Anda di halaman 1dari 9

Biodata Sultan Ageng Tirtayasa

Nama lengkap : Sultan Ageng Tirtayasa (Abu al-Fath Abdulfattah)


Lahir: 1631, Banten
Meninggal: 1695, Jakarta
Masa Pemerintahan : 1651–1683
Anak Sultan Ageng Tirtayasa : Haji dari Banten, Arya Purbaya, Raden Muhsin, LAINNYA
Orang Tua: Ratu Martakusuma (ibu), Abdul Ma’ali Ahmad (ayah).

Biografi dan Profil Sultan Ageng Tirtayasa


Siapa nama asli Sultan Ageng Tirtayasa? Beliau diketahui lahir di Banten pada tahun
1631. Sejak kecil beliau memiliki banyak nama namun nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa
adalah Abdul Fatah atau Abu al-Fath Abdulfattah. Ayahnya bernama Sultan Abu al-Ma’ali
Ahmad yang merupakan sultan Banten dan ibunya bernama Ratu Martakusuma.
Sultan Ageng Tirtayasa masih memiliki darah keturunan Sunan Gunung Jati dari
Cirebon melalui anaknya Sultan Maulana Hasanuddin. Diketahi bahwa Sunan Gunung Jati
merupakan pendiri dari Kesultanan Banten. Sejak kecil sebelum diberi gelar Sultan Ageng
Tirtayasa, Abdul Fatah diberi gelar Pangeran Surya.
Beliau diangkat sebagai Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati ketika ayahnya
Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad wafat. Abdul Fatah atau pangeran Dipati merupakan pewaris
tahta kesultanan Banten. Namun saat ayahnya wafat belum belum menjadi sultan sebab
kesultanan Banten ketika itu kembali dipimpin oleh kakeknya Sultan Abul Mufakhir
Mahmud Abdul Qadir.

Sultan Ageng Tirtayasa dan Kejayaan Kesultanan Banten


Ketika kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir wafat di tahun 1651,
Abdul Fatah atau pangeran Dipati kemudian naik tahta sebagai Sultan Banten ke 6 dengan
nama Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Sewaktu naik tahta
menjadi Sultan Banten, beliau masih sangat muda.
Beliau dikenal sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan agama Islam di daerahnya.
Ia mendatangkan banyak guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lain untuk membina mental
para pasukan Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga dikenal sebagai ahli strategi
dalam perang.
Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa pula kesultanan Banten mencapai
puncak kejayaan dan kemegahannya. Ia membuat memajukan sistem pertanian dan irigasi
baik dan juga berhasil menyusun armada perangnya. Satu hal yang penting mengapa
Kesultanan Banten ketika itu mencapai puncak kejayaannya adalah hubungan diplomatik
yang kuat antara kesultanan Banten dengan kerajaan lainnya di Indonesia seperti Makassar,
Cirebon, Indrapura dan Bangka.
Disamping itu Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan baik dibidang
perdagangan dan pelayaran serta diplomatik dengan negara-negara Eropa seperti Inggris,
Turki, Denmark serta Perancis. Hubungan inilah yang membuat pelabuhan Banten sangat
ramai dikunjungi oleh para pedagang-pedagang dari luar seperti Persia, Arab, India, china,
melayu serta philipina.
Sultan Ageng Tirtayasa juga sempat membantu Trunojoyo dalam pemberontakan di
Mataram. Beliau bahkan membebaskan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya
yang ketika itu ditahan di Mataram sebab hubungan baiknya dengan Cirebon.
Di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Konflik antara Kesultanan Banten
dan Belanda semakin meruncing. Persoalannya adalah ikut campurnya Belanda dalam
internal kesultanan Banten yang saat itu sedang melakukan pemisahan pemerintahan.
Belanda melalui politik adu dombanya (Devide et Impera) menghasut Sultan Haji (Abu Nasr
Abdul Kahar) melawan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan saudaranya sendiri.
Sultan Haji mengira bahwa pembagian tugas pemerintahan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa kepada ia dan saudaranya merupakan upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris
tahta kesultanan Banten dan diberikan kepada adiknya, Pangeran Arya Purbaya. Sultan Haji
yang didukung oleh VOC Belanda kemudian berusaha menyingkirkan Sultan Ageng
Tirtayasa.
Panembahan Senopati Khalifatullah Sayyidin Penatagama

