Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

ETNOGRAFI PAPUA

BUDAYA SUKU BUTON

DISUSUN OLEH:
NAMA : FITRIA ODE SURAHI
NIM : 202103020

SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN


INFORMATIKA MANOKWARI
2023
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………..………1
1.2 Rumusan Masalah….………………..………………..2
1.3 Tujuan Makalah.……………………………………...2
1.4 Manfaat makalah.…………………………………..…2
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Suku Buton...………………...…….....................3
2.2 Sistem Kasta Suku Buton …..……………...........……….4
2.3 Bahasa Masyarakat Suku Buton..................................................4
2.4. Acara Adat Suku Buton............................................... 5
2.5 Bentuk-Bentuk Perkawinan......................................... 9
2.6 Upacara Pelaksanaan Perkawinan .............................13
2.7 Upacara Sesudah Perkawinan..................................... 17
2.8 Baju Adat Suku Buton .............................................. 19
2.9 Rumah Adat Suku Buton ...........................................23

BAB III : PENUTUP


3.1 Kesimpulan dan saran ……....………………..…….26
DAFTAR PUSTAKA………….……………………………...........27
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmatNya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak
lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan informasi yang bermanfaat bagi pembaca.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Manokwari, 25 Maret 2023

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang
dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang
cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-
perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Indonesia merupakan salah satu
Negara yang mempunyai banyak keanekaragaman budaya yang sangat menarik dan unik.
Dalam era modernisasi sekarang ini, tidak sedikit penduduk Indonesia yang menganut
budaya asing dan melupakan budaya sendiri. Perkembangan teknologi dan masuknya
budaya barat ke Indonesia, tanpa disadari secara perlahan telah menghancurkan kebudayaan
daerah. Rendahnya2 pengetahuan menyebabkan akulturasi kebudayaan yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai luhur yang terkandung didalam kebudayaan daerah. Masuknya
kebudayaan barat tanpa disaring oleh masyarakat dan diterima secara mentah/apa adanya,
mengakibatkan terjadinya degredasi yang sangat luar biasa terhadap kebudayaan asli.
Budaya Indonesia secara perlahan mulai punah, berbagai budaya barat yang menghantarkan
kita untuk hidup modern yang meninggalkan segala hal yang tradisional, hal ini memicu
orang bersifat antara lain sebagai sikap individualis dan matrealistis. Berkurangnya nilai
budaya dalam diri hendaknya perlu perhatian khusus untuk menjaga segala budaya yang
kita miliki. Salah satu penyebabnya karena saat ini kebudayaan daerah jarang ditampilkan
dan diajarkan kepada generasi muda.
Setiap Daerah yang ada di Indonesia mempunyai budaya masing-masing yang perlu
untuk kita ketahui bersama, sehingga kita bisa saling menghargai budaya daerah yang satu
dengan daerah yang lain. Keragaman budaya indonesia merupak kekayaan bangsa
Indonesia yang harus kita lestarikan, karena Bangsa Indonesia dikenal akan bangsa yang
Berbudayaoleh karena itu penulis membuat makalah ini dengan judul “BUDAYA SUKU
BUTON” yang merupakan salah satu suku yang ada di indonesia.
1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang yang dibahas di atas rumusan masalah dalam makalah ini
adalah bagaimanakah budaya suku buton?.

1.3 Batasan Masalah

Pembahsan Mengenai Budaya Suku Buton sangat luas sehingga penulis memberikan
batasan masalah Dalam makalah ini penulis hanya membahas tentang sejarah suku buton,
rumah adat suku buton, sistem pernikahan suku buton, dan acara adat suku buton secara
umum.

1.4 Tujuan Makalah

Adapun tujuan dari makalah ini adalah Bagaimana sejarah suku buton, rumah adat suku
buton, sistem pernikahan dan acara adat yang ada di suku Buton.

1.4 Manfaat Makalah

Adapun Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini adalah Menambah wawasan
dan pengetahuan khususnya kepada penulis mengenai

Budaya suku buton.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Suku Buton

Suku Buton merupakan kelompok etnis yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara,
tepatnya di Kepulauan Buton. Selain itu, masyarakat suku Buton juga tersebar di beberapa
wilayah seperti Maluku Utara, Kalimantan, Riau, dan Papua. Ibu kota Kepulauan Buton
adalah Bau-bau. Jumlah penduduk di wilayah Kepulauan Buton mencapai 255.712 jiwa.

Sejarah dan asal usul suku Buton Berdasarkan buku berjudul 'Kerajaan Tradisional
Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton' yang diterbitkan oleh Kemdikbud, disebutkan, nenek
moyang penduduk Buton termasuk dalam ras Deutro Melayu. Penyebarannya dimulai dari
daratan Asia melalui Annam, Tonkin, Indocina, Kamboja dan terus ke Asia Tenggara
Kepulauan. Namun, masyarakat setempat memiliki cerita-cerita rakyat mengenai asal-usul
nenek moyang mereka. Nenek moyang suku Buton berasal dari imigran yang datang dari
Semanaajung Johor di Malaka sekitar abad 15 dan kemudian mendirikan kerajaan Buton.

Kerajaan tersebut bertahan hingga 1960, sultan terakhir meninggal dunia. Sepeninggalan
sultan terakhir tersebut membuat tradisi kepulauan Buton tercerai berai. Empat tokoh
pertama yang datang ke Pulau Buton dari Semenanjung Johor kemudian menjadi nenek
moyang Suku Buton, yaitu Sipanjonga, Sitamanajo, Sijawangkati dan Simalui. Cerita yang
beredar di masyarakat setempat menyebutkan, permukiman pertama keempat tokoh pendiri
kerajaan Buton berada di daerah Kalampa di Desa Katobengke, Bau-bau. Daerah inilah
yang kemudian menjadi cikal-bakal wilayah kesultanan Buton. Di Desa Katobengke,
mereka membabat ilalang untuk mendirikan tempat tinggal. Pekerjaan membabat ilalang ini
disebut "Welia" yang kemudian berubah menjadi Wolio sehingga penduduk daerah itu
disebut orang Wolio. Kemudian dalam perkembangannya menjadi Kerajaan Buton-Wolio.
Selanjutnya, mereka bergabung dengan Kerajaan Tobe-tobe yang ada di daerah timur.
Makin lama Buton terus berkembang dengan berdirinya permukiman-permukiman baru di
sekitar Kalampa dan Wolio. Pemukiman-pemukiman itu berkembang menjadi kampung
yang dikenal dengan Kampung Gundu-gundu dan Barangkatopa. Seiring waktu, wilayah
kekuasaan Kerajaan Buton semakin meluas. Mereka mendirikan permukiman-permukiman
baru yang dikenal dengan nama Kampung Gundu-Gundu dan Barangkatopa. Pemimpin
kampung tersebut kemudian diangkat menjadi menteri (bonto). Selanjutnya dibentuk dua
kampung lagi dengan nama Peropa dan Baluwu. Sudah ada empat menteri (bonto) pada
3
masa awal terbentuknya Kerajaan Buton. Berikut nama-nama kampung dan menterinya
yang ada pada awal terbentuknya kerajaan Buton: 1. Wilayah Barangkatopa dikepalai Bonto
Sitamanajo. 2. Wilayah Gundu-gundu dikepalai Bonto Sijawangkati. 3. Wilayah Peropa
dikepalai Bonto Betoambari. 4. Wilayah Baluwu dikepalai Bonto Sangiariarana. Keempat
Bonto atau menteri ini membentuk lembaga pemerintahan yang disebut patalimbona.
Patalimbona terus mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya wilayah
kekuasaan pemerintahan kerajaan Buton. Menteri yang ada di Kesultanan Buton terus
bertambah hingga menjadi sembilan menteri. Selanjutnya dikenal sebagai siolimbona yang
artinya sembilan menteri utama.

2.2. Sistem Kasta Suku Buton

Suku Buton menganut sistem kasta dalam kehidupan bermasyarakatnya. Sistem ini
telah diterapkan sejak kerajaan Buton berdiri. Sistem kasta yang hanya diterapkan pada
sistem pemerintahan dan ritual keagamaan saja. Berikut sistem kasta pada Suku Buton: 1.
Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat/bangsawan) keturunan dari raja Wa Kakaa. Raja atau
Sultan dipilih dari golongan ini. Walaka, (elit penguasa), yaitu keturunan menurut garis
bapak dari Founding Fathers Kerajaan buton (mia patamiana). Mereka memegang jabatan
penting di Kerajaan seperti menteri dan dewan. Mereka pula yang menunjuk siapa yang
akan menjadi Raja atau Sultan berikutnya. 2. Papara atau disebut masyarakat biasa yang
tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka dapat dipertimbangkan untuk
menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan
kepada kekuasaan di pusat. 3. Babatua (budak), orang yang hidupnya bergantung terhadap
orang lain atau memiliki utang. Mereka dapat diperjualbelikan atau dijadikan hadiah. 4.
Analalaki dan Limbo. Merupakan golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darajatnya
kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status sosialnya.

