Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

STUDI MASYARAKAT INDONESIA

“PEMBENTUKAN SUKU BANGSA KAILI”

DISUSUN OLEH

NAMA : MOH. SYAHRIR

NIM : A 311 18 042

KELAS : C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN P. ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, atas nikmat
iman, kesehatan, dan kesempatan sehingga masih diberikan kesempatan untuk
menyelesaikan tugas MID mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia. Shalawat
serta salam kita haturkan kepada junjungan, panutan, dan suri tauladan kita Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mempelajari Studi Masyarakat Indonesia sangat penting bagi mahasiswa


Pendidikan Sejarah. Tugas ini dibuat dengan semaksimal mungkin, dengan
mengambil sumber literatur terpercaya seperti dari buku, jurnal, artikel, skripsi
maupun e-book, meskipun dengan keterbatasan literatur buku karena hingga kini
dunia masih menghadapi pandemi covid-19, namun Alhamdulillah Tugas ini
dapat terselesaikan.

Kami sadari bahwa Tugas ini masih terdapat beberapa kekurangan, oleh
karena itu kami membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Dan
penulis berharap, semoga Tugas ini bermanfaat bagi pembaca maupun orang
banyak.

Palu, Mei 2021

Penulis

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1

1.3 Tujuan.............................................................................................................1

BAB II......................................................................................................................2

PEMBAHASAN......................................................................................................2

2.1 Wilayah Geografis, Pembentukan Suku Bangsa, Sistem Kekerabatan dan


Pemerintahan Suku Kaili......................................................................................2

2.2 Penuturan Bahasa Suku Kaili.........................................................................7

2.3 Kebudayaan dan Kearifan Lokal Adat Istiadat Suku Kaili............................8

2.4 Peninggalan Suku Kaili................................................................................20

BAB III..................................................................................................................22

PENUTUP..............................................................................................................22

3.1 Kesimpulan...................................................................................................22

3.2 Saran.............................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suku bangsa merupakan komunitas dalam suatu masyarakat yang dapat
membentuk suatu peradaban. Setiap suku bangsa mempunyai ciri khas,
keunikan, kearifan lokal dan sejarahnya sendiri. Hal ini berlaku pula bagi suku
Kaili, suku yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah khususnya di Kota Palu,
Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, sebagian wilayah Kabupaten Parigi
Moutong, sebagian wilayah Kabupaten Poso dan sebagian wilayah Kabupaten
Tojo Una Una.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Wilayah Geografis, Pembentukan Suku Bangsa, Sistem
Kekerabatan dan Pemerintahan Suku Kaili?
2. Bagaimana Penuturan Bahasa Suku Kaili?
3. Bagaimana Kebudayaan dan Kearifan Lokal Adat Istiadat Suku Kaili?
4. Apa saja Peninggalan Suku Kaili?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Wilayah Geografis, Pembentukan Suku Bangsa, Sistem
Kekerabatan dan Pemerintahan Suku Kaili
2. Mengetahui Penuturan Bahasa Suku Kaili
3. Mengetahui Kebudayaan dan Kearifan Lokal Adat Istiadat Suku Kaili
4. Mengetahui Peninggalan Suku Kaili

1
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Wilayah Geografis, Pembentukan Suku Bangsa, Sistem Kekerabatan dan
Pemerintahan Suku Kaili

Suku Kaili merupakan suku bangsa terbesar di Sulawesi Tengah. Letak


geografis Suku Kaili yaitu mendiami wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya
di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, sebagian wilayah Kabupaten
Parigi Moutong, sebagian wilayah Kabupaten Poso dan sebagian wilayah
Kabupaten Tojo Una Una.

Pembentukan suku bangsa Kaili sudah terjadi sebelum Sawerigading


mendatangi Sulawesi Tengah. Namun karena kekurangan referensi, penulis
mengawali dari tahun 1899 sampai tahun 1970. Khalayak umum masih
mengelompokkan Sulawesi Tengah dalam kelompok Toraja, terutama dalam
karya-karya tulis ilmiah. Kemudian tahun 1971 lahirlah pengelompokkan logat
atau bahasa yang berbeda dengan pengelompokkan logat atau bahasa diatas. 1
Sesuai dengan teori H. Kern, sudah menjadi kebiasaan suku-suku bangsa di
Nusantara untuk memberi nama tempat tinggal mereka menurut arah darat atau
arah laut.2

Albert C. Kruyt dalam Masyhuddin Masyhuda mengklasifikasikan


penduduk Toraja atas tiga kelompok, yaitu Toraja Barat, Toraja Barat dan Toraja
Selatan. Kelompok Toraja Barat dan Timur berlokasi di Sulawesi Tengah,
sedangkan kelompok Toraja Selatan terletak di jazirah bagian Utara Sulawesi
Selatan. Sedikit berbeda dengan Kruyt, W. Kaudern dalam Masyhuddin
Masyhuda mengklasifikasikan penduduk Toraja yang berada di Sulawesi Tengah
menjadi tiga kelompok, yakni Toraja Palu, Toraja Koro, dan Toraja Poso.

1
Masyhuddin Masyhuda. 1981. Perkembangan Kebudayaan di Sulawesi Tengah. Palu: Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Tengah. Hal. 1.
2
Ibid. Hal. 3

2
Sedangkan penduduk Toraja yang berada di Sulawesi Selatan disebutnya sebagai
Toraja Sa’dan.3

Sistem kekerabatan adalah serangkaian aturan-aturan yang mengatur


penggolongan orang-orang yang sekerabat, yang melibatkan adanya berbagai
tingkat hak dan kewajiban di antara orang-orang yang sekerabat yang
membedakannya dengan hubungan-hubungan mereka dengan orang-orang yang
tidak tergolong sebagai sekerabat.

Pada suku bangsa Kaili tidak ada sistem kekerabatan yang mewujudkan
adanya kelompok klen atau marga, tetapi membentuk perkumpulan kekerabatan
yang dinamakan keluarga besar Kaili. Bentuk perkawinan exogami keluarga inti,
artinya perkawinan dilakukan di luar keluarga inti, kawin sepupu banyak
dilakukan dan sering juga dilakukan pasangan dalam desa itu sendiri walaupun
sebagian besar penduduk desa itu mempunyai hubungan kekeluargaan. Hal
tersebut masih berlaku sampai sekarang, termasuik suku bangsa Kaili yang hidup
di kota-kota di Sulawesi Tengah.4

Dikatakan sebagai orang Kaili karena adanya kesamaan budaya dan adat
istiadat dikalangan mereka, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Mattulada
bahwa orang Kaili mengidentifikasi diri sebagai To Kaili karena adanya
persamaan dalam bahasa dan adat istiadat leluhur yang satu, dipandang menjadi
sumber asal mereka. Bahasa Kaili dalam arti Lingua-Franca dalam kalangan
semua To-Kaili. Pernyataan tersebut menguatkan pandangan bahwa meskipun
terdiri atas beberapa sub suku, orang Kaili sebenarnya masih memiliki hubungan
darah atau berasal dari satu nenek moyang yang sama, hal ini diakibatkan oleh
adanya perkawinan antar sub Kaili dimasa lampau.

