Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Kebudayaan Suku Tolaki Sulawesi
Tenggara”

Adapun tujuan Penulisan makalah ini sebagai pemenuhan salah satu tugas pada mata
kuliah Wawasan .

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan keterbatasan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-
pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang
telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kamidapat menyelesaikan tugas ini.

Gorontalo, 07 Mei 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I..............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
A. Latar Belakang......................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................3
C. Tujuan...................................................................................................................................3
BAB II.............................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..............................................................................................................................4
A. Sejarah dan Asal-usul Orang Tolaki di Sulawesi Tenggara.................................................4
B. Upacara Adat dan Keagamaan Suku Tolaki.........................................................................7
C. Kepercayaan Suku Tolaki...................................................................................................11
BAB III..........................................................................................................................................14
PENUTUP.....................................................................................................................................14
A. Kesimpulan.........................................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suku Tolaki adalah Suku yang mendiami nusantara yaitu letaknya di Sulawesi
Tenggara, di mana di sulawesi tenggara terdapat 4 suku yaitu Muna, Buton, Tolaki dan
Wolio. Suku Tolaki mendiami daerah yang berada di sekitar kabupaten Kendari dan
Konawe. Suku Tolaki berasal dari kerajaan Konawe. Masyarakat Tolaki umumnya
merupakan peladang dan petani yang handal, hidup dari hasil ladang dan persawahan
yang dibuat secara gotong-royong keluarga. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo
(delapan hari). Masyarakat Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal dari
daerah Yunan Selatan yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat. Keberadaan
Suku Tolaki berdasarkan sejarah, tidak dapat dipisahkan dari Kalo/Kalo Sara sebagai
benda yang disakralkan oleh masyarakat hukum adat Suku Tolaki.
Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki jejak peradaban, hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di beberapa gua atau kumapo di
Konawe bagian utara maupun beberapa gua yang ada di daerah ini. Lokasi situs gua-gua
di daerah ini umumnya terletak di Konawe bagian Utara seperti Asera, Lasolo, Wiwirano,
Langgikima, Lamonae, diantaranya gua Tanggalasi, gua Tengkorak I, gua Tengkorak II,
gua Anawai Ngguluri, gua Wawosabano, gua Tenggere dan gua Kelelawar serta masih
banyak situs gua prasejarah yang belum teridentifikasi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal-usul orang Tolaki di Sulawesi Tenggara?
2. Apa saja upacara adat dan upacara keagamaan suku Tolaki?
3. Bagaimana interaksi kepercayaan orang Tolaki?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui asal-usul orang Tolaki di Sulawesi Tenggara.
2. Untuk mengetahui seperti apa upacara adat dan upacara keagamaan suku Tolaki.
3. Untuk mengetahui interaksi kepercayaan orang Tolaki.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Asal-usul Orang Tolaki di Sulawesi Tenggara


