Anda di halaman 1dari 22

KEARIFAN LOKAL SUKU MADURA

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pembelajaran Lintas Budaya
yang diampu oleh
Dr. Mohamad Jazeri, M.Pd

Disusun oleh:
1. Isa Asmaul K. (12210173057)
2. Vilawita Peti Elice (12210173118)
3. Basma Yiming (12210173127)
4. Wakhidatul Ilmia (12210173138)

5-A
Tadris Bahasa Indonesia
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
NOVEMBER 2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga makalah dengan judul Pembelajaran Lintas Budaya ini
dapat disusun dengan sebaik-baiknya.
Adapun tujuan dari disusunnya makalah ini, antara lain adalah:
pertama, untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah
Pembelajaran Lintas Budaya yang diampu oleh Dosen Dr. Mohamad Jazeri,
M.Pd. Kedua, yakni untuk mengembangkan wawasan melalui tulisan sehingga
dapat dibaca dan dikembangkan oleh rekan mahasiswa lainnya.
Sangat disadari bahwa karya tulis ini masih belum menyampaikan
materi secara tuntas. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat
diharapkan dari pembaca sekalian. Pada akhirnya, penyusun berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaan.

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Table of Contents
BAB I ........................................................................................................................4

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 4

C. Tujuan Pembahasan Masalah ............................................................................... 5

BAB II .......................................................................................................................6

A. Kearifan Lokal “Carok” pada Masyarakat Madura ........... Error! Bookmark not
defined.

B. Kearifan Lokal “Karapan Sapi” pada Masyarakat Madura ...................................... 10

C. Konsep Penggunaan Bahasa Madura............................................................................... 13

D. Kearifan Lokal “Pakaian Adat”pada Masyarakat Madura ....................................... 18

BAB III .................................................................................................................... 21

A. Simpulan .............................................................................................................. 21

DAFTAR RUJUKAN ................................................................................................. 22

Referensi................................................................................................................ 22

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepkan sebagai
kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local
knowledge), atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan budaya
lokal juga dapat dimaknai sebagai sebuah pemikiran tentang hidup.
Pemikiran tersebut dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan membuat
hal positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi,
perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk
kemuliaan manusia. Penguasaan atas kearifan budaya lokal akan
mengusung untuk berbudi luhur.
Rahyono (dalam Wahyuningsih, 2014:173) berpendapat bahwa
kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok
etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakatnya. Artinya,
kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman
mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut
akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui
perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.
Pada makalah ini, penyusun memfokuskan pembahasan mengenai kearifan
lokal Madura—salah satu wilayah di sebelah timur laut Jawa Timur yang
didiami oleh masyarakat dari pulau Madura dan pulau-pulau kecil di
sekitarnya—yang meliputi, a) tradisi carok sebagai jalan terakhir yang
ditempuh oleh Masyarakat Madura dalam menyelesaikan suatu masalah, b)
kesenian kerapan sapi, c) bahasa, dan d) pakaian adat Madura.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep kearifan lokal “carok” pada masyarakat Madura?
2. Bagaimanakah konsep kearifan lokal “karapan sapi” pada masyarakat
Madura?
3. Bagaimanakah konsep penggunaan bahasa Madura?
4. Bagaimanakah konsep kearifan lokal“pakaian adat” pada masyarakat
Madura?

4
C. Tujuan Pembahasan Masalah
1. Mendeskripsikan konsep kearifan lokal “carok” pada masyarakat
Madura.
2. Mendeskripsikan konsep kearifan lokal “karapan sapi” pada
masyarakat Madura.
3. Mendeskripsikan konsep penggunaan bahasa Madura.
4. Mendeskripsikan konsep kearifan lokal “pakaian adat” pada
masyarakat Madura.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kearifan Lokal “Carok” pada Masyarakat Madura


Carok sebagai bagian dari etnografi Madura yang dulunya
berlangsung tidak dengan seketika atau spontan. Tetapi, terdapat proses-
proses elegan yang mengiringi proses keberlangsungannya. Carok sebagai
solusi problematik lazim dijadikan jalan efektif, ketika harga diri orang
Madura dilecehkan. Namun demikian, terdapat upaya melakukan
rekonsiliasi terlebih dahulu sebelum terjadi carok. Ketika carok terjadi,
tetap terdapat aturan main yang melingkupinya, yaitu pelaku carok harus
membunuh lawannya dari depan dan tidak menyergap dari arah belakang
[ta’ nyelèp] dan ketika lawan tersungkur, maka posisi mayat menentukan
proses kelanjutannya. Jika mayat terlentang, posisi tersebut dimaknai
sebagai bentuk ketidakterimaan mayat terhadap kondisinya, maka
keluarganya dipandang berhak melakukan balas dendam. Tetapi, jika
posisi meninggalnya tertelungkup menghadap tanah, maka balas dendam
menjadi tabu untuk dijalankan oleh keluarga yang menjadi korban carok.
Ada yang menyatakan bahwa carok merupakan akronim dari
ungkapan maskè kanca èlorok, yang artinya walau teman diserang. Carok
merupakan ajaran leluhur yang penuh kearifan. Namun, dengan menarik
kesimpulan dari hukum sebab akibat yang diplesetkan oleh orang luar,
carok menjadi istilah yang menakutkan sekaligus dijadikan bukti bahwa
orang Madura kasar, bengis dan kejam. Bahkan, kaum muda Madura
khususnya mereka yang berada di luar Madura merasa bangga dengan
carok tersebut bukan karena kandungan kearifan di dalamnya, melainkan
karena menganggapnya sebagai sifat keberanian orang Madura. Inilah
anggapan yang keliru dalam membaca budaya, karena sikap tersebut
menguatkan stigma buruk bagi orang Madura (Edi, 2007:100).
Selain itu, media massa juga bernafsu bila memberitakan peristiwa
carok. Bahkan, dengan bumbu clurit (senjata khas Madura yang digunakan
untuk carok), perkelahian yang diberitakan tersebut akan menjadi tampak

