ETNOGRAFI PAPUA
DISUSUN OLEH:
NAMA : FITRIA ODE SURAHI
NIM : 202103020
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………..………1
1.2 Rumusan Masalah….………………..………………..2
1.3 Tujuan Makalah.……………………………………...2
1.4 Manfaat makalah.…………………………………..…2
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Suku Buton...………………...…….....................3
2.2 Sistem Kasta Suku Buton …..……………...........……….4
2.3 Bahasa Masyarakat Suku Buton..................................................4
2.4. Acara Adat Suku Buton............................................... 5
2.5 Bentuk-Bentuk Perkawinan......................................... 9
2.6 Upacara Pelaksanaan Perkawinan .............................13
2.7 Upacara Sesudah Perkawinan..................................... 17
2.8 Baju Adat Suku Buton .............................................. 19
2.9 Rumah Adat Suku Buton ...........................................23
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak
lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang
dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang
cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-
perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Indonesia merupakan salah satu
Negara yang mempunyai banyak keanekaragaman budaya yang sangat menarik dan unik.
Dalam era modernisasi sekarang ini, tidak sedikit penduduk Indonesia yang menganut
budaya asing dan melupakan budaya sendiri. Perkembangan teknologi dan masuknya
budaya barat ke Indonesia, tanpa disadari secara perlahan telah menghancurkan kebudayaan
daerah. Rendahnya2 pengetahuan menyebabkan akulturasi kebudayaan yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai luhur yang terkandung didalam kebudayaan daerah. Masuknya
kebudayaan barat tanpa disaring oleh masyarakat dan diterima secara mentah/apa adanya,
mengakibatkan terjadinya degredasi yang sangat luar biasa terhadap kebudayaan asli.
Budaya Indonesia secara perlahan mulai punah, berbagai budaya barat yang menghantarkan
kita untuk hidup modern yang meninggalkan segala hal yang tradisional, hal ini memicu
orang bersifat antara lain sebagai sikap individualis dan matrealistis. Berkurangnya nilai
budaya dalam diri hendaknya perlu perhatian khusus untuk menjaga segala budaya yang
kita miliki. Salah satu penyebabnya karena saat ini kebudayaan daerah jarang ditampilkan
dan diajarkan kepada generasi muda.
Setiap Daerah yang ada di Indonesia mempunyai budaya masing-masing yang perlu
untuk kita ketahui bersama, sehingga kita bisa saling menghargai budaya daerah yang satu
dengan daerah yang lain. Keragaman budaya indonesia merupak kekayaan bangsa
Indonesia yang harus kita lestarikan, karena Bangsa Indonesia dikenal akan bangsa yang
Berbudayaoleh karena itu penulis membuat makalah ini dengan judul “BUDAYA SUKU
BUTON” yang merupakan salah satu suku yang ada di indonesia.
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang yang dibahas di atas rumusan masalah dalam makalah ini
adalah bagaimanakah budaya suku buton?.
Pembahsan Mengenai Budaya Suku Buton sangat luas sehingga penulis memberikan
batasan masalah Dalam makalah ini penulis hanya membahas tentang sejarah suku buton,
rumah adat suku buton, sistem pernikahan suku buton, dan acara adat suku buton secara
umum.
Adapun tujuan dari makalah ini adalah Bagaimana sejarah suku buton, rumah adat suku
buton, sistem pernikahan dan acara adat yang ada di suku Buton.
Adapun Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah Menambah wawasan
dan pengetahuan khususnya kepada penulis mengenai
2
BAB II
PEMBAHASAN
Suku Buton merupakan kelompok etnis yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara,
tepatnya di Kepulauan Buton. Selain itu, masyarakat suku Buton juga tersebar di beberapa
wilayah seperti Maluku Utara, Kalimantan, Riau, dan Papua. Ibu kota Kepulauan Buton
adalah Bau-bau. Jumlah penduduk di wilayah Kepulauan Buton mencapai 255.712 jiwa.
Sejarah dan asal usul suku Buton Berdasarkan buku berjudul 'Kerajaan Tradisional
Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton' yang diterbitkan oleh Kemdikbud, disebutkan, nenek
moyang penduduk Buton termasuk dalam ras Deutro Melayu. Penyebarannya dimulai dari
daratan Asia melalui Annam, Tonkin, Indocina, Kamboja dan terus ke Asia Tenggara
Kepulauan. Namun, masyarakat setempat memiliki cerita-cerita rakyat mengenai asal-usul
nenek moyang mereka. Nenek moyang suku Buton berasal dari imigran yang datang dari
Semanaajung Johor di Malaka sekitar abad 15 dan kemudian mendirikan kerajaan Buton.
Kerajaan tersebut bertahan hingga 1960, sultan terakhir meninggal dunia. Sepeninggalan
sultan terakhir tersebut membuat tradisi kepulauan Buton tercerai berai. Empat tokoh
pertama yang datang ke Pulau Buton dari Semenanjung Johor kemudian menjadi nenek
moyang Suku Buton, yaitu Sipanjonga, Sitamanajo, Sijawangkati dan Simalui. Cerita yang
beredar di masyarakat setempat menyebutkan, permukiman pertama keempat tokoh pendiri
kerajaan Buton berada di daerah Kalampa di Desa Katobengke, Bau-bau. Daerah inilah
yang kemudian menjadi cikal-bakal wilayah kesultanan Buton. Di Desa Katobengke,
mereka membabat ilalang untuk mendirikan tempat tinggal. Pekerjaan membabat ilalang ini
disebut "Welia" yang kemudian berubah menjadi Wolio sehingga penduduk daerah itu
disebut orang Wolio. Kemudian dalam perkembangannya menjadi Kerajaan Buton-Wolio.
