Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“KARAWO DAN MOLONTHALO


MERUPAKAN CIRI KHAS DAERAH
GORONTALO”

DI SUSUN

OLEH

OLIVIA S. RUMOPA (931419064)

FAKULTAS EKONOMI

PRODI SI-MANAJEMEN

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan
karuniaNya yang diberikan kepada kita semua sebagai umatnya. Kami dapat menyusun
makalah dengan judul “KARAWO DAN MOLONTHALO MERUPAKAN CIRI KHAS
DAERAH GORONTALO” untuk memenuhi mata kuliah Wawasan Budaya
Makalah yang disusun untuk mempelajari lebih detail mengenai apa itu budaya
Gorontalo. Kami berharap informasi yang kami dapatkan tidak hanya untuk kami melainkan
untuk para pembaca sebagai ilmu untuk menambah wawasan .
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih ,semoga makalah ini dapat
memberikan kontribusi positif dan memberikan manfaat dalam hidup kita nantinya. Sangat
disadari bahwa, makalah yang kami buat masih jauh dari sempurna . Oleh sebab itulah tidak
ada salahnya saya mengharapkan berbagai kritik dan saran yang membangun untuk lebih
baik kedepannya.

Gorontalo, 18 Februari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan dan Manfaat ....................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

2.1 Pengertian Karawo ........................................................................................................ 5

2.2 Sejarah Karawo.............................................................................................................. 5

2.3 Jenis-jenis Karawo ......................................................................................................... 6

2.4 Cara Pembuatan Karawo .............................................................................................. 7

2.5 Pengertian Molonthalo.................................................................................................... 7

2.6 Proses Tradisi Molonthalo ............................................................................................... 8

2.7 Makan Dalam Tradisi Molonthalo ................................................................................10

BAB III PENUTUP ............................................................................................................. 11

Kesimpulan dan saran .......................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA

1 2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gorontalo adalah suatu provinsi ke 32 di Indonesia yang diresmikan pada tanggal 5


Desember 2000. Gorontalo adalah kota yang mempunyai adat istiadat yang masih sangat
kental sampai dengan saat ini, karena sesuai dengan adat dari Gorontalo yaitu“Adat
bersendikan sara, sara bersendikan kitabullah”. Adat istiadat daerah terdapat unsur-unsur
budaya dan pada intinya berisi system ekonomi (pencaharian), system teknologi
(perlengkapan), sistem kemasyarakatan, dan sistem religi (kepercayaan) di dalam
masyarakat.
Secara filosofis, kultur keberagamaan masyarakat di Kota Gorontalo mengakui
eksistensinya sebagai serambi Madinah. Adapun istilah “Adat Bersendikan Syara’, Syara’
Bersendikan Kitabullah”pada dasarnya tumbuh dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam proses pergulatan antara agama dengan budaya yang terjadi hampir di seluruh
wilayah nusantara dalam proses islamisasi secara struktural (top down)10. Begitu pula di
Gorontalo, dalam bahasa daerahnya, istilah tersebut yaitu “adati hula-hulaa to saraa, saraa
hula-hulaa to Qur’ani”. 11 Istilah ini hadir seiring dengan perkembangan islamisasi yang
tidak ingin membenturkan antara adat dengan ajaran Islam secara frontal.
Adapun adat istiadat dan budaya yang dapat mencerminkan ciri khas Gorontalo yaitu
Molonthalo dan salah satu kerajinan tangan yaitu Karawo. Gorontalo mempunyai salah
satu kerajinan asli dari Gorontalo yaitu kerajinan tangan kerawang atau biasa di sebut
karawo yang merupakan sebuah budaya yang ada sampai saat ini dan menjadikan karawo
menjadi ciri khas tersendir sedangkan realitas budaya pada masyarakat Gorontalo yang
mengekspresikan rasa syukur atas kehamilan yang sementara berjalan kurang lebih tujuh
atau delapan bulan dan dikenal dengan istilah molonthalo.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Karawo?
2. Bagaimana sejarah Karawo?
3. Apa saja jenis-jenis karawo?
4. Bagaimana cara pembuatan Karawo?
5. Apa pengertian molonthalo?
6. Bagaimana proses tradisi Molonthalo?
7. Apa saja makna dalam tradisi Molonthalo?