6
lebih nyata dan meyakinkan bahwa orang Madura memiliki sifat keras dan
suka kekerasan. Lebih-lebih lagi, carok telah digunakan sebagai nama
untuk menyebut setiap perkelahian yang dilakukan oleh orang Madura
dan clurit merupakan kata lain untuk menyebut simbol kekerasan orang
Madura. Namun sebenarnya apakah carok tersebut?
Bagi Madura tidak semua perkelahian yang dilakukan oleh orang
Madura dinamakan carok. Carok hanya terjadi karena satu sebab yang
dinamakan ghâbângan. Dengan demikian, perkelahian yang tidak
disebabkan oleh ghâbângan tersebut merupakan perkelahian biasa yang
lazim terjadi di banyak tempat dan dilakukan oleh setiap bangsa manapun
di dunia ini, termasuk di Madura. Sebenarnya, yang dinamakan ghâbângan
adalah atap dari tempat tidur tradisional Madura. Namun kemudian,
istilah tersebut berubah makna menjadi sebutan untuk tempat tidur itu
sendiri dan akhirnya diidentikkan dengan perempuan. Dengan demikian,
Carok berkait erat dengan masalah perempuan. Gangguan terhadap
ghâbângan merupakan gangguan yang sangat sensitif, sebab segala
pembicaraan dan perilaku yang paling rahasia dalam keluarga Madura
selalu lebih banyak dilakukan di bawah ghâbângan. Karena sebab itu pula,
masalah perempuan merupakan masalah ghâbângan. Bahkan, siapapun
yang melecehkan ghâbângan, maskè kanca èlorok (walau teman diserang).
Dari ungkapan inilah, muncul kèrata bhâsa (akronim) carok. Kata rok
sendiri berasal dari kata Sanskerta yang bermakna perkelahian. Dengan
kata lain, siapapun yang mengganggu perempuan milik orang lain akan
terjadi carok. Jadi apabila kita perhatikan dengan baik, maka kata carok
tersebut merupakan suatu peringatan kepada setiap orang dalam
masyarakat orang Madura, yaitu: janganlah sekali-kali mengganggu
ghâbângan milik orang. Kalau peringatan ini dilanggar, walau pengganggu
tersebut teman sendiri, pasti akan diserang. Karena itu, apabila sudah
memahami makna kata carok tersebut, pasti tidak akan pernah terjadi
pelanggaran- pelanggaran susila, khususnya terhadap ghâbângan. Dengan
peringatan keras seperti carok tersebut, dalam waktu relatif lama Madura
terhindar dari masalah kumpul kebo, sebab hal tersebut termasuk masalah

7
ghâbângan. Kalaupun dilakukan oleh orang Madura, tetapi tidak mungkin
hal tersebut dilakukan di Madura. Namun, walaupun peringatan keras
lewat maskè kanca èlorok tersebut, tidak berarti di Madura tidak ada
pelanggaran ghâbângan. Sesekali muncul perkelahian yang berindikasikan
carok. Itu pula kemudian kata carok menjadi nama setiap perkelahian
yang disebabkan oleh ghâbângan. Bahkan untuk memberi kesan halus,
carok dikatakan aghâjâ' (bergurau). Namun akhirnya, orang luar
menyebut carok sebagai penyelesaian konflik dengan kekerasan. Carok
dilakukan dengan atau tidak menggunakan senjata. Bila menggunakan
senjata biasanya selalu mendatangkan korban. Carok juga bisa dilakukan
satu lawan satu, tetapi bisa juga dilakukan secara massal. Bila carok telah
berlangsung secara massal, persoalannya menjadi rumit. Sebab masing-
masing pelaku carok (mereka yang mengganggu dan yang terganggu)
sama-sama mengatasnamakan demi harga diri. Bahkan di lain tempat, ada
yang berlebihan dalam menempatkan carok, seperti dalam ungkapan
Orèng lake‘ matè acarok orèng binè’ matè arèmbi’ (Laki-laki mati karena
carok, perempuan mati karena melahirkan) dan “Mon lo’ bângal acarok jâ’
ngako orèng Madhurâ. (Kalau tidak berani melakukan carok, jangan
mengaku orang Madura).
Masih dari sumber penulis, bahwa pada masa lalu, carok bisa
dilakukan secara massal. Artinya, setiap keluarga/famili pelaku carok akan
terlibat, termasuk ternak-ternak dan tanaman mereka menjadi tumpahan
amarah. Semuanya akan terbabat habis, sehingga setelah carok massal
tersebut berakhir, suasana terasa seperti baru selesai pertempuran yang
dahsyat. Hal ini terakhir kali terjadi di desa Tebul Timur yang èlorok dari
desa Plakpak sama-sama di wilayah kecamatan Pegantenan, kabupaten
Pamekasan pada tahun 1951. Pihak yang bertarung termasuk perempuan
yang menggunakan celana tanpa pakaian atas dengan rambut terurai dan
ditempatkan di bagian depan. Dengan demikian, pihak perempuanpun
bisa dilibatkan dalam carok demi martabat. Carok massal bisa terjadi
antar kampung, apabila dalam suatu perkampungan terdiri dalam satu
marga atau diikat dalam kekerabatan. Bagi mereka yang tidak memiliki

