(1725 1904)
SKRIPSI
OLEH:
RANTI AMIR
A1A2 08 014
HALAMAN PERSETUJUAN
Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I dan Pembimbing II serta
dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Program Studi Pendidikan
Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Haluoleo.
Kendari,
2012
Pembimbing I
Pembimbing II
Mengetahui:
Ketua Jurusan Pendidikan IPS
ii
SKRIPSI
: RANTI AMIR
: A1A2 08 014
: Pendidikan Sejarah
PANITIA UJIAN
Tanda Tangan
Ketua
(......)
Sekretaris
(......)
Anggota
(......)
(......)
(......)
Kendari,
Oktober 2012
Mengetahui,
Dekan FKIP Unhalu
iii
KATA PENGANTAR
Pujisyukur
penulis
panjatkan
kehadirat
Allah SWT
yang telah
iv
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini
tidak dapat terselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya atas bimbingan dan arahan baik
yang berupa material ataupun moril sehingga penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan dalam proses perkuliahan sampai selesainya skripsi ini
secara berturut-turut:
1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S, selaku Rektor Universitas Haluoleo
2. Prof. Dr. La Iru, S.H., M.Si, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Haluoleo
3. Edy Karno, S.Pd, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial
4. Dra. Aswati M., M.Hum, selaku ketua program studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo.
5. Buhari La Bia, S.Pd, selaku staf Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo.
6. Seluruh staf pengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah dan di lingkungan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo terkhusus
kepada Drs La Ode Baenawi, M.Pd selaku penasehat akademik penulis, terima
kasih atas didikan dan bimbingannya selama penulis menjadi mahasiswa.
7. Seluruh staf administrasi yang bertugas di lingkungan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo
Kendari,
Penulis
vi
2012
ABSTRAK
Ranti Amir (A1A2 08 014), dengan judul Peranan Kapita Lau di Kerajaan
Konawe, 1725-1904, dibawah bimbingan Dra. Aswati M., M.Hum dan Basrin
Melamba, S.Pd, M.A, masing-masing selaku Pembimbing I danPembimbing II.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah(1) Bagaimana latar belakang
terbentuknya Kapita Lau di kerajaan Konawe? (2) Bagaimana struktur
pelaksanaan tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe? (3) bagaimana Peranan dan
fungsi Kapita Lau di KerajaanKonawe?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan
tahapan Heuristik (pengumpulan sumber sejarah), kritik sumber baik kritik
eksternal maupun internal, interpretasi dan Historiografi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa, latar belakang terbentuknya Kapita Lau
sejak masa pemerintahan Mokole Tebawo. Dibentuk dalam rangka mengamankan
wilayah kerajaan Konawe di kawasan laut termasuk sungai. Dan mengontrol
keamanan di beberapa kawasan pelabuhan tradisional kerajaan Konawe. Untuk
keperluan itu maka dibentuklah jabatan yang membidangi dan memimpin masalah
urusan kemaritiman kerajaan Konawe dengan Panglima Angkatan Laut (Kapita
Lau) atau juga lebih dikenal nama kapita Bondoala.
Struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe yaitu
merupakan pejabat dibawah Mokole yang diberikan jabatan menjadi wakil raja
yang menjabat jabatan Panglima Perang. Adapun wilayah-wilayah pemerintahan
Kapita Lau (Bontoala) berkedudukan di Sampara dan mempertahankan daerahdaerah pesisir/pantai yaitu: Sampara, Poasia, Moramo, Kolono, Laeya, dan
Andoolo. Wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan tanggung jawab Sapati
Ranomeeto dan Kapita Lau untuk menjalankan pemerintahan dengan baik.
Adapun peranan kapita Lau di Kerajaan Konawe yaitu meliputi di bidang
pemerintahan, ekonomi, politik, Hankam dan sosial budaya. Peran dan fungsi
Kapita Lau di kerajaan Konawe yaitu: (a). Di bidang birokrasi dan politik
tradisional Konawe, ikut mengamankan stabilitas pemerintahan baik di wilayah
Kerajaan Konawe bahagian Timur (Ranomeeto) maupun daerah-daerah lainnya di
sekitar pantai Utara dan Selatan Kerajaan Konawe. (b) Di bidang ekonomi, ikut
menggerakkan roda perekonomian dalam lalu lintas perdagangan antara Kerajaan
Konawe dengan dunia luar seperti Bungku, Makassar, Ternate, Bone, dan Buton.