Lukisan Panembahan Senopati


Masa
1587 – 1601
kekuasaan
Pendahulu Ki Ageng Pemanahan
Pengganti Panembahan Hanyakrawati
Raden Ayu Retno Dumilah putri Pangeran Timur/Rangga Jumena
Waskita Jawi putri Ki Ageng Penjawi
Pasangan
Nyai Adisara
Rara Semangkin
Wangsa Dinasti Mataram
Ayah Ki Ageng Pamanahan
Ibu Nyai Sabinah

Danang Sutawijaya (lahir: ? - wafat: Jenar, 1601) adalah pendiri Kesultanan Mataram yang
memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati
ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai
peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah
tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya
Asal-Usul
Danang Sutawijaya atau Dananjaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan
Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja
terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal
ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja
Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.
Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat
sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi
menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai
pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak.
Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal
dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.
Buografi Sultan Baabullah
Sultan Baabullah (10 Februari 1528 - permulaan 1583), juga ditulis Sultan Babullah atau
Sultan Baab (tulisan Eropa) adalah sultan dan penguasa Kesultanan Ternate ke-24 yang
berkuasa antara tahun 1570 - 1583. Ia dikenal sebagai sultan Ternate dan Maluku terbesar
sepanjang sejarah, yang berhasil mengalahkan Portugis dan mengantarkan Ternate ke puncak
keemasan di akhir abad ke-16. Sultan Baabullah juga dijuluki sebagai penguasa 72 pulau
berpenghuni yang meliputi pulau–pulau di nusantara bagian timur, Mindanao selatan dan
kepulauan Marshall.

Masa muda
Dilahirkan tanggal 10 Februari 1528, kaicil (pangeran) Baab adalah putera Sultan Khairun
(1535-1570) dengan permaisurinya Boki Tanjung, puteri Sultan Alauddin I dari Bacan.
Sultan Khairun sangat memperhatikan pendidikan calon penggantinya, sejak kecil pangeran
Baab bersama saudara-saudaranya telah digembleng oleh para mubalig dan panglima dimana
ia memperoleh pemahaman tentang ilmu agama dan ilmu perang sekaligus. Sejak remaja ia
juga telah turut mendampingi ayahnya menjalankan urusan pemerintahan dan kesultanan.
Ketika pecah perang Ternate–Portugis yang pertama (1559-1567), Sultan Khairun mengutus
putera – puteranya sebagai panglima untuk menghantam kedudukan Portugis di Maluku dan
Sulawesi, salah satunya adalah pangeran Baab yang kemudian tampil sebagai panglima yang
cakap dan berhasil memperoleh kemenangan bagi Ternate. Ternate sukses menahan ambisi
Portugis sekaligus memenangkan banyak wilayah baru.

