Anda di halaman 1dari 20

 Asal Usul Kerajaan Bone

Tanah Bone adalah gabungan dari unit-unit politik inti atau persekutuan masyarakat kaum yang
disebut anang yang dipimpin oleh matoa anang (ketua kaum). Selanjutnya anang terbentuk
menjadi wanua (negeri), seperti wanua Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete Riattang, Tanete Riawa,
Ponceng, dan Macege. Setiap pembentukan kelompok wanua didorong oleh ikatan rasa
seketurunan dari satu nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan teritorial yang
tertutup terhadapa persekututan teritorial hidup lainnya dalam sistem kehidupan patrimonial
(garis keturuann dari pihak ayah). Hal seperti itu menciptakan permusuhan di antara satu wanua
dengan wanua lainnya.
Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah berdirinya Kerajaan Bone juga diawali
dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita,
Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-laki. Kehadiran Tomanurung sebagai penguasa
sentral di Kerajaan Bone diawali oleh sebuah ikrar antara Tomanurung dan penguasa unit-unit
politik setempat. Sebelum kehadiran Tomanurung selalu ditandai dengan fenomena alam yang
mengerikan. Tulisan dalam lontarak mengisahkan bahwa sebelum kedatangan Tomanurung,
terjadi hujan dan petir sambung- menyambung tanpa putus selama tujuh hari tujuh malam.
Setelah hujan reda, muncullah seseorang disuatu tempat. Orang tersebut mengenakan jubah putih
dan berdiri ditengah-tengah padang Bone. Oleh karena mereka tidak mengetahui asal-usulnya;
orang menyebutnya Tomanurung (orang yang turun dari kahyangan).maka berkumpullah orang
Bone dan mengadakan perundingan demi sebuah kesepakatan untuk berangkat menemui orang
tersebut dan diangkat menjadi Raja Bone.
Setelah mereka sampai di hadapan orang tersebut, mereka memohon agar orang tersebut mau
menjadi Raja di Bone. Akan tetapi, orang tersebut menolak untuk menjadi Raja, karena ia juga
hanya seorang budak raja. Tapi orang terbut menawarkan jika rakyat Bone menginginkan Raja,
maka ia bisa membawa mereka bertemu langsung dengan calon Raja tersebut. Selanjutnya, orang
tersebut membawa mereka pergi ke daerah Matajang. Sesampainya disana, terlihatlah seorang
lelaki duduk berpakaian kuning di batu ”napara” beserta tiga pengikutnya, yang masing-masing
bertugas memang kipas, payung dan membawakan salendrang (tempat sirih).
Para pemohon dari Bone pun, langsung memohon kepada lelaki yang duduk di atas batu napara
agar kiranya bersedia menjadi Raja di Bone. Maka raja itu menyahut, “teddua nawa-nawao”
artinya “orang setia” dan “temmaballecoko” artinya tidak memungkiri segala janji”.
Sesudah perjanjian tersebut terlaksana, maka raja tersebutpun “nalekkeni ManurungE” artinya
“memindahkan Manurung itu ke Bone. Dan menjadi Raja Bone I di sana. Sesampainya di sana,
rakyat Bone lalu mendirikan istana untuk “ManurungE” (raja). Pendirian istana itu lekas selesai
dimana “bulisa” artinya kayu “potongan belum kering”, raja sudah mendiami istana itu.

 Proses Islamisasi Kerajaan Bone

Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Yang mana
proses Islamisasi Kerajaan Gowa, dilakukan oleh Datu ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan
Gowa, penyebaran Islam pun dimulai. Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran Islam
secara damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga.
Alasan beliau berdasarkan perjanjian yang berbunyi “... bahwa barangsiapa menemukan jalan
yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukan kepada raja-raja sekutunya”.
Akan tetapi jalan damai tidak berlaku bagi Bone. Dalam hal ini Bone bersama sekutunya tidak
mempercayai penyebaran Islam yang dilakukan kerajaan Gowa tidak berdasarkan ketulusan
melainkan bersifat politis. Alasan tersbut beralasan, karena dalam sejarah sebelum masuknya
Islam telah tejadi benturan-benturan terhadap kedua kerajaan. Menurut mereka ini adalah siasat
Gowa untuk menguasai mereka.
Akhirnya terjadilah Perang yang dikenal dengan musu sellenge atau perang peng-Islaman.
Seperti telah dituliskan sebelumnya telah terjadi perang pada tahun 1607-1611. Yang berangsur-
angsur memaksa Soppeng memeluk Islam pada tahun 1609 M, Wajo pada tahun 1610 M dan
Bone pada tahun 1611 M dengan perjanjian bahwa pemerintahan kerajaan tetap berada pada
tangan mereka.
Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada tahun 1611 M dan ia
hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya, karena beliau menerima Islam sebagai agamanya
padahal dewan adat Ade Pitue bersama rakyat menolak ajakan tersebut. Akhirnya beliau
meninggalkan Bone, kemudian ke Makassar mempelajari agama Islam lebih mendalam dan
meninggal di Bantaeng.
Perlu diketahui sebelum Sultan Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La Tenri Ruwa memeluk
Islam. Sudah ada rakyat Bone juga yang telah memeluk Islam, bahkan Raja sebelumnya We
Tenri Tuppu karena mendengar Sidendreng telah memeluk Islam ia pun tertarik untuk
mempelajarinya dan wafat disana. Sehingga ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.
Setelah dima’zulkannya La Tenrirua dan diangkat penggantinya La Tenripale Arung Timurung
dalam tahun 1611. Arumpone La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung (1611 – 1625),
adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna. Inilah Mangkaue’ yang membangkitkan
kembali semangat orang Bone menolak Islam, yang menurut pemahamannya adalah pintu masuk
Gowa mau menjajah Bone.
