Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KEBUDAYAAN ALAM MINANGKABAU

“Tradisi Makanan dan Minuman dalam Masyarakat Minangkabau”

DOSEN PENGAMPU:
Drs. Etmi Hardi, M.Hum
Uun Lionar, S.Pd., M.Pd

Oleh Kelompok 3

1. Dian Fadila (18046137)


2. Fatimah Zahara Desfitri (18046107)
3. Fauzi Burhan (18046065)
4. Fitrah Khairunnisa (18046068)
5. Widya Fitri (18046044)

FAKULTAS ILMU SOSIAL


UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, penulis telah dapat menyelesaikan makalah dengan judul materi
“Tradisi Makanan dan Minuman dalam Masyarakat Minangkabau” untuk memenuhi tugas mata
kuliah Budaya Alam MinangKabau

Penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak
terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini, baik dari segi materi dan penulisannya.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna penyempurnaan
makalah-makalah berikutnya.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat memberi manfaat
dan berguna bagi kita semua.

Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Padang, Oktober 2021

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................................................................

BAB 1 ..........................................................................................................................................
PENDAHULUAN ......................................................................................................................

A. Latar Belakang ..................................................................................................................

B. Rumusan Masalah .............................................................................................................

C. Tujuan ...............................................................................................................................

BAB II .........................................................................................................................................
PEMBAHASAN .........................................................................................................................

A. Makan Bajamba.................................................................................................................

B. Malamang..........................................................................................................................

C. Kawa Daun........................................................................................................................

BAB III........................................................................................................................................
PENUTUP...................................................................................................................................

A. Kesimpulan .......................................................................................................................

B. Saran dan kritik .................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Keanekaragaman di Indonesia terwujud dalam
perbedaan-perbedaan berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing suku
bangsa. Salah satu suku bangsa yang terdapat di Indonesia adalah suku bangsa
Minangkabau. Suku bangsa Minangkabau merupakan sebuah suku bangsa yang memiliki
adat istiadat yang kuat dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Suku bangsa
Minangkabau merupakan suku bangsa yang terkenal dengan adat istiadatnya yang kuat
sebagai pemersatu masyarakat.
Budaya makan masyarakat Minangkabau tentunya tidak lepas dari falsafah adatnya yaitu
“Alam Takambang Jadi Guru” dan “Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah”, di
dalamnya juga diatur tata cara pelaksanaan upacara adat dalam siklus hidup mereka.
Berdasarkan falsafah tersebut, terdapat pepatah terkait budaya makan yaitu “Bicara selepas
haus, berunding sesudah makan”. Hal ini membentuk masyarakat Minangkabau untuk
menyuguhkan minum dan makanan ringan sebagai layanan menyambut tamu. Selain itu,
pepatah ini juga memiliki arti sebagai dalam melakukan musyawarah harus dalam keadaan
kenyang dan tidak lapar. Pepatah ini menjadi landasan pentingnya kegiatan makan pada
kehidupan masyarakat Minangkabau bahwa dalam setiap kesempatan dan acara biasanya
selalu melibatkan jamuan makan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan makan bajamba ?
2. Apa yang dimaksud dengan malamang ?
3. Apa yang dimaksud dengan kawa daun ?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu upacara makan bajamba
2. Mengetahui apa itu malamang
3. Mengetahui apa itu kawa daun
BAB II

PEMBAHASAN

A. Makan Bajamba

Di Minangkabau sendiri terdapat berbagai jenis tradisi yang ada pada masyarakat, salah
satu tradisi yang masih bertahan hingga saat ini ialah tradisi makan bajamba yang ada pada
masyarakat Minangkabau. Tradisi makan bajamba merupakan tradisi wajib yang ada pada
setiap pelaksanaan upacara adat yang dilaksanakan masyarakat Minangkabau. Makan bajamba
sendiri berasal dari dua kata yakni, makan dan jamba. Jamba pada mayarakat Minangkabau
memiliki arti hidangan yang disajikan pada sebuah pinggan besar, diberi awalan ba dan
menjadi sebuah kata bajamba. Dapat diartikan bahwa makan bajamba merupakan makan
dengan menggunakan pinggan besar (bersama).
Tradisi makan bajamba dilakukan dalam upacara-upacara adat yang memiliki nilai dan
fungsi tersendiri, tradisi makan bajamba dapat ditemukan dalam berbagai kesempatan seperti :
 Upacara adat seperti batagak penghulu (pengangkatan penghulu).
 Upacar perkawinan (baralek)
 Upacara kematian
 Dan dalam acara-acara tertentu lainnya di minangkabau.