(c) Dibidang politik, ikut menstabilkan kekacauan yang timbul dalam Kerajaan
Konawe(d) Di bidang Hankam bersama-sama Buton dan Bone, menghadapi
serangan-serangan dari laut yang ingin menyerang kerajaan Konawe, Butonatau
Bone, terutama dengan Kerajaan Ternate, Banggai, Luwu, dan Selayar yang selalu
memihak kepada Kerajaan Gowa. (e) Di bidang sosial budaya, Kapita Lau
berperan untuk meningkatkan hubungan kekerabatan antara orang-orang BugisTolaki-Tiworo, melalui perkawinan. Selain peran tersebut, Kapita Lau juga
berfungsi sebagai panglima angkatan laut kerajaan Konawe digelar sebagai Kapita
Lau yang memiliki pasukan angkatan Laut 1000 orang, berkedudukan di
Puusambalu, Sambara (yang sekarang ini disebut Pohara).
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................
KATA PENGANTAR
ABSTRAK ...
DAFTAR ISI ...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...........
B. Rumusan Masalah .........
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kemaritiman ........
B. Konsep Peranan .........
C. Konsep Pertahanan dan Keamanan .......
D. Teori Kepemimpinan..........
E. Konsep Kepemimpinan Tolaki ...........
F. Penelitian Terdahulu ..........
BAB IIIMETODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .....
B. Pendekatan Penelitian .....
C. Langkah langkahPenelitian ....
BAB IVGAMBARAN UMUM KERAJAAN KONAWE
A. Keadaan Geografis .......................................
B. Keadaan Demografis ..........................................
C. Keadaan Sosial Budaya ..........
D. Struktur Organisasi Pemerintahan Kerajaan Konawe .........
BAB VHASIL DAN PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Kapita Lau di Kerajaan Konawe..........
B. Struktur Pelaksanaan Tugas Kapita Lau di Kerajaan
Konawe
......
C. Peranan dan Fungsi Kapita Lau di Kerajaan Konawe .......
a. Aspek Politik dan Birokrasi ......
b. Peranan di bidang Ekonomi .............................................
c. Dibidang Pertahanan dan Keamanan ..........
BAB VIPENUTUP
A. Kesimpulan ...........
B. Saran..........
C. Implikasi Skripsi Terhadap Pembelajaran Sejarah
Dan Muatan Lokal di Sekolah ..................................................
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
viii
i
ii
iii
iv
vii
viii
1
6
6
8
10
12
13
14
16
21
21
21
25
27
32
41
57
65
72
74
76
78
85
87
87
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya tidak dapat melepaskan diri dari sejarah, sebab
sejarah merupakan petunjuk dalam perjalanan menyongsong kehidupan sekarang
dan kehidupan akan datang. Sejarah membantu dalam memahami dan
merekontruksi peristiwa.Peristiwa yang terjadi pada masa lampau baik sejara
individual maupun kelompok, yang kemudian dijadikan pedoman dalam
melaksanakan kegiatan dimasa kini.
Dalam perspektif kesejarahan, pembangunan disegala bidang kehidupan
yang sedang giat-giatnya dilaksanakan, merupakan mata rantai perjalanan sejarah
bangsa indonesia pada masa lampau. Dengan demikian, pembangunan yang
tengah dilaksanakan itu merupakan rangkaian perjalanan masa lampau dari
bangsa kita yang bukan hampa akan nilai-nilai sejarah. Realitas kehidupan masa
lampau yang dapat dipersaksikan hingga masa kini perlu kiranya diungkapkan
secara jelas melalui penelitian ilmiah. Oleh karena itu, kehadiran ilmu sejarah
sangat penting untuk mengungkapkan dan menuntun pemahaman kita tentang
berbagai aktivitas manusia baik dari segi ekonomi, sosial-budaya dan segi politik
maupun pertahanan keamanan.
Khusus bidang pertahanan dan keamanan sebagai unsur penting dalam
perkembangan kehidupan suatu masyarakat manusia, baik secara individual
maupun secara kolektif. Hal ini merupakan salah satu segi kehidupan manusia
yang perlu dikaji ulang agar diperoleh pengetahuan tentang berbagai usaha
Daratan Indonesia kurang lebih 1.904.000 kilo meter persegi, dibagi menjadi
empat satuan geografis. Satuan pertama, meliputi kepulauan Sumatra Barat, yaitu
Dengan latar belakang kebesaran dan kejayaan yang pernah diraih oleh
Kerajaan tersebut, dan sebagai suatu episode dalam mata rantai sejarah masa lalu
Nusantara, maka sudah tentu kronologis peristiwa maupun Kerajaan tersebut
sangat penting diungkapkan keberadaannya dan keterkaitannya dengan Sejarah
Nasional, peristimewa dalam kaitannya dengan soal peranan dan nilai-nilai
kepemimpinan dari para pemimpinnya.