1.3 Manfaat
1. Untuk mengetahui pengertian Karawo
1 3
2. Untuk mengetahui sejarah Karawo
3. Untuk mengetahui Jenis-jenis karawo
4. Untuk mengetahui bagaimana pembuatan karawo
5. Untuk mengetahui apa pengertian molonthalo
6. Untuk mengetahui makna dalam tradisimolonthalo

1 4
BAB II
PEMBAHASN

2.1 Pengertian Karawo


Karawo adalah kain tradisional khas Gorontalo yang pembuatannya merupakan hasil
kerajinan tangan. Tak ada kain karawo yang bukan hasil kerajinan
tangan. Karawo merupakan Bahasa Gorontalo yang artinya sulaman dengan tangan
Orang-orang di luar Gorontalo mengenalnya dengan sebutan Kerawang.
Karawo dapat di definisikan sebagai Sebuah produk seni budaya khas Gorontalo yang
memiliki nilai seni sangat tinggi karena dibuat melalui proses penyulaman manual yang
sangat rumit dengan motif yang bervariasi tidak heran jika karawo ini menjadi kerajinan
tanggan andalan di daerah Gorontalo.
Karawo lahir dari proses panjang yang merupakan buah dari ketekunan para perajin.
Seni membuat Kerawang atau Karawo disebut “Makarawo”. Seni ini telah diturunkan dari
generasi ke generasi sejak masa Kerajaan Gorontalo masih berjaya. Keindahan motif,
keunikan cara pengerjaan, dan kualitas yang bagus membuat Kerawang atau Karawo
bernilai sangat tinggi. Maka tak mengherankan jika keunikan dan kualitas tersebut
diminati oleh banyak kalangan, baik dari dalam maupun luar negeri. Produksi Kain
Kerawang atau Karawo sempat mati suri. Tak banyak perajin yang menekuni dunia ini
karena kerumitan yang menyita banyak energi, waktu, dan ketekunan. Oleh karena itu,
pemerintah melakukan berbagai cara untuk membuat kerajinan ini dapat terus lestari dan
semakin populer, baik di dalam maupun luar negeri.
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah adalah mengadakan Festival Karawo yang
telah digelar untuk pertama kalinya pada 17-18 Desember 2011 silam. Festival yang akan
terus digelar setahun sekali ini bertujuan untuk menarik minat masyarakat dalam
mengenakan produk Karawo sekaligus menguatkan ekonomi melalui pengembangan
budaya daerah.

2.2 Sejarah Karawo


Tradisi mokarawo atau membuat sulaman adalah sepenggal sejarah yang pernah
diselamatkan kaum perempuan Gorontalo. Dulu Belandaberupaya menghilangkan
berbagai tradisi dan identitas lokal. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1600-an, jauh
sebelum Belanda berkuasa di wilayah ini tahun 1889.Saat Belanda masuk ke wilayah ini
ada dua peristiwa penting yang mewarnai sejarah Gorontalo. Pertama, banyaknya warga
masuk dan menetap di hutan dan wilayah terpencil karena enggan membayar pajak kepada
Pemerintah Belanda. Keturunan orang-orang ini hingga kini masih berdiam di hutan dan
wilayah terpencil, yang oleh warga Gorontalo dikenal dengan sebutan Polahi. Kedua,
upaya penghapusan segala bentuk tradisi, adat, dan hal-hal terkait berkesenian atau
kebudayaan yang ada pada masyarakat Gorontalo. Saat itu Belanda melihat kekuatan
orang Gorontalo terletak pada adat, budaya, dan tradisi. Karena itu, dilaranglah berbagai
aktivitas yang terkait dengan adat dan tradisi. Hengkangnya Belanda tidak serta-merta
membuat karawo keluar dari ”persembunyian”. Situasi saat itu dan trauma membuat tradisi
mokarawo tetap dilakukan di dalam ruang tersembunyi. Karawo mulai kembali muncul
sekitar akhir tahun 1960-an, tapi belum merupakan produk yang dijual secara bebas seperti
barang lain. Saat itu jika ada yang berminat pada karawo, mereka akan datang langsung
ke penyulam dan memesan. Karawo kerap dibayar menggunakan uang, kerap pula dibarter
dengan barang kebutuhan lain. PptPernah diselamatkan dari ancaman kepunahan saat
agresi Belanda dan mengalami masa jaya, kini karawo kembali berada di bawah bayang-
bayang kepunahan. Penyebabnya adalah kurangnya generasi muda yang berminat
memakai karawo sebagai pakaian, apalagi sebagai penyulam. Saat ini karawo umumnya
dilakukan ibu rumah tangga yang menyebar di sejumlah wilayah di Gorontalo. Tercatat
saat ini ada sekitar 10.000 ibu rumah tangga yang masih menekuni karawo

