Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KEARIFAN LOKAL DARI SUKU TOLAKI SULAWESI TENGGARA

OLEH:
NABILA SALSABILA UMAR
1121418008

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
wawasan budaya yang berjudul “Kearifan Lokal Dari Suku Tolaki Sulawesi
Tenggara”.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu saya menyadari masih banyak kekurangan dalam
pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, saya menerima dengan tangan terbuka
kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun dan meningkatkan
pengetahuan. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Gorontalo, 22 Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................i
DAFTAR ISI ......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................2
1.3. Manfaat .................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Suku Tolaki ............................................................................................3
2.2. Kearifan Lokal Suku Tolaki...................................................................3
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan ...........................................................................................12
3.2. Saran .....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu negara yang sangat kaya akan keanekaragaman
budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dimana
masing-masing suku bangsa tersebut memiliki perbedaan dan keunikan baik dari
segi bahasa daerah, adat istiadat, kebiasaan, dan berbagai hal lain yang
memperkaya keanekaragaman dari budaya Indonesia itu sendiri (Prayogi, dkk.,
2016). Sebagaimana pendapat Taylor (Horton & Chester, 1996, hlm. 58) dalam
(Prayogi, dkk., 2016) “Kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari
pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua
kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai
anggota masyarakat” Selain itu Kebudayaan memiliki beberapa wujud yang
meliputi: Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma;
Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam
masyarakat; Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia. Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena merupakan benda-benda
dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam
masyarakat. Koentjaraningrat (2009, hlm. 150-153) dalam (Prayogi, dkk., 2016).
Kearifan lokal adalah berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai, dan diakui
sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di tengah
masyarakat (Haba, 2007:11; Abdullah, 2008:7) dalam (banda, 2015). Hakikatnya
masyarakat Indonesia memiliki keanekaragaman tradisi, suku, dan latar belakang
kearifan lokal yang berbeda (Ade, dkk., 2016) Keanekaragaman adat istiadat dari
masing-masing suku yang mendiami bumi nusantara ini satu diantaranya ialah
Suku Tolaki yang berada di Sulawesi Tenggara yang memiliki nilai-nilai kearifan
yang dari dulu sampai sekarang masih dipertahankan dan merupakan ciri khas
dari suku Tolaki.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu apa itu suku tolaki dan
apa saja kearifan lokal yang ada di suku tolaki yang masih dipertahankan dari
zaman dulu sampai sekarang.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat kita ambil yaitu, kita bisa mengetahui apa saja
kearifan lokal di suku tolaki sulawesi tenggara.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Suku Tolaki
Suku tolaki adalah salah satu suku pribumi yang berasal dari sulawesi
tenggara selain suku muna, buton, moronene, kabaena dan yang lainnya. Secara
geografis suku Tolaki mendiami wilayah daratan Sulawesi bagian Tenggara, yang
mendiami beberapa daerah kabupaten yaitu Kabupaten Konawe, Kota Kendari,
Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur.
Beberapa daerah kabupaten tersebut berada di daerah daratan Sulawesi bagian
Tenggara.
Nama suku Tolaki tidak begitu saja ada dan terjadi dibalik nama tersebut
tentu mengandung arti atau sejarahnya, nama suku Tolaki ini berasal dari kata
TOLAKI, TO = orang atau manusia, LAKI = Jenis kelamin laki-laki, jadi artinya
adalah manusia yang memiliki kejantanan yang tinggi, berani dan menjunjung
tinggi kehormatan diri/harga diri. Sehingga dari hal tersebut akhirnya Suku
Tolaki menjadi salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara
di samping Suku Buton dan Suku Muna yang tersebar di Kab. Kendari dan Kab.
Kolaka, yang berada di Kab. Kolaka dan mendiami daerah Mowewe, Rate-rate
dan Lambuya sedangkan yang berada di Kab. Kendari mendiami daerah Asera,
Lasolo, Wawotobi, Abuki dan Tinanggea. Orang Tolaki pada mulanya
menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Mungkin yang dimaksud
“langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina. Dalam
dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti
“langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit” (Kusnan,
dkk., 2015).
2.2 Kearifan Lokal Suku Tolaki
Suku tolaki mempunyai beberapa kebudayaan/kearifan lokal yang sampai
saat ini masih dipertahankan antara lain, yaitu:
1. Kalo Sara
Secara harfiah, kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara
mengikat yang melingkar, dan pertemuan atau kegiatan bersama dengan pelaku

3
membentuk lingkaran. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada
juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih,
akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana, 1995).
Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) kalo, berupa lilitan tiga rotan yang
melingkar, (2) kain putih sebagai mengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu anyaman
dari daun palem berbentuk persegi empat (Misran Safar, wawancara 17 Juni 2016)
dalam (Amiruddin, dkk., 2017). Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak
memiliki arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu tatanan
dengan struktur sebagai wadah pengalas paling bawah berupa simoleuwa,
kemudian dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini
diletakkan kalo.