8
kekerabatan dengan pelaku carok, segera menutup pintu rumah rapat-
rapat. Dari sisi ini, carok dipandang membela adat serta menghormati
martabat dan budaya Madura. Pelanggar adat yang membangkitkan carok
cenderung berperilaku dan bermartabat hewani. Sementara, carok lebih
banyak terkait dengan masalah moral. Karena itu pula, pelakunya tidak
bisa ditakuti dengan ancaman hukuman ke Nusa Kambangan,
sebagaimana yang telah dilakukan pihak kepolisian di Pamekasan dengan
memancangkan baliho di mana-mana pada era 1960-an. Pelaku carok
yang mengatasnamakan demi martabat dan adat tradisi tidak takut akan
segala bentuk hukuman. Namun tak bisa dipungkiri, jika Carok
mendatangkan sikap pro dan kontra dengan bertambah majunya pikiran
manusia Madura. Bahkan, bilamana ada yang mengatakan bahwa
keberhasilan ulama dan umara’ dalam membina masyarakat Madura
hanya sedikit, tentu yang dimaksud terkait dengan masalah carok. Ulama
(baca : kiai = kèyaè) dalam beberapa perilakunya sering melakukan jâzâ’
bagi mereka yang mau berangkat carok, yaitu pengisian mantra-mantra
atau jampi-jampi ke badan calon pelaku carok. Sedangkan di pihak umara’
dikesankan ada cara nabâng yang populer sebagai usaha suap-menyuap
kepada pengendali hukum. Jaza’ maupun nabâng sangat tidak mendukung
untuk menghentikan budaya carok yang bertitik tolak pada harga diri.
Bahkan dengan perilaku nabâng yang identik dengan suap ini cenderung
tidak lagi bisa memberi perlindungan kepada pihak terpidana, sebab cara
nabâng sering dilakukan sebagai usaha mencari kesempatan mendekati
nara pidana untuk dapat membalas dendam. Maksudnya, bila telah
terbuka balas dendam yang pertama akan disusul dengan balas dendam
berikutnya dan terjadilah secara kronologis bagaikan kutukan keris Mpu
Gandring yang melalap keturunan Tunggul Ametung dan keturunan Ken
Arok. Namun saat ini, yang perlu kita pahami ialah bahwa kata carok itu
sendiri sudah merupakan peringatan keras. Carok hanya bersumber dari
satu sebab yaitu masalah ghâbângan. Dengan demikian, perkelahian yang
dilakukan orang Madura dari bukan sebab tersebut bukanlah carok,
walaupun menggunakan senjata dan jatuh korban. Tentu saja, pemahaman

9
ini berdasarkan makna budaya, bukan berdasarkan asas hukum yang
menyebabkan korban diancam oleh KUHP.
Kini, Carok sudah mengalami degradasi makna. Carok menjadi tidak
lebih sebagai cara menghabisi nyawa orang lain yang mengganggu harga
diri dan dilakukan tidak lagi secara elegan, sehingga terjadi carok massal,
model yang sesungguhnya tidak dikenal dalam epistemologi carok.
Membunuh lawan kini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dan
tidak harus berhadapan, namun bisa dilakukan dengan cara nyelèp (dari
belakang). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Carok mengalami
degradasi atau premanisasi makna (Sulaiman, 2010:34).
B. Kearifan Lokal “Karapan Sapi” pada Masyarakat Madura
Pulau Madura, yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai “ekor”
kebudayaan Jawa, ternyata memiliki beberapa tradisi unik yang tidak
ditemukan di pulau-pulau lainnya di Indonesia. Di antara tradisi unik
tersebut adalah ‘kerapan sapi’. Kuntowidjoyo (dalam Kosim, 2017: 68)
menggambarkan tradisi khas Madura ini sebagai suatu kombinasi dari
perayaan rakyat, hiburan, pertunjukan kesehatan ternak, dan pacuan sapi.
Tradisi yang telah berlangsung turun temurun ini selalu menarik
perhatian masyarakat luas. Setiap kali digelar kerapan sapi, Madura
dibanjiri pengunjung dari luar Madura termasuk wisatawan mancanegara.
Oleh karena itu, sangat beralasan apabila kerapan sapi dinobatkan sebagai
salah satu objek wisata budaya primadona andalan Jawa Timur.
Asal-Usul Kerapan Sapi
Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat Madura,
keberadaan kerapan sapi tak bisa dilepaskan dari figur Kyai Ahmad
Baidawi (yang dikenal dengan sebutan Pangeran Katandur), salah seorang
penyebar Islam di Madura. Konon, ia menebar Islam di Madura (utamanya
Sumenep) atas perintah Sunan Kudus. Sebelum berangkat ke Madura,
Sunan Kudus memberi bekal kepada kyai Baidawi berupa dua tongkol
jagung (janggel) yang masih utuh. Setiba di Madura, beliau tidak langsung
berdakwah, melainkan mengajarkan pola bercocok tanam jagung. Yang
membuat masyarakat tertarik adalah cara bercocok tanam yang unik.