Dengan kajayan sejarah maritim diawali dari masa kerajaan maritim
Sriwijaya hingga kerajaan-kerajaan Aceh, Goa (Makassar), dan Ternate terlihat
sebuah benang merah hubungan pelayaran dan perdagangan antar pulau; diikuti
dengan hubungan ekonomi, sosial, budaya, serta pasang surut kekuasaan politik.
Sehingga proses tersebut menghasilkan integrasi yang bersifat regional, sebuah
embrio menuju integrasi nasional pada masa Indonesia merdeka.
Nilai-nilai kepemimpinan dan kesejarahan lainnya dari para pemeran
sejarah Kerajaan tersebut terasa penting untuk diangkat kepermukaan khususnya
kerajaan Konawe. Sejarah Kerajaan Konawe beserta para tokoh-tokoh
pemerannya telah banyak diungkapkan oleh penulis Sejarah Lokal di daerah ini,
namun upaya-upaya tersebut masih perlu untuk ditingkatkan baik dari segi
kuantitas maupun kualitas penelitiannya. Salah satu aspek kesejarahan Kerajaan
Konawe yang nampaknya masih perlu untuk ditingkatkan intensitas penelitiannya
adalah peranan dari segi-segi kepemimpinan dari beberapa tokoh legendaris
Kerajaan Konawe lainnya selain seperti Raja Tebawo dan Raja Lakidende sudah
diketahui tokoh-tokoh tersebut sangat besar fungsi dan peranan mereka dalam
mendukung keberhasilan Raja dalam memimpin Kerajaan.
tersebut,
dapat
kita
amati
ketika
raja
dalam
menjalankan
tersebut dibentuknya suatu jabatan dimana Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut)
yang memiliki peran yang cukup besar di Kerajaan Konawe. Batasan Spasial
(tempat) dalam penelitian ini mencakup lokalitas kawasan Konawe dengan spasial
penelitian pada kelurahan Sampara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe yang
merupakan tempat kedudukan Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut). Sedangkan
batasan tematis dalam penelitian ini adalah sesuai dengan permasalahan dalam
penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana latar belakang terbentuknya Kapita Lau di Kerajaan Konawe?
b. Bagaimana struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di kerajaan Konawe?
c. Bagaiman peranan dan fungsi Kapita Lau di Kerajaan Konawe?
Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a.
b.
c.
2.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang disusun dalam bentuk karya tulis ilmiah ini
2.
3.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Konsep Kemaritiman
Laut tidak hanya sebagai alat pemersatu bangsa, tetapi ia juga telah
Konsep Peranan
Istilah peranan dapat diartikan sebagai serangkaian aksi-aksi yang
dilakukanoleh seseorang atau kelompok orang yang diberi tugas dan kekuatan
untuk menjadi bapak masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi kepercayaan
dan wewenang yang diberikan kepadanya. Peranan juga lebih cenderung dimaknai
sebagai suatu perilaku seseorang dalam suatu kegiatan atau aktifitas tertentu.
Peranan ialah perilaku yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang
yang menduduki status tertentu. Peranan-peranan yang tepat dipelajari sebagai
bagian dari proses sosialisasi dan kemudian diambil alih oleh individu (Cohen,
1983: 82).
Dengan demikian, peran adalah suatu pola tindakan sebagai suatu respon
yang ditampilkan oleh seseorang atau sekelompok orang, dimana tindakan ini
membawa suatu efek atau dampak. Senada dengan itu, Koentjaraningrat dalam
Saragih (1990: 172) bahwa peran adalah ciri khas yang ditampilkan atau
dipentaskan oleh individual dalam kedudukannya dimana ia berhadapan dengan
individu-individu lain dalam kedudukannya. Selanjutnya peranan dirumuskan
sebagai suatu rangkaian perilaku yang teratur, yang ditimbulkan karena suatu
jabatan tertentu atau karena adanya suatu organisasi.
Sejalan dengan itu maka peranan pada hakekatnya dapat diartikan sebagai
wujud pelaksanaan dari fungsi dan status seseorang atau sekelompok orang yang
menonjol dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Pendapat Gros
Etol yang dikutip oleh Paulus Wirutomo (1982: 99) mengemukakan pengertian
peranan sebagai perangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang
meliputi kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan
hubungan dari norma-norma dalam masyarakat. Maksudnya kita diwajibkan
melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat dalam pekerjaan kita,
didalam keluarga kita dan di dalam peranan-peranan lainnya.