2.3. Bahasa Masyarakat Suku Buton

Bahasa Masyarakat Suku Buton memiliki bahasa daerah beragam. Hingga kini dapat
ditemui lebih dari 30-an bahasa daerah dengan berbagai macam dialek. Wujud akulturasi
dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat
ditemukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa
Buton. Pada perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta mulai digantikan oleh bahasa

4
Arab seiring masuknya Ajaran Islam di Kerajaan Buton pada abad ke-15 M. Banyaknya
penggunaan bahasa Arab pada kosakata bahasa Buton menunjukkan tingginya pengaruh
Islam dalam Kesultanan Buton. Selain itu bahasa Buton juga menyerap unsur-unsur bahasa
melayu. Berikut beberapa bahasa yang digunakan Suku Buton : 1. Wolio 2. Cia-Cia 3.
Pancana 4. Kulisusu 5. Busoa 6. Kaimbulawa 7. Kamaru 8. Binongko 9. Wanci 10.
Kaledupa 11. Tomia.

Kepercayaan suku Buton Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Buton oleh bangsa
Majapahit pada abad ke-13 dan Islam yang dibawah pada abad 15, masyarakat Suku Buton
mengenal dan memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme
dan dinamisme). Masuknya agama Hindu maupun Islam mendorong masyarakat Suku
Buton untuk mulai menganut agama tersebut. Namun, mereka tidak meninggalkan
kepercayaan asli, seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam.
Contohnya, masyarakat nelayan Wakatobi khususnya masyarakat Tomia mengenal adanya
Dewa laut Wa Ode Maryam yang dipercaya dapat menjaga mereka dalam mengarungi
lautan Banda yang terkenal ganas. Selain itu, masyarakat Buton juga mengenal Dewa yang
melindungi keberadaan hutan yang dikenal dengan nama Wa Kinam****. Namanya tidak
boleh disebutkan atau hanya diucapkan dengan cara berbisik. Masuknya Islam ke Buton
pada abad ke-15 yang dibawa seorang ulama berkebangsaan Arab yang berasal dari
Semenanjung Melayu (Johor) bernama Syeikh Abdul Wahid juga telah meletakkan dasar-
dasar Ilmu Fiqih kepada Kesultanan dan masyarakat Buton. Ilmu Fiqih merupakan ilmu
Islam yang mempelajari hukum dan peraturan tentang hak dan kewajiban umat terhadap
Allah SWT dan sesama manusia sehingga masyarakat Buton dapat hidup sesuai kaidah
Islam. Kemudian, pada abad ke-16 M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf di Buton,
yang dibawa oleh Sufi yang berasal dari Aceh. Budaya dan tradisi suku Buton Mayoritas
masyarakat Suku Buton beragama Islam sehingga tradisi-tradisi serta budayanya sangat
dipengaruhi oleh Islam.

2.4. Acara Adat Suku Buton

Sejumlah kearifan tradisi dari tradisi yang ada dalam masyarakat Buton adalah
kangkilo. Merupakan modal sosial budaya masyarakat Buton untuk mewujudkan
keselarasan dan keharmonisan hidup. Kearifan tradisi yang meliputi kesucian ritual dan
kesucian rasa dan akhlak bila diketahui dan dipahami maknanya dengan baik akan
membentuk karakter prilaku, tutur kata dan sikap positif masyarakat Buton sesuai dengan
nilai etika dan moral yang dianjurkan dalam tradisi itu.
Selain itu juga terdapat ritual-ritual dan pesta Adat yang dilakukan masyarakat Buton
5
hingga sekarang yang dikabarkan mengandung unsur Sinkritisme. Berikut ritual-ritual dan
pesta adat tersebut:

1. Goraana Oputa/Maludju Wolio yaitu ritual masyarakat Buton dalam menyambut


kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan tiap tengah malam tanggal 12
Rabiul awal
2. Qunua, yaitu ritual keagamaan yang dilakukan masyarakat Buton pada 16 malam
bulan Ramadhan.
3. Tuturiangana  Andaala yaitu Ritual kesyukuran masyarakat Buton yang berada di
Pulau Makasar (liwuto) kepada Allah SWT,  atas keluasan rejeki yang terhampar
luas disektor kelautan
4. Ma ata’a merupakan pesta adat masyarakat suku cia cia Laporo. Pesta ini merupakan
bentuk rasa terima kasih karena berhasil dalam masa panen. Pesta adat ini biasanya
di gelar menjelang masa tanam berikutnya.

Beberapa kelompok sosial masyarakat yang berada di Buton khususunya kelompok adat
suku Cia-Cia Laporo masih melestarikan budaya ini, misalnya yang sering dilakukan oleh
masyarakat adat Kelurahan Bugi dan Kelurahan Karya Baru yang berada di Kecamatan
Sorawolio, Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggara.

Kegiatan ini biasa diselenggarakan pada tempat berkumpulnya masyarakat dan tokoh adat
di desa itu yang biasa disebut “Baruga” (Balai Rumah Tangga).

Acara tersebut bukan hanya dihadiri oleh para tokoh adat dan masyarakat setempat, tetapi
juga dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat seperti dari unsur pemerintah setempat
bahkan dari wisatawan mancanegara. 

Tujuan utama dari pelaksanaan acara “Maata’a diatas adalah berbagi kebahagian antar
sesama dan merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan (Allah SWT) atas anugerah-Nya
berupa hasil panen yang diperoleh oleh petani.

pesta adat ini digelar menjelang masa tanam berikutnya. Makanan dan minuman yang
disajikan dalam pesta tersebut merupakan bentuk rasa terima kasih kepada yang maha
kuasa.

Ada beberapa prosesi yang dilakukan dalam pesta ada Ma’taa yaitu “pisampea” atau
mengheningkan cipta untuk mengenang arwa leluhur para tokoh pejuang adat.

Prosesi selanjutnya yaitu ’buloliano galampa’ yang berarti berjalan mengintari baruga
sebanyak empat kali sembari membawa “wawonii” atau makanan yang disimpan pada
sebuah wadah yang berbentuk segi empat yang mengandung makna bahwa masyarakat
Laporo dalam melaksanakan kegiatannya selalu mendapat lindungan Tuhan dalam semua
sisi kehidupan.

setelah prosesi buloliano galampa, pemuka adat memimpin doa dengan tujuan agar
masyarakat “patowala patosingku” dalam melaksanakan segala kegiatan atau usahanya
selalu diberi perlindungan, kekuatan dan diberi kemudahan rezeki atas apa yang
diusahakannya oleh yang Maha Kuasa.

6
Pesta adat ini biasa di lakukan selama empat hari empat malam dengan melakukan acara
hiburan sebagai bentuk rasa syukur.

Selain disajikan makanan khas, para tamu juga akan di sajikan dengan acara hiburan
lainnya, diantaranya tari linda, tari mangaru, dan manca (pencak silat khas buton) yangdi
peragakan oleh muda mudi setempat.

5. Pekande-kandeaTradisi kande-kandea merupakan tradisi makan bersama yang


sangat umum ditemukan pada masyarakat Buton. Khusus di Kabupaten Buton,
terdapat tiga etnis yang masih secara rutin melaksanakannya, yaitu etnis Cia-Cia,
Muna (Pancana), dan Wolio. Penamaan atas tradisi ini juga beragam sesuai dengan
bahasa etnisnya masing-masing, misalnya etnis Muna (Pancana) menyebut kafoma-
foma’a, etnis Cia-Cia menyebut maataa, dan etnis Wolio menyebut peka kande-
kandea. Secara umum tradisi kande-kandea yang dilakukan ketiga etnis tersebut
merupakan tradisi makan bersama yang melibatkan unsur hiburan dan ritual, serta
terdapat interaksi sosial, politik, dan budaya di dalamnya.

Pada zaman dulu, pekande-kandea merupakan tradisi untuk menyambut pulangnya para
laskar Kesultanan Buton dari medan perang. Jika para laskar tersebut kembali dengan
membawa kemenangan, pekande-kandea jauh lebih meriah lagi. Para gadis bersiap dengan
makanannya untuk menyuapkannya ke para anggota laskar yang lelah sebagai penghargaan
atas perjuangan mereka dimedan laga. Disamping itu acara ini merupakan pula acara
pertemuan muda mudi karena hanya pada acara seperti inilah remaja putera dan puteri
memperoleh kesempatan bebas untuk saling pandang.