Akan tetapi, rakyat Bone dibawah Arumpone La Tenri Pale tak dapat berbuat banyak digempur
dengan pasukan besar Gowa, segera setelah itu Bone resmi menjadi daerah takluk Gowa dan
secara formal pula Bone memeluk Agama Islam (1611). Seluruh Arung Palili (Raja negeri
bawahan Bone) diundang untuk mengucapkan syahadat tanda masuk Islam. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa Islam masuk di Bone melalui tekanan militer Gowa
Setahun setelah orang Bone menerima Islam, Arumpone La Tenri Pale ke Tallo (Makassar)
menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan Abdullah dan diumumkan pemberian
nama itu dalam suatu khutbah Jum’at. Selama masa pemerintahan La Tenripale Towakkapeyang
(1611-1631), penaklukan Gowa atas Bone tidak terlalu membawa penderitaan bagi rakyat Bone,
karena hubungannya dengan Sultan Alauddin terjalin dengan baik.
Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La Tenripale
Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan
Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo, di antara gebrakannya yang
terkenal adalah menghapus sistem perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan tidak untuk
diperbudak; juga menghukum berat para penyembah berhala atau mensakralkan tempat dan
benda-benda tertentu; pelaku zina; pencurian; miras, dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya.
Inilah sejarah awal penerapan syariat Islam secara formal. Maka terjadilah perlawanan dari para
bangsawan Bone bahkan perlawanan tersebut dipimpin langsung oleh Ibu La Maddaremmeng
sendiri yaitu Datu Pattiro we Tenrisolorengbeliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena
diangganya keras dan tidak toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam versi kerajaan
Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran kepercayaan pra-Islam di Bone.
Tercatat dalam Sejarah Bone tentang kepatuhan La Maddaremmeng dalam menjalankan ajaran
Islam dan mengimplementasikannya dalam pemerintahannya. Bahkan diusahakan pula agar
kerajaan tetanggnya seperti Soppeng, Wajo dan Ajattapareng menirunya, khususnya dalam
memerdekakan hamba sahaya, kecuali yang memang budak turun temurun, sedang mereka
inipun harus diperlakukan manusiawi. Baginda bertindak keras tanpa pandang bulu terhadap
siapapun yang melanggar kebijaksanaannya. Meski begitu, tak sedikit pula bangsawan dalam
Kerajaan Bone sendiri yang menentang penghapusan perbudakan.
Dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri Bone dan penentangan terhadap
penghapusan perbudakan, Gowa dibawah pemerintahan Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali
menyerang Bone (1644). Ini berarti Gowa sendiri tidak mau dan tidak menyetujui penghapusan
perbudakan. La Maddaremmeng menghadapi perang tersebut dengan dibantu saudaranya, La
Tenriaji Tosenrima, namun serangan Gowa secara besar – besaran tersebut tak dapat ditahan
pasukan Bone, Arumpone akhirnya menyingkir ke daerah Larompong. Di Cimpu, Arumpone
ditawan lalu dibawa ke Gowa, diasingkan di suatu kampung bernama Sanrangang (1644). Rakyat
dan Hadat Bone akhirnya mengangkat La Tenriaji To Senrima sebagai Arumpone untuk
melanjutkan perjuangan melawan Gowa. La Maddaremmeng dikembalikan ke Bukaka dan
disanalah Arumpone ini meninggal, hingga digelari Matinroe ri Bukaka.

 Aspek Kehidupan Kerajaan Bone


 Kehidupan Politik
Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, yang bergelar MatasimpoE. Ia
memerintah kurang lebih 40 tahun, dari tahun 1330 M sampai tahun 1370 M. MatasilompoE
kawin dengan Tomanurung ri Toro, yang bernama Tenriawaru. Dari perkawinan ini lahirlah lima
orang anak yang masing-masig bernama: La Umasa, Patanra Wanua, Tenri Salogo, We Arattiga
dan Isamateppa.
Setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan dan
kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti
dengan pembentukan Dewan Penasehat, Ade’pitu (Adat Penguasa), yang terdiri dari pemimpin
dari tujuh komunitas. Dengan bantuan Ade’pitu, ManurungE lalu membuat peraturan-peraturan
bagi rakyatnya. Ia juga menegakkan hukum dan adat istiadat untuk mengatur ketertiban bagi
masyarakat. Hingga suatu hari Arung Pone –MatasilompoE telah tiada; hilang atau gaib entah
kemana (oleh masyarakat setempat disebut; Mallajang.
Setelah Arung Pone tiada, beliau digantikan oleh La Ummase. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri
Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri
Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena
Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi
di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya dari
teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung
kerajaan) di Bone.
Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan wilayah –
wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone).
Politik ekspansinya berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang,
Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”.
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai
Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari
isterinya yang berasal dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia
tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke
Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng.
Setelah La Saliyu Karempuala dewasa, maka beliau mengambil alih tampuk pemerintahan Bone
dari kedua sepupunya itu. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu
Karempalua (1424 – 1496) adalah Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La
Ummase’.
La Saliyu Karampelua digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng atau Puatta
Lawelareng. Sebagai Raja Bone III ini melanjutkan kegiatan ekspansi yang telah dirintis
pendahulunya, bahkan lebih besar dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti :
Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko,
Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung,
Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai wilayah yang cukup luas
(menurut ukuran pada masa itu), sehingga organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan.
Untuk itu La Saliu membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah
administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone. Pertama,Negeri – negeri
yang memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah,
Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua,
Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing,
Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan
Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri Woromporongnge’ :
Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi
Kajao Arasong”. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone ; Kasim, 2002).
Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum warisan diumumkan
secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin stabilitas hubungan di dalam komunitas.
Setelah genap berusia 72 tahun Arung Pone III mengumumkan kepada rakyat Bone bahwa
penguasa beikutnya adalah We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE anaknya dari isteri
keduanya We Tenri Roppo Arung Paccing.
Inilah untuk pertama kalinya Kerajaan Bone dipimpin oleh seorang perempuan. We Banrigau
Daeng Marowa Makkaleppie’ naik takhta menggantikan ayahnya Arumpone La Saliyu
Karampelua. We Banrigau digelari pula Bissu Lalempili. (Makkulau, 2009). Di masa
pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang, Kerajaan Bone mencapai
stabilitas dalam negeri yang mantap serta pertanian yang berhasil. Raja perempuan pertama
Kerajaan Bone (1470 – 1489) ini tidak meneruskan pendahulunya dalam perluasan wilayah
kekuasaan tetapi aktif dalam upaya mengintensifkan perluasan lahan pertanian. “Membeli bulu’
(gunung) Cina dengan menukarnya 90 ekor kerbau, dan sawah di sekitar Kampung Laliddong
dengan menukarnya 30 ekor kerbau”.