Kematian Sultan Khairun


Setelah kejatuhan Ambon ke tangan Ternate dalam perang Ternate – Portugis yang pertama,
Portugis terpaksa memohon damai kepada sultan Khairun yang kemudian disambut dengan
itikad baik. Semua hak-hak istimewa Portugis menyangkut monopoli perdagangan rempah-
rempah dihilangkan namun mereka tetap diperbolehkan untuk berdagang dan bersaing
dengan pedagang nusantara serta pedagang asing lainnya secara bebas. Rupanya permohonan
damai Portugis itu hanya kedok untuk mengulur waktu demi mengkonsolidasikan kembali
kekuatan mereka, menunggu waktu yang tepat untuk membalas Ternate.
Dengan dalih ingin membicarakan dan merayakan hubungan Ternate – Portugis yang
membaik, gubernur Portugis Lopez de Mesquita (1566-1570) mengundang sultan Khairun ke
benteng Sao Paulo tanggal 25 Februari 1570 untuk jamuan makan. Sang sultan memenuhi
undangan itu dan datang tanpa pengawal, tak dinyana setibanya di benteng ia dibunuh atas
perintah De Mesquita. De Mesquita beranggapan dengan mengenyahkan sultan Khairun,
Maluku akan kehilangan pemimpin hebat dan segera tercerai berai, akan tetapi ia lupa bahwa
sultan Khairun memiliki pewaris – pewaris yang hebat terutama dalam diri pangeran Baab.
Biografi Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda (Aceh, Banda Aceh, 1593 atau 1590[1] – Banda Aceh, Aceh, 27
Desember 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang
berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.[2] Aceh mencapai kejayaannya pada masa
kepemimpinan Iskandar Muda, di mana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan
reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam. [1]
Namanya kini diabadikan pada Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda di Aceh.

Keluarga dan masa kecil


Asal usul
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari
pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan
Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat permukiman bertetangga (yang
terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam.
Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut
takhta.[2]
Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah
anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; di mana sultan ini adalah putra
dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut
Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.[2]
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah,
putra dari Sultan Abdul-Jalil, di mana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat
Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.[2]

Pernikahan
Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang.
Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan
dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali
(Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam
rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu
Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan
masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Masa kekuasaan
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636,
merupakan masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol ketat
yang dilakukan oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari
setelah mangkatnya Sultan.
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut
seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman Sultan
Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat
Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi
angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut
Indonesia.[1] Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai
barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya
dilancarkan sampai jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang
asing dipaksa untuk tunduk kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu
pengetahuan.[3]

Kontrol di dalam negeri


Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi
yang dinamakan ulèëbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah
Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua
bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim1 pada awalnya adalah
himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam
(Aceh: Imeum). Ulèëbalang (Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama
Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal.
Pola ini djumpai di Aceh Besar dan di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting
Biografi Raden Patah