Selanjutnya, mereka bergabung dengan Kerajaan Tobe-tobe yang ada di daerah timur.
Makin lama Buton terus berkembang dengan berdirinya permukiman-permukiman baru di
sekitar Kalampa dan Wolio. Pemukiman-pemukiman itu berkembang menjadi kampung
yang dikenal dengan Kampung Gundu-gundu dan Barangkatopa. Seiring waktu, wilayah
kekuasaan Kerajaan Buton semakin meluas. Mereka mendirikan permukiman-permukiman
baru yang dikenal dengan nama Kampung Gundu-Gundu dan Barangkatopa. Pemimpin
kampung tersebut kemudian diangkat menjadi menteri (bonto). Selanjutnya dibentuk dua
kampung lagi dengan nama Peropa dan Baluwu. Sudah ada empat menteri (bonto) pada
3
masa awal terbentuknya Kerajaan Buton. Berikut nama-nama kampung dan menterinya
yang ada pada awal terbentuknya kerajaan Buton: 1. Wilayah Barangkatopa dikepalai Bonto
Sitamanajo. 2. Wilayah Gundu-gundu dikepalai Bonto Sijawangkati. 3. Wilayah Peropa
dikepalai Bonto Betoambari. 4. Wilayah Baluwu dikepalai Bonto Sangiariarana. Keempat
Bonto atau menteri ini membentuk lembaga pemerintahan yang disebut patalimbona.
Patalimbona terus mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya wilayah
kekuasaan pemerintahan kerajaan Buton. Menteri yang ada di Kesultanan Buton terus
bertambah hingga menjadi sembilan menteri. Selanjutnya dikenal sebagai siolimbona yang
artinya sembilan menteri utama.
Suku Buton menganut sistem kasta dalam kehidupan bermasyarakatnya. Sistem ini
telah diterapkan sejak kerajaan Buton berdiri. Sistem kasta yang hanya diterapkan pada
sistem pemerintahan dan ritual keagamaan saja. Berikut sistem kasta pada Suku Buton: 1.
Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat/bangsawan) keturunan dari raja Wa Kakaa. Raja atau
Sultan dipilih dari golongan ini. Walaka, (elit penguasa), yaitu keturunan menurut garis
bapak dari Founding Fathers Kerajaan buton (mia patamiana). Mereka memegang jabatan
penting di Kerajaan seperti menteri dan dewan. Mereka pula yang menunjuk siapa yang
akan menjadi Raja atau Sultan berikutnya. 2. Papara atau disebut masyarakat biasa yang
tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka dapat dipertimbangkan untuk
menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan
kepada kekuasaan di pusat. 3. Babatua (budak), orang yang hidupnya bergantung terhadap
orang lain atau memiliki utang. Mereka dapat diperjualbelikan atau dijadikan hadiah. 4.
Analalaki dan Limbo. Merupakan golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darajatnya
kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status sosialnya.
Bahasa Masyarakat Suku Buton memiliki bahasa daerah beragam. Hingga kini dapat
ditemui lebih dari 30-an bahasa daerah dengan berbagai macam dialek. Wujud akulturasi
dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat
ditemukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa
Buton. Pada perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta mulai digantikan oleh bahasa
4
Arab seiring masuknya Ajaran Islam di Kerajaan Buton pada abad ke-15 M. Banyaknya
penggunaan bahasa Arab pada kosakata bahasa Buton menunjukkan tingginya pengaruh
Islam dalam Kesultanan Buton. Selain itu bahasa Buton juga menyerap unsur-unsur bahasa
melayu. Berikut beberapa bahasa yang digunakan Suku Buton : 1. Wolio 2. Cia-Cia 3.
Pancana 4. Kulisusu 5. Busoa 6. Kaimbulawa 7. Kamaru 8. Binongko 9. Wanci 10.
Kaledupa 11. Tomia.
Kepercayaan suku Buton Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Buton oleh bangsa
Majapahit pada abad ke-13 dan Islam yang dibawah pada abad 15, masyarakat Suku Buton
mengenal dan memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme
dan dinamisme). Masuknya agama Hindu maupun Islam mendorong masyarakat Suku
Buton untuk mulai menganut agama tersebut. Namun, mereka tidak meninggalkan
kepercayaan asli, seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam.
Contohnya, masyarakat nelayan Wakatobi khususnya masyarakat Tomia mengenal adanya
Dewa laut Wa Ode Maryam yang dipercaya dapat menjaga mereka dalam mengarungi
lautan Banda yang terkenal ganas. Selain itu, masyarakat Buton juga mengenal Dewa yang
melindungi keberadaan hutan yang dikenal dengan nama Wa Kinam****. Namanya tidak
boleh disebutkan atau hanya diucapkan dengan cara berbisik. Masuknya Islam ke Buton
pada abad ke-15 yang dibawa seorang ulama berkebangsaan Arab yang berasal dari
Semenanjung Melayu (Johor) bernama Syeikh Abdul Wahid juga telah meletakkan dasar-
dasar Ilmu Fiqih kepada Kesultanan dan masyarakat Buton. Ilmu Fiqih merupakan ilmu
Islam yang mempelajari hukum dan peraturan tentang hak dan kewajiban umat terhadap
Allah SWT dan sesama manusia sehingga masyarakat Buton dapat hidup sesuai kaidah
Islam. Kemudian, pada abad ke-16 M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf di Buton,
yang dibawa oleh Sufi yang berasal dari Aceh. Budaya dan tradisi suku Buton Mayoritas
masyarakat Suku Buton beragama Islam sehingga tradisi-tradisi serta budayanya sangat
dipengaruhi oleh Islam.