Dari hasil penelitian tim Balai Arkeologi Makassar dari tinggalan materi uji
artefak di Wiwirano berupa sampel dengan menggunakan metode uji karbon 14 di
laboratorium Arkeologi Miami University Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa
daripada artefak di Wiwirano Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun yang lalu atau
dengan evidensi ini maka peradaban Tolaki di Konawe telah berlangsung sejak 5000
tahun Sebelum Masehi. Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik
tengkorak manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan,
gerabah, porselin baik itu buatan China, Thailand, VOC, Hindia Belanda, batu pemujaan,
terdapat beberapa gambar atau adegan misalnya binatang, tapak tangan, gambar berburu,
gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar perahu atau sampan, patung,
terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa Tolaki merupakan atau masuk kedalam
rumpun bahasa Austronesia, secara Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras
Mongoloid, yang datang ditempat ini melalui jalur migrasi dari Asia Timur, masuk
daerah Sulawesi, hingga masuk daratan Sulawesi Tenggara.
Sebelum kerajaan Konawe muncul, telah ada beberapa kerajaan kecil yaitu:
Padangguni berkedudukan di Abuki pada saat itu yang menjadi rajanya adalah mokole
Bunduwula. Kerajaan Besulutu di Besulutu dengan rajanya bernama Mombeeti, dan
kerajaan Wawolesea di Toreo dengan rajanya Wasangga. Berdasarkan oral tradition atau
tradisi lisan masyarakat Tolaki jauh sebelum kerajaan Konawe terbentuk. Di daerah ini
telah berdiri beberapa kerajaan kecil. Kemudian berintegrasi menjadi satu konfederasi
yaitu kerajaan Konawe. Gejala terintegrasinya kerajaan kecil membentuk satu
konfederasi kerajaan terjadi juga di beberapa kerajaan di daerah ini seperti halnya
kerajaan Wolio terbentuk merupakan gabungan dari beberapa kerajaan kecil seperti
Kamaru, Tobe-Tobe, dan beberapa kerajaan kecil lainnya. Adapun beberapa kerajaan
kecil tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kerajaan Padangguni
Kerajaan Padangguni ini mulai berkembang dan memperluas wilayahnya dan
kerajaan ini eksis dan berkuasa selama 12 generasi. Adapun pimpinan atau Raja
pertama Padangguni bernama Tolahianga dengan gelar Bundu Wula atau
Tanggolowuta juga biasa digelar Sangia Ndudu Ipadangguni.
2. Kerajaan Wawolesea
Kerajaan Wawolesea terletak dipinggir atau pesisir pantai timur jazirah Tenggara
pulau Sulawesi di daerah Lasolo. Menurut Burhanudin bahwa kerajaan Wawolesea
merupakan keturunan dari raja Kediri di Jawa. Kerajaan ini tidak berkembang dan
maju disebabkan terjadinya peperangan antara Kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah.
Penyebab lainnya menurut kepercayaan adalah terkena kutukan (molowu), akibat
Raja Wawolesea menikahi putrinya sendiri. Begitu terkena musibah tersebut maka
penduduk kerajaan Wawolesea ada yang mengadakan pelayaran menuju ke daerah
lain dan mereka terdampar disemenanjung utara pulau Buton dan pulau Wawonii.
Kerajaan Wawolesea ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Rundu Langi, dan
tidak mempunyai pewaris kerajaan sehingga kerajaan Wawolesea berintegrasi dengan
kerajaan Konawe.
3. Kerajaan Besulutu.
Kerajaan Besulutu ini berlangsung singkat hal ini disebabkan oleh karena Raja
Besulutu yang bernama Mokole Mombeeno mempunyai suatu kegemaran berperang
(momuho) dengan beberapa kerajaan disekitarnya. Sehingga rakyatnya banyak
berkurang, bahkan Rajanya terbunuh dalam peperangan. Sehingga tidak ada penerus
kerajaan tersebut.
4. Kerajaan Watu Mendonga
Kerajaan Watumendonga terletak di hulu sungai Konawe Eha yang terletak di Tonga
Una dan kerajaan ini pada saat itu masih dibawah kerajaan Konawe. Pada periode
selanjutnya kerajaan Watumendonga ini bergabung dengan kerajaan Mekongga. Pada
saat itu daerah Konawe bagian Utara seperti Kondeeha, Tawanga, Sanggona
diberikan kepada kerajaan Mekongga sebagai warisan kepada Wunggabae anak
Buburanda Sabandara Latoma bernama Buburanda atas pernikahannya dengan Bokeo
Teporambe anak dari Bokeo Lombo-Lombo. Sebagai pimpinan terakhir bernama
Mokole Lapanggili.

Menurut para penutur silsilah (kukua) raja-raja, hingga kini masih terdapat sisa-
sisa peninggalan dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut, baik peninggalan berbentuk
arkeologi maupun etnografi, misalnya reruntuhan istana Raja Wawolesea di Toreo.

Menurut sumber sejarah kerajaan-kerajaan ini runtuh disebabkan terjadinya


perang saudara antara satu sama lainnya misalnya peperangan antara Padangguni dengan
Besulutu, atau adanya ekspansi dari kerajaan lain di luar wilayah Konawe seperti Bungku
dan Ternate, yang menyebabkan munculnya power baru di daerah ini yaitu kerajaan
Konawe yang merupakan hasil konfederasi ketiga kerajaan tersebut, serta perang antara
kerajaan Wawolesea dan dengan kerajaan Banggai. Pada zaman Hindia Belanda di
Kolaka terdapat distrik Watumendonga yang berkedudukan di Tongauna.