2.3 Cara Pembuatan Karawo

Penyulaman Kain Karawo

Tahapan pengerjaan sulaman karawo terdiri atas tiga tahap, yaitu iris-cabut, menyulam, dan proses
finishing. Dalam proses iris-cabut benang ini batas dan luas bidang yang akan dibentuk berdasarkan
pola yang sudah ditentukan. Ketajaman dan kecermatan menghitung benang-benang yang akan diiris
dan dicabut sangat menentukan kehalusan sulaman. Tahapan menyulam dilakukan dengan cara
menelusurkan benang mengikuti arah jalur benang.
Selanjutnya tahapan finishing dengan cara melilit jalur-jalur benang dengan satu kali lilitan. Hal itu
dimaksudkan untuk memperkuat jalur benang yang tidak disulam sehingga hasil akhir sulaman terlihat
rapi dan kokoh. Dibutuhkan waktu 10 hari untuk mengerjakan satu produk sulaman dengan motif besar.

2.4 Jenis – Jenis Karawo

Ada dua jenis karawo yaitu karawo manila dan karawo ikat. Karawo manila dibuat dengan teknik
mengisi benang sulam secara berulang sesuai dengan motif yang sudah ada. Adapun karawo ikat
dilakukan dengan cara mengikat bagian-bagian bahan yang telah diiris dan dicabut serat benangnya
mengikuti motif yang telah dibuat.
Kedua teknik ini sama-sama melalui tiga tahapan, yaitu iris-cabut, menyelam, dan proses finishing.
Butuh waktu 10 hari bahkan sebulan untuk membuat satu produk sulaman dengan motif besar.

2.5 Pengertian Molonthalo

Dalam buku yang disusun oleh Farha Daulima (dkk.), disebutkan bahwa molonthalo
atau raba puru bagi sang istri yang hamil 7 bulan anak pertama, merupakan pra-acara adat
dalam rangka peristiwa adat kelahiran dan keremajaan, yang telah baku pada masyarakat
Gorontalo. Hakekat dari acara ini antara lain adalah: 1) pernyataan dari keluarga pihak
suami bahwa kehamilan pertama, adalah harapan yang terpenuhi akan kelanjutan turunan
dari perkawinan yang sah; 2) merupakan maklumat kepada pihak keluarga kedua belah
pihak bahwa sang istri benar-benar suci, dan merupakan dorongan bagi gadis-gadis lainnya
untuk menjaga diri dan kehormatannya; 3) pernyataan syukur atas nikmat Tuhan yang
telah diberikan kepada sepasang suami-istri melalui ngadi salawati (doa shalawat), agar
kelahiran sang bayi memperoleh kemudahan; 4) pemantapan kehidupan sepasang suami
istri menyambut sang bayi, sebagai penerus keturunan mereka dan persiapan fisik dan
mental menjadi ayah dan ibu yang baik dengan memelihara kelangsungan rumah tangga
yang dilambangkan dengan makan saling suap menyuapi.

Sejalan dengan itu, mengutip pendapat M. Quraish Shihab, syukur adalah menampakkan
nikmat, yaitu menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh
pemberinya, serta menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah.13 Oleh karena
itu, pada dasarnya syukur mencakup tiga sisi, yakni: pertama, syukur dengan hati, yaitu
kepuasan batin atas nikmat. Kedua, syukur dengan lidah, yaitu dengan mengakui nikmat
dan memuji pemberinya. Sedangkan sisi ketiga, syukur dengan perbuatan, yaitu dengan
memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.Dari
proses yang dilakukan, upacara molonthalo jugamerupakan manifestasi rasa syukur kedua
orangtua kepada Allah dengan hadirnya anak yang dikandung oleh sang ibu. Dalam
pelaksanaannya, ditanamkan nilai-nilai tauhid kepada sang bayi sedini mugkin agar
nantinya bayi ini menjadi manusia yang bertauhid. Selain dari itu, molonthalo juga
mengandung nilai pengajaran terutama bagi orang tua, keluarga, lingkungan, dan
masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, juga sebagai media informasi bagi masyarakat
yang hadir dalam pelaksanaan upacara molonthalo bahwasanya ibu yang sedang di-
lonthalo benar-benar hamil setelah pernikahan.