Akan tetapi terjadi pemberontakan pada masa pemerintahannya, yang dilakukan oleh La Dati
Arung Katumpi karena persoalan pelaksanaan pembelian areal persawahan, namun
pemberontakan tidak berlansung lama, karena beliau dapat mengatasinya. Dan setelah
memerintah selama 20 tahun lamanya, ia kemudian menyerahkan kekuasan kepada putranya La
Tenrisukki. Setelah pelantikan ia pun meninggalkan Kerajaan Bone bersama keluarganya dan
pergi menetap di Cina bersama keluarganya hingga ia menghilang dan diberilah ia gelar
Mallajang ri Cina.
Pada masa pemerintahan Raja Bone V, La Tenrisukki sebagai pewaris takhta dari ibunya, I
Benriwa Gau. La Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja Bone) pertama yang disebutkan
memiliki hubungan dengan kerajaan besar lain di Sulawesi Selatan. Arumpone ini memerintah di
akhir Abad XV sampai permulaan Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil
memukul mundur serangan militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara Lattu. Setelah perang selesai
(Perang itu dikenal dengan ”Perang Cellu”, karena Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu
sebelum menyerang Bone. Perang Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone.
Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu To Serangeng
Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan senjata di Unnyi), karena terjadi di
Kampung Unnyi. Usai Perjanjian Polo MalelaE ri Unnyi ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu
Luwu kemudian kembali ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak
mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang dari pihak Luwu
(yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang perang). Dengan demikian perjanjian
perdamaian tersebut menyimpang dari kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang pada
umumnya menetapkan sanksi kerugian perang yang harus dibayar oleh negara agresor yang
kalah perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki
kepada Datu Luwu, Dewaraja.
Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya
Perjanjian Uunyi adalah perjanjian persekutuan antara Bone dan Luwu. Persekutuan semacam
ini, baru untuk pertama kalinya terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae
ri Unnyi bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan peristiwa tersebut
menampatkan Bone dalam posisi strategis dan prestise yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan
kecil di sekitar Kerajaan Bone bahkan juga kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi
Selatan.
Setelah itu beliau juga menghadapi pemberontakan dari orang-orang Mampu – salah satu
kerajaan di sekitar kerajaan Bone. Namun, sekali lagi pemberontakan tersebut dapat diselesaikan
oleh La tenri Sukki. Setelah beliau memerintah kurang lebih 27 tahun lamanya ia pun wafat. Dan
sebagi penggantinya ditunjuklah puteranya La Uliyo BoteE hasil perkawinanya dengan
sepupunya We Tenri Songke sebagai Raja Bone VI. Digelari Bote’E karena Arumpone ini
memiliki postur tubuh yang subur (gempal).
Di masa pemerintahan La Uliyo Bote’E, Luwu kembali menyerang Bone dan sekali lagi
dikalahkan. Bone kemudian memperoleh bantuan Gowa untuk memerangi sekutu utama Luwu
dan Wajo, namun persekutuan itu merupakan campur tangan tidak biasa bagi Gowa dalam
usahanya untuk merebut hegemoni disebelah timur semenanjung, belakangan Gowa memang
mengundurkan diri dan berkonsentrasi untuk mencapai harapannya di semenanjung barat
Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dilirik oleh Gowa.
Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong. Dia pulalah yang mengadakan
perjanjian dengan KaraengE ri Gowa Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna.
Peristiwa peresmian hubungan diplomatik pertama antara Bone dengan Gowa, diupacarakan
dengan pergelaran senjata sakti kedua kerajaan, ”Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni” di
Tamalate. Kunjungan Raja Gowa secara formal dalam kunjungan kenegaraan, dan berhasil
membentuk hubungan persahabatan bilateral antara Gowa dengan Bone. Dengan upacara
khidmat memperhadapkan senjata kebesaran Kerajaan Bone dan senjata kebesaran Kerajaan
Gowa di Laccokang, Watampone, ibukota Kerajaan Bone (1538).
Setahun kemudian, Raja Bone, La Uliyo Bote’e melakukan pula kunjungan balasan ke Gowa dan
berhasil membentuk dual alliance antara Bone dengan Gowa yang disebut, “Ulu Adae ri
Tamalate” (Perjanjian Tamalate). Perjanjian tersebut berisikan bahwa Bone dan Gowa
bersepakat untuk saling memberikan bantuan militer bilamana ada di antara mereka dalam
keadaan bahaya ancaman militer. Ini merupakan sukses di bidang politik di masa kekuasaan La
Uliyo Bote’e. Setelah genap 25 tahun sebagai Arung Mangkaue’ ri Bone ditunjuklah La Tenri
Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.
Daftar Arumpone Bone:
1. Matasilompoé [Manurungngé ri Matajang] (1392-1424)
2. La Umassa Petta Panré Bessié [ Petta Paladeng - Arung Labuaja ] Matinroe Ri Bengo
[To'Mulaiyé Ranreng] (1424-1441)
3. La Saliyu Karampéluwa/Karaéng Pélua'? [Pasadowakki] (1441-1470)
4. We Ban-ri Gau Daéng Marawa Arung Majang Makaleppié Bisu-ri Lalengpili Petta-ri La
Welareng [Malajangngé ri Cina] (1470-1490)
5. La Tenri Sukki Mappajungngé (1490-1517)
6. La Uliyo/Wuliyo Boté'é [Matinroé-ri Itterung] (1517-1542)
7. La Tenri Rawe Bongkangngé [Matinroé-ri Gucinna] (1542-1584)
8. La Icca'/La Inca' [Matinroé-ri Adénénna] (1584-1595)
9. La Pattawe [Matinroé-ri Bettung] (15xx - 1590)
10. We Tenrituppu [Matinroé ri Sidénréng] (1590-1607)
11. La Tenrirua [Matinroé ri Bantaéng] (1607-1608)
12. La Tenripalé [Matinroé ri Tallo] (1608-1626)
13. La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1626-1643)
14. Tobala', Arung Tanété Riawang, dijadikan regent oleh Gowa (1643-1660)
15. La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1667-1672)
16. La Tenritatta Matinroé ri Bontoala' (Arung Palakka) Petta Malampe'é Gemme'na Daéng
Sérang (1672-1696)
17. La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Petta Matinroé ri
Nagauléng (1696-1714)
18. Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiyat ud-din
binti al-Marhum Sultan Idris Azimud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1714-1715) (masa
jabatan pertama)
19. La Padassajati/Padang Sajati To' Apaware Paduka Sri Sultan Sulaiman ibni al-Marhum
Sultan Idris Azimud-din [Matinroé-ri Béula] (1715-1720)
20. La Pareppa To' Aparapu Sappéwali Daéng Bonto Madanrang Karaéng Anamonjang
Paduka Sri Sultan Shahabud-din Ismail ibni al-Marhum Sultan Idris Azimud-din (1720-
1721). Ia menjadi Sultan Gowa [Tumamenanga-ri Sompaopu], Arumpone Bone, dan
Datu Soppeng.
