Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala Yang telah


melimpahkan rahmat serta nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah tentang “Budaya Sumbawa”. Tugas makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas antropologi kesehatan.Penulis menyadari bahwa penulisan tugas makalah ini
tidak akan berhasil tanpa ada dukungan dari beberapa pihak. Seiring dengan itu penulis
menyampaikan terimakasih banyak kepada Ibu Aini Alifatin M.Kep.Selaku dosen
pengampu dari mata kuliah Antropologi kesehatan dan teman-teman yang telah
membantu dan mendukung dalam pembuatan makalah ini, semoga penulisan tugas
makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Malang, 30 Mei 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. 1


DAFTAR ISI............................................................................................................................ 2
BAB I ....................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 3
1.2 Tujuan ............................................................................................................................ 3
1.3 Manfaat .......................................................................................................................... 3
BAB II...................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 4
2.1 Kajian Pustaka ................................................................................................................ 4
2.2 Tujuh Sistem Kebudayaan .............................................................................................. 4
BAB III .................................................................................................................................. 16
KESIMPULAN ...................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 17

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah
yang terbentang di sekitarnya. Ini menyebabkan keanekaragaman suku, adat istiadat
dan kebudayaan dari setiap suku di setiap wilayahnya. Hal ini sungguh sangat
menakjubkan karena biarpun Indonesia memiliki banyak wilayah, yang berbeda suku
bangsanya, tetapi kita semua dapat hidup rukun satu sama lainnya.Namun, sungguh
sangat disayangkan apabila para generasi penerus bangsa tidak mengtehaui tentang
kebudayaan dari setiap suku yang ada. Kebanyakan dari mereka hanya mengetahui
dan cukup mengerti tentang kebudayaan dari salah satu suku yang ada di Indonesia,
itu juga karena pembahasan yang sering dibahas selalu mengambil contoh dari suku
yang itu-itu saja.
Sumbawa adalah salah satu suku di Indonesia yang terletak di pulau sumbawa
NTB. Banyak yang tidak mengetahui bahwa Sumbawa juga mempunyai banyak hal-
hal menarik yang dapat dijadikan ”berita utama”, tetapi amat disayangkan bahwa yang
sering sekali di ekplorasi adalah wilayah-wilayah tetangganya; seperti Lombok dan
Bali. Untuk itu, saya disini ingin menyajikan liputan yang tidak kalah menarik, yang
berasal dari suku Sumbawa NTB.

1.2 Tujuan

tugas ini dibuat untuk dapat memenuhi tujuan-tujuan yang dapat bermanfaat bagi para
remaja dalam pemahaman tentang Kebudayaan Suku Sumbawa di Indonesia. Secara
terperinci tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui sampai sejauh mana pengetahuan mahasiswa/i tentang kebudayaan
Sumbawa
2. Mengetahui sampai sejauh mana perkembangan kebudayaan Suku Sumbawa.

1.3 Manfaat

Manfaat dari tugas makalah ini adalah sebagai informasi bagi masyarakat Indonesia
termasuk didalamnya adalah pengajar dan pelajar khususnya bagi mahasiswa/i agar
lebih memahami tentang Kebudayaan Suku Sumbawa di Indonesia.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kajian Pustaka

Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang


merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi dan akal). Sedangkan, dalam bahasa
Inggris, kebudayaan berarti culture yang berasal dari bahasa Latin colere yang artinya
mengolah atau mengerjakan tanah atau bertani.
Edward B. Taylor.
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terdapat pengetahuan, kepercayaanm kesenian, moral, hokum, adat istiadat, dan
kemampuan lainnya yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Selo Soemardjan dan Soelarman Soemadi.
Kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta manusia.
Ralph Linton.
Kebudayaaan adalah keseluruhan pengetahuan, sikap, dan pola perilaku yang
merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat
tertentu.
Koentjaraningrat.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tingkah laku, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan cara belajar.Kebudayaan adalah sekumpulan adat, tradisi, nilai, norma, dan
tata cara hidup yang dijalankan oleh suatu kelompok masyarakat dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Misalnya adapt dari orang tua ke anak-anaknya; setiap hari sabtu
minggu adalah hari untuk keluarga berkumpul.