Diantara upacara adat tersebut, makan bajamba lebih sering dilaksanakan masyarakat
Minangkabau pada upacara perkawinan (baralek), karena makan bajamba akan selalu
dilaksanakan pada beberapa tahapan acara baralek masyarakat Minangkabau. Sedangkan
upacara pengangkatan penghulu hanya dilakukan beberapa tahun sekali. Di dalama upacara
perkawinan sendiri, Tradisi makan bajamba terdapat dalam beberapa tahapan yang ada pada
serangkaian acara perkawinan tersebut yakni pada acara babaluak tando, setelah akad nikah
yakni pada acara mananti marapulai, pada acara manyalang kandang dan pada acara makan
taragak.
Makan bajamba merupakan jenis makanan yang di hidangkan dalam satu piring besar yang
dikonsumsi oleh 4-6 orang yang duduk melingkar dan dibagi dalam beberapa kelompok. Pada
pelaksanaan tradisi makan bajamba sangat banyak aturan-aturan di dalamnya, diantaranya
seperti posisi duduk, etika makan, serta jumlah makanan yang akan dihidangkan. Makan
bajamba bukan hanya jenis makanan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup saja.
Makanan bukan hanya penting untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, namun makanan
juga berkaitan erat dengan kebudayaan, termasuk teknologi, organisasi sosial dan juga
kepercayaan masyarakat. Makanan juga memiliki peran dan fungsi sosial dalam masyarakat.
Makan bajamba merupakan tradisi yang melibatkan beberapa tokoh serta mengandung
nilai-nilai dan norma adat. Terdapat berbagai jenis aturan dan etika makan dalam pelaksanaan
makan bajamba, diantaranya adalah jenis makanan, serta tata cara penyajian hidangan makan
bajamba diatur oleh adat yang berlaku pada masyarakat Minangkabau. Pada pelaksanaan acara
makan bajamba adat Minangkabau dilakukan dengan cara duduk melingkar mengelilingi
sebuah piring besar (Pinggan) sebanyak 5-6 orang. Orang-orang yang ikut serta dalam acara
makan bajamba bukanlah sembarangan orang, terdiri dari tokoh yang telah ditetapkan oleh
adat seperti niniak mamak, anak mudo, sumando, induak bako, bundo kanduang dan beberapa
dari urang kampuang. Tradisi makan bajamba kaya dengan aturan adat dalam setiap
pelaksanaannya diantaranya yakni, etika dalam memulai dan mengakhiri acara makan
bajamba. Untuk pria duduk dengan cara baselo dan wanita duduk dengan cara basimpuah.
Sebelum memulai makan akah dimulai dengan panitahan (sembah menyembah), saat
makan harus mendahulukan orang yang lebih tua untuk mencuci tangan. Pada saat makan
duduk dengan posisi badan tegap, tidak membungkuk, tidak mengeluarkan suara (bacapak),
menyuap makanan dengan cara bahambuangan (diloncatkan) menggunakan tangan kanan dan
tangan kiri berada dibawah tangan kanan untuk menampung nasi yang tupah agar tidak
berserakan ke lantai.
Secara teoritsis, fungsi yang terdapat dalam makan bajamba yakni fungsi bagi solidaritas
sosial yang berguna untuk memperkuat hubungan di dalam masyarakat, seperti yang terlihat
pada acara masak memasak. Pada acara masak memasak, kaum wanita bekerja sama dan
bergotong royong untuk mempersiapkan berbagai jenis hidangan yang akan disajikan pada saat
makan bajamba, saat itu akan terjadi pembagian kerja pada tiap-tiap orang yang memasak,
serta makan bajamba juga berfungsi untuk mempererat hubungan kekerabatan bagi pihak yang
terlibat, seperti hubungan antara mamak dan kemenakannya, antara bako dan anak pisang,
karena pada saat makan bajamba kerabat akan duduk bersama dan makan dalam satu jamba.
Sembari menunggu hidangan disajikan, disitulah tampak adanya interaksi serta obrolan yang
terbentuk antar kerabat.
Terdapat nilai kebersamaan dan dapat menajarkan nilai kesopanan disetiap pelaksanaan
makan bajamba, karena pada saat makan bajamba semua orang yang terlibat akan sama rata
tidak dibeda-bedakankan berdasarkan status sosialnya, dan dapat mengetahui bagaimana tata
cara makan beretika yang terdapat dalampelaksanaan makan bajamba. Dengan demikian
adanya fungsi dan nilai yang terdapat dalam pelaksanaan makan bajamba, menyebabkan
keberadaaan tradisi makan bajamba masih bertahan hingga saat ini. Karena suatu kebudayaan
akan tetap bertahan apabila masih memiliki fungsi di dalam masyarakatnya.