6. Karia’a Lambe yaitu pesta adat masyarakat Buton yang berada di WAKATOBI
Tradisi ini merupakan upacara adat khusus bagi anak remaja yang mulai beranjak
dewasa.
7
Tradisi Kari'a dilakukan dengan mengarak anak perempuan menggunakan tandu
mengelilingi desa, sementara anak laki-laki berada di bagian depan dan berjalan
kaki. Masyarakat setempat menggelar tradisi ini sebagai upacara sunatan khusus
bagi anak laki-laki dan perempuan di Wakatobi.

Pesta Rakyat ini diiringi dengan tarian-tarian yang dilakukan oleh pemangku adat,
bersama orang tua kemudian memanjatkan doa bersama anak-anak mereka yang
bertujuan untuk membekali anak-anak mereka dengan nilai-nilai moral dan spiritual.

7. Posuo (pingit) yaitu pesta adat masyarakat Buton yang ditujukan pada kaum wanita
yang memasuki usia remaja sekaligus menyiapkan diri untuk berumah tangga.

8. Dole-dole

Dole-dole merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Buton atas lahirnya
seorang anak. Menurut kepercayaan orang Buton, anak yang telah didole-dole akan
terhindar dari segala macam penyakit. Prosesi dole-dole sendiri adalah sang anak
diletakkan di atas nyiru yang dialas dengan daun pisang yang diberi minyak kelapa.
Selanjutnya anak tersebut digulingkan diatasnya seluruh badan anak tersebut
berminyak. Biasanya dilakukan pada bulan rajab, syaban dan setelah Lebaran sebagai
waktu yang dianggap baik.

8
9. Haroa

Tradisi ini dilakukan untuk menyambut hari-hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri dan
Idul Adha, maulid, atau syukuran. Haroa adalah acara berdoa bersama.

Selain Tradisi diatas masih banyak tradisi lain yang dilakukan dalam masyarakat suku
buton dengan tujuan yang sama tapi nama dan tatacaranya yang berbeda, hal ini di karekan
suku buton sendiri tersebar di beberapa kepulaun di daeran buton.

2.5. Bentuk-Bentuk Perkawinan


Bentuk-bentuk perkawinan di daerah ini adalah scperti bcrikut:
1. Pobaisa
Pobaisa adalah suatu saluran untuk mcncapai perkawman yang melalui persetujuan dari
kedua pihak orang tua laki-laki dan orang tua perempuan. Persetujuan itu diperoleh melalui
perantara atau penghubung yang dinamakan dalam bahasa adat "To-lowea". Tolowea ini
biasanya laki-laki yang sudah berumur atau dari pejabat-pejabat kerajaan atau bekas pejabat
.yang berasal dari kaum walaka dari tingkat kompanyia sampai bonte atau dari pegawai,
bekas pegawai syarat agama atau menurut pilih- an yang berkepentingan Biasa terjadi di'
dalam lingkungan keluar- ga yang dekat sekali. Sebelum diadakan penghubung resmi,
didahului dengan penghubung rahasia, yang biasanya seorang wanita tua yang maksudnya
untuk dapat menghubungi secara langsung, pihak perempuan atas dasar kekeluargaan untuk
mengetahui apakah la- maran yang akan diantarkan nanti mendapat sambutan baik atau
tidak. Cara ini tentunya semata-mata dimaksudkan untuk mencegah adanya penolakan dari
pihak perempuan, yang bukan suatu hal yang mustahil akan timbulnya kekecewaan dari
pihak laki-laki yang seterusnya menjadikan kerenggangan hubungan tali kekeluargaan yang
sebenarnya tidak perlu terjadi, sehingga itulah perlu diketahui diterima tidaknya lamaran
yang akan diantarkan. Demikianlah dan apa yang dilakukan oleh penghubung rahasia
tersebut yang dalam adat dinamakan "pesoloi". Pada waktu yang telah dipilih dan
ditentukan, yaitu pada hari yang baik, orang tua laki-laki memanggil seorang tua yang akan
dijadikan Tolowea, yang sudah diberi tahu lebih dahulu.
Pada hari itu berkumpullah kalangan keluarga, kenalan, serta tetangga pada umumnya,
untuk bersama-sama mendengar dan menyaksikan maksud dari keluarga laki-laki secara
resmi. Berkatalah orang tua laki-laki atau yang mewakili, dalam hal ini tertua dalam
kedudukan adat , "tombakana kukemba kita siy 80 beku yemani tulungi ingkita. beku
pomancuanaaka anata siyla anu" (sebutkan nama laki-laki yang diantarkan sirih
pinang"nya) i-ma anu atawa i-bontona anu (sebutkan nama orangtua, nama pengganti atau
9
jabatan dari orang tua perempuan yang didatangi) i-wa anu (sebutkan nama gadis yang
dipinang). Perlu dicatat di sini bahwa Tolowea karena tugasnya ituberpakaian adat. Tetapi
hukum wajibnya menurut tinggi rendahnya kedudukannya di dalam adat. Selama Tolowea
berada di dalam rumah perempuan. ia belum langsung berbicara menyampaikan maksudnya
. Ia mengambil kesempatan berceritera yang dalam ceriteranya itu secara tidak langsung
merembet maksud kedatangannya dan yang utama tentang kepribadian pemuda yang
diantarkan sirih pinangnya. Dalam ha! Tolowea seperti ini, suatu tanda bahwa orangnya
sudah mahir dan biasa dalam urusan-urusan pertunangan. Malah ada suatu kepercayaan
dalam kalangan keluarga adat. apabila pinangan yang ia bawakan ditolak, dapat terjadi
gadis yang dikehendaki itu seumur hidupnya tidak akan ada lagi laki-laki yang
meminangnya. Setelah beLerapa saat lamanya. bamlah Tolowea memutuskan
percakapannya dengan berkata "lawapulu" (in tu:schschen tweehaakjes) atumpuaku
anctimiyu (lebih tua wali perempuan dari orang tua laki-laki yang diantar sirih pinang) atau
akamiyu (lebih tua wali laki-laki dari wali perempuan). maanu bea pomancuanaaka anana
isarongi la anu i-waanu" artinya "saya disumh oleh adikmu atau kakakmu ma anu
membawa anaknya yang bernama ta amt berorang tua pada wa amt". Sejenak kemudian
barulah orang tua perempuan menjawab "Amalapemo. soopodof"la maka beta paumbapo
duka manga wutitinaisamia rua miana. kaapaaka indamo beta baraa keya_du kaipoliadatita
incana tuarno siy oananamo wutitinai. Daampo mini taumbatiaku duka pendua ipata
malona." Artinya. "baiklah. namun saya beri tahu dahulu famili-famili lainnya. Saudara
tentu maklum bahwa karena adat dalam hal ini bukan lagi anak saya, tctapi anak famili dan
nanti Saudara datangi kembali pada kami empat hari kemudian." Ucapan jawaban orang tua
perempuan. maupun kata-kata Tolowca di atas tidak mutlak harus demikian, namun
tergantung dari yang membawakannya, yang intinya demikian. Dapat diterangkan bahwa
mengapa sehingga jawaban pihak perempuan di dalam adat tidak dijawab pada waktu itu
juga, tetapi diundurkan sampai 4 hari kemudian baru diberikan ketentuan. Pada dasamya
adalah bahwa kesempatan 4 hari itu adalah untuk menyelidiki dan meneliti keadaan pribadi
laki-laki yang membawa sirih pinangnya, antara lain yang utama tentang kelakuan dan adat
sopan santunnya, apakah belum mempunyai isteri, bagaimana agamanya, asal-usulnya.
Dalam perkembangan sekarang ini sering kalangan orang tua menambahkannya
syarat~syarat penyelidikan dan penelitian di atas dengan pendidikannya, pekerjaannya,
kemauan siapa, apa anak atau orang tua.

Masalah asal-usul pada umumnya sudah mendapat pengaruh perkembangan masa, sehingga
tidak lagi menjadi faktor utama yang dapat menghambat tercapainya maksud tujuan,

10
kecuali sudah bersandar kepada rasa cinta-menyintai di antara kedua muda-mudi, lebih
jelasnya keinginan sang gadislah yang memegang peranan dan menentukan. Bahwa selain
maksud penelitian dan penyelidikan keadaan laki-laki atas jangka waktu 4 hari tersebut,
juga dengan bersandar pada perirasa malu bagi pihak permpuan, untuk menjawab dan
menyatakan persetujuannya pada waktu itu juga. Demikian sebaliknya untuk menyatakan
tidak setujunya, adalah melanggar tata kesopanan di dalam harga-menghargai satu sama
lain.
Tepat pada waktu yang dijanjikan, Tolowea mendatangi. Hal penyelidikan dan penelitian
umumnya berlaku untuk mereka yang berasal dari luar lingkungan keluarga. Namun
ketentuan 4 hari kemudian baru diberikan jawaban adalah sudah merupakan adat kebiasaan,
kendati anggota keluarga sekalipun kepada pihak perempuan. Setelah bebcrapa waktu
lamanya duduk bercakap-cakap , maka pihak perempuan membuka pembicaraan dengan
"lawapulu", siy iyumbaakata ipia malona, yitu tatarima meya. Kalau tidak diterima
dikatakan dengan "indaa tatarimaia, amadaki okilala" atau juga indaa tekatoona mangaa
naana atau indaa topisi malape, (terserah yang membawakannya).