Gambar: kalo sara


Berdasarkan bahan pembuatan dan pemanfatannya, maka kalo banyak
jenisnya, tetapi dalam tulisan ini hanya membahas kalosara yaitu kalo yang
digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja, upacara
penyambutan tamu penting, upacara perdamaian atas suatu sengketa, alat bagi
sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu saran/pendapat kepada pejabat, alat
untuk menyampaikan undangan pesta keluarga. Kalosara ini dalam
pemanfaatannya dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun pelem, dan
kain putih sebagai alas (Amiruddin, dkk., 2017).

4
Konsep kalo dalam kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkup dan
maknanya. Kalo secara umum meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara
owoseno Tolaki atau sara mbu’uno Tolaki, yaitu adat pokok (Instrumen utama),
yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat Orang Tolaki yang berlaku
dalam semua aspek kehidupan mereka. Kalo sebagai adat pokok dapat
digolongkan ke dalam 5 cabang, yaitu: (1) sara wonua, yaitu adat pokok dalam
pemerintahan; (2) sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan
dan persatuan pada umumnya; (3) sara mbe’ombu, yaitu adat pokok dalam
aktivitas agama dan kepercayaan; (4) sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam
pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan; dan (5) sara
monda’u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat
pokok dalam berladang, berkebun, beternak, berburu, dan menangkap ikan
(Tarimana, 1995).
Kalo/Kalosara sebagai simbol yang selalu hadir dalam berbagai peristiwa
penting tidak dapat dihadirkan oleh orang-orang biasa dalam masyarakat. Di
dalam masyarakat suku Tolaki terdapat tokoh adat yang disebut sebagai Tolea dan
Pabitara. Tolea dan Pabitara ini merupakan juru penerang adat yang tugasnya
adalah menyampaikan suatu pemberitahuan kepada orang banyak. Mereka adalah
tokoh adat yang diangkat sebagai tokoh karena kepandaiannya dalam menjelaskan
sesuatu serta dianggap mampu berbicara dalam berbagai urusan-urusan penting
dalam kehidupan sehari-hari. Kedua tokoh adat inilah yang juga berhak untuk
membawa kalo/Kalosara serta berbicara atas nama hukum adat dengan
menggunakan kalo/Kalosara dalam berbagai urusan pada suku Tolaki (Kusnan,
dkk., 2015).

5
Ada empat fungsi kalosara, yaitu: (1) ide, (2) fokus dan pengintegrasian
unsur-unsur kebudyaan, (3) pedoman hidup, serta (4) pemersatu. Fungsi kalosara
sebagai media etnopedagogik merupakan praktek pendidikan berbasis kearifan
lokal dalam berbagai ranah seperti pengobatan, seni bela diri, lingkungan hidup,
pertanian, ekonomi, pemerintahan, dan sistem penanggalan. Melalui media
kalosara, maka pengetahuan, nilai, dan keterampilan berbasis sosial budaya Tolaki
dapat tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagai
pengembangan karakter positif. Berbagai pengetahuan, nilai, dan keterampilan
dapat ditransfer melalui etnopedagogi dengan memanfaatkan kalosara, yaitu:
Kohanu, budaya malu, merau, budaya yang mengajak orang untuk selalu
mengedepankan sikap sopan dan santun dalam pergaulan, samaturu, budaya yang
mengutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka menolong orang lain,
taa ehe tinua-tuay, merupakan ajakan untuk selalu merasa bangga karena menjadi
bagian dari masyarakat Tolaki, o’sapa, ketaatan/kepatuhan setiap orang/pemburu
mengambil bagian dari jerih payah yang tidak menyalahi ketentuan. O’wua
aturan/ketentuan hukum tata-cara bercocok tanam, merambah hutan, menanam
padi, o’lawi aturan dasar yang mengatur tentang tata cara pemberian upah,
imbalan jasa, pembagian kerja. O’liwi, pesan/wasiat, nasihat dan petunjuk hidup
yang ditinggalkan/diwasiatkan untuk diikuti oleh anak cucu (Amiruddin, dkk.,
2017).
2. Tarian Mondotambe

