Anda di halaman 1dari 18

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayahNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Bhineka Tunggal Ika”,tepat pada
waktu yang telah ditentukan.Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar-
dasar pendidikan

Atas terselesaikannya makalah ini maka penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran dalam pembuatan
makalah ini,
2. Dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila
3. Serta, semua pihak yang turut membantu terselesaikannya makalah ini.

Karena keterbatasan pengetahuan penulis maka penulisan makalah ini jauh dari sempurna,oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk
perbaikan makalah ini. Besar harapan penulis agar makalah ini memperoleh nilai yang
memuaskan, bahakan sempurna, Amiiin…!!

Pekanbaru, 10 Desember

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………………………………………………………………i


DAFTAR ISI ..……………………….……………………………………………………………………………………………………………………ii
BAB IPENDAHULUAN .................................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang............................................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 3
1.3. Tujuan ........................................................................................................................................... 3
1.4. Manfaat ......................................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................................. 4
2.1. Sejarah Bhineka Tunggal Ika ......................................................................................................... 4
2.2. Penetapan Lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia .................................. 5
2.3. Penerapan Bhineka Tunggal Ika .................................................................................................... 6
2.4. Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia ................................ 11
2.4.1. Perilaku inklusif. .................................................................................................................. 12
2.4.2. Mengakomodasi sifat pluralistik. ........................................................................................ 12
2.4.3. Tidak mencari menangnya sendiri. ..................................................................................... 13
2.4.4. Musyawarah untuk mencapai mufakat. ............................................................................. 13
2.4.5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban. ................................................................ 13
2.4.6. Toleran dalam perbedaan. .................................................................................................. 13
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................................... 15
3.1. Kesimpulan.................................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………………………………………………………..iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia adalah negara kesatuan yang penuh dengan keragaman. Indonesia
terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan
kepercayaan, dll. Namun Indonesia mampu mepersatukan bebragai keragaman itu sesuai
dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” , yang berarti berbeda-beda
tetapi tetap satu jua.
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah kepercayaan yang ada di bumi
Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan
kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan
daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan
kelompok suku bangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta
orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga
mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari
pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini
juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan
masyarakat di Indonesia yang berbeda.
Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses
asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis
kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-
agama besar di Indonesi juga ikut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia
sehingga mencerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia
adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat
heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok suku bangsa
namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke
modern, dan kewilayahan. Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat
dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya.
Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara
berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan
kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu
meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita temui
bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural
atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil.
Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai
”Bhinneka Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya
bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun
kepada konteks kebudayaan. Didasari pula bahwa dengan jumlah kelompok sukubangsa
kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh nusantara, dengan berbagai tipe kelompok
masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya, pakaian adat, rumah adat
kesenian adat bahkan makanan yang dimakan pun beraneka ragam.

1
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang memiliki karakteristi
yang unik ini dapat dilihat dari budaya gotong royong, teposliro, budaya menghormati
orang tua (cium tangan), dan lain sebagainya.
Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang diangkat
dari penggalan kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Kerajaan Majapahit
(abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu (berbeda-beda tetapi
tetap satu jua). Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang
secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas keanekaragaman.
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan menjadi
bagian dari lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Sebagai semboyan
bangsa, artinya Bhinneka Tunggal Ika adalah pembentuk karakter dan jati diri bangsa.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai pembentuk karakter dan jati diri bangsa ini tak lepas dari
campur tangan para pendiri bangsa yang mengerti benar bahwa Indonesia yang pluralistik
memiliki kebutuhan akan sebuah unsur pengikat dan jati diri bersama.
Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari kesatuan
geopolitik dan geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat keberagaman dalam agama,
ide, ideologis, suku bangsa dan bahasa.
Kebhinekaan Indonesia itu bukan sekedar mitos, tetapi realita yang ada di depan
mata kita. Harus kita sadari bahwa pola pikir dan budaya orang Jawa itu berbeda dengan
orang Minang, Papua, Dayak, Sunda dan lainnya. Elite pemimpin yang berasal dari kota-
kota besar dan metropolitan bisa jadi memandang Indonesia secara global akan tetapi
elite pemimpin nasional dari budaya lokal tertentu memandang Indonesia berdasarkan
jiwa, perasaan dan kebiasaan lokalnya. Ini saja menunjukkan kalau cara pandang kita
tentang Indonesia berbeda. Jadi tanpa kemauan untuk menerima dan menghargai
kebhinekaan maka sulit untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Apa yang
dilakukan oleh pendahulu bangsa ini dengan membangun kesadaran kebangsaan atau
nasionalisme merupakan upaya untuk menjaga loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa.
Selama ini sifat nasionalisme kita kurang operasional atau hanya berhenti pada
tataran konsep dan slogan politik. Nasionalisme bisa berfungsi sebagai pemersatu
beragam suku, tetapi perlu secara operasional sehingga mampu memenuhi kebutuhan
objektif setiap warga dalam suatu negara-bangsa. Tradisi dari suatu bangsa yang gagal
memenuhi fungsi pemenuhan kebutuhan hidup objektif akan kehilangan peran sebagai
peneguh nasionalisme. Saat ini diperlukan tafsir baru nasionalisme sebagai kesadaran
kolektif di tengah pola kehidupan baru yang mengglobal dan terbuka. Batas-batas fisik
negara-bangsa yang terus mencair menyebabkan kesatuan negara kepulauan seperti
Indonesia sangat rentan terhadap serapan budaya global yang tidak seluruhnya sesuai
tradisi negeri ini. Disamping itu realisasi otonomi daerah yang kurang tepat akan
memperlemah nilai dan kesadaran kolektif kebangsaan di bawah payung nasionalisme.
Di samping itu bangsa Indonesia relatif berhasil membentuk identitas nasional.
Beberapa bentukidentitas bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Bahasa Nasional atau persatuan, bahasa Indonesia.
2. Dasar filsafat Negara yaitu pancasila.
3. Lagu kebangsaan Indonesia Raya.
4. Lambang Negara Garuda Pancasila.
5. Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika
6. Bendera Negara Sang Merah Putih.

