DISUSUN OLEH
KELAS : C
UNIVERSITAS TADULAKO
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, atas nikmat
iman, kesehatan, dan kesempatan sehingga masih diberikan kesempatan untuk
menyelesaikan tugas MID mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia. Shalawat
serta salam kita haturkan kepada junjungan, panutan, dan suri tauladan kita Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kami sadari bahwa Tugas ini masih terdapat beberapa kekurangan, oleh
karena itu kami membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Dan
penulis berharap, semoga Tugas ini bermanfaat bagi pembaca maupun orang
banyak.
Penulis
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................2
BAB III..................................................................................................................22
PENUTUP..............................................................................................................22
3.1 Kesimpulan...................................................................................................22
3.2 Saran.............................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suku bangsa merupakan komunitas dalam suatu masyarakat yang dapat
membentuk suatu peradaban. Setiap suku bangsa mempunyai ciri khas,
keunikan, kearifan lokal dan sejarahnya sendiri. Hal ini berlaku pula bagi suku
Kaili, suku yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah khususnya di Kota Palu,
Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, sebagian wilayah Kabupaten Parigi
Moutong, sebagian wilayah Kabupaten Poso dan sebagian wilayah Kabupaten
Tojo Una Una.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Wilayah Geografis, Pembentukan Suku Bangsa, Sistem
Kekerabatan dan Pemerintahan Suku Kaili
2. Mengetahui Penuturan Bahasa Suku Kaili
3. Mengetahui Kebudayaan dan Kearifan Lokal Adat Istiadat Suku Kaili
4. Mengetahui Peninggalan Suku Kaili
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Wilayah Geografis, Pembentukan Suku Bangsa, Sistem Kekerabatan dan
Pemerintahan Suku Kaili
1
Masyhuddin Masyhuda. 1981. Perkembangan Kebudayaan di Sulawesi Tengah. Palu: Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Tengah. Hal. 1.
2
Ibid. Hal. 3
2
Sedangkan penduduk Toraja yang berada di Sulawesi Selatan disebutnya sebagai
Toraja Sa’dan.3
Pada suku bangsa Kaili tidak ada sistem kekerabatan yang mewujudkan
adanya kelompok klen atau marga, tetapi membentuk perkumpulan kekerabatan
yang dinamakan keluarga besar Kaili. Bentuk perkawinan exogami keluarga inti,
artinya perkawinan dilakukan di luar keluarga inti, kawin sepupu banyak
dilakukan dan sering juga dilakukan pasangan dalam desa itu sendiri walaupun
sebagian besar penduduk desa itu mempunyai hubungan kekeluargaan. Hal
tersebut masih berlaku sampai sekarang, termasuik suku bangsa Kaili yang hidup
di kota-kota di Sulawesi Tengah.4
Dikatakan sebagai orang Kaili karena adanya kesamaan budaya dan adat
istiadat dikalangan mereka, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Mattulada
bahwa orang Kaili mengidentifikasi diri sebagai To Kaili karena adanya
persamaan dalam bahasa dan adat istiadat leluhur yang satu, dipandang menjadi
sumber asal mereka. Bahasa Kaili dalam arti Lingua-Franca dalam kalangan
semua To-Kaili. Pernyataan tersebut menguatkan pandangan bahwa meskipun
terdiri atas beberapa sub suku, orang Kaili sebenarnya masih memiliki hubungan
darah atau berasal dari satu nenek moyang yang sama, hal ini diakibatkan oleh
adanya perkawinan antar sub Kaili dimasa lampau.