Selanjutnya Merton dalam Saragih (1990: 32) berpendapat bahwa peran
(role zet) yang dimainkan seseorang akan mencakup beberapa hal, yaitu (1) posisi
dan status seseorang dalam struktur sosial tertentu, (2) presepsi bagaimana
seseorang dalam memandang peranannya, dan (3) tata cara memainkannya dan
berbagai harapan yang muncul dalam masyarakat terhadap peran yang dimainkan.
Status ialah kedudukan sosial individu dalam suatu kelompok atau biasa
juga diartikan sebagai suatu tingkat sosial dari suatu kelompok dibandingkan
dengan
kelompok-kelompok
lainnya.
10
Kedudukan
status
individu
akan
bahkan pada seluruh Negara memiliki arti penting bagi kelangsungan kehidupan
manusia. Mereka berusaha untuk berbuat baik, dari segi lahiriah dan batiniah
untuk mempertahankan diri atas berbagai ancaman yang datang dari luar maupun
dari dalam. Dari pernyataan tersebut maka pertahanan merupakan salah satu
upaya pencapaian ketahanan nasional suatu bangsa.
Ketahanan nasional adalah kondisi dimana suatu bangsa selalu dinamis
yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu menyeimbangkan ketahanan
nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan,
dan gangguan baik dari dalam maupun dari luar yang langsung maupun tidak
langsung yang membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup
bangsa dan Negara (Surbakti Akhadiat, 1984: 42).
Berdasarkan pendapat diatas dapat memberikan pemahaman bahwa
pertahanan dan keamanan suatu bangsa atau kerajaan mutlak diperlukan adanya,
karena pertahanan dan keamanan dapat memegang peranan yang sangat penting
dan cukup strategis dalam pemerintahan suatu Negara atau kerajaan. Demikian
11
12
kesaktian atau kekuatan yang dianggap luar biasa, yang menurun sebagai warisan
dari leluhurnya. Sejalan dengan itu Uchajana (1986: 32) mengemukakan bahwa,
sebuah kepemimpinan tradisional adalah pemimpin yang tumbuh berdasarkan
sejarah.
Selanjutnya Kartono (2003: 49) mengemukakan bahwa kepemimpinan
adalah kegiatan mempengaruhi orang orang agar mereka mau melakukan kerja
sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan, kepemimpinan adalah kegiatan
yang mempengaruhi orang-orang agar mereka berusaha mencapai tujuan-tujuan
kelompok, kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia,
dan kemampuan kemampuan untuk membimbing orang. Sejalan dengan itu
Suradinata (1995: 11) mengemukakan, kepemimpinan adalah kemampuan
seorang pemimpin untuk mengendalikan, mempengaruhi pikiran, atau tingkah
laku orang lain dan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Selanjutnya Pasolong (2010: 5) mengemukakan bahwa, kepemimpinan
adalah cara atau teknik yang di gunakan pemimpin dalam mempengaruhi pengikut
atau bawahannya dalam melakukan kerja sama mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Dari uraian di atas dapat member pemahaman bahwa kepemimpinan lahir
sebagai ekspresi kharismatik dari sifat yang dimiliki oleh seseorang, sehingga
mampu memberikan gemah kepada orang lain untuk tunduk dan patut terhadap
segala tindakannya. Kharismatik yang dimilikinya dapat dijadikan sebagai suatu
kekuatan yang mempengaruhi orang yang dipimpinnya, sehingga menjadikan
13
yang demokratik, dihormati dan disegani dan bukan ditakuti karena perilakunya
dalam kehidupan organisasional mendorong para bawahannya menumbuhkan dan
mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Efektivitas kepemimpinan dari
para pemimpin yang bersangkuntan merupakan suatu hal yang sangat didambakan
oleh oleh semua pihak organisasi atau didalam kepemimpinan suatu Kerajaan.
Selanjutnya Uchjana (1981: 1) menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan
proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau
mengontrol perasaan atau tingkah laku orang lain. Kepemimpinan tradisional
hanya dijumpai pada masyarakat besar maupun pada masyarakat kecil, contohnya
kepemimpinan tradisional Kapita Lau (panglima angkatan laut) di Kerajaan
Konawe.
