Anda di halaman 1dari 5

Menggagas Kembali Kebudayaan pada era Dekolonisasi

Oleh: Muhammad Akmal Ashari, S1 Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro

Els Bogaerts, dalam artikelnya yang berjudul “‘Kemana Arah Kebudajaan Kita?’
Menggagas kembali kebudayaan di Indonesia pada masa dekolonisasi”, menjelaskan
bagaimana perkembangan kebudayaan Indonesia ketika masa-masa melepaskan diri dari
cengkraman penjajahan. Tentu saja bukan hanya kebudayaannya yang berkembang, namun
bagaimana bangsa Indonesia bisa memperkenalkan budaya-budayanya pasca terlepas dari
cengkram penjajahan.

Namun bagi bangsa yang baru merdeka ini, proses pencarian identitas kebudayaan
dan jati diri bangsa bukanlah sebuah hal yang mudah. Karena harus berhadapan dengan
banyak hal baik dari eksternal maupun dari internal bangsa Indonesia sendiri. Bayang-
bayang penjajahan masih begitu terasa hingga menghinggapi sebagian dari warga negara
Indonesia, terutama yang pernah berasosiasi dan berinteraksi secara intens dengan pihak
penjajah. Serta ratusan suku bangsa mendiami bangsa yang baru merdeka ini sama-sama
memiliki andil dalam memperjuangkan kemerdekaan dan memiliki budaya yang berbeda-
beda.

Pada akhirnya sekitar tahun 1950-an, pencarian budaya dan jati diri bangsa mulai
terus digalakkan. Salah satu proses besar dalam upaya untuk membangkitkan gairah
kebudayaan bangsa Indonesia yakni melalui sebuah kongres kebudayaan yang dilaksanakan
pada tahun 1948 dan membahas cara mendefinisikan Kebudayaan Indonesia pascakolonial.
Setelah Kongres Kebudayaan 1948, muncul upaya-upaya lainnya untuk memperkenalkan
dan memperjuangkan identitas kebudayaan bangsa Indonesia dengan menggunakan media
berupa majalah yang bersifat independen. Majalah yang diberi nama Mimbar Indonesia
menjadi majalah pertama yang membahas mengenai politik, upaya pembangunan bangsa,
dan gagasan intelektual lainnya, serta terbebas dari kepentingan golongan maupun partai
politik apapun (independen).
Era 1950-an menjadi era baru bagi perkembangan dan perjuangan kebudayaan
Indonesia dkancah dunia. Kebudayaan diupayakan tidak lagi sebatas identitas sebuah
bangsa, namun menjadi jati diri bangsa dimata dunia internasional. Dengan berwadahkan
Mimbar Indonesia, upaya ekspansi kebudayaan Indonesia terus digalakkan dalam kancah
nasional maupun Internasional. Membentuk budaya nasional yang baru, dan terlepas dari
perspektif budaya ‘Barat’ maupun budaya ‘Timur’. Entitas kebudayaan Indonesia terus
digali, apakah budaya Indonesia harus diilhami budaya Eropa, Asia, atau bahkan oleh
budaya Islam?

Disinilah peran para seniman dan budayawan nasional pada era 1950-an. Gagasan-
gagasan mengenai kebudayaan Indonesia, terus disuarakan oleh para seniman dan
budayawan. Misal menurut Supomo (1948:2), gagasan kebudayaan dari, oleh, dan untuk
rakyat sebagaimana halnya dengan demokrasi. Atau dengan kata lain kebudayaan Indonesia
haruslah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat Indonesia itu sendiri.