Kemudian dari keturunan Mokole Padangguni inilah muncul seorang pemimpin


yang berusaha untuk mengintegrasikankan seluruh kelompok-kelompok masyarakat
Tolaki yang sudah menetap dan berkembang, penduduknya serta menyebar di seluruh
wilayah kerajaan Padangguni. Adapun nama Mokole Padangguni tersebut adalah
Toramandalangi yang bergelar Totongano Wonua. Selanjutnya Totongano Wonua
memindahkan pusat kerajaannya dari Padangguni ke Unaaha, disebabkan sewaktu
Totongano Wonua mengadakan perjalanan dalam rangka menyatukan negeri-negeri di
sekitarnya. Ia mendapatkan daerah Unaaha telah bermukim orang-orang yang datang dari
Tulambantu. Mereka meninggalkan wilayah karena wabah penyakit yang epidemis
hampir memusnahkan mereka. Dan pemimpin mereka bernama Puteo. Totongano Wonua
ini menemukan seorang wanita yang berada di Lalobalongga yang bernama
Nanggalamaha. Selang berapa saat setelah Toramandalangi memindahkan pusat
pemerintahannya di Inolobu Nggadue Unaaha. Tiba-tiba munculah seorang putri di
Unaaha dengan 40 orang pengawalnya lengkap dengan persenjataannya dan berbaju sirat.

Menurut dua orang bersaudara Albert Cristian Kruyt, dan J. Kruyt, serta F.
Treferrs bahwa hal yang sama terjadi di Kerajaan Mekongga Kolaka dimana Wekoila dan
Larumbalangi, yang diceritakan tentang dua orang bersaudara kandung wanita-pria. Jadi
sebagai kakak adalah Wekoila sedangkan Larumbalangi merupakan adik. Mereka inilah
yang menurunkan raja-raja Konawe, dan Mekongga di Kolaka.

Melihat kedatangan putri tersebut segeralah tersiar kabar di kalangan orang-orang


Unaaha. Mereka segera menyambut putri tersebut dan oleh orang-orang Unaaha
menyebut putri tersebut dengan nama Sangia Ndudu artinya Dewa yang turun, karena
masyarakat Tolaki tidak mengenalnya atau mengetahuinya siapa ayah dan ibu putri
tersebut. Kemudian mereka menemui mokole Toramalangi, mendengar laporan
masyarakat tersebut maka mokole Toramalangi datang menemui Putri itu. Putri itu
ditumbuhi penyakit kulit berupa panu Opano yang putih sehingga oleh Totongano Wonua
memberikan nama Wekoila.

Wekoila ini adalah saudara dengan Larumbalangi dengan gelar Sangia Aha.
Wekoila ini dinamakan Wetendriabeng, atau dalam bahasa Tolaki dikenal dengan nama
Walandiate atau Watandiabe, karena lidah orang Tolaki dan orang Bugis tidak sama
pengucapan, kalau orang Tolaki sangat susah untuk menyebut Wetendriabe sehingga
berubah Watandiyate.

Kata Wekoila memiliki makna gadis cantik, terdiri dari dua kata We adalah nama
depan bangsawan perempuan, koila artinya mengkilat. Kemudian Wekoila atau
Watandiyate dikawinkan dengan putra Toramalangi Ndotonganowonua yang bernama
Ramandalangi yang bergelar Langgai Moriana. Toramalangi ini di dalam kitab sastra
Lagaligo disebut Remangrilangi. Setelah mereka kawin kemudian Wekoila dilantik
(Pinorehu) oleh orang-orang Tolaki menjadi raja mereka. Dan kemudian Wekoila setelah
menjadi raja maka kerajaan Padangguni diganti menjadi kerajaan Konawe. Dan
berakhirlah kerajaan Padangguni dan muncullah kerajaan Konawe, kejadian ini
berlangsung pada awal abad ke-10 Masehi. Pusat kerajaan Konawe pada awalnya
berlokasi di napo Olo-Oloho di pinggir sungai Konaweeha, kemudian pindah ke daerah
Unaaha di Inolobu Nggadue.
B. Upacara Adat dan Keagamaan Suku Tolaki
1. Upacara Adat Mosehe Wonua