2
7. Konstitusi Negara yaitu UUD 1945.
8. Bentuk Negara kesatuan Republik Indonesia.
9. Konsep Wawasan Nusantara.
10. Kebudayaan daerah yang diterima sebagai kebudayaan nasional.
Dari ke-10 identitas bangsa Indonesia tersebut akan dibahas salah satu yaitu
mengenai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupaka semboyan pemersatu bangsa
Indonesia.
UUD Republik Indonesia menyatakan dengan tegas tentang realitas multikultural
Bangsa Indonesia. Kenyataan tersebut dilukiskan di dalam lambang negara “Bhinneka
Tunggal Ika.” Kebhinnekaan masyarakat dan bangsa Indonesia diakui bahkan dijadikan
sebagai dasar perjuangan nasional permulaan abad ke-20. Untuk itu integrasi nasional
bangsa Indonesia pun harus diwujudkan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk
karena masyarakat yang majemuk merupakan salah satu potensi sumber konflik yang
menyebabkan disintegrasi bangsa. Agar identitas bangsa Indonesia di mata dunia terkenal
dengan bangsa yang majemuk tetapi satu dalam keanekaragaman (suku, bahasa, agama,
dll, yang berbeda-beda) semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus diwujudkan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang kami jabarkan diatas, maka dapat diambil
beberapa rumusan masalah guna menunjang isi makalah ini, antara lain :
1. Bagaimana perjalanan Sejarah tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai bentuk identitas
Bangsa Indonesia.?
2. Bagaimana penetapan lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar bangsa Indonesia?
3. Bagaimana penerapan Bhineka Tunggal Ika.?
4. Bagaimana Implemntasi Bhineka Tunggal Ika dan cita-cita luhur Bangsa Indonesia?

1.3. Tujuan
1.Untuk mengetahui perjalanan sejarah tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai bentuk
identitas bangsa
2. Untuk mengetahui lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai pilar bangsa Indonesia.
3. Untuk mengetahui penerapan Bhineka Tunggal Ika
4. Untuk mengetahui Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan cita-cita luhur Bangsa
Indonesia

1.4. Manfaat
Dari makalah ini dapat kami peroleh manfaat bagi semua orang dan orang yang
membacanya, bahwasanya dalam hidup berbangsa dan bernegara dapat memaknai dan
melakukan apa yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika dan Bisa menjadikan dalam
kehidupan untuk lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan
pribadi. Dan juga dapat Memaknai arti Bhineka Tunggal Ika yang saat ini sudah mulai
memudar dan dapat menjaga persatuan Bangsa Indonesia.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Bhineka Tunggal Ika