Parsudi Suparlan mendefenisikan sistem kekerabatan merupakan


serangkaian aturan-aturan yang mengatur penggolongan orang-orang yang

3
Ibid. Hal. 3
4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986/1987. Sistem Ekonomi Tradisional Daerah
Sulawesi Tengah. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Hal. 45

3
sekerabat yang melibatkan adanya berbagi tingkat, hak dan kewajiban di antara
orang-orang yang sekerabat, yang membedakannya dengan hubungan-hubungan
mereka dengan orang-orang yang tidak tergolong sebagai kerabat”.5 Defenisi
tersebut dapat diketahui adanya aturan yang membatasi antara orang yang
sekerabat dan orang yang bukan sekerabat, antara lain melalui garis keturunan,
kelompok kekerabatan, istilah kekerabatan, sopan santun kekerabatan. Garis
keturunan merupakan suatu prinsip untuk menentukan orang-orang sekerabat dan
orang-orang yang bukan sekerabat dan untuk menentukan keanggotaan dalam
kelompok kekerabatan. Prinsip keturunan pada suku bangsa Kaili sifatnya bilineal
(bilateral), walaupun kenyataannya pada aturan-aturan tertentu lebih dekat ke
prinsip matrilineal. Tetapi pada aturan-aturan lain bersifat bilineal. Matrilineal
sepenuhnya tidak ditemukan pada suku kaili. Demikian pula prinsip patrilineal
tidak ditemukan pada masyarakat.

1. Bilineal (Bilateral)
Pada suku Kaili secara umum dianut prinsip keturunan bilineal walaupun
ada ketentuan-ketentuan tertentu yang banyak dipengaruhi oleh garis ibu
(matrilineal). Ketentuan tersebut mengenai masalah berisan dan tempat
tinggal setelah berlangsungnya suatu perkawinan menetap di keluarga
wanita (adat uxorilokal), sistem kewarisan pada masyarakat suku kaili
dapat dibagi dua :
- Sistem kewarisan yang tidak terbagi-bagi yaitu warisan pusaka yang
merupakan milik bersama dan
- sistem warisan yang dibagi-bagi atau individual.

Mengenai harta warisan yang merupakan milik bersama, harta tersebut di


serahkan sepenuhnya untuk dijaga dan dipelihara oleh anak perempuan tertua.
Penyerahan sepenuhnya untuk dijaga dan dipelihara oleh anak perempuan tertua.
Penyerahan harta tersebut dapat terjadi ketika kedua orang tua masih hidup, sudah
meninggal atau juga terjadi perceraian antara suami-istri (orangtua). 6 Anak

5
Parsudi Suparlan. 2004. Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta: YPKIK
6
Op.cit., hal. 29

4
perempuan yang menjaga harta peninggalan tersebut dinamakan Bulonggo. Pada
umumnya, harta warisannya berupa tanah, baik itu tanah yang masih
lapang/kosong maupun tanah pertanian dan perkebunan. Selain itu warisan
lainnya yaitu barang antik seperti emas dan kuningan. Tetapi warisan ini hanya
dikalangan tertentu seperti orang berpengaruh, bangsawan dan raja. 7 Adapula
warisan lainnya yaitu ternak seperti sapi, kuda, ayam, dan hewan-hewan ternak
lainnya.

Dalam proses pemanfaatan harta bersama ini dilaksanakan secara bergilir


antar saudara sekandungnya. Dalam Bahasa Kaili disebut “notava”. Mekanisme
pembagiannya yaitu berurutan berdasarkan umur dari yang tertua sampai yang
termuda. Apabila tidak punya anak, maka harta ahli waris diserahkan pada
saudara-saudara pewaris baik perempuan maupun laki-laki.

Dalam masyarakat Kaili terdapat satu Keluarga inti yang terbentuk oleh
sebuah ikatan perkawinan yang sah menurut aturan yang berlaku. Keluarga inti
terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anak mereka yang belum
menikah yang dalam Bahasa Kaili disebut koyo puse. Dalam perkawinan orang
kaili terbagi antara perkawinan sesama keturunan raja (Magau) dan bangsawan.
Adapun perkawinan golongan rakyat biasa perkawinan yang banyak dilakukan
adalah perkawinan sepupu (cross cousin).8 Sekarang umumnya perkawinan antar
suku pun sudah lazim di masa kini. Keluarga besar atau Keluarga Inti dalam
masyarakat Kaili disebut sarara atau Sampesuvu.

Masyarakat Kaili juga dikenal akan sopan santunnya dan masih memegang
teguh nasihat dan petuah-petuah orang tua terdahulu. Contohnya seperti permisi
jika lewat dihadapan orang tua, dan sebagainya. 9 Etnis Kaili merupakan etnis
egaliter (terbuka) terhadap suku-suku lain dan peradabannya. Hal ini dapat dilihat
bahwa suku Kaili hidup berdampingan dengan sub etnis lain yang tinggal di
lembah Palu seperti Suku Bugis, Sangir, Jawa, Bali, Madura, Toraja, Minahasa,
Banjar, Sunda dan lain sebagainya.
7
Wawancara dengan salah seorang warga Tatanga Palu pada 7 Januari 2020
8
Op cit, hal. 34
9
Haliadi-Sadi, Ismail Syawal. 2017. Sejarah Sosial Sulawesi Tengah. Palu: Hoga.

5
Sistem pemerintahan Kerajaan di Tanah Kaili, pemerintahan Kerajaan
Tanah Kaili (kagaua) dipegang oleh seorang Magau, sebagai kepala pemerintahan
tertinggi yang mutlak dan tidak dapar diganggu gugat. Beliau dibantu oleh
seorang wakil yang disebut “Madika Malolo”. Adapun dewan pemerintahan
kagaua sebagai Badan Eksekutif disebut “Libu Nu Maradika”10, yang
susunanannya sebagai berikut:

1. Madika Matua, sebagai Ketua Dewan yang mernagkap Perdana Menteri


dan Urusan Luar Negeri, bertanggung jawab pada Magau (Raja)
2. Bali Gau, diperumpamakan sebagai ketua DPR sekarang, beliau menyusun
dan mengubah segala sesuatu apabila bertentangan dengan adat dan
undang-undang negara.
3. Punggava, sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Menteri
Dalam Negeri
4. Galara, sebagai Menteri Kehakiman
5. Tadulako, sebagai Panglima Perang
6. Pabicara, sebagai Menteri Penerangan
7. Sabandara, sebagai Menteri Perhubungan
8. Patola, sebagai juru damai atau penasehat raja yang ada di Sindue.

