SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Nidaul Hasanah (1112045200015)
Sudirwan (1112045200003)
Disusun Oleh:
Sudirwan
NIM: 1112045200003
iv
dalam penelitian ini diperoleh dari bahan penelitian yang digunakan berupa buku-
buku, tulisan-tulisan, artikel, jurnal dan dari laporan-laporan yang dapat mengetahui
gambaran-gambaran secara khusus yang mengategorikan sistem ketatanegaraan
kesultanan Buton. Data yang diperoleh kemuadian diolah, yang kemudian dianalisis
secara logis dan sistematis guna mendapatkan suatu kesimpulan.
Walaupun kesultanan itu bukanlah suatu sistem ketatanegaraan yang baku
dalam Islam, dikarenakan dalam Islam itu sendiri tidak dijelaskan mengenai sistem
ketatanegaraan secara eksplisit, namun setidaknya kesultanan merupakan salah satu
sistem ketatanegaraan yang pernah diterapkan dalam Negara Islam (Turki Usmani)
dan kesultanan Buton mengadopsi itu, walaupun tidak secara keseluruhan.
Adapaun sistematika pemilihan sultan Buton dalam perspektif pemilihan
pemimpin dalam Islam adalah berdasarkan pendapat al-Mawardi yang mengatakan
bahwasanya pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsur, yaitu al-ikhtiar dan
ahl al-imamah.
v
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan seluruh
alam raya ini. Berkat nikmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya dari alam jahiliyah ke alam yang
hambatan yang harus penulis hadapi. Ini disebabkan oleh keterbatasan ilmu dan
kekurangan pengalaman dalam penulisan skripsi, namun penulisan skripsi ini pada
akhirnya dapat penulis tuntaskan. Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis
diantaranya:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
vi
2. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M.A, dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, ketua dan sekertaris
Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), yang telah memberikan arahan,
arahan dan kritikkan yang konstruktif pada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
studi kepustakaan berupa buku dan literature lainnya sehingga penulis dapat
5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang telah
6. Terima kasih kepada Ayahanda Abdillah dan Ibunda Sitti Samidah tercinta,
yang telah mengajarkan arti semangat hidup dan memberikan rasah kasih
Indonesia Buton) Bersatu Jakarta dan Satuan Tugas Gerakan Anti Narkoba
vii
8. Teman-teman Hukum Tata Negara (Siyasah) dan Hukum Pidana Islam
angkatan 2012, yang telah penulis anggap sebagai keluarga sendiri yang
Hakim, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-
Semoga atas segala bantuan, dukungan, motivasi dan do’a untuk penulis,
mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah swt, dan semoga skripsi ini berguna
bagi wacana keislaman, kepada-Nya kita memohon rahmat dan hidayah-Nya. Amin
ya Robbal’ Alamin.
Sudirwan
viii
DAFTAR ISI
ix
Buton ................................................................................... 54
x
BAB I
PENDAHULUAN
manusia. Konsep negara berkembang mulai dari bentuknya yang paling sederhana
kehidupan bersama dalam masyarakat, negara selalau menjadi pusat perhatian dan
Banyak cabang ilmu pengetahuan yang menjadikan negara sebagai objek kajiannya.
Misalnya, ilmu politik, ilmu negara, ilmu hukum kenegaraan, ilmu hukum tata
bagaimana caranya hukum itu harus dijalankan, karena ilmu negara mementingkan
teoritisnya. Hukum tata negara dan hukum administrasi negara lebih mementingkan
nilai-nilai praktisnya. Tak heran, jika hasil penyelidikan langsung dapat dipergunakan
dalam praktik oleh para ahli hukum dan pemerintah. Hukum tata negara dan hukum
administrasi negara meneliti hukum positif yang berlaku di suatu negara. Namun
1
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 9
1
2
demikian, dalam banyak hal, untuk mengetahui latar belakang dari hukum positif
politik, dan disebut body politic atau negara (state) sebagai a society politically
organized. 3
Sedangkan dalam dunia Islam, sejumlah pemikir Muslim seperti Ibn Abi al-
Arabi, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Baqillani, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, dan Taimiyyah
kenabian dalam rangka menjaga agama dan mengatur dunia. Al-Ghazali dalam al-
Iqtishad fi al-I’tiqad juga berpendapat bahwa kekuasaan politik adalah wajib untuk
ketertiban dunia. Ketertiban dunia wajib untuk ketertiban agama dan ketertiban
agama wajib untuk keberhasilan di akhirat. Ibn Khaldun di dalam Muqaddimah juga
2
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Prespektif
Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 3
3
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.
11
3
sama dengan pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali. Menurut Ibn Khaldun, negara
memiliki kewajiban untuk menjaga agama dan mengatur dunia. Pemikiran mereka
merupakan salah satu ciri khas ketatanegaraan yang berasal dari Islam melalui
merupakan Kerajaan Buton. Kerajaan ini diperkirakan ada sebelum abad ke-14, di
mana terdapat enam raja yang tercatat memimpin kerajaan Buton, yaitu: Raja puteri
Wa Kaakaa, Raja puteri Bulawambona, Raja Bataraguru, Raja Turade, Raja Mulae,
dan Raja Murhum yang sekaligus menjadi sultan Buton pertama.5 Menurut sumber
dan tradisi setempat, Kerajaan Buton berawal dari empat kelompok imigran dari
malaka yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14. Disinyalir
dengan sebutan “mia patamia” yang berarti si empat orang yaitu: Sipanjonga yang
Sitamananjo yang berasal dari Manado Sulawesi Utara dan Sijawangkaati yang
4
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Prespektif
Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 2
5
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), (Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 51
4
berasal dari pulau Jawa6 -tersebut menyapakati untuk tinggal di daratan perbukitan
dan membuat pemukiman tetap. Pemukiman tersebutlah yang kemudian hari menjadi
pusat kerajaan.7
nusantara, dikisahkan adanya puteri buluh gading bernama Wa Kaa kaa dan seorang
Keduanya dikawinkan dan dari merekalah diturunkan kaum bangsawan yang disebut
kaomu. Puteri Wa Kaa kaa adalah raja Wolio yang pertama. Puterinya, bernama
Bulawambona berputera Bataraguru yang menjadi raja ketiga. Dari sejarah awal
Buton yang kini di turunkan dalam bentuk tradisi ini berawal dari pembagian
masyarakat Buton dalam empat lapis. Lapis teratas adalah kaomu: dari golongan
bangsawan inilah sultan dipilih, untuk beberapa jabatan tinggi juga diisi dari
golongan bangsawan ini. Lapis kedua disebut Walaka, atau bangsawan tingkat dua.
Dari kedua golongan bangsawan itulah pemerintahan dijalankan. Dari walaka inilah,
sebuah dewan yang terdiri atas sembilan menteri (bonto) atau siolimbona dibentuk
dan berfungsi memilih sultan. Mereka adalah para ahli di bidang adat dan sekaligus
6
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 16
7
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 17
8
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 81
5
harus dijaga di antara keduanya. Dan untuk lapis ketiga dan terakhir yaitu papara
(rakyat biasa) dan batua (budak) yang tidak diturunkan oleh para pendiri kerajaan.9
tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian
rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti.
Berdasarkan penelitian, ratu Waa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama
kelompok walaka ini selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya
kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai
lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai
lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah
Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata
hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12
buton dibentuk oleh dua golongan bangasawan yaitu kaomu dan walaka. Kedua
kedudukan papara sangat penting, sultan dituntut untuk memerintah secara adil dan
bijaksana.
9
Achadiati Ikram, Istiadat Tanah Negeri Buton, (Jakarta: PT Penerbit Djambatan, 2005), h. 8
6
dengan VOC meminta dukungan dari Pieter Both agar jabatan sultan sesudah dirinya
diserahkan kepada anak dan kemudian keturunannya. Hal itu, dilakukan dengan dalih
agar kerajaan tetap kuat dalam menghadapi pengaruh dan tekanan Kerajaan Gowa.10
Elangi bersama sapati (perdana Menteri) La Singa dan Kenepulu11 La Bula membuat
kesepakatan untuk membagi tiga jabatan tertinggi kesultanan kepada anak keturunan
itu disebut bahwa tanailandu berhak menduduki jabatan sultan, tapi-tapi menduduki
mereka bertiga seperti dikatakan oleh tradisi lokal, agar tidak terjadi pertikaian yang
tajam di antara golongan kaomu.12 Mengenai sumber tradisi lokal di atas, terdapat
perbedaan pendapat. Hal itu, diakaui oleh beberapa ahli adat, meskipun tidak
dibenarkan oleh pihak yang lain. Dalam kenyataannya, sepuluh orang sultan setelah
10
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 83
11
Raja hukum pejabat kedua setelah sapati dalam kesultanan.
12
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), (Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 61
7
wafatnya La Elangi, hanya dua orang sultan yang tidak termasuk dalam keluarga
tanailandu.
maka jabatan sultan tidak diwariskan. Sultan buton dipilih melalui proses yang
dijlankan oleh siolimbona.13 Hanya pada kasus, jika seorang anak laki-laki yang
dilahirkan dari istri pertama dari sultan yang sedang menjabat, ia adalah putra
mahkota dan berhak meneruskan jabatan ayahnya kelak. Anak laki-laki seperti ini di
sebut anana bangule.14 Abdul Rahim Yunus menyebut sistem pemilihan sultan Buton
pemilihan, tetapi istilah itu tidak tepat. Ia memberi istilah yang kontradiktif.
Bagaimanapun yang namanya demokrasi adalah proses keterlibatan rakyat dalam arti
luas tanpa dibatasi oleh tingkatan kelas sosial tertentu untuk menyatakan kehendak.
Jadi, sistemnya tidak demokratis. Proses itu dapat dikatakan sebagai “pemilihan
golongan kaomu dan walaka. Berikut ini dikemukakan struktur birokrasi Buton.
Berturut-turut sesudah jabatan sultan dan sapati, jabatan ketiga dan seterusnya ke
bawah adalah: kenepulu, kapitalao atau kapita raja dan bonto-ogena (menteri besar).
kapitalao dan bonto-ogena masing-masing terdiri atas dua orang. Sebagai pemegang
13
Siolimbona adalah dewan yang terdiri atas sembilan (sio) menteri yang mengepalai negeri
(lipu).
14
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), (Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 142
8
komando armada laut dan penguasa perang, kapitalao matanaeo15 bertanggung jawab
pembesar kerajaan itu, enam pejabat berasal dari kaomu dan yang dua dari walaka.
Selain dewan kerajaan (siolimbona), terdapat juga menteri dalam (kerajaan) yang
terdiri atas delapan orang, dan menteri lencina kanjawari yang berjumlah delapan
orang. Selain pangka, sebagaimana yang disebutkan rijksgroten oleh VOC, dikenal
pula dewan kerajaan yang berjumlah tiga puluh orang. Penjumlahan itu dihitung dari
pemerintahan yang dipaparkan di atas, dikuatkan oleh keterangan sumber VOC yang
mengatakan bahwa kesultanan Buton terdiri atas seorang raja (en koning), seorang
15
Matana-eo artinya „matahari terbit‟
16
Sukana-eo artinya „matahari terbenam‟
17
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), (Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 72-73
9
(rijksgroten).18
Berangkat dari latar belakang ini sangat menarik untuk dikaji lebih jauh dan
pada abad 15 M Dalam Perspektif Islam” dalam sebuah skripsi sebagai tugas akhir
Dari masalah pokok di atas dapat disimpulkan menjadi dua (2) sub masalah
18
MvO Frederick Gobius kepada Jozua van Arrewejine Gouverneour en Directur van
Makassar, 20 Maij 1782:15. Arsip Makassar No. 163/3. ANRI Jakarta.