Awalnya, semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat
panjang, yaitu Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Semboyan Bhineka
Tunggal Ika dikenal untuk pertama kalinya pada masa Majapahit era kepemimpinan
Wisnuwardhana. Perumusan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini dilakukan oleh Mpu
Tantular dalam kitab Sutasoma.
Perumusan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam
usaha mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan
sehubungan usaha bina Negara kerajaan Majapahit saat itu. Semboyan Negara Indonesia
ini telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa
kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika pun telah menumbuhkan semangat persatuan dan
kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kitab Sutasoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada
perbedaan dalam hal kepercayaan dan keanekaragaman agama yang ada di kalangan
masyarakat Majapahit. Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
konsep Bhineka Tungggal Ika bukan hanya perbedaan agama dan kepercayaan menjadi
fokus, tapi pengertiannya lebih luas. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara
memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan suku, bangsa, budaya (adat istiadat), beda
pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan yang menuju persatuan dan kesatuan
Nusantara.
Jika diuraikan kata per kata, Bhineka berarti Berbeda, Tunggal berarti Satu, dan
Ika berarti Itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun berbeda-beda, tapi pada
hakekatnya satu. Dengan kata lain, seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju
tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa dan Negara Indonesia.
Berbicara mengenai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang
Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi
menjadi bagian dari Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun
1951 pada 17 Oktober 1951 dan di-Undang-kan pada 28 Oktober 1951 sebagai Lambang
Negara. Usaha pada masa Majapahit maupun pada masa pemerintahan Indonesia
berlandaskan pada pandangan yang sama, yaitu pendangan mengenai semangat rasa
persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar untuk menegakkan Negara.
Sementara itu, semboyan “Tan Hana Darma Mangrwa dipakai sebagai motto
lambang Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Makna dari semboyan itu adalah
“Tidak ada kebenaran yang bermuka dua”. Namun, Lemhanas kemudian mengubah
semboyan tersebut mejadi yang lebih praktis dan ringkas, yaitu “Bertahan karena benar”.
Makna “Tidak ada kebenaran bermuka dua” sebenarnya memiliki pengertian agar
hendaknya manusia senantiasa berpegangan dan berlandaskan pada kebenaran yang satu.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa adalaha ungkapan
yang meamaknai kebenaran aneka unsur kepercayaan pada Majapahit. Tidak hanya Siwa
dan Budha, tapi juga seajumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih duku
sebagian besar anggota masyarakat Majapahit yang memiliki sifat majemuk.

4
Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari Singasari,
yakni pada masa Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu (candi Jago), semboyan
tersebut dan Candi Jago disempurnakan pada masa Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu,
kedua simbol tersebut lebih dikenal sebagai hasil peradaban masa Kerajaan Majapahit.
Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Majapahit merupakan masyarakat
yang majemuk. Selain adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri
sendiri, muncul juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa dan Budha
serta pemujaan terhadap roh leluhur. Namun, kepercayaan pribumi tetap bertahan.
Bahkan, kepercayaan pribumi memiliki peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan
mayoritas masyarakat.
Pada saat itu, masyarakat majapahiat tebagi menjadi beberapa golongan. Pertama,
golongan orang-orang Islam yang datang dari barat dan menetap di Majapahit. Kedua,
golongan orang-orang China yang mayoritas beasal dari Canton, Chang-chou, dan Fukien
yang kemudian bermukin di daerah Majapahit.
Namun, banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut menyiarkan agama
Islam. Ketiga, golongan penduduk pribumi. Penduduk pribumi ini jika berjalan tidak
menggunakan alas kaki, rambutnya disanggul di atas kepala. Penduduk pribumi
sepenuhnya percaya pada roh-roh leluhur.
2.2. Penetapan Lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular,
pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja
Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam
karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma
mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.”
Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan
kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang
dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi
mereka tetap satu dalam pengabdian.
Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang diungkap oleh Mpu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia
sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66
tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950,
Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara
Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai
menjadi satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka
Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat dalam Lambang Negara,
dan tercantum dalam pasal 36a UUD 1945 yang menyebutkan :”Lambang Negara ialah
Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan demikian,
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang merupakan kesepakatan bangsa, yang
ditetapkan dalam UUDnya. Oleh karena itu untuk dapat dijadikan acuan secara tepat
dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami
secara tepat dan benar untuk selanjutnya difahami bagaimana cara untuk
mengimplementasikan secara tepat dan benar pula.
Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik dalam
kehidupan yang terikat dalam suatu kesatuan. Prinsip pluralistik dan multikulturalistik
adalah asas yang mengakui adanya kemajemukan bangsa dilihat dari segi agama,

5
keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan daerah, dan ras. Kemajemukan tersebut
dihormati dan dihargai serta didudukkan dalam suatu prinsip yang dapat mengikat
keanekaragaman tersebut dalam kesatuan yang kokoh. Kemajemukan bukan
dikembangkan dan didorong menjadi faktor pemecah bangsa, tetapi merupakan kekuatan
yang dimiliki oleh masing-masing komponen bangsa, untuk selanjutnya diikat secara
sinerjik menjadi kekuatan yang luar biasa untuk dimanfaatkan dalam menghadapi segala
tantangan dan persoalan bangsa.
Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak memungkinkan
terjadinya perkembangan tidak mungkin menghadapi arus globalisasi yang demikian
deras dan kuatnya, serta dalam menghadapi keanekaragaman budaya bangsa. Sifat
terbuka yang terarah merupakan syarat bagi berkembangnya masyarakat modern.
Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah, memungkinkan
terbentuknya masyarakat yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat
menghormati, tidak merasa dirinya yang paling benar dan tidak memaksakan kehendak
yang menjadi keyakinannya kepada pihak lain. Segala peraturan perundang-undangan
khususnya peraturan daerah harus mampu mengakomodasi masyarakat yang pluralistik
dan multikutural, dengan tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD
1945. Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi
peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi
kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan daerah
harus dari putra daerah, menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang semata-
mata untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya
perpecahan. Hal ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat yang
damai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.