Badan-badan inilah yang bertanggung jawab memutar roda pemerintahan


Tanah Kaili. Baik ketua maupun anggota, diangkat dan diberhentkan oleh Magau
(raja) atas usul dan persetujuan Baligau (Ketua Pitunggota). Petunjuk tersebut
dalam setiap pelaksanaan pemerintahan, selalu diutamakan rasa kebersamaan,
saling menghargai dan saling memberi sehingga terwujud rasa kepercayaan
diantara semua unsur pelaksana pemerintahan. Semuanya bekerja tanpa adanya
unsur-unsur politik, untuk mencapai tujuan.11

10
Haliadi, ed., Polibu Ntodea Nosarara Nosabatutu, diterbitkan oleh INSED Sulteng dengan PTD
Kota Palu, UNPD dan Bappeda Kota Palu, 2008;
11
Syuaib Djafar. 2014. Kerajaan dan Dewan Adat di Tanah Kaili Sulawesi Tengah. Yogyakarta:
Ombak.

6
2.2 Penuturan Bahasa Suku Kaili
Bahasa pengantar suku Kaili adalah bahasa Kaili. Suku Kaili merupakan
etnis yang terbesar populasinya dibandingkan dengan suku-suku lainnya, tersebar
di beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah, mengenal lebih dari dua puluh bahasa
yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, suku
Kaili memiliki “lingua pranca” yang dikenal sebagai bahasa “Ledo”. Kata ledo
berarti “tidak”. Bahasa Ledo ini digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa
Kaili lainnya, dan masih ditemukan bahasa asli yang belum dipengaruhi bahasa
para pendatang, yaitu di sekitar Raranggonau dan Tompu. Jika dilihat dari letak
geografisnya, bahasa Kaili memiliki ragam dialek.

Albert C. Kruyt membagi jenis-jenis Bahasa Kaili di Sulawesi Tengah


serta daerah-daerah pemakainya, sebagai berikut :

1. Bahasa Ledo daerah pemakainya Palu, Kaluku Bula, Biromaru, Dolo,


Raranggonau.

2. Bahasa Tara daerah pemakainya Talise, Kawatuna dan Parigi.

3. Bahasa Rai daerah pemakainya Tawaeli, Pantai Barat Donggala, dan


Tosale.

4. Bahasa lja di Bora.

5. Bahasa Edo di Sidondo, Pesaku.

6. Bahasa Ado di Pandere, Pakuli, Sibalaya.

7. Bahasa Tea di Palolo, Kapiroe, Karere.

8. Bahasa Tado di Lindu, Rio.

9. Bahasa Moma di Kulawi, Bolapapu, Toro, Tunungku, Lowi. 12

12
Albert C. Kruyt. 1938. De West-Toradja’s Midden Celebes. (Amsterdam: Uitgave van de N.V.
Noord-Hollansche), hal. 19

7
Beberapa bahasa Kaili diatas sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan
beberapa bahasa pendatang, terutama Bugis dan Melayu. Semua kata dasar
bahasa-bahasa yang disebutkan itu berarti “tidak”.

2.3 Kebudayaan dan Kearifan Lokal Adat Istiadat Suku Kaili


Di Sulawesi Tengah pada umumnya, dan masyarakat Kaili khususnya
memiliki kebudayaan dan kearifan lokal serta adat istiadat. Hal tersebut telah ada
sejak zaman dahulu kala, yaitu sebelum agama Islam masuk pada abad ke-17.
Pada saat itu penduduk menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Salah
satu kebudayaan, kearifan lokal dan adat istiadat suku Kaili ialah Balia. Balia
semacam pemujaan pada arwah dan roh-roh dahulu dinyatakan dalam berbagai
upacara-upacara baik dalam bidang pertanian, pengobatan dan sebagainya yang
dikenal dengan nama Balia.13 Dalam buku yang berjudul Sistem Ekonomi
Tradisional Daerah Sulawesi Tengah yang disusun oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Balia merupakan pemujaan kepada dewa-dewa dan roh nenek
moyang. Balia ini terdiri dari berbagai jenis, antara lain Balia Bone Maloso
diselenggarakan oleh raja dengan melibatkan seluruh rakyat (unsur pertemuan),
Balia Tampilangi diadakan dalam rangka penyelengggaraan bidang pertanian,
Balia Manuru serta Balia Jinja. Balia Jinja diadakan dalam rangka pengobatan.
Dalam bidang pertanian ketika masih memeluk keyakinan lama, penduduk
Lembah Palu sering mengadakan upacara meminta hujan kepada yang menurut
mereka disebut dewa air (Nteka) agar hujan turun guna mengairi sawah-
sawahnya. Bila terjadi kemarau panjang dilakukanlah upacara adat di tepi sungai
memberi sesajen kepada Nteka. Upacara tersebut dinamakan Nompakande dan
dilaksanakan pada waktu sore. Menurut informasi orang tua terdahulu, dahulu jika
selesai melakukan upacara tersebut, maka malamnya turunlah hujan. 14 Upacara
Balia dilaksanakan untuk maksud pengobatan disebut Balia Mounda, dan untuk
pemujaan serta perlindungan pada roh-roh halus dalam bidang pertanian minta
turun hujan pada musim kemarau disebut Balia Tampilangi.15 Menurut Darlis,

13
Ibid. Hal. 47
14
Ibid. Hal. 47-48.
15
Ibid. Hal. 46.

8
Dewa mereka disebut dengan berbagai gelar, seperti Topetaru (sang pencipta),
Topebagi (sang penentu), Topejadi (sang pencipta). Dewa kesuburan mereka
sebut Buriro. Makhluk-makhluk halus yang menghuni lembah, gunung dan
benda-benda yang dianggap keramat disebut tampilangi. Kekuatan-kekuatan gaib
dari para dukun dan tukang tenun mereka sebut doti. Kegiatan Balia diadakan di
rumah pemujaan yang disebut Lobo. Sistem pemujaan religi seperti ini
diperkirakan sebagai salah satu sebab mengapa orang Kaili terbagi-bagi ke
dalamm kelompok-kelompok keagamaan yang sering tertutup dan terasing
sifatnya. Setelah agama Islam masuk, para penganut dewa-dewa ini mengenal
pula istilah Alata’ala (Allah suhanahu wata’ala) Tuhannya.16

Meski demikian orang Kaili ini terkenal dengan kekuatan saling tolong-
menolong, khususnya dalam pelaksanaan upacara upacara adat yang amat banyak
memakan biaya. Saling tolong-menolong ini merupakan kewajiban setiap anggota
kekerabatan dan mereka menamakannya dengan sebutan sintuvu. Kegiatan gotong
royong dalam berbagai aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kaili
sekarang banyak mengambil dasar dari sintuvu tersebut.

Balia adalah ritual adat yang dilaksanakan untuk penyembuhan penyakit.