2.6 Prosesi Tradisi Molonthalo


Persoalan kehamilan adalah persoalan hidup dan mati, sehingga berbagai macam cara
yang dilakukan oleh masyarakat untuk meringankan dan memudahkan pada saat
persalinan. Khususnya di daerah Gorontalo, pada umur kehamilan 7-8 bulan diadakan
upacara Molonthalo sebagai doa selamat agar dalam persalinan nanti dimudahkan oleh
Allah swt. Mustakimah (2014) melalui tulisan berjudul Akulturasi Islam dengan Budaya
Lokal dalam Tradisi Molonthalo di Gorontalo, menjelaskan prosesi dari
Tradisi Molonthalo di Gorontalo sebagai berikut:
1. Pelaksana
Upacara dilakukan oleh kerabat pihak suami dengan bidan. Hulango atau bidan
kampung harus memenuhi beberapa persyaratan: (1) beragama Islam; (2) mengetahui
seluk beluk usia kandungan; (3) mengetahui urutan upacara adat molonthalo; (4)
mengetahui lafal-lafal yang telah diturunkan oleh leluhur dalam pelaksanaan acara
tersebut, dan; (5) diakui oleh kelompok masyarakat sebagai bidan kampung. Selain
itu juga disertai oleh imam atau hatibi. Yaitu orang yang ditokohkan sebagai
pelaksana keagamaan yang mampu dan mahir lafal doa salawat (mo’odelo).
Kemudian diikuti oleh dua orang anak perempuan usia 7-9 tahun yang lengkap
dengan orang tuanya (payu lo liinutii). Selain itu juga disertai dua orang ibu.
2. Persiapan
Hulante yang berbentuk seperangkat bahan di atas baki, terdiri dari beras dua cupak
atau tiga liter. Di atasnya terletak tujuh buah pala, tujuh buah cengkeh, tujuh buah
telur, tujuh buah limututu (lemon sowanggi), tujuh buah mata uang yang bemilai Rp.
100.-
3. Pelaksanaan
Molone’o adalah mengetahui keadaan perut sapi ibu yang hamil tentang usia bayinya,
yang dihitung dari berhentinya haid (tiloyonga) atau sampai pada satu bulan. Caranya
adalah dengan mengurut perut sang ibu dengan jari tengah pada kedua tangan terbuka.
Peristiwa ini ditandai dengan mongadi mtlawati. Pelaksanannya adalah pada hari
Jumat, yang disahkan oleh hatibi atau yang ditokohkan. Modu’oto adalah mengetahui
umur bayi, yang dihitung dari saat molonc’o, yaitu berusia tiga bulan. Caranya adalah
dengan mengurut perut sang ibu dengan tapak tangan pada sisi-sisi perut. Peristiwa
ini ditandai dengan mongadi anlnwati, pada hari Jumat pagi sebelum embun
menguap, dengan pertimbangan pada saat itu perut sang ibu masih lembut untuk
diurut, agar jabang bayi tetap pada posisi yang sebenarnya. Pertama-
tama, Hulango menyiapkan bahan-bahan atau atribut adat sebagaimana yang telah
diuraikan pada persiapan. Kemudian memberikan tanda (bontho) dengan alawahu
tilihi pada dahi, leher, bagian bawah tenggorokan, bahu, lekukan tangan dan bagian
atas telapak kaki, bawah lutut. Hal itu bermakna bahwa sang ibu akan meninggalkan
sifat-sifai inazmumnh (tercela) dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya
nanti. Tanda di dahi adalah sebagai pernyataan untuk tidak menyembah selain
Allah swt.Adapun tanda di leher merupakan pernyataan untuk tidak memakan
makanan yang haram. Tanda di bahu, lekukan tangan, bagian kaki, bagian bawah
lutut sebagai pernyataan diri untuk bertanggungjawab atas amanat Allah SWT

