya, aksara ini diresepsi dengan baik oleh para pujangga yang telah
melahirkan tradisi kesusasteraan Sasak.
Pendapat lain menyoal etimologi Sasak beranggapan bahwa kata itu berasal dari
kata sak-sak yang dalam bahasa sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan
dengan kedatangan nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan sampan
dari arah barat. Sumber lain yang sering dihubungkan dengan etimologi Sasak
adalah kitab Nagarakertagama yang memuat catatan kekuasaan Majapahit abad
ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca.

5|Page
Dalam kitab Nagarakertagama terdapat ungkapan “lombok sasak mirah adi”
yangkurang lebih dapat diartikan sebagai “kejujuran adalah permata yang utama”.
Pemaknaan ini merujuk kepada kata sasak (sa-sak) yang diartikan sebagai satu
atau utama; Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi yang dapat diartikan sebagai jujur
atau lurus; mirah diartikan sebagai permata dan adi bermakna baik.

c) Sejarah, Pengaruh, dan Kekuasaan

Sejarah Lombok sepertinya tidak dapat dipisahkan dari silih bergantinya kekuasaan
dan peperangan pada masa itu. Baik itu peperangan antar kerajaan di Lombok
sendiri, maupun peperangan yang ditimbulkan oleh perluasan kekuasaan dari
wilayah lain.

Konon, pada masa pemerintahan Raja Rakai Pikatan di Medang (Mataram Kuno),
telah banyak pendatang dari Pulau Jawa ke Pulau Lombok. Banyak diantara
mereka kemudian melakukan pernikahan dengan warga setempat sehingga
keturunan-keturunan selanjutnya dikenal sebagai suku sasak.

Selanjutnya, dalam catatan sejarah abad ke-14-15 Masehi, Pulau Lombok ini
kemudian berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit. Bahkan
kabarnya Maha Patih Gajah Mada sendiri yang waktu itu datang ke Pulau Lombok
untuk menundukan beberapa kerajaan yang ada di Pulau itu.

Melemahnya pengaruh Majapahit membuka jalan bagi perkembangan Islam ke


daerah Lombok. Islam mungkin sudah sampai di Pulau lombok jauh sebelumnya,
tapi penyebaran yang signifikan muncul karena bantuan para wali beserta
kekuasaan Islam di tanah Jawa dan wilayah Makassar.

Selama kurun waktu abad ke-16-17 Islam bahkan telah berhasil menguasai
Kerajaan Selaparang, salah satu kerajaan yang cukup kuat di Pulau Lombok. Islam
kemudian menyebar di Lombok, meski masih tetap tercampur dengan kebudayaan
lokal.

Kerajaan Bali yang selalu berusaha menjadikan wilayah Lombok menjadi


kekuasaannya, berhasil menduduki Lombok Barat sekitar akhir abad ke-I7 Masehi,
kemudian melebarkan kekuasaannya terhadap hampir seluruh wilayah Lombok

6|Page
setelah berhasil menaklukan Selaparang dan memukul mundur pengaruh
Makassar.

Belanda yang saat itu telah menguasai Sumbawa dibukakan jalan oleh bangsawan
Sasak untuk berkuasa di Lombok. Konon Kabarnya para bangsawan sasak
meminta campur tangan dari militer Belanda agar memerangi dinasti Bali di
Lombok.

Ketika akhirnya Belanda berhasil mengambil penguasaan Lombok dari Kerajaan


Bali, alih-alih mengembalikan Lombok kepada para bangsawan Sasak, mereka
justru menjadi penjajah baru di wilayah itu. Menurut Kraan (1976) menyebutkan
bahwa Belanda telah berhasil mengambil wilayah yang sebelumnya berada di
bawah Kerajaan Bali, dan memberlakukan pajak yang sangat tinggi pada
penduduknya.