Sejalan dengan itu, Abdurrauf Tarimana (1993: 189-191) mengemukakan
bahwa dasar dan tujuan kepemimpinan Tradisional Orang Tolaki, adalah: (1)
petonoa (kemanusiaan), yakni kemanusiaan menurut peoliwi ari ine mbue
(ajaran dari pesan-pesan leluhur), (2) ponano ana niowai, tono nggapa, romeromeno wonua (kehendak orang banyak), dan (3) medulu, mepokoaso (kesatuan
dan persatuan). Secara konstitusional dasar kepemimpinan itu adalah ajaran adat,
yang tercakup dalam Kalo sebagai puuno o sara (adat pokok orang tolaki). Kalo
14
sebagai adat pokok adalah sumber dari segala adat-istiadat orang tolaki yang
berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka (1993: 191)
Adapun tujuan kepemimpinan dalam masyarakat Tolaki tersebur di atas
adalah mewujudkan masyarakat yang bersatu, makmur, dan sejahtera. Orang
Tolaki menggambarkan wujud masyarakat yang bersatu sebagai suatu masyarakat
di mana hubungan antara orang seorang, keluarga dengan keluarga, dan golongan
dengan golongan senantiasa terjalin suasana yang disebut medudulu (saling
bersatu), metealo-alo (saling menanam budi), samaturu (saling ikut serta dalam
usaha kepentingan bersama), mombeka pona-pona ako (saling harga menghargai),
dan
mombekamei-meiriako
(saling
kasi
mengkasihi).
Mereka
juga
15
yang disebut positaka (tauladan yang baik bagi orang banyak); demikuan sebagai
seorang pemimpin yang menggerakkan orang banyak, maka ia adalah seorang
yang disebut pohaki-haki (pemberi semangat bagi orang banyak), dan begitu pula
sebagai seorang pemimpin mengembala orang banyak, maka ia adalah seorang
yang disebut taniulu (pemegang tali kendali) (Tarimana, 1993: 189-191)
F.
Laossong dengan judul skripsi Peranan Barata Lohia Terhadap Kerajaan Muna.
Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kerajaan Muna pada zaman dahulu
merupakan salah satu kerajaan yang ada di Nusantara yang memiliki sistem
pertahanan keamanan yang strategis disebut Barata. Barata tersebut merupakan
basis pertahanan yang ada di lingkungan kerajaan Muna. Barata-barata tersebut
terdiri dari Barata Lohia, Barata Lahontohe, dan Barata Wasolangka. Ketiga
Barata tersebut merupakan tempat yang sangat strategis dan memiliki daya
pendukung di bidang pertahanan keamanan dalam menjaga integrasi kerajaan
Muna.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Alimudin dengan judul skripsi
Peran Bontona Pada Masa Kesultanan Buton (1538-1960). Dalam penelitiannya
mengatakan bahwa Bantona Siompu awalnya adalah sebuah kerajaan kecil
disekitar wilayah Kerajaan Buton. Namun kemudian Bantona Siompu bergabung
menjadi anggota Siolimbona dan menyatakan bernaung dibawa kekuasaan
kerajaan Buton disebabkan adanya ancaman besar dari bajak laut Tobelo.
16
ini
membuat
Siompu
memegang
peranan
penting
dalam
17
Peranan Kapita Anamolepo dalam soal taktik dan strategi pertahanan dan
keamanan kerajaan lebih banyak diarahkan pada tugas-tugas memulihkan
kedaulatan wilayah kerajaan sehingga hampir seluruh masa jabatannya dihabiskan
dimedan pertempuran guna merebut kembali daerah-daerah yang diduduki atau
ingin memisahkan diri itu, dengan memimpin langsung peasukan kerajaan selama
kurang lebih 2 tahun lamanya. Namun setetelah berhasil merebut kembali
wilayah-wilayah tersebut kemudian Taridala menghilang beberapa tahun karena
berselisi dengan raja Tebawo.
Kemudian Gatriama mengemukakan bahwa selain memainkan peranan
yang sangat besar dalam pemulihan kedaulatan kerajaan Konawe melalui berbagai
taktik dan strategi pertahanan dan keamanan yang diterapkannya, juga Taridala
membantu stabilitas politik dalam negeri, bidang penyelenggaraan pemerintahan,
bidang sosial budaya dan juga bidang ekonomi bersama-sama dengan aparat
kerajaa lainnya. Keberhasilan Taridala dalam menjalankan tugas Fungsionalnya
sebagai panglima angkatan darat kerajaan Konawe selai didorang oleh factor
kekeluargaan yang dekat (putra raja Tebawo dari istri ketiga) juga lebih
disebabkan oleh factor kepemimpinan yang memiliki sifat-sifat pemberani. Tegar,
jujur, karismatik, adil, demokratis tapi tegas, arif dan bijaksana.