Bagi masyarakat suku tolaki di Kabupaten Konawe Utara, Mosehe Wonua


memiliki nilai historis tersendiri. Seluruh masyarakat suku tolaki mengartikan
“Mosehe Wonua” dapat menghilangkan segala kesialan serta menghapus dosa-dosa
yang pernah diperbuat. Baik itu kesalahan pemimpin maupun kesalahan
masyarakatnya.
Berdasarkan keputusan panitia penobatan dan pengukuhan pengurus lembaga
kerabatan adat kerajaan tolaki Nomor : 03/kpps/pandep/lkat/V Tahun 2015 yang
menetapkan Kabupaten Konawe Utara adalah salah satu dari pada kabupaten yang
dinobatkan atau ditugaskan untuk melaksanakan upacara adat mosehe sebagai bagian
dari pelaksanaan upacara adat tolaki yang harus dijunjung tinggi secara bersama-
sama. “Konotasi Mosehe itu adalah tolak bala dari segala perbuatan yang telah kita
lakukan,” kata Sudiro. Seperti yang dilakukan suku tolaki di Kabupaten Konawe
Utara (Konut), percaya atau tidak. Setelah Mosehe Wonua dilakukan di Kecamatan
Oheo yang digagas oleh Forum Percepatan Pemekaran Kabupaten Konut dan Wakil
Bupati, Ruksamin beberapa waktu lalu. Daerah yang boleh dibilang sudah sekian
bulan dilanda musim kemarau, tiba-tiba hanya berselang sejam pasca selesainya acara
upacara adat Mosehe Wonua. Terik matahari yang menyengat berubah menjadi
mendung dan hujanpun turun. Anggota Dewan Fakar Lembaga Adat Tolaki Sultra
yang melakukan upacara adat Mosehe Wonua, Arsamid menuturkan jika upacara adat
Mosehe Wonua bagi suku tolaki harus terus dilestarikan hingga anak cucu bangsa.
Upacara adat Mosehe merupakan kegiatan wajib bagi suku tolaki untuk menjaga
kelestarian adat suku tolaki. “Upacara adat Mosehe Wonua bermakna untuk
penyucian seluruh wilayah negeri Konawe Utara serta menolak bala dari besar
maupun kecil dari murka seruh sekalian alam dari ulah manusia itu sendiri,”
Diketahui, wilayah Konut sebelumnya pernah ditinggalkan oleh penghuninya,
disebapkan banyaknya kerusakan-kerusakan alam sehingga meyoritas tatakrama
penghuni wilayah jadi terabaikan. Baik adat istiadat, perburuan maupun bidang
pertanian khususnya pergaulan sudah banyak bergeser yang telah digariskan oleh
leluhur suku tolaki.
Tolak bala Mosehe Wonua merupakan jembatan penghubung untuk dijadikan doa
permohonan kepada Ilahi Rabbi agar segala perbuatan dan dosa penduduk seluruh
anak negeri mendapatkan pengampunan untuk kemaslahatan masa yang akan datang.
Pada upacara adat Mosehe Wonua disiapkan bahan-bahan seperti daun sirih,
kapur sirih yang ditempatkan diatas tapis dan ditutup daun pisang. Upacara adat
Mosehe Wonua ditutup dengan penyembelihan seokor ternak yang yakini sebagai
pelengkap uapacara adat. Ketika seekor ternak hendak akan disembelih oleh tokoh
adat Mosehe Wonua, semua masyarakat yang hadir saling berpengangan satu sama
lain dengan makna pemersatu untuk menghapus semua dosa-dosa.
Pada upacara adat Mosehe Wonua disiapkan bahan-bahan seperti daun sirih, kapur
sirih yang ditempatkan diatas tapis dan ditutup daun pisang. Upacara adat Mosehe
Wonua ditutup dengan penyembelihan seokor ternak yang yakini sebagai pelengkap
uapacara adat. Ketika seekor ternak hendak akan disembelih oleh tokoh adat Mosehe
Wonua, semua masyarakat yang hadir saling berpengangan satu sama lain dengan
makna pemersatu untuk menghapus semua dosa-dosa.
Dalam adat suku tolaki sendiri, Mosehe tidak hanya dilakukan untuk menolak
bala. Namun, konteks Mosehe dapat dilaksanakan dalam bentuk mensyukuri segala
nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh sang pencipta. Diantaranya, syukuran
pasca selesai panen hasil-hasil pertanian maupun perkebunan.