21. La Panaongi To' Pawawoi Arung Mampu Karaéng Biséi Paduka Sri Sultan 'Abdu'llah
Mansur ibni al-Marhum Sultan Idris Azimud-din [Tuammenang-ri Biséi] (1721-1724)
22. Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiatud-din
binti al-Marhum Sultan Idris Azimud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1724-1749) (masa
jabatan kedua)
23. La Temmassongé Mappasossong To' Appaware' Petta Paduka Sri Sultan 'Abdu'l Razzaq
Jalalud-din ibni al-Marhum Sultan Idris Azimud-din [Matinroé ri-Malimongang] (1749-
1775)
24. La Tenri Tappu To' Appaliweng Arung Timurung Paduka Sri Sultan Ahmad as-Saleh
Shamsud-din [Matinroé-ri-Rompégading] (1775-1812)
25. La Mappatunru To Appatunru' Paduka Sri Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin
[Matinroé-ri Laleng-bata] (1812-1823)
26. I-Manéng Arung Data Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiatud-din [Matinroé-ri Kassi]
(1823-1835)
27. La Mappaséling Paduka Sri Sultan Adam Nazimud-din [Matinroé-ri Salassana] (1835-
1845)
28. La Parénréngi Paduka Sri Sultan Ahmad Saleh Muhiud-din [Matinroé-ri Aja-bénténg]
(1845-1857)
29. We Tenriawaru Besse Kajuara Sri Ratu Sultana Ummul Huda [Matinroe-ri Majennag]
(1857-1860)
30. La Singkeru Rukka Paduka Sri Sultan Ahmad Idris [Matinroé-ri Lalambata] (1860-1871)
31. We Fatimah Banri Paduka Sri Sultana Fatima [Matinroé-ri Bola Mapparé'na] (1871-
1895)
32. La Pawawoi Karaéng Sigéri [Matinroé-ri Bandung] (1895-1905)
33. Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri
Sultan Husain (1931-1946)
34. Andi Pabénténg Daéng Palawa [Matinroé-ri Matuju] (1946-1950)

 Kehidupan Sosial
Sepert halnya kasta-kasta di Bone merupakan hasil penyusunan yang menjadi ketentuan atau
pengaturan (Wari) yang telah ditetapkan raja Bone dimasa pemerintahan Lapatau Matanna Tikka
Matinroe ri Nagauleng (raja Bone ke-16(1696-1714 M)). Sejak itulah susunan dan tingkatan
derajat bangsawan di Bone diberlakukan bahkan masih ada sampai sekarang.
Pembagian masyarakat Bugis-Makassar dalam kasta-kasta atau golongan-golongan adalah suatu
faktor penting yang mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan religius dari masyarakat
Bugis-Makssar di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Di dalam buku “Latoa” ( Kumpulan dari sabda-sabda dan petuah-petuah dari raja-raja dan orang-
orang cerdik pandai dahulu kala ) dikatakan, bahwa memelihara dan mempetahankan kasta-kasta
adalah salah satu syarat untuk menjadikan sebuah negeri bisa menjadi besar. Dikatakan
selanjutnya, bahwa kemakmuran sebuah negeri adalah bergantung dari empat perkara, yang
mana setelah agama Islam masuk di daerah Bone ini ditambahkan dengan apa yang disebut
“sara”.atau undang-undang Islam.
Adapun kelima perkara tersebut ialah :
1. Ade’ (kebiasaan dahulu);
Ade merupakan komponen pangngadereng yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan
masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :
a. Ade’ pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk
diubah.
b. Ade’ Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang
dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
c. Ade’ Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
2. Rapang (undang-undang);
Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan
terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
3. Bicara /tuppu (peradilan);
Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif,
menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa
berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.
4. Wari’ (pembagian dalam kasta-kasta);
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat,
membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem
kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.
5. Sara’ (undang-undang Islam)
Sara adalah suatu sistem yang mengatur dimana seorang raja dalam menjalankan roda
pemerintahannya harus bersandar kepada Dewatae (Tuhan yang Maha Esa)
Kasta-kasta di Bone dapat diperinci atas tiga kasta utama, yaitu:
1. Anak Arung (anak raja-raja);
2. To-Maradeka (orang-orang merdeka/orang-orang biasa atau kebanyakan);
3. Ata (hamba-sahaya atau budak)
Kasta A, terbagi dalam golongan-golongan, yaitu :
 A.I. Anak Arung Matasa’ (anak raja / putera-puteri mahkota yang masak/ murni
darahnya), yaitu ayah dan ibunya anak arung matasa’, baik yang berketurunan dari
kerajaan Bone sendiri maupun yang berketurunan dari kerajaan-kerajaan lain yang dinilai
sederajat/ setinggi dengan Bone, antara lain: Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng, dan
Sidenreng. (golongan ini disebut ANA’-PATTOLA, yang berhak penuh menggantikan
raja).