10
Umur jagung hanya 1 hari. Begitu jagung ditanam pagi hari, esoknya bisa
langsung dipanen. Sudah bisa diduga, masyarakat sangat antusias belajar
bercocok tanam kepada sang kyai. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan
oleh beliau untuk sambil mengajarkan dasar-dasar Islam kepada mereka.
Ketika menancapkan tongkat ke tanah harus didahului dengan membaca
basmalah. Pada saat memasukkan benih jagung ke tanah yang telah
dilubangi, harus diawali dengan membaca dua kalimah syahadat.
Kemudian setelah panen, harus dibarengi dengan ungkapan rasa syukur
kepada Allah Sang Maha Pencipta. Untuk tujuan ini, kaum petani diajari
cara melaksanakan ibadah salat lima waktu. Demikian seterusnya, cara
tersebut diulang-ulang sampai akhirnya pemeluk Islam semakin
bertambah.
Suatu ketika, kyai Baidawi melaporkan keberhasilan misi dakwahnya
kepada Sunan Kudus. Atas keberhasilan tersbeut, kyai Baidawi
diperintahkan untuk menetap di Madura dan meneruskan misi
dakwahnya. Namun sebelum kembali ke Madura, keduanya meminta
kepada Allah agar jagung yang ditanam tidak lagi berumur 1 hari
melainkan 100 hari. Dan doa tersebut dikabulkan. Karena sudah
merasakan manfaat tanaan jagung, perubahan masa panen tidak
menyurutkan petani menanam jagung.
Dalam perkembangannya, karena pengolahan tanah pertanian dengan
tenaga manusia dinilai kurang efektif, kemudian muncul ide kyai Baidawi
untuk memanfaatkan tenaga hewan, yakni sapi. Bagi pertani, engolah
tanah dengan cara ini cukup menyenangkan, lebih-lebih jika diselingi
dengan permainan yang menggembirakan dengan adu lari sapi sambil me-
nyaka’ sawah. Dengan cara ini, betapapun banyaknya pekerjaan asaka’
yang harus diselesaikan, karena dikerjakan sambil berlomba, para petani
tak merasakan beratnya pekerjaan.
Untuk mensyukuri hasil tani yang semakin melimpah, setiap pasca
panen, kyai Baidawi menyelenggarakan “pesta panen” di sebuah alun-alun
dengan hiburan lomba lari sapi yang diiringi musik-musik tradisional.
Momentum tersebut juga digunakan sebagai forum pembagian zakat hasil

11
tani kepada yang berhak. Sejak saat itu ‘kerapan’ atau ‘karapan’ yang
dipakai hingga kini sebenarnya berasal dari kata ‘garapan’, karena pada
awalnya perlombaan sapi diadakan para petani sambil menggarap
sawahnya (Kosim 2017)
Kerapan Sapi Masa Kini
Semula, kerapan sapi diselenggrakan sebagai kesenian rakyat khas
Madura yang diadakan setiap selesai panen dalam rangka “pesta panen”.
Kini, kerapan sapi telah bergeser jauh dari tradisi aslinya, tercerabut dari
akarnya. Bergeser dari yang semuala kesenian ke komersialisasi, dari
fesrival ke bullraces. Dengan perubahan orientasi tersebut, kerapan sapi
mengandung lebih banyak sisi negatif dibandingkan positifnya.
Diantaranya ialah sebagai berikut.
1. Unsur penyiksaan terhadap binatang sangat kentara.
Menyiksa binatang jelas merupakan perbuatan tak manusiawi, anarkis,
amoral, bertolakbelakang dengan nilai-nilai budaya Madura yang andep
asor, dan bertentangan dengan ajaran agama. Rasanya tak ada agama
apapun di dunia yang membolehkan menyiksa binatang, bahkan dalam
agama tertentu, sapi merupakan simbol kesucian.
2. Biaya pemeliharaan sape kerrap sangat berlebihan dan terkesan boros,
mengalahkan biaya hidup pemilik dan keluarganya.
3. Arena kerapan sapi biasanya digunakan sebagai ajang empuk bagi para
petaruh.
4. Dalam arena kerapan sapi rentan terjadi konflik yang kadang-kadang bisa
menelan korban jiwa. Konflik bisa terjadi antar pemilik maupun antar
petaruh. Konflik antar pemilik sapi biasanya dipicu oleh upaya permainan
curang. Konflik tersebut tidak jarang diselesaikan—sebagaimana
terkadang dilakukan orang Madura—dengan carok, baik di arena kerapan
ataupun di luar arena (Kosim 2017).
Meskipun begitu, dalam ajang kerapan sapi juga memberikan sejumalah
catatan positif, diantaranya ialah bukti bahwa ajang kerapan sapi ini
mampu menyedot banyak wisatawan baik domestik maupun
mancanegara. Dengan demikian, kedatangan mereka akan memberi