Sebuah tradisi yang melekat pada masyarakat yang kebanyakan beragama Islam
yang berdiam di Lembah Palu, Sulawesi Tengah. Ritual ini bisa diadakan secara
individu maupun secara berkelompok. Ritual ini juga dilakukan setelah upaya
medis tidak berhasil menyembuhkan suatu penyakit. Prosesi bisa berlangsung
hingga tujuh hari tujuh malam, tergantung berat ringannya jenis penyakit.17

Tradisi pengobatan Balia menjadi sebuah ritual yang sudah terjadi sejak
turun-temurun, dan menjadi salah satu bentuk interaksi mereka dengan kekuatan-
kekuatan yang dianggap suci tersebut dalam rangka menjaga hubungan baik,
sehingga mereka anggap dapat terhindar dari segala bentuk bala dan musibah

16
Darlis. 2017. Fenomena Al-Qur’an dalam Tradisi Balia. Dalam Arifuddin M. Arif, dkk. 2017.
Khazanah Budaya Kaili:Perspektif Nilai Tradisi, Norma, dan Sosio Religi. Palu: EnDeCe Press.
Hal. 61.
17
Ibid. Hal. 63.

9
ataupun terbebas dari segala bentuk penyakit yang diderita oleh masyarakat suku
Kaili.18

Pada masa silam upacara adat Balia ini adalah hal yang lumrah dilakukan
terutama bagi kalangan atas. Prosesi dimulai dengan penyiapan bahan-bahan
upacara mulai dari pedupaan, keranda, buah-buahan dan hewan kurban yang bisa
berupa ayam, kambing, atau kerbau, tergantung kasta orang yang mengadakan
hajatan. Biayanya pun ditanggung oleh orang yang punya hajat ditambah dengan
ongkos lelah bagi peritual. Jika semua sudah siap, pawang yang harus laki-laki
mulai beraksi dengan mantra-mantranya, memanggil arwah penguasa panutannya.
Sejumlah sesajian yang berbeda setiap prosesinya dihidangkan dekat pedupaan.
Tari Balia pun terus mengiringi hingga orang yang sakit diusung untuk mengikuti
prosesi puncak, yaitu penyembelihan kerbau. Darah kerbau yang disembelih
tersebut menjadi simbol kesungguhan harapan atas kesembuhan.19

Dalam rangka penyembuhan penyakit tersebut maka dilaksanakanlah ritual


Balia dengan harapan bahwa orang yang mengikuti prosesi ini menjadi perantara
penyakit orang yang bersangkutan dapat sembuh. Dan menurut persaksian salah
satu tokoh adat dan masyarakat, bahwa penyakit yang tidak bisa sembuh secara
medis hampir semua dapat disembuhkan melalui ritual pengobatan Balia.
Penyakit kronis sekalipun dapat disembuhkan seketika, meskipun pada
kenyataannya setelah beberapa hari atau bulan bisa saja sakit kembali.20

Pada masa sekarang sebagian besar orang Kaili telah menganut agama
Islam. Setelah masuknya Islam, adat tradisional Balia mulai dimodifikasi dengan
memasukkan unsur Islam didalamnya. Seperti mengucapkan basmalah dan
membaca Surah Al-Fatihah, dan do’a yang dipanjatkan ditujukan kepada Allah
subhanahu wa Ta’ala.

Setelah berlangsung prosesi Balia, para tokoh adat bersama dengan


keluarga orang sakit dan seluruh masyarakat yang hadir melakukan acara

18
Ibid. Hal. 62.
19
Ibid. Hal. 63.
20
Ibid. Hal. 64.

10
penutupan acara penutupan diselenggarakan sebagai bentuk rasa syukur atas
selesainya seluruh rangkaian prosesi Balia tersebut. Disamping itu acara syukuran
ini juga merupakan bentuk selamatan atas sembuhnya atau terbebasnya penyakit
yang diderita oleh sang orang sakit. Menariknya, di acara selamatan ini para tokoh
agama diundang untuk baca selamatan (baca doa salama). Ia mengambil peran di
akhir sesi proses Balia. Sebuah fenomena yang sangat menarik di tengah
pandangan sebagian masyarakat yang kontra dengan ritual tersebut. Dalam acara
doa selamatan itulah Al-Qur’an mengambil peran. Pada saat itu para tokoh agama
membaca beberapa surah dalam Al-Qur’an seperti Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-
Mu’awwidzatain sebelum berdoa salamatan. Fenomena seperti ini tentu tidak
lepas dari pemahaman para tokoh agama bahwa ayat-ayat yang dibaca
mengandung berkah tersendiri dan bisa menjadikan semua aktivitas lancar dan
bernilai ibadah.

Namun menarik untuk ditengahkan terkait fenomena di atas adalah Al-


Qur’an cukup mengambil peran aktif dalam rangka menjaga eksistensi sebuah
tradisi lokal, selain itu Al-Qur’an juga menjadi alat yang sangat efektif dijadikan
oleh masyarakat Kaili untuk tetap membangun kebersamaan dan solidaritas dalam
melestarikan tradisi lokal, khususnya tradisi pengobatan Balia.21

Sistem pengetahuan suku Kaili sebagai kearifan lokal sangat menarik


untuk ditilik. Sebelum mereka melakukan pekerjaan, biasanya mereka melihat dan
memikirkan waktu yang baik yang dianggap dapat memberikan hasil yang positif.
Mereka mengakui bahwa semua hari itu adalah baik, tetapi ada hari-hari tertentu
yang dianggap paling baik di antara hari-hari lainnya. Dalam tahap persiapan,
sebelum mereka turun ke sawah, mereka mengontrol bajak, linggis, pacul, parang,
kayu penyambung bajak, memberi makanan sapi dan melihat kondisi
kesehatannya, pada hari Jum’at pagi-pagi sebelum jam 12.00, karena menurut
mereka hari itu merupakan hari yang dianggap baik. Dalam tahap pelaksanakaan,
sebelum menabur bibit, mereka melihat keadaan cuaca dan hari Minggu adalah
hari yang mereka anggap paling baik untuk menabur bibit. Dalam tahap panen,

21
Ibid. Hal. 71-72.

11
dilihat dari keadaan pada hari Minggu juga termasuk hari yang paling baik untuk
memotong padi.

Pengetahuan tentang flora banyak hubungannya dengan obat-obatan.