Sejumlah kearifan tradisi dari tradisi yang ada dalam masyarakat Buton adalah
kangkilo. Merupakan modal sosial budaya masyarakat Buton untuk mewujudkan
keselarasan dan keharmonisan hidup. Kearifan tradisi yang meliputi kesucian ritual dan
kesucian rasa dan akhlak bila diketahui dan dipahami maknanya dengan baik akan
membentuk karakter prilaku, tutur kata dan sikap positif masyarakat Buton sesuai dengan
nilai etika dan moral yang dianjurkan dalam tradisi itu.
Selain itu juga terdapat ritual-ritual dan pesta Adat yang dilakukan masyarakat Buton
5
hingga sekarang yang dikabarkan mengandung unsur Sinkritisme. Berikut ritual-ritual dan
pesta adat tersebut:
Beberapa kelompok sosial masyarakat yang berada di Buton khususunya kelompok adat
suku Cia-Cia Laporo masih melestarikan budaya ini, misalnya yang sering dilakukan oleh
masyarakat adat Kelurahan Bugi dan Kelurahan Karya Baru yang berada di Kecamatan
Sorawolio, Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kegiatan ini biasa diselenggarakan pada tempat berkumpulnya masyarakat dan tokoh adat
di desa itu yang biasa disebut “Baruga” (Balai Rumah Tangga).
Acara tersebut bukan hanya dihadiri oleh para tokoh adat dan masyarakat setempat, tetapi
juga dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat seperti dari unsur pemerintah setempat
bahkan dari wisatawan mancanegara.
Tujuan utama dari pelaksanaan acara “Maata’a diatas adalah berbagi kebahagian antar
sesama dan merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan (Allah SWT) atas anugerah-Nya
berupa hasil panen yang diperoleh oleh petani.
pesta adat ini digelar menjelang masa tanam berikutnya. Makanan dan minuman yang
disajikan dalam pesta tersebut merupakan bentuk rasa terima kasih kepada yang maha
kuasa.
Ada beberapa prosesi yang dilakukan dalam pesta ada Ma’taa yaitu “pisampea” atau
mengheningkan cipta untuk mengenang arwa leluhur para tokoh pejuang adat.
Prosesi selanjutnya yaitu ’buloliano galampa’ yang berarti berjalan mengintari baruga
sebanyak empat kali sembari membawa “wawonii” atau makanan yang disimpan pada
sebuah wadah yang berbentuk segi empat yang mengandung makna bahwa masyarakat
Laporo dalam melaksanakan kegiatannya selalu mendapat lindungan Tuhan dalam semua
sisi kehidupan.
setelah prosesi buloliano galampa, pemuka adat memimpin doa dengan tujuan agar
masyarakat “patowala patosingku” dalam melaksanakan segala kegiatan atau usahanya
selalu diberi perlindungan, kekuatan dan diberi kemudahan rezeki atas apa yang
diusahakannya oleh yang Maha Kuasa.
6
Pesta adat ini biasa di lakukan selama empat hari empat malam dengan melakukan acara
hiburan sebagai bentuk rasa syukur.
Selain disajikan makanan khas, para tamu juga akan di sajikan dengan acara hiburan
lainnya, diantaranya tari linda, tari mangaru, dan manca (pencak silat khas buton) yangdi
peragakan oleh muda mudi setempat.
Pada zaman dulu, pekande-kandea merupakan tradisi untuk menyambut pulangnya para
laskar Kesultanan Buton dari medan perang. Jika para laskar tersebut kembali dengan
membawa kemenangan, pekande-kandea jauh lebih meriah lagi. Para gadis bersiap dengan
makanannya untuk menyuapkannya ke para anggota laskar yang lelah sebagai penghargaan
atas perjuangan mereka dimedan laga. Disamping itu acara ini merupakan pula acara
pertemuan muda mudi karena hanya pada acara seperti inilah remaja putera dan puteri
memperoleh kesempatan bebas untuk saling pandang.
6. Karia’a Lambe yaitu pesta adat masyarakat Buton yang berada di WAKATOBI
Tradisi ini merupakan upacara adat khusus bagi anak remaja yang mulai beranjak
dewasa.
7
Tradisi Kari'a dilakukan dengan mengarak anak perempuan menggunakan tandu
mengelilingi desa, sementara anak laki-laki berada di bagian depan dan berjalan
kaki. Masyarakat setempat menggelar tradisi ini sebagai upacara sunatan khusus
bagi anak laki-laki dan perempuan di Wakatobi.
Pesta Rakyat ini diiringi dengan tarian-tarian yang dilakukan oleh pemangku adat,
bersama orang tua kemudian memanjatkan doa bersama anak-anak mereka yang
bertujuan untuk membekali anak-anak mereka dengan nilai-nilai moral dan spiritual.
7. Posuo (pingit) yaitu pesta adat masyarakat Buton yang ditujukan pada kaum wanita
yang memasuki usia remaja sekaligus menyiapkan diri untuk berumah tangga.
8. Dole-dole
Dole-dole merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Buton atas lahirnya
seorang anak. Menurut kepercayaan orang Buton, anak yang telah didole-dole akan
terhindar dari segala macam penyakit. Prosesi dole-dole sendiri adalah sang anak
diletakkan di atas nyiru yang dialas dengan daun pisang yang diberi minyak kelapa.
Selanjutnya anak tersebut digulingkan diatasnya seluruh badan anak tersebut
berminyak. Biasanya dilakukan pada bulan rajab, syaban dan setelah Lebaran sebagai
waktu yang dianggap baik.
8
9. Haroa
Tradisi ini dilakukan untuk menyambut hari-hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri dan
Idul Adha, maulid, atau syukuran. Haroa adalah acara berdoa bersama.