B. Malamang

Salah satu tradisi yang telah berlangsung sejak dahulu di Minangkabau dan sudah jarang
ditemui pada masa sekarang ini yakni tradisi malamang (membuat lamang). Lamang yaitu
makanan dari ketan (puluik) yang dimasak bersama santan dan dikemas dalam wadah bambu,
kemudian dimasak dengan perapian atau unggun yang sengaja dibuat untuk itu. Makanan
lamang (lemang) merupakan salah satu makanan tradisional khas masyarakat Minangkabau,
disamping randang, katupek (ketupat) dan lainnya. Malamang adalah proses pembuatan yang
harus dilakukan untuk membuat lamang, dan tradisi membuat lamang itu lazim disebut dengan
tradisi malamang. Umumnya, masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Sumatera mengenal
makanan berupa lamang (lemang) ini.
Tradisi membuat lamang atau malamang dapat ditemui di seluruh wilayah Provinsi
Sumatera Barat (baca; Minangkabau), baik di daerah darek (darat) seperti Solok, Payakumbuh,
Agam, Tanah Datar, maupun di daerah pesisir pantai seperti Padang, Pariaman, dan Pesisir
Selatan. Tradisi malamang ini terdapat di juga di daerah lain yang dahulunya merupakan
rantau Minangkabau seperti Tapak Tuan (Aceh), Mukomuko (Bengkulu), Kerinci (Jambi),
Tebing Tinggi (Sumatera Utara), serta di Negeri Sembilan (Malaysia). Keberadaan malamang
pada daerah-daerah tersebut diperkirakan dibawa oleh orang Minangkabau pada masa dahulu
yang merantau dan kemudian menetap disana secara turun temurun. Tradisi malamang
(membuat lemang) itu biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan, lebaran (Idul Fitri dan
Idul Adha), peringatan Maulid Nabi, baralek (pesta pernikahan), perayaan hari kematian, dan
lain sebagainya.
Hal itu mencerminkan bahwa, malamang tidak saja sebagai kebiasaan atau tradisi pada
waktu-waktu tertentu oleh masyarakat Minangkabau, melainkan juga memiliki nilai ekonomis
atau dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Semarak tradisi malamang sangat
terasa pada masa dahulu (sebelum tahun 1980-an) dimana setiap rumah pada waktu-waktu
malamang akan membuat atau memasak lamang di halaman rumah secara bersama (tolong
menolong). Kaum laki-laki dan perempuan akan bahu membahu membantu mulai dari
penyiapan bahan, waktu pembakaran (memasak) hingga lamang itu siap untuk dimakan atau
dihidangkan kepada tamu. Di beberapa kabupaten di Provinsi Sumatera Barat (Minangkabau),
lamang dijadikan sebagai barang bawaan dari keluarga perempuan ke rumah keluarga laki-laki
(manjalang), atau ketika seorang menantu perempuan berkunjung ke rumah mertuanya. Rasa
lamang yang enak menyebabkan lamang juga dijadikan makanan sampingan yang dikonsumsi
setiap saat karena makanan ini juga diperjualbelikan secara bebas.
Sebagaimana telah diungkapkan, lamang adalah sejenis makanan khas masyarakat
Minangkabau yang terbuat dari beras puluik (ketan) dengan wadah dari bambu (talang, buluh).
Jenis dan varian dari lamang cukup banyak, walaupun proses pembuatan dan bahan yang
digunakan hampir sama, yang membedakan hanyalah bahan dasar. Lamang yang dibuat dari
beras ketan lazim disebut dengan lamang bareh katan (lemang beras ketan) atau lamang
sipuluik. Lainnya adalah lamang baluo, lamang pisang, lamang kuning, lamang ubi jalar,
lamang labu, lamang ubi kayu, lamang durian dan lamang jagung. Namun yang menonjol dan
banyak dibuat oleh masyarakat Minangkabau adalah lamang dari bahan puluik (ketan) atau
lamang sipuluik. Biasanya lamang ini dilengkapi dengan tapai sebagai pelengkapnya, sehingga
dikenal dengan sebutan lamang tapai.
Tradisi malamang (membuat lamang) merupakan tradisi masyarakat Minangkabau
membuat lamang pada waktu-waktu tertentu seperti menjelang bulan puasa (Ramadhan),
menyambut bulan haji (Idul Adha), peringatan Maulud Nabi, kematian,dan lainnya. Dari segi
historis, konon lamang dan tradisi malamang telah ada semenjak Syech Burhanuddin yang
mengenalkan makanan berlapiskan daun pisang dengan wadah berupa talang (bambu) pada
masyarakat waktu itu. Tradisi malamang pada dasarnya mengandung nilai budaya masyarakat
pengembannya (Minangkabau) yang patut diwarisi oleh masyarakat sekarang seperti nilai
sosial (kerjasama, gotongroyong, persatuan dan kesatuan) karena membuat lamang dilakukan
secara bersama-sama oleh masyarakat. Nilai lain adalah nilai keagamaan yang tergambar dari
pelaksanaannya yang terkait dengan peringatan hari-hari besar agama Islam yakni maulud
nabi, lebaran dan lainnya. Sedangkan nilai ekonomi terlihat dari adanya masyarakat yang
menjadikan lamang untuk dijual dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari.

