Anda di halaman 1dari 4

Tragedi Gedoran: Pemberantasan Kaki Tangan Belanda di

Depok

Il
ustrasi (Ilham/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Salah satu peristiwa kelam di Masa Bersiap yang cukup terkenal adalah tragedi
Gedoran Depok. Mendidihnya nasionalisme masyarakat pasca merdeka berujung pada aksi
"bersih-bersih" terhadap apa-apa yang berbau kolonial. Orang-orang Belanda dan mereka yang
dianggap kaki tangannya diberantas. Termasuk orang-orang pribumi yang mendapat julukan
Belanda Depok.

Sebutan Belanda Depok santer terdengar di kehidupan sehari-hari. Biasanya sebutan ini
ditujukan untuk sekelompok orang Depok yang memiliki marga kebelanda-belandaan. 

Namun sekelompok orang itu tidak berkulit putih atau berhidung mancung. Layaknya ras khas
kaukasoid yang menjadi ciri khas orang Eropa. 

Mereka sesungguhnya adalah keturunan pribumi yang memiliki keterkaitan dengan era
kolonialisme di masa silam. Kata Sejarawan JJ Rizal, mayoritas mereka adalah budak asal Bali,
Sulawesi dan wilayah Timur. Mereka dibawa oleh saudagar kaya Cornelis Chastelein pada abad
17 yang kemudian dimerdekakan. 

Beda nasib
Cornelis Chastelein, seorang suadagar senior dari benteng Batavia tengah memperluas daerah
pertaniannya saat itu. Ia membeli tanah di Depok seluas 1.240 hektar. 

Untuk menggarap tanahnya itu Cornelis juga membeli 150 budak yang kebanyakan berasal dari
Bali dan Sulawesi Selatan. Cornelis membagi budak-budak itu dalam 12 Marga Belanda. 

Berbeda dari budak kebanyakan yang hidup sengsara, budak Cornelis justru hidup sejahtera.
Mereka hidup nyaman. Kehidupannya makin makmur setelah tuannya, Cornelis tutup usia pada
28 Juni 1714. Almarhum meninggalkan surat wasiat yang isinya akan memerdekakan seluruh
budaknya dan menghibahkan tanahnya di Depok kepada mereka. 

Bertahun-tahun hidup dalam lingkungan budaya Belanda, para mantan budak menganut gaya
hidup Belanda. Dan tentunya fasih berbahasa Belanda. Itulah awal-mula munculnya julukan
Belanda Depok. 

Saking stabilnya wilayah tersebut, Depok sampai punya pemerintahan sendiri. Tatanan
pemerintaahan Depok pada masa itu di susun oleh Advokat Belanda dengan pengaturan bercorak
republik dengan presiden pertamanya G. Jonathans dan MF Jonathans sebagai sekretarisnya. 

Presiden dipilih berdasarkan pemungutan suara terbanyak setiap 3 tahun sekali. Istana Presiden
Depok berdiri kokoh sampai sekarang yaitu rumah tua di Jl Pemuda, Pancoran Mas, Depok. 

Namun kekalahan Belanda oleh Jepang, membuat kekuasaan pemerintah Depok melemah.
Seluruh hasil bumi Depok diambil Jepang. Walau begitu hak-hak warga Depok untuk
menjalankan tradisi budaya Eropa tidak dilarang. 

Titik balik

Saat masa penjajahan Jepang, wilayah Depok bisa dibilang yang paling aman. Hampir tak ada
bentrokan fisik di kota tersebut.

Situasi berubah ketika Sukarno memproklamirkan kemerdekaan. Semangat nasionalis mendidih


hampir di setiap jiwa bangsa Indonesia. Bisa dibilang mereka melakukan "pembersihan" di setiap
wilayah Nusantara, tak terkecuali Depok.

Menurut Wenri Wanhar dalam bukunya Gedoran Depok: Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-
1955 pada 7 Oktober 1945, kerusuhan terjadi di Depok. Penduduk setempat memboikot orang
Eropa termasuk yang dinilai menjadi kaki tangan Belanda. Tak terkecuali mereka para Belanda
Depok. 