Selain Tradisi diatas masih banyak tradisi lain yang dilakukan dalam masyarakat suku
buton dengan tujuan yang sama tapi nama dan tatacaranya yang berbeda, hal ini di karekan
suku buton sendiri tersebar di beberapa kepulaun di daeran buton.
Masalah asal-usul pada umumnya sudah mendapat pengaruh perkembangan masa, sehingga
tidak lagi menjadi faktor utama yang dapat menghambat tercapainya maksud tujuan,
10
kecuali sudah bersandar kepada rasa cinta-menyintai di antara kedua muda-mudi, lebih
jelasnya keinginan sang gadislah yang memegang peranan dan menentukan. Bahwa selain
maksud penelitian dan penyelidikan keadaan laki-laki atas jangka waktu 4 hari tersebut,
juga dengan bersandar pada perirasa malu bagi pihak permpuan, untuk menjawab dan
menyatakan persetujuannya pada waktu itu juga. Demikian sebaliknya untuk menyatakan
tidak setujunya, adalah melanggar tata kesopanan di dalam harga-menghargai satu sama
lain.
Tepat pada waktu yang dijanjikan, Tolowea mendatangi. Hal penyelidikan dan penelitian
umumnya berlaku untuk mereka yang berasal dari luar lingkungan keluarga. Namun
ketentuan 4 hari kemudian baru diberikan jawaban adalah sudah merupakan adat kebiasaan,
kendati anggota keluarga sekalipun kepada pihak perempuan. Setelah bebcrapa waktu
lamanya duduk bercakap-cakap , maka pihak perempuan membuka pembicaraan dengan
"lawapulu", siy iyumbaakata ipia malona, yitu tatarima meya. Kalau tidak diterima
dikatakan dengan "indaa tatarimaia, amadaki okilala" atau juga indaa tekatoona mangaa
naana atau indaa topisi malape, (terserah yang membawakannya).
2. UNCURA
Seorang laki-laki terpaksa datang duduk, (arti lahiriah uncura "duduk") ke rumah
perempuan yang dikehendakinya. Dala!Jl hal yang Jemikian ini dapat ter jadi baik laki-laki
itu sudah dalam ikatan pertunangan ataupun belum, dengan tujuan untuk mengawininya.
Tindakan ini terjadi disebabkan antara lain karena pinangan yang diantarkan ditolak atau
juga karena pihak perempuan belum ada kesediaan untuk mempercepat kelangsungan
perkawinan sebagai yang dikehendaki laki-laki. Namun saluran ini memerlukan tanggung
jawab laki-laki, justru bukan tidak mungkinakan terjadinya tindakan-tindakan dari pihak
perempuan, mengusir laki-laki itu dengan kekerasan. Selanjutnya laki-laki yang datang
duduk itu diantar oleh seorang tua di samping pengawal yang cukup banyak, tetapi
pengawal ini tidak kelihatan. Yang langsung mengawani laki-laki itu hanya orang tua
tersebut hingga sampai dalam rumah perempuan. Kalau sudah berada dalam rumah,
berkatalah orang tua itu, "Si anu datang duduk pada wa anu dan sekarang si anu sudah
berada di hadapan bapak, dihidupkan atau dimatikan terserah pada bapak, asal ia sudah
berada di muka bapak". Demikian itu kata-kata penyampaian pengawal laki-laki kepada
pihak perempuan dan untuk lengkapnya dalam bahasa Wolio adaIah, "Ikawaaka mami
iwesiy olaanu siy bea uncura i-waanu, ta padadi peya mini atawatapekamatea somanamo
iaroatamo". Cepat tindaknya kelangsungan perkawinan tergantung dari pihak perempuan.
11
Ada kalanya malam itu juga. Sebaliknya dapat terjadi agak lama, malah sampai satu dua
tahun. Teringat kami pada sejarah peristiwa duduknya Ia Karambau (Sultan Buton yang ke
20 dan ke-23 yang mempunyai suatu sejarah khusus selama dalam kedudukannya sebagai
Sultan), yang lamanya lebih kurang 2 tahun baru terlaksana perkawinannya. Selama laki-
laki berada di rumah perempuan dari pihak orang tuanya mengirimkan melalui perantara
sejumlah uang yang dinamakan "balanja" artinya "uang belanja". Kalau pihak perempu.in
merestui maksud laki-laki, maka segala kerugian yang diderita oleh pihak perempuan,
karena perempuan yang diduduki itu tunangan orang, wajib dikembalikan oleh laki - laki
yang duduk itu. Sebaliknya .kalau tidak diterima kehendak laki-laki itu dan keluarga
perempuan melakukan penganiayaan dan sampai menjadikan matinya, karena adat tindakan
keluarga perempuan itu tidak dapat dihukum. Tindak hukum perbuatan ini dalam adat
dinamakan "amate alandakia ajara "artinya mati diinjak kuda." Hal demikian ini penulis
belum pernah mendengar atau dapat mengemukakan suatu kasus, namun adat telah berlaku
dan menuntut yang demikian itu. Kemudian kalau perempuan itu sudah ada tunangannya
seperti disebutkan di atas, laki-laki yang datang duduk itu karena adat wajib menanggung
segala biaya yang pernah dikeluarkan oleh tunangan perempuan itu dan sering terjadi dalam
hubungan ini tuntutan pembayaran dua atau tiga kali lipat dari jumlah yang sebenarnya
dibayar menurut ketentuan adat yang lazim melalui pobaisa, persetujuan. Sebab ketentuan
itu adalah di samping membayar ganti kerugian dari laki-laki tunangan perempuan itu, juga
wajib membayar ketentuan yang dituntut adat dalam pertunangan perkawinan, ringkasnya
semua biaya adat. Bahwa pengeluaran tunangan perempuan dimaksudkan ialah sepanjang
yang melalui adat dan pemberian yang mungkin terjadi langsung di antara muda-mudi tidak
termasuk di dalamnya dan tidak dipersoalkan oleh adat.