10
D. Tinjauan Pustaka
keaslian penelitian ini, maka dirasa perlu mengkaji berbagai pustaka yang berkaitan
Karya Susanto Zuhdi yang berjudul Sejarah Buton yang Terabaikan Labu
Rope Labu Wana. Fokus kajian ini adalah membahas mengenai sejarah kerajaan dan
kesultanan Buton yang terlupakan oleh sejarah nasional, yang mana meliputi kondisi
Kesultanan Buton.
11
Karya Abdul Mulku Zahari yang berjudul Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni
(Buton). Fokus kajian ini adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang telah di bahas
oleh Susanto Zuhdi mengenai sejarah, akan tetapi yang menjadi perbedaan dengan
karya Susanto Zuhdi adalah Abdul Mulku Zahari lebih spesifik mengkaji tentang adat
Karya Abdul Rahim Yunus yang berjudul Posisi Tasawuf dalam Sistem
Kekuasaan di Kesultanan Buton Pada Abad ke-19. Yang mana fokus kajian dalam
buku ini adalah lebih fokus pada posisi tasawuf yang ada dalam kesultanan Buton.
Karya prof. Dr. Achadiati Ikram yang berjudul Istiadat Tanah Negeri Butun.
Ini adalah Buku karya ibu Achadiati yang merupakan dosen Program Pascasarjana
Universitas Indonesia, yang mana fokus dalam kajian buku ini adalah pengaturan
“Murtabat Tujuh”. Yang mana ideology dari undang-undang Negeri Butun ini
Dan adapun perbedaan tulisan dalam penelitian ini dengan karya-karya tulisan
yang penulis sebutkan diatas yaitu Sistem Ketatanegaraan Kesultanan Buton yang
dalam hal ini dilihat dari sudut pandang sitem ketatanegaraan dalam Islam.
E. Metode Penelitian
metode penelitian, yang di maksud metode penelitian adalah cara meluruskan sesuatu
12
yang di hadapi20.
sistematika metodologi ilmiah dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu yang baru
atau asli dalam memecahkan suatu masalah yang setiap saat dapat timbul di
masyarakat21 dalam skripsi ini penulis melakukan satu jenis penelitian, yaitu
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan prilaku yang dapat
hari. Di lihat dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk dalam metode penelitian
yang bersifat deskriptif yaitu metode yang dapat diartikan sebagai prosedur
19
Cholid Arboko dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Pustaka, 1999), h.1
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1989), h.6
21
Sukandar Rumidi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Universitas Gadja Mada Press,
2004), h.111
22
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penilitian Kualitatif, .(Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h.21
13
subyek atau obyek penelitian (seseorang, masyarakat, lembaga dan lain-lain) pada
penelitian ini, maka pencarian data yang di pergunakan dari penelitian ini di peroleh
dari:
a. Bahan Primer.
dalil yang berkaitan dengan ketatanegaraan Islam yang ada dalam al-Qur‟an maupun
Hadis.
b. Bahan Sekunder.
surat kabar, artikel, mengambil berdasarkan sumber yang di himpun dari media masa
23
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2007), h. 68
14
yang di temukan dalam penelitian secara logis dan sistematis. Dengan menyajikan
dan menggambarkan data secara alamiah dan tanpa merubah apapun atau
menurut hukum ketatanegaraan Islam dan hukum ketatanegaraan umum dan penulis
4. Teknik penulisan
Dalam hal teknik penulisan, penulis mengacu pada buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang,
penulis menggunakan sistematika penulisan yang disusun perbab, dan setiap bab
memiliki sub bab yang menjadi penjelasan dari masing-masing bab tersebut. Skripsi
ini di akhiri oleh daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis dalam penulisan skripsi
penulisan. Seluruh poin ini dibahas tuntas oleh penulis pada bab pertama skripsi ini.
Buton.
Untuk menarik kesimpulan yang jelas mengenai hasil penelitian skripsi ini,
maka pada bab kelima, penulis memaparkan kesimpulan secara singkat dan padat,
kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau
kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Kekuasaan itu dapat dipusatkan
ataupun dibagi-bagi oleh pemegang kekuasaan itu sendiri. Tetapi para ahli
kekuasaan, walaupun pada prinsipnya tidak pernah secara keseluruhan diikuti oleh
para birokrat.1
berikut:2
Eka Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh suatu badan. Bentuk ini
sudah tentu diktator (authokrasi) karena tidak ada balance (tandingan) dalam era
pemerintahannya. Jadi yang ada hanya pihak eksekutif saja, dan bisa muncul pada
1
Inu Kencana Syafiie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), h. 100
2
Inu Kencana Syafiie, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, h. 100-101
16
17
Dwi Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh dua badan. Bentuk ini oleh
undang).
Tri Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh tiga badan. Bentuk ini
banyak diusulkan oleh para pakar yang menginginkan demokrasi murni, yaitu dengan
Catur Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh empat badan. Bentuk ini
baik apabila benar-benar dijalankan dengan konsekuen, bila tidak akan tampak
Panca Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh lima badan. Bentuk ini
sekarang dianut oleh indonesia karena walaupun dalam hitungan tampak enam badan
anggota legislatif bahkan ketuanya sampai saat ini dipegang oleh satu orang.
lembaga politik dan prosedur politik tertentu untuk dilaksanakan oleh umat Islam.
Lembaga-lembaga politik yang pernah dimiliki umat Islam muncul dan berkembang
sejalan dengan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslim dan kebutuhan mereka
18
beberapa praktik dan lembaga politik yang dimiliki masyarakat yang ditaklukan. Nur
Ayubi menyatakan dikarenakan sangat sedikitnya ajaran politik yang terdapat dalam
al-Quran dan Hadis, maka sejak awal kaum muslim telah mengembangkan sistem
politik mereka atas dasar inspirasi dari beberapa ajaran dari al-Quran dan Hadis,
tradisi kesukuan Arab dan warisan politik dari wilayah-wilayah yang mereka kuasai
terutama kawasan yang pernah berada dibawah kekuasaan Byzantium dan Sasaniyah.
Menurutnya, pengaruh dari al-Quran dan Hadis tampak terutama dalam praktik
mempengaruhi praktik politik pada masa Umayyah, dan tradisi Persia banyak
dengan beliau wafat, disebut masa kenabian yaitu yang merupakan masa keagungan
Islam. Tetapi untuk melihat pemerintahan nabi Muhammad SAW adalah setelah
3
Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 39
4
Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, h. 40
19
kemerdekaan yang penuh dan konsep-konsep Islam mulai diterapkan. Pada periode
Mekkah belum banyak mencatat hal ikhwal pemerintahan karena pada periode ini
umat Islam difokuskan pada mengagungkan nama Allah, pensucian jiwa dan pikiran
barulah umat Islam melaksanakan hal ikhwal kenegaraan, karena untuk keleluasaan
sebagainya. 5
badan legislatif (majelis syûrâ), badan eksekutif (ulîl amri), badan yudikatif (qâdhî
dan Aden serta lain-lainnya) kesemuanya akan lebih jelas dibahas pada masa
beliau sebagai nabi dan Rasul Allah yang menerima wahyu dan pesuruh Allah
(yang diberi tahu) dan Allah yang Maha Tahu (al-khabîr) memberitahukan manusia
5
Inu Kencana Syafiie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.
172
6
Inu Kencana Syafiie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, h. 173-174
20
Atas alasan tersebut di atas, maka badan legislatif, badan eksekutif, badan
berkembang pada zaman Khulafaurrasidin. Namun kita catat pula bahwa para
banyak lagi.
Tetapi kita ingat pula bagaimana para sahabat dan kaum muslimin lainnya heran akan
pihak Quraisy secara sepihak dan sangat subyektif sifatnya. Jadi bila Ali Abdul Raziq
pemerintahan, maka jawabannya adalah patokan dasar kenegaraan, dan sasaran utama
dari ilmu pemerintahan bagi al-Quran adalah mental manusia karena manusia yang
menjadi penguasa di muka bumi ini dan mental manusialah yang mempengaruhi
perilaku.7
peristiwa sejarah yang sangat penting, yaitu pengangkatan Abu Bakar r.a sebagai
khalifah. Ketika Umar dan Abu Ubaidah akan membaiat Abu Bakar didahului oleh
7
Inu Kencana Syafiie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.
17
21
Basyir bin Sa‟ad yang membaiat Abu Bakar. Setelah suku Aus melihat apa yang
dikalangan umat harus ada orang-orang yang memiliki kearifan dan kecerdasan di
politik. Itulah yang disebut dengan ahlu syura atau ahl al-hall wa al-‘aqd di dalam
Islam. Pengangkatan khalifah tidaklah dibenarkan, kecuali apabila mereka itulah yang
ahlul ihktiar yang harus memenuhi tiga syarat, yaitu: pertama, keadilan yang
memenuhi segala persyaratan, kedua, memiliki ilmu pengetahuan tentang orang yang
dan kearifan yang menyebabkan dia mampu memilih imam yang paling maslahat dan
8
A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah,
(Jakarta: Kencana, 2009), h. 74
9
Akhmad Taufiq, M. Dimyati Huda & Binti Maunah, Sejarah Pemikiran dan Tokoh
Modernisme Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 105
10
Al-Mawardi, al-Ahkam Asulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1985), h. 6
22
Djazuli dalam bukunya Fiqh Siyasah menyebutkan bahwa Abu A‟la al-
Maududi, di samping menyebutnya dengan ahl al-hall wa al-aqd, ahl syura’, juga
menyebutnya dengan “dewan penasehat”. Dari uraian para ulama tentang ahl al-hall
yang mengikat kepada seluruh umat di dalam hal-hal yang tidak diatur
kebijakannya.
11
A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah,
(Jakarta: Kencana, 2009), h. 77
23
Lembaga yang pertama dipimpin oleh imam, lembaga kedua dipegang oleh
ulil amri, lembaga ketiga dipegang oleh para hakim, lembaga keempat dipegang oleh
imam, dan lembaga kelima yaitu pengawasan dipegang oleh ahlu syura’ ulama, dan
fuqaha.