Wadah untuk melakukan ekspansi budaya tidaklah sampai disitu saja. Tidak hanya
gagasan-gagasan yang dituangkan dalam bentuk wadah yang bernama Mimbar Indonesia,
namun juga mulai masuk menyentuh rakyat (dalam hal ini kelas Bawah). Salah satu wadah
kebudayaan yang berkembang dan mampu menarik simpati masyarakat adalah LEKRA
(Lembaga Kebudajaan Rakjat). lembaga ini menjadi salah satu wadah bagi rakyat untuk
mengekspresikan kebudayaannya, dan juga menjadi wadah perjuangan bagi rakyat dalam
upaya ekspansi budaya. Namun seperti kita semua tahu bahwa LEKRA dalam
keberjalannya justru menjadi organisasi underbouw dari Partai Komunis Indonesia.
Meskipun begitu, kberadaan LEKRA sebagai organisasi kebudayaan justru harus
diapresiasi atas kontribusi mereka dalam melakukan ekspansi budaya Indonesia.

Era 1950-an juga menjadi era bagaimana kebudayaan mampu menjadi sarana
mengisi kemerdekaan. Persoalan warisan budaya yang belum kunjung usai . Era 50-an
berarti sudah masuk kedalam era modern dan tantangan mengenai warisan kebudayaan
Indonesia semakin besar pula. Tentu saja bagaimana budaya modern yang sudah
berkembang di dunia harus mampu juga berdampingan dengan budaya-budaya lokal yang
telah diwariskan di Indonesia. sampai-sampai pada era 50-an ada upaya untuk
‘mengawinkan’ antara kebudayaan Indonesia masa lampau dengan sains dan teknologi
pada masa modern. Bukan berarti keduanya harus dominan namun keduanya justru harus
saling melengkapi dan menyempurnakan satu dengan yang lainnya. Kebudayaan modern
harus disertai dengan kebudayaan tradisional, dan kebudayaan tradisional harus bisa
membaur dengan kebudayaan modern pada era 1950-an.

Adapun salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengirimkan duta budaya
ke beberapa negara di Eropa, Asia, dan Amerika. Tujuan utama dari duta budaya tersebut
adalah untuk memperkenalkan budaya tradisional Indonesia, serta menunjukkan bahwa
Indonesia tidak hanya berdaulat secara fisik, namun juga memiliki kedaulatan dari segi
kebudayaan tradisionalnya. Dalam hal ini, banyak duta budaya Indonesia yang dikirim oleh
pemerintahan Soekarno ke Belanda, Jerman, hingga Uni Soviet, serta beberapa negara
Eropa lainnya. Justru dari negara-negara tersebut menyambut dengan baik duta budaya
Indonesia yang mungkin pada saat itu hanya sekadar menampilkan kesenian tradisional
Jawa seperti karawitan. Bahkan di Belanda, budaya Indonesia tidak hanya dimainkan oleh
orang-orang Indonesia yang tinggal di Belanda, namu juga orang-orang Belanda yang
menyukai budaya Indonesia atau bahkan pernah memiliki ikatan dengan budaya Indonesia.

Tahun 1950-an, sebenarnya Indonesia masih belum bisa lepas begitu saja dari
bayang-bayang Belanda, bangsa yang pernah menjajah Indonesia dari berbagai aspek
kehidupan termasuk kebudayaan. Mengapa bisa begitu? Hal ini tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh pendidikan a la Belanda, yang tentu saja sudut pandang para pelajar Indonesia
tersebut dapat berubah menjadi sudut pandang Eropa Sentris. Namun hal itu tidak berlaku
bagi para pelajar Indonesia di Belanda yang justru mampu meningkatkan jiwa nasionalisme
dan kebangsaan Indonesia, baik pra maupun pasca kemerdekaan.

Pengaruh-pengaruh Belanda dalam bidang pendidikan dan kebudayaan justru


mampu diminimalisir dan tidak begitu dominan dalam kebudayaan Indonesia. hal ini
dikarenakan diimbangi dengan memelihara dan mendirikan lembaga-lembaga pengajaran,
seni dan bidang kebudayaan lainnya di Indonesia dan di negara lain. Selain itu pendidikan
bahasa Indonesia juga semakin digalakkan pada era 1950-an. Hal ini sebagai penguatan jati
diri bangsa dari segi bahasa nasional.