Kemidian penelitian yang dilakukan oleh Nurlupiana dengan judul
Peranan Tutuwi Motaha (Pengawal Raja) di Kerajaan Konawe pada Abad XVIIXX. Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa jabatan Tutuwi Motaha atau
komandan pengawal kerajaan di Istana muncul sejak abad ke-17 pada masa
pemerintahan Mokole Tebawo (Sangia Inato). Tutuwi Motaha masuk dalam
18
19
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Kabupaten Konawe Utara karena daerah ini merupakan bekas wilayah Konawe
dan waktu penelitian pada bulan Maret sampai bulan Mei 2012
B.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
struktural yang mempelajari dua domain yaitu domain peristiwa (iven) dan
domain struktural.
C.
menurut Ernest Bernheim yang dikutip oleh Helius Sjamsuddin dan Ismaun
(2007: 19) yaitu (1) Heuristiek, yaitu mencari, menemukan dan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah, (2) Kritiek, yaitu menganalisis secara kritis sumbersumber sejarah, (3) Auffassung, yaitu penanggapan terhadap fakta-fakta sejarah
yang dipungut dari dalam sumber sejarah, dan (4) Darstellung, yaitu penyajian
cerita yang memberikan gambaran sejarah yang terjadi pada masa lampau.
Adapun tahapan kerjanya adalah sebagai berikut:
a.
21
22
Auffassung (Intepretasi)
Setelah data lolos dari proses kritik atau penilaian, maka ditemukan
sejumlah keterangan atau informasi tentang masalah yang diteliti. Langkah
berikutnya setelah kritik sumber tersebut adalah interpretasi, yang dilakukan
dengan dua cara yaitu:
1.
2.
23
Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk buku, arsip,
skripsi serta laporan hasil penelitian yang relevan dan mendukung
perolehan data hasil penelitian ini. Sumber-sumber tertulis tersebut
diperoleh di perpustakaan daerah maupun di tempat penelitian ini.
b.
Sumber lisan, yaitu data yang diperoleh melalui studi keterangan lisan
(tradisi lisan) berupa cerita rakyat (folklore), nyanyian rakyat (folksong)
dan kepercayaan rakyat (folkbelieve) dengan para informan yang dianggap
memiliki kemampuan untuk memberikan keteranagan terhadap masalah
yang diteliti.
c.
24
BAB IV
GAMBARAN UMUM KERAJAAN KONAWE
A. Keadaan Geografis Kerajaan Konawe
Daerah Konawe adalah merupakan suatu wilahyah kerajaan yang terletak di
jasirah Tenggara daratan Sulawesi Tenggara yang sekaran ini sebagian besar
menjadi daerah Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, dan Kota
Kendari. Adapun batas-batas administrasi wilayah kerajaan Konawe akan
dijelaskan lebih lanjut. Pada zaman Mokole More Wekoila bersama suaminya
Ramandalangi atau Langgai Moriana, menyatukan negeri-negeri disekitarnya,
sehingga terbentang luas wilayah kerajaan Konawe yang meliputi batas-batasnya :
a. Pada bagian Utara berbatasan dengan wilayah kekuasaan kerajaan Mori
(Tomori), kerajaan Matano, kerajaan Baebunta di pesisir danau Towuti dan
danau Matano.
b. Di sebelah timur berbatasan dengan kerajaan Bungku dan Kerajaan Banggai
(di Sulawesi Tengah), serta laut Maluku dan laut Banda.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Tiworo, dan Kekuasaan kerajaan
Moronene.
d. Sebelah Barat dengan kerajaan Luwu (Palopo), teluk Bone dan wilayah
kekuasaan Kerajaan Mekongga di sekitar Kolumba. (Melamba, Aswati, dkk,
2011: 23)
Jika ditinjau dari segi pertahanan, maka letaknya sangat strategis karena
letaknya berada di tengah-tengah kekuatan politik kerajaan lain, sedangkan Ibu
Kota Kerajaan Konawe di Unaaha terletak di tengah-tengah wilayah pada daratan
25
yang luas yang diapit oleh dinding alam berupa hutan dan pegunungan. Pada masa
pemerintahan Mokole Tebawo abad XVII, di tetapkan suatu perangkat
penguasaan batas-batas wilayah kerajaan yang disebut Siwole Mbatohu yang
meliputi:
a. Tambo ILosoanao Oleo atau Gerbang Timur adalah wilayah Ranomeeto.
b. Tampo ITepuliano Oleo atau gerbang Barat adalah wilayah Wawo
Latoma.
c. Bharata I Hana atau barata kanan adalah wilayah Tonga Una.
d. Barata I Moeri atau barata kiri adalah wilayah Asaki/Lambuya.