Misalnya daun pepaya adalah daun yang baik untuk mengobati penyakit malaria
yang sering menyerang penduduk setempat. Daun jambu batu sering digunakan
untuk mengobati penyakit berak-berak atau diare. Getah jarak digunakan untuk
mengobati luka kecil, daun beluntas digunakan untuk mengobati bau badan dan
memperlancar peredaran darah. Jika ternak sapi luka pada kulitnya maka obatnya
adalah tanah dicampur air, dibacakan doa, kemudian, ditempelkan ke tempat tang
luka tersebut, dalam jangka waktu beberapa hari saja, maka luka tersebut akan
kering.22

Kearifan lokal (local wisdom) lainnya yaitu melestarikan ungkapan-


ungkapan, pantangan atau pemali, dan upacara adat lainnya, sebagian
penganutnya masih dijumpai pada setiap kelompok masyarakat tradisional.
Ungkapan-ungkapan berlatar dari bahasa yang mengandung makna dan
interpretatif simbolik yang memungkinkan mereka untuk beraksi, berdasarkan
interpretasi mereka terhadap ungkapan-ungkapan tersebut. Menurut Nuraedah,
pertemuan antara Islam dan budaya (Kaili) ada pada saat pesta pernikahan. Dalam
tata adat, perkawinan mengikuti tata cara menurut Islam, hanya istilah atau
sebutan untuk tahapan upacara adat yang menggunakan bahasa Kaili. 23 Hal inilah
yang memperkaya khazanah kearifan lokal Sulawesi Tengah, sekaligus menjadi
salah satu ciri khas dari Sulawesi Tengah itu sendiri.

Ungkapan yang dimaksudkan, diucapkan dan disampaikan dalam upacara-


upacara adat, pertama, upacara perkawinan, diiringi tarian no-Rego, kesenian
berpantun remaja putra-putri, kedua, upacara kematian (no-Vaino, menuturkan
kebaikan-kebaikan orang meninggal), ketiga, upacara panen (no-Vunja,
penyerahan sesaji yang diperuntukkan dewa kesuburan), keempat, upacara

22
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Op.cit. Hal. 48
23
Nuraedah. 2020. Islamic Dialogue, Local Culture, and Women in Sigi Regency, Indonesia.
International Journal of Criminology and Sociology. Vol. 9 Hal. 1335

12
penyembuhan penyakit (no-Balia, ritual penyembuhan melalui orang-orang yang
kemasukan roh-roh leluhur yang telah meninggal). Selain itu, beberapa pantangan,
tabu atau larangan, menurut mereka bila dilanggar akan dikenakan sanksi adat
yang merupakan bentuk kearifan di dalam pemeliharaan dan pengelolaan sumber
daya alam, sekaligus menjadi kerangka orientasi nilai-nilai budaya (cultural
values) yang dipatuhi bersama oleh warga masyarakat. Oleh karena itu kearifan
lokal yang merupakan warisan leluhur turun temurun mengandung nilai-nilai
positif dan nilai-nilai spritual untuk dijadikan pedoman dalam bersikap dan
bertingkahlaku (pattern of action). Selain ungkapan yang diuraikan itu,
masyarakat Kaili juga memiliki pengetahuan lokal dalam pelestarian hutan,
perairan danau Lindu, ombo atau hukuman bagi yang melanggar ketentuan adat di
danau Sibili, pantangan atau pemali dalam bertutur atau berucap, dan upacara adat
lainnya.

Selain itu, masih banyak kearifan lokal yang ada di Sulawesi Tengah,
diantaranya adalah Nolabe. Pemerhati budaya, Atman menjelaskan, ada beberapa
jenis Nolabe. Nolabe dilakukan mulai dari Nifsu Syaban atau yang biasa disebut
Nolabe Hasan dan Husein. Kemudian Nolabe untuk mendoakan arwah leluhur
yang telah meninggal atau yang biasa No Arua (Arwah), serta Nolabe saat No
Temba Bula (menembak bulan atau mangala balengga puasa (mengambil kepala
puasa), yang biasanya masyarakat umum lakukan sekaligus, saat melaksanakan
Nolabe menyambut Ramadan. Adapun tahap pelaksanaannya kata Atman yaitu,
kalau Nolabe Nifsu Syaban untuk memperingati dan mendoakan atas kematian
cucu Rasulullah, Husein, di mana menyiapkan makanan berupa kadominya (nasi
kebuli) terutama untuk golongan Karaeng. Kemudian, No Arua, dengan
melakukan ziarah ke seluruh kuburan leluhur dan menyiapkan makanan, seperti
kalopa, burasa sisuru dan momimomi (jajanan khas To Kaili), kemudian
dilakukan Nolabe/Norate (pembacaan ratib). Sedangkan untuk Nolabe Notemba
Bula, dilakukan dengan menyiapkan makanan, dan biasanya dilaksanakan setelah
Magrib. “Kemudian masyarakat melihat bulan, kalau sudah ada, dibunyikan
meriam ke arah langit, sebagai penanda masuknya bulan Ramadhan awal puasa),”
ujarnya. Dalam Nolabe kata Atman, ada dua baki berisi aneka makanan. Pertama,

13
baki malaeka (baca: malaikat), itu biasanya berisi kalopa, sisuru, dan makanan
lainnya, yang didoakan khusus untuk arwah. Kedua, baki salama (selamat), berisi
beras pulut kuning (pae pulu kuni) diberi telur di atasnya. Baki salama ini kata
Atman, sebagai ucapan rasa syukur masih diberi umur panjang untuk bertemu
dengan bulan Ramadan. Sementara itu, Muhammad Ayub Mubarak menyebutkan,
aneka makanan yang disajikan saat Nolabe, merupakan penanda orang-orang tua
di masa lalu, sering berbicara dengan bahasa simbol, menggunakan hal-hal yang
dekat dengan keseharian masyarakat, untuk memudahkan pemahaman agama di
masyarakat. Makanya kata dia, ada cucur dan pisang (loka) dano, yang
diibaratkan sebagai payung bagi kaum muslim, kemudian nasi pulut putih dan
merah, yang menyimbolkan darah dan ruh manusia. “Kalau di daerah lain, ada
yang menggunakan pulut empat warna (merah, putih, kuning, hitam), yang
dipuncaki dengan telur, menyimbolkan empat unsur manusia,” ujarnya.
Sementara itu, keturunan Habib Sayyid Baharullah Bafagih, Randi Ibrahim
Bafagih mengatakan, Nolabe berasal dari bahasa Arab ‘Laa Ba'sa’ yang artinya
menjauhi masalah. Hal ini dimaknai sebagai amalan zikir dan doa untuk
memperingati suatu kejadian, misalnya di bulan Ramadan, agar dijauhkan dari
masalah, sekaligus bentuk kesyukuran akan datangnya waktu yang akan
diperingati itu (Ramadan).