12
keuntungan sebagai ajang mengenalkan kekayaan tradisi Madura kepada
orang luar sekaligus mendatangkan berkah tersendiri bagi masyarakat
Madura, umumnya yang bermatapencaharian sebagai pedagang kaki lima.
Hal ini sebagaimana diuangkapkan oleh Karuniawati (2009) bahwa
kebudayaan dan kesenian kerapan sapi bagi Madura dapat menambah
aset perekonomian, melestarikan khasanah budaya yang ada, dan
memberikan peluang kepada masyarakat Madura untuk tetap memajukan
kebudayaan kerapan sapi sebagai ikon pulau Madura.
C. Konsep Penggunaan Bahasa Madura
Orang Madura di Jember
Asal usul dan sejarah masyarakat madura yang sekarang menghuni
wilayah jember dan sekitarnya adalah masyarakat asli Pulau Madura.
Mereka datang dari Sampang, Pamekasan, dan Sumenep banyak orang
Sumenep yang bermigrasi ke jember karena adanya dua pelabuhan laut
yang menghubungkan dua wilayah tersebut (Arifin, 1989). Sebelum
bermigrasi ke Jember, terlebih dahulu orang asal pulau madura menetap
terlebih dahulu di Besuki, Penarukan, Situbondo, dan Bondowoso. Pada
tahun 1800 orang Madura tidak tertarik untuk datang ke jember karena
pada waktu itu Jember adalah daerah pedalaman dan masih hutan lebat.
Setelah pada tahun 1878 Belanda mengubah jember menjadi daerah
perkebunan, akhirnya banyak orang Pulau Madura yang bermigrasi ke
sana. Mereka bekerja sebagai buruh kasar antara lain sebagai pembabat
hutan, penanam dan penyiram tanaman tembakau, dan pengangkut hasil
panen tembakau dari ladang ke gudang. Ada beberapa alasan orang
Belanda mendatangkan orang madura sebagai pekerja di Jember, di
samping upah mereka yang murah selain itu juga mereka sudah terbiasa
menanam tembakau
Kebiasaan orang Madura tergolong unik dibanding warga
kelompok etnis lainnya. Hal itu tampak pada saat mereka menghitankan
anak mereka dan menyambut bulan Muharam. Ketika menghitankan anak
orang Madura diawali dengan mengiring anak yang akan di khitankan
secara beramai-ramai mengelilingi sekitar tempat tinggal mereka. Iring-

13
iringan itu juga dilakukan saat pernikahan. Kegiatan ini disebut dengan
istilah penganten sonnat (pengantin sunat). Kebiasaan lain yang sampai
saat ini masih di praktekkan orang madura yaitu menyambut bulan
Muharam. Orang Madura biasanya mengadakan selamatan di surau-surau.
Hanya perbedaannya, jika untuk selamatan pada umumnya berupa nasi
kuning atau nasi tumpeng, sesaji yang mereka buat berupa nasi bubur.
Orang Madura menyebutnya dengan istilah bubur sura atau tajhin sora
(Arifin, 1989).
Bahasa Madura memiliki empat macam dialek yaitu (1) dialek
Bangkalan, (2) dialek Pamekasan, (3) dialek Sumenep, dan (4) dialek
Kangean. Dialek tersebut masing-masing dapat diketahui dari adanya
perbedaan pemakaian kata (leksikon), dan perbedaan pengucapan,
terutama prosodi dan intonasi. Orang Madura di Bangkalan menggunakan
dialek Bangkalan perbedaan dapat dikenali dari bahasa madura dialek
bangkalan adalah pemakaian lo’ dan kake’ sebagai pengganti kata ta’
‘tidak’ dan ba’na ‘kamu’. Dalam bahasa madura dialek pamekasan dan
sumenep lo’ dan kake’ tidak dipakai, yang dipakai yaitu adalah ta’ dan
ba’na (Wibisono, 2001).
Perbedaan pengucapan dialek bangkalan misalnya kata jareya’ ‘itu’
dan bariya’ ‘begini’ diucapkan menjadi jriya atau briya.dalam kedua dialek
yang lain (Sumenep dan Pamekasan) diucapkan jareya dan bariya. Orang
Madura Sumenep mengucapkan blimbing sebagai bhalimbhing ‘blimbing’,
sedangkan orang Madura bangkalan mengucapkan blimbing. Intonasi suku
kata akhir kalimat pada bahasa Madura dialek Sumenep cenderung lebih
panjang dibandingkan dengan dialek Bangkalan dan Pamekasan. Jika di
dalam bahasa Madura dialek Sumenep berlaku ritme memanjang , dalam
bahasa Madura dialek Bangkalan berlaku ritme cepat. Ritme pengucapan
dalam bahasa Madura Bangkalan tampak lebih cepat dibanding dengan
ritme pada kedua dialek yang lain (Soergianto, 1990).
Dalam hal pengucapan kata, orang-orang Madura Pamekasan
mempunyai kebiasaan mengucapkan kata-kata sesuai dengan jumlah suku
katanya, seperti barampa ‘berapa’ diucapkan barampa. Dalam bahasa