Bagian wilayah tersebut nampaknya merupakan suatu strategi pertahanan
keamanan yang sangat cermat dan tepat, hal ini tentunya merupakan suatu
pemikiran yang dinilai tidak ketinggalan dalam alam kemajuan sekarang ini.
Kemudian pada zaman Mokole Tebawo dengan gelar Sangia Inato wilayah
kekuasaan kerajaan Konawe meliputi:
1. Bagian utara mulai dari tapal batas dari barat ke Timur berbatasan dengan:
Mathana, Lambatu, Epeeha, Bahodopi, Matarape, Waeya (Salabangka).
2. Bagian Timur berbatasan mulai dari daerah Utara ke Selatan: Pulau
Labengki, Pulau Tiga, Menui, Labuhan Tobelo, Wia-Wia, Pulau Towea.
3. Bagian Selatan dimulai dari Timur kea rah Barat berbatasan dengan:
Gunung Rompu-Rompu (Taubonto), Gunung Tari-Tari, Tanggetada,
Dawi-Dawi sampai Teluk Bone.
4. Bagian Barat dimulai dari arah Selatan kearah Utara: Tolala, Patikala,
Porehu, Nuha, Baebunta, Matana. (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 24)
26
27
28
asli keturunan kedua ras tersebut kemudian berkembang menjadi suku. Suku baru
menyusul datangnya gelombang perpindahan ras bangsa Proto-Melayu pada tahun
3.000 SM dan Deutro Melayu pada sekitar 300 SM (Rudini, 1992: 10). Suku
bangsa Tolaki termasuk ras Mongoloid jika dilihat dari ciri-ciri antropologis dan
tinggalan arkeologisnya.
Dari berbagai sumber tulisan hasil penelitian mengenai asal-usul dan
persebaran suku Tolaki yang dilaksanakan baik olah para peneliti/penulis barat
(misionaris zending Kristen Belanda) maupun para peneliti Indonesia termasuk
para ilmuwan lokal, menjelaskan tentang asal-usul suku Tolaki adalah berasal dari
Hon Bin, Tiongkok Selatan pada tahun 6.000 tahun SM. Menurut beberapa
pendapat, penduduk suku Tolaki berasal dari daerah/wilayah sekitar Tongkin
perbatasan antara Birma-Kamboja Tiongkok bagian selatan, setelah melalui
perjalanan dalam rentang waktu yang cukup panjang melewati ke pulauan Hiruku
Jepang ke kepulauan di Filipina Selatan, pulau-pulau yang tersebar rapat di bagian
Timur Sulawesi dengan menggunakan perahu-perahu cadik yang sederhana
melalui sungai Lasolo dan kemudian secara bergelombang tiba dan membangun
pemukiman sekitar danau Mahalona dan danau Matana (Rudini 1992: 24).
Dijelaskan bahwa dari rombongan awal yang tiba di danau Mahalona dan
danau Matana atau sekitar pegunungan Verbeek inilah yang kemudian disusul
oleh kedatangan rombongan kedua pada 4.000 tahun SM, dan terakhir rombongan
ketiga pada 2.000 tahun SM, yang kemudian mendesak rombongan awal tadi
pada 6.000 SM, yaitu yang menjadi leluhur puak-puak orang Tolaki sehingga
mendesak dan mnyebar dalam berbagai pecahan rombongan sebagaimana yang
29
Tradisi lisan
30
mengikuti kali besar (dalam bahasa Tolaki disebut Konawe Eha) dan
berkonsolidasi di suatu tempat yang kemudian disebut Andolaki. Rombongan ini
kemudian bermigrasi dan mendesak orang Tokia, Tomoronene, dan Toare yang
akhirnya mereka tiba di Unaaha. Menurut tradisi lisan pemimpin mereka bernama
Larumbesi atau lebih dikenal dengan nama Tanggolowuta (Rudini, 1992)
Sedangkan wilayah persebaran orang Tolaki telah diuraikan oleh Prof. Dr.
H. Abdurrauf Tarimana bahwa dari Andolaki inilah orang Tolaki kemudian
terpencar ke Utara sungai Routa ke barat sampai Kondeeha sampai olo-oloho
atau Konawe lewat Ambekairi dan Asinua, dan ke Timur sampai di Latoma
sampai Asera. Orang Tolaki yang kemudian menyebar ke wilayah Timur meliputi
wilayah Kendari Selatan di Puunggaluku, Tinanggea, Kolono dan Moramo serta
yang menyeberang ke pulau Wawonii. (Tarimana, 1985: 37-38).