2. UNCURA
Seorang laki-laki terpaksa datang duduk, (arti lahiriah uncura "duduk") ke rumah
perempuan yang dikehendakinya. Dala!Jl hal yang Jemikian ini dapat ter jadi baik laki-laki
itu sudah dalam ikatan pertunangan ataupun belum, dengan tujuan untuk mengawininya.
Tindakan ini terjadi disebabkan antara lain karena pinangan yang diantarkan ditolak atau
juga karena pihak perempuan belum ada kesediaan untuk mempercepat kelangsungan
perkawinan sebagai yang dikehendaki laki-laki. Namun saluran ini memerlukan tanggung
jawab laki-laki, justru bukan tidak mungkinakan terjadinya tindakan-tindakan dari pihak
perempuan, mengusir laki-laki itu dengan kekerasan. Selanjutnya laki-laki yang datang
duduk itu diantar oleh seorang tua di samping pengawal yang cukup banyak, tetapi
pengawal ini tidak kelihatan. Yang langsung mengawani laki-laki itu hanya orang tua
tersebut hingga sampai dalam rumah perempuan. Kalau sudah berada dalam rumah,
berkatalah orang tua itu, "Si anu datang duduk pada wa anu dan sekarang si anu sudah
berada di hadapan bapak, dihidupkan atau dimatikan terserah pada bapak, asal ia sudah
berada di muka bapak". Demikian itu kata-kata penyampaian pengawal laki-laki kepada
pihak perempuan dan untuk lengkapnya dalam bahasa Wolio adaIah, "Ikawaaka mami
iwesiy olaanu siy bea uncura i-waanu, ta padadi peya mini atawatapekamatea somanamo
iaroatamo". Cepat tindaknya kelangsungan perkawinan tergantung dari pihak perempuan.

11
Ada kalanya malam itu juga. Sebaliknya dapat terjadi agak lama, malah sampai satu dua
tahun. Teringat kami pada sejarah peristiwa duduknya Ia Karambau (Sultan Buton yang ke
20 dan ke-23 yang mempunyai suatu sejarah khusus selama dalam kedudukannya sebagai
Sultan), yang lamanya lebih kurang 2 tahun baru terlaksana perkawinannya. Selama laki-
laki berada di rumah perempuan dari pihak orang tuanya mengirimkan melalui perantara
sejumlah uang yang dinamakan "balanja" artinya "uang belanja". Kalau pihak perempu.in
merestui maksud laki-laki, maka segala kerugian yang diderita oleh pihak perempuan,
karena perempuan yang diduduki itu tunangan orang, wajib dikembalikan oleh laki - laki
yang duduk itu. Sebaliknya .kalau tidak diterima kehendak laki-laki itu dan keluarga
perempuan melakukan penganiayaan dan sampai menjadikan matinya, karena adat tindakan
keluarga perempuan itu tidak dapat dihukum. Tindak hukum perbuatan ini dalam adat
dinamakan "amate alandakia ajara "artinya mati diinjak kuda." Hal demikian ini penulis
belum pernah mendengar atau dapat mengemukakan suatu kasus, namun adat telah berlaku
dan menuntut yang demikian itu. Kemudian kalau perempuan itu sudah ada tunangannya
seperti disebutkan di atas, laki-laki yang datang duduk itu karena adat wajib menanggung
segala biaya yang pernah dikeluarkan oleh tunangan perempuan itu dan sering terjadi dalam
hubungan ini tuntutan pembayaran dua atau tiga kali lipat dari jumlah yang sebenarnya
dibayar menurut ketentuan adat yang lazim melalui pobaisa, persetujuan. Sebab ketentuan
itu adalah di samping membayar ganti kerugian dari laki-laki tunangan perempuan itu, juga
wajib membayar ketentuan yang dituntut adat dalam pertunangan perkawinan, ringkasnya
semua biaya adat. Bahwa pengeluaran tunangan perempuan dimaksudkan ialah sepanjang
yang melalui adat dan pemberian yang mungkin terjadi langsung di antara muda-mudi tidak
termasuk di dalamnya dan tidak dipersoalkan oleh adat.

3. POPALAISAKA
Popalaisaka terdiri dari unsur anak kata "po" artinya berlawanan dan "palai" artinya
lari, sedangkan "saka" maksudnya laksanakan atau bertemu . J adi jelas berarti lari bersama
atas kemauan bersama. Lawan dari pada saluran ini adalah "humbuni" yaitu melarikan atau
mengambil perempuan dengan kekerasan. Apabila terjadi seorang laki-laki membawa lari
perempuan, maka laki-laki itu membawanya ke rumah salah seorang anggota pejabat agama
di mesjid Keraton atau pegawai syarat agama lainnya. Dari tuan rumah di mana mereka
sementara berada memberikan laporan kepada orang tua atau wali perempuan yang dibawa
lari dengan kata penyampaian "neta peelo kambuutata daangiamoigalampana hukumu",
artinya "apabila mencari kehilangannya, maka telah ada di majelis syarat agama."

12
Popalaisaka dilakukan atas dasar pertimbangan sudah tidak adanya kemungkinan untuk
menempuh jalan pobaisa atau uncura.
Mengenai ketentuan-ketentuan adat tidak akan mengurangi ketentuan yang berlaku pada
saluran-saluran yang tersebut di atas, namun tergantung juga kepada tata cara popalaisaka
itu.
4. HUMBUNI
Humbuni artinya mengambil perempuan untuk dijadikan isteri dengan kekerasan .
Tidak n:ienjadi persoalan disetujui tidaknya oleh pihak perempuan , karena laki-laki yang
berbuat itu sudah nekad untuk menghadapi segala risikonya. Pada masa lampau hal-hal
yang seperti ini pada umumnya dilakukan oleh kalangan putra-putra bangsawan dan walaka
. Umumnya putra-putra dari pejabat kerajaan atau merekayang besar pengaruh orang tuanya
dan disegani.