2.2 Tujuh Sistem Kebudayaan

a. Sistem Religi
Dari bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di wilayah Sumbawa, berupa
sarkofagus,nakara, dan menhir mengindikasikan bahwa tau Samawa purba telah
memiliki kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek
moyang mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa Kebudayaan Tau Samawa telah
berkembang jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha. Konsep-konsep

4
tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara kehidupan manusia
dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi sebelum masuknya
kebudayaan Hindu-Budha, hingga paradaban Islam saat ini.
Sistem kepercayaan itu misalnya teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat
yang masih mempercayai daya magis dan keterlibatan mahluk halus dalam kehidupan
manusia (alam pikiran mitis).Sebagian besar orang Sumbawa masih percaya pada
makhluk-makhluk halus yang sering mendatangkan musibah berupa bencana dan
penyakit pada manusia. Mereka percaya adanya baki atau makhluk halus yang tinggal
di hutan dan di pohon-pohon besar, terutama beringin, kono atau makhluk halus yang
sering berkeliaran di tempat-tempat sepi di siang hari. Masyarakat Sumbawa juga
mengenal leak atau orang jahat yang bisa berubah menjadi binatang dan gemar makan
ketuban serta minum darah bayi yang baru dilahirkan. Kemungkinan hal ini
merupakan warisan kebudayaan Hindu yang berkembang di Pulau Bali dan Lombok.
Untuk menangkal gangguan makhlus halus yang jahat dan berbagai bentuk
sihir sepertiburak, sekancing, lome-lome, pedang pekir, dan sebagainya sebagian tau
Samawa sering memakai jimat yang dikalungkan di leher maupun ditempelkan pada
ikat pinggangnya. Mereka juga percaya dan mendatangi sandro. Selain kepercayaan
kepada orang-orang tertentu yang punya kekuatan gaib dan memilki kemampuan
meramal nasib, tau Samawa juga mempercayai suara cecak dapat membenarkan
perkataan seseorang, mendatangkan keberuntungan maupun sebaliknya, bahkan
sangat percaya bila dalam perjalanan bepergian mereka bertemu orang buta berarti
pertanda sial baginya.
Agama Hindu-Budha Diperkirakan telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil
Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah
Sumbawa ini. Beberapa kerajaan itu antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di
Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di
Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa
Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan
Jereweh.
Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu dari
pada di Pulau Lombok, kira-kira antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para
pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang. Selanjutnya runtuhnya
Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa

5
memerdekakan diri. Kondisi ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran
Islam oleh para mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal di abad ke-16,
Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa
untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir
penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan
Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk
Islam.Dalam kehidupan beragama atau hukum pada setiap desa terdapat seorang
pemimpin yang dinamakan penghulu, lebe, mudum, ketib, marbot, dan rura.
b. Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan
Suku Sumbawa yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa ini pada
masa pra Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang
berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh di
Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan
Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan
pusat pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawa Besar
akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC
(Verenigde Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah
Gubernemen Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk
wilayah Karesidenan Timor dengan ibukota di Sumbawabesar.
Sistem pemerintahan afdeeling kemudian dijabarkan menjadi onderafdeeling
yang terbagi menjadi beberapa daerah administrasi. Beberapa kampung dibagi
menjadi beberapa lingkungan kekuasaan yang merupakan onderdistrict, dan beberapa
onderdistrict digabung menjadi satu district setingkat kabupaten saat ini.
Penggabungan onderdistrict tidak berlangsung lama kemudian menjadi onderdistrict
yang berdiri sendiri dan berubah menjadi wilayah kademungan. Wilayah kademungan
sekarang berubah menjadi wilayah kecamatan yang membawahi beberapa desa. Pada
masa pemerintahan orde lama, sistem pemerintahan desa di Sumbawa dipegang oleh
seorang gabung yang dibantu oleh beberapa tau loka karang sebagai penasihat yang
berasal dari setiap kelompok kekerabatan penghuni kampung. Gabung juga dibantu
oleh malar sebagai pengatur dan pembagi air pada lahan pertanian, dan juga dibantu
oleh seorang mandur yang bertindak sebagai penghubung antara kepentingan
masyarakat dengan pemerintahan desa.