Mereka menghalangi orang Eropa membeli kebutuhan sehari-hari. Para laskar kemerdekaan itu
ingin melumpuhkan aktivitas perekonomian orang-orang Belanda dan kaki tangannya.

Laskar-laskar pemuda pun terbentuk. Pembelotan anggota PETA di Depok melahirkan Angkatan
Muda Republik Indonesia (AMRI) dibawah kepemimpinan Margonda, Laskar 21 dibawah
pimpinan Tole Iskandar dan Pertahanan Daerah dibawah pimpinan Nisin Manyir serta masih
banyak tokoh lainnya yang beberapa dijadikan nama jalan di Depok saat ini. 

Pemberontakan semakin marak. Pada 8 Oktober 1945, segerombolan orang bersenjata bambu
runcing merampok lima keluarga yang dianggap kaki tangan Belanda. Mereka menjarah semua
barang kekayaannya. 

Selain itu, gudang-gudang koperasi tempat penyimpanan pangan dijarah sekelompok


gelandangan. Lalu pada 11 Oktober, sekitar 4000 orang datang ke Depok. Rombongan itu
merampok dan mengobrak-abrik rumah-rumah dan mengusir penghuninya terutama penduduk
Kristen Eropa. 

Menyisakan trauma

Salah satu saksi hidup Opa Yoti mengatakan "kejadiannya ada sedikit kemiripan dengan
peristiwa kerusuhan 1998. Di mana banyak toko-toko bertuliskan 'milik pribumi'". Waktu
Gedoran Depok meletus beberapa orang Depok ada yang mengamankan diri di rumah jongosnya
atau berlindung di rumah-rumah orang kampung di luar Depok. 

Melihat kerusuhan itu, Polisi pemerintah RI pun bergeming. Mereka hanya bisa menonton
kekerasan itu terjadi. 

Dampak dari peristiwa Gedoran Depok bahkan dirasakan sampai beberapa tahun kemudian.
Bahkan hampir semua yang mengalami langsung kejadian tersebut merasa trauma. 

Korban lain yang merasakan pengalaman traumatis itu adalah Dolf Jonathans. Ia melihat dengan
mata kepala sendiri ketika ratusan pemuda bersenjata memasuki Kerkstraat yang sekarang
bernama Jalan Pemuda, Depok.  

Kediaman Dolf hanya berjarak sekitar 100 meter dari pertigaan Kerkstraat. "Kami lihat orang-
orang bersenjata mulai memasuki pekarangan dan menggedor pintu rumah dengan penuh
amarah," kata Dolf dikutip Detik.

Melihat kejadian itu mereka kabur lewat pintu belakang. Mereka bersembunyi di dalam hutan.
Setelah situasi mulai sepi baru mereka kembali ke rumah. "Semua barang habis diangkut, yang
masih utuh cuma sup kacang merah di atas meja," kata Dolf. 

Mereka yang mencoba melawan orang-orang bersenjata kala itu bakal dipenggal atau dibawa ke
Penjara Paledang di Bogor untuk laki-laki. Sedangkan perempuan dan anak-anak di bawah usia
13 tahun ditempatkan di Gedung Gemeente Bestuur.

Dolf mengaku akhirnya ia dipenjara di Paledang selama 10 hari. Sementara mereka yang ditahan
di Gemeente Bestuur baru bebas setelah tentara Inggris datang. Menurut Pengurus Yayasan
Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) Ferdy Jonatahans, peristiwa Oktober 1945 tersebut
menimbulkan trauma mendalam bagi warga komunitas 12 marga. Oleh sebab itu hampir seluruh
anggota komunitas yang mengalami kejadian tersebut enggan bercerita.
Namun baginya, peristiwa tersebut harus diluruskan. Karena selama ini kisah dari anggota
komunitas cenderung terpinggirka

Anda mungkin juga menyukai