3
Ibid. Hal. 3
4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986/1987. Sistem Ekonomi Tradisional Daerah
Sulawesi Tengah. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Hal. 45
3
sekerabat yang melibatkan adanya berbagi tingkat, hak dan kewajiban di antara
orang-orang yang sekerabat, yang membedakannya dengan hubungan-hubungan
mereka dengan orang-orang yang tidak tergolong sebagai kerabat”.5 Defenisi
tersebut dapat diketahui adanya aturan yang membatasi antara orang yang
sekerabat dan orang yang bukan sekerabat, antara lain melalui garis keturunan,
kelompok kekerabatan, istilah kekerabatan, sopan santun kekerabatan. Garis
keturunan merupakan suatu prinsip untuk menentukan orang-orang sekerabat dan
orang-orang yang bukan sekerabat dan untuk menentukan keanggotaan dalam
kelompok kekerabatan. Prinsip keturunan pada suku bangsa Kaili sifatnya bilineal
(bilateral), walaupun kenyataannya pada aturan-aturan tertentu lebih dekat ke
prinsip matrilineal. Tetapi pada aturan-aturan lain bersifat bilineal. Matrilineal
sepenuhnya tidak ditemukan pada suku kaili. Demikian pula prinsip patrilineal
tidak ditemukan pada masyarakat.
1. Bilineal (Bilateral)
Pada suku Kaili secara umum dianut prinsip keturunan bilineal walaupun
ada ketentuan-ketentuan tertentu yang banyak dipengaruhi oleh garis ibu
(matrilineal). Ketentuan tersebut mengenai masalah berisan dan tempat
tinggal setelah berlangsungnya suatu perkawinan menetap di keluarga
wanita (adat uxorilokal), sistem kewarisan pada masyarakat suku kaili
dapat dibagi dua :
- Sistem kewarisan yang tidak terbagi-bagi yaitu warisan pusaka yang
merupakan milik bersama dan
- sistem warisan yang dibagi-bagi atau individual.
5
Parsudi Suparlan. 2004. Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta: YPKIK
6
Op.cit., hal. 29
4
perempuan yang menjaga harta peninggalan tersebut dinamakan Bulonggo. Pada
umumnya, harta warisannya berupa tanah, baik itu tanah yang masih
lapang/kosong maupun tanah pertanian dan perkebunan. Selain itu warisan
lainnya yaitu barang antik seperti emas dan kuningan. Tetapi warisan ini hanya
dikalangan tertentu seperti orang berpengaruh, bangsawan dan raja. 7 Adapula
warisan lainnya yaitu ternak seperti sapi, kuda, ayam, dan hewan-hewan ternak
lainnya.
Dalam masyarakat Kaili terdapat satu Keluarga inti yang terbentuk oleh
sebuah ikatan perkawinan yang sah menurut aturan yang berlaku. Keluarga inti
terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anak mereka yang belum
menikah yang dalam Bahasa Kaili disebut koyo puse. Dalam perkawinan orang
kaili terbagi antara perkawinan sesama keturunan raja (Magau) dan bangsawan.
Adapun perkawinan golongan rakyat biasa perkawinan yang banyak dilakukan
adalah perkawinan sepupu (cross cousin).8 Sekarang umumnya perkawinan antar
suku pun sudah lazim di masa kini. Keluarga besar atau Keluarga Inti dalam
masyarakat Kaili disebut sarara atau Sampesuvu.
Masyarakat Kaili juga dikenal akan sopan santunnya dan masih memegang
teguh nasihat dan petuah-petuah orang tua terdahulu. Contohnya seperti permisi
jika lewat dihadapan orang tua, dan sebagainya. 9 Etnis Kaili merupakan etnis
egaliter (terbuka) terhadap suku-suku lain dan peradabannya. Hal ini dapat dilihat
bahwa suku Kaili hidup berdampingan dengan sub etnis lain yang tinggal di
lembah Palu seperti Suku Bugis, Sangir, Jawa, Bali, Madura, Toraja, Minahasa,
Banjar, Sunda dan lain sebagainya.
7
Wawancara dengan salah seorang warga Tatanga Palu pada 7 Januari 2020
8
Op cit, hal. 34
9
Haliadi-Sadi, Ismail Syawal. 2017. Sejarah Sosial Sulawesi Tengah. Palu: Hoga.