C. Kawa Daun

Pada tahun 1840, pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Van den Bosch menerapakan
sistem tanam paksa kopi di ranah Minangkabau karena pasaran harga kopi saat itu bernilai
sangat tinggi di Eropa. Seluruh masyarakat di pada masa itu di paksa untuk menanam kopi
yang kemudian hasilnya di serahkan kepada para penjajah yang berkyasa pada saat itu.
Berladang-ladang kopi di tanam kemudian di panen. Bergoni-goni hasil panen kopi tersebut di
lantarkan ke gudang milik sang Jendral. Bahkan tidak ada boleh yang tersisa, jangankan
sebantal, sekarang, sebiji pun saja harus di serahkan kalau tidak ingin karena hukuman.
Kemudian orang Minangkabau yang terkenal cerdik dan cerdas berusaha untuk berpikir
bagaimana cara agar dapat menimati hasil dari keringat mereka sendiri selama yang selama ini
hanya bisa mereka lihat. Artinya kalau tidak bisa di minum kopi yang mereka tanam itu,
tentunya mereka harus berpikir bagaimana cara menimati hasil dari apa yang selama inu
mereka kerjakan sendiri tersebut. Maka saat itu lah muncul ide untuk menikmati daunya
karena hanya daunnya yang tertinggal setelah kopi-kopi di antarkan ke gudang Belanda.
Meskipun itu hanya daun
Minuman kawa daun berasal dari Sumatra Barat dan di buat dari daun kopi yang di
keringkan. Minuman kawa daun menyerupai the dengan warna air seduhan lebih gelap dari air
the dan di sajikan menggunakan batok kelapa, batok kelapa tersebut di gunakan sebagai gelas
dan batok tersebut di sanggah dengan bamboo. Sejarah pertama pembuatan minum kahwa
daun belum di ketehaui secara pasti. Akan tetapi menurut Hewit ( 1872) daun tanaman kopi
telah di gunakan oleh masyarakat asli yang bersal dari kepulauan timur sebagai teh. Mereka
membuat teh tersebut dengan memanggang atau menyarai (roast) daun kopi di atas nyala api
kecil yang kemudian saat daun beserta ranting ini di larutkan dengan menggunakan air
mendidih, mereka memperoleh minuman yang nikmat. Minuman ini telah lama berkembang di
daerah Sumatra Barat dengan mengggunakan nama Coffe- Tea dan menarik perhatian ilmuwan
pada zaman itu. Sedangkan menurut Zed ( 2011) menegaskan orang minang sudah mengenal
tanaman kopi jauh sebelum kedatangan Belanda, dan daun kopi lebih penting dari pada biji
kopinya.
Minuman kahwa daun mengembangkan kahwa daun menjadi produk instan seperti
minuman kahwa daun mix, the celup, dan serbuk kahwa daun. Produk minuman kahwa daun
belum dapat bersaing sebagai produk minuman yang bermutu meskipun masyarakat meyakini
minuman tersebut memiliki khasiat terhadap kesehatan. Sebagai langkah awal dalam
melahirkan produk lokal yang berkualitas dan bermanfaat bagi kesehatan, maka dari itu di
perlu di ketahui proses pembuatan minuman kawa daun yang berkembang di masyarakat
Sumatra Barat.
Proses pembuatan minuman kahwa daun di kelompokan menjadi tiga kelompok besar
yaitu:
 Pemasakan (air daun kopi di masak secara bersamaan sampai mendidih)
 Penyeduhan ( daun kopi di sedu dengan air panas 90 derjat C)
 Pelaurutan ( air di masak sampai mendidih kemudian daun kopi di masukan dan di
biarkan mendidih selama 3-5 menit .

Dalam proses pembuatan minuman kawa daun yang paling banyak di lakukan yaitu dengan
cara memasak air dan daun kopi secara bersamaan sampai mendidih dengan lamanya waktu
permasakan di setiap kedai/ kafe bervariasi mulai 15-30 menit. Cara ini merata di lakukan d