Menurut Randi, tradisi Nolabe ini masih dilaksanakan di tataran keturunan


Habib Sayyid Baharullah Bafagih. Tradisi ini biasanya dilaksanakan bersama
jamaah, diakhiri dengan pembagian barakah (makanan berupa nasi pulut diisi
dalam keranjang, yang dianggap bahwa makanan adalah berkah yang harus
dibagi-bagikan untuk jama'ah). Menurut Randi sendiri, ada beberapa jenis Nolabe,
yakni Nolabe untuk memperingati wafatnya seseorang atau biasa disebut tahlilan,
Nolabe memperingati seminggu sebelum Maulid Nabi, dengan membacakan zikir
shalawat maulid, serta Nolabe seminggu sebelum bulan suci Ramadan atau Idul
Adha, dengan membaca amalan zikir. Setelah pelaksanaan Nolabe sebelum
Ramadan tersebut, dilaksanakan pembacaan doa arwah (No Arua), yaitu
mengirimkan sedekah pahala untuk almarhum/almarhumah. Amalan Nolabe ini
kata Randy dibawa oleh Habib Sayyid Umar Bafagih dan Habib Sayyid

14
Baharullah Bafagih, yang menyebarkan Islam di Palu dan sekitarnya, pada
periode 1800-an. Sementara itu, ahli bahasa, Nicolaus Adriani dan etnografer,
Albertus Christiaan Kruyt, dalam buku De Bare'e sprekende Toradja's van
Midden-celebes, juga menjelaskan, pada akhir abad 19 hingga awal abad ke-20,
tradisi Nolabe ini nampaknya sudah dilakukan oleh masyarakat Kaili, namun
tidak dijelaskan oleh keduanya secara menyeluruh. Keduanya menulis, pada
malam pertama bulan puasa, banyak sekali makanan lezat disiapkan, dan
kunjungan dilakukan bersama. Segala sesuatu dipersiapkan dengan baik.24

Selain itu kearifan lokal di Sulawesi Tengah juga meliputi bidang seni.
Seni arsitektur yang bersifat tradisional jarang dikerjakan, yang tinggal bangunan-
bangunan yang bersifat umum dan modern. Seni pahat, dengan datangnya
transmigrasi dari pulau Bali maka seni pahat/ukir berkembang baik. Seni lukis,
dapat dinilai mempunyai perkembangan yang pesat dapat dibuktikan dengan
penemuan-penemuan motif-motif lukisan dalam pembuatan sarung Donggala.
Motif itu bermacam-macam dan sudah mendapat pengaruh dari luar.

Seni atau kerajinan tangan dapat dibagi ke dalam:

1) Alat senjata parang, pisau, sumpitan dan sebagainya.


2) Anyaman yang dapat terbuat dari bahan: daun-daunan, tikar, bingga, toru
dan lain sebagainya.
a. dari rotan: keranjang, kursi rotan dan sebagainya.
b. dari bambu : nyiru, pitate, kurungan ayamn, dan sebagainya.
3) Tenunan: yang terkenal adalah sarung Donggala, yang dibuat di Donggala,
Palu, Tawaeli dan Wani.
4) Seni pahat kayu dan tanduk.
5) Barang-barang logam, yakni barang-barang perhiasan dari emas yang
dibuat oleh penduduk asli Sulawesi Tengah.

24
Jefrianto. 2020. Nolabe: Mengucap Syukur Menyambut Ramadhan. Dalam Buletin Bulanan
Syajaratun HMJ SPI IAIN Palu. Vol. 3 Hal. 13

15
6) Barang kulit, utamanya kulit kayu yang dibuat pakaian. Pakaian kulit kayu
ini dapat menjadi obyek turis. Kulit kerang mutiara dibuat jadi perhiasan
di Luwuk.
7) Barang-barang jahitan, sulaman dan ikatan. Seni dekoratif, utamanya pada
pesta-pesta pengantin, pesta penyunatan dan sebagainya.25

Dalam sejarah perkembangan kebudayaan dan kearifan lokal khususnya


dari segi kuliner, nenek moyang suku-suku di Sulawesi Tengah telah memiliki
kreativitas dalam pengelolaan makanan khas.26 Menurut buku Tata Sajian Upacara
Adat Suku Kaili, untuk memahami keberagaman kuliner khas Kaili yang telah
menjadi bagian dari tradisi budaya, berbagai prosesi adat Kaili telah berpadu
dengan urusan sajian makanan bersumber dari olahan tumbuh-tumbuhan dan
hewan ternak.27 Hal ini melambangkan suatu spirit kehidupan kosmos orang Kaili
yang agraris dengan penuh rasa kesyukuran terhadap kebutuhan makanan dari
sumber-sumber lingkungan alam sekitarnya.28

Fungsi makanan pokok dan kue-kue tradisional sebagai tambahan bukan


saja untuk kebutuhan hidup sehari-hari, melainkan memiliki fungsi sosial dan
budaya yang ditransformasikan dalam beragam upacara adat Kaili. Masing-
masing jenis makanan memiliki arti simbolis saat dihidangkan dalam prosesi
upacara adat untuk daur hidup maupun yang berkaitan dengan sistem religi.

Sebelum masakan kaledo populer seperti saat ini, uve mpoi lebih awal
dikenal dalam kebudayaan To Kaili yang ditandai dengan beberapa upacara adat
tradisi Kaili. Seperti dalam Molama Kana sebuah upacara menjelang kelahiran
seorang anak dilakukan sando (dukun), di antara makanan yang disajikan dalam
prosesi adat yaitu satubu uve mpoi (semangkok kuah asam). Selain disediakan
25
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984. Sejarah Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta:
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah
26
Jamrin Abubakar. 2017. Diplomasi Kebudayaan dalam Kaledo dan Kelor. Dalam Arifuddin M.
Arif, dkk. 2017. Khazanah Budaya Kaili: Perspektif Nilai Tradisi, Norma, dan Sosio Religi. Palu:
EnDeCe Press. Hal. 32.
27
Muslima, dkk. 1991. Tata Sajian Upacara Adat Suku Kaili. Palu: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah.
28
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/Museum Provinsi Sulawesi Tengah. 1991. Palu:

16
Balengga Mpantale (kepala sajian) yang terdiri dari berbagai jenis makanan,
terdapat pula Ganampantale sebagai pelengkap bersama balengga pantale yang
diletakkan pada bagian kiri dan kanan mengapit kepala sajian.29

Beragamnya jenis makanan yang terintegrasi dalam setiap penyajian saat


upacara adat tradisi, merupakan kekayaan budaya To Kaili yang lahir sejak zaman
dulu sampai sekarang. Kekayaan makanan/masakan yang ada hingga kini tetap
dilestarikan dan dapat dinikmati bukan saja dalam upacara adat, tetapi juga
banyak yang dijajakan di pasar maupun warung makan tradisional.30

Suku Kaili memiliki makanan utama dari bahan beras, ada pula makanan
khusus yang disebut “Karada”, yang bahannya terbuat dari jagung muda
dicampur dengan berbagai macam sayur, ubi kayu atau ubi jalar, beras dimasak
menjadi satu dalam bentuk cair dan kental dengan bumbu garam secukupnya. Ada
pula masakan Kaledo yang dalam sejarahnya dikenal di antara beragam jenis
makanan, diakui khas Kaili dan dikategprikan makanan tambahan. Selain itu
dikenal adanya makanan sampingan seperti pisang, beras jagung, sagu dan keladi,
umbi-umbian dan buah-buahan. Pengolahannya sangat beragam sesuai sistem
teknologi dan perlengkapan hidup yang dikuasai sesuai perkembangan zaman.31

Selain itu, kelapa yang merupakan tumbuhan mayoritas di Sulawesi


Tengah juga berimplikasi dalam budaya kuliner dengan munculnya menu sajian

Keduanya merupakan jenis masakan lauk yang sering disantap secara


bersamaan dengan makanan nasi jagung, yang bagi penduduk di lembah Palu dan
sekitarnya menyebutnya talebe. Penyediaan menu nasi talebe di warung sudah
lazim juga tersedia uta dada dan uta kelo, namun juga yang lebih enak
dipadankan dalam menyantap uta dada adalah ketupat.