Tari Mondotambe atau disebut tari penjemputan merupakan tari untuk


menjemput para tamu yang hadir, atau berkunjung di Kabupaten Konawe. Tarian
ini merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan kepada para tamu dan

6
merupakan doa agar para tamu yang berkunjung ke daerah mendapatkan rahmat
dan keselamatan apabila kembali ke tempat tugasnya. Tarian Mondotambe di
bawakan oleh gadis-gadis remaja sebagai tanda penerimaan yang tulus, ikhlas dan
merasa gembira kepada para tamu. Jumlah penari terdiri dari 4, 6, 8, atau 12
orang, yang terpenting jumlah penari genap (Astin, dkk., 2019).
Tarian Mondotambe adalah tarian yang sangat khas dari suku Tolaki. Tari
ini adalah tari penjemputan yang biasa digunakan untuk menjemput tamu-tamu
istimewa seperti pada zaman dahulu tari ini digunakan untuk mengiring raja dan
para prajurit ke medan perang dan menjemput mereka kembali dari peperangan
yang membawa kemenangan. Tari ini juga digunakan untuk menjemput tari raja
yang akan berkunjung ke kerajaan Konawe. Tari Mondotambe tidak dapat
dilepaskan dari tradisi penyuguhan. Sebuah tari penyambutan bagi tamu-tamu
agung, sebuah adat istiadat lama yang masih ada sampai sekarang yang
dipersembahkan demi menghormati tamu, dapat kita ketahui bersama bahwa tari
penyambutan dari setiap daerah atau tempat mempunyai ciri khasnya masing-
masing (Astin, dkk., 2019).
Tari mondotambe diciptakan juga untuk mengangkat nilai-nilai luhur dari
adat istiadat suku Tolaki dalam memuliakan dan menghormati tamu yang datang
berkunjung ke kabupaten Konawe sebagaimana dalam falsafah hidup orang
Tolaki yaitu budaya Merou (paham sopan santun dan tata pergaulan) yang
merupakan sikap dan perilaku untuk selalu sopan santun, saling hormat
menghormati sesama manusia dan selalu bersikap terbuka menerima orang lain
yang datang berkunjung ke daerah Konawe. Tari ini juga merupakan bentuk
penghormatan dan penghargaan kepada para tamu dan juga sebagai tanda rasa
kesyukuran kepadaTuhan Yang Maha Esa, semoga yang datang berkunjung di
daerah Konawe mendapat rahmat dan keselamatan apabila kembali ke daerahnya
(Astin, dkk., 2019).
Fungsi tari Mondotambe selain untuk menyambut para prajurit yang baru
kembali dari medan perang, tari Mondotambe juga sebagai tari penyambutan
terhadap tamutamu Kerajaan Konawe di Unaaha, pembukaan suatu bangunan,
pembukaan suatu kegiatan yang diselenggarakan instansi pemerintah Kabupaten

7
Konawe maupun acara-acara ritual seperti perkawinan. Tari Mondotambe
ditarikan oleh gadis-gadis remaja dan dua orang pemuda sebagai pendamping.
Sekarang ini tari Mondotambe digunakan untuk menjemput tamu agung
atau pejabat pemerintah pusat yang datang berkunjung ke daerah Konawe dalam
berbagai acara seperti peresmian tempat umum, panen raya, pelantikan dll. Tari
Mondotambe juga kerap ditampilkan pada upacara adat perkawinan suku Tolaki
untuk menyambut pihak mempelai laki-laki. Tari Mondotambe ini tidak terikat
tempat dilaksanakan disesuaikan dengan kondisi yang ada dan penyambutan dapat
dilakukan di lapangan terbuka dan di dalam ruangan sebagai pembuka acara
(Astin, dkk., 2019).
3. Tari Lulo

Tradisi Tari Tarian Malulo (dari Bahasa Tolaki: Molulo), merupakan salah
satu jenis kesenian tari tradisional dari Daerah Sulawesi Tenggara. Suku Tolaki
sebagai salah satu Suku yang berada di Daerah ini khususnya di Desa Donggala
memiliki beberapa tarian tradisonal, salah satu tarian tradisional yang masi sering
dilaksanakan hingga saat ini adalah tarian persahabatan yang disebut Tarian Lulo
(Rosni, 2017).
Pada zaman dahulu, Tarian Lulo dilakukan pada upacara adat seperti:
pernikahan, pesta paneng raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat
musik pukul yaitu gong, tarian ini lakukan oleh pria, wanita, remaja dan anak-
anak yang saling berpegangan tangan, menari mengikuti irama gong sambil
membentuk sebuah lingkaran. Gong yang digunakan biasanya terdiri dari 2
macam yang berbeda ukuran dan jenis suara. Saat utama di daerah perkotaan,