Dalam kajian fiqh siyasah, legislasi atau kekuasaan legislative disebut juga
membuat dan menetapkan hukum. Menurut Islam, tidak seorang pun berhak
menetapkan suatu hukum yang akan diberlakukan bagi umat Islam. Hal ini
قُ حل إِ يِّن َعلَ ٰى بَي نَ ٍة ِم حن َريِّب َوَك َّذبحتُ حم بِِه ۚ َما ِعحن ِدي َما تَ حستَ حع ِجلُو َن بِِه ۚ إِ ِن ح
اْلُ حك ُم
) :ي (األنعام ِِ ُّ إََِّّل لِلَّ ِه ۚ يَ ُق
َ اْلَ َّق ۚ َوُه َو َخحي ُر الح َفاصل ص ح
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran)
dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang
kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah
hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang
paling baik". (Q.S. al-An’am: 57)
kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan
SWT dalam syariat Islam.12 Dengan demikian, unsur-unsur legislasi dalam Islam
meliputi:13
3. Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai-nilai dasar
syariat Islam.
yudikatif. Namun pandangannya tentang tiga lembaga ini berbeda dengan konsep
trias politika barat. Dalam uraiannya, Maududi menjelaskan bahwa badan eksekutif
dipimpin oleh kepala negara. Untuk melaksanakan tuganya, kepala negara harus
melakukan konsultasi dengan lembaga legislatif yang dipilih oleh umat Islam.
dalam masyarakat Islam. Dalam susunannya, ketua lembaga legislatif ini dipegang
sendiri oleh kepala negara, sementara dalam hubungan antara kepala negara dan
12
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), h. 161
13
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 162
25
Secara lebih konkret, persentuhan yang lebih dekat umat Islam dengan praktik
Islam telah membawa banyak sekali istilah institusi-institusi politik dan pemerintahan
Syurtah, yaitu kelompok orang yang ditugaskan untuk menjalankan tugas kepolisian.
pengawas untuk bidang moral dan perdagangan, yang mewarisi fungsi agoranomos
Arab disebut, diwan. Sebutan ini diambil dari sebutan yang sama untuk menunjuk
obyek yang sama dalam bahasa Persia. Kepala para pegawai diwan di atas, seorang
yang dipanggil wazir, adalah panggilan yang secara etimologis diambil dari bahasa
imperium Iran.15
Sementara itu, negara (state) itu sendiri merupakan sebuah konsep yang lahir
dan berkembang di Eropa Barat sejak abad ke-16 dalam kaitannya dengan fenomena
14
Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pimikiran Politik Islam Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 180
15
Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 40-41
26
pembagian kekuasaan menjadi tiga: eksekutif, legislatif dan yudikatif juga merupakan
kedaulatan (demokrasi). Maka wajar jika kita tidak menemukan konsep tersebut
dalam pemikiran politik Islam pada abad-abad pertama, pertengahan bahkan abad-
Jika konsep negara di barat tidak bisa dipisahkan dari konsep-konsep tentang
individualisme, kebebasan dan hukum, maka konsep Islam tentang body-politic tidak
1. Periode Nabi
kali muncul pada masa kenabian Rasulullah SAW, kekuasan Islam ini sendiri nampak
jelas di negara Madinah yang berdirih setelah nabi Muhammad hijrah. Sebab
Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dari Makkah dan kaum Anshar
dari Madinah dengan cara pendekatan yang terindah dalam sejarah. Kekuasaan ini
16
Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 41-42
27
nampak dalam pendirian nabi Muhammad SAW terhadap pilar-pilar negara baru,
pemilihan para komandan tentara, gubernur dan hakim di dalamnya, dan pengarahan
Segi lain yang perlu diperhatikan ialah pada masa Rasulullah SAW orang
sepenuhnya masih dipegang oleh nabi seorang diri, baik itu kekuasaan eksekutif,
legistalif dan yudikatif. Karena nabi lah yang langsung memerintah pemerintahan,
dalam hal ini nabi tetap mendistribusikan sebagian kekuasaannya kepada para
sahabat, diantaranya dengan cara menunjuk para sahabat untuk menjadi wali, qadhi
(hakim) dan ‘amil (pengelola zakat) di daerah-daerah dan menunjuk wakil nabi bila
Seorang qadhi misalnya, adalah seorang pejabat yang secara struktural tidak berada
dibawah wali. Seorang qadhi memiliki kekuasaan penuh dalam memutuskan setiap
perkara. Untuk dapat diangkat sebagai seorang qadhi, seseorang harus mempunyai
kualifikasi tertentu, yaitu: ia dikenal sebagai orang yang berilmu luas, menguasai
17
Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa,
2004), h. 45
28
kemampuan konsiderasi.18
Inisiatif ini barangkali dapat ditafsirkan sebagai penciptaan struktur sebuah negara.
Abu Bakar selain sebagai khalifah juga menjabat sebagai panglima angkatan
keamanan negara dan dakwah Islam. Untuk menjalankan pemerintahan dipusat Abu
Bakar mengangkat Ali ibn Thalib, Usman ibn Affan dan Zaid ibn Sabit sebagai
sekretaris negara. Abu Ubaidah diangkat sebagai menteri keuangan yang mengurus
bait al-mal, dan untuk tugas pengadilan Abu Bakar mengangkat Umar ibn Khattab
kekuasaan negara Madinah pada masa khalifah Umar makin menjadi luas maka
18
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 169
19
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII
Press, 2006), h. 59
29
distrik dan sub distrik. Pada masa khalifah Umar sekurang-kurangnya ada delapan
seorang Gubernur (wali) dan sekretaris (katib). Kecuali itu ada pula katib al-diwan
yaitu sekretaris kepala dari kesekretariatan tentara, sahib al-kharaj (pejabat pajak),
sahib al-abdats (pejabat kepolisian), sahib al-bait al-mal (pejabat keuangan) dan qadi
(hakim). Dengan demikian Umar jauh sebelum lahirnya teori trias politika dari
pembagian atau pemisahan kekuasaan antara tiga kekuasan yaitu eksekutif, yang ia
pimpin, kekuasan yudikatif yang ia limpahkan kepada hakim dan kekuasaan legislatif
dilakukan oleh pejabat sipil maupun pejabat militer. Setiap kasus penyelewengan
beliau selesaikan secara hukum, dan untuk hal ini tiada seorangpun dikecualikan.21
dilanjutkan oleh Usman ibn Affan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Usman
agaknya tidak merubah kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Umar. Khalifah
Usman masih dibantu oleh pejabat-pejabat diwan al-kharaj (perpajakan), bait al-mal
Dalam hal ini Usman hanya melanjutkan pendahulunya saja. Untuk jabatan di daerah,
20
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 180
21
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, h. 181
30
pada masa pemerintahan Ali yang kurang lebih lima tahun, tidak pernah sunyi dari
pergolakan politik, tidak ada waktu sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat
dikatakan stabil. Akhirnya praktis selama memerintah, Ali lebih banyak mengurus
masalah pembagian kekuasaanya. Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki
kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang mengalami kesulitan dalam
ibn Affan kepada keluarganya, seperti hibah dan pemberian yang tidak
22
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratana, 2001), h. 70
23
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Litera Antar
Nusa Pustaka Nasional, 2010), h. 206
31
maal.
perubahan dari sebuah koalisi di kalangan suku-suku Arab menjadi sebuah monarki
(kerajaan) yang terpusat. Singkat kata, rezim Umayyah bertumpu pada kekuasaan
keluarga raja (khalifah) yang didukung oleh kekuatan militer dan birokrat sipil yang
secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
monarki di Persia dan Byzantium. Dia tetap menggunakan istilah khalifah, namun,
dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut.25
sebagai kelanjutan dari tradisi yang sudah berkembang di wilayah takhlukan. Urusan
24
Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 47
25
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 42
32
pemerintahan tidak hanya lagi ditangani oleh pemuka-pemuka Arab saja, melaikan
juga oleh sebuah kelas professional (administrator) yang terdidik, meski tetap dengan
ketangan Bani Abbas, keturunan Bani Hasyim yang kemudian membangun Dinasti
pemerintahan dan administrasi pemerintahan dinasti ini pada dasarnya sama dengan
dinasti Umayah, hanya ada beberapa perubahan dan penambahan saja. Bentuk
negaranya tetap monarki dan gelar kepala negaranya tetap khalifah hanya saja ada
penambahan gelar khalifah sebagai zhulullahi fil ardhi (bayangan Allah di bumi).
pengembangan dari bentuk yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Ada beberapa hal
pada empat aspek, yaitu aspek khilafah, wizarah, hijabah, dan kitabah.28
26
Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 48
27
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII
Press, 2006), h.73
28
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratana, 2001), h. 87
33
Lembaga khilafat dijabat oleh seorang khalifah sebagai telah disebut di atas,
dan suksesi khalifah berjalan secara turun temurun di lingkungan keluarga Dinasti
menteri pada zaman sekarang. Lembaga dan jabatan ini baru dalam sejarah
pemerintahan Islam yang diciptakan oleh khalifah Abu Ja‟far al-Mansur. Wazir
pejabat Negara atas persetujuan khalifah. Wazir juga berkedudukan sebagai kepala
imperium Usmani bergelar sultan dan khalifah sekaligus. Sultan adalah gelar mereka
yang berlaku di Byzantium dan Persia. Untuk menjalankan kedua fungsi ini,
penguasa Usmani dibantu oleh tiga kekuasaan, yaitu administrasi birokrasi (men of
the pen), militer (men of the sword), dan kekuasaan agama (men of religion). Dalam
hal yang pertama, kebijaksanaan yang akan diambil Negara terlebih dahulu
29
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya, Jilid I. (Jakarta: UI Press, 1974),
h. 67
30
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII
Press, 2006), h.74
34
Lembaga ini merupakan pusat organisasi pemerintahan Usmani dan berasal dari
konsep pemerintahan Turki Saljuk dan Anotalia. Pada awalnya, divan-i humayun
dipimpin langsung oleh sultan. Dialah yang lebih banyak berperan membuat
sebagai pemimpin eksekutif sejak 1360. Pemegang kekuasaan ini disebut sadrazam.31
zakat, pajak perdagangan investor asing, jizyah dari berbagai daerah yang dikuasai
kekuasaan yang begitu luas di daerah, kerajaan ini mengangkat gubernur (pasha) di
Dalam masalah-masalah agama penguasa Usmani dibantu oleh para mufti dan
qadi (qadhi). Mufti berperan sebagai penafsir hukum, sedangkan kadi berperan
Islam didalam kehidupan dinasti Usmani. Diantara mufti ini ada yang menjadi kepala
yang disebut Syaikh al-Islam. Dia adalah pemimpin ulama yang memiliki kekuasaan
31
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratana, 2001), h. 98
32
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 99
35
agama. Sejak abad ke-16 Syaikh al-Islam memiliki kewenangan mengangkat dan
Dalam kekuasaan agama ini, sultan atau khalifah dapat membuat perundang-
undangan atas inisiatifnya sendiri. Hukum atau peraturan yang dibuat sultan (negara)
pembagian kekuasaan tersebut. Demikian pula pemetaan praktik politik dalam sejarah
Islam tidak selalu bisa dilihat dari kerangka pendekatan di atas. Selain itu, lembaga-
lembaga tersebut akan ditelaah dari sudut praktik dan teori-teori yang dirumuskan
oleh beberapa yuris (terutama pada abad pertegahan), meskipun teori itu sendiri
seringkali merupakan produk dari pengamatan terhadap praktik politik yang terjadi
dalam sejarah.34
33
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratana, 2001), h. 99
34
Nur Mufid & A. Nur Fuad, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h. 42
BAB III
PANDANGAN UMUM TENTANG KESULTANAN BUTON
Kata “Buton” memiliki empat pengertian. Pertama sebagai nama pulau, maka
kata ini mengacu kepada satu pulau dengan panjang sekitar 100 Km yang terletak di
dalam kepulauan jazirah tenggara pulau Sulawesi. Pulau Buton ini termasuk ke dalam
wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, dan terletak persis di sebelah tenggara tanjung
Sulawesi.1
masih terbentuk kerajaaan, dan diperkirakan telah ada sebelum abad ke-14.
Kekuasaan kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama, seperti Buton. Muna dan
Kabaena, serta kepulauan tukang besi (Wakatobi) dan dua daerah di bagian tenggara
pulau Sulawesi, yakni Rumbia dan Poleang. Pada sekitar tahun 1542, kerajaan ini
berubah menjadi kesultanan ketika raja keenam yang bernama Lakilaponto masuk
Islam.2
Ketiga, kata ini mengacu kepada penduduk yang tinggal di pulau Buton.