5
Sistem pemerintahan Kerajaan di Tanah Kaili, pemerintahan Kerajaan
Tanah Kaili (kagaua) dipegang oleh seorang Magau, sebagai kepala pemerintahan
tertinggi yang mutlak dan tidak dapar diganggu gugat. Beliau dibantu oleh
seorang wakil yang disebut “Madika Malolo”. Adapun dewan pemerintahan
kagaua sebagai Badan Eksekutif disebut “Libu Nu Maradika”10, yang
susunanannya sebagai berikut:
10
Haliadi, ed., Polibu Ntodea Nosarara Nosabatutu, diterbitkan oleh INSED Sulteng dengan PTD
Kota Palu, UNPD dan Bappeda Kota Palu, 2008;
11
Syuaib Djafar. 2014. Kerajaan dan Dewan Adat di Tanah Kaili Sulawesi Tengah. Yogyakarta:
Ombak.
6
2.2 Penuturan Bahasa Suku Kaili
Bahasa pengantar suku Kaili adalah bahasa Kaili. Suku Kaili merupakan
etnis yang terbesar populasinya dibandingkan dengan suku-suku lainnya, tersebar
di beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah, mengenal lebih dari dua puluh bahasa
yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, suku
Kaili memiliki “lingua pranca” yang dikenal sebagai bahasa “Ledo”. Kata ledo
berarti “tidak”. Bahasa Ledo ini digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa
Kaili lainnya, dan masih ditemukan bahasa asli yang belum dipengaruhi bahasa
para pendatang, yaitu di sekitar Raranggonau dan Tompu. Jika dilihat dari letak
geografisnya, bahasa Kaili memiliki ragam dialek.
12
Albert C. Kruyt. 1938. De West-Toradja’s Midden Celebes. (Amsterdam: Uitgave van de N.V.
Noord-Hollansche), hal. 19
7
Beberapa bahasa Kaili diatas sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan
beberapa bahasa pendatang, terutama Bugis dan Melayu. Semua kata dasar
bahasa-bahasa yang disebutkan itu berarti “tidak”.
13
Ibid. Hal. 47
14
Ibid. Hal. 47-48.
15
Ibid. Hal. 46.
8
Dewa mereka disebut dengan berbagai gelar, seperti Topetaru (sang pencipta),
Topebagi (sang penentu), Topejadi (sang pencipta). Dewa kesuburan mereka
sebut Buriro. Makhluk-makhluk halus yang menghuni lembah, gunung dan
benda-benda yang dianggap keramat disebut tampilangi. Kekuatan-kekuatan gaib
dari para dukun dan tukang tenun mereka sebut doti. Kegiatan Balia diadakan di
rumah pemujaan yang disebut Lobo. Sistem pemujaan religi seperti ini
diperkirakan sebagai salah satu sebab mengapa orang Kaili terbagi-bagi ke
dalamm kelompok-kelompok keagamaan yang sering tertutup dan terasing
sifatnya. Setelah agama Islam masuk, para penganut dewa-dewa ini mengenal
pula istilah Alata’ala (Allah suhanahu wata’ala) Tuhannya.16
Meski demikian orang Kaili ini terkenal dengan kekuatan saling tolong-
menolong, khususnya dalam pelaksanaan upacara upacara adat yang amat banyak
memakan biaya. Saling tolong-menolong ini merupakan kewajiban setiap anggota
kekerabatan dan mereka menamakannya dengan sebutan sintuvu. Kegiatan gotong
royong dalam berbagai aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kaili
sekarang banyak mengambil dasar dari sintuvu tersebut.
Tradisi pengobatan Balia menjadi sebuah ritual yang sudah terjadi sejak
turun-temurun, dan menjadi salah satu bentuk interaksi mereka dengan kekuatan-
kekuatan yang dianggap suci tersebut dalam rangka menjaga hubungan baik,
sehingga mereka anggap dapat terhindar dari segala bentuk bala dan musibah
16
Darlis. 2017. Fenomena Al-Qur’an dalam Tradisi Balia. Dalam Arifuddin M. Arif, dkk. 2017.
Khazanah Budaya Kaili:Perspektif Nilai Tradisi, Norma, dan Sosio Religi. Palu: EnDeCe Press.
Hal. 61.
17
Ibid. Hal. 63.