Antara Jawa-Bali-Lombok memang mempunyai beberapa kesamaan budaya, selain


karena faktor perluasan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang silih berganti,
kedekatan wilayah yang memungkinkan penduduknya dengan mudah berpindah
dan terjadi akulturasi budayanya.

d) Bahasa Orang Sasak

Bahasa Sasak, terutama yang berkenaan dengan sistem aksaranya, memiliki


kedekatan dengan sistem aksara Jawa-Bali, sama-sama menggunakan aksara Ha-
Na-Ca-Ra-Ka. Kendati demikian, secara pelafalan, bahasa Sasak ternyata lebih
memiliki kedekatan dengan bahasa Bali.

Menurut penelitian para etnolog yang mengumpulkan hampir semua bahasa di


dunia, menggolongkan bahasa Sasak kedalam rumbun bahasa Austronesia
Malayu-Polinesian, Juga ada kesamaan ciri dengan rumpun bahasa Sunda-
Sulawesi, dan Bali-Sasak.

Bahasa Sasak yang digunakan di Lombok secara dialek dan lingkup kosakatanya
dapat digolongkan kedalam beberapa bahasa sesuai dengan wilayah
penuturnya; Mriak-Mriku (Lombok Selatan), Meno-Mene dan Ngeno-
Ngene (Lombok Tengah), Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara), dan Kuto-
Kute (Lombok Utara).

7|Page
e) Sistem Teknologi Suku Sasak

a. Rumah Adat
Sebagai penduduk asli, suku Sasak telah mempunyai sistem budaya
sebagaimana tertulis dalam kitab Nagara Kartha Garna karangan Empu Nala
dari Majapahit. Dalam kitab tersebut, suku Sasak disebut “Lomboq Mirah Sak-
Sak Adhi.” Jika saat kitab tersebut dikarang suku Sasak telah mempunyai
sistem budaya yang mapan, maka kemampuannya untuk tetap eksis sampai
saat ini merupakan salah satu bukti bahwa suku ini mampu menjaga dan
melestarikan tradisinya. Salah satu bentuk dari bukti kebudayaan suku Sasak
adalah bentuk bangunan rumah adatnya.

Rumah adat dibangun berdasarkan nilai estetika dan local wisdom masyarakat,
seperti halnya rumah tradisional suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Suku Sasak mengenal beberapa jenis bangunan sebagai tempat tinggal dan
juga tempat penyelanggaraan ritual adat dan ritual keagamaan.

Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek).
Lantainya dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu
jerami. Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat
rumah adat tersebut didapatkan dari lingkungan sekitar mereka, bahkan untuk
menyambung bagian-bagian kayu tersebut, mereka menggunakan paku yang
terbuat dari bambu. Rumah adat suku Sasak hanya memiliki satu pintu
berukuran sempit dan rendah, dan tidak memiliki jendela.

Orang Sasak juga selektif dalam menentukan lokasi tempat pendirian


rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi yang tidak tepat dapat berakibat kurang
baik kepada yang menempatinya. Misalnya, mereka tidak akan membangun
rumah di atas bekas perapian, bekas tempat pembuangan sempah, bekas
sumur, dan pada posisi jalan tusuk sate atau susur gubug. Selain itu, orang
Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda
dengan rumah yang lebih dahulu ada. Menurut mereka, hal tersebut merupakan
perbuatan melawan tabu (maliq-lenget).

Rumah adat suku Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti


gunungan, menukik ke bawah dengan jarak 1,5 sampai 2 meter dari permukaan
tanah (fondasi). Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang,
8|Page
dindingnya dari anyaman bambu (bedek), hanya mempunyai satu berukuran
kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya dibagi menjadi ruang induk
meliputi bale luar ruang tidur dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta
benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah
sebelum dimakamkan. Ruangan bale dalem juga dilengkapi amben, dapur,
dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tanggan
lainnya) tersebut dari bambu ukuran 2x2 meter persegi. Kemudian
ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Di
antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan
lantainya berupa campuran tanah kotoran kerbau/kuda, getah, dan abu jerami.

Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri dari beberapa


macam, diantaranya adalah Bale Tani, Bale Jajar, Berugag/Sekepat, Sekenam,
Bale Bonter, Bale Beleq Bencingah, dan Bele Tajuk. Dan nama bangunan
tersebut disesuaikan dengan fungsi dari masing-masing tempat.

1) Bale Tani
Adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal masyarakat Sasak yang
berprofesi sebagai petani

2) Bale Jajar
Merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi
menengan ke atas. Bentuk Bale Jajar hampir sama dengan Bale Tani,
yang membedakan adalah jumlah dalem balenya.

3) Sekepat
Berfungsi sebagai tempat menerima tamu, karena menurut kebiasaan
orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Berugaq / sekupat
juga digunakan pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima
pemuda yang datang midang (melamar).

4) Sekenam
Digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar tata krama,
penanaman nilai-nilai budaya dan sebagai tempat pertemuan internal
keluarga.

5) Bale Bonter

9|Page
Dipergunakan sebagai ternopat pesangkepan / persidangan adat, seperti:
tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat, dan sebagainya.
Umumnya bangunan ini dimiliki oleh para perkanggo /Pejabat Desa,
Dusun/kampung.

6) Bale Beleq Becingah


Adalah salah satu sarana penting bagi sebuah Kerajaan. Bale
Beleqdiperuntukkan sebagai tempat kegiatan besar Kerajaan sehingga
sering juga disebut “Becingah”.

7) Bale Tajuk
Merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan rumah tinggal
yang memiliki keluarga besar. Tempat ini dipergunakan sebagai tempat
pertemuan keluarga besar dan pelatihan macapat takepan, untuk
menambah wawasan dan tata krama.

8) Bale Gunung Rate


Bale gunung rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang tinggal di
lereng pegunungan, sedangkan bale balaq dibangun dengan tujuan untuk
menghindari banjir, oleh karena itu biasanya berbentuk rumah panggung.

b. Benda-benda

1) Sabuk Belo
Sabuk belo adalah sabuk yang panjangnya 25 meter dan merupakan warisan
turun temurun masyarakat Lombok khususnya yang berada di Lenek Daya.

2) Gendang Beleq
Salah satu alat musik berupa gendang berbentuk bulat dengan ukuran yang
besar. Gendang beleq ini tediri dari 2 jenis yang disebut gendang mama (yang
dimainkan oleh laki-laki) dan gendang nina (yang dimainkan oleh perempuan).
Konon, pada jaman dahulu, musik Gendang Beleq digunakan untuk mengantar
prajurit yang hendak berangkat berperang. Sekarang alat musik ini sering
digunakan untuk mengiringi rombongan pengantin atau menyambut tamu-tamu
kehormatan. Gendang ini digunakan sebagai pembawa dinamika dalam
kesenian Gendang Beleq.

10 | P a g e
3) Ende
Sebuah perisai yang terbuat dari kulit lembu atau kerbau. Ende (perisai) ini
dipergunakan dalam kesenian bela diri yang disebutPeriseian. Periseian adalah
kesenian bela diir yang sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan di Lombok,
awalnya dalah semacam latihan pedang dan perisai sebelum berangkat ke
medan pertempuran.

4) Peralatan Untuk Bekerja


Masyarakat sasak memiliki alat-alat penunjang untuk mereka bekerja, antara
lain pacul (tambah), bajak (tenggalae), alat untuk meratakan tanah (rejak),
parang, kodong, ancok dan lain sebagainya. Alat-alat tersebut digunakan
masyarakat sasak untuk bekerja, baik sebagai petani, berkebun atau berladang.