Keempat sebagai nama sebuah kabupaten, maka kata ini mengacu pada satu wilayah
kabupaten,3 yang terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara
1
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya¸(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 42
2
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya, h. 42
3
Dulu Buton memang merupakan nama sebuah kabupaten, yaitu Kabupaten Buton yang
dibentuk berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tk. II di Sulawesi
dengan Ibukota Bau-Bau. Wilayahnya mencakup hampir seluruh eks wilayah kekuasaan kesultanan
36
37
ke selatan di antara 4, 960– 6,250 lintang selatan, dan membentang dari barat ke timur
Selain itu, Buton juga dikenal dengan nama wolio. Seperti penyebutan bahasa
Buton dengan bahasa Wolio, tulisan khas Buton –aksara Arab Melayu- disebut
dengan buri wolio atau tulisan Wolio. Sampai sekarang kedua kata tersebut masih
terpakai, Buton sebagai salah satu nama kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara
dan Wolio sebagai kecamatan di kota Baubau –pemekaran dari kabupaten Buton.4
menunjuk nama kerajaan yang sama. Dalam tulisan ini, Tony Rudiansjah lebih suka
menggunakan kata kesultanan Wolio untuk menyebut nama kerajaan atau kesultanan
ini, karena kata itu memperlihatkan kesinambungan sejarah dengan komunitas orang
Wolio yang menjadi cikal bakal dari monarki ini. Dalam istilah adat, komunitas orang
Wolio ini terkenal pertama kali dengan istilah patalimbona (artinya: empat kampung)
Buton, meliputi: Di sebelah Timur yaitu Pulau Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko (Wakatobi)
berbatasan dengan Laut Banda. Di sebelah Barat Pulau Kabaena, Rumbia dan Poleang (berada di
daratan Sulawesi Tenggara). Di sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Bone dan sebagian Pulau
Buton di bagian Selatan dan sebagian Pulau Muna di bagian Selatan berbatasan dengan Laut Flores.
Seiring berjalanya waktu, Kabupaten tersebut kemudian mekar menjadi beberapa daerah otonom. Bau-
Bau menjadi daerah otonom (UU No. 13 Thn. 2001), Bombana dan Wakatobi dimekarkan menjadi 2
kabupaten baru (UU No. 29 Thn 2003). Kemudian, pada 24 Juli 2014 Kabupaten Buton dimekarkan
lagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Buton Tengah dan Buton Selatan (UU No. 15 Thn 2014
dan UU NO. 16 Thn 2014). kini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buton memindahkan aktifitas
pemerintahannya ke Pasarwajo sebagai ibukota yang baru (PP No. 19 Thn 2003). Selengkapnya,
kunjungi situs: http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/74/name/sulawesi-
tenggara/detail/7404/buton,dan www.dpr.go.id/dokjdih/do cument/uu/1597.pdf. (diunduh pada Rabu,
25 mei 2016, Pukul 09:00 WIB).
4
Falah Sabirin, Tarekat Samaniyah di kesultanan Buton, (Tesis: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011), h. 51
38
(artinya: sembilan kampung). Pemukiman siolimpuna ini, yang terdiri dari kampung
dan Melai, masih dapat kita temukan sampai sekarang di dalam benteng keraton
Wolio di kota Baubau. Benteng keraton Wolio terletak di dalam kecamatan Murhum
dari segi-segi etnis, bahasa, kehidupan ekonomi, dan golongan sosial. Penyebutan
orang Buton, sebagai suatu kesatuan kelompok etnis, sebenarnya tidaklah tepat
karena mereka yang mendiami wilayah Buton merupakan penduduk yang beragam
etnis dan suku bangsanya, antara lain dari Toraja, Bugis, dan Makasssar. Penduduk
Buton dapat diklasifikasi menjadi lima kelompok besar: orang Buton yang mendiami
pulau Buton, orang Muna yang mendiami pulau Muna, orang Maronene yang
mendiami pulau Poleang dan Rumbia, orang Kabaena yang mendiami pulau
Kabaena, dan penduduk yang mendiami pulau tukang besi (Wakatobi). Oleh sebab
itu, orang Buton adalah kelompok sosial yang sulit dirumuskan. Mereka juga tidak
5
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya¸(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 44
6
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang trabaikan Labu rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 43
39
kesultanan Buton yang sudah disebut di atas, terdapat pula kelompok orang yang
dikenal dengan sebutan orang Bajo, Bajau, atau Bajao. Ketika Portugis menaklukan
Malaka, Tome Pires mencampuradukan pedagang Bugis yang datang dari Makassar
dengan orang Bajo yang ia katakan sebagai bajak laut. Tampaknya ada pengaruh
pantai di pulau Kabaena, Poleang, Muna timur, kepulauan tukang besi, terutama di
Kaledupa, dan di kepulauan Tiworo. Selain itu, mereka juga terdapat di Pasar Wajo7
(sekarang menjadi ibu kota kabupaten Buton) di bagian selatan pulau Buton.
Mengenai keberadaan orang Bajo ini bukan suatu kebetulan. Mereka tampaknya
mempunyai peranan tersendiri bagi kesultanan Buton. Pada salah satu dari dua belas
pintu gerbang benteng keraton Buton terdapat nama lawana wajo8. Pintu-pintu itu
diberi nama sesuai dengan nama atau gelar petugas yang mengawasinya.9
masyarakat Buton jika dilihat dari ciri-ciri fisiknya pada umunya berasal dari
Taiwan, dan masuk ke Buton. Orang dengan ciri-ciri Mongoloid, datangnya dari Asia
Timur, Jepang, Fhilipina, Sulawesi, dan masuk ke Buton. Orang dengan ciri-ciri
Vedoid berasal dari Ceylon (Srilangka), kemudian masuk ke Sulawesi melalui arah
penduduk Buton sekarang ini merupakan hasil perkembangan dari empat asal
masyarakat, yaitu: (1) Simalui yang berasal dari Melayu/Sumatera, (2) Sijawangkati
yang berasal dari Jawa, (3) Sitamannajo yang berasal dari Manado Sulawesi Utara,
Jerman Prof. Dr. Devosmer menunjukan bahwa terdapat lima kelompok bahasa yaitu:
(1) bahasa pancana, meliputi penduduk yang berdiam di daerah perbatasan Buton
Muna, (2) Bahasa Moronene, bagi penduduk yang berdiam di pulau Kabaena dan
wilayah Buton di daratan pulau Sulawesi, (3) bahasa sui (cia-cia), meliputi penduduk
yang berdiam di Batauga, Sampolawa, Pasarwajo dan Lasalimu, (4) bahasa Liwuta,
11
Rahman, Kelisanan Dalam tradisi Maataa Pada Masyarakat Laporo di Kabupaten Buton,
(Tesis: Universitas Indonesia, 2011), h. 28
12
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 16
41
meliputi penduduk kepulau tukang besi (wakatobi), (5) bahasa Wolio, meliputi
model, ciri dan coraknya seperti yang tampak sekarang terbentuk oleh sejarah dan
budaya yang mereka bangun, dan berada dalam proses tarik menarik interen
(pengaruh dalam) dan eksteren (pengaruh luar). Pengaruh yang bersifat interen adalah
hasil dari kreasi budaya yang tercipta dalam lingkungan mereka sendiri, sedangkan
pengaruh yang bersifat eksteren adalah budaya yang datang dan terbentuk di tengah
masyarakat, baik yang dibawa oleh para pendatang melalui arus migrasi maupun
yang didatangkan oleh orang Buton sendiri dari rantau, demikian juga dengan
Salah satu fakta terpenting yang menjadi ciri dan corak masyarakat Buton
hingga hari ini adalah nilai-nilai Islam. Islam sebagai realitas yang tak terelakkan
dalam sejarah dan kehidupan masyarakat Buton, selama beberapa abad telah
budaya masyarakat Buton terkait erat dengan penetapan Islam sebagai agama resmi
kerajaan pada awal abad ke-16. Kondisi tersebut dengan sendirinya memberikan
13
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 16
14
M. Alifuddin, Transformasi Islam dalam Sistem Sosial Budaya Orang Buton: Tinjauan
Historis, (Jurnal Fakultas Agama Islam: IAIN Sultan Qaimuddin Kendari, 2008), h. 9
42
ruang gerak yang “leluasa” bagi nilai-nilai Islam untuk melakukan penetrasi dalam
Kerajaan. Kerajaan ini di perkirakan ada sebelum abad ke-14, di mana terdapat enam
raja yang tercatat memimpin Kerajaan Buton.15 Pada masa kekuasaan raja-raja, dari
raja pertama hingga raja kelima, tidak ditemukan tanda-tanda pengaruh Islam.
Pengaruh Hindu dapat di lihat dalam silsilah raja-raja. Nama raja-raja tampak
Hinduistik. Nama Sibatara, suami Wakaka, boleh jadi berasal dari kata “bhattara”,
bahasa sangsakerta. Kata ini adalah nama suatu Dewa dalam Hindu. Demikian pula
nama Bataraguru, raja ketiga, nama Turade, raja keempat, nama raja Mulae, raja
aspek keyakinan juga dijumpai pengaruh ini. Paham “reingkarnasi” yang masih kuat
15
Raja-raja Buton tersebut sebagai berikut: 1. Putri Raja Wa kaa kaa. 2. Putri Raja
Buwalambona. 3. Raja Bataraguru. 4. Raja Turade. 5. Raja Mulae. 6. Raja Murhum, yang sekaligus
menjadi Sultan Buton Pertama. Abdul Mulku zahari, Sejarah Dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) I,
(Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1977), h. 51
16
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 19
17
Nama Bataraguru adalah nama Dewa Agung dalam Hindu; nama Tuarade berasal dari kata
“tuan” dan “raden”, sedang kata “raden” adalah gelar bangsawan Jawa; nama Raja Mulae dari kata
“raja” dan “mulae”, sedangkan kata “mulae” dari kata “mulya” berasal dari kata sangsakerta yang
artinya bangsawan.
43
Islam.18
Sesuai keterangan yang diperoleh, Islam sudah sampai di daerah ini pada awal
abad ke-15. Hal itu didasarkan pada informasi yang diperoleh dalam manuskrip Wan
Muhammad Sagir yang memberitakan bahwa pada tahun 1412 M. Seorang Ulama
patani berada di Buton untuk menyebarkan agama Islam di bagian timur pulau ini.
Hanya saja waktu itu, Islam belum diterima di Kerajaan Buton sebagai agama
Kerajaan.19 Islam diterima sebagai agama kerajaan oleh kerajaan Buton pada masa
sebagaimana disebut di atas.21 Menurut sumber setempat dan informasi dari Ahmadi,
Raja Buton ketika itu diislamkan oleh Syaikh Abd al-Wahid bin Sulaiman.
Kesultanan Buton terbentuk tidak lain berkat jasa Syaikh Abd al-Wahid22
yang datang ke Buton dengan Wa Ode Solo istrinya dan juga anaknya Ledi Penghulu.
18
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, h. 19
19
Abd. Rahman al-Ahmadi, Sejarah Hubungan Kelantan/Patani dengan Sulawesi Selatan,
dalam Nik Mohamed bin Nik Mohamed Saleh, (Warisan Kelantan III, 1984), h. 70.
20
Dikenal juga dengan nama Sultan Qaimoeddin Khalifatulhazmi, Sultan Murhum dan
Haluoleo.
21
Lakilaponto menerima Islam setelah mendengar bahwa kerajaan-kerajaan di jawa, Solor,
dan Bone telah menerima Islam.