6
Pola perkampungannya berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih
memiliki ikatan kekerabatan yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata
letaknya selalu menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah
yang dalam pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro atau dukun. Setiap kepala
keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota
kelompok yang baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang,
demikian konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau balas budi, sehingga
anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan. Konsepsi bayar siru ini masih
berlaku hingga sekarang, terutama di kampung-kampung di daerah pedesaan.
Sekarang organisasi kemasyarakatan di tingkat desa dimodernisasi menjadi
sebuah desa atau kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah atau kepala desa yang
membawahi beberapa dusun, dan setiap dusun terdapat kelompok warga yang
tergabung dalam rukun warga yang terdiri atas beberapa rukun tetangga. Sebagai
lembaga eksekutif di tingkat desa dibentuklah Badan Perwakilan Desa, sedangkan
tugas malar digantikan oleh Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A).
Masyarakat Sumbawa juga mewarisi pelapisan sosial dari masa Kesultanan
Sumbawa yang ditandai dengan munculnya tiga golongan, yakni golongan bangsawan
yang bergelar dea atau datu, kedua golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga
golongan masyarakat biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi.Untuk golongan
terakhir ini telah dihapus semenjak dikeluarkannya dekrit Sultan Muhammad
Kaharuiddin III tahun 1959 saat menjabat sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat
II Sumbawa.
c. Sistem Pengetahuan
Masyarakat Sumbawa memiliki sistem pengetahuan yang turun temurun.
Untuk obat obat tradisional, yang mulanya dari Sanro ( dukun ) misalnya : obat batuk,
yaitu air jeruk nipis dicampur kapur kemudian dioles pada leher, luka bakar, dioles
madu, luka baru diobat dengan serbuk kopi, sarang laba - laba yang besar, getah jarak
; sakit perut diobati dengan mengunyah daun jambumuda,yang dicampur sedikit
garam dll.Kalau akan memulai turun sawah, petani cukup melihat arah dan letak
bintang renggala ( bintang bajak ). Kalau akan melaut dengan melihat warna langit
pada malam hari.Dimasyarakat tradisional ada macam - macam upacara seperti :
upacara minta hujan.

7
Masyarakat Samawa mengenal adanya jimat sebagai penolak
bala.Pemakaiannya bisa dikalung,diikatkan dipinggang.Kepercayaan ada sihir pada
masyarakat tradisional masih ada, seperti adanya yang disebut loma - lome, bura,
pedang pekir dan sebagainya.Meramal ( ramuka ) merupakan kebiasaan tradisional
masyarakat samawa. Meramal nasib, menanyakan hari baik, menemukan barang yang
hilang dsb. Mereka juga mengenal apa yang disebut cuca' dengan harapan agar selamat
dan tercapai tujuannya.
Membahas tentang karya sastra Sumbawa selalu dikaitkan dengan kehadiran
aksara Kaganga atau Setera Jontal. Satera dalam basa Samawa berarti tulisan, sedang
jontal berati lontar yang menurut PJ. Zoetmulder kata lontar berasal dari metatesis ron
tar atau pohon tar; kata ini diperkirakan berasal dari bahasa Jawa. Lebih jauh PJ.
Zoetmulder menulis bahwa orang-orang Bali dan Jawa dulu menggunakan pengutik
atau pengrupak yaitu sebilah pisau kecil sebagai alat tulis yang dipakai dalam
penulisan daun lontar. Alat berupa pisau kecil untuk menulis di daun lontar ini dalam
basa Samawa dinamakan pangat yang kemungkinan berasal dari kata pengot dalam
bahasa Jawa.
Aksara Kaganga yang pernah berkembang di Sumbawa dan sekarang mulai
diajarkan lagi di sekolah-sekolah pada tingkat dasar merupakan aksara yang diadopsi
dan diadaptasi dari aksara Lontara yang berkembang di Bugis-Makassar. Aksara
Lontara ini dulunya mendapat pengaruh dari aksara Pallawa yang mulai digunakan
untuk menulis sejumlah prasasti di Indonesia semenjak pertengahan abad ke-8
Masehi, namun kemudian aksara Lontara ini disederhanakan oleh seorang syahbandar
dari Kerajaan Goa-Makassar bernama Daeng Pamatte pada abad ke-16 Masehi.
Aksara Lontara diperkirakan masuk ke Sumbawa ketika berakhirnya masa
kekuasaan Kerajaan Hindu di Utan pada awal abad ke-17 Masehi. Aksara ini setelah
diadaptasikan dengan kondisi lingkungan Sumbawa, kemudian dikenal dengan nama
Satera Jontal atau aksara Kaganga. Pengaruh aksara Lontara dalam aksara Kaganga
ini dapat dilihat dari bentuk dan cara menuliskannya yang sama seperti cara
mengerjakan aksara Lontara dari sumber asalnya yakni Bugis-Makassar.Para
sastrawan Sumbawa dulu mengabadikan karya-karyanya dengan menulisakannnya di
daun lontar yang telah dikuningkan dengan kunyit, lebar daun lontar ini sekitar 2 cm
dengan panjang 12 cm, cara menuliskannya dengan menggores daun lontar tersebut
menggunakan ujung pangat atau sejenis pisau kecil.