tiga kabupaten. Menurt para peracik kopi kawa daun cara ini menghasilkan minuman kawa
daun dengan aroma dan rasa yang nimat menyerupai dengan warna seduhan lebih pekat dari air
teh.
Selanjutnya proses pembuatan minuman kawa daun yang ke dua yaitu penyeduhan hanya
di temukan di daerah Malalo, Kabupaten tanah datar. Daun kopi di seduh yang di sebut perian/
bamboo dan tutup perian tersebut dari ijuk. Cara penyeduhan ini telah di adopsi dalam
penyeduhan kawa daun kemasan celup dan produk instan berbasis kawa daun. Dengan proses
penyeduhan, kahwa daun yang di hasilkan memiliki warna air seduhan lebih terang dari pada
air seduhan kahwa daun yang di buat dengan pemasakan.
Sedangkan proses pembuatan kawa daun yang ke tiga di temukan di daerah kabupaten lima
puluh kota yaitu memasak air sampai mendidih, setelah ini kahwa daun di tambah/ di masukan.
Minuman kahwa daun yang di hasilkan dengan cara ini memiliki warna air seduhan lebih gelap
dari the tetapi lebih terang lagi dari air seduhan pemasakan. Kedai/ kafe yang membuat
minuman kawa daun.
Pada zaman dahulu, minum kawa daun biasanya di lakukan orang-orang di Pribumi di
dangau di tepu sawah, yang terletak di antara lading-ladang yang mereka kerjakan, atau di
balai-balai bambu. Masyarakat Minangkabau tetap mempertahankan kebudayaan minum kawa
daun tersebut sesuai dengan sejarahnya. Lepau kawa daun di buat bentuk dangau. Gelas yang
di gunakan tetap sayak atau tempurung. Makanan pendampinganya selalu gorangan-gorengan.
Minum kawa daun sangat jarang dengan memakai gelas kaca atau gelas dengan bahan
sejenisnya. Karena akan berbeda rasaya jika meminumnya tidak dengan sayak. Supaya terasa
lebih enak, kawa daun tersebut biasanya di campur dengan saka gula mereh secukupnya.
Kadang kawa daun dapat juga di campur dengan rempah-rempah lainnya seperi kayu manis,
jahe dan lain-lain agar bisa memanaskan bada di saat cuaca dingin.
Dengan tradisi yang terus berlanjut pada saat ini malah semangkin berkembang kea arah
yang lebih moderen. Kawa daun itu pun sekarang di campur dengan susu dan telur. Pencarian-
pencarian bar uterus di laksanakan agar minuman kawa daun tersebut semangkin di minati dan
enak untuk dinikmati. Segala sesatu pun di coba untuk di campurkan dengan kawa daun
sehingga kawa mnjadi minuman yang tidak kalah bersaing dengan minuman moderen.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masyarakat Minangkabau, dikenal kaya dengan khasanah budaya yang ditandai dengan
banyaknya tradisi atau kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi makanan dan minuman
yang telah berlangsung sejak dahulu di Minangkabau seperti Makan bajamba, Malamang, Kawa
Daun. Minangkabau juga daerah yang kaya dengan aneka kuliner terkenal kelezatannya. Di
setiap daerahnya juga memiliki tradisi yang berbeda dalam menyajikan kuliner tersebut
sehingga terbentuk sebuah tradisi tersendiri dalam masyarakat. Padang Pariaman bagian dari
daerah rantau Minangkabau memiliki aneka ragam kuliner (makanan) khas yang menjadi
budaya masyarakatnya. Ada makanan khas yang dibuat dalam upacara adat dan ada juga dalam
upacara keagamaan masyarakat. Keberadaan makanan tersebut dianggap penting dalam upacara
tersebut, karena apabila dalam pelaksanaan upacara tersebut tidak membuat makanan tradisi
yang biasa dilakukan, maka pelaksanaan upacara dianggap kurang lengkap.