22
Diriwayatkan Syaikh Abd al-Wahid bin Sulaiman berkembangsaan Arab dan datang dari
Gujarat sebagai pedagang melalui Johor tanah semenanjung dan juga bertugas sebagai penyiar agama
Islam. Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy darul Butuni (Buton) I, (Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 51
44
Seluruh komponen kerajaan dari raja sampai menteri-menterinya masuk Islam23 dan
dinobatkan menjadi Sultan pada hari senin, 1 Ramadhan 948 H/ 19 Desember 1541
M.24 Selain dilantik oleh Syaikh Abd al-Wahid, Raja Lakilaponto mendapat gelar
Sultan Qa‟im al-Din al-Khalifah al-Khamis yang juga memiliki hubungan dengan
oleh Lakilaponto, merupakan pengaruh kultur Islam yang juga berlaku di kerajaan-
kerajaan lain di Nusantara yang sudah menerima Islam. Hal ini menjadi tradisi bagi
raja-raja Buton selanjutnya hingga hapusnya kesultanan ini pada pertengahan abad
ke-20. Penggunaan gelar “Sultan” dan nama kehormatan yang “kearaban”, menurut
sumber setempat, terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada juga
yang menyebutkan dari Raja Mekah). Hal ini menunjukan suatu sikap kultur yang
23
Dalam tradisi setempat dikatakan, sebelum Syaikh Abd al-Wahid mengislamkan raja dan
seluruh menteri-menterinya, Islam sudah ada di tanah Buton. Hal tersebut dikarenakan Buton termasuk
tempat persinggahan yang menghubungkan dari dan ke Ternate –Nusantara bagian Timur- sebagai
jalur dagang yang menyebabkan adanya kontak dangang oleh bangsa-bangsa lain, atau diperkirakan
pada masa pemerintahan Raja Buton kelima Mulae. Juga diriwayatkan raja Mulae memeluk Islam
yang dikenal Umar Idam. Pada saat itu Islam mulai berkembang di lingkungan Istana, namun belum
menjadi agama yang resmi sebagaimana pada pemerintahan Raja Lakilaponto/Sultan Murhum. Rustam
Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun, 2004, h. 16
24
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 20
25
Falah Sabirin, Tarekat Samaniyah di kesultanan Buton, (Tesis: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011), h. 55
45
dari masyarakat yang kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Sikap seperti
ini merupakan sikap masyarakat pada masa awal proses islamisasi di Nusantara.26
Pengaruh Islam yang lebih jauh terjadi nanti setelah kesultanan ini memasuki
undang kerajaan, yang disebut dengan “martabat tujuh”. Disebut demikian karena
berisi ajaran “martabat tujuh”, suatu ajaran yang dikenal dalam dunia tasawuf.
kerajaan itu. Teks tertua undang-undang Martabat Tujuh hanya berasal dari masa
Sultan Muhammad „Aidrus (1824-1851). Menurut sumber ini, diwarisi dari Sultan
Laelangi. Sumber Belanda memberi petunjuk adanya suatu peraturan kerajaan yang
berlaku pada perempat pertama abad ke-17. Hal ini dipahami dari perjanjian yang
disepakati oleh Belanda dan Buton pada tahun 1613 yang isinya antara lain
adat setempat. Dan satu-satunya adat yang secara resmi mengatur pembagian
kekuasaan pada saat itu adalah undang-undang Martabat tujuh. Ketika Pieter Both
berada di Buton pada tahun 1613 dan mengadakan perjanjian dengan Sultan Buton,
karena Buton pada masa perempat pertama abad ke-17 ini telah memiliki undang-
26
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, h. 20
46
undang yang bersifat Islam, pada masa itu kerajaan ini layak dikategorikan sebagai
Masa kesultanan di Buton berlangsung selama kurang lebih 420 tahun (empat
dengan wilayah yang cukup luas.28 Dengan rincian 32 orang Sultan di zaman sarana
Wolio yang berlangsung selama kurang lebih 360 tahun (1538-1898), dan 6 orang
ke 38 dengan gelar Sultan Oputa Yi Baadia. Beliau adalah ayah Drs. La Ode Manarfa
yang oleh masyarakat Buton masih memanggil beliau sebagai Sultan Buton
Terakhir.29
27
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 21
28
Wilayah kesultanan meliputi gugusan kepulauan dan kawasan bagian tenggara jazirah
Sulawesi, yang terdiri atas pulau Buton, pulau Muna, Pulau Kabaena, Pulau Wawoni, Pulau yang
berjejer di sebelah tenggara pulau Buton yang dikenal dengan kepulauan tukang besi (Wakatobi) dan
sejumlah pulau-pulau kecil di dekat pulau Buton dan Muna juga Poleang dan Rumbia yang terletak di
jazirah Sulawesi Tenggara bagian tenggrara. Dari keseluruhan wilayah tersebut terdapat empat
kekuasaan barata: (1) Barata Muna yang berpusat di Raha. (2) Barata Tiworo yang berpusat di pulau
Tiworo. (3) Barata Kalingsusu berpusat di pesisir timur bagian utara pulau Buton. (4) Barata Kaledupa
yang berpusat di pulau Kaledupa Wakatobi. Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem
Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in
Islamic Studies INIS), hlm. 22. Dalam wilayah kekuasaan ini, Susanto Zuhdi berpendapat lain. Yakni,
konsep wilayah tidak dipahami dalam arti ruang melainkan kepada Rakyat Buton yang dalam hal ini
papara. Papara adalah orang yang mendiami komunitas yang disebut kadie, suatu wilayah hukum yang
kecil dalam tata Negara tradisional. Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang trabaikan Labu rope Labu
Wana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 75
29
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 22
47
tatanan sosial dan politik tertentu. Terbentuknya pola pemerintahan kesultanan Buton
dilandasi oleh tradisi lokal dan Islam. Struktur kekuasaan yang memperlihatkan
yang mengisinya.30
Ada empat lapisan sosial di dalam masyarakat kesultanan Buton. Lapis teratas
adalah kaomu: yaitu keturunan garis bapak dari pasangan Raja Buton pertama, laki-
laki dari golongan ini mempunyai nama depan La Ode dan wanitanya Wa Ode. 31 Dari
golongan bangsawan inilah sultan dipilih, untuk beberapa jabatan tinggi juga diisi
dari golongan bangsawan ini. Lapis kedua disebut Walaka, atau bangsawan tingkat
dua. Yaitu keturunan menurut garis bapak dari founding fathers kerajaan Buton (mia
Walaka inilah, sebuah dewan yang terdiri atas Sembilan menteri (bonto) atau
siolimbona dibentuk dan berfungsi memilih sultan. Mereka adalah para ahli di bidang
30
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 81
31
Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi
Universiteitsbibliotheek, Belanda, (Jurnal Humaniora: Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 288.
32
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, h. 81
48
melainkan hendak mendirikan dua payung yakni suatu payung berkekalan dan satu
payung berubah-ubah. Maka yang berubah-ubah itu daripada nama sultan. Maka
yang berkekalan itu atas jalan istiadat yang sangat teguh lagi tetap selama-
lamanya”.33
Awal penetapan garis keturunan ini bermula pada masa pemerintahan Sultan
keeempat, yaitu Dayyan Ihsan Ad-Din (La Elangi). Pada masa kekuasaannya, Sultan
Dayyan Ihsan ad-din sepakat dengan sapatinya, sapati Lasinga dan kenepulunya,
menduduki tiga jabatan tinggi kerajaan (Sultan, sapati, dan kenepulu). Keturunan
mereka bertiga inilah yang dikenal dengan golongan kaumu atau disebut juga lalaki
atau lakina. Dan keturunan para bonto atau kepala-kepala kampung pada masa itu
yang menjadi golongan walaka atau maradika.34 Jika ditarik garis keturunan ke atas,
golongan kaoumu dan walaka ini bertemu pada satu nenek, La Baluwa dan
33
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, h. 82
34
Dalam hal ini, Zahari berbeda dengan Vonk. Menurut Zahari, Bataraguru dengan saudara-
saudaranya yang menjadi pangkal keturunan walaka, adalah saudara seayah saja. Tetapi menurut
Vonk, mereka saudarah seayah dan seibu.
49
walaka.35
Stratifikasi ini dipertajam lagi dengan faktor domisili. Karena faktor domisili,
lahirlah lapisan-lapisan baru dalam tubuh kaumu dan walaka. Karena alasan domisili
b. Kaumu dan walaka yang menetap di daerah kekuasaan kerajaan dan tidak
sebagai kaumu atau walaka hilang. Derajat mereka turun, dan dalam
stratifikasi sosial mereka disebut analalaki atau limbo. Yang pertama adalah
orang yang berasal dari kaumu, sementara yang kedua dari golongan walaka.
Meskipun hak mereka hilang, derajat mereka tidak turun jadi golongan
papara.
c. Kaumu isambali, yaitu kaumu yang lahir dari kaumu yang sudah menetap di
luar Keraton dan beristri orang biasa. Jika mereka kawin dengan kaumu dan
35
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 25
36
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, h. 26
50
Kaumu, walaka yang sudah lama menetap di luar Keraton dan kawin dengan
orang kadie, kehilangan hak mereka sebagai seorang walaka yang menetap di
Keraton.
Mereka yang tidak mempunyai garis keturunan dari kedua golongan di atas
masuk golongan papara. Mereka adalah penghuni daerah kekuasaan kerajaan yang
dikenal dengan limbo atau kadie. Sesuai asal usulnya, ada papara keturunan dari
masyarakat asli sebelum berdirinya kerajaan, dan ada pula yang datang dari luar dan
disebut “orang gunung”. Suryadi dalam karya ilmiahnya Surat-surat Sultan Buton,
mengutip tulisan Schoorl yang menyatakan bahwa mereka disebut juga budak adat
dan dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tapi sama
Masuk dalam kategori lapisan ini ialah orang yang diturunkan dari ibu-bapak yang
budak. Dan jika ibunya saja yang budak, maka keturunannya tidak masuk kategori
ini, tetapi mengikuti derajat bapaknya. Sedangkan yang masuk golongan budak
adalah: orang papara yang tunduk di bawah kekuasaan kerajaan dengan paksa, yang
disebut dalam adat dengan bante; musuh kerajaan yang kalah dalam peperangan;
37
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies INIS, 1995), h. 25
38
Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi
Universiteitsbibliotheek, Belanda, (Jurnal Humaniora: Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 288.
51
orang luar kerajaan yang dirampas dan dijual kepada golongan pertama atau kedua di
atas.39
buton dibentuk oleh dua golongan bangsawan yaitu kaomu dan Walaka. Kedua
kedudukan papara sangat penting, sultan dituntut untuk memerintah secara adil dan
bijaksana.40
terdiri atas tiga bagian. Pertama, wilayah wolio atau keraton yang menjadi pusat
wolio hanya boleh dihuni oleh golongan kaumu dan walaka (bangsawan). Kedua,
wilayah kadie (wilayah di luar keraton, seluruhnya berjumlah 72 kadie) yang dimiliki
oleh golongan penguasa dan dihuni oleh golongan papara. Ketiga, kerajaan-kerajaan
kecil yang disebut „wilayah barata‟, yang memiliki pemerintahan sendiri tapi tunduk
39
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada
Abad ke-19, h. 25
40
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 82
41
Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi
Universiteitsbibliotheek, Belanda, (Jurnal Humaniora: Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 288
52
ketiga wilayah itu (wolio, kadie, dan barata). Sultan sebagai penguasa tertinggi
kerajaan dibantu oleh beberapa pejabat tinggi di pusat dan pejabat-pejabat di daerah.
1. Pangka (pejabat teratas) atau dewan swapraja yang dijabat oleh golongan
kaumu dan walaka, yang terdiri dari sapati (kaumu), kenepulu (kaumu), lakina
sukanayo dan kapitalao matanayo (kaumu)43, dua orang bonto ogena (Menteri
2. Sarana (Dewan) wolio yang terdiri dari semua bobato (kaumu) dan bonto
(walaka).44
42
Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, h. 288-289
43
Kapitalao atau kapiten laut dalam bahasa Melayu adalah jabatan panglima perang di
Kesultanan Buton. Kata matanayo berarti „dari matahari terbit‟ dan sukanayo berarti „menuju matahari
terbenam‟. Istilah itu dilekatkan kepada jabatan kapitalao dan bonto ogena untuk menunjuk wilayah-
wilayah kerajaan di sebelah timur dan sebelah barat yang menjadi wewenang masing-masing. Suryadi,
Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi Universiteitsbibliotheek,
Belanda, (Jurnal Humaniora: Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 289
44
Semua bobato dan bonto diberi sebuah desa atau sebidang tanah dalam 72 wilayah kadie
untuk diawasi. Semula jumlah bonto 30 orang dan bobato 40 orang. Namun, jumlah itu bertambah
seiring pemekaran wilayah kadie. Manarfa mencatat jumlah bobato 57 orang. Sembilan diantaranya
disebut siolipuna, yang berarti Sembilan Negara kecil yang dibawah perintah seorang raja, yang
membentuk sekutu asli. Dalam surat-surat Raja Buton terefleksi bahwa bobato adalah salah satu unsur
petinggi kerajaan yang selalu diajak serta dalam hubungan diplomasi antara Kesultanan Buton dengan
kuasa luar (dalam hal ini Belanda). Istilah Bobato, yang berarti pemimpin, mungkin diadopsi dari
sistem politik kerajaan Ternate atau Tidore; dalam sistem politik kerajaan Ternate, misalnya dikenal
istilah bobato dunia dan bobato akhirat. Kata bobato adalah derivasi dari bahasa Tidore Fato yang
berarti „mengatur‟. Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi
Universiteitsbibliotheek, Belanda, h. 289
53
masalah yang berhubungan dengan ajaran Islam dan ibadah. Mereka adalah
lakina agama, imamu (imam) dan hatibi (khatib), semua dari golongan
kaomu.