8
Tulisan-tulisan ini kemudian dikumpulkan dalam sebuah bumung atau buk.
Karya sastra sebagai sebuah proses kreativitas merupakan kristalisasi dari segala segi
kehidupan yang melingkupi seorang pujangga, sehingga selain seorang pujangga
dituntut untuk memiliki kemampuan menanggapi sebuah realitas kehidupan di
sekelilingnya, harus pula mampu berkomunikasi dengan realitas tersebut untuk
membangun kembali realitas lewat kreativitas yang dimilikinya, sehingga karya-karya
ciptaannya dapat memberikan gambaran yang ideal tentang realitas yang
dicermatinya, serta berperan sebagai media komunikasi budaya antara masyarakat dan
pujangga sebagai pencipta karya-karya sastra tersebut.
Dengan menyimak hasil-hasil karya sastra Sumbawa, maka dapat diambil
beberapa konsep dasar tentang nila-nilai yang dikandung di dalamnya, bagaimana
masyarakat Sumbawa memandang realitas kehidupan di sekitarnya, kemudian
merumuskannya ke dalam konsep yang diyakini dan diwujudkan dalam sikap dan
tindakan mereka. Karya-karya sastra Sumbawa kebanyakan menggenggam amanat
berupa nasihat yang bertolak pada ajaran pendidikan dan keimanan yang ditopang oleh
kuatnya adat-istiadat, seperti yang tertuang dalam bentuk lawas (puisi), ama
(peribahasa), panan (teka-teki), dan tuter (dongeng) yang sangat kental dengan pesan
moralitas, agama, dan etika pergaulan hidup.
Pada umumnya karya-karya sastra Sumbawa ini cukup sulit untuk digali,
diinventarisasi, dan dicatat, maupun dicari naskah-naskahnya, karena proses
pewarisannya dilakukan dengan cara lisan serta turun-temurun dari para generasi
pendahulu ke anak keturunanya melalui perjalanan waktu yang sangat panjang dan
melewati proses budaya yang rumit, namun demikian dapat dipahami bahwa lawas
merupakan akar atau induk dari segala bentuk kesenian dan tradisi Sumbawa, baik
seni musik, tari, maupun adat-istiadat yang tumbuh dan berkembang di tengah
masyarakat seperti tampak dalam sekeco, tari mata rame, permainan rakyat barapan
kebo dan barapan ayam, serta tradisi daur kehidupan semisal nyorong dan barodak.
d. Sistem Bahasa
Suku Sumbawa adalah campuran kelompok etnik-etnik pendatang yang telah
membaur dengan kelompok etnik pendatang yang lebih dahulu mendiami bekas
wilayah Kesultanan Sumbawa, sehingga melahirkan kesadaran akan identitas budaya
sendiri yang dicirikan dengan kehadiran bahasa Sumbawa atau basa Samawa sebagai
bahasa persatuan antaretnik yang mendiami sebagian pulau ini.Mahsun (2002) dalam