8
gong sebagai alat musik pengiring Tarian Tari Lulo telah digantikan dengan alat
musik moderen yaitu “elekton” (Rosni, 2017).
Filosofi Tarian Lulo adalah tarian pesahabatan, yang biasa ditujukkan
kepada muda mudi suku Tolaki sebagai ajang perkenalan, mencari jodoh, dan
mempererat tali persaudaraan. Tarian ini dilakukan dengan posisi saling
bergandengan tangan dan membentuk sebuah lingkaran. Peserta tarian ini tidak
dibatasi oleh usia maupun golongan, siapa saja boleh turut serta dalam Tarian
Lulo, kaya maupun miskin, tua maupun muda bahkan jika anda bukan Suku
Tolaki atau dari negara lain bisa bergabung dari tarian ini, yang penting adalah
bisa mengikuti gerakan tarian ini (Rosni, 2017).
Tradisi Tari Lulo mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah
masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan
dalam menjalani kehidupannya. Seperti masyarakat Tolaki yang diungkapkan
dalam bentuk pepatah samaturu, modulu ronga mepokoaso, yang berarti
masyarakat tolaki dalam menjalani perannya masing-masing selalu bersatu,
bekerja sama, saling tolong menolong dan bantu membantu (Rosni, 2017).
4. mondonduri, mepuka, meboso, mearano, dan melupai
menurut Moita (2017) ada beberapa kearifan lokal yang masih biasanya
diakukan oleh masayarakat tolaki khususnya dalam pemanfaatan daerah pesisir,
antara lain:
 Mondoduri merupakan aktivitas memancing ikan dengan memanfaatkan
rawa, sungai, dan laut. Aktivitas ini biasa dilakukan secara individu maupun
kelompok-kelompok kecil dengan memanfaatkan waktu senggang atau libur
ketika rutinitas pekerjaan sedang rehat. Biasanya warga memancing ikan
pada sore hari atau hari Sabtu dan Minggu. aktivitas mondonduri ini telah
dimanfaatkan oleh sebagian warga dengan membuka jasa pemancingan
dengan sistem sewa perjam. Bahkan tak jarang di sejumlah spot-spot
pemancingan dilakukan lomba memancing dengan hadiah yang cukup
menggiurkan, termasuk dimaanfaakan oleh sejumlah pihak untuk
kepentingan sosial dan politik.

9
 Mepuka adalah aktivitas mencari ikan dengan menggunakan pukat atau
jaring yang biasanya dilakukan di rawa atau sungai sekitar pemukiman
penduduk. Saat ini aktivitas mepuka telah memanfaatkan kawasan perairan
laut dengan menggunakan pukat harimau, yang tidak hanya membinasakan
ikan-ikan kecil dan hasil laut lainnya, namun juga melanggar hukum yang
berdampak pada pemidanaan. Namun demikian, aktivitas mepuka dengan
menggunakan pukat harimau, bagi sebagian tokoh masyarakat (toono
motuo) adalah perbuatan tercela karena dapat menganggu atau mengurangi
ekosistem sungai dan laut seperti ikan-ikan kecil sehingga berdampak pada
persediaan ikan pada jangka panjang yang semakin berkurang.
 Meboso merupakan pola budidaya hasil laut dengan menampung pada suatu
wadah/tempat di sekitar rawa, laut, dan sungai. Tujuannya selain untuk
menampung hasil-hasil tangkapan agar memiliki ukuran yang lebih besar,
juga menjadi katup pengaman konsumsi penduduk di masa paceklik.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa aktivitas meboso dalam konteks
budidaya telah digunakan oleh sebagian penduduk untuk membangun kolam
besar sebagai sarana wisata perikanan dan aktivitas pemancingan. Aktivitas
meboso yang terbuat dari bahan bambu dan batang/daun rumbia (sagu)
masih tetap dipertahankan oleh sebagian masyarakat etnik Tolaki di tengah
modernisasi perikanan dengan sistem penampungan yang lebih canggih.
 Mearano adalah aktivitas penangkapan ikan dengan memanfaatkan rawa-
rawa buatan manusia dan di musim hujan air yang tergenang. Masyarakat
etnik Tolaki biasanya menggali lobang di sekitar lahan perladangan atau
area persawahan untuk menampung air hujan. Air hujan selain berfungsi
untuk mengairi sawah dan tanaman pertanian lainnya, juga digunakan untuk
menampung ikan yang dipanen ketika musim paceklik tiba. Aktivitas
mearano ini banyak dilakukan oleh kaum perempuan dengan mengundang
rekan-rekannya dengan sistem bagi hasil kepada pemiliknya. Aktivitas ini
mengelaborasi nilai kearifan lokal dalam konteks medulu/mepokoaso
(berkumpul atau bersatu) bagi kaum perempuan, termasuk menjadi wahana