2.6. Upacara Pelaksanaan Perkawinan


Setelah melalui upacara pertunangan beberapa lamanya berjalan, maka kini kedua
pihak menantikan waktu yang sudah dimufakati bersama untuk saatnya kelangsungan
perkawinan. Waktu perkawinan itu sebagaimana sudah diuraikan, biasanya berlangsung
dalam bulan-bulan Syaban, Zulhaji atau Juma dilawal , yang pada umumnya pula
berlangsung pada waktu malam hari. Tiba waktunya kedua pihak mengadakan undangan
yang dalam adat dikenal dengan " pokemba" kepada keluarga-keluarga dekat maupun yang
jauh , untuk dapat turut mengantarkan dan menerima mempelai. Semua yang hadir
memakai pakaian adat menurut tingkat kedudukan mereka dalam adat. Apabila tidak
dengan berpakaian adat, maka yang bersangkutan tidak dapat turut untuk duduk bersama di
dalam pertemuan adat yang diadakan. Tempat duduk resmi dalam adat ba5. yang hadir
menurut jabatannya dalam adat, ringkasnya menurut tinggi rendahnya kedudukan masing-
masing.
Sudah menjadi adat kebiasaan, beberapa hari sebelum waktu perkawinan tiba, bakal
pengantin perempuan dibawa tinggal di rumah keluarga sampai saatnya waktu perkawinan.
Maksud menyingkirkan perempuan ini d;iri rumah orang tuanya adalah supaya ia tidak
mengetahui secara terang-terangan, apa yang sedang dikerjakan oleh keluarga. Apabila
dipertimbangkan dan dipikirkan hal ini adalah stiatu keadaan yang mustahil sekali kalau
perempuan itu tidak mengetahuinya, namun adat kebiasaan ini sudah berlangsung sejak
lama hingga sekarang ini. Di masing-masing pihak pada mengadakan jamuan makan
yang disebut "haroa ". Kemudian sesudahnya dari pihak perempuan, dengan diiringi oleh
13
beberapa orang perempuan yang sudah tua lanjut usia dan mereka ini pada umumnya
berasal dari kastabawahan dengan dikawal oleh seorang laki-laki, diantarkan-lah karangan
bunga kepada pihak laki-laki. Inilah yang dinamakan pengantaran "kamba". Atas
penerimaan kamba ini pihak laki-laki menebusnya dengan mengirimkan uang sebesar satu
boka sebagai tanda penerimaan. Sekedar penjelasan. penebus kamba tersebut besarnya ada-
lah menurut ketentuan dari pasali perempuan yang mengerjakan kamba itu yang dapat
diketahui oleh pihak laki-laki dengan mendengarkan pelapuran pengantar kamba. Apabila
kamba itu dikerjakan oleh isteri bonto, rnaka besarnya penebus 2 suku atau 60 sen.
Sebaliknya kalau dikerjakan oleh isteri bontogena, maka besarnya adalah I boka.
Pengantaran kamba tersebut juga sebagai suatu tanda peringatan dari pihak perempuan
bahwa mereka sudah bersedia dan siap menerima kedatangan pengantin laki-laki.
Selanjutnya mendekat keberangkatan pengantin laki-laki, meninggalkan rumah orang
tuanya, lebih dahulu disuruh antarkan "lengka lawa" yang besarnya 7 boka dan 2 suku atau
Rp 9,00, bagi golongan walaka atau 30 boka bagi golongan bangsawan. Lengka lawa ini
maksudnya adalah sebagai "pembuka pintu" Dengan diterimanya lengka lawa tersebut
sudah pula menjadi tanda peringatan bagi pihak perempuan bahwa pengantin laki-laki atau
"moajona" tidak lama lagi akan tiba. Dapat diterangkan bahwa besarnya lengka lawa adalah
seperdua dari popolo. Selanjutnya lengka lawa yang diantarkan itu dibagi-bagi oleh mereka
yang menghadiri undangan pihak perempuan dan ketetapannya adalah 2 bagian untuk
bagian laki-laki dan I bagian untuk perempuan "rua dawua too manga umane ibamba, sada
wua too mem balina rindi isuo" . Menurut riwayat pada masa lampau lengka lawa tersebut
merupakan barang, yaitu I kayu kain putih yang dikenal dengan nama " bida" buatan dalam
kerajaan dan kalau tidak ada kain putih dapat diganti dengan sarung juga tenunan dalam
kerajaan beberapa lembar. Demikian itulah apabila disanggupi dan kalau tidak disanggupi
barulah diganti dengan uang yang besarnya seperti tersebut di atas. Seandainya lengka lawa
tidak dibayar seperti tertib diterangkan, maka itu berarti pengantin laki-laki dan semua
pengiringnya tidak akan dibukakan pintu untuk masuk dalam rumah perempuan , kecuali
melalui tata adat secara khusus yang dinamakan "joli". Joli menurut arti logatnya ialah
"tutup". Pada waktu joli ini pihak perempuan berada di dalam kintal rumah, sedang- karr
pihak laki-laki termasuk pengantin laki-laki berada di luar pagar. Dari masing-masing pihak
mengutus jurubicaranya yang mereka itu dipilih dan akhli didalam kata-kata kiasan atau
sindiran yang dalam hal ini berbentuk rangkaian kalimat syair. Pada setiap kali selesai
berbicara dengan berpantunan satu sama yang lain, pihak laki-laki membayar sejumlah
uang sampai pada akhirnya cukup dan sesuai jumlahnya dengan besarnya lengka lawa.
Apabila sudah cukup tetapi pintu belum juga dibukakan dan masih terus bermain , maka
14
dari keluarga laki-laki turut memberikan sumbangan uang yang besarnya menurut
keinginan dan kerelaannya sendiri tanpa batas. Ini namanya kauluna wutitinai. Diterangkan
lebih jauh bahwa perempuan . yang menjadi pengantin sebelum mempelai laki-laki datang,
sudah lebih dahulu dijemput dari rumah tempat disingkirkan. Kemudian apa bila tiba , maka
dari pintu masuk sudah bersiap-siap seorang perempuan tua vang terpilih yang langsung
mengantarkan perempuan itu ke kamar mempelai dengan ucapan sambil mendorongnya
"iweitumo mbooresamu te laanu", artinya "disitulah tempat tinggalmu dengan laanu" .
Pada waktu itu menurut adat kepercayaan dianggap pemali apabila perempuan itu menangis
dengan bersuara, yang mana sebaliknya pada waktu dipingit hams menangis dengan suara
keras, malah sampai ada yang dipukuli kalau tidak menangis. Demikianlah setelah
mempelai perempuan berada di dalam kamar pengantin semua larnpu yang pada waktu
kedatangannya dari rumah penyingkirannya, kernbali dinyalakan. Sewaktu tiba pengantin
laki-laki dan rnengambil tempat duduk yang ditunjukan dan pengiringnya sudah pula pada
duduk menurut tingkat kedudukan rnereka di dalarn adat, tidak lama pengantin laki-laki
diantar masuk ke karnar pengantin di mana di tempat itu akan dilakukan akad nikah.
Diterangkan bahwa di dalam kamar pengantin tersebut ada 4 orang perempuan tua atau 8
orang bagi kaurn bangsawan dimana 4 orang perempuan dari kaum walaka dan 4 orang dari
kaurit bangsawan, yang mereka ·ini dinam?.kan "bisa". Pakaian pengantin laki-laki ada
yang dinamakan "tandaki", "bewe patawala" dan "balahadada". Selesai akad nikah kedua
pengantin masih harus menunggu 4 hari lagi, di mana pada waktu itu akan berlangsung pula
upacara adat yang puncak. Selama empat hari itu pengantin laki-laki ditemani oleh tiga
orang bisa sedangkan pengantin peremp!lan satu orang. Dijelaskan selanjutnya bahwa
kee111pat orang yang discbut bisa itu termasuk orang-orang tua pilihan dari mereka yang
mempunyai banyak keturunan serta dari bekas orang-orang besar kerajaan sekurang-
kurangnya orang yang dianggap tertua dalam lingkungan keluarga. Mereka itu
berkewajiban untuk memberikan pengertian daii petunjuk-petunjuk yang menuju kepada
kebahagiaan rumah tangga yang akan dibina oleh kedua suami isteri nanti. Ketiga orang
bisa yang mengawal pengantin laki-laki dinamakan "bisa umane" dan yang mengawal
perempuan tersebut dinamakan "bisa bawine". Bisa bawine ini dipandang sebagai yang
terpandai dan berpengalaman dari pada ketiga orang rekannya. Kesempatan seiama empat
hari itu sampai pada hari yang terakhir yaitu hari "pobongkasia". Ketika diadakan upacara
terakhir, keluarga laki-laki maupun perempuan silih berganti datang mengantarkan apa yang
dinamakan "baku", yang maksudnya sebagai bekal ke pada pengantin baru. Besarnya baku
Hu tergantung daripada besarnya pasali yang menyuruh antarkan. Kalau baku kiriman dari
Bontogena, maka besarnya adalah l boka dan kalau dari maharaja Sapati 2 boka, demikian
15
seterusnya menurut tingkat kedudukan yang bersangkutan dalam adat.
Suatu pengecualian dari ketentuan di atas adalah baku yang berasal dari saudara-saudara
atau orang tua laki-laki sendiri, besarnya ditetapkan tiga boka dan bukan menurut besarnya
pasali mereka. Pengantar baku ini pada umumnya terdiri dari anak laki-laki dan peretr.puan
yang ditemani oleh seorang perempuan tua, yang mana pengawal ini berasal dari kasta
bawahan.
Apabila baku itu sudah diterima, maka kepada anak-anakyang mengantarkan baku
diberikan pada tiap boka untuk pengantaran baku uang 10 sen selaku tanda terirna dan
ucapan terima kasih. Uang pemJerian kepada anak-anak ini langsung dimintakan dari
pengantin laki-laki, dimana uang persediaan untuk itu diperoleh dari orang tuanya sejak
berangkat meninggalkan rumahnya. Uang ini namanya "antona kadu-kadu" artinya "isi
kantung". Pada hari pobongkasia kedua pengantin memakai lagi pakaian adat pengantin.
Adapun nama dari pakaian pengantin perempuan pada waktu ini adalah "kombo". Apabila
pada hari pobongkasia diadakan upacara, maka yang demikian itu dinamakan "akomata",
artinya "bermata". Maksud dan tujuannya untuk "dilihat" dan disaksikan oleh keluarga serta
kesemratan untuk memberikan ucapan selamat berbahagia. Ada juga tentunya yang tidak
akomata, tergantung dari kemampuan pihak yang bersangkutan .
Pengantin laki-laki di tengah-tengah keluarga dari kedua belah pihak yang terdiri dari laki-
laki sedangkan pengantin perempuan berada juga di tengah-tengah keluarga yang terdiri
dari wanita-wanita, dengan diapit oleh 2 orang perempuan yang sudah hersuami, tetapi
masih muda dalam usia dan belum mempunyai suatu kedudukan di dalam adat, yang duduk
dengan tenangnya. Kedua wanita yang mengapit itu juga dalam pakaian adat khusus untuk
mengapit. Dalam upacara ini semua yang hadir pada mendapat pasali, yaitu suatu
pemberian sejumlah uang menurut tingkat kedudukan mereka dalam adat dari orang tua
perempuan maupun laki-laki yang disebut "pasali". Suatu pengecualian adalah pemberian
pasali dari kedua pengantin besarnya karena adat I boka masing-masing. Setelah selesai
upacara adat ini kedua pengantin kembali ke tempat dan berlakulah nanti upacara sederhana
yaitu keduanya akan makan bersama dengan ditemani oleh keempat bisa dan dengan itu
selesailah kewajiban bisa. Sebagai tanda pembukaan pembicaraan yang pertama antara
suami isteri, dari sang suami memberikan suatu benda berupa perhiasan wanita yang pada
umumnya dari emas. Namun ada pula yang dari perak. Pemberian dalam adat ini dinamakan
"poabakia". Poabakia ini menjadi hak mutlak dari isteri yang tidak dapat dituntut kembali
oleh suami walaupun terjadi perceraian atau karena isteri meninggal dunia dan tidak ada
anak. Bahwa pada hari sebelumnya pobongkasia laki-laki hanya memakai senung dan

16
destar yang namanya destar "kampurui mpalangi".