5. Staf khusus kesultanan yang meliputi bonto inunca atau staf istana (walaka),
tertentu (termasuk di sini bonto isana dari golongan walaka); staf-staf lain,
(weti).
dipimpin oleh Sultan sebagai otoritas tertinggi. Namun dalam urusan-urusan penting,
antara lain diplomasi ke luar, unsur bonto dan bobato wajib diajak serta dan dibawa
berunding. Hal ini terefleksi dalam surat-surat raja Buton yang tersimpan di UB
Leiden. 46
45
Jurubasa (Jurubahasa) bertanggung jawab kepada syahbandar. Dalam hubungan diplomatik
antara kerajaan Buton dan kuasa-kuasa luar (termasuk Belanda). Suryadi, Surat-surat Sultan Buton,
Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi Universiteitsbibliotheek, Belanda, (Jurnal Humaniora:
Volume 19, No. 3 Oktober 2007), h. 289
46
Suryadi, Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, Koleksi
Universiteitsbibliotheek, Belanda, h. 289
54
Kesultanan Buton dihapuskan pada tahun 1960, tak lama setelah sultannya
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap negara memiliki bentuk dan sistem
sultan pertama hingga sultan ketiga masih menggunakan sistem monarki absolute
dikarenakan dalam pemilihan sultannya masih mewariskan putra mahkota yang saling
turun temurun. Tata pemilihan sultannya pun tetap menggunakan tradisi yang
Ihsanuddin (La Elangi) Murtabat Tujuh itu dibuat, dan di ubahnya sistem monarki
47
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 55
48
M. Ide Apurines, Praktik Pemerintahan Pada Kesultanan Buton Tahun 1540-1960 Masehi,
(Jurnal, Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2005), Hlm. 7
55
terlihat dalam sistem pemilihan dan cara pelantikan sultan yang meliputi lima tahap: 49
1. Pengajuan calon
2. Penentuan calon
3. Undian
4. Pengumuman
5. Pelantikan.
karena dianggap melakukan pelanggaran adat, maka sultan yang baru harus segera
dipilih dan dilantik untuk mengisi jabatan sultan yang kosong. Pertama-tama yang
dilakukan oleh anggota Syara Kerajaan (sarana Wolio)50 yang utama, yakni sapati,
(istana) sultan yang wafat atau diturunkan. Dalam bahasa Wolio, alat kelengkapan ini
disebut dengan istilah parintana baaluwu operopa. Dalam tradisi masyarakat Buton,
asal muasal parintana baaluwu operopa bermuara pada peristiwa ketika Betoambari
49
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 28
50
Syara Kerajaan terdiri dari sultan sendiri, sapati, kenepulu, kapita lao (2 orang), bonto
ogena (2 orang), siolimbona (8 orang), bonto inunca (11 orang), bonto lencina (8 orang),
bobato/lakina (40 orang), dan sarana agama yang terdiri dari lakina agama (1 orang), imam (1 orang),
khotib (4 orang), moji (10 orang), dan mukimu (40 orang). Istilah lokal yang digunakan untuk
menyebut Syara kerajaan ini adalah sarana Wolio. Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan
Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap Budaya¸(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 113
56
dan Sangariana sebagai raja di kampung Baluwu dan Peropa mengembangkan alat-
alat kelengkapan kemuliaan ratu Wa KaaKaa dan raja Sibatara, yag berupa payung
kebesaran raja/ratu pertama monarki Wolio saat itu. Payung kebesaran raja dan ratu
Pada pertemuan Syara Kerajaan yang kedua, semua anggota Syara kerajaan
secara lengkap hadir. Tentu tanpa kehadiran sultan, karena sultan yang lama telah
tiada dan yang baru belum terpilih. Setelah semua anggota Syara Kerajaan hadir di
baruga (balai pertemuan), maka kedua bonto ogena (menteri besar) mengirim
perutusan untuk mengambil alat kelengkapan kemuliaan sultan tersebut. Perutusan ini
terdiri dari delapan bonto/menteri dari siolimbona ditambah dengan delapan orang
lain yang sudah terpilih dari kelompok bobato52 sebagai wakil mereka. Dari baruga
alat kelengkapan kemuliaan sultan itu kemudian dihantarkan lagi ke rumah bonto
Peropa, dan disimpan di sana samapi waktu pelantikan sultan yang baru tiba. Sebagai
sultan dari istananya harus mempertimbangkan bahwa upacara peringatan malam ke-
pengertian di sini bahwa “esensi dari sultan yang hakiki” harus rampung dilepaskan
51
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 113
52
Bobato adalah penguasa-penguasa yang memerintah di beberapa kerajaan kecil di bawah
Kesultanan Buton.
57
rapat dipimpin oleh sapati dan dihadiri oleh pembesar kerajaan. Setelah diadakan
kesepakatan mengenai hari pencalonan, maka menteri besar yang tertua umurnya
mengundang kesembilan menteri siolimbona dan satu menteri besar lainnya untuk
hadir dalam penentuan calon sultan. Dalam penentuan calon sultan ini hanya hadir
mereka sebelas orang, yakni kedua menteri besar dan kesembilan menteri siolimbona.
Untuk pertemuan kali ini dipimpin oleh bonto ogena, dan calon yang dikemukakan
Palena. Perlu disampaikan di sini bahwa pada masa sultan La Elangi (sultan keempat
1578-1615) ditetapkan ketentuan adat bahwa jabatan sultan, kenepulu dan sapati
hanya boleh dijabat oleh kaomu keturunan La Elangi, yang dikenal dengan istilah
kaomu cabnag Tanailandu, atau keturunan sapati saat itu, yang dikenal sebagai
kaomu cabang Tapi-tapi, maupun keturunan kenepulu waktu itu yang dikenal sebagai
kaomu cabang Kumbewaha. Dalam pertemuan yang bersifat tertutup dari kedua bonto
ogena dan kesembilan menteri siolimbona, maka dikemukakan di sana nama semua
calon dari masing-masing anggota siolimbona. Pada pertemuan itu para bonto dari
siolimbona mengemukakan calon mereka kepada bonto ogena. Nama orang yang
mereka calonkan boleh lebih dari satu namun kesemuanya maksimum hanya boleh
53
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni III, (Jakarta: Depdiknas, 1997), h.
126
58
enam orang. Pada saat itu mereka juga mempertimbangkan nama calon yang
dikehendaki oleh para pembesar kerajaan, namun hal tersebut sifatnya tidak mengikat
mereka. Ketetapan yang diambil oleh bonto ogena dikenal dalam adat dengan istilah
„aprasoa‟, yang artinya dipaku atau diteguhkan. Nama para calon yang sudah
diteguhkan ini perlu dilakukan penyaringan lagi. Penyaringan ini dikenal dalam adat
dengan istilah „afalia‟ yang kira-kira berarti difirasatkan. Kegiata afalia ini
dimaksudkan untuk mendapatkan firasatnya: apakah calon sultan yang diterima itu
baik apa tidak? Pelaksanaan kegiatan afalia ini ditentukan dengan melihat petunjuk
hari baik atau buruk yang tercantum dalam buku Ja Afara Shadiqi.54
biasanya diadakan pada malam hari di Masjid Agung keraton untuk memfirasatkan
baik buruknya nama-nama calon sultan yang diajukan. Pada malam yang baik itu,
berkumpul semua, maka salah satu dari mereka melakukan sembahyang, sedangkan
seorang yang lain membuka Al-Qur‟an sekehendak hatinya tanpa ditentukan terlebih
dahulu olehnya juz dan ayat mana yang mau dibuka. Setelah dibuka lalu dihiung
berapa banyak huruf “kh” pada halaman sebelah kanan dan berapa banyak huruf “sh”
pada halaman sebelah kiri. Huruf “kh” menunjukan makna kata khair yang berarti
54
Buku Ja Afara Shadiqi adalah buku yang berisikan petunjuk hari dari waktu yang baik dan
buruk berdasarkan perhitungan hari malam bulan menurut urutannya dari satu hingga tiga puluh hari.
Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan di sini bahwa hari ketiga bulan dinamakan „harimau‟. Dalam
buku Ja Afara Shadiqi, hari ini disebut . . “jahat lagi naas, karena tatkala itulah Nabi Adam as
dikeluarkan Allah dari surga pada malam itu juga.” (hal 3). Setiap hari dalam perhitungan ini dinamai
dengan kebanyakan istilah-istilah binatang, seperti harimau, kerbau, gajah, dan lain sebagainya. Tony
Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap Budaya¸(Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 115
59
baik, sedangkan kata “sh” menunjukan makna “sharr” yang artinya buruk. Apabila
dalam perhitungan itu diperoleh lebih banyak “sh” daripada “kh” maka calon yang
bersangkutan lebih banyak buruknya dari pada baiknya, begitupun sebaliknya. Sangat
jarang terjadi bahwa diantara sekian calon yang difirasatkan, tidak ada satupun calon
yang memiliki kelebihan mutlak, sehingga kedua bonto ogena tidak dapat
menetapkan dua calon yang menonjol di antara calon-calon yang ada untuk dilakukan
afalia ulangan. Baru setelah afalia ulangan dilakukan, satu calon dengan hasil yang
terbaik dipilih. Calon yang terpilih ini secara adat masih dirahasiakan, dan tidak ada
untuk itu. Kerahasiaan nama calon terpilih ini disebut dalam adat dengan istilah
Peropa. Istilah kandungan yang dirahasiakan merupakan satu konsep yang penting
untuk masyarakat Buton. Kata Buton sendiri oleh beberapa kalangan masyarakat
dianggap berasal dari kata „butuni‟ (bahasa Arab) yang berarti perut yang
Harus diingat bahwa Baluwu dan Peropa merupakan dua pemukiman yang
merupakan cikal bakal dari monarki yang ada di tanah Buton, dan ketua adat dari
kedua pemukiman inilah yang biasanya diangkat sebagai bonto ogena/menteri besar
55
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya¸(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 119
60
maupun ketua para bonto/menteri yang ada dalam siolimbona. Karena alasan
keistimewaan kedua pemukiman ini dalam kehidupan adat di tanah Buton, maka
nama kedua pemikiman ini seringkali digunakan dalam istilah-istilah adat yang
penting.56
Setelah calon sultan ditetapkan, para menteri siolimbona dan Syara Kerajaan
dikerjakan, dan alat kelengkapan kemuliaan sultan atau parintana baaluwu operopa
harus juga mulai diperbaharui. Pelaksanaan semua pekerjaan ini memakan waktu,
Dalam kasus sultan terakhir, La Ode Falihi, pengumuman dirinya sebagai calon
sultan terpilih dilakukan pada hari jumat tanggal 9 Maret 1938, sedangkan
sultan dengan merujuk pada buku Ja Afara Shadiqi. Adapun tradisi pelantikan sultan
bukan mengucapkan sumpah atau janji akan tetapi Sultan disumpah oleh Baluwu dan
Peropa.