Yang pasti uta dada merupakan salah satu jenis masakan khas Kaili yang
bahan bakunya dapat berupa ikan (dari jenis ikan berukuran besar yang kemudian

29
Jamrin Abubakar. Op.cit. Hal. 33
30
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Tata Sajian Upacara Adat Suku Kaili. Museum
Negeri Provinsi Sulawesi Tengah.
31
Jamrin Abubakar. Op.cit. Hal. 32

17
diiris-iris) atau dapat pula memilih daging ayam sebagai bahan baku utamanya.
Memasak uta dada terlebih dahulu daging ayam/ikan dipotong-potong untuk
dipanggang setengah matang. Bahan utama itulah yang selanjutnya dimasukkan
ke wajan atau belanga yang telah berisi air. Kemudian dimasukkan berbagai
rempah alamiah yang sudah dihaluskan berupa bawang putih, bawang merah,
kunyit, jahe dan cabe rawit serta serai bersama potongan-potongan tomat yang
semuanya disesuaikan dengan banyaknya porsi. Di susul santan kelapa yang
kental sampai masak dengan rasa secukupnya termasuk garam.

Selain itu adapula uta kelo. Uta Kelo atau yang dalam bahasa Indonesia
berarti sayur kelor merupakan makanan khas suku Kaili. Beberapa makanan di
warung tradisional di kota Palu saat ini sudah menjadikan Uta Kelo dalam deretan
menu yang diminati. Sayur kelor kadang bersanding dengan masakan “duo”32
yang mengundang selera makan, dan sangat cocok disantap bersama lauk uta
kelo.33 Tanaman kelor biasanya dijadikan pagar kebun warga di sejumlah
perkampungan di sekitar kota Palu, bahkan sebagian orang sengaja menanam di
halaman belakang rumah agar mudah dipetik dibutuhkan sebagai sayur alternatif.
Selain sayur daun kelor buahnya yang berbentuk panjang cukup lezat dijadikan
sayur bening berasam setelah dipotong-potong.

Cara memasak uta kelo sangatlah mudah, lebih awal air dipanaskan dalam
panci atau wajan, saat mendidih giliran daun kelor yang telah diurut dari tangkai-
tangkai kecilnya pun dimasukkan bersama santan. Dalam memasak uta kelo,
kadang banyak pula yang mencampurkan dengan sayur terong, ubi kayu atau biji
kacang hijau, yang tentunya bahan tersebut harus dimasak lebih awal, sebab daun
kelor sangat cepat masak.

Kelor dalam bahasa botani disebut moringa oliveira merupakan jenis


tanaman yang sangat mudah tumbuh dalam kondisi musim panas maupun musim
hujan dan terdapat di sleuruh daerah di Indonesia. Kegunaannya bukan hanya
untuk sayuran, namun beragam sesuai pemahaman dan budaya etnis setempat.

32
Duo merupakan gorengan yang gurih, merupakan sejenis ikan teri paling kecil dan kering.
33
Jamrin Abubakar. Ibid. Hal 35.

18
Sejak lama nenek moyang suku Kaili menjadikan ramuan obat-obatan tradisional
dengan cara dioleskan. Hasil penelitian Ahli botani menyebutkan daun maupun
buah kelor mengandung vitamin A, vitamin B, vitamin C dan vitamin E, protein,
kalori dan berbagai kandungan gizi lainnya.34

Secara harfiah uve mpoi berarti sayur asam yang berkuah. Namun dalam
tradisi masakan Kaili uve mpoi dimaksud yaitu lauk yang berbahan baku daging
dan sebagian tulang-tulang sapi yang telah dipotong-potong yang diberi buah
asam (tamarindus indica) yang masih muda. Sepintas tak jauh berbeda dengan
masakan kaledo yang satu jenis bahan baku, yakni daging dan tulang sapi. (uve
mpoi biasa pula dicampur dengan potongan-potongan usus/jeroan kambing).35

Menurut budayawan Kaili, Masyhuddin Masyhuda dalam Jamrin


Abubakar, uve mpoi lebih awal dikenal sebagai masakan tradisional etnis Kaili
yang kemudian dikembangkan menjadi kaledo. Sebutan kaledo sendiri semula
tidak terdapat dalam perbendaharaan kata Bahasa Kaili, karena merupakan istilah
baru ketimbang uve mpoi. Masyhuddin Masyhuda berpendapat, kemungkinan
pula kata kaledo sebagai pengembangan dari istilah kaldu yang dalam bahasa
Indonesia bermakna air kuah daging. Namun demikian dalam pengembangan
memasak menjadi khas yang lebih populer disebut kaledo.36

Kaledo terbuat dari tulang tulang-tulang kaki sapi atau lembu yang baru
diambil dagingnya, sehingga hanyalah sisa-sisa daging yang melekat di tulang-
tulang. Tulang-tulang tersebut kemudian dipotong-potong pendek sesuai ukuran
untuk disajikan dalam mangkok, lalu dicuci bersih beberapa kali agar tidak ada
bau amis. Selanjutnya dimasukkan dalam panci yang berisi air mendidih hingga
betul-betul masak. Dalam proses memasak ini dapat pula dicampur dengan garam
dan cabe rawit mentah dan bisa pula ditambah bawang merah. Begitu masak dapat
disantap ketika masih baru diangkat dari panci, karena hanya enak dinikmati

34
Jamrin Abubakar. Ibid. Hal. 35-36.
35
Ibid. Hal. 38.
36
Ibid. Hal. 38-39.

19
ketika masih panas bersama nasi putih, ubi kayu rebus (singkong) atau dengan
jagung rebus.37

2.4 Peninggalan Suku Kaili


Kaili sebagai etnis terbesar yang bermukim di lembah Palu masuk dalam
30 besar kelompok etnis Warga Negara Indonesia berdasarkan hasil Sensus
Penduduk Tahun 2000 dengan jumlah 412.281 jiwa atau sekitar 0,21 persen dari
penduduk Indonesia. Etnis Kaili memiliki beberapa asub-etnik yaitu Kaili Rai,
Kaili Ledo, Kaili Da’a, Kaili Tara, Kaili Ta’a, Kaili Inde, Kaili Ija, Kaili Do’i,
Kaili Moma, Kaili Edo, Kaili Ende, dan Kaili Unde. Konon masih banyak lagi
namun belum diteliti secara cermat.