 A.II. Anak Arung Matasa’ (putera-puteri bangsawan asli yang bukan putera-puteri
mahkota) yang berketurunan dari kerajaan-kerajaan tersebut pada aksara A.I. tersebut di
atas. (golongan ini juga disebut ANA’ PATTOLA, yang dapat pula menggantikan raja
apabila putera-puteri mahkota tidak ada dan/atau sesuatu hal lain yang musykil
penyebabnya).
 A.III. Arileng atau Anak-Manrapi, yaitu anak yang lahir dari :bapak, dari kasta golongan
A.I. atau A.II. Ibu, dari kasta golongan yang tingkatannya atau darahnya menurun (tidak
sama dengan suaminya), yang biasanya disebut Rajeng. Golongan ini dapat diangkat
menjadi raja bilamana tidak ada Anak-Pattola , karena Anak-Pattola dianggap tidak cakap
untuk menduduki takhta kerajaan).
 A.IV. Rajeng, yaitu anak yang lahir dari: Bapak, dari kasta golongan A.I. atau A.II. ibu,
dari kasta / golongan yang tingkatnya / derajatnya menurun (jauh beda dengan suaminya,
yang lazim disebut Cera’-Ciceng atau anak arung sipu-E (bangsawan separuh, anak-cera’
(bangsawan campuran).
 A.V. Anak Arung-Sipu-E (bangsawan separuh), yaitu anak yang lahir dari: bapak, kasta
golongan A.I atau A.II. Ibu dari kasta golongan To-Maradeka (orang merdeka/orang
biasa atau kebanyakan).
 A.VI. Anak-Cera’ (bangsawan campuran), yaitu anak yang lahir dari: Bapak dari kasta
golongan anak arung sipu-E (A.V.).
Ibu dari kasta golongan To-Maradeka (orang merdeka/orang biasa/kebanyakan ataupun budak).
Kasta golongan A.I. s/d A.VI. tersebut di atas ini, orang-orang Bone pada khususnya dan di
daerah-daerah tanah Bugis pada umumnya memberi julukan dengan istilah “ANAK-EPPONA-
MAPPAJUNGNGE” ( keturunan raja-raja di Bone).
Kasta B. Terbagi dalam golongan:
 B.I. To-Deceng (orang baik-baik);
 B.II. To-Sama’ / To-Maradeka ( biasa atau kebanyakan / orang-orang merdeka)
Kasta C. Terbagi dalam golongan:
 C.I. Ata-Mana (hamba sahaya warisan)
 C.II. Ata-Mabuang ( hamba sahaya baru)
Selain daripada golongan anakkarung (anak raja-raja di Bone) atau kasta golongan A. Tersebut,
ada pula golongan yang disebut “ANA’ ARUNG PALILI”, yaitu golongan dari turunan raja-raja
dahulu sebelum turunan raja Bone “ Lapatau Matanna Tikka” (raja Bone XVI).
Pada umumnya, golongan ini tidak termasuk golongan yang memberi julukan dengan istilah
“ANA’ EPPONA MAPPAJUNGNGE” bukan asal keturunan To Manurung. Akan tetapi di
dalam perjalanan masa dan perkembangan zaman, tidak kurang juga bilangan turunan Arung
Palili’ yang berketurunan pula dari golongan anakarung (anak raja-raja di Bone) dan dari
bangsawan tinggi di Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng, Sidenreng, dll. Karena perkawinan, sehingga
hubungan dan pertalian kekeluargaan serta keterbatasan, bahkan kekuasaan dan pengaruh raja-
raja yang besar dan berkuasa bertambah luas pada masanya.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka kasta-kasta di masing-masing kerajaan, seperti :
Luwu, Gowa, Wajo, Soppeng, Sidenreng dan lain-lain adalah pada dasarnya sama dengan kasta-
kasta di Bone. Perbedaannya mungkin terdapat pada sebuah istilah-istilah (terminologi) dan
peletakannya dalam susunan tingkatan menurut ketentuan-ketentuan setempat masing-masing.
Dalam sejarah Bone, bahwa setelah masuknya agama Islam di kerajaan Bone pada tahun 1611 M
pada masa pemerintahan La Tenri Ruwa – Sultan Adam Matinroe ri Bantaeng, (1611-1616) dan
ajaran serta tuntunan syariat agama Islam tersebut telah berjalan tersebar secara meluas dan
merata puluhan tahun lamanya, yaitu pada masa raja Bone ke-13 Lamaddaremmeng Matinro-E
ri Bukaka berkuasa di kerajaan Bone (1631-1644), seorang raja terkenal menjalankan ajaran
Islam secara murni. Beliau menetapkan dan menjalankan ajaran Islam dalam kerajaan Bone,
bahwa tidak boleh lagi ada orang yang memelihara atau memiliki hamba sahaya (budak), mereka
harus dimerdekakan dan dibayar tenaganya jika dipekerjakan. Terhadap mereka yang tidak mau
menaatinya akan diambil tindakan keras.
Sikap dan tindakan raja Bone Lamaddaremmeng tersebut, menyebabkan banyak pembesar dan
bangsawan di Bone yang pada masa itu masih kuat dan tetap mempertahankan kebiasaan dan
kepercayaan leluhurnya, yaitu kepercayaan animisme dan festisisme, mengadakan tantangan
terhadap raja Bone Lamaddaremmeng. Bahkan Ibu kandung beliau sendiri pun (We Tenri
Solerang Makkalurue Datu Pattiro), termasuk golongan penentang. Namun demikian, raja Bone
Lamaddaremmeng tidak menghiraukannya. Maka beberapa pembesar kerajaan Bone bersama
pengikut pengikutnya dan ibu beliau sendiri mengungsi ke Gowa untuk meminta perlindungan
pada raja Gowa Sultan Malikussaid.
Akhirnya timbullah peperangan antara raja Bone Lamaddaremmeng dengan Sultan Malikussaid
raja Gowa, karena raja Bone Lamaddaremmeng tidak mengindahkan usaha dan ajakan Sultan
Malikussaid raja Gowa yang telah berulang kali menyelesaikan sengketa tersebut secara damai
yang tak kunjung berhasil. Raja Bone Lamaddaremmeng memilih mengalah dalam perang
tersebut karena lawan bukan siapa-siapa yaitu dari keluarganya sendiri.