2. Upacara Adat Pernikahan


Moawo pesuko/niwule (melamar, meminang) adalah perkawinan yang ideal dan
normatif bagi masyarakat suku Tolaki. Pelaksanaan tradisi mombesara dalam
perkawinan ini telah diawali sebelum pelaksanaan upacara nikah melalui proses
pelamaran. Sebelum proses pelamaran dan tradisi mombesaradilaksanakan, maka
sebelumnya para orang tua pria mempersiapkan benda-benda/bahan-bahan yang akan
digunakan oleh tolea atau pabitara untuk memulai tradisi mombesara.
Benda-benda/bahan-bahan tersebut antara lain : kumba inea (pelepah pinang) diisi 40
biji pinang (inea), 40 lembar daun sirih (obite), 2 leta tombako (inoso) dan kapur
secukupnya lalu diikat dengan tali kecil melintang 4 ikatan memanjang 3 ikatan, yang
menggambarkan siwole mbatohu (empat wilayah penyangga) dan (opitu dula watu)
tujuh anak negeri. (Kumba inea) pelepah pinang yang sudah diikat rapi harus dialas 1
lembar sarung (Wawancara, 2020a). Informan lain juga menambahkan bahan-bahan
yang akan diantar pada saat peminangan/pelamaran yaitu : 2 biji kelapa (kaluku) yang
sudah tumbuh, 1 liter beras (owoha), 1 botol minyak tanah (mina tana), 1 botol
minyak kelapa (luwi), 1 liter garam (peanihi), 1 bungkus gula merah (gola momea)
dan 1 botol air beras (pongasih. Selain benda-benda/bahan-bahan di atas, orang tua
laki-laki juga mempersiapkan sejumlah sarung sebagai pombebabuki dan
pombesawuki (sarung yang diberikan sebagai kesungguhan untuk melakukan
pelamaran kepada perempuan) bersama kelengkapan wanita lainya yang diisi didalam
tas dan kopor, juga kadang-kadang disiapkan sepasang cincin atau serangkat
perhiasan (emas) apabila ada permintaan dari orang tua perempuan untuk dilakukan
acara tukar cincin. Setelah benda-benda / bahan-bahan yang dibutuhkan lengkap,
maka pada hari yang telah ditetapkan berangkatlah rombongan orang tua laki-laki ke
rumah orang tua perempuan untuk melakukan pelamaran. Pelamaran dilaksanakan
pada sore hari atau malam hari. Dalam pelamaran ini, pelaksanaan
tradisi mombesara dimulai setelah semua pihak yang terlibat hadir, dan selanjutnya
pembawa acara mempersilahkan tole/pabitara untuk memulai pelaksanaan adat
mombesara. Upacara adat mombesara dimulai/diawali dengan sara mbeparamesi
nepamarenda (adat memohon izin kepada penguasa/pemerintah). Tolea atau pabitara
meletakkan uang sebesar Rp. 1000.-atau Rp. 5000.-ditengahtengah kalo sara,
kemudian mengangkat sebanyak empat kali dan selanjutnya diletakkan/disampaikan
dihadapan penguasa / kepala desa / camat / bupati. Pihak pemerintah kemudian
menerima kalo sara dengan cara memegang dan mengangkat sebanyak empat kali,
seperti yang dilakukan oleh tolea/pabitara. Setelah meletakkan kalo sara dihadapan
penguasa/pemerintah dan diterima olehnya, maka tolea/pabitara (juru bicara pihak
laki-laki) memulai kata-kata mombesaranya sebagai berikut : “Inggomiu pamarenda
laa, pinoko owose, pinokalaloi, tuduito, resaito, lasoito, ihanumiu, sarano pabitara,
kalono tolea, mesuko, mombependee, meparamesi, mepanasai, kenolando tewaliano,
ketoonggoto mbokalakoi, lala pinende porombuakondo, mbinende posua akondo.”
Artinya : “Wahai pemerintah, yang diagungkan dan dihormati, terletaklah, terbitlah,
nampaklah, dihadapan tuan, adat dan kalo sara kami, bertanya mengingatkan,
mengunggkapkan sesuatu, untuk memohon izin, kalau sudah ada kesempatan, untuk
memulai pelaksanaan, apa yang menjadi tujuan kita bertemu dan berkumpul.”
Putobu (ketua adat) selanjutnya menerima adat mombesara dari tolea atau
pabitara yang selanjutnya menjawab dengan pernyataan sebagai berikut : “Inggomiu
tolea, pabitara, peohai mbinokulaloi, anamotuo pinaowose, mbera-mbera la
mbererehu sara, mbetotoro peowai, pekoowosei, notudu, noresa, lopa-lopano tolea,
noresa palako powuleani pabitara, nolando mesuko, mombepende, keto mbengguto,
keto mbenggoato, tolea pabitara, ari nemore kuito, koaito, maipokolakoikeitoto, ano