2.3. Penerapan Bhineka Tunggal Ika


Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat
multikultural/majemuk sebagai pilar nasionalisme, sekaligus untuk memberi wacana dan
sumbang saran kepada semua pihak, terutama para pelaksana dan penentu kebijakan
diberbagai instansi tekait, agar dapat dijadikan tambahan acuan dalam menentukan
peraturan berkaitan dengan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-
an oleh masyarakat multikultural sebagai pilar nasionalisme yang kokoh dan trengginas
dalam menghadapi perubahan globalKalimat yang terpampang pada pita putih yang
tercengkeram oleh kaki burung garuda, lambang negara Indonesia yaitu BHINNEKA
TUNGGAL IKA memiliki makna yang menggambarkan keragaman yang dimiliki
bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya merupakan satu
kesatuan Indonesia.
Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda tetapi satu, bila ditengok dari asal usul
kalimatnya yang tertuang dalam syair kitab sutasoma adalah penggambaran dari dua
ajaran atau keyakinan yang berbeda kala itu, namun pada dasarnya memiliki satu
kesamaan tujuan.
Empu Tantular sebagai pencetus kalimat yang tertuang itu tentunya memahami
benar arti dan makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun kalimat itu merupakan
bentuk pernyataan beliau dari suatu keadaan yang sedang dialami, namun kenyataannya
dapat diterapkan dan diterima hingga saat sekarang ini. Dan memang seperti itulah

6
seorang yang populis, berani menyampaikan sesuatu yang belum pernah diperdengarkan
sebelumnya dan menyampaikan dengan bahasa yang populer, yaitu bahasa yang bisa
diterima saat itu, saat ini dan suatu saat yang akan datang.
Hanya orang bijaklah yang mampu menyampaikan kata-katanya dengan bahasa
yang dapat dipahami atau dimengerti oleh masing-masing pendengar atau pembacanya
sesuai tingkat pemahamannya masing-masing.
Sangat beragam juga bila kita dapat mengartikan bhinneka tunggal ika dalam
perwujudan sehari-hari. Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari seringkali
ditemui, namun untuk memahaminya terkadang masih terasa sulit, apalagi mengakuinya.
Ada ungkapan yang menyatakan “perbedaan adalah rahmat” dan inipun terkadang
menjadi bahan perdebatan.
Matahari dan bulan itu berbeda akan tetapi saling menerangi bumi, siang dan
malam itu berbeda tetapi saling melengkapi hari, laki-laki dan perempuan beda tapi
saling mengisi dalam kehidupan, salah dan benar, baik dan buruk yang Tuhan ciptakan
tentu tidak dapat disangkal, lalu mengapa Tuhan ciptakan itu semua? Apabila perbedaan
itu seharusnya tidak perlu ada, apakah kemudian kita berpikir bagaimana sebaiknya
Tuhan? Mengakui perbedaan terkadang terasa sulit seperti halnya mengakui kebenaran
orang lain daripada melihat sisi salahnya. Tangan dan kaki, telinga dan mata, yang kanan
dan kiri memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda tetapi saling menyempurnakan bentuk
manusia itu secara utuh. Ketika dalam satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-
anaknya masing-masing memiliki perbedaan pendapat apakah itu tidak boleh? dan
apabila si anak memiliki keinginan yang bertentangan dengan orang tuanya apakah
kemudian menjadikan terputusnya hubungan darah? Kemudian apabila alam semesta
yang beraneka ragam ini tercipta karena adanya hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya,
apakah akan menjadikan putusnya hubungan, apabila ciptaan tidak mengakui
penciptanya? Perbedaan adalah kenyataan yang tidak bisa terelakan lagi, mulai dalam diri
sendiri, keluarga, masyarakat, negara atau dunia.
Jika kita perhatikan malam yang digantikan siang, ini berjalan selaras tidak saling
mendahului tentu terasa sempurna hari yang terlewati, oleh karena keselarasan itu maka
dalam pertemuan malam dengan siang terlahir fajar yang indah, begitu pula siang yang
digantikan malam tercipta senja yang penuh misteri, hal itu terwujud karena adanya
keselarasan alam yang berbeda tetapi bersatu menciptakan hari.Lalu bagaimana dengan
perbedaan diantara kita, apakah bisa berjalan selaras agar tercipta kedamaian?
Para pendiri bangsa Indonesia terdahulu tentu memiliki harapan yang sangat besar
dengan menjadikan kalimat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” ini sebagai simbolis Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memahami arti dan makna yang terkandung
didalamnya serta dengan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari diri
sendiri, berharap bangsa ini berjalan dengan selaras dan tumbuh menjadi bangsa yang
besar.
Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologi yang berjiwa
persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai serta menghormati ke-
Bhinneka Tunggal Ika-an (persatuan dalam perbedaan) untuk setiap aspek kehidupan
nasional guna mencapai tujuan nasional. Artinya, sudah menjadi hal yang tidak dapat
dinafikan bahwa masyarakat Indonesia itu jamak, plural, dan daerah yang beragam,
terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat-istiadat dan kebiasaan, agama,
kepercayaan kekayaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu

7
nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus diwujudkan dan diaktualisasikan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Implementasinya dalam kehidupan
nasional adalah, memahami kemajemukan sosial dan budaya atau multikulturalisme
sebagai dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.
Pemahaman terhadap nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dimaksud adalah
menerapkan atau melaksanakan nilai-nilai Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam kehidupan
sehari-hari, baik secara individu, kelompok masyarakat, dan bahkan secara nasional,
mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan nasional di
seluruh lapisan masyarakat yang jumlahnya besar (sekitar 230 juta jiwa) dan beragam,
sehingga tercipta stabilitas nasional yang kondusif untuk pembangunan masyarakat
sejahtera, adil-makmur dan merata.
Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian peristiwa yang
menunjukkan perubahan kehidupan warga, baik secara individu atau kelompok, dalam
berkehidupan kemasyarakatan, kehidupan berkenegaraan, dan kehidupan berkebangsaan
Faktor utama mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah pemahaman nilai-
nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan bahkan pemimpin atau penguasa
mengindikasikan gejala memudar. Kondisi ini dapat dilihat dari kecenderungan
terjadinya konflik antar individu, kelompok masyarakat yang berbeda agama, ras,
suku/etnik, budaya, dan berbeda kepentingan, serta rendahnya moral penguasa seperti
banyaknya kepala daerah dan anggota dewan yang terjerat hukum akibat korupsi.
Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang syarat
dengan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural, nilai-nilai budaya bangsa
sebagai keutuhan, kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus tetap dipelihara sebagai
pilar nasionalisme. Jika hal ini tidak wujud, apakah persatuan dan kesatuan bangsa itu
akan lenyap tanpa bekas, atau akan tetap kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan nilai-
nilai global yang menantang kesatuan negara bangsa (union state) Indonesia?
Bagamanakah mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke Bhinnekatunggal Ikaan Hal
inilah yang menjadi permasalahan dalam kajian ini agar terwujud dan terpelihara secara
langgeng integrasi sebagai pilar nasionalisme
Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumi
dalam pribadi masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas
sosial mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan pada
diri setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual differentiation model adalah suatu model
dimana seseorang atau kelompok tertentu yang mempertahankan identitas asal (kesukuan
atau daerah) namun secara bersamaan kesemua kelompok tersebut juga memiliki suatu
tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.
Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian
seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas bersama
yang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan asalnya sebagai
orang Minang, namun memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih diutamakan yaitu
sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian identitas kesukuan atau daerah lebih rendah
nilai dan
keutamaannya daripada identitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka
Tunggal Ika itu sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.
Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan usaha
mempersatukan seluruh bangsa dengan jargon “Ganyang Malaysia”, “Amerika kita

8
Seterika”, “Jepang kita Panggang”, dan “Inggris kita Linggis” dimana pada kesempatan
tersebut beliau menebar propaganda bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki
musuh bersama yaitu Malaysia, Jepang, Amerika dan Inggris.
Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat dikarenakan
tumbuhnya perasaan senasib-sepenanggungan dalam masyarakat sebangsa dan setanah
air. Perasaan, semangat dan tujuan seperti itulah yang akan membuat masyarakat
heterogen menjadi bersatu, membentuk suatu identitas sosial nasional yang lebih kuat
daripada kepentingan kelompok, golongan dan pribadi.
Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah
kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan suatu
model identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin kerjasama
antar semua golongan tanpa pernah menyinggung perbedaan karena memiliki suatu
tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.
Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama
lain, melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas terhadap
minoritas, baik secara suku, budaya dan agama dengan tujuan untuk mewujudkan cita-
cita luhur bersama.
Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang dari bangsa ini adalah
menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang menggurita, imperialis, orientalis,
penyusupan paham-paham menyimpang dari pihak luar, serta dari dalam negeri sendiri seperti
pengkhianatan, fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’ yang bertujuan memperkeruh keadaan,
menyulut konflik dan kesenjangan sehingga terjadi aksi-aksi dengan hasil keadaan yang
menjauhkan kita dari jalur pencapaian cita-cita luhur.