Dengan adanya tindakan raja Bone Lamaddaremmeng tersebut, walaupun menghadapi tantangan
besar yang berakhir dengan peperangan sehingga beliau memilih mengalah, tetapi dari raja Bone
Lamaddaremeng lah maka kasta-kasta di Sulawesi Selatan dan Tenggara, khususnya di Bone
sedikit banyaknya mulai mengalami perkembangan baru menuju ke arah perbaikan sosial dan
ekonomi rakyat pada umumnya.
Perubahan dan perkembangan baru tersebut lebih meninngkat, nampak dan nyata pada masa raja
Bone ke-15 Latenritata Sultan Saaduddin Arung Palakka Matinroe ri Bontoala, (1667-1696).
Kemudian beliau diganti kemanakannya, yaitu raja Bone Lapatau Matanna Tikka Matinroe ri
Nagauleng sebagai raja Bone ke-16( 1696-1714), mengikuti jejak dan kepemimpinan pamannya
(Latenritata Arung Palakka) dan berhasil mencapai sukses, kerajaan Bone serta rakyatnya berada
dalam kondisi yang lebih jelas dan lebih nyata struktur dan tata kendali kehidupan sosial, politik
dan ekonominya.
Walaupun demkian karena kondisi, situasi dan keadaan demikian rupa pula, perbudakan di
Sulawesi Selatan danTenggara (termasuk Bone) berlangsung terus, meskipun tidak sehebat
seperti dulu. Demikian juga raja Bone Lapatau Matanna Tikka bahkan berhasil menyusun suatu
ketentuan dan pengaturan baru mengenai susunan serta tingkatan derajat bangsawan di Bone
yang berlaku dan diberlakukan sejak itu bahkan sampai sekarang, sesuai uraian-uraian kasta di
Bone.
Sejak semula raja Bone Latenritata Arung Palakka berkuasa di Bone, pada masa itu pula
pengaruh kekuasaan penjajahan Belanda untuk menanam dan memperkukuh penjajahannya di
Sulawesi Selatan Tenggara pada khususnya dan Indonesia bagian Timur pada umumnya, setelah
kerajaan Gowa dikalahkan oleh Belanda dalam tahun 1666-1669, yang beralaskan pada suatu
perjanjian di tempat yang bernama Bungaya (Gowa) pada tanggal 18 November 1667, yang
dikenal dengan sebutan “Cappayya Ri Bungaya” antara kompeni Belanda (Speelman dan kawan-
kawannya) disatu pihak dengan raja Gowa bersama pembesar kerajaan di lain pihak.
Dalam hubungan ini pula Belanda mulai mengambil langkah-langkah serta tindakan ke arah
penghapusan perbudakan (alaverny) yang pada mulanya juga nampak tidak membawa hasil yang
diharapkan. Perbudakan di Sulawesi Selatan Tenggara berlangsung terus, namun tak seperti dulu
lagi.
Bagi kasta raja-raja dan kaum bangsawan (kasta A). Belanda bersimpati, bersikap lunak dan
berlaku lembut, bahkan Belanda berusaha keras untuk mengambil hati dan simpati raja-raja dan
golongan bangsawan, kasta mana tradisionil memegang peranan dan kekuasaan sesungguhnya
atas rakyat banyak. Dengan demikian, maka disaat ini pula Belanda dapat pula menggunakan
politik Devide et Impera-nya (politik pecah-belahnya) diantara kaum raja-raja.
Pengertian secara definitif Divide et impera atau Politik pecah belah adalah kombinasi strategi
politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara
memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan.
Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk
bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Dua setengah abad kemudian setelah kerajaan Gowa dikalahkan, kompeni Belanda tersebut
barulah pada tahun 1905 Belanda benar-benar berhasil menguasai seluruh daerah Sulawesi
Selatan dan Tenggara, yaitu setelah menguasai Bone secara definitif dengan peperangan yaitu
kekerasan senjata. Semenjak itu tidak ada lagi raja di Bone dan di Gowa. Dalam tahun 1931
barulah Belanda mengangkat raja yang baru di Bone (La Mappanyukki Sultan Ibrahim MatinroE
ri Gowa, 1931-1946) dan di Gowa. tahun 1936.
Dengan berhasilnya Belanda menguasai Gowa dan Bone dalam tahun 1905/1906 tersebut, berarti
keruntuhan dua kerajaan yakni kerajaan Gowa dan kerajaan Bone dan bahkan seluruh Sulawesi
Selatan dan Tenggara, yang dalam hubungan ini berarti pula keruntuhan golongan bangsawan di
seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Penghapusan perbudakan di daeah ini pun menjadi lebih nyata dan menentu, namun
perhubungan antara keturunan-keturunan sahaya dengan keturunan-keturunan pemiliknya yang
lama masih juga kelihatan erat bahkan nampaknya jalinan perhubungannya berubah dan beralih
bentuk menjadi kekerabatan dan / atau kekeluargaan layaknya. Sehubungan pula dengan
perkembangan cepat dan pesat dari masyarakat di daerah ini, maka dapat dikatakan bahwa pada
dewasa ini lenyaplah semua perbudakan di dalam bentuk apapun juga.
Dalam kancah kemerdekaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan kemudian leburnya pemerintahan dan kekuasaan
raja-raja (swapraja) di seluruh Indonesia., demikian pun di Sulawesi Selatan dan Tenggara, maka
dikalangan kaum bangsawan tradisionil pun di daerah pada khususnya, di Indonesia pada
umumnya dewasa ini sudah tiba masanya berakhir secara hukum.
Dalam masa peralihan dan perkembangan baru dewasa ini telah terjadi hubungan perkawinan
antara seorang wanita dari golongan bangsawan dengan seorang pria yang dipandang dan
diketahui lebih rendah derajatnya (tingkatannya) atau dengan kata lain pria yang tidak sederajat,
bahkan adakalanya juga pria yang berasal dari golongan kasta B. (orang biasa atau kebanyakan),
yang pada masa dahulu jarang sekali terjadi kecuali sesuatu hal dan sebab musykil yang sukar
dielakkan (memaksakan).