10
bagi mereka untuk mengkomunikasikan aktivitas kekeluargaan dan
masalah-masalah perempuan dalam spektrum yang lebih luas.
 Melupai, merupakan tradisi atau kebiasaan turun temurun dengan
memanfaatkan air sungai mengalir atau rawa ukuran besar guna meracuni
ikan dengan menggunakan tuba dari akar-akar pohon yang mengandung
racun. Aktivitas ini marak sekitar tahun 70-an hingga 90-an dan biasanya
dijadikan wahana pertemuan saudara atau para kerabat sambil bergembira
dan bercengkrama mencari/mengambil ikan. Namun seiring dengan
pelarangan dan penegakan hukum yang cukup ketat, aktivitas molupai ini
sudah jarang dilakukan terutama kawasan-kawasan aliran sungai yang
berhubungan langsung dengan kawasan irigasi penduduk.

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimnpulan
Suku tolaki adalah salah satu suku pribumi yang berasal dari sulawesi
tenggara selain suku muna, buton, moronene, kabaena dan yang lainnya. Secara
geografis suku Tolaki mendiami wilayah daratan Sulawesi bagian Tenggara, yang
mendiami beberapa daerah kabupaten yaitu Kabupaten Konawe, Kota Kendari,
Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur.
Beberapa daerah kabupaten tersebut berada di daerah daratan Sulawesi bagian
Tenggara. Suku tolaki memiliki banyak kearifan lokal sedikit diantaranya yaitu,
kalo sara, tradisi tari mondotambe, tradisi tari lulo, mondonduri, mepuka, meboso,
mearano, dan melupai.
3.2 Saran
Saran yang bisa saya sampaikan yaitu, dengan berkembangnya zaman jangan
sampai membuat kita lupa dengan tradisi suku yang merupakan budaya kita di
mana indonesia dikenal akan kearifan lokal, adat-istiadat, atau budayanya yang
kental yang merupakan identitas bangsa kita.

12
DAFTAR PUSTAKA
Ade, Verawati., Idrus Affandi. 2016. Implementasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Dalam Mengembangkan Keterampilan Kewarganegaraan (Studi Deskriptif
Analitik Pada Masyarakat Talang Mamak Kec. Rakit Kulim, Kab. Indragiri
Hulu Provinsi Riau). Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. Vol. 25, No. 1, Edisi
Juni 2016.
Amiruddin., ketut suardika., anwar. 2017. Kalosara di Kalangan Masyarakat
Tolaki di Sulawesi Tenggara. Jurnal Seni Budaya. Volume 32, Nomor 1, Mei
2017.
Astin., La Aso2., Irianto Ibrahim. 2019. Makna Simbolis Gerakan Tari
Mondotambe Studi Kasus Sanggar Ana Sepu Kabupaten Konawe. Jurnal.
Jurnal Pembelajaran Seni & Budaya Vol. 4 No. 1 2019, E-Issn: 2502-4191.
Banda, Maria Matildis. 2015. Upaya Kearifan Lokal. Jurnal. Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Udayana E-Mail: Mbanda574@Gmail.Com.
Kusnan., Leika kalangi., Golda J. Tulung. 2015. Ungkapan Bermakna Budaya
dalam Adat Perkawinan Suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Jurnal. Kajian
Linguistik, Tahun II, No.3.
Moita, Sulsalman. 2017. Kearifan Lokal Masyarakat Etnis Tolaki Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Di Kecamatan Lalonggasumeeto
Kabupaten Konawe Provinsi Sultra. Jurnal. E-Issn 2527-5879 P-Issn 2527-
5879.
Prayogi, Ryan., Endang Danial. 2016. Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Pada Suku
Bonai Sebagai Civic Culture Di Kecamatan Bonai Darussalam Kabupaten
Rokan Hulu Provinsi Riau. Jurnal. Humanika Vol. 23 No. 1 (2016) Issn
1412-9418.
Rosni. 2017. TRADISI TARI LULO DALAM PERSPEKTIF DAKWAH (Studi Kasus di Desa
Donggala Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara).
Skripsi. Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Uin Alauddin Makassar.
Tarimana, Abdurrauf. (1995). Kebudayaan Tolaki. Balai Pustaka. Jakarta.

iii

Anda mungkin juga menyukai