Masyarakat Kaili mengenal arsitektur bangunan yang sarat makna. Salah


satu peninggalan arsitektur suku kaili ialah Banua Oge atau yang juga disebut Sou
Raja. Banua Oge atau Sou Raja adalah bangunan rumah Raja Palu yang dibangun
pada masa pemerintahan Raja Yojokodi. Segala sesuatu yang terpaut dengan
Banua Oge tersebut sekedar konstruksi atau estetika Banua Oge, tetapi memiliki
makna-makna filosofis. Syuaib Djafar menginterpretasi bangunan rumah raja
tersebut dalam beberapa aspek.

1) Kedua tangga di depan rumah sebagai simbol keterbukaan masyarakat


etnis Kaili dalam menerima etnis lain.
2) Teras (Gandaria) merupakan tempat Libu (musyawarah) untuk
menghasilkan kesepakatan (sintuvu). Ini menandakan bahwa masyarakat
etnis Kaili selalu mengedepankan musyawarah mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan untuk kemaslahatan bersama.
3) Pintu kecil dibagian belakang bermakna bahwa jika ada hal-hal yang
sifatnya rahasia tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Hal ini harus
diselesaikan secara kedalam dan kekeluargaan.
4) Ragam hias yang ada di Banua Oge berbentuk segi tiga kebawah dan ada
lingkaran putus-putus, jika disambungkan akan berbentuk lingkaran dan
segi tiga ke bawah. Hal ini menandakan bahwa walaupun berbeda-beda
37
Ibid. Hal. 39-40.

20
pendapat kita selesaikan bersama melalui musyawarah, dan jika kita sudah
mendapatkan kedudukan yang tinggi, kita tetap harus sering melihat
kebawah untuk memperhatikan masyarakat kecil yang membutuhkan
dukungan dan perhatian yang baik. Hal inilah yang menjadi dasar utama
kebersamaan dalam masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Suku Kaili merupakan suku bangsa terbesar di Sulawesi Tengah.
Pembentukan suku bangsa Kaili sudah terjadi sebelum Sawerigading mendatangi

21
Sulawesi Tengah. Bahasa pengantar suku Kaili adalah bahasa Kaili, yang terbagi
menjadi beberapa sub, yaitu Kaili Ledo, Tara, Rai, Unde, Ado, dan lain
sebagainya. Suku Kaili merupakan etnis yang egaliter (terbuka) terhadap suku-
suku lain dan peradabannya. Dalam sistem pemerintahannya, pemerintahan
Kerajaan di Tanah Kaili dipegang oleh seorang Magau, sebagai kepala
pemerintahan tertinggi yang mutlak dan tidak dapar diganggu gugat. Beliau
dibantu oleh seorang wakil yang disebut “Madika Malolo”. Masyarakat Kaili pada
umumnya memiliki kebudayaan dan kearifan lokal serta adat istiadat. Beberapa
diantaranya adalah Balia, Nolabe, pengobatan alami, kerajinan tangan, kuliner
hingga rumah adat.

3.2 Saran
Saran penulis teruntuk kaum milenial agar tertarik kepada Sejarah Lokal
sebagai bentuk cinta terhadap tanah air. Penulis juga berharap semoga lebih
banyak lagi Penulisan Sejarah Lokal yang ada Sulawesi Tengah, agar lebih
memperkaya literatur Sejarah Lokal. Saran lain penulis untuk sesama mahasiswa
yaitu harus lebih giat mempelajari dan membaca referensi yang berkaitan dengan
Pembentukan Suku Bangsa Kaili, agar dapat mengambil manfaat positif dari
berbagai peristiwa dimasa tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Albert C. Kruyt. 1938. De West-Toradjas Midden Celebes. Amsterdam: Uitgave
van de B.V. Noord-Hollansche.

22
Andi Mattulada. Sejarah Kebudayaan “To-Kaili” (Orang Kaili). Palu: Tadulako
University Press.
Arifuddin M. Arif, dkk. 2017. Khazanah Budaya Kaili: Perspektif Nilai
Tradisi, Norma, dan Sosio Religi. Palu: EnDeCe Press.
Darlis. 2017. Fenomena Al-Qur’an dalam Tradisi Balia. Dalam Arifuddin M.
Arif, dkk. 2017. Khazanah Budaya Kaili:Perspektif Nilai Tradisi, Norma, dan
Sosio Religi. Palu: EnDeCe Press.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984. Sejarah Daerah Sulawesi


Tengah. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986/1987. Sistem Ekonomi


Tradisional Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Tata Sajian Upacara Adat Suku
Kaili. Palu: Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah.
Haliadi, ed., 2008. Polibu Ntodea Nosarara Nosabatutu. Diterbitkan oleh INSED
Sulteng dengan PTD Kota Palu, UNPD dan Bappeda Kota Palu.
Haliadi-Sadi, Ismail Syawal. 2017. Sejarah Sosial Sulawesi Tengah. Palu: Hoga.
Haliadi Sadi, Syamsuri. 2016. Sejarah Islam di Lembah Palu. Yogyakarta: Q
Media.

Jamrin Abubakar. 2017. Diplomasi Kebudayaan dalam Kaledo dan Kelor. Dalam
Arifuddin M. Arif, dkk. 2017. Khazanah Budaya Kaili: Perspektif Nilai
Tradisi, Norma, dan Sosio Religi. Palu: EnDeCe Press.
Jefrianto. 2020. Nolabe: Mengucap Syukur Menyambut Ramadhan. Dalam
BuletinBulanan Syajaratun HMJ SPI IAIN Palu. Vol. 3.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2020. Kamus Besar Bahasa Indonesia


Daring. Diakses di https://kbbi.kemdikbud.go.id/
Lukman Nadjamudidin. 2002. Dari Animisme ke Monoteisme: Kristenisasi di
Poso 1892-1942. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

23
Masyhuddin Masyhuda. 1981. Perkembangan Kebudayaan di Sulawesi Tengah.
Palu: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Tengah.
Muslima, dkk. 1991. Tata Sajian Upacara Adat Suku Kaili. Palu: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah.
Nuraedah. 2020. Islamic Dialogue, Local Culture, and Women in Sigi Regency,
Indonesia. International Journal of Criminology and Sociology. Vol. 9.

Parsudi Suparlan. 2004. Hubungan antar Suku Bangsa. Jakarta: YPKIK.

Syakir Mahid, Haliadi-Sadi. 2009. Sejarah Sosial Sulawesi Tengah. Yogyakarta:


Pilar Media.

Syuaib Djafar. 2014. Kerajaan dan Dewan Adat di Tanah Kaili Sulawesi Tengah.
Yogyakarta: Ombak.
Sukmawati Saleh. 2013. Kearifan Lokal Masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah.
Jurnal Academica Fisip Untad, Vol. 05 No. 2.

24

Anda mungkin juga menyukai