pepokolakonoki o sara, ano peowinoki peowai.” Artinya : “Wahai tolea pabitara, para
kerabat yang dihargai, orang tua yang dihormati, termasuk orang-orang yang duduk
dihadapan adat, membesarkan, dan melaksanakan kegiatan adat, terletaklah,
terhamparlah, lopa-lopanya tolea, tempat sirihnya pabitara, akan bertanya,
mengingatkan, kalau yang hadir sudah lengkap, seda genap, tolea pabitara, dari pihak
perempuan, sudah lengkap, sudah genap, silakan lanjutkan acara, sesuai dengan
aturan adat istiadat yang berlaku.”
Dalam sara moawo pesuko ini, sebelum tolea/pabitara memulai dialognya terlebih
dahulu diletakkan uang dan kumba inea (pelepah pinang) yang diisi pinang, daun
sirih, tombako dan kapur secukupnya diatas kalo sara. Tolea atau pabitara memulai
untaian kata-katanya dihadapan puu peaana (wakil orang tua perempuan) dan kerabat
orang tua perempuan sebagai berikut : “Inggomiu puupeana, mbuwulele, tuduito,
resaito, losoito, sabaito, iraimiu, iwoymiu, sara mbomba owose, sara meana motuo,
kalo meohaimami, kila leu mombesukoako anahoma ndonia, sepu nggomalurano,
anahoma lemaho, sepu tueho mbali, kionggo mbotiso, mosalei.” Artinya : “Wahai
orang tua/wali si gadis, terletaklah, terhamparlah, terbitlah, diharibaan tuan, adat
penghormatan dan penghargaan kami, adat orang tua kami, kalo persaudaraan kami,
kami telah datang untuk menanyakan hutan lading yang masih baru, yang belum
ditanami atua hutan lading yang baru dibuka, bekas tebangan kampak, kami akan
mengukur untuk membuka lahan baru dan menanaminya.
Setelah mendengar dan menyimak untaian kata-kata dari tolea/pabitara, puupeana
menjawab sebagai berikut : “Inggomiu tolea pabitara, notudu, noresa, mepotira,
mepokulelo, I tonga-tongando, I pada mbolawando, kalomiu, saramiu, peowaindo,
ilando leu mombesukoako, anohoma ndonia, sepu nggomalurano, anahoma lemaho
sepu tueho mbali, ionggo mbotiso, mosaley, ma ariakuto mesuko, nembuana,
mbewulele, ma lairo monaa, mano anahoma mami nggiro, anahoma woohu, ano
monggasoki pademiu, palimiu, tanggalimiu, sairamiu, keionggo bukai.” Artinya :
“Wahai tolea pabitara, terletaklah, terhamparlah, nampaklah, ditengah-tengah kita,
dihadapan kita, kalo kalian, sara kalian, adat kita sekalian, kalian telah datang,
menanyakan, hutan lading yang masih baru, yang belum ditanami, hutan lading yang
baru dibuka, bekas tebangan kampak, kalian akan mengukurnya, untuk ditanami, saya
sudah bertanya, kepada orang tua perempuan, mereka memilikinya, tetapi hutan
ladang kami itu, hutan lading yang masih baru, agar tajam parang kalian, kampak
kalian, pacul kalian, sabit kalian kalau kalian akan membuka dan menanaminya.”
Setelah tolea/pabitara melakukan tahapan adat mombesara di atas dan diterima oleh
puupeana (juru bicara orang tua perempuan), maka dalam perkawinan suku Tolaki
disebut dengan tetoroito pesuko yang artinya acara peminangan telah resmi diterima
secara adat. Selanjutnya tolea atau pabitara meletakkan uang Rp. 1.000.- atau Rp.
5.000.- di atas kalo sara untuk menanyakan berapa besarnya mas kawin dan biaya
perkawinan yang akan disiapkan oleh orang tua laki-laki. Tolea atau pabitara dengan
adat mombesaramengungkapkan untaian kata-katanya dihadapan puupeana sebagai
berikut : “Inggomiu, puupeana, mbuwulele, ronga lala mererehu sara,
kipombetundungako nggiro aso mata, kionggoto mesukoke, mobeano, molitono,
nggopinoahamami, kenohende ano ala, ano ahua, ano morongo, kionggo tumorikee,
teteembe olanono, teteembe moluano, teteembe mobeano” Artinya : “Wahai tuan,
yang menjadi wali orang tua perempuan, yang sementara menghadiri pelaksanaan
adat, kami meletakkan dihadapan tuan satu bagian kalo sara, kami akan bertanya,
seberapa berat ringannya, yang akan kami pikul, diibaratkan seperti sungai, sumur,
kami akan tahu, seberapa luasnya, dalamnya dan beratnya.”