Yang paling menarik dari biografi Raden Patah adalah bahwa Raden Patah adalah
seorang keturunan yang memiliki darah campuran Cina dan Jawa. Raden Patah dilahirkan di
Palembang pada tahun 1455. Raden Patah merupakan pendiri dan raja pertama dari Kerajaan
Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Raden Patah ini menurut
catatan sejarah Kerajaan Demak, memiliki banyak nama dan gelar. Beberapa nama lain
Raden Patah yang populer adalah Jin Bun, Pate Rodim, Tan Eng Hwa, dan Aryo Timur.
Perjalanan hidup Raden Patah ini begitu menarik untuk dipelajari. Yang paling
menonjol dari sifat Raden Patah adalah perjuangan, kerja keras dan tentu saja adalah sikap
toleransi Raden Patah yang cukup tinggi pada masa itu. Selain mendirikan Kerajaan Demak,
masa pemerintahan Raden Patah juga menjadi lokomotif pendirian Masjid Demak yang
masih ada sampai saat ini.
Selain asal usul Raden Patah yang ternyata memiliki darah campuran antara Jawa dan
China, silsilah Raden Patah pun juga sangat menarik. Raden Patah ternyata juga masih
keturunan dari Raja Majapahit terakhir yaitu Raja Brawijaya. Raden Patah adalah anak dari
Raja Brawijaya dengan seorang selir China yang bernama Siu Ban Ci. Perlu juga diketahui
bahwa Raja Brawijaya adalah raja terakhir yang memerintah kerajaan Majapahit yaitu mulai
dari 1408 sampai dengan 1501. Hubungan Raja Brawijaya dengan istri selirnya dari Cina ini
kemudian membuat istri nya menjadi cemburu. Kemudian istri Raja Brawijaya meminta agar
selir dari Cina tersebut diasingkan ke Palembang.
Ketika Raja Brawijaya mengungsikan selirnya ke Palembang, keadaan Siu Ban Ci
tengah dalam keadaan hamil tua. Siu Ban Ci di Palembang tinggal bersama anak Brawijaya
yang menjadi bupati Palembang masa itu yang bernama Arya Damar. Kemudian setelah lama
tinggal di Palembang, Siu Ban Ci pun melahirkan seorang putera dari Raja Brawijaya yang
diberi nama Raden Patah. Siu Ban Ci pun pada akhirnya menikah dengan anak tirinya sendiri
yaitu Aryo Damar dan dikaruniai seorang anak yang bernama Raden Kusen.
Raden Patah Mendirikan Kerajaan Demak
Setelah kedua saudara tiri itu pergi dari pesantren Sunan Ampel, keduanya mulai
menentukan jalan hidupnya sendiri-sendiri. Raden Kusen menetap di Kerajaan Majapahit dan
kemudian diangkat menjadi seorang adipati. Sedangkan Raden Patah mulai membangun dan
membuka hutan Glagah Wangi untuk menjadikannya pusat persebaran Islam. Pesantren yang
didirikan oleh Raden Patah tersebut ternyata berkembang begitu cepat dan mendapatkan
antusiasme masyarakat yang sangat besar. Dari perkembangan pesantren Raden Patah inilah
kemudian Raja Brawijaya merasa khawatir dengan apa yang sedang terjadi. Ia khawatir apa
yang dilakukan oleh Raden Patah akan digunakannya untuk melakukan pemberontakan.
Untuk menghindari pemberontakan, maka Raja Brawijaya memerintahkan Raden
Kusen untuk memanggil Raden Patah agar datang ke Istana. Sungguh luar biasa yang terjadi,
Raja Brawijaya begitu takjub dengan perilaku, sikap dan sifat Raden Patah yang begitu
mulia. Raden Patah adalah sosok yang berwibawa, cerdas, dan memiliki budi yang luhur.
Melihat hal ini, Raja Brawijaya begitu bangga melihat putra dari selirnya tersebut memiliki
kepribadian yang begitu kuat dan memiliki sifat leadership yang tinggi. Dan bahkan
kemudian Raja Brawijaya mengangkat Raden Patah menjadi adipati di Glagah Wangi. Raden
Patah kemudian merubah nama Glagah Wangi menjadi Demak dengan Bintoro menjadi
ibukotanya.
Di bawah kepemimpinan Raden Patah ini kemudian Demak menjadi kadipaten yang
sangat ramai. Selain menjadi pusat persebaran Islam, Demak Bintoro juga menjadi pusat
ekonomi yang sangat ramai dikunjungi banyak masyarakat. Bukan saja masyarakat dari Jawa,
namun ada beberapa masyarakat dari luar Jawa yang juga melakukan aktifitas dagang di
wilayah Demak Bintoro. Dengan perkembangan yang begitu pesat, maka kemudian Raden
Patah melakukan pemberontakan ke Majapahit dan berhasil menaklukkan Majapahit. Ada
banyak hal yang terpaksa membuat Raden Patah melakukan pemberontaka kepada Majapahit.
Ada versi lain yang menyebut bahwa yang melakukan serangan ke Majapahit bukanlah
Raden Patah melainkan Girindrawardhana yang merupakan bupati di wilayah kekuasaan
Majapahit yang berada di Doho Kediri.
Kehidupan politik Kerajaan Demak pada masa Raden Patah adalah masa perkembangan
dari Kerajaan Demak. Salah satu peninggalan Kerajaan Demak dari masa pemerintahan
Raden Patah adalah Masjid Demak yang masih bisa disaksikan sampai saat ini. 

Raden Patah Wafat


Raden Patah meninggal pada usia 63 tahun. Penyebab kematian Raden Patah adalah
karena sakit yang beliau derita yang tak kunjung sembuh. Raden Patah meninggal di Demak
dan dimakamkan di Masjid Demak yang sampai saat ini makam beliau ramai dikunjungi
para peziarah.

Anda mungkin juga menyukai