5) Peralatan Untuk Membangun Rumah


Peralatan-peralatan yang digunakan masyarakat suku sasak untuk membangun
rumah adat mereka antara lain jerami dan alang-alang yang digunakan untuk
membuat atap rumah mereka, bedek (anyaman dari bambu yang digunakan
untuk membuat dinding), kayu-kayu penyangga, getah pohon kayu bantem dan
bajur, kotoran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran untuk mengeraskan
lantai, abu jerami yang digunakan sebagai campuran mengeraskan lantai.

f) Sistem Mata Pecaharian Suku Sasak


Mata pencaharian utama Orang Sasak adalah bercocok tanam di ladang (lendang)
atau di sawah (subak). Ada juga yang menggantungkan hidup pada kegiatan
berburu rusa, babi, dan binatang hutan lain; mencari umbi-umbian, menangkap
ikan; mata pencaharian lain adalah membuat barang anyaman, ukiran logam, kain
tenun, barang-barang dari rotan, tanah liat dan sebagainya.

g) Sistem Sosial dan Kekerabatan Suku Sasak

Keluarga inti masyarakat Sasak disebut koren atau kurenan. Keluarga-keluarga inti
ini bergabung ke dalam keluarga luas terbatas yang mereka
sebut sorohan atau kadang waris. Prinsip kekerabatan mereka adalah patrilineal
yang mengenal garis keturunan ke atas (papu balo) dan ke bawah (papu bai), lalu
ke samping (semeton jari). Adat menetap sesudah nikah biasanya virilokal,
walaupun banyak juga yang lebih suka membuat hunian baru. Dalam kegiatan yang
11 | P a g e
membutuhkan banyak tenaga mereka bergotong royong dengan sistem yang
mereka sebut basiru.

Setiap sorohan dipimpin oleh seorang ketua yang disebut turas dan diberi
gelar Datu. Dalam sebuah desa (dusun atau gubuk) pada masa sekarang selain
kepala desa juga dikenal pemimpin adat yang dipanggil mangkubumi
atau pemangku adat atau jintaka. Kepala desa sendiri sehari-hari dibantu oleh
krama desa, yaitu orang-orang terkemuka dari setiap kelompok soroan dalam desa.
Pembantu tetap kepala desa adalah jaksa (juru
tulis), keliang (penghubung), langlang (kepala keamanan) dan wakil
keliang (juarah). Setiap kepala desa memperoleh santunan dari warganya, misalnya
bantuan tenaga untuk mengerjakan sawah atau ladang kepala desa, ini
disebut najen.

Pada masa sekarang dalam masyarakat Sasak masih ada sisa bentuk pelapisan
sosial lama, yaitu dengan adanya golongan-golongan seperti menak (bangsawan)
yang biasanya bergelar Datu, Raden, dan Mamik. Kedua adalah golongan orang
terpandang yang berasal dari keturunan pemimpin desa yang bukan bangsawan,
disebut parawangsa. Ketiga adalah golongan kaula atau orang kebanyakan : yang
sudah mempunyai anak disebut amaq, yang belum mempunyai anak
disebut Ioq. Sedangkan perempuan yang belum mempunyai suami disebut Ia, dan
yang sudah bersuami disebut inaq.

h) Sistem Pengetahuan Suku Sasak

Suku Sasak mempunyai pengetahuan yang didapatkan turun temurun dari nenek
moyang mereka tentang pembuatan lantai dari rumah mereka khususnya rumah
adat mereka atau dengan kata lain sistem pengetahuan pada Suku Sasak erat
kaitanya dengan pengetahuan yang berkaitan dengan adat dan kebudayaan suku
Sasak. Seperti contoh dalam lantai rumah mereka dibuat dari tanah liat yang
dicampur dengan kotoran kerbau dan jerami. Campuran tanah liat dan kotoran
kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen. Kemudian contoh lain
mengenai pembuatan rumah adat suku sasak yang tempat dan waktunya itu tidak
dilaksakan dengan sembarangan tetapi harus berdasarkan adat dat kebudayaan
melalui pengetahuan yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.