14
madura dialek Bangkalan terjadi peristiwa reduksi pengucapan menjadi
brampa. kata areya ‘ini’ diucapkan reya bukan areya. Intonasi kalimat pada
dialek Pamekasan lebih memperlihatkan ritme tengah-tengah antara
dialek Bangkalan dan dialek Sumenep. Kata-kata seperti apecet ‘berpijat’
dan paghi ‘kelak’ hanya dipakai oleh orang-orang Madura Pamekasan.
Orang madura diluar pamekasan menggunakan kata aoro’o dan ghu’-
lagghu’. Kata jang-ghujangan ‘tidur-tiduran’ hanya digunakan oleh
Madura Bangkalan. Orang Madura Pamekasan dan Sumenep menyebutnya
sebagai dung-tedungan ‘tidur-tiduran’.
Bahasa Madura dialek Kangean digunakan oleh orang Madura
Kangean, perbedaan kata tampak pada ako untuk sengkok ‘saya’ atau
engko’ ‘saya’ dan loghur ‘jatuh’ untuk ghagghar. Perbedaan pengucapan
yang terlihat pada dialek Kangean. Ialah diucapkannya kata-kata seperti
[maram-ma] ‘bagaimana’ [barra?] ‘berat’ yang dalam dialek lain diucapkan
[ba-ra-ma] dan [ber-ra?]. ritme pengucapan dalam dialek Kangean
diucapkan dengan ritme yang lebih cepat daripada ritme pengucapan
dalam dialek Sumenep dan Pamekasan.
Empat dialek dalam bahasa Madura didapatkan dari berbagai
ragam bahasa. Bila dikaitkan dengan pemakaian tutur (speech level)
bahasa dalam bahasa madura dikenal ada (1) BM tingkat tutur enja’-
iya’disingkat (E-I), (2) tingkat tutur engghi-enten, disingkat (E-E) dan (3)
tingkat tutur engghi-bhunten, disingkat (E-B). jika disepadankan dengan
tingkat tutur yang ada dalam bahasa jawa misalnya tingkat tutur enji-iya I
sepadan dengan tingkat tutur ngoko engghi-enten sepadan dengan tingkat
tutur krama inggil. Ragam E-I disebut juga sebagai ragam ta’abhasa,
sedangkan ragam E-E dan E-B disebut sebagai ragam abhassa.
Kata-kata ngakan ‘makan’, cethak ‘kepala’, mata ‘mata’ adalah
contoh kosakata bahasa Madura ragam enja-iya atau ragam ta’abhasa.
Kata tersebut jika di enggeh-enten-kan berubah menjadi nedha ‘makan’
sera ‘kepala’ dan ma’repat ‘mata’. Selanjutnya jika di enggeh-enten-kan
berubah menjadi adha’ar ‘makan’, mostaka’ kepala’, dan soca ‘mata’. Di
samping penyebuatan tiga tingkat tutur tersebut ada yang

15
membedakannya atas dua macam saja yakni (a) bhasa alos ‘bahasa halus’
dan (b) bahasa kasar ‘bahasa kasar’. Kata seperti neddha, adha’ar
termasuk dalam bhasa alos dan kata abhadhuk ‘makan’ termasuk kedalam
bhasa kasar (Soegianto, 1990).
Perilaku Berbahasa Dalam Obrolan dengan Mitra Tutur Sesama Etnis
Pada bagian berikut ini disajikan data perilaku berbahasa orang Madura
dalam obrolan dengan mitra tutur sesama etnis. Data yang disajikan
dengan meliputi (1) dalam obrolan dengan orang tua (bapak dan ibu) (2)
dengan pendamping hidup (isteri) sesama madura. (3) dengan anak, (4)
dengan saudara (kakak dan adik), dan (5) dengan tetangga sesama
madura.
a. Perilaku Berbahasa dalam Obrolan dengan Orang Tua
Secara umum dilihat dari ciri-ciri dan proporsi kosakata yang
digunakan oleh orang madura dalam mengobrol dengan orang tua
(ayah, ibu) dapat dipaparkan bahwa mereka menggunakan BM.BM
yang mereka gunakan ada dua varian yaitu BM ragam krama dan
ragam ngoko. Penggunaan kedua ragam tersebut dalam mengobrol
dengan ayah sebagai berikut:
Kula nyo’on sapora se bannya ka sampeyan. Kula pon etarema, eangkat
dhaddhi pegawai, pak!
(saya minta maaf yang banyak ke sampeyan. Saya sudah diterima,
diangkat menjadi pegawai, pak)
“saya minta maaf kepada bapak. Saya sekarang sudah diterima
menjadi pegawai”
b. Perilaku Berbahasa dalam Obrolan dengan Pendamping Hidup Sesama
Madura
Dari ciri-ciri dan proposisi yang digunakan oleh orang Madura dalam
mengobrol dengan pendamping hidup sesama Madura dapat
dipaparkan bahwa orang Madura menggunakan BM ragam ngoko.
Berikut merupakan contoh dialog obrolan dengan pendamping hidup
sesama Madura:
(1) Suami : lep cellep! Ghabayyaghi nga’-anga’! bidang jhai ya!