3. POPALAISAKA
Popalaisaka terdiri dari unsur anak kata "po" artinya berlawanan dan "palai" artinya
lari, sedangkan "saka" maksudnya laksanakan atau bertemu . J adi jelas berarti lari bersama
atas kemauan bersama. Lawan dari pada saluran ini adalah "humbuni" yaitu melarikan atau
mengambil perempuan dengan kekerasan. Apabila terjadi seorang laki-laki membawa lari
perempuan, maka laki-laki itu membawanya ke rumah salah seorang anggota pejabat agama
di mesjid Keraton atau pegawai syarat agama lainnya. Dari tuan rumah di mana mereka
sementara berada memberikan laporan kepada orang tua atau wali perempuan yang dibawa
lari dengan kata penyampaian "neta peelo kambuutata daangiamoigalampana hukumu",
artinya "apabila mencari kehilangannya, maka telah ada di majelis syarat agama."
12
Popalaisaka dilakukan atas dasar pertimbangan sudah tidak adanya kemungkinan untuk
menempuh jalan pobaisa atau uncura.
Mengenai ketentuan-ketentuan adat tidak akan mengurangi ketentuan yang berlaku pada
saluran-saluran yang tersebut di atas, namun tergantung juga kepada tata cara popalaisaka
itu.
4. HUMBUNI
Humbuni artinya mengambil perempuan untuk dijadikan isteri dengan kekerasan .
Tidak n:ienjadi persoalan disetujui tidaknya oleh pihak perempuan , karena laki-laki yang
berbuat itu sudah nekad untuk menghadapi segala risikonya. Pada masa lampau hal-hal
yang seperti ini pada umumnya dilakukan oleh kalangan putra-putra bangsawan dan walaka
. Umumnya putra-putra dari pejabat kerajaan atau merekayang besar pengaruh orang tuanya
dan disegani.
16
destar yang namanya destar "kampurui mpalangi".
17
pembesar kerajaan. Sepekan dua berlalu, tiba pula saatnya diadakan upacara adat yang
dinamakan perkunjungan isteri ke rumah orangtua suaminya ke rumah mertua. Pada hari
yang ditentukan berkumpul lagi keluarga yang akan turut mengantarkan dengan memakai
pakaian adat pula. Sedangkan di rumah laki-laki demikian juga halnya, malah kadang-
kadang lebih banyak dimana sudah disediakan kamar khusus yang penuh dengan hiasan
dinding, kelambu, langi-langi yang diukir bagi mempelai. Dan kebutuhan rumah tangga
sudah tersedia seperti piring-piring. mangkok. periuk dan sebagainya, yang pada waktu
kembalinya menjadi pemberian suami isteri dari orang tua laki-laki. Selama berada di
rumah laki-laki dari keluarga perempuan maupun dari keluarga laki-laki silih berganti
mengantarkan makan-makanan untuk kedua suami isteri. Pemberian ini apabila berasal dari
keluarga perempuan dinamakan "pobalobua keya" dan isinya adalah nasi kuning dengan
tutup di atasnya telur goreng. Sedangkan yang diantarkan oleh keluarga laki-laki dinamakan
"bunga waro" atau juga "kalonga". Beberapa lamanya berada di rumah orang tua laki-laki.
suami isteri berkenan kembali pada rumah orang tua perempuan, maka kembalinya .
mereka. semua kelengkapan rumah tangga seperti disebutkan di atas dari laki-laki yang
sudah disediakan dibawa bersama. Dari barang kepcrluan seperti tempat tidur dan
kebutuhan dapur. Demikian pula sekedar upacara perkunjungan isteri ke rumah mertuanya.
Tinggallah suami isteri dan dengan kuasa Tuhan sang isteri mulai mengandung. Maka pada
kandungan yang berjalan 7 bulan, setidaknya di dalam bulan yang ke-8 kembali keluarga
dari kedua pihak mengadakan upacara yang dalam hal ini disebut "apaperoua", artinya
"dicuci mukanya". Yang melakukan upacara ini adalah dukun dari sang isteri sendiri yang
bakal menjadi bidannya di masa melahirkan . Maksud dan tujuan hakiki apaperoua ialah
membersihkan bayi atau janin semoga bayi yang dikandung kelak akan menjadi anak yang
baik dalam gerak dan tingkah laku serta cantik jasmani, tidak cacat.
Menyusul upacara adat yang dinamakan "apakandea" atau biasa dinamakan "asipoa"
menjelang kandungan diantara 8 dan 9 bulan. Arti dan maksud "diberi makan" , dimana
setiap yang hadir secara bergilir menyuapi makanan kepada bakal ibu dan sesudahnya
memberikan sekedar uang. Hadirin melakukan penyuapan nasi, sesudah lebih dahulu
dibuka oleh dukun. Uang pemberian ini dinamakan "kasipo". Demikianlah dengan ha-
rapan mudah-mudahan bayi yang akan dilahirkan nanti mendapat rezeki yang banyak di
samping menjadi anak yang bersusila, menjadi manusia yang insanul kamil. Dan akhimya
pada waktu kelahiran bayi yang dimaksudkan kembali keluarga datang menengok dan
dalam perkunjungan ini biasanya mereka memberikan sesuatu barang dan umumnya berupa
kebutuhan bayi seperti sabun mandi, bedak dan adapula dengan uang. Dari uang pemberian
asal baku dari sejak semula sampai pada pemberian kasipo dan pemberian kepada bayi
18
dimaksudkan semuanya sebagai bantuan keluarga kepada suami istri untuk kehidupan
mereka selama belum mendapat pekerjaan tetap atau untuk bantuan biaya tempat tinggal
selama mereka belum mendapat rumah tempat tinggal yang tetap, karena tidak jarang
terjadi mereka tinggal di rumah salah seorang anggota keluarga sebab belum adanya rumah
atau karena tidak ada rumah dari orang tua.