9
Prospek Pemekaran Kabupaten Sumbawa mencatat bahwa sebelum bahasa Sumbawa
purba (prabahasa Sumbawa) pecah ke dalam empat dialek yang ada sekarang ini,
terlebih dahulu pecah ke dalam dua dialek, yaitu pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo
dan dialek Sumbawabesar atau cikal bakalnya disebut dialek Seran.
Kemudian variasi ini berkembang seiring perjalanan waktu hingga
memasuki fase historis, pradialekTaliwang-Jereweh-Tongo pecah lagi menjadi tiga
dialek yang berdiri sendiri.
Dalam bahasa Sumbawa saat ini dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa
berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau
Batulante, dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti
Labangkar, Lawen yang dulunya dialek Selesek, serta penduduk di sebelah selatan
Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo.
Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek
regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa Suku
Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang
yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar keturunan etnik Bajau sangat berbeda
dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung
Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar, Bugis, dan Makassar.
Interaksi sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa
menuntut hadirnya bahasa yang mampu menjembatani segala kepentingan mereka,
konsekuensinya kelompok masyarakat yang relatif lebih maju akan cenderung
mempengaruhi kelompok masyarakat yang berada pada strata di bawahnya, maka
bahasapun mengalir dan menyebar selaras dengan perkembangan budaya mereka.
Dialek Samawa atau dialek Sumbawabesar yang cikal bakalnya merupakan
dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja Islam di Kesultanan Sumbawa hingga
sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat Sumbawa sebagai jembatan
komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara otomatis menempati posisi
sebagai dialek standar dalam bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau regional
suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek
regional lain yang berada dalam bahasa Sumbawa. Dialek Samawa ini lebih lanjut
disebut basa Samawa.
Sebagai bahasa yang dominan dipakai oleh kelompok-kelompok sosial di
Sumbawa, maka basa Samawa tidak hanya diterima sebagai bahasa pemersatu

10
antaretnik penghuni bekas Kesultanan Sumbawa saja, melainkan juga berguna sebagai
media yang memperlancar kebudayaan daerah yang didukung oleh sebagian besar
pemakainya, dan dipakai sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam kalangan elit
politik, sosial, dan ekonomi, akibatnya basa Samawa berkembang dengan mendapat
kata-kata serapan dari bahasa asal etnik para penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura,
Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan
Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab, bahkan
pada masa penjajahan basa Samawa juga menyerap kosa kata asing yang berasal dari
Portugis, Belanda, dan Jepang sehingga basa Samawa kini telah diterima sebagai
bahasa yang menunjukkan tingkat kemapanan yang relatif tinggi dalam pembahasan
bahasa-bahasa daerah.
e. Kesenian
Masyarakat Suku Sumbawa atau Tau Samawa membuat barang-barang
kerajinan seperti romong atau bakul nasi, kursi rotan, ampat atau kipas, menenun kain
tradisonal akhir-akhir ini mulai ditinggalkan orang.Seni kelingking adalah istilah seni
rupa daerah Samawa. Artinya, membuat ornamen atau hiasan pada suatu benda
tertentu dengan menggunakan tekhnik menghias. Hasilnya, berupa langit kelingking,
kre alang, tabola, peti kayu berhias, gerbah dan sebagainya.Bentuk seni ini sudah
berlangsung lama. Mendapat pengaruh Hindu dengan motifhias tumbuhan dan
selanjutnya pengaruh islam.Berbagai bentuk corak hiasan kelingking yang dikenal di
tana Samawa adalah : lonto engal ( ragam sulur ), kemang satange ( ragam bunga)
pohon hayat, pucuk rebung, gelambok, slimpat ( jalinan ), naga, burung, manusia dan
binatang. Ragam hias seni kelingking bagi masyarakat Samawa mempunyai makna
tertentu. Slimpat melambangkan percintaan dan kerukunan. Piyo ( burung )
berlambang roh nenek moyang. Pohon hayat sebagai lambang kehidupan manusia.
Manusia sebagai berlambang kerakyatan. Naga, lambang kesuburan dan cecak
lambang penangkal kejahatan.Hasil - hasil seni kelingking pada masyarakat Samawa
diantaranya adalah : kain untuk bahan pakaian, gorden, sprai, aneka meubel rumah
tangga, benda - benda gerabah, tas, kipas, topi, kaos oblong, gantungan kunci, plakat
dll. Lukisan Samawa mewakili sebuah pola / tipe pencapaian budaya kekuatan kreatif
dan rasa estetis tau samawa. Lukisan samawa telah berkembang melalui panjangnya
sejarah Tanah Samawa sejak Zaman Hindu, Islam dan Modern sekarang ini.