B. Saran

Setelah membaca isi makalah ini penulis berharap para pembaca bisa memahami. Tradisi
Makanan dan Minuman Dalam Masyarakat Minangkabau. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu penulis berharap adanya
kritik dan saran yang bersifat membangun agar dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa
lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

Devi Sarah. 2017. “Makanan Adat pada upacara batagak kudo-kudo kecamatan VII koto sungai
sariak kabupaten padang pariaman”. Skripsi. Padang: Fakultas Pariwisata dan Perhotelan.

Kurnia Gusti Saputri. “Tradisi Makan Bajamba Dalam Upacara Kematian pada Masyarakat di
Kenagarian Salo Kecamatan Baso Kabupaten Agam”.

Navis, AA. 1984. ’Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau’. Jakarta:
Pustaka Grafiti Press.

Refisrul. 1988. ’Wanita Pembuat dan Penjual Lamang, Studi Kasus Kelurahan Balai Labuh Bawah
Kecamatan Lima Kaum Kabupaten Tanah Datar’. Skripsi. Padang: Fakultas Sastra
Suryani. 2013. ’Pudarnya Tradisi Malamang’. Artikel pada Harian Singgalang Padang.

Rilma Novita Dkk. Survei Proses Pembuatan Minuman Kawa Daun Di Propinsi Sumatra Barat
Indonesia. Jurnal Teknologi Pertanian Andalas Vol 22 No 1 Maret 2018. ISSN 1410-1920, EISSN
2579-4019.

Silvia Devina. 2020. “Tradisi makan bajamba pada perkawinan adat kurai”. Skripsi. Padang:
Fakultas Ilmu sosial politik.

Vania Dwi Amanda Surya & Gregorius Prasetyo Adhitama, 2021. “Rumah Gadang : Ruang dan
Budaya makan dalam siklus masyarakat Minangkabau”. Bandung: Serat Rupa Journal of Design,
January 2021, Vol.5, No.1: 80 - 105.

Zulfitra. 2017. Kawa Daun. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan dan
Pembinaa Bahasa. Jakarta Timur.

Anda mungkin juga menyukai