Menjadi bagian dari identitas budaya, pakaian adat tradisional daerah merupakan salah satu
unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan suku bangsa.
Pakaian adat tradisional ini dalam kehidupan nyata mempunyai berbagai fungsi yang sesuai
dengan pesan-pesan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Pakaian tradisional adat Buton, Sulawesi Tenggara yang bernama “kombo” sekilas mirip
dengan hanbok, pakaian tradisional masyarakat Korea.
Bagi masyarakat Buton, pakaian adat tradisional mempunyai makna istimewa. Masyarakat
mengenakan pakaian adat tradisional dengan ciri-ciri atau spesifikasi tertentu seperti warna,
bentuk, perhiasan, jumlah aksesoris yang digunakan, serta perlengkapan lainnya. Ciri
tersebut menandakan tingkatan status sosial dalam kehidupan masyarakat Buton.
Baju kombo adalah pakaian kebesaran kaum wanita Buton. Bahan dari baju kombo terbuat
dari kain satin dengan warna dasar warna-warni, yang dihiasi dengan manik-manik, benang
19
berwarna yang biasanya terdiri dari benang emas atau benang perak, serta dihiasi berbagai
macam perhiasan yang terbuat dari emas, perak, maupun kuningan.
Pakaian ini terdiri dari satu pasang, berupa baju atasan dan bawahan sarung yang disebut
bia ogena (sarung besar). Untuk permukaan baju, dijahitkan rangkaian manik-manik dengan
bentuk belah ketupat.
Pada setiap petak belah ketupat terdapat hiasan dari perak atau kuningan dengan motif
tawana kapa (daun kapas), dan pada ujung daun kapas tersebut dijahitkan sekuntum bunga
yang berdiri tegak.
Sarung yang dipakai sebagai kelengkapan pakaian kombo yang disebut bia ogena adalah
sarung yang terdiri dari gabungan beberapa macam warna polos seperti merah, hitam, hijau,
kuning, biru, dan putih yang dijahit secara bertingkat-tingkat. Artinya menunjukkan alam
kejadian manusia dan jagad raya, bahwa proses kejadian manusia dan alam semesta
diciptakan oleh Tuhan secara bertahap.
Pemakaian baju adat ini dibedakan dari jenis sarung yang dikenakan untuk bangsawan dan
rakyat biasa. Para bangsawan mengenakan jenis sarung kumbea yang memiliki hiasan emas
sedangkan jenis sarung bagi rakyat biasa tidak memiliki hiasan emas.
Kaboroko berarti krah (leher) dikatakan demikian karena baju ini agak berbeda dengan
jenis baju Buton lainnya, dimana baju ini mempunyai kerah yang disertai dengan adanya
berbagai macam hiasan dan aksesoris yang dilekatkan padanya. Terdapat empat buah
kancing logam pada leher sebelah kanan dan tujuh buah kancing pada lengan baju.
Kancing-kancing itu tidak berfungsi sebagaimana lazimnya kacing baju, namun hanya
merupakan pertanda golongan. Sarung lapisan dalam berwarna putih sedangkan lapisan luas
(atas) sarung warna dasar hitam dengan corak garis-garis. Sarung tersebut disebut
sebagai Samasili Kumbaea atau Bia-Bia Itanu. Pada sanggulnya diikatkan potongan-
potongan yang digulung dari kain yang berwarna putih dan kuning.
Tidak terdapat perbedaaan makna antara baju yang digunakan oleh bangsawan maupun
bukan bangsawan. Pemakaian kain sarung yang dipakai secara berlapis-lapis ini
dimaksudkan bahwa orang yang memakainya adalah para ibu rumah tangga yang telah
memiliki anak keturunan sehingga bermakna telah mempunyai tanggung jawab yang harus
20
selalu dijaga dan dilindunginya yang ditandai dengan penggunaan selendang yang dililitkan
pada sekujur tubuhya dengan ketentuan warnanya.
Pengertian baju kaboroko menurut bapak Hazirun Kudus sama halya dengan pengertian dari
bapak La Ode Zaady, berikut kutipan hasil wawancaranya .
Kaboroko adalah salah satu baju adat yang digunakan oleh para wanita Buton. Baju ini
terdiri dari satu lembar baju dan tiga lapis kain sarung yang dipergunakan secara bersamaan
dengan lapisan paling bawah adalah kain sarung yang berwarna putih, lapisan kedua
adalah Bia-Bia Itanu/Samasili Kumbaea sedang lapisan ketiga adalah kain lebar yang lebih
mirip selendang dan dililitkan pada sekujur tubuh pemakainya dengan cara bagian ujung
kain sebelah kiri dipegang oleh tangan kiri dengan arah ke dalam.
Terdapat perbedaan penggunaan warna selendang oleh para ibu pada baju Kaboroko .
Antara lain warna Biru adalah bagi para ibu yang telah memiliki anak lebih dari satu orang,
warna merah atau hitam bagi ibu yang baru mempunyai satu anak dan warna kuning adalah
bagi para janda. Sedang maknanya adalah melindungi hak dan kewajiban pribadi maupun
anggota keluarga dari segala hal yang dapat membahayakan kehidupannya, begitu juga
tanggung jawab akan melindungi adat dan ajaran agama demi tercapainya keselamatan dan
kesejahteraan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara”.