9
ataupun terbebas dari segala bentuk penyakit yang diderita oleh masyarakat suku
Kaili.18
Pada masa silam upacara adat Balia ini adalah hal yang lumrah dilakukan
terutama bagi kalangan atas. Prosesi dimulai dengan penyiapan bahan-bahan
upacara mulai dari pedupaan, keranda, buah-buahan dan hewan kurban yang bisa
berupa ayam, kambing, atau kerbau, tergantung kasta orang yang mengadakan
hajatan. Biayanya pun ditanggung oleh orang yang punya hajat ditambah dengan
ongkos lelah bagi peritual. Jika semua sudah siap, pawang yang harus laki-laki
mulai beraksi dengan mantra-mantranya, memanggil arwah penguasa panutannya.
Sejumlah sesajian yang berbeda setiap prosesinya dihidangkan dekat pedupaan.
Tari Balia pun terus mengiringi hingga orang yang sakit diusung untuk mengikuti
prosesi puncak, yaitu penyembelihan kerbau. Darah kerbau yang disembelih
tersebut menjadi simbol kesungguhan harapan atas kesembuhan.19
Pada masa sekarang sebagian besar orang Kaili telah menganut agama
Islam. Setelah masuknya Islam, adat tradisional Balia mulai dimodifikasi dengan
memasukkan unsur Islam didalamnya. Seperti mengucapkan basmalah dan
membaca Surah Al-Fatihah, dan do’a yang dipanjatkan ditujukan kepada Allah
subhanahu wa Ta’ala.
18
Ibid. Hal. 62.
19
Ibid. Hal. 63.
20
Ibid. Hal. 64.
10
penutupan acara penutupan diselenggarakan sebagai bentuk rasa syukur atas
selesainya seluruh rangkaian prosesi Balia tersebut. Disamping itu acara syukuran
ini juga merupakan bentuk selamatan atas sembuhnya atau terbebasnya penyakit
yang diderita oleh sang orang sakit. Menariknya, di acara selamatan ini para tokoh
agama diundang untuk baca selamatan (baca doa salama). Ia mengambil peran di
akhir sesi proses Balia. Sebuah fenomena yang sangat menarik di tengah
pandangan sebagian masyarakat yang kontra dengan ritual tersebut. Dalam acara
doa selamatan itulah Al-Qur’an mengambil peran. Pada saat itu para tokoh agama
membaca beberapa surah dalam Al-Qur’an seperti Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-
Mu’awwidzatain sebelum berdoa salamatan. Fenomena seperti ini tentu tidak
lepas dari pemahaman para tokoh agama bahwa ayat-ayat yang dibaca
mengandung berkah tersendiri dan bisa menjadikan semua aktivitas lancar dan
bernilai ibadah.
21
Ibid. Hal. 71-72.
11
dilihat dari keadaan pada hari Minggu juga termasuk hari yang paling baik untuk
memotong padi.
22
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Op.cit. Hal. 48
23
Nuraedah. 2020. Islamic Dialogue, Local Culture, and Women in Sigi Regency, Indonesia.
International Journal of Criminology and Sociology. Vol. 9 Hal. 1335
12
penyembuhan penyakit (no-Balia, ritual penyembuhan melalui orang-orang yang
kemasukan roh-roh leluhur yang telah meninggal). Selain itu, beberapa pantangan,
tabu atau larangan, menurut mereka bila dilanggar akan dikenakan sanksi adat
yang merupakan bentuk kearifan di dalam pemeliharaan dan pengelolaan sumber
daya alam, sekaligus menjadi kerangka orientasi nilai-nilai budaya (cultural
values) yang dipatuhi bersama oleh warga masyarakat. Oleh karena itu kearifan
lokal yang merupakan warisan leluhur turun temurun mengandung nilai-nilai
positif dan nilai-nilai spritual untuk dijadikan pedoman dalam bersikap dan
bertingkahlaku (pattern of action). Selain ungkapan yang diuraikan itu,
masyarakat Kaili juga memiliki pengetahuan lokal dalam pelestarian hutan,
perairan danau Lindu, ombo atau hukuman bagi yang melanggar ketentuan adat di
danau Sibili, pantangan atau pemali dalam bertutur atau berucap, dan upacara adat
lainnya.