2.7. Upacara Sesudah Perkawinan


Sesudah beberapa hari selesai hari pobongkasia , pengantin laki-laki mengadakan
perkunjungan ke rumah orang tuanya, turun tanah yang pertama. Turun tanah pertama ini
juga dilakukan dengan suatu upacara adat namun sederhana. Pada waktu kembalinya ia
diberikan sesuatu barang yang akan menjadi pemberian kepada isterinya sebagai oleh-oleh
dan namanya "kaba-ku". Sesudah kunjungan pertama ini maka diadakanlah pula
permufakatan dan memilih waktu untuk mengantar peti pakaian dari laki-laki. Pihak
perempuan mengadakan pula undangan kepada keluarga guna menerima kedatangan
pengantaran peti pakaian laki-laki yang dalam bahasa adat disebut "dingkanana umane"
atau
lengkapnya "bawaana diangkanana umane" . Di samping pengantaran peti ini juga termasuk
dengan segala kebutuhan rumah tangga lainnya , seperti alat keperluan dapur . Di rumah
perempuan , keluarga yang berkumpul di samping bermaksud untuk menerima , yang
penting adalah sebagai suatu penyaksian barang-barang bawaan masing-masing pihak.
Setelah peti pakaian laki-laki berada di rumah perempuan diantar langsung masuk kamar
pengantin lalu dibuka dan dikeluarkan satu-persatu isinya , kemudian disatukan dengan
barang-barang bawaan perempuan. Pada waktu mempersatukan barang suami isteri tersebut
bertindak sebagai orang tua seorang yang ditunjuk oleh keluarga sambil membakar
kemenyan memohon doa keselamatan dan kebahagiaan suami isteri yang baru melayarkan
bahtera hidup rumah tangga . Penyaksian keluarga dari kedua pihak sebagaimana
disebutkan di atas sangat erat hubungannya dengan permasalahan harta warisan kalau
terjadi perceraian hidup atau mati dengan tidak meninggalkan anak . Perbuatan-perbuatan
adat ini sudah mendarah daging dalam kalangan keluarga Wolio . namun sekarang sudah
mendapat pengaruh keadaan, masih juga berlaku sebagai disebutkan di atas. Kalau pada
masa lampau dalam adat kedua mempelai tidak dibenarkan oleh adat duduk bersanding,
maka yang nampak sekarang setelah selesai upacara adat pobongkasia, kedua mempelai
diabadikan di muka lensa dengan duduk bersanding di muka umum atau berdiri berdua
sejenak. Selanjutnya beberapa hari lamanya selesai upacara-upacara adat yang disebutkan,
sang isteri tidak dibenarkan untuk kedapur tetapi pekerjaan dapur masih dikerjakan oleh
saudara- saudaranya atau anggota keluarga lainnya seperti kemenakan kemenakan. Dalam
hal ini tentunya bagi mereka yang mampu dan yang umum terjadi adalah putri-putri dari

17
pembesar kerajaan. Sepekan dua berlalu, tiba pula saatnya diadakan upacara adat yang
dinamakan perkunjungan isteri ke rumah orangtua suaminya ke rumah mertua. Pada hari
yang ditentukan berkumpul lagi keluarga yang akan turut mengantarkan dengan memakai
pakaian adat pula. Sedangkan di rumah laki-laki demikian juga halnya, malah kadang-
kadang lebih banyak dimana sudah disediakan kamar khusus yang penuh dengan hiasan
dinding, kelambu, langi-langi yang diukir bagi mempelai. Dan kebutuhan rumah tangga
sudah tersedia seperti piring-piring. mangkok. periuk dan sebagainya, yang pada waktu
kembalinya menjadi pemberian suami isteri dari orang tua laki-laki. Selama berada di
rumah laki-laki dari keluarga perempuan maupun dari keluarga laki-laki silih berganti
mengantarkan makan-makanan untuk kedua suami isteri. Pemberian ini apabila berasal dari
keluarga perempuan dinamakan "pobalobua keya" dan isinya adalah nasi kuning dengan
tutup di atasnya telur goreng. Sedangkan yang diantarkan oleh keluarga laki-laki dinamakan
"bunga waro" atau juga "kalonga". Beberapa lamanya berada di rumah orang tua laki-laki.
suami isteri berkenan kembali pada rumah orang tua perempuan, maka kembalinya .
mereka. semua kelengkapan rumah tangga seperti disebutkan di atas dari laki-laki yang
sudah disediakan dibawa bersama. Dari barang kepcrluan seperti tempat tidur dan
kebutuhan dapur. Demikian pula sekedar upacara perkunjungan isteri ke rumah mertuanya.
Tinggallah suami isteri dan dengan kuasa Tuhan sang isteri mulai mengandung. Maka pada
kandungan yang berjalan 7 bulan, setidaknya di dalam bulan yang ke-8 kembali keluarga
dari kedua pihak mengadakan upacara yang dalam hal ini disebut "apaperoua", artinya
"dicuci mukanya". Yang melakukan upacara ini adalah dukun dari sang isteri sendiri yang
bakal menjadi bidannya di masa melahirkan . Maksud dan tujuan hakiki apaperoua ialah
membersihkan bayi atau janin semoga bayi yang dikandung kelak akan menjadi anak yang
baik dalam gerak dan tingkah laku serta cantik jasmani, tidak cacat.
Menyusul upacara adat yang dinamakan "apakandea" atau biasa dinamakan "asipoa"
menjelang kandungan diantara 8 dan 9 bulan. Arti dan maksud "diberi makan" , dimana
setiap yang hadir secara bergilir menyuapi makanan kepada bakal ibu dan sesudahnya
memberikan sekedar uang. Hadirin melakukan penyuapan nasi, sesudah lebih dahulu
dibuka oleh dukun. Uang pemberian ini dinamakan "kasipo". Demikianlah dengan ha-
rapan mudah-mudahan bayi yang akan dilahirkan nanti mendapat rezeki yang banyak di
samping menjadi anak yang bersusila, menjadi manusia yang insanul kamil. Dan akhimya
pada waktu kelahiran bayi yang dimaksudkan kembali keluarga datang menengok dan
dalam perkunjungan ini biasanya mereka memberikan sesuatu barang dan umumnya berupa
kebutuhan bayi seperti sabun mandi, bedak dan adapula dengan uang. Dari uang pemberian
asal baku dari sejak semula sampai pada pemberian kasipo dan pemberian kepada bayi
18
dimaksudkan semuanya sebagai bantuan keluarga kepada suami istri untuk kehidupan
mereka selama belum mendapat pekerjaan tetap atau untuk bantuan biaya tempat tinggal
selama mereka belum mendapat rumah tempat tinggal yang tetap, karena tidak jarang
terjadi mereka tinggal di rumah salah seorang anggota keluarga sebab belum adanya rumah
atau karena tidak ada rumah dari orang tua.

2.8. Baju Adat Suku Buton

Menjadi bagian dari identitas budaya, pakaian adat tradisional daerah merupakan salah satu
unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan suku bangsa.

Pakaian adat tradisional ini dalam kehidupan nyata mempunyai berbagai fungsi yang sesuai
dengan pesan-pesan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.

Pakaian tradisional adat Buton, Sulawesi Tenggara yang bernama “kombo” sekilas mirip
dengan hanbok, pakaian tradisional masyarakat Korea.

Bagi masyarakat Buton, pakaian adat tradisional mempunyai makna istimewa. Masyarakat
mengenakan pakaian adat tradisional dengan ciri-ciri atau spesifikasi tertentu seperti warna,
bentuk, perhiasan, jumlah aksesoris yang digunakan, serta perlengkapan lainnya. Ciri
tersebut menandakan tingkatan status sosial dalam kehidupan masyarakat Buton.