16
(ngin-dingin! Buatkan ngat-hangat! Wedang jahe ya!)
“dingin-dingin. Buatkan minuman hangat. Wedang jahe”
(2) Isteri : iya lah, marena. Jhai anga?
(iya lah, setelah ini. Jahe hangat)
“ya. Setelah ini dibuatkan”
c. Perilaku Berbahasa dalam Obrolan dengan Anak
Terdapat beberapa model perilaku berbahasa yang diperagakan oleh
orang madura dalam mengobrol dengan anak. Informan utama 1
suami dan isteri sama-sama madura dalam mengobrol dengan anak
yang sudah dewasa dan obrolan bersifat diadik, ia menggunakan BM
ragam ngoko. Akan tetapi, jika obrolan bersifat triadik dan pihak
ketiga yang menjadi mitra tutur. Berikut contoh percakapan tersebut:
(1) A : ayo yun! Noro’ engko’ nak! Ka kantor!
(ayo yun. Ikut saya nak! Ke kantor!)
“ayo yun. Ikut saya pergi ke kantor, nak!”
(2) B : ka’ emana pak!
(ke mana pak!)
“pergi ke mana?”
(3) A : ka kantor
(ke kantor)
(4) B : iya, lah! Pak! Iya pak
(iya, lah! Pak! Iya pak)
“baik lah, pak”
d. Perilaku Berbahasa dalam Obrolan dengan Saudara
Secara umum, orang Madura dalam obrolan dengan mitra tutur
saudara menggunakan BM ragam ngoko. Dalam mengobrol dengan
kakak atau adik, baik informan utama 1, informan utama 2, dan
informan utama 3, menggunakan BM ragam ngoko. Contoh
Penggunaan ragam ngoko dalam mengobrol dengan saudara berikut
ini:
(1) A: kang! Ba en entara da emma kang?
(kang! Kamu mau kemana kang?)

17
“kak! Akan pergi kemana kak?”
(2) B: ya. Entar ka jember
(ya akan ke jember)
“akan pergi ke jember”
e. Perilaku Berbahasa dalam Obrolan dengan Tetangga Sesama Madura
Mirip dengan data yang diperoleh ketika informan mengobrol dengan
saudara, secara umum dalam mengobrol dengan tetangga sesama
madura, orang madura baik informan utama 1, informan utama 2,
maupun informan utama 3. Menggunakan BM ragam ngoko dan BM
ragam krama. Contoh penggunaan mengobrol dengan tetangga
sesama madura tampak pada percakapan berikut:
(1) A: da ramma kabharra?
(gimana kabarnya?)
“apa kabar?”
(2) A: baik-baik.
(3) B: prei?
(libur?)
“tidak bekerja?”
D. Kearifan Lokal “Pakaian Adat” pada Masyarakat Madura
Pakaian Adat Madura Laki-laki

Baju adat Madura laki-laki sering kali kita lihat di pakai


oleh tukang sate. Kaos belang warna merah-putih atau
merah-hitam dilengkapi dengan baju dan celana hitam
longgar. Pakaian ini biasanya digunakan sebagai pakaian
sehari-hari laki-laki Madura. Pakaian ini disebut sebagai
baju Pesa’an. Baju Pesa’an ini juga dilengkapi dengan penutup kepala
berbahan dasar kain yang disebut dengan Odheng serta sabuk Katemang
dan sarung kotak-kotak.
Pakaian adat ini memiliki arti filosofis, baju longgar berwarna
hitam menandakan bahwa masyarakat Madura menghargai sebuah
kebebasan. Kaos berwarna belang menandakan masyarakat Madura yang

18
pemberani, tegas dan memiliki mental pejuang. Sedangkan Odheng
menunjukan tingkat kebangsawanan seseorang. Semakin tegak kelopak
Odheng semakin tinggi derajat kebangsawanannya.
Odheng memiliki beberapa ukuran dan motif. Jika dilihat
berdasarkan bentuknya Odheng dibagi menjadi Odheng Peredhan dan
Odheng Tongkosan. Jika dilihat berdasarkan motifnya Odheng dibagi
menjadi motif toh biru, dul-cendul, modang, strojan dan garik. Selain
ukuran dan motifnya, ikatan Odheng juga memiliki arti filisofis.
Jika pada Odheng Peredhan, ujung simpul bagian atas di plintir ke
atas membentuk huruf Alif dalam bahasa Arab. Sedangkan pada Odhen
Tongkosan ujung simpul bagian atas dibentuk huruf Alif Lam sebagai
penanda keesaan Tuhan. Hal ini menunjukkan ketaatan masyarakat
Madura sebagai pemeluk agama Islam. Baju Pesa’an ini memiliki
aksesoris yang beragam tergantung dari tingkat kebangsawanan. Semakin
tinggi tingkat kebangsawanan maka semakin banyak aksesoris yang ia
kenakan.

Pakaian Adat Madura Wanita


Sama halnya dengan baju adat Madura laki-laki, pakaian
adat Madura wanita juga terkesan sederhana dalam motif
dan desain. Baju adat Madura wanita biasa disebut kebaya
Rancongan dan baju Aghungan. Kebaya khas Madura
biasanya menggunakan warna hijau, biru ataupun merah
yang pas bentuk tubuh. Hal ini menandakan bahwa
wanita-wanita Madura sangat menghargai keindahan
bentuk tubuh dan kecantikan. Sejak remaja gadis Madura sudah diberikan
jamu-jamuan yang dapat menunjang kecantikan dan keindahan bentuk
tubuh mereka.
Padanan kebaya yang berwarna kontras itu berupa sarung batik
bermotif lasem, storjan ataupun tabiruan. Tak lupa wanita Madura juga
menggunakan stagen ( Odhet ) yang diikatkan di perut. Selain itu wanita
Madura juga senang menggunakan aksesoris, aksesoris yang dipakai

19
diantaranya yaitu hiasan rambut yang terbuat dari emas biasanya di
sebut cucuk sisir dan cucuk dinar. Penutup kepala yang terbuat dari kain
(Leng Oleng) juga biasa dipakai oleh wanita Madura. Kalung emas yang
berbentuk rentengan biji jagung atau yang biasa disebut kalung
brondong. Shelter penthol yaitu giwang emas yang dipakai di kuping.
Tak lupa gelang dan cincin emas melingkar cantik di tangan dan
kaki mereka. Dengan semua aksesoris tersebut membuat para wanita
terlihat lebih cantik saat mengenakan pakaian adat Madura. Untuk anak-
anak , baju adat Madura anak perempuan juga serupa dengan pakaian
dewasa hanya saja ukurannya yang lebih kecil termasuk mengenai
berbagai macam akasesoris.