11
Lukisan pertama dari tau Samawa ditemukan pada dinding kubur sarkofagis
Ai Renung dengan ragam hias manusia biawak yang dibuat ribuan tahun silam.
Dalam perkembangannyanya lukisan-lukisan Samawa mewarisi tradisi keindahan
pada batu - batu nisan berukir yang dijumpai di Telebir, pada tiang - tiang
rumah,dinding rumah.
Lukisan - lukisan Samawa, berkaitan lebih banyak dengan kehidupan
tumbuhan dan binatang dan juga kehidupan sehari - hari rata - rata Tau Samawa serta
aspirasi dan impian mereka. Penuh warna dan hidup, serta bebas dari pengekangan
biasa yang berlaku. Warna - warna merah, kuning, hitam, hijau dan merah muda.
f. Sistem Mata Pencaharian
Sumber penghidupan yang utama bagi tau Samawa umumnya adalah bercocok
tanam di sawah dengan menggunakan peralatan tradisional berupa cangkul atau
bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan
peliharaan seperti sapi dan kerbau. Pola bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan
oleh orang-orang Jawa Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa.
Mekanisasi pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada
sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat modern lain
sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan lahan-lahan pertanian.
Untuk menggarap ladangnya atau merau cara-cara tradisional masih dipakai
hingga kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses
pengolahan untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan. Cara mendapatkan lahan-
lahan pertanian inipun bagitu mudah, tau Samawa dapat menemukan lahan untuk
bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal temuannya itu dengan
menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti bage, ketimus, dan
bungur yang sudah sama-sama dikenal dan diakui secara konvensi sebagai tanda
bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan sekaligus untuk menghindari klaim
dari orang lain. Konsep ini bagi tau Samawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan
aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki.
Ungkapan ini menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal
tertentu yang menjadi miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu
hutan dan nganyang (berburu) dan mencari lebah madu dengan memberikan tanda
silang dengan parang pada pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta
mengikatnya dengan lonto (jenis tumbuhan menjalar). Bagi tau Samawa yang

12
melanggar pantangan ini dan berusaha mengambil hak orang lain, maka akan menjadi
bahan pembicaraan di mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila
atau orang tak tahu malu yang sangat menampar harga diri tau Samawa.
Masyarakat Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat
khusus untuk menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang
dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya, sedang bagi tau Samawa yang tidak
menyimpan hasil panennya di lumbung, dapat pula memanfaatkan para atau loteng
rumahnya, sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong
pada bagian bawah rumah panggungnya. Menjadi nelayan merupakan pekerjaan
pilihan lain bagi tau Samawa. Peralatan seperti pancing, kodong dan belat yang
berfungsi sebagai perangkap dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sungai ataupun
di rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk menangkap
ikan di laut.
Pekerjaan yang tak kalah pentingnya adalah berburu atau nganyang dengan
menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke atau tombak bermata dua, lamar
atau jerat, dan dengan memanfaatkan anjing pemburu. Nganyang pada umumnya
merupakan pekerjaan sambilan yang dipilih oleh sebagian tau Samawa yang tinggal
di sekitar perbukitan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah meramu hasil-hasil
hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau pucuk-pucuk
rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran
sebagai bahan pembuatan minyak tradisional. Masyarakat Sumbawa beternak kuda,
sapi, dan kerbau.
Tau Samawa tidak menambat hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini
dilepas begitu saja di padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga
tanaman pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa berusaha
memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada batas lahannya.
Pekerjaan menjadi pedagang merupakan pekerjaan pilihan bagi sebagian kecil orang
Sumbawa yang pada awalnya dilakukan oleh keturunan etnik Arab, Cina, orang-orang
Selayar, dan sebagian pendatang baru dari Jawa, demikian halnya pekerjaan membuat
barang-barang kerajinan seperti romong atau bakul nasi, kursi rotan, ampat atau kipas,
menenun kain tradisonal akhir-akhir ini mulai ditinggalkan orang. Pekerjaan yang
paling membanggakan bagi tau Samawa adalah menjadi pegawai negeri sipil atau
karyawan perusahaan.