Baju kombo adalah pakaian kebesaran kaum wanita Buton. Bahan dari baju kombo terbuat
dari kain satin dengan warna dasar warna-warni, yang dihiasi dengan manik-manik, benang
19
berwarna yang biasanya terdiri dari benang emas atau benang perak, serta dihiasi berbagai
macam perhiasan yang terbuat dari emas, perak, maupun kuningan.

Pakaian ini terdiri dari satu pasang, berupa baju atasan dan bawahan sarung yang disebut
bia ogena (sarung besar). Untuk permukaan baju, dijahitkan rangkaian manik-manik dengan
bentuk belah ketupat.

Pada setiap petak belah ketupat terdapat hiasan dari perak atau kuningan dengan motif
tawana kapa (daun kapas), dan pada ujung daun kapas tersebut dijahitkan sekuntum bunga
yang berdiri tegak.

Sarung yang dipakai sebagai kelengkapan pakaian kombo yang disebut bia ogena adalah
sarung yang terdiri dari gabungan beberapa macam warna polos seperti merah, hitam, hijau,
kuning, biru, dan putih yang dijahit secara bertingkat-tingkat. Artinya menunjukkan alam
kejadian manusia dan jagad raya, bahwa proses kejadian manusia dan alam semesta
diciptakan oleh Tuhan secara bertahap.

Pemakaian baju adat ini dibedakan dari jenis sarung yang dikenakan untuk bangsawan dan
rakyat biasa. Para bangsawan mengenakan jenis sarung kumbea yang memiliki hiasan emas
sedangkan jenis sarung bagi rakyat biasa tidak memiliki hiasan emas.

Kaboroko  berarti krah (leher) dikatakan demikian karena baju ini agak berbeda dengan
jenis baju Buton lainnya, dimana baju ini mempunyai kerah yang disertai dengan adanya
berbagai macam hiasan dan aksesoris yang dilekatkan padanya. Terdapat empat buah
kancing logam pada leher sebelah kanan dan tujuh buah kancing pada lengan baju.
Kancing-kancing itu tidak berfungsi sebagaimana lazimnya kacing baju, namun hanya
merupakan pertanda golongan. Sarung lapisan dalam berwarna putih sedangkan lapisan luas
(atas) sarung warna dasar hitam dengan corak garis-garis. Sarung tersebut disebut
sebagai Samasili Kumbaea atau Bia-Bia Itanu. Pada sanggulnya diikatkan potongan-
potongan yang digulung dari kain yang berwarna putih dan kuning.

 Mengenai makna yang terkandung dalam pakaian Kaboroko  ini berikut akan disajikan


kutipan hasil wawancara :

Kaboroko  berarti baju berkerah atau memiliki kerah. Penggunaan baju Kaboroko bagi


wanita Buton adalah pada saat-saat diadakannya upacara adat (khususnya golongan
Walaka/golongan tengah/ bukan La Ode/Wa Ode).

Tidak terdapat perbedaaan makna antara baju yang digunakan oleh bangsawan maupun
bukan bangsawan. Pemakaian kain sarung yang dipakai secara berlapis-lapis ini
dimaksudkan bahwa orang yang memakainya adalah para ibu rumah tangga yang telah
memiliki anak keturunan sehingga bermakna telah mempunyai tanggung jawab yang harus
20
selalu dijaga dan dilindunginya yang ditandai dengan penggunaan selendang yang dililitkan
pada sekujur tubuhya dengan ketentuan warnanya.

Tetapi jika ia masih gadis, Kaboroko digunakan tidak dengan berlapis-lapis kain sarung,


hanya satu buah sarung saja yang sekaligus berfungsi sebagai rok”.

Pengertian baju kaboroko menurut bapak Hazirun Kudus sama halya dengan pengertian dari
bapak  La Ode Zaady, berikut kutipan hasil wawancaranya .

Kaboroko adalah salah satu baju adat yang digunakan oleh para wanita Buton. Baju ini
terdiri dari satu lembar baju dan tiga lapis kain sarung yang dipergunakan secara bersamaan
dengan lapisan paling bawah adalah kain sarung yang berwarna putih, lapisan kedua
adalah Bia-Bia Itanu/Samasili Kumbaea sedang lapisan ketiga adalah kain lebar yang lebih
mirip selendang dan dililitkan pada sekujur tubuh pemakainya dengan cara bagian ujung
kain sebelah kiri dipegang oleh tangan kiri dengan arah ke dalam.

Terdapat perbedaan penggunaan warna selendang oleh para ibu pada baju Kaboroko .
Antara lain warna Biru adalah bagi para ibu yang telah memiliki anak lebih dari satu orang,
warna merah atau hitam bagi ibu yang baru mempunyai satu anak dan warna kuning adalah
bagi para janda. Sedang maknanya adalah melindungi hak dan kewajiban pribadi maupun
anggota keluarga dari segala hal yang dapat membahayakan kehidupannya, begitu juga
tanggung jawab akan melindungi adat dan ajaran agama demi tercapainya keselamatan dan
kesejahteraan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara”.

Berdasarkan kutipan wawancara di atas maka dapat disimpulkan bahwa


baju Kaboroko mempunyai makna bahwa seorang wanita harus melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam melindungi diri dan anggota keluarganya dari segala sesuatu yang
dapat membahayakan kehidupan, adat dan ajaran agama. Sedang perbedaan warna yang
terdapat pada selendang yang digunakan lebih cenderung kepada makna bahwa perbedaan
jumlah  anak yang telah dimiliki.

     1.  Baju Kambowa

21
Kambowa adalah salah satu jenis pakaian adat Buton yang digunakan oleh para ibu, gadis
maupun anak-anak dalam berbagai kesempatan adat bahkan dapat pula berfungsi sebagai
pakaian hari-hari pada masa lampau. Baju terdiri dari satu buah baju berwarna polos
(kuning, biru, hijau, ungu) begitu juga sarung yang digunakan. Baju ini berbentuk ponco
dan tidak memiliki kerah baju. Lengan baju hanya sampai pada bawah siku dengan bahan
satin.

Bagi seorang ibu bangsawan baju Kambowa ini digunakan pula kain sarung yang terdiri
dari tiga lapis layaknya yang digunakan pada baju Kaboroko , sedang yang bukan
bangsawan hanya menggunakan satu lapis sarung yaitu Bia-Bia Itanu/Samasili Kumbaea.

Lebih lanjut mengenai makna yang terkandung dalam baju Kambowa ini dapat dilihat pada
kutipan hasil wawancara sebagai berikut :

leher baju yang tidak berkerah melambangkan bahwa pemakainya dilingkari oleh berbagai
aturan adat dan agama yang harus dipatuhi dan dijalankan sepenuh hati demi kebaikannya
sendiri”.

baju ini melambangkan bahwa pemakainya dilingkari oleh berbagai ajaran adat dan agama
yang harus dilindunginya atau dapat saya katakan bahwa makna yang terdapat pada
baju Kambowa ini adalah sama dengan makna yang terkandung dalam baju Kaboroko ”.

“untuk memudahkan adik mengartikan makna yang terdapat pada baju Kambowa maka


makna apa yang terdapat pada baju Kaboroko  itulah juga makna baju Kambowa”.

“baju Kambowa memiliki makna yang sama dengan baju Kaboroko ” (Wawancara; La


Ode Zaady, September 2006).

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa makna yang terdapat pada
baju Kambowa adalah sama dengan makna yang terdapat pada baju Kaboroko . Namun
demikian menurut para informan ada beberapa perbedaan kecil tentang makna antara
baju Kambowa dengan baju Kaboroko.

2. Baju Perangkat Adat (Pakeana Syara)

Seperti namanya, baju ini dipakai saat acara adat atau agama dilaksanakan. Pakaian ini
menutupi tubuh penggunanya, dihiasi dengan motif tenunan tradisional Buton yang berupa
garis-garis yang membujur dan melingkar. Penggunaan simbol dan motif dalam pakaian ini
melambangkan ketaatan masyarakat Buton akan aturan agama dan adat.

3. Pakaian Ajo Tandaki

22
Pakaian ini hanya terdiri dari sehelai kain besar yang disebut bia ibeloki. Pakaian ini mirip
dengan pakaian ihram yang digunakan umat muslim saat berhaji, bedanya ajo tandaki
berwarna hitam bukan putih. Pakaian ini biasanya dikenakan oleh anak yang baru disunat
bahkan sampai acara pernikahan. Pakaian ini dikenakan bersama tandaki (semacam
mahkota), ikat pinggang yang diukir dan sebilah keris.

4. Pakaian Ajo Bantea

Pakaian ini hanya terdiri dari celana panjang (sala arabu) yang melambangkan keterbukaan
anak bangsawan terhadap masyarakat yang lain tanpa memandang status sosial. Ajo bantea
atau pakeana mangaanaana dikenakan oleh anak-anak bangsawan yang belum menduduki
jabatan di pemerintahan kesultanan Buton. Ditambahkan pula penggunaan kampurui bewe
patawala atau kampurui tumpa atau kampurui palangi yang dikenakan bersama lepi-lepi,
keris, sarung samasili kumbaea atau bia ibeloki, dan bia ogena.