C. Kepercayaan Suku Tolaki


Salah satu kepercayaan Suku Tolaki yang hingga saat ini masih dipercaya di tanah
Konawe adalah tradisi ritual Mo’oli. Menurut beberapa ahli keberadaan ritual mo’oli bagi
masyarakat tolaki sangat erat kaitannya dengan adat istiadat atau budaya para leluhur
yang hingga saat ini masih dijalankan. Bagi masyarakat tolaki pada umumnya orang yang
menentang kepercayaan disebut “Pemali” atau dosa yang bisa membuat kita kualat. Salah
satu penggiat budaya tolaki, Ajomain Suruambo mengatakan, bagi masyarakat tolaki,
ritual mooli yang artinya memohon kepada penghuni mahluk gaib agar dijauhkan dari
bencana. Meski kata Ajomain, segala sesuatunya tetap bersandarkan kehendak Tuhan.
“Ritual mooli dilaksanakan kalau mau membuka jalan, bangunan. Tujuannya adalah
kalau kita memohon kepada penghuni gaib alam ini. Dengan harapan apa yang kita
bangun maupun kita kerjakan tidak akan ada lagi gangguan dari mahluk gaib. Ritual
mo’oli juga biasa disebut pamitan kepada mahluk gaib.” ungkapnya. Selain itu, Ritual
mooli juga biasanya dilakukan ketika ada korban hilang. Seperti orang tenggelam korban
kecelakaan yang dimana tempat korban kecelakaan itu dianggap sangat keramat. “Karena
siapa tau mahluk yang menyembunyikan jenasah korban. Sehingga dengan ritual mo’oli
bisa membuka mata kita untuk melihat adanya korban yang sudah beberapa hari tidak
ditemukan.”jelasnya.