12 | P a g e
i) Sistem Kesenian Suku Sasak
Masyarakat Suku Sasak merupakan salah satu dari sekian ribu suku yang tak kalah
kreatif, banyak hasil-hasil karya suku tersebut selain dari sisi kerajinan maupun
yang bernilai kesenian yang bersifat menghibur.

a. Tari gandrung merupakan tari pergaulan muda mudi dan bersifat hiburan,
struktur penyajiannya terbagi menjadi empat bagian:
1) Bapangan mengambarkan seorang gadis yang ingin menarik perhatian lawan
jenisnya dengan memperlihatkan kemampuannya sendiri.
2) Tangis penggambaran perasaan rindu pada seorang untuk diajak
berkomunikasi, diungkapkan lewat lirik lagu. Penepekan, memilih seorang
yang disenangi untuk diajak menari, calon penari yang terpilih dinyatakan
dengan sentuhan kipas oleh penari gandrung.
3) Pengibingan, yaitu menari bersama antara penari dengan penonton yang
ditepek atau terkena kipas. Penari memakai busana kain panjang baju ,
kemben, gelung, ampok-ampok, bapang dan membawa property kipas, pada
bagian gelung dilengkapi dengan semacam senjat dari bambu yang
diruncingkan, gunanya untuk melindungi dari gangguanpasangan menari
yang nakal.

b. Gendang beleq
Merupakan alat musik tabuh yang berbentuk bulat panjang, biasanya
digunakan pada saat tradisi nyongkolan, gendang belek juga dilengkapi dengan
gon, terumpaq dan seruling.

c. Peresean
Presean adalah salah salah satu kekayaan budaya bumi gogo rancah (lombok).
Acara ini berupa pertarungan dua lelaki Sasak bersenjatakan tongkat rotan
(penjalin) serta berperisai kulit kerbau tebal dan keras (ende).Petarung biasa
disebut pepadu. Presean bermula dari luapan emosi para prajurit jaman
kerajaan taun jebot (dahulu kala) sehabis mengalahkan lawan di medan
perang. Acara tarung presean ini juga diadakan untuk menguji keberanian/nyali
lelaki sasak yang wajib jantan dan heroik saat itu.

Uniknya dari pertarungan presean, pesertanya tidak pernah dipersiapkan


secara khusus.Pepadu atau petarung dicomot (diambil) dari penonton yang
mau adu nyali dan ketangguhan mempermainkan tongkat rotan dan perisai
yang disediakan.Penonton/calon peserta bisa mengajukan diri atau dipilih oleh
13 | P a g e
wasit pinggir (pakembar sedi). Setelah mendapat lawan, pertarungan akan
dimulai dan dimpimpin oleh wasit tengah (pekembar).

Duel dua pepadu diadakan dalam lima ronde, pemenangnya ditentukan


oleh hasil nilai yang diperoleh atau salah satu pepadu bocor kepala, bedarah-
darah, atau kibar bendera putih.

Uniknya, di sela-sela pertarungan para pepadu plus para wasit harus


menari jika musik dimainkan.Mungkin maksudnya untuk melepas ketegangan
selama jalannya pertandingan. Tarian rotan dari Lombok ini sudah dikenal
masyarakat Sasak secara turun temurun. Awalnya merupakan sebuah bagian
dari upacara adat yang menjadi ritual untuk memohon hujan ketika kemarau
panjang. Sebuah tradisi-yang dalam perkembangan kemudian-sekaligus
berfungsi sebagai hiburan yang banyak diminati.Sebagai salah satu upaya
melestarikan budaya daerah, Presean Lombok pun mulai sering dilombakan.
Pertandingan diakhir dengan salam dan pelukan persahabatan antar petarung.
Tanda tiada dendam dan semua hanyalah permainan.

j) Sistem Religi Suku Sasak

Sebagian besar penduduk pulau Lombok terutama suku Sasak menganut


agama Islam. Agama kedua yang terbesar yang di anut di pulau ini adalah
agama Hindu, yang dipeluk oleh para penduduk Keturunan Bali yang
berjumlah sekitar 15% dari seluruh populasi disana. Penganut Kristen, Budha,
dan agama lainnya juga dapat dijumpai, dan terutama dipeluk oleh para
pendatang dari berbagai suku dan etnis yang bermukim di pulau ini. Dan ada
pula sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan pra-Islam yang
disebut dengan nama “Sasak Boda”.