21
Kambowa adalah salah satu jenis pakaian adat Buton yang digunakan oleh para ibu, gadis
maupun anak-anak dalam berbagai kesempatan adat bahkan dapat pula berfungsi sebagai
pakaian hari-hari pada masa lampau. Baju terdiri dari satu buah baju berwarna polos
(kuning, biru, hijau, ungu) begitu juga sarung yang digunakan. Baju ini berbentuk ponco
dan tidak memiliki kerah baju. Lengan baju hanya sampai pada bawah siku dengan bahan
satin.
Bagi seorang ibu bangsawan baju Kambowa ini digunakan pula kain sarung yang terdiri
dari tiga lapis layaknya yang digunakan pada baju Kaboroko , sedang yang bukan
bangsawan hanya menggunakan satu lapis sarung yaitu Bia-Bia Itanu/Samasili Kumbaea.
Lebih lanjut mengenai makna yang terkandung dalam baju Kambowa ini dapat dilihat pada
kutipan hasil wawancara sebagai berikut :
leher baju yang tidak berkerah melambangkan bahwa pemakainya dilingkari oleh berbagai
aturan adat dan agama yang harus dipatuhi dan dijalankan sepenuh hati demi kebaikannya
sendiri”.
baju ini melambangkan bahwa pemakainya dilingkari oleh berbagai ajaran adat dan agama
yang harus dilindunginya atau dapat saya katakan bahwa makna yang terdapat pada
baju Kambowa ini adalah sama dengan makna yang terkandung dalam baju Kaboroko ”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa makna yang terdapat pada
baju Kambowa adalah sama dengan makna yang terdapat pada baju Kaboroko . Namun
demikian menurut para informan ada beberapa perbedaan kecil tentang makna antara
baju Kambowa dengan baju Kaboroko.
Seperti namanya, baju ini dipakai saat acara adat atau agama dilaksanakan. Pakaian ini
menutupi tubuh penggunanya, dihiasi dengan motif tenunan tradisional Buton yang berupa
garis-garis yang membujur dan melingkar. Penggunaan simbol dan motif dalam pakaian ini
melambangkan ketaatan masyarakat Buton akan aturan agama dan adat.
22
Pakaian ini hanya terdiri dari sehelai kain besar yang disebut bia ibeloki. Pakaian ini mirip
dengan pakaian ihram yang digunakan umat muslim saat berhaji, bedanya ajo tandaki
berwarna hitam bukan putih. Pakaian ini biasanya dikenakan oleh anak yang baru disunat
bahkan sampai acara pernikahan. Pakaian ini dikenakan bersama tandaki (semacam
mahkota), ikat pinggang yang diukir dan sebilah keris.
Pakaian ini hanya terdiri dari celana panjang (sala arabu) yang melambangkan keterbukaan
anak bangsawan terhadap masyarakat yang lain tanpa memandang status sosial. Ajo bantea
atau pakeana mangaanaana dikenakan oleh anak-anak bangsawan yang belum menduduki
jabatan di pemerintahan kesultanan Buton. Ditambahkan pula penggunaan kampurui bewe
patawala atau kampurui tumpa atau kampurui palangi yang dikenakan bersama lepi-lepi,
keris, sarung samasili kumbaea atau bia ibeloki, dan bia ogena.
5. Pakaian Balahadada
Pakaian Balahadada terdiri atas destar, baju, celana, sarung, ikat pinggang, keris, dan bio
ogena atau sarung besar yang dihiasi dengan pasamani diseluruh pinggirannya. Pakaian ini
merupakan pakaian adat seluruh pria di Buton, yang melambangkan keterbukaan pejabat
untuk mendengarkan segala keluhan, saran dan kritik rakyatnya.
Rumah adat Sulawesi Tenggara yang bernama rumah adat Banua Tada sebenarnya
adalah rumah adat yang dikenal dalam budaya suku Buton. Rumah adat Banua Tada adalah
peninggalan kesultanan Buton dana dapat ditemukan dengan mudah hingga saat ini.
Rumah adat Banua Tada selain menjadi budaya dan peninggalan bersejarah juga merupakan
bukti eksistensi Islam di Buton. Sebab, tidak sedikit ornamen yang menjadi ciri khas di
rumah adat ini berukirkan tulisan dalam Bahasa Arab.
Rumah adat Sulawesi Tenggara ini terdiri dari dua kata, Banua dan Tada. Benua
mempunyai arti sebagai rumah, sementara Tada artinya adalah siku. Ketika digabungkan,
rumah ini memiliki arti sebagai rumah siku.
Menurut sejarah, rumah adat Banua Tada ini pertama kali dibangun pada masa Raja Buton
pertama, yaitu Wa Kaa Kaa. Pembuatan rumah adat ini merupakan wujud warga adat untuk
menghormati raja mereka. Pada waktu itu, rumah yang dibangun cenderung sangat
sederhana tanpa ada hiasan apapun.
Setelah Murhum menjadi sultan pertama di Kesultanan Buton, barulah rumah adat Banua
Tada mulai mengenal hiasan-hiasan yang membuat rumah adat Sulawesi Tenggara itu
menjadi semakin menarik. Ukurannya bahkan lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Rumah adat Laikas memiliki karakteristik yang berbeda dengan rumah adat lainnya. Begitu
juga dengan hunian,pastinya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Jika Anda sedang
mencari rumah yang unik di Sulawesi Tenggara dengan harga terjangkau. Cek pilihan
hunian di bawah Rp700 jutaan di sini!
23
Karakteristik Rumah Adat Sulawesi Tenggara
Rumah adat Sulawesi Tenggara memiliki karakteristik dan ciri khas khusus yang
membedakannya dengan rumah adat lain. Rumah adat Banua Tada memiliki tiga jenis
rumah. Yaitu Kamali atau Malige yang merupakan rumah atau istana tempat tinggal bagi
raja dan keluarganya.