56
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Subuah Kajian Tentang Lanskap
Budaya, h. 119
57
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni III, (Jakarta: Depdiknas, 1997), h.
130
BAB IV
KONSEP PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM ISLAM DAN
PRAKTEKNYA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN KESULTANAN
BUTON
Taha Hussein (al-Fitnatul Kubra jilid 1), Sayyid Qutub (al-Adalah al-Ijtima’iyah)
telah menjelaskan sifat-sifat dari Negara dan pemerintahan Islam dan perbedaannya
dengan Negara atau pemerintahan mana pun di dunia ini. Menurut pemikir-pemikir
politik Islam ini, bahwa ada tiga sifat pokok yang membedakan pemerintahan Islam
dianut oleh orang-orang barat. Perbedaan sistem pemerintahan Islam dengan sistem
pemerintahan lain bisa dilihat dari asas yang membangun Negara, pemikiran-
1
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, (Aceh: Pt Bina Ilmu, 1984), h. 94
61
62
sistem pemerintahan yang lain juga bisa dilihat dari bentuk Negara, aparatusnya, serta
Para pakar politik Islam yang mayoritas sepakat bahwa pemerintahan Islam
adalah penting untuk menegakan keadilan dan mendirikan ajaran Islam. Namun
diantara mereka banyak yang berbeda pendapat tentang sistem pemerintahan mana
yang harus diikuti, terlebih lagi bila dilihat dari sisi pemikiran tokoh politik Islam
Al-mawardi (364-450 M), yang hidup pada saat situasi politik Islam
mengalami kerusakan yang sangat riskan, yaitu pada abad X sampai pada abad
menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia”, 4 dan
kepada Negara Islam terikat oleh perjanjian dengan Tuhan untuk menegakkan
supremasi Islam.5 Al-Mawardi mendasarkan teori politiknya atas kenyataan yang ada
pada saat itu, dan kemudian secara realistik menawarkan saran-saran perbaikan dan
2
Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2003), h. 29.
3
Zulham, Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-Maududi,
(Jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember
2014), h. 5
4
Al-Mawardi, al-Ahkam Asulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1985), h. 5
5
Asgar Ali Engineer, Revolusi Negara Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 117
63
Ibnu Abi Rabi’, yang mempersembahkan buku Suluk al-Malik fi Tadbir al-
abad IX M. dia mengatakan, Allah telah memberikan keistimewaan kepada raja, telah
Nya kepada mereka. Kemudian Allah mewajibkan para ulama untuk menghormati,
Dari pernyataan Ibnu Abi Rabi’ tersebut tampak menurut dia bahwa
kekuasaan dan otoritas raja adalah mandat dari Tuhan, tentang siapa yang berhak
menjadi raja Ibnu Abi Rabi’ mensyaratkan: harus anggota dari keluarga raja, dan
mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja sebelumnya,7 nyatalah bahwa
buku yang dipersembahkan oleh Ibnu Abi Rabi’ kepada Mu’tashim adalah legitimasi
rakyat. Bagi al-Ghazali, agama dan Negara (penguasa) merupakan dua anak kembar
yang tidak terpisahkan, agama dipimpin oleh Nabi dan Negara dipimpin oleh Sultan
6
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Press,
1997), h. 255
7
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi V
(Jakarta: UI Press, 1993), h. 47
64
bahwa sultan merupakan bayangan Allah di muka bumi (zhilullah fi al-ardhi), dengan
kata lain bahwa konsep dan pemikiran al-Ghazali tentang sistem pemerintahan ini
sumbangan pemikiran yang bertitik tolak pada realitas sistem monarki yang ada,9
yang ia terima sebagai sistem yang tidak perlu dipertanyakan lagi keabsahannya, hal
ini terjadi dalam pemilihan kepala Negara. Namun dalam hal kedaulatan
Pengangkatan kepala Negara dengan sistem monarki yang ditwarkan oleh al-
Ghazali, akan menimbulkan kecemburuan sosial dari kalanagan rakyat yang tidak
ikut dalam kompetisi pemilihan kepala Negara tersebut. Demikian juga halnya syarat
menjadi seorang kepala Negara haruslah berasal suku Quraisy. Sistem pemerintahan
teokrasi yang dipaparkan oleh al-Ghazali bahwa kekuasaan Negara berada pada
8
Zulham, Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-Maududi,
(Jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember
2014), h. 7
9
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi V
(Jakarta: UI Press, 1993), h. 108
10
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali
Press, 1997), h. 266
11
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Ajaran Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 208
65
Negara harus tunduk kepada UUD. Di dalam pemerintah absolute tidak ada
bertindak. Karena itu, corak pemerintahan otokrasi harus dirubah dengan corak
pemerintahan demokrasi.12 Pendapat ini baru dalam sejarah politik Islam, sebab
sebelumnya sampai pada masa al-Afghani umat Islam dan pemikirannya hanya
ini juga tidak terlepas dari sentuhan pemikiran Barat yang dilandasi dengan pemikiran
ajaran Islam.
oleh tiga bidang yang disebut sebagai trias politica yaitu: yudikatif, eksekutif, dan
naungannya umat Islam telah diberi kedaulatan rakyat yang terbatas dibawah
pengawasan Tuhan.13
harus melihat kepada sistem Barat. Akan tetapi ketika sampai pada persoalan
12
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Ajaran Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 56
13
Zulham, Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-Maududi,
(Jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember
2014), h. 7
66
bagaimana cara memilih kepala Negara dan anggota-anggota majelis syura, dia
menyerahkan persoalan ini kepada umat Islam untuk menempuh jalan yang mereka
anggap terbaik untuk situasi dan kondisi mereka, Islam tidak mencontohkan cara
tertentu untuk itu. Sementara itu dia tidak menyatakan pendapatnya tentang masa
jabatan kepala Negara, pembatasan masa jabatan kepala Negara merupakan salah satu
jalan yang efektif untuk menghentikan penyelewengan seorang penguasa agar tidak
berkepanjangan.14
sistem pemerintahan, yang dalam hal ini penulis lebih mengutamakan pendapat para
tokoh politik Islam, maka dengan demikian ada kesesuaian di dalam sistem
ditawarkan oleh para pemikir politik Islam jika dilihat dari perspektif politik Islam itu
sendiri.
Dalam hal sistem pemerintahan yang ditawarkan oleh para pemikir politik
Islam bolehlah berbeda-beda antara pemikir yang satu dengan pemikir yang lainnya.
Akan tetapi seperti yang telah penulis kutip di atas, yang membedakan sistem
pemerintahan Islam dengan sistem pemerintahan manapun, para pemikir politik Islam
sepakat bahwa ada tiga sifat pokok yang membedakannya, yaitu: berdasarkan pada
14
Zulham, Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-Maududi,
(Jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember
2014), h. 9
67
pada hukum Al-Qur’an, adalah sultan keempat yaitu Sultan Dayanu Ihsanuddin (La
yang berdasarkan agama Islam yang disebut juga Murtabat Tujuh. Undang-undang
ini bersumber dari ajaran Tasawuf bersifat wujudiyah yang mirip dengan ajaran
dana sehat dalam bidang agama dari Syeikh Said Muhammad seorang
seseorang.
Dalam hal ini kesultanan Buton juga telah menerapkan sistem syura atau
permusyawaratan, baik itu dalam pemilihan Sultan maupun dalam memutuskan suatu
negara dan masyarakat luas, seorang Sultan tidak dapat memutuskan kebijakan secara
sepihak seperti halnya raja-raja. Sistem ini bertujuan untuk meminimalkan bahaya
sesuatu yang menyangkut kebijakan maupun keputusan yang akan dikeluarkan oleh
pemerintah, dalam hal pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab sebagai aparat
17
Rustam Tamburaka, et.al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Membangun,
2004, h. 32
69
pemerintah daerah (kadie), dan aliansi pemerintah (Barata) semua dilibatkan serta
potensi apa yang dalam kecamatan tersebut setelah itu menentukan pajak apa yang
akan dikenakan oleh kecamatan, tentunya melalui proses tahap musyawarah yang
pemimpin kecamatan (Lakina dan Bonto) untuk membahas besaran pajak tersebut.19
suatu lembaga permusyawaratan (legislative), yang dalam hal ini disebut dengan
siolimbona, yang mana orang-orang yang menjabat di lembaga ini mereka yang
menguasi adat dan bertugas menjaganya, serta diberi wewenang dalam memilih
sultan.20
dan juga kesultanan Buton telah menerapkan sistem syura di setiap pengambilan
18
M. Ide Apurines, Praktik Pemerintahan Pada Kesultanan Buton Tahun 1540-1960 Masehi,
(Jurnal, Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2005), h. 9
19
A. Ikram, Katalog Naskah Buton¸(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), h. 10
20
Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Terjemahan: G. Winaya dari J.W.
Schoorl, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 82
70
dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’.
Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt sebagai satu-satunya pemilik otoritas untuk
membuat hukum (al-hakim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah,
memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum
semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang
wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt.21
hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan
kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus
21
Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2003), h. 35
71
memenuhi syarat sah harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan
Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang
baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan
diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum
)َوالْ َمْن َش ِط َوالْ َم ْكَرهِ َو َعلَى أَثََرةٍ َعلَْي نَا (رواه مسلم
mata dari umat melalui bai’at. Bahkan Rasulullah saw, meskipun beliau
berkedudukan sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki
22
Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2003), h. 36
23
Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, h. 36
72
kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka
pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan
yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan
wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara) dalam kehidupan
demokrasi.24
Sebagai pemimpin yang telah dibaiat oleh umat, mereka memiliki kekuasaan
yang wajib ditaati. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan
kepada khalifah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah
ِ ِ ِِ
َ َاع فَِإ ْن َجاء
آخُر ْ ص ْف َقةَ يَده َوََثََرةَ قَ ْلبِو فَ ْليُط ْعوُ إِ ْن
َ َاستَط ْ َوَم ْن بَايَ َع إِ َم ًاما فَأ
َ َُعطَاه
ْ َيُنَا ِزعُوُ ف
)اض ِربُوا عُنُ َق ْاْل َخ ِر (رواه مسلم وابو داود
Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran
tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang
24
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali
Press, 1997), h. 45
73
lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu. (HR Muslim dan Abu
Daud).
Dan selanjutnya mengenai perihal ini al-Mawardi berpendapat bahwa
pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsur, yaitu al-ikhtiyar atau orang yang
berwenang memilih kepala negara, dan ahl-al-imamah atau oarng yang berhak
mengetahui dengan baik kandidat kepala negara dan memiliki wawasan yang luas
serta kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yang baik untuk negara.