Di Lombok Barat bagian utara, tepatnya di daerah Bayan, terutama di


kalangan mereka yang berusia lanjut, masih dapat dijumpai para penganut
aliran Islam Waktu Lima dan Islam Waktu Tiga (Islam Wetu Telu). Golongan
yang pertama menjalankan ajaran agama Islam dengan baik, yaitu dengan
melakukan shalat 5 kali dalam sehari, para penganut ajaran ini
mempraktikkan shalat wajib hanya pada tiga waktu saja. Konon hal ini terjadi
karena penyebar Islam saat itu mengajarkan agama Islam secara bertahap
dan karena suatu hal tidak sempat menyempurnakan dakwahnya. Golongan
14 | P a g e
yang kedua mengakui Allah dan Nabi Muhammad, akan tetapi lebih banyak
menjaga kesucian batin dan tingkah lakunya menurut ajaran nenek moyang,
selain itu mereka banyak melakukan upacara di tempat yang dianggap di huni
roh nenek moyang (kemali). Golongan kedua ini amat percaya bahwa di alam
sekitar mereka hidup makhluk halus, batara guru, bidadari, bedodo, bake
(hantu), belata, bebai, gegendu dan bermacam leya (makhluk jadi-jadian).
Hal-hal yang berhubungan dengan perbuatan gaib dan magis mereka lakukan
dengan bantuan belian (syaman).

 Islam Wetu Telu. Wetu Telu (Bahasa Indonesia : Waktu Tiga adalah praktek
unik sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam
menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktek unik ini terjadi karena
para penyebar Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap,
meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan agama Islam dengan
lengkap. Saat ini para penganut Islam Wetu Telu sudah sangat berkurang,
dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai
akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktek
tersebut.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

15 | P a g e
Berdasarkan makalah diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Etnografi adalah ilmu
yang menggambarkan atau menganalisis kehidupan suatu masyarakat atau bangsa yang
di lihat dari beberapa unsure-unsur budayanya secara geologi dan geomorfologi.

Etnografi adalah merupakan bidang ilmu yang merangkul semua informasi yang melekap
pada suku bangsa serta masyarakat itu sendiri. Etnografi tidak dapat di pisahkan dengan
Antropologi, Kebudayaan dan Adat Istiadat. Sebab Antropologi, Kebudayaan dan Adat
Istiadat merupakan yang tidak terpisahkan dalam ciri khas atau bentuk suku bangsa
serta masyarakat yang ada di dalamnya. Sehingga Etnografi itu sendiri menjelaskan
tentang Antropologi, Kebudayaan dan Adat Istiadat.

B. Saran

Kita selaku mahasiswa hendaknya dapat lebih gencar lagi dalam pembuatan karya
ilmiah atau penelitian tentang kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia, karena
hal tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak upaya untuk melestarikan budaya
yang ada di daratan Indonesia tercinta ini, karena jangan sampai budaya yang kita miliki
diakui oleh pihak lainnya dengan alasan akibat kelalaian dan sikap ketidak pedulian kita
terhadap budaya sendiri.

16 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

https://vimax-vigrx-indonesia.co.id/pengertian-etnografi-dan-grounded-theory-menurut-ahli/

https://sastrawacana.id/pengertian-etnografi-menurut-para-ahli/

http://sosiologis.com/etnografi

http://nurkasana1992.blogspot.com/2013/05/800x600-normal-0-false-false-false-en.html

http://arismansomantri.blogspot.com/2014/09/suku-sasak-di-lihat-dari-7-unsur.html

https://legaleraindonesia.com/asal-usul-suku-sasakpenghuni-asli-pulau-lombok/

Anda mungkin juga menyukai