Pada perkembangan penduduk
beberapa suku bangsa seperti bangsa Bugis, Makassar, Toraja dan beberapa
kelompok etnis lainnya yang datang dari daerah Sulawesi Selatan. Ada juga yang
datang dari daerah Sulawesi Tengah, Jawa, Maluku dan dari Kabupaten dalam
wilayah Sulawesi Tenggara sendiri seperti Muna dan Buton.
Dalam kesimpulannya Basrin Melamba, M.A menjelaskan tentang asal
usul Tolaki bahwa Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki
jejak peradaban, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi
di beberapa gua atau kumapo di Konawe bagian utara maupun beberapa gua yang
ada di daerah ini. Lokasi situs gua di daerah ini umumnya terletak di Konawe
bagian Utara seperti Asera, Lasolo, Wiwirano, Langgikima, Lamonae,
31
diantaranya gua Tanggalasi, gua Tengkorak I, gua Tengkorak II, gua Anawai
Ngguluri, gua Wawosabano, gua Tenggere dan gua Kelelawar serta masih banyak
situs gua prasejarah yang belum teridentifikasi. Dari hasil penelitian tim Balai
Arkeologi Makassar dari tinggalan materi uji artefak di Wiwirano berupa sampel
dengan menggunakan metode uji karbon 14 di laboratorium Arkeologi Miami
University Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa dari pada artefak di Wiwirano
Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun yang lalu atau dengan evidensi ini
maka peradaban Tolaki di Konawe telah berlangsung sejak 5000 tahun Sebelum
Masehi. Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik tengkorak
manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan,
gerabah, porselin baik itu buatan Cina, Thailand, VOC, Hindia Belanda, batu
pemujaan, terdapat beberapa gambar atau dengan misalnya binatang, tapak
tangan, gambar berburu, gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar
perahu atau sampan, patung, terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa
Tolaki merupakan atau masuk kedalam rumpun bahasa Austronesia, secara
Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras Mongoloid, yang datang ditempat ini
melalui jalur migrasi dari Asia Timur, masuk daerah Sulawesi, hingga masuk
daratan Sulawesi Tenggara. (Melamba, Aswati, dkk, 2012: 495)
C. Keadaan Sosial Budaya
a) Stratifikasi Sosial atau Pelapisan Sosial Suku Tolaki
Stratifikasi terjadi oleh karena adanya kebiasaan hubungan secara teratur
dan tersusun, sehingga setiap orang dalam setiap saat mempunyai siatuasi yang
menentukan hubungannya dengan oran lain secara vertikal maupun horizontal
32
33
merupakan tingkatan sosial yang paling di bawah, yaitu golongan ata (budak).
Apabila kita meneliti pelapisan masyarakat tersebut di atas, maka yang menjadi
dasar pelapisan masyarakat pada masa lalu adalah faktor keturunan. Seorang
Pempunyai kedudukan dalam pelapisan tertentu karena keturunanya. Sekian
faktor kerukunan, faktor keaslian (status Kependudukan), juga menjadi salah satu
dasar yang kuat di dalam menentukan kedudukan seseorang di dalam masyarakat
Tolaki.
Pada zaman kerajaan, pelapisan masyarakat Tolaki sangat ketat. Sangat
jarang terjadi salah seorang anggota dari kelompok bawah (Tonodadio) yang
dapat memasuki kelompok yang paling atas (Anakia). Apalagi kelompok yang
paling bawah sangat tertutup kemungkinannya untuk dapat bergerak naik menyatu
dengan tingkat masyarakat di atasnya (vertimobility).
Sistem kelas mencerminkan suatu masyarakat di mana kesempatan untuk
naik tangga sosial lebih sukar dan hampir tertutup (Dr. Phil. Asrid S. Susanto;
1983 : 66).
Sampai pada zaman Pemerintahan Belanda, sistem kelas/golongan dalam
masyarakat Tolaki tetap dipertahankan. Bahkan sistem pelapisan masyarakat ini
dijadikan
tameng
Belanda
di
dalam
34
melaksanakan
pratktek
politik
35
Keluarga kaya;
gerak sosial (social mobility) yang tidak terbatas baik secara vertikal maupun
horizontal. Kelompok-kelompok seperti ini tidak secara resmi atau secara
organisasi. Karena itu satu sama lainnya menganggap sama-sama sederajat, saling
bergaul dengan akrab. Hal ini disebabkan karena antara mereka