2.7 Makna Dalam Tradisi Molonthalo


Tradisi Molonthalo merupakan adat atau kebiasaan yang sering dilakukan oleh
masyarakat Gorontalo. Dalam pelaksanaannya, masyarakat Gorontalo menggunakan
simbol-simbol kebudayaan yang memiliki makna dan arti khusus yang diyakini oleh
masyarakatnya.Dalam prosesi pelaksanaan adat Molondhalo ini sebenarnya terkandung
makna kebersamaan yang sangatlah besar. Prosesi adat molonthalo yang sering kita
saksikan ini merupakan wujud sebuah persatuan dalam kebersamaan antara pihak
perempuan dan pihak laki-laki.Yakni dalam proses pernikahan, kedua keluarga akan lebih
dipersatukan dengan adanya kerja sama didalamnya, terutama dalam hal prosesinya dan
persiapannya.Lebih dari itu, bukan hanya kedua keluarga saja yang akan dipersatukan
dalam prosesinya tetapi juga masyarakat lingkungan sekitar. Hal ini terlihat dalam
pelaksanaannya tetangga sekitaran rumah juga ikut andil dalam pelaksanaan ini, saling
membantu dalam persiapannya, ikut bahagia dan juga ikut mendoakan.Lalu, ada makna
keselamatan dalam pelaksanaan adat ini dikaitakan dengan keselamatan sang jabang bayi
dan ibunya yang harus dijaga keselamatannya. Sebab pada dasarnya, kehamilan pertama
dalam rumah tangga itu memang sangatlah rawan dengan kejadian-kejadian yang tidak
diinginkan untuk bayinya terutama dalam gangguan setan. Kemudian untuk ibunya pun
hal yang sama diinginkan untuk keselamatannya.
Kehamilan pertama itu semua belum pernah merasakan. Semuanya masih merupakan
hal yang baru terjadi dari sejak ngidam, masa-masa kehamilan, hingga pada masa
kelahiran. Oleh karenanya, permohonan keselamatan ini penting untuk dilaksanakan.
Dalam prosesi pelaksanaan dan sakralnya tradisi adat Molonthalo ini terlihat makna yang
terkandung dalam pelaksanaan prosesinya. Kalau diperhatikan dengan saksama dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, mungkin manfaatnya sangatlah besar. Namun
dalam prakteknya, kini hanya sebagian kecil masyarakat saja yang paham dan mengikuti
prosesi ini dengan baik serta menerapkannya dalam kehidupan. Padahal, adat itu
merupakan sesuatu hukum yang tidak tersurat tetapi tersirat dan wajib untuk diterapkan
bagi masyarakat yang mempercayainya.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan dan saran

1. Kesimpulan

Karawo adalah kain tradisional khas Gorontalo yang pembuatannya merupakan hasil kerajinan
tangan. Tak ada kain karawo yang bukan hasil kerajinan tangan. Karawo merupakan Bahasa
Gorontalo yang artinya sulaman dengan tangan Orang-orang di luar Gorontalo mengenalnya dengan
sebutan Kerawang. Adapun jenis karawo terbagi atas 2 yaitu karawo manila dan karawo ikat. Karawo
manila dibuat dengan teknik mengisi benang sulam secara berulang sesuai dengan motif yang sudah
ada. Adapun karawo ikat dilakukan dengan cara mengikat bagian-bagian bahan yang telah diiris dan
dicabut serat benangnya mengikuti motif yang telah dibuat.
Dalam buku yang disusun oleh Farha Daulima (dkk.), disebutkan bahwa molonthalo atau raba
puru bagi sang istri yang hamil 7 bulan anak pertama, merupakan pra-acara adat dalam rangka peristiwa
adat kelahiran dan keremajaan, yang telah baku pada masyarakat Gorontalo. Adapun prosesi adat
molonthalo terbagi atas 3 yaitu Pelaksanaan Pertama, Persiapan dan Pelaksanaan Ke 2

2. Saran
Agar adat istiadat dan budaya Gorontalo tidak akan hilang atau punah mari kita
melestarikannya dan juga mengenal lebih dalam budaya kita
DAFTAR PUSTAKA

Labdajiwa. 2020 “ Karawo”, https://id.m.wikipedia.org/wiki/Karawo, diakses pada 20


Februari 2021 09.30

Fitinline. 2019 “ Sejarah, Perkembangan dan proses pembuatan sulaman karawo khas
Gorontalo” https://fitinline.com/article/read/sejarah-perkembangan-dan-proses-
pembuatan-sulaman-karawo-khas-gorontalo/, diakses pada 20 Februari 2021
09.15

Febi Anggono Suryo. 2020 “Mengenal MolonthaloMolonthalo, Tradisi Kehamilan di


Gorontalo” http://ruangnegeri.com/mengenal-molonthalo-tradisi-kehamilan-di-
gorontalo/, diakses pada 20 Februari 2020 10.15

Anda mungkin juga menyukai