Selain itu, masih banyak kearifan lokal yang ada di Sulawesi Tengah,
diantaranya adalah Nolabe. Pemerhati budaya, Atman menjelaskan, ada beberapa
jenis Nolabe. Nolabe dilakukan mulai dari Nifsu Syaban atau yang biasa disebut
Nolabe Hasan dan Husein. Kemudian Nolabe untuk mendoakan arwah leluhur
yang telah meninggal atau yang biasa No Arua (Arwah), serta Nolabe saat No
Temba Bula (menembak bulan atau mangala balengga puasa (mengambil kepala
puasa), yang biasanya masyarakat umum lakukan sekaligus, saat melaksanakan
Nolabe menyambut Ramadan. Adapun tahap pelaksanaannya kata Atman yaitu,
kalau Nolabe Nifsu Syaban untuk memperingati dan mendoakan atas kematian
cucu Rasulullah, Husein, di mana menyiapkan makanan berupa kadominya (nasi
kebuli) terutama untuk golongan Karaeng. Kemudian, No Arua, dengan
melakukan ziarah ke seluruh kuburan leluhur dan menyiapkan makanan, seperti
kalopa, burasa sisuru dan momimomi (jajanan khas To Kaili), kemudian
dilakukan Nolabe/Norate (pembacaan ratib). Sedangkan untuk Nolabe Notemba
Bula, dilakukan dengan menyiapkan makanan, dan biasanya dilaksanakan setelah
Magrib. “Kemudian masyarakat melihat bulan, kalau sudah ada, dibunyikan
meriam ke arah langit, sebagai penanda masuknya bulan Ramadhan awal puasa),”
ujarnya. Dalam Nolabe kata Atman, ada dua baki berisi aneka makanan. Pertama,
13
baki malaeka (baca: malaikat), itu biasanya berisi kalopa, sisuru, dan makanan
lainnya, yang didoakan khusus untuk arwah. Kedua, baki salama (selamat), berisi
beras pulut kuning (pae pulu kuni) diberi telur di atasnya. Baki salama ini kata
Atman, sebagai ucapan rasa syukur masih diberi umur panjang untuk bertemu
dengan bulan Ramadan. Sementara itu, Muhammad Ayub Mubarak menyebutkan,
aneka makanan yang disajikan saat Nolabe, merupakan penanda orang-orang tua
di masa lalu, sering berbicara dengan bahasa simbol, menggunakan hal-hal yang
dekat dengan keseharian masyarakat, untuk memudahkan pemahaman agama di
masyarakat. Makanya kata dia, ada cucur dan pisang (loka) dano, yang
diibaratkan sebagai payung bagi kaum muslim, kemudian nasi pulut putih dan
merah, yang menyimbolkan darah dan ruh manusia. “Kalau di daerah lain, ada
yang menggunakan pulut empat warna (merah, putih, kuning, hitam), yang
dipuncaki dengan telur, menyimbolkan empat unsur manusia,” ujarnya.
Sementara itu, keturunan Habib Sayyid Baharullah Bafagih, Randi Ibrahim
Bafagih mengatakan, Nolabe berasal dari bahasa Arab ‘Laa Ba'sa’ yang artinya
menjauhi masalah. Hal ini dimaknai sebagai amalan zikir dan doa untuk
memperingati suatu kejadian, misalnya di bulan Ramadan, agar dijauhkan dari
masalah, sekaligus bentuk kesyukuran akan datangnya waktu yang akan
diperingati itu (Ramadan).
14
Baharullah Bafagih, yang menyebarkan Islam di Palu dan sekitarnya, pada
periode 1800-an. Sementara itu, ahli bahasa, Nicolaus Adriani dan etnografer,
Albertus Christiaan Kruyt, dalam buku De Bare'e sprekende Toradja's van
Midden-celebes, juga menjelaskan, pada akhir abad 19 hingga awal abad ke-20,
tradisi Nolabe ini nampaknya sudah dilakukan oleh masyarakat Kaili, namun
tidak dijelaskan oleh keduanya secara menyeluruh. Keduanya menulis, pada
malam pertama bulan puasa, banyak sekali makanan lezat disiapkan, dan
kunjungan dilakukan bersama. Segala sesuatu dipersiapkan dengan baik.24
Selain itu kearifan lokal di Sulawesi Tengah juga meliputi bidang seni.