ARTI DAN LATAR BELAKANG

Arti Bhinneka Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma itu artinya berbeda itu tetapi satulah itu atau
menurut terjemahan Muhammad Yamin:“…berbedalah itu, tetapi satulah itu. Seloka ini falsafah
awalnya berasal dari tinjauan hidup untuk memperkuat persatuan dalam kerajaan Keprabuan
Majapahit, karena pada waktu itu aliran agama sangat banyak dan aliran fikiran demikian
juga.Untuk maksud itu seloka itu disusun oleh Empu Tantular dengan tujuan untuk menyatukan
segala aliran dengan mengemukakan persamaan. Persamaan inilah yang mengikat segalanya,
yaitu Bhinneka Tunggal Ika…”
Patut pula untuk diketahui, bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, pertama kali diselidiki oleh
Prof. H. Kern pada tahun 1888 Verspreide Geschriften 1916. IV, hal 172 dalam lontar
Purusadacanta atau lebih dikenal dengan Sutasoma (lembar 120) yang disimpan diperpustakaan
Kota Leiden, dan kemudian diselidiki kembali oleh Muhammad Yamin.
Kemudian semboyan itu menempuh proses kristalisasi mulai pergerakan nasional 1928 sampai
berdirinya negara Republik Indonesia 1945 dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
lambang negara sejak 8 Februari 1950.
Latar belakang pemikiran Bhinneka Tunggal Ika dapat dijelaskan melalui keterangan
Mohammad Hatta dalam Bukunya Bung Hatta Menjawab, 1979 menyatakan, bahwa Ke Ika-an
di dalam Bhinneka Tunggal Ika, adalah berujud unsur-unsur kesatuan dalam kehidupan bangsa,

9
dalam arti adanya segi-segi kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan dan kejiwaan yang bersatu
dan dipegang bersama oleh segala unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu. Unsur keanekaragaman tetap
ada pada daerah-daerah dari berbagai adat dan suku. Akan tetapi, makin sempurna alat-alat
perhubungan, semakin pesat pembauran putra ¬putri bangsa dan semakin bijak pegawai
Pemerintah dan Pemimpin Rakyat melakukan pimpinan, bimbingan dan pengayoman terhadap
rakyat seluruhnya, maka akan pastilah pula bahwa unsur-unsur ke Bhinneka itu lambat laun akan
cenderung meleburkan diri dan semangatnya kepada unsur ke-lka-an. Bhinneka Tunggal Ika ini
menegaskan pula, betapa pentingnya dihubungkan dengan Pancasila sebagai tali pengikat untuk
memperkuat unsur ke-lka-an dari adanya unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu, dengan kenyataan
bahwa dalam lambang negara kita dimana jelas tergambar Pancasila dengan Ketuhanan terletak
dipusatnya, maka satu¬-satunya tulisan yang dilekatkan jadi satu dengan lambang itu adalah
perkataan Bhinneka Tunggal Ika itu.
Seloka Bhinneka Tunggal Ika yang tertera didalam lambang negara itu memberikan makna
tersirat dan tersurat, bahwa bangsa Indonesia menghargai akan kemajemukan, tetapi
kemajukan itu bukanlah ancaman tetapi dijadikan sarana mempersatukan dengan tetap
menghargai kemajemukan bangsa.
Akar sejarah dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika adalah seloka dari Empu Tantular, 1350 M,
sebagaimana telah diteliti oleh Muhammad Yamin, hasil penelitian yang dibukukan dalam buku:
6000 Tahun Sang Merah Putih, beliau menyatakan :

Apabila kita pelajari buah fikiran ahli filsafah Indonesia sesudah abad ke-XIV sampai kini,
maka kagumlah kita kepada pertjikan otak ahli pemikir Empu Tantular, seperti dijelaskan
dalam kitab Sutasoma yang dikarangnya dalam jaman kentiana keperabuan Majapahit pada
pertengahan abad ke-XIV. Hal itu bukanlah suatu hal yang sudah mati.