Pakaian Adat Madura Modern


Baju adat Madura modern banyak dipakai saat festival
ataupun acara pesta lainnya. Baju adat Madura terkenal
dengan corak dan warnanya yang sangat kontras.
Ditambah lagi pernak-pernik aksesoris terbuat dari
emas yang dipakai dari rambut hingga kaki oleh para
wanita Madura. Sehingga wanita Madura lebih mudah
dikenali karena kecantikannya serta aksesoris yang menempel pada
tubuh mereka.
Pakaian adat Madura kaum adam juga dilengkapi berbagai aksesori.
Aksesoris pakaian adat laki-laki tidak berbahan dasar emas. Hal ini
dikarenakan di dalam ajaran agama Islam yang mereka anut melarang
laki-laki menggunakan emas baik sebagai perhiasan ataupun hal lainnya.
Saat ini penggunaan baju Pesa’an tidak terbatas pada acara-acara
tertentu saja. Namun pemakaian baju Pesa’an bisa dipakai di dalam segala
macam aktivitas. Untuk di luar pulau Madura sendiri baju Pesa’an
biasanya di pakai oleh tukang sate. Hal ini tak lain karena sate khas
Madura terkenal dengan rasanyanya yang enak. Sehingga untuk
mendukung penampilan dari penjualnya maka ia memakai baju pesa’an
sebagai identitas sate yang ia jual.

20
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
 Carok sebagai bagian dari etnografi Madura yang dulunya berlangsung
tidak dengan seketika atau spontan. Tetapi, terdapat proses-proses
elegan yang mengiringi proses keberlangsungannya. Carok sebagai
solusi problematik lazim dijadikan jalan efektif, ketika harga diri orang
Madura dilecehkan. Namun demikian, terdapat upaya melakukan
rekonsiliasi terlebih dahulu sebelum terjadi carok. Kini, Carok sudah
mengalami degradasi makna. Carok menjadi tidak lebih sebagai cara
menghabisi nyawa orang lain yang mengganggu harga diri dan
dilakukan tidak lagi secara elegan, sehingga terjadi carok massal.
 Semula, kerapan sapi diselenggrakan sebagai kesenian rakyat khas
Madura yang diadakan setiap selesai panen dalam rangka “pesta
panen”. Kini, kerapan sapi telah bergeser jauh dari tradisi aslinya,
tercerabut dari akarnya. Bergeser dari yang semuala kesenian ke
komersialisasi, dari fesrival ke bullraces. Dengan perubahan orientasi
tersebut, kerapan sapi mengandung sisi negatif dan positifnya.
 Bahasa Madura memiliki empat macam dialek yaitu (1) dialek
Bangkalan, (2) dialek Pamekasan, (3) dialek Sumenep, dan (4) dialek
Kangean. Dialek tersebut masing-masing dapat diketahui dari adanya
perbedaan pemakaian kata (leksikon), dan perbedaan pengucapan,
terutama prosodi dan intonasi.
 Baju adat Madura modern banyak dipakai saat festival ataupun acara
pesta lainnya. Baju adat Madura terkenal dengan corak dan warnanya
yang sangat kontras. Ditambah lagi pernak-pernik aksesoris terbuat
dari emas yang dipakai dari rambut hingga kaki oleh para wanita
Madura. Pakaian adat Madura kaum adam juga dilengkapi berbagai
aksesori. Aksesoris pakaian adat laki-laki tidak berbahan dasar emas.

21
DAFTAR RUJUKAN

Referensi
Karuniawati, Indah. 2009. Tradisi Karapan Sapi sebagai Indeks, Ikon, dan
Simbol Kebudayaan Madura (Sebuah Analisis Semiotika). Malang.
http://eprints.umm.ac.id/8762/1/TRADISI_KARAPAN_SAPI_SEBAGAI
_INDEKS.pdf.
Kosim, Mohamad. 2017. "Kerapan Sapi; "Pesta" Rakyat Madura (Perspektif
Historis-Normatif)." KARSA 69-70.
Susanto, Edi. 2007. Revitalisasi Nilai Luhur Tradisi Lokal Madura. Jurnal Karsa
Sadik, Sulaiman. 2010. Kearifan Lokal Madura. Malang: Diknas Jatim.
Vannisa. 2018. Pakaian Adat Madura Wanita Pria Beserta Gambar dan
Keterangannya. https://perpustakaan.id/pakaian-adat-madura/.
Daring. Diakses pada 23 November 2019.
Wahyuningsih, Sri. 2014. Kearifan Budaya Lokal Madura sebagai Media
Persuasif (Analisis Semiotika Komunikasi Roland Barthes dalam Iklan
Samsung Galaxy Versi Gading dan Giselle di Pulau Madura). Sosio-
Dialektika.
Wibisono, B., & Sofyan, A. 2008. Perilaku Berbahasa Orang Madura.Surabaya:
Balai Bahasa.

(Nambo dan Puluhuluwa 2005)

22

Anda mungkin juga menyukai