Lalu ada Banua Tada Tare Pata Pale, rumah siku bertiang empat tempat tinggal para pejabat
dan pegawai istana, dan Banua Tada Tare Talu Pale yang merupakan rumah siku bertiang
tiga tempat tinggal bagi orang biasa.
Pada rumah adat Malige, terdapat banyak simbol dan hiasan yang banyak dipengaruhi oleh
konsep dan ajaran tasawuf. Simbol dan hiasan ini juga melambangkan nilai-nilai budaya,
kearifan local, dan juga cerita dari peradaban kesultanan Buton di masa lampau.
Di rumah adat Malige, biasanya mempunyai delapan tiang samping, empat tingkat, dan
lantai rumah berbahan dasar kayu bertingkat. Sementara pada rumah adat Banua Tada Tare
Pata Pale memiliki enam tiang samping, satu tingkat, dan lantai rumah kayu tidak
bertingkat.
Sementara rumah adat Banua Tada yang diperuntukkan bagi orang biasa hanya mempunyai
empat tiang samping, satu tingkat, dan lantai bambu yang tidak bertingkat. Namun secara
umum, rumah adat Sulawesi Tenggara ini terbuat dari susunan batu sungai atau batu
gunung berbentuk pipih tanpa perekat.
Tiang pada bangunan juga menggunakan kayu berbentuk segi empat dan tiap
tiang dilubangi sebagai penghubung tiang satu dengan tiang yang lain. Sebab
pada rumah adat Sulawesi Tenggara tidak menggunakan paku untuk menyatukan
kayu yang satu dan lainnya.
24
Bahan Bangun Utama Rumah Adat Sulawesi Tenggara
Rumah adat Sulawesi Tenggara memiliki bentuk seperti rumah panggung. Untuk bahan
bangunan utamanya adalah kayu tanpa menggunakan paku. Kayu yang digunakan sendiri
biasanya adalah kayu berkualitas unggul, seperti kayu Nangka, jati, dan bayem.
Khusus untuk kayu dari pohon Nangka, biasanya akan dipakai sebagai rangka atap
dikarenakan penggunaan bahan tersebut dianggap sakral oleh masyarakat setempat.
Sementara itu, bagian atapnya akan dibalut dengan menggunakan daun rumbia atau nipah.
Pada bagian lantai, rumah adat Sulawesi Tenggara menggunakan bambu yang sbeelumnya
telah direndam dengan air garam. Setelah zaman berkembang, terutama akibat pengaruh
jajahan Portugis, rumah adat Banua Tada mengalami beberapa perubahan. Salah satu yang
terlihat adalah pada pondasi rumah yang sudah mulai menggunakan bata dan lantainya
menggunakan papan kayu.
Rumah adat Sulawesi Tenggara memiliki berbagai macam motif unik yang menjadi ciri
khasnya. Motif rumah adat ini umumnya terdiri dari macam-macam flora dan fauna. Tiap
motif ini memiliki makna dan filosofinya sendiri yang unik.
Semisal Nanasi, merupakan hiasan berbentuk nanas yang ditempatkan di ujung atap rumah
depan dan belakang. Nanasi menjadi lambing akan keuletan dan kesejahteraan.
Penggunaannya melambangkan di mana pun orang Buton yang berada dalam berbagai
kepentingan dan harus ulet dalam menghadapi segala tantangan alam.
Ada juga motif Bosu-bosu, sejenis buah-buahan mirip buah delima yang motifnya menjadi
simbol keselamatan, keteguhan, dan kebahagiaan. Motif Ake yang berbentuk patra
melambangkan kesempurnaan dan juga bersatunya Sultan sebagai Manusia dengan Khalik
atau Pencipta.
Motif Kambang atau sejenis kembang yang berbentuk kelopak Teratai atau matahari
menjadi simbol kesucian dan kemajuan atau perkembangan dari masa Majapahit ke masa
Islam. Sementara motif fauna yang paling dominan adalah motid naga yang ditempatkan
pada bubungan atap rumah. Motif naga melambangkan kekuasaan dan pemerintahan, yang
dipasang agar penghuninya terhindar dari segala macam bahaya, terutama angin jahat.
25
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan berkaitan dengan Budaya Suku Buton dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Kebudayaan merupakan salah satu warisan budaya dari pada nenek moyang yang
sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat. Begitu juga halnya dengan
masyarakat Suku Buton.
2. Budaya terbentuk dari banyak unsur termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana
juga budaya, merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari diri manusia.
3. Suku Buton memiliki banyak tradisi yang menjadi ciri khas budaya dari suku Buton
dan menjadi kebanggaan tersendiri.
3.2 Saran
2. agar pihak-pihak yang berkompeten lebih meningkatkan kualitas sanggar yang ada di
Buton agar seluruh masyarakat mengetahui kesenian yang di suku Buton.
3. Kepada Dinas Pariwisata dan dinas terkait yang berfungsi untuk menjaga kelestarian
kebudayaan sepatutnya agar memberikan perhatian khusus supaya kita tidak kehilangan
indentitas budaya yang ada sejak zaman dahulu.
26
DAFTAR PUSTAKA
https://kebudayaan.butonkab.go.id/sejarah_1_suku_buton_sulawesi_tenggara
https://repositori.kemdikbud.go.id/13548/1/Adat%20dan%20upacara%20perkawinan
%20wolio.PDF
https://fitinline.com/article/read/7-ragam-pakaian-adat-buton/
https://www.rumah.com/panduan-properti/rumah-adat-sulawesi-tenggara-60062
27