Karena demikian justru pendukung struktur kekuasaan dalam kerajaan yang amat penting, adalah
pranata perkawinan yang mempunyai arti politik sangat utama di kalangan bangsawan wanita
juga mempunyai kedudukan penting, karena seseorang wanita bangsawan tidak boleh kawin
dengan dengan pria yang mempunyai derajat yang lebih rendah darinya.
Kaum wanitalah yang menetapkan, bahkan meningkatkan derajat keluarganya ke jenjang yang
lebih tinggi derajat atau kedudukannya . tiap-tiap anakarung (bangsawan) penguasa negeri, atau
pembesar kerajaan berusaha memperbesar atau memperluas jaringan kekeluargaannya dan
kekerabatannya, sehingga golongan keluarga yang rumpun dan luas jaringannya selalu
diusahakan diperisterikan (dikawini). Dengan demikian, maka ia akan kuat dalam pengaruh dan
kekuasaannya dalam politik kerajaan.

 Perjanjian Tellumpoccoe
Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan tiga kerajaan Bugis yaitu Bone,
Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan
tersebut. Juga demi menentang agresi dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya
pada masa itu.
Sebelum perjanjian ini bermula, pada masa La Tenri Rawe BongkangE yang naik takhta sebagai
Raja Bone VII menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E, Raja Bone VI, telah terjadi beberapa
kali serangan dari Kerajaan Gowa yang pada mulanya disebabkan karena penggabungan
TellulimpoE (tiga wilayah) memasukkan Bone sebagai anggota yakni Luwu, Gowa dan Bone.
Ketika terjadi pertempuran antara Gowa dan Bone, Wajo sebagai sekutu Gowa ikut serta dalam
pertempuran melawan Bone, setelah tiga hari lamanya pertempuran itu berlangsung pasukan
Bone terdesak, namun semangat pasukan Bone bangkit mengadakan penyerangan dan akhirnya
pasukan Kerajaan Gowa dan Wajo terpukul mundur.
Setelah itu Gowa kembali melakukan penyerangan, bersama dengan Raja Gowa Tonibata yang
sebelumnya sakit, akan tetapi ia tewas setelah kepalanya dipancung oleh pasukan Bone. Lalu,
Kajao lalidong mewakili Bone dan Karaeng Tallo mewakili Gowa mengaddakan pertemuan
yang menghasilkan perjanjian “Ceppae ri Caleppa” berisi tentang batas wilayah kedua kerajaan
di Selatan (Sungai Tangka).
Raja Gowa Karaeng Bonto Langkasa memeberi perintah kepada Arung Matoa Wajo sebagai
Abdi Gowa untuk mengangkut kayu dari pegunungan Barru ke pinggir laut untuk dipergunakan
mendirikan istanan di Tamalate sebagai ibukota Kerajaan Gowa.
Namun Arung Matoa Wajo merasa tidak senang karena diperlakukan sewenang-wenang, maka
hal tersebut disampaikan kepada Raja Bone. Setelah mengetahui hal tersebut Raja Bone merasa
tidak senang, dan ia pun mengajak Arung Matoa dan Datu Soppeng untuk bersama-sama ke
Barru.
Sesampainya disana Raja Gowa heran karena yang ia panggil hanya Raja Wajo, akan tetapi Raja
Bone dan Raja Soppeng juga ikut. Tetapi, Raja Bone menjawab bahwa “Orang Wajo takut
melewati daerah yang tidak didiami manusia”. Kemudian Raja Bone, Soppeng dan Wajo sama –
sama memotong tali pengikat kayu – kayu itu secara bergantian dengan menyanyikan lagu yang
intinya sesama kerajaan yang terintimidasi menginginkan adanya perlawanan dengan
menyatukan kekuatan.
Setelah kejadian itu, mereka bermusyawarah untuk menyerang Cenrana tujuh hari akan datang.
Pada hari yang ditentukan mereka pun menyerang dan membakar Cendrana yang mana
merupakan wilayah kekuasaan Gowa pada waktu itu. Lalu mereka sepakat kembali ke Timurung
untuk mempererat persaudaraan mereka dalam menghadapi serangan-serangan dari Kerajaan
Gowa.
Di Timurung mereka bertemu kembali dan mengadakan perjanjian persaudraan yang kemudian
disebut dengan Tellumpoccoe (tiga puncak) dengan bersama-sama menanamkan batu sebagai
simbol persaudaraan di Timurung (Lamumpatue ri Timurung) pada tahun 1582 M.
Dalam proses perjalanannya Raja Gowa yang mengetahui hal ini marah dan selalu melancarkan
serangan terhdapa sekutunya (Wajo) yang berkhianat. Dua tahun setelah perjanjian
Tellumpoccoe diadakan, La tenri Rawe meninggal karena penyakit yang dideritanya. Sebagai
penggantinya ialah saudaranya La Inca, yang ditunjuk sebagai Raja Bone ke VIII. Pada tahun
1585 terjadilah perang antara Bone dan Gowa dalam memperebutkan kekuasaan. Kepemimpina
La Inca, tidak sebaik saudaranya, pemberontakan terjadi dimana-mana hingga ia akhirnya mati
diatas tangga istana setelah menjabat selama 11 tahun lamanya. Sesuai anjuran Arung Majang,
maka ditunjuklah La Pattawettu menggantikan La Inca sebagai Arumpone XI. Pada masa La
Pattawettu tidak terlalu banyak disebut pemerintahannya, juga tidak diberitakan adanya serangan
militer Gowa ke Bone. Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone,
ia pergi ke Bulukumba dan di situlah beliau sakit pada tahun 1602. Takhta raja pun diserahkan
pada puterinya, We Tenri Tuppu (1602-1611) yang mengendalikan kerajaan Bone selama 9
tahun lamanya.
Pada tahun 1607, Raja Gowa mengirimkan armada perangnya untuk menyerang daerah-daerah
bugis. Namum Tellumpoccoe berhasil mencegatnya dan terjadilah perang selama tiga yang
dimenangkan oleh Tellumpoccoe. Selang tiga bulan, pasukan gabungan Tellupoccoe
melancarkan serangan di Akkotengeng. Dan sekali lagi, Kerajaan Gowayang dibantu oleh
sekutunya mengalami kekalahan.