13
g. Sistem Teknologi dan Peralatan
suku Tau Samawa atau suku sumbawa telah mengenal teknologi dan juga peralatan
yang digunakan sehari- hari dalam menjalani aktivitas kehidupan mereka.
1) Senjata
Tercatat sejumlah senjata tajam yang menjadi bagian dari identitas
budaya daerah. Mulai dari keris, pedang, berang, bate, ladeng, badik, dangko
( arit ) disamping tombak, pana dan jenis - jenis lainnya.Mengikatkan parang
panjang di peinggang ketika akan kesawah atau ladang bagi lelaki Samawa
adalah pemandangan yang biasa kita lihat sehari - hari didesa - desa Samawa.
Parang sumbawa yang panjang dilengkapi dengan sarung dari kayu yang indah
dan berhias.
2) Peralatan hidup
Pada umumnya peralatan hidup mereka berupa peralatan tradisional
yang menggunakan cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai
peralatan bajak. Menjadi nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi tau
Samawa. Peralatan seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi sebagai
perangkap dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sungai ataupun di rawa-
rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk menangkap
ikan di laut. Pekerjaan yang tak kalah pentingnya adalah berburu atau
nganyang dengan menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke
atau tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan memanfaatkan anjing
pemburu.
3) Makanan
Makanan yang mereka konsumsi sehari- hari adalah beras campur
jagung, beras campur kedelai atau beras campur ubi kayu. Tetapi janganlah
kalian berfikir bahwa yang mereka makan tidak memiliki kandungan gizi atau
mereka menderita kelaparan. Berdasarkan ilmu kesehatan menu makanan
pokok yang dikonsumsi warga setempat bisa dikatakan dapat menunjang
kesehatan tubuh terutama mencegah penyakit diabetes. Selain itu, bahan
makanan seperti umbi-umbian, buyak atau pucuk-pucuk rotan, serampin atau
sari batang enau, madu lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan
pembuatan minyak tradisional banyak dimanfaatkan sebagai makanan dan
juga obat tradisional.

14
4) Tempat tinggal
Pada kehidupan masyarakat Sumbawa tradisional, beberapa keluarga
inti dapat tinggal dalam satu rumah panggung, yaitu rumah yang didirikan di
atas tiang kayu yang tingginya berkisar antara 1,5 hingga 2 meter dengan
tipologi persegi panjang, atapnya berbentuk seperti perahu yang terbuat dari
santek atau bambu yang dipotongpotong (kini banyak diganti dengan genting).
Pada bagian depan atau peladang dan bagian belakang dipasang anak tangga
dalam hitungan ganjil antara 7, 9, 11 bergantung keperluannya. Adapun tata
ruang bagian dalam umumnya merupakan 3 perpaduan antara bentuk rumah
adat Bugis-Makassar yang dikombinasi dengan arsitektur rumah orang
Melayu. Untuk rumah-rumah panggung di pedesaan lebih disukai menghadap
ke timur atau matahari terbit yang melambangkan kekuatan, ketabahan, dan
harapan limpahan rezeki.
5) Perhiasan
Dalam kesehariannya kaum perempuan masyarakat Semawa
mengenakan kain sarung bermotif kotak-kotak (tembe lompa) warna hitam dan
merah. Bajunya disebut lamung pene, baju serupa kebaya polos sederhana,
berlengan pendek. Para prianya memakai sarung pelekat, baju lengan panjang,
dan berkopiah.

15
BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan mengenai Suku Sumbawa atau Tau Samawa ini, kita dapat
menyimpulkan bahwa Suku Sumbawa atau Tau Samawa ini adalah salah satu suku di
Indonesia yang sangat kaya akan budaya, kerajinan tenun, rotann dan juga nilai- nilai
kehidupan yang luhur yang tercermin dari kegiatan mereka sehari- hari dan juga yang
tercermin melalui motif- motif yang terdapat pada kain tenun khas mereka yang
menggambarkan kehidupan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam,
dan juga manusia dengan Pencipta. Selain itu, suku sumbawa atau Tau Samawa ini
sangatlah memegang teguh adat istiadat mereka.

16
DAFTAR PUSTAKA

http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1311/kepercayaan-dan-tradisi-suku-
sumbawa

http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/52/name/nusa-
tenggara-barat/detail/5204/sumbawa

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1019/rumah-istana-sumbawa-dalam-
lokal

17
18

Anda mungkin juga menyukai