Dari ahli filsafah Tantular yang ulung itu berasal kalimat Bhineka Tunggal Ika,
dan tanhana dharma mangrwa. Artinya seluruh kalimat seloka Tantular itu : berbedalah
itu, tetapi satulah itu ; dan didalam peraturan undang-undang tidak adalah diskriminasi
atau dualisme.
Seloka itu dapat menyatukan segala aliran dengan mengemukakan persamaan, dengan
pengertian bahwa diantara berbagai fikiran, perbedaan agama dan perbedaan filsafah ada
jugalah persamaan yang menyatukan.Dan persamaan inilah yang mengingkat segalanya,
yaitu Bhineka Tunggal Ika berjenis-jenis, tetapi tetap tinggal bersatu.Dan dalam
perbedaan pikiran dan pendapat ada persamaan yang dapat mengikat dalam pokok
kesatuan.
Satu agama tidaklah lebih atau kurang daripada agama lain. Demikian pula dengan
aliran politik dan aliran kebudayaan. Itu ditegaskan oleh Empu Tantular. Janganlah
segala aliran itu dinilai berbagai-bagai, dan jangan diadakan diskriminasi dan
dualisme, melainkan sungguh sama nilai dan sama harganya. Rasa toleransi dapat
menyatukan segala aliran.

10
MAKNA BHINNEKA TUNGGAL IKA

Makna Bhineka Tunggal Ika dalam Persatuan Indonesia Sebagaimana dijelaskan


dimuka bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang
memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang beraneka ragam namun keseluruhannya
merupakan suatu persatuan. Penjelmaan persatuan bangsa dan wilayah negara Indonesia
tersebut disimpulkan dalam PP. No. 66 tahun 1951, 17 Oktober diundangkan tanggal 28
Nopember 1951, dan termuat dalam Lembaran Negara No.II tahun 1951.Makna Bhineka
Tunggal Ika yaitu meskipun bangsa dan negara Indonesia terdiri atas beraneka ragam
suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang bermacam-macam serta
beraneka ragam kepulauan wilayah negara Indonesia namun keseluruhannya itu
merupakan suatu persatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia. Keanekaragaman tersebut
bukanlah merupakan perbedaan yang bertentangan namun justru keanekaragaman itu
bersatu dalam satu sintesa yang pada gilirannya justru memperkaya sifat dan makna
persatuan bangsa dan negara Indonesia.Dalam praktek tumbuh dan berkembangnya
persatuan suatu bangsa (nasionalisme) terdapat dua aspek kekuasaan yang mempengaruhi
yaitu kekuasaan pisik (lahir), atau disebut juga kekuasan material yang berupa kekerasan,
paksaan dan kekuasaan idealis (batin) yang berupa nafsu psikis, ide-ide dan kepercayaan-
kepercayaan. Proses nasionalisme (persatuan) yang dikuasai oleh kekuasaan pisik akan
tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang bersifat materialis. Sebaliknya proses
nasionalisme (persatuan) yang dalam pertumbuhannya dikuasai oleh kekuasaan idealis
maka akan tumbuh dan berkembang menjadi negara yang ideal yang jauh dari realitas
bangsa dan negara. Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia prinsip-prinsip nasionalisme
itu tidak berat sebelah, namun justru merupakan suatu sintesa yang serasi dan harmonis
baik hal-hal yang bersifat lahir maupun hal-hal yang bersifat batin.

2.4. Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia
Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-
prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi pembentukan
konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur
atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat begitu aneka
ragam agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak
dimaksudkan untuk membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya,
namun dalam kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni
prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common
denominator ini yang kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian
dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula

11
halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika,
yang oleh Ir Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme,
yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan unsur yang
datang dari luar.
2. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang
paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain.
Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang
berlebihan dengan tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk
kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika
bersifat inklusif. Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak
memaksakan kehendaknya pada golongan minoritas.
3. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku
semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai, saling
hormat menghormati, saling cinta mencintai dan rukun. Hanya dengan cara demikian
maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan.
4. Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan
yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik
temu, dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi
oleh sikap toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.
5. Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika
mendukung nilai:
1. inklusif, tidak bersifat eksklusif,
2. terbuka,
3. ko-eksistensi damai dan kebersamaan,
4. kesetaraan,
5. tidak merasa yang paling benar,
6. toleransi,
7. musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang berbeda.
Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka
Tunggal Ika, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip
Bhinneka Tunggal Ika ini diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
2.4.1. Perilaku inklusif.
Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat
merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih
luas. Betapa besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak
memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki
peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
2.4.2. Mengakomodasi sifat pluralistik.
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang
dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku
bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada
jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa

12
memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam
keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat
toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai
dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada
pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama,
merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup
perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi reformasi,
di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela gandong,
suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi
semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai
agama berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak
bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di
wilayah tersebut, dan sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang
mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini telah
tergerus arus reformasi.
2.4.3. Tidak mencari menangnya sendiri.
Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa
pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat
perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi
pendapat merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam.
Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan
dikembangkan divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya
konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan
musyawarah untuk mencapai mufakat.
2.4.4. Musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan
pendekatan “musyawa-rah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang
harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti
kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai
dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan
yang timbul diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang tidak ada yang
kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.
2.4.5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban.
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus
dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki
harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila
pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi,
sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia
adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih
pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-
kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin
terwujud.
2.4.6. Toleran dalam perbedaan.
Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi,
bahasa, dan adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara satu agama