Seni arsitektur yang bersifat tradisional jarang dikerjakan, yang tinggal bangunan-
bangunan yang bersifat umum dan modern. Seni pahat, dengan datangnya
transmigrasi dari pulau Bali maka seni pahat/ukir berkembang baik. Seni lukis,
dapat dinilai mempunyai perkembangan yang pesat dapat dibuktikan dengan
penemuan-penemuan motif-motif lukisan dalam pembuatan sarung Donggala.
Motif itu bermacam-macam dan sudah mendapat pengaruh dari luar.
24
Jefrianto. 2020. Nolabe: Mengucap Syukur Menyambut Ramadhan. Dalam Buletin Bulanan
Syajaratun HMJ SPI IAIN Palu. Vol. 3 Hal. 13
15
6) Barang kulit, utamanya kulit kayu yang dibuat pakaian. Pakaian kulit kayu
ini dapat menjadi obyek turis. Kulit kerang mutiara dibuat jadi perhiasan
di Luwuk.
7) Barang-barang jahitan, sulaman dan ikatan. Seni dekoratif, utamanya pada
pesta-pesta pengantin, pesta penyunatan dan sebagainya.25
Sebelum masakan kaledo populer seperti saat ini, uve mpoi lebih awal
dikenal dalam kebudayaan To Kaili yang ditandai dengan beberapa upacara adat
tradisi Kaili. Seperti dalam Molama Kana sebuah upacara menjelang kelahiran
seorang anak dilakukan sando (dukun), di antara makanan yang disajikan dalam
prosesi adat yaitu satubu uve mpoi (semangkok kuah asam). Selain disediakan
25
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984. Sejarah Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta:
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah
26
Jamrin Abubakar. 2017. Diplomasi Kebudayaan dalam Kaledo dan Kelor. Dalam Arifuddin M.
Arif, dkk. 2017. Khazanah Budaya Kaili: Perspektif Nilai Tradisi, Norma, dan Sosio Religi. Palu:
EnDeCe Press. Hal. 32.
27
Muslima, dkk. 1991. Tata Sajian Upacara Adat Suku Kaili. Palu: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah.
28
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/Museum Provinsi Sulawesi Tengah. 1991. Palu:
16
Balengga Mpantale (kepala sajian) yang terdiri dari berbagai jenis makanan,
terdapat pula Ganampantale sebagai pelengkap bersama balengga pantale yang
diletakkan pada bagian kiri dan kanan mengapit kepala sajian.29
Suku Kaili memiliki makanan utama dari bahan beras, ada pula makanan
khusus yang disebut “Karada”, yang bahannya terbuat dari jagung muda
dicampur dengan berbagai macam sayur, ubi kayu atau ubi jalar, beras dimasak
menjadi satu dalam bentuk cair dan kental dengan bumbu garam secukupnya. Ada
pula masakan Kaledo yang dalam sejarahnya dikenal di antara beragam jenis
makanan, diakui khas Kaili dan dikategprikan makanan tambahan. Selain itu
dikenal adanya makanan sampingan seperti pisang, beras jagung, sagu dan keladi,
umbi-umbian dan buah-buahan. Pengolahannya sangat beragam sesuai sistem
teknologi dan perlengkapan hidup yang dikuasai sesuai perkembangan zaman.31
Yang pasti uta dada merupakan salah satu jenis masakan khas Kaili yang
bahan bakunya dapat berupa ikan (dari jenis ikan berukuran besar yang kemudian
29
Jamrin Abubakar. Op.cit. Hal. 33
30
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Tata Sajian Upacara Adat Suku Kaili. Museum
Negeri Provinsi Sulawesi Tengah.
31
Jamrin Abubakar. Op.cit. Hal. 32
17
diiris-iris) atau dapat pula memilih daging ayam sebagai bahan baku utamanya.
Memasak uta dada terlebih dahulu daging ayam/ikan dipotong-potong untuk
dipanggang setengah matang. Bahan utama itulah yang selanjutnya dimasukkan
ke wajan atau belanga yang telah berisi air. Kemudian dimasukkan berbagai
rempah alamiah yang sudah dihaluskan berupa bawang putih, bawang merah,
kunyit, jahe dan cabe rawit serta serai bersama potongan-potongan tomat yang
semuanya disesuaikan dengan banyaknya porsi. Di susul santan kelapa yang
kental sampai masak dengan rasa secukupnya termasuk garam.
Selain itu adapula uta kelo. Uta Kelo atau yang dalam bahasa Indonesia
berarti sayur kelor merupakan makanan khas suku Kaili. Beberapa makanan di
warung tradisional di kota Palu saat ini sudah menjadikan Uta Kelo dalam deretan
menu yang diminati. Sayur kelor kadang bersanding dengan masakan “duo”32
yang mengundang selera makan, dan sangat cocok disantap bersama lauk uta
kelo.33 Tanaman kelor biasanya dijadikan pagar kebun warga di sejumlah
perkampungan di sekitar kota Palu, bahkan sebagian orang sengaja menanam di
halaman belakang rumah agar mudah dipetik dibutuhkan sebagai sayur alternatif.
Selain sayur daun kelor buahnya yang berbentuk panjang cukup lezat dijadikan
sayur bening berasam setelah dipotong-potong.
Cara memasak uta kelo sangatlah mudah, lebih awal air dipanaskan dalam
panci atau wajan, saat mendidih giliran daun kelor yang telah diurut dari tangkai-
tangkai kecilnya pun dimasukkan bersama santan. Dalam memasak uta kelo,
kadang banyak pula yang mencampurkan dengan sayur terong, ubi kayu atau biji
kacang hijau, yang tentunya bahan tersebut harus dimasak lebih awal, sebab daun
kelor sangat cepat masak.
32
Duo merupakan gorengan yang gurih, merupakan sejenis ikan teri paling kecil dan kering.
33
Jamrin Abubakar. Ibid. Hal 35.
18
Sejak lama nenek moyang suku Kaili menjadikan ramuan obat-obatan tradisional
dengan cara dioleskan. Hasil penelitian Ahli botani menyebutkan daun maupun
buah kelor mengandung vitamin A, vitamin B, vitamin C dan vitamin E, protein,
kalori dan berbagai kandungan gizi lainnya.34
Secara harfiah uve mpoi berarti sayur asam yang berkuah. Namun dalam
tradisi masakan Kaili uve mpoi dimaksud yaitu lauk yang berbahan baku daging
dan sebagian tulang-tulang sapi yang telah dipotong-potong yang diberi buah
asam (tamarindus indica) yang masih muda. Sepintas tak jauh berbeda dengan
masakan kaledo yang satu jenis bahan baku, yakni daging dan tulang sapi. (uve
mpoi biasa pula dicampur dengan potongan-potongan usus/jeroan kambing).35
Kaledo terbuat dari tulang tulang-tulang kaki sapi atau lembu yang baru
diambil dagingnya, sehingga hanyalah sisa-sisa daging yang melekat di tulang-
tulang. Tulang-tulang tersebut kemudian dipotong-potong pendek sesuai ukuran
untuk disajikan dalam mangkok, lalu dicuci bersih beberapa kali agar tidak ada
bau amis. Selanjutnya dimasukkan dalam panci yang berisi air mendidih hingga
betul-betul masak. Dalam proses memasak ini dapat pula dicampur dengan garam
dan cabe rawit mentah dan bisa pula ditambah bawang merah. Begitu masak dapat
disantap ketika masih baru diangkat dari panci, karena hanya enak dinikmati
34
Jamrin Abubakar. Ibid. Hal. 35-36.
35
Ibid. Hal. 38.
36
Ibid. Hal. 38-39.
19
ketika masih panas bersama nasi putih, ubi kayu rebus (singkong) atau dengan
jagung rebus.37
20
pendapat kita selesaikan bersama melalui musyawarah, dan jika kita sudah
mendapatkan kedudukan yang tinggi, kita tetap harus sering melihat
kebawah untuk memperhatikan masyarakat kecil yang membutuhkan
dukungan dan perhatian yang baik. Hal inilah yang menjadi dasar utama
kebersamaan dalam masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Suku Kaili merupakan suku bangsa terbesar di Sulawesi Tengah.
Pembentukan suku bangsa Kaili sudah terjadi sebelum Sawerigading mendatangi
21
Sulawesi Tengah. Bahasa pengantar suku Kaili adalah bahasa Kaili, yang terbagi
menjadi beberapa sub, yaitu Kaili Ledo, Tara, Rai, Unde, Ado, dan lain
sebagainya. Suku Kaili merupakan etnis yang egaliter (terbuka) terhadap suku-
suku lain dan peradabannya. Dalam sistem pemerintahannya, pemerintahan
Kerajaan di Tanah Kaili dipegang oleh seorang Magau, sebagai kepala
pemerintahan tertinggi yang mutlak dan tidak dapar diganggu gugat. Beliau
dibantu oleh seorang wakil yang disebut “Madika Malolo”. Masyarakat Kaili pada
umumnya memiliki kebudayaan dan kearifan lokal serta adat istiadat. Beberapa
diantaranya adalah Balia, Nolabe, pengobatan alami, kerajinan tangan, kuliner
hingga rumah adat.
3.2 Saran
Saran penulis teruntuk kaum milenial agar tertarik kepada Sejarah Lokal
sebagai bentuk cinta terhadap tanah air. Penulis juga berharap semoga lebih
banyak lagi Penulisan Sejarah Lokal yang ada Sulawesi Tengah, agar lebih
memperkaya literatur Sejarah Lokal. Saran lain penulis untuk sesama mahasiswa
yaitu harus lebih giat mempelajari dan membaca referensi yang berkaitan dengan
Pembentukan Suku Bangsa Kaili, agar dapat mengambil manfaat positif dari
berbagai peristiwa dimasa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Albert C. Kruyt. 1938. De West-Toradjas Midden Celebes. Amsterdam: Uitgave
van de B.V. Noord-Hollansche.
22
Andi Mattulada. Sejarah Kebudayaan “To-Kaili” (Orang Kaili). Palu: Tadulako
University Press.
Arifuddin M. Arif, dkk. 2017. Khazanah Budaya Kaili: Perspektif Nilai
Tradisi, Norma, dan Sosio Religi. Palu: EnDeCe Press.
Darlis. 2017. Fenomena Al-Qur’an dalam Tradisi Balia. Dalam Arifuddin M.
Arif, dkk. 2017. Khazanah Budaya Kaili:Perspektif Nilai Tradisi, Norma, dan
Sosio Religi. Palu: EnDeCe Press.
Jamrin Abubakar. 2017. Diplomasi Kebudayaan dalam Kaledo dan Kelor. Dalam
Arifuddin M. Arif, dkk. 2017. Khazanah Budaya Kaili: Perspektif Nilai
Tradisi, Norma, dan Sosio Religi. Palu: EnDeCe Press.
Jefrianto. 2020. Nolabe: Mengucap Syukur Menyambut Ramadhan. Dalam
BuletinBulanan Syajaratun HMJ SPI IAIN Palu. Vol. 3.
23
Masyhuddin Masyhuda. 1981. Perkembangan Kebudayaan di Sulawesi Tengah.
Palu: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Tengah.
Muslima, dkk. 1991. Tata Sajian Upacara Adat Suku Kaili. Palu: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah.
Nuraedah. 2020. Islamic Dialogue, Local Culture, and Women in Sigi Regency,
Indonesia. International Journal of Criminology and Sociology. Vol. 9.
Syuaib Djafar. 2014. Kerajaan dan Dewan Adat di Tanah Kaili Sulawesi Tengah.
Yogyakarta: Ombak.
Sukmawati Saleh. 2013. Kearifan Lokal Masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah.
Jurnal Academica Fisip Untad, Vol. 05 No. 2.
24