Kemudian calon kepala negara harus memiliki tujuh persyaratan, yaitu: adil, memiliki
ilmu yang memadai untuk berjihad, sehat panca indranya, punya kemampuan
kekuasaan Islam, berjihad untuk memerangi musuh, serta keturunan suku Quraisy.25
kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat, seperti al-Mawardi, tetapi dari
25
Al-Mawardi, al-Ahkam Asulthaniyah wal Wilayatuldiniyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1985), h. 5
26
Muhammad Iqbal & Anin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Kencana,
2013), h. 30
74
yang penulis paparkan diatas, tentu jelaslah bahwa sanya layaknya sistem
ketatanegaraan dalam Islam, mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam juga tidak
dijelaskan secara terperinci dan sistematis dalam al-Quran dan Sunah. Namun dalam
hal ini mengenai pemilihan seorang pemimpin haruslah berdasarkan pembaiatan oleh
rakyatnya terlebih dahulu. Adapun di Kesultanan Buton mengenai hal ini seorang
Sultan juga terpilih berdasarkan pembaitan rakyat, yang walaupun dalam proses
bahwasanya pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsur, yaitu: al-ikhtiar
(orang yang berwenang memilih kepala negara) dan ahl al-imamah (orang yang
1. Al-ikhtiyar.
yang disebut walaka, yang mana golongan ini adalah salah satu dari dua
2. Ahl al-imamah.
atau bangsawan dan memiliki gelar La Ode untuk kaum laki-laki, dan Wa
Ode untuk kaum perempuan. Dari golongan inilah seorang sultan dipilih.
selain itu, pada poin kedua ini tentang pemilihan pemimpin dalam Islam
kesultan Buton juga dalam hal pemilihan sultan haruslah berasal dari
golongan kaumu.
sistem ketatanegaraan itu sendiri. Itulah sebabnya ditemukan dalam khazanah sejarah
politik Islam baik dalam pemikiran maupun praktik pemerintahan, bentuk dan
sistemnya sejak zaman Rasulullah sampai sekarang di dunia Islam, tidak satu macam
tetapi beragam; mulai dari Khilafah yang republik, demokratis, dan absolute;
76
Dengan demikian, dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan yang baku.
mengikuti situasi dan perkembangan zaman, serta kondisi sosio-historis dan sosio-
politik umat Islam di suatu daerah. Sistem ketatanegaraan Islam itu mengalami
perubahan yang diakibatkan oleh masuknya berbagai pengaruh budaya asing, seperti
budaya Persia, Romawi, Mesir, dan Eropa. Akibat pengaruh dari berbagai budaya
hanya tidak sesuai, bahkan kontradiksi dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Berbagai
faktor tersebut telah mengubah sistem ketatanegaraan Islam yang pada awalnya
berbentuk khilafah menjadi berbentuk monarki pada masa Bani Umayah dan Bani
'Abbas. Selain itu, juga mempengaruhi bentuk pemerintahan Islam yang semula
prinsip-prinsip dasar Islam. Sebab, kedua bentuk pemerintahan ini tidak lagi
Islam.28
27
Syuti Pulungan, Ide Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha Tentang
Negara dan Pemerintahan Dalam Islam, (Jurnal Fakultas Adab dan Humaniora: IAIN Raden Fatah
Palembang, 2003), h. 2
28
M. Fauzi, Sistem Pemerintahan Yang Baik Dalam Islam, (Jurnal Fakultas Syariah, IAIN
STS Jambi, 2009), h. 19
77
Dan faktor lain yang membuat sistem ketatanegaraan dalam Islam itu
berbeda-beda disebabkan bentuknya yang tidak ditentukan secara eksplisit dalam Al-
Qur’an dan Sunah Rasul. Karena esensinya tidak terletak pada bentuknya, akan tetapi
ada pada prinsip-prinsip umum yang sudah digariskan dalam Al-Qur’an dan Sunah
Rasul. Namun ada suatu isyarat yang diberikan Al-Qur’an agar umat Islam
kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk negara yang paling baik
bagi mereka. Boleh saja bentuk pemerintahan suatu negara itu kerajaan, namun secara
umum hukum Islam, jelas itu bukan merupakan suatu tipe negara ideal menurut Al-
Pada masa Khulafaul Rasyidin umat Islam memilih dan menggunakan sistem
khilafah, dengan pertimbangan bahwa sistem inilah yang paling cocok bagi mereka
saat itu.30 Sistem khilafah dapat disebut sebagai salah satu bentuk ijma’ (konsensus)
para sahabat nabi ketika itu. Namun konsensus itu bukan merupakan suatu konsep
yang kaku yang secara mutlak harus diterapkan pada setiap saat dan tempat. Pada
masa kontemporer dimungkinkan untuk diganti dengan sistem yang lain yang
memiliki karakteristik yang hampir sama atau berdekatan, misalnya bentuk republik.
29
Andi Herawati, Konsep Ketatanegaraan Dalam Islam, (Jurnal Fakultas Agama Islam: UIN
Alauddin Makassar, 2005), h. 3
30
T. M. Hasbi Asshiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), h. 33
78
Ibnu Taimiyah, salah seorang pelopor pembaharuan dalam Islam dan seorang
penganjur ijtihad dalam rangka kembali kepada Al-Qur’an dan sunah, dalam teori
syari’ah. Dengan demikian, beliau lebih menekankan pada supermasi hukum Islam
terdapat nuansa corak "pemerintahan Islam" sehingga sulit dirumuskan suatu bentuk
pemerintahan Islam dalam satu rumusan yang lengkap hanya dengan mengamati
perkembangan yang ada sekarang, kecuali jika kita memandang bentuk yang ada
sekarang sebagai sesuatu yang final. Bentuk pemerintahan Islam sepanjang sejarah
telah dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal, yang di
ajaran saja, melainkan juga oleh situasi lingkungan, sejarah, latar belakang budaya,
cabang-cabang yang luas seperti yang telah penulis paparkan di bab 3. Pemerintahan
31
A. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Pencaturan dalam
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 33
M. Fauzi, Sistem Pemerintahan Yang Baik Dalam Islam, (Jurnal Fakultas Syariah, IAIN STS
Jambi, 2009), h. 19
79
Kesultanan Buton dalam menjalankan tugas negara dibantu oleh jajaran birokrasi
yang berada pada wilayah ibukota kesultanan maupun birokrasi yang bertugas diluar
ibukota. Pemerintahan Kesultanan Buton diatur oleh satu konstitusi tertulis yang oleh
masyarakat Buton dikenal dengan undang-undang Murtabat Tujuh sara Wolio. Dalam
Suatu hal yang penting dalam pembagian kekuasaan ialah jabatan sultan tidak
diwariskan. Hanya anak laki-laki dari istri pertama selama masa jabatan seorang
sultan yang berhak mengganti seorang sultan. Hal ini hanya terjadi dalam sedikit
kasus saja. Pembatasan kekuasaan juga tampak pada kenyataan bahwa seorang sultan
dapat dilengserkan atau bahkan dihukum mati. Saat sultan dilantik dengan upacara
sebagai penguasa, tali sejumbai digantung pada payung yang dipakai pada upacara
itu. Tali ini menggambarkan suatu peringatan bagi penguasa. Bila terbukti tidak
memuaskan, ia dapat dilengserkan dan dihukum mati dengan cara dicekik (darahnya
33
M. Ide Apurines, Praktik Pemerintahan Pada Kesultanan Buton Tahun 1540-1960 Masehi,
(Jurnal, Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UB, 2005), h. 12
34
Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Terjemahan: G. Winaya dari J.W.
Schoorl, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 84
80
tandai oleh suatu sistem pembagian kekuasaan (a system of power sharing) yang
disangga oleh kaomu dan walaka. Penting sekali bagi kaum kaomu dan walaka
status mereka dan status istri mereka. Dari sudut ini, Buton merupakan Negara
birokratik yang khas. Falsafah Negara, seperti terkandung dalam sarana Wolio,
berusaha mendorong kaumu dan walaka agar bekerja demi kepentingan seluruh
meskipun dalam realitas politik sukar dipertahankan. Salah satu upaya untuk
penguasa yang dimuliakan itu penting demi persatuan kerajaan. Dengan demikian,
perhatian yang besar pada upacara, dan menghatur sembah kepada penguasa itu,
35
Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Terjemahan: G. Winaya dari J.W.
Schoorl, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 120
36
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 86
81
masih berlanjut setelah masuknya Islam. Di pihak lain, ada beberapa ketentuan yang
kesultanan Buton dalam sistem ketatanegaraan Islam. Hal ini dapat dilihat dengan:
dalam kesultanan Buton. Dalam hal ini walaupun demokrasi yang diterapkan
bercorak absolut dan teokratis, yang mana seperti yang dikatakan oleh M.
Fauzi dalam jurnalnya yang berjudul Sistem Pemerintahan yang Baik dalam
pemerintahan Islam.
dan mengatur kehidupan masyarakat bukan hanya kehidupan dunia tapi juga
37
Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Terjemahan: G. Winaya dari J.W.
Schrool, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 121
82
kehidupan akhirat (bersifat horizontal dan vertical).38 Hal ini sejalan dengan
teori kenegaraan Ibnu Taimiyah yang lebih menfokuskan peran Syariah dalam
38
Achadiati Ikram, Istiadat Tanah Negeri Butun: Edisi Teks dan Komentar, (Jakarta:
Djambatan, 2005), h. 11
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Turki Usmani. Karena gelar bagi para pemimpin Negara pada masa
mengadopsi itu. Dan bukan hanya itu, Sultan pada masa pemerintahan
dibantu oleh para Mufti dan Qadi. Seperti halnya Turki Usmani,
sistem ketatanegaraan yang baku dalam Islam, dikarenakan dalam Islam itu
83
84
unsur, yaitu:
menteri.
b. ahl al-imamah (orang yang berhak menjadi kepala negara), dan dalam
hal ini pun juga Kesultanan Buton orang-orang yang berhak dipilih
B. Saran.
Dalam skripsi ini penulis menambah beberapa saran, yang bertujuan untuk
wawasan keilmuan ini bisa terus dikembangkan, adapun sarannya sebagai berikut:
kajian ini bisa dijadikan suatau referensi wawasan keilmuan bagi para
daerah Kabupaten Buton agar tidak menganggap kajian ini sebagai suatu
kajian yang final, tetapi sebagai kajian yang secara terus-menerus ditumbuh
BUKU
al-Qurân al-Karîm.
Akhmad, Taufiq. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: Rajawali
Pers, 2004.
Aliyah, Samir. Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, Jakarta:
Khalifa, 2004.
Arboko, Cholid & Ahmadi, Abu. Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Pustaka, 1997.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers,
2012.
Audah, Ali. Ali bin Abi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husein, Jakarta: Litera
Antar Nusa Pustaka Nasional, 2010.
Basrowi & Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Djazuli, A. Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu
Syariah, Jakarta: Kencana, 2009.
Engineer, Asgar Ali. Revolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
86
87
Iqbal, Muhammad & Nasution, Amin Husein. Pimikiran Politik Islam Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2013.
Maarif, A. Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Pencaturan dalam
Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985.
Mufid, Nur & Nur, A. Fuad. Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Almawardi, Surabaya:
Pustaka Progressif, 2000.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya, Jilid I. Jakarta, UI Press,
1974.
Pulungan, J. Suyuti. Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Rajawali
Press, 1997.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi V,
Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993.
Sukardja, Ahmad. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam
Prespektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Syafiie, Inu Kencana. Al-Qur’an dan Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996.
Tamburaka, Rustam. et. al. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra
membangun, 2004.
Yunus, Abdul Rahim. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di kesultanan Buton
pada Abad ke-19, Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic
Studies (INIS), 1995.
Zahari, Abdul Mulku. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1997.
Zuhdi, Susanto. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
JURNAL
Fauzi, Muhammad. Sistem Pemerintahan yang Baik dalam Islam, dalam jurnal
Fakultas Syariah IAIN STS Jambi, 2009.
Pulungan. Suyuti. Ide Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Tentang Negara dan Pemerintahan dalam Islam, dalam jurnal Fakultas Adab
dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang, 2003.
Saidi. Studi Sosiologi Kultural dan Historis Tentang Dasar-Dasar Adat dan Budaya
Masyarakat Buton, dalam hasil penelitian inventarisasi adat dan budaya
masyarakat Buton, Baubau 2001.
Zulham. Sistem Pemerintahan Islam Menurut al-Ghazali dan Abu al-A’la al-
Maududi, dalam jurnal Al-Muqaranah, Fakultas Syariah, IAIN Sumatera
Utara, Volume II No. 2 Januari-Desember 2014.