1. Awal Mulanya Ritual Mooli Dilakukan


Ajomain yang juga Putubo Wonua lembaga Adat Tolaki (LAT) Konawe ini
menyebut, awal mulanya ritual mo’oli dilakukan sejak adanya masyarakat tolaki
pertama yang mendiami bumi konawe. Sehingga pada saat itu orang tolaki percaya
kepada para dewa yang disebut sangia. “Semenjak adanya manusia tolaki sampai
zaman Kerajaan hingga saat ini di abad ke 5 ritual mo’oli masih dipercaya sebagai
budaya para nenek moyang suku tolaki.” lanjut Ajomain
“Bahkan dengan melakukan ritual mo’oli ketiga orang yang dipercayakan
melakukan ritual mooli dipercaya mampu melihat mahluk abstrak yang tidak terlihat
seperti Jin atau dalam bahasa tolaki disebut owali sehingga dengan kebiasaan
melakukan ritual terjadilah budaya dalam ritual mooli hingga hari ini.” ujarnya.

2. Proses Ritual Mo,oli


Dalam proses ritual Mo’oli, dilakukan oleh tiga orang yang dipimpin oleh seorang
yang disebut “mbuakoi” yang mana mbuakoi ini orang yang dipercaya mampu
mengucapkan mantra atau melantunkan mantra pengantar. Tujuannya adalah
memancing kedatangan mahluk gaib. Sementara dua orang pendamping yang berada
di belakang mbuakoi disebut Sudono mbuakoi yang artinya penopang. Kedua orang
Sudono mbuakoi ini dipercaya mampu menembus alam gaib. “Jadi kedua Sudono
mbuakoi inilah yag mampu mengetahui datangnya mahluk gaib itu. tugas mereka itu
kalau prosesi ini diterima atau tidak. Kalau mahluk gaib datang berarti prosesi
diterima namun kalau mereka tidak datang berarti prosesi belum diterima.” Ujarnya
Lebih jauh, untuk menjadi seorang Mbuakoi dan sudono mbuakoi diperlukan
keberanian. Ketiga orang ini berasal dari keturunan mbuakoi yang sudah
diamanahkan oleh mbuakoi terdahulu. Kalaupun bukan berasal dari keturunan
biasanya mereka perlu pengajaran yang rutin dari mbuakoi sebelumnya. Bahkan
untuk menjadi mbuakoi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yakni harus
sinehengako atau pineseheako. Sebelum melakukan proses Ritual Mo’oli para
mbuakoi harus mempersiapkan segala sesuatunya seperti menyiapkan sesajen berupa
pakaian satu pasang, kopiah (topi) sarung daun sirih, buah pinang yang dibelah
empat, tembako yang digulung menggunakan daun palem hutan yang dalam bahasa
tolaki Wiu. Dalam ritual juga para umbakoi tidak lupa menyiapkan Koin dan emas
yang mana emas ini menurut para leluhur mampu memikat penglihatan para jin.
Sehingga para jin akan tertarik untuk datang di upacara mo’oli. “Pengalaman dulu
waktu pembukaan jalan di Kecamatan Meluhu. Sebelum mereka melakukan ritual
mo’oli ada-ada saja kendala.”

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebudayaan di Indonesia sungguhlah sangat banyak ragamnya dan seluruhnya
hampir menyebar diseluruh daerah di Indonesia. Dan disetiap daerah tersebut memiliki
keunikan masing-masing dan antara satu daerah dengan daerah lainnya itu sangatlah
berbeda.
Salah satu kebudayaan tersebut adalah di Sulawesi Tenggara yaitu yang terdapat
pada suku Tolaki di Konawe. Disana ada ada sebuah simbol tradisi yang menjadi
pemersatu dan juga bisa dikenal sebagai sumber hukum didalam suku tersebut
yaitu Kalo. Jika dilihat kebudayaan itu sungguh sarat dengan pesan dan makna yang baik
misalnya saja untuk menyelesaikan masalah antar masyarakat disana maka
digunakanlah Kalo sebagai media untuk menyelesaikan masalah.
Bisa dibilang keunikan dari setiap kebudyaan tersebut perlu kita lestarikan dan
kita budayakan ataupun mungkin kita jadikan pedoman. Sewajarnya juga kita sebagai
generasi muda harus bisa mengenali karena hal tersebut adalah jati diri bangsa.

MAKALAH

KEBUDAYAAN SUKU TOLAKI SULAWESI TENGGARA


ZUL FIKRAH ARIFUDDIN

521420027

TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2022

Anda mungkin juga menyukai