5. Pakaian Balahadada

Pakaian Balahadada terdiri atas destar, baju, celana, sarung, ikat pinggang, keris, dan bio
ogena atau sarung besar yang dihiasi dengan pasamani diseluruh pinggirannya. Pakaian ini
merupakan pakaian adat seluruh pria di Buton, yang melambangkan keterbukaan pejabat
untuk mendengarkan segala keluhan, saran dan kritik rakyatnya.

2.9. Rumah Adat Suku Buton

Rumah adat Sulawesi Tenggara yang bernama rumah adat Banua Tada sebenarnya
adalah rumah adat yang dikenal dalam budaya suku Buton. Rumah adat Banua Tada adalah
peninggalan kesultanan Buton dana dapat ditemukan dengan mudah hingga saat ini.
Rumah adat Banua Tada selain menjadi budaya dan peninggalan bersejarah juga merupakan
bukti eksistensi Islam di Buton. Sebab, tidak sedikit ornamen yang menjadi ciri khas di
rumah adat ini berukirkan tulisan dalam Bahasa Arab.
Rumah adat Sulawesi Tenggara ini terdiri dari dua kata, Banua dan Tada. Benua
mempunyai arti sebagai rumah, sementara Tada artinya adalah siku. Ketika digabungkan,
rumah ini memiliki arti sebagai rumah siku.
Menurut sejarah, rumah adat Banua Tada ini pertama kali dibangun pada masa Raja Buton
pertama, yaitu Wa Kaa Kaa. Pembuatan rumah adat ini merupakan wujud warga adat untuk
menghormati raja mereka. Pada waktu itu, rumah yang dibangun cenderung sangat
sederhana tanpa ada hiasan apapun.
Setelah Murhum menjadi sultan pertama di Kesultanan Buton, barulah rumah adat Banua
Tada mulai mengenal hiasan-hiasan yang membuat rumah adat Sulawesi Tenggara itu
menjadi semakin menarik. Ukurannya bahkan lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Rumah adat Laikas memiliki karakteristik yang berbeda dengan rumah adat lainnya. Begitu
juga dengan hunian,pastinya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Jika Anda sedang
mencari rumah yang unik di Sulawesi Tenggara dengan harga terjangkau. Cek pilihan
hunian di bawah Rp700 jutaan di sini!

23
Karakteristik Rumah Adat Sulawesi Tenggara

Rumah adat Sulawesi Tenggara memiliki karakteristik dan ciri khas khusus yang
membedakannya dengan rumah adat lain. Rumah adat Banua Tada memiliki tiga jenis
rumah. Yaitu Kamali atau Malige yang merupakan rumah atau istana tempat tinggal bagi
raja dan keluarganya.
Lalu ada Banua Tada Tare Pata Pale, rumah siku bertiang empat tempat tinggal para pejabat
dan pegawai istana, dan Banua Tada Tare Talu Pale yang merupakan rumah siku bertiang
tiga tempat tinggal bagi orang biasa.
Pada rumah adat Malige, terdapat banyak simbol dan hiasan yang banyak dipengaruhi oleh
konsep dan ajaran tasawuf. Simbol dan hiasan ini juga melambangkan nilai-nilai budaya,
kearifan local, dan juga cerita dari peradaban kesultanan Buton di masa lampau.
Di rumah adat Malige, biasanya mempunyai delapan tiang samping, empat tingkat, dan
lantai rumah berbahan dasar kayu bertingkat. Sementara pada rumah adat Banua Tada Tare
Pata Pale memiliki enam tiang samping, satu tingkat, dan lantai rumah kayu tidak
bertingkat.
Sementara rumah adat Banua Tada yang diperuntukkan bagi orang biasa hanya mempunyai
empat tiang samping, satu tingkat, dan lantai bambu yang tidak bertingkat. Namun secara
umum, rumah adat Sulawesi Tenggara ini terbuat dari susunan batu sungai atau batu
gunung berbentuk pipih tanpa perekat.

Tiang pada bangunan juga menggunakan kayu berbentuk segi empat dan tiap
tiang dilubangi sebagai penghubung tiang satu dengan tiang yang lain. Sebab
pada rumah adat Sulawesi Tenggara tidak menggunakan paku untuk menyatukan
kayu yang satu dan lainnya.
24
Bahan Bangun Utama Rumah Adat Sulawesi Tenggara
Rumah adat Sulawesi Tenggara memiliki bentuk seperti rumah panggung. Untuk bahan
bangunan utamanya adalah kayu tanpa menggunakan paku. Kayu yang digunakan sendiri
biasanya adalah kayu berkualitas unggul, seperti kayu Nangka, jati, dan bayem.
Khusus untuk kayu dari pohon Nangka, biasanya akan dipakai sebagai rangka atap
dikarenakan penggunaan bahan tersebut dianggap sakral oleh masyarakat setempat.
Sementara itu, bagian atapnya akan dibalut dengan menggunakan daun rumbia atau nipah.
Pada bagian lantai, rumah adat Sulawesi Tenggara menggunakan bambu yang sbeelumnya
telah direndam dengan air garam. Setelah zaman berkembang, terutama akibat pengaruh
jajahan Portugis, rumah adat Banua Tada mengalami beberapa perubahan. Salah satu yang
terlihat adalah pada pondasi rumah yang sudah mulai menggunakan bata dan lantainya
menggunakan papan kayu.

Rumah adat Sulawesi Tenggara memiliki berbagai macam motif unik yang menjadi ciri
khasnya. Motif rumah adat ini umumnya terdiri dari macam-macam flora dan fauna. Tiap
motif ini memiliki makna dan filosofinya sendiri yang unik.
Semisal Nanasi, merupakan hiasan berbentuk nanas yang ditempatkan di ujung atap rumah
depan dan belakang. Nanasi menjadi lambing akan keuletan dan kesejahteraan.
Penggunaannya melambangkan di mana pun orang Buton yang berada dalam berbagai
kepentingan dan harus ulet dalam menghadapi segala tantangan alam.
Ada juga motif Bosu-bosu, sejenis buah-buahan mirip buah delima yang motifnya menjadi
simbol keselamatan, keteguhan, dan kebahagiaan. Motif Ake yang berbentuk patra
melambangkan kesempurnaan dan juga bersatunya Sultan sebagai Manusia dengan Khalik
atau Pencipta.
Motif Kambang atau sejenis kembang yang berbentuk kelopak Teratai atau matahari
menjadi simbol kesucian dan kemajuan atau perkembangan dari masa Majapahit ke masa
Islam. Sementara motif fauna yang paling dominan adalah motid naga yang ditempatkan
pada bubungan atap rumah. Motif naga melambangkan kekuasaan dan pemerintahan, yang
dipasang agar penghuninya terhindar dari segala macam bahaya, terutama angin jahat.

25
BAB III
PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan berkaitan dengan Budaya Suku Buton dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:

1. Kebudayaan merupakan salah satu warisan budaya dari pada nenek moyang yang
sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat. Begitu juga halnya dengan
masyarakat Suku Buton.
2. Budaya terbentuk dari banyak unsur termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana
juga budaya, merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari diri manusia.
3. Suku Buton memiliki banyak tradisi yang menjadi ciri khas budaya dari suku Buton
dan menjadi kebanggaan tersendiri.

3.2 Saran

Dari makalah ini penulis memberikan saran yaitu :


1. Kepada generasi muda suku Buton diharapakan lebih peduli terhadap peniggalan nenek
moyang yang menjadi peninggalan sejarah yang perlu dipublikasikan kedunia luar dan terus
menjaga dan melestarikan kesenian yang ada sejak jaman dahulu kala agar tidak hilang dan
lenyap begitu saja.

2. agar pihak-pihak yang berkompeten lebih meningkatkan kualitas sanggar yang ada di
Buton agar seluruh masyarakat mengetahui kesenian yang di suku Buton.

3. Kepada Dinas Pariwisata dan dinas terkait yang berfungsi untuk menjaga kelestarian
kebudayaan sepatutnya agar memberikan perhatian khusus supaya kita tidak kehilangan
indentitas budaya yang ada sejak zaman dahulu.

26
DAFTAR PUSTAKA

https://kebudayaan.butonkab.go.id/sejarah_1_suku_buton_sulawesi_tenggara

https://repositori.kemdikbud.go.id/13548/1/Adat%20dan%20upacara%20perkawinan
%20wolio.PDF

https://fitinline.com/article/read/7-ragam-pakaian-adat-buton/

https://www.rumah.com/panduan-properti/rumah-adat-sulawesi-tenggara-60062

27

Anda mungkin juga menyukai