Selanjutnya ada artikel yang ditulis oleh Adrian Vickers berjudul “Mengapa tahun 1950-an
penting bagi kajian Indonesia”. dalam artikel ini, dijelaskan bagaimana perkembangan
sosial budaya Indonesia yang dipengaruhi oleh peristiwa politik pada era 50-an. Namun
tidak hanya itu, peristiwa-peristiwa tahun 1950-an juga tidak dapat dilepaskan dari bayang-
bayang kekuasaan Belanda di Indonesia semenjak berabad yang lalu.

Dari sisi kebudayaannya, tentu saja pihak belanda pada masa penjajahan dulu
memanfaatkan tradisi masyarakat Indonesia khususnya di Jawa terutama masalah tradisi
pemerintahan. Belanda yang saat itu berusaha untuk mereformasi birokrasi, namun justru
memeanfaatkan birokrasi tradisional yang bersifat feodal untuk memperoleh simpati dan
‘bantuan’ dari pemimpin-pemimpin lokal untuk membantu Belanda dalam menjalankan
sistem tanam paksa dan bentuk kolonialisme lainnya.

Namun pasca kemerdekaan, upaya dekolonisasi dalam bidang birokrasi juga terus
diupayakan. Para pejabat lokal yang pernah berafiliasi dengan pihak Belanda justru
ditumpas ketika masa proklamasi dan masa dekolonisasi. Para pejabat yang terlibat dengan
Belanda nasibnya bisa lebih tragis daripada pihak Belanda itu sendiri. Mereka dicap
sebagai pengkhianat bangsa dan tidak jarang berakhir ditangan bangsa sendiri. Sekali lagi
ini adalah salah satu upaya dari proses dekolonisasi dan terus berkembang hingga tahun 50-
an.

Kalau tulisan karya Els Bogaerts lebih membahas mengenai dekolonisasi dalam
bidang kebudayaan dan mencari jati diri bangsa, lain dengan tulisannya Adrian Vickers
yang membahas dekolonisasi dalam bidang politik dan sosial. Dimana gerakan masyarakat
lebih luas dan menentang segala hal yang ‘berbau’ kolonial. Meskipun fokus dari
dekolonisasinya berbeda, namun tujuan dari kedua hal tersebut adalah satu tujuan yang
sama, yakni untuk membangun Indonesia yang baru merdeka agar dapat berdaulat secara
penuh dari berbagai macam aspek kehidupan, seperti sosial, politik, budaya, dan hal lainnya
yang pernah mendapatkan dominasi dari pemerintah kolonial Belanda pada masa itu.
Kesimpulan dari kedua artikel ini adalah, bangsa Indonesia adalah bangsa besar
yang memiliki banyak sekali potensi dari berbagai aspek kehidupan. Namun faktanya
bangsa Indonesia pernah mengalami tekanan dari berbagai aspek itu pula akibat dari adanya
kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa Eropa (Inggris, Belanda). Yang
mana, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia didominasi oleh orang-orang
Eropa, dan penduduk asli Indonesia tidak mendapatkan tempat sama sekali untuk
mengelola bangsanya sendiri.

Namun hal itu berubah ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan. Indonesia
sudah menjadi bayi yang baru lahir namun masih ada bayang-bayang dari kolonialisme
bangsa Barat khususnya Belanda. Bangsa Indonesia berupaya keras untuk memperoleh
kedaulatan dari berbagai bidang kehidupan, baik itu sosial, politik, ekonomi, hingga
kedalam ranah kebudayaan. Bagaimana bangsa Ini berupaya agar memiliki jati diri sebagai
bangsa yang berdaulat, secara kebudayaan, dan juga memiliki kedaulatan politik hingga
memiliki daya tawar yang tinggi dimata dunia Internasional.

Anda mungkin juga menyukai