13
dengan agama lain, sebagai aset bangsa yang harus dihargai dan dilestarikan.
Pandangan semacam ini akan menumbuhkan rasa saling menghormati, menyuburkan
semangat kerukunan, serta menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap individu.
Bila setiap warga negara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini
akan ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan
mampu mengimplementasikan secara tepat dan benar, Negara Indonesia akan tetap
kokoh dan bersatu selamanya.
Bhineka Tunggal Ika pada era Glablisasi saat ini, Indonesia pada saat ini banyak
mengalami kemunduran persatuan dan kesatuan. Penyebabnya adalah adanya
ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, belum stabilnya kondisi politik pemerintahan
di Indonesia menjadikan rakyat tumbuh menjadi rakyat yang apatis terhadap pemerintah.
Dampak buruk globalisasi yang membawa kebudayaan-kebudayaan baru menjadikan
komposisi kebudayaan masyarakat Indonesia menjadi lebih kompleks atau rumit. Karena
banyaknya kebudayaan baru yang datang dan diterima begitu saja, menyebabkan
terjadinya penyimpangan kebudayaan di masyarakat. Belum lagi masalah klasik yang
sepele namun berdampak serius seperti perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan
yang semakin memecah belah kesatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Melihat kondisi
seperti ini tentu kita semua tidak boleh pesimis dan patah semangat, Semboyan negara
Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua, selamanya akan
tetap relevan untuk mengiringi kehidupan bernegara di negeri yang multikultural ini,
karena komposisi kehidupan rakyat Indonesia akan terus beragam sampai kapanpun.
Ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, perbedaan suku, agama, ras dan antar
golongan di antara kita janganlah dijadikan pembeda. Perkembangan jaman yang cepat
dan masuknya budaya baru biarkanlah berlalu, karena pada dasarnya kita semua satu,
satu bangsa, Bangsa Indonesia. Satu tanah air, Tanah air Indonesia. Satu bahasa, bahasa
Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua. Jaya Indonesia !

14
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pemaaman nilai-nilai Bhinneka-Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia dapat
wujud secara integral dengan kerjasama seluruh komponen bangsa, baik oleh pemerintah
selaku penyelenggara negara maupun setiap insan pribadi warga. Peningkatan sosialisasi
aktualisasi pemahaman nilai-keseharian seluruh kompenen warga dalam rangka
memperkuat integrasi nasional, karena Indonesia dengan keberagaman budaya,
suku/etnik, bahasa, agama, kondisi geografis, dan strata sosial yang berbeda. Indonesia
dengan gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku bangsa yang berada
di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya pemerintah yang
menjalankan proses pembangunan masyarakat harus bersinergis untuk bersama-sama
dengan rakyat tanpa membedakan keberagaman budaya, bahasa, agama, suku/etnik, dan
bahkan strata sosial, mewujudkan cita-cita bangsa sesuai dengan komitmen bersama,
berlandaskan nilai-nilai yang terkandung dalam ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang
termaktub dalam Pancasila. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia yang terintegrasi
secara nasional adalah sangat penting sebagai kekayaan dan merupakan potensi yang
dapat dikembangkan sehingga dapat dimanfaatkan dalam sistem komunikasi sebagai
acuan utama bagi menunjukkan jati diri bangsa Indonesia sebagai nasionalisme
Peningkatan pemahaman terhadap kemajemukan sosial budaya sebagai pencitraan
dari budaya bangsa Indonesia yang semakin dewasa merupakan upaya membangun citra
diri didasarkan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka-an yang dimiliki, dapat
menjadi investasi yang diandalkan pada pelaksanaan pembangunan nasional sebagai
salah satu pilar demokrasi. Untuk itu diharapkan tindakan nyata oleh pemerintah agar
memaknai pentingnya kondisi kemajemukan yang terintegrasi secara nasional melalui
wawasan kebangsaan di era globalisasi saat ini untuk menjaga kedaulatan NKRI. Untuk
merealisasikan harapan ini, masyarakat dan segenap komponen bangsa harus lebih
dewasa dalam mengaktualisasikan pemahaman nila-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an
dalam mewujudkan integrasi nasional di negara yang dikenal dengan kemajemukannya
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 demi pencapaian tujuan nasional.
nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus dilakukan melalui tindakan nyata dalam
kehidupan

15
16

Anda mungkin juga menyukai