Enam bulan setelahnya, Kerajaan Gowa tidak kehilangan semngatnya. Mereka memperkuat
sekutu dan membuat benteng di daerah Rappeng, namun berselang tiga hari Raja Gowa
meninggalkan benteng lalu kembali ke Makassar. Melihat hal tersbut, pasukan gabungan
Tellumpoccoe mengepung dan menyerang sisi pertahanan Kerajaan Gowa di Rappang, namun
pasukan gabungan Tellumpoccoe terdesak mundur dan mereka kembali ke negerinya masing-
masing.
Mundurnya pasukan Tellumpoccoe merupakan gambaran bagi Kerajaan Gowa bahwa tidak
terkoordinirnya pasukan Tellumpoccoe. Maka Raja Gowa terus meningkatkan pasukannya untuk
penyerangan selanjutnya.
Lima bulan setelah itu, Raja Gowa melanjutkan ekspansinya dengan menyerang Kerajaan
Soppeng, lalu dilanjutkan dengan serangan terhadap kerajaan Wajo, setelah itu dilanjutkan
dengan serang terhadap kerajaan Bone. Dengan semuanya berakhir pada kemenangan di
Kerajaan Gowa.
 Rumpana Bone (Runtuhnya Kerajaan Bone)
Sejak runtuhnya Kerajaan Gowa pasca munculnya Perjanjian Bongaya, Kerajaan Bone bangkit
menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh paling besar. Hingga awal XX, Kerajaan
Bone memainkan peran penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.
Pada abad XIX Kerajaan Bone menjadi saingan Belanda dalam memperluas kekuasaan dalam
bidang ekonomi dan politik. Akibatnya, kedua penguasa ini pernah terlibat dalam perang besar.
Dalam sejarah daerah ini, perang itu terjadi pada tahun 1824-1825 yang bermula setelah Sultan
Bone meninggal pada tahun 1823, dan digantikan oleh saudarinya Aru Datu (bergelar I-Maneng
Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din), pemerintah kesultanan mencoba merevisi
Perjanjian Bongaya, beserta semua anggota persekutuan itu, yang jatuh atas pemerintahan itu,
hukum yang sama harus diberlakukan.
Antara tanggal 8 Maret sampai 21 September 1824, Gubernur Jend. G.A.G.Ph. van der Capellen
mengadakan lawatan ke Sulawesi dan Kepulauan Maluku; semua penguasa datang memberikan
penghormatan (juga perwakilan Ratu Bone), kecuali penguasa Suppa dan Tanete. Van der
Capellen berharap bahwa perundingan dengan negara-negara tersebut tidak akan membawa
keuntungan apapun; sekembalinya ke Batavia, sebuah ekspedisi dipersiapkan dan sekitar 500
prajurit diberangkatkan dengan membawa 4 meriam, 2 howitzer, beserta 600 prajurit pembantu
pribumi untuk menghukum Bone.
Sultan yang kini terguling lari ke pedalaman dan penduduk tetap melancarkan serangan atas
Belanda namun masalah di Tanete cepat dibereskan dengan baik. Meskipun Suppa masih kuat;
Letkol. Reeder melancarkan serangan bersama 240 prajurit yang dipersenjatai sejumlah
moncong senjata; pada tanggal 14 Agustus serangan diperbaharui: orang Bugis membiarkan
pasukan Belanda mendekat tanpa ancaman apapun hingga di kaki sebuah bukit dan barulah
mereka melancarkan serangan; setelah kehilangan sepertiga pasukannya, Belanda harus mundur.
De Stuers menyerbu bersama komisaris pemerintahan Tobias ke Suppa dan makin mendekat;
pada pagi hari tanggal 30 Agustus, operasi itu berhasil diselesaikan, setelah tembakan meriam
peringatan ke benting musuh, namun kekuatan yang dibawa De Stuers tak cukup kuat. Dengan
korban tewas sebanyak 14 jiwa dan 60 korban luka-luka, pasukan Belanda harus kembali dan
harus melancarkan ekspedisi lain.
Lalu berturut-turut perang terjadi pada tahun1859-1860 dan perang yang terjadi pada tahun
1859-1860. Hingga Serangan yang dilancarkan pemerintah Kolonial pada tahun1905 yang
menandai berakhirnya Kerajaan Bone pada masa La Pawawoi Karaeng Segeri.
Sekali lagi Pemerintah Kolonial ingin meneggakkan supremasinya terhadap seluruh wilayah
Sulawesi Selatan. Kolonial Belanda menganggap Bone telah melanggar perjanjian sebelumnya
bahwa Bone tidak boleh memperluas wilayah kekuasaanya, hingga munculnya bukti invasi
militer Bone di Tana Toraja dan Wajo 1897-1900. Gubernur Hindia Belenda Baroon van Hoevell
mengeluarkan surat perintah penghapusan penguasa pribumi Bone pada Maret 1903.
Akhirnya pada Julli 1905 dilancarkanlah serangan terhdapa Kerajaan Bone oleh Belanda melalui
pelabuhan Bajoe. Dengan berakhir pada kemenangan Belanda. Akan tetapi, Karaeng Segeri
mengusngsi menuju pedalaman, untuk mengumpulkan pasukan dan menyemangati para pejuang
yang tersisa.
Sementara pengejaran terhadap La pawawoi terus dilakukan, Tomarilalang bersama lima
anggota Dewan Adat Bone menyatakan tunduk terhadap Belanda. Ditambah semakin
terdesaknya para pejuang Bone hampir disetiap pertempuran dan kematian Panglima tertinggi
perang Kerajaan Bone Petta Ponggawae Baso Pangilingi Abdul Hamid. Perang pun berakhir,
Raja Bone La pawawoi sudah tidak memiliki daya lagi untuk mempertahanya pada kerajaan. Ia
pun akhirnya harus ditahan, dan diputuskan dikirm ke Bandung, dimana ia kemudian
mengehmbuskan nafas terkhirnya pada Januari 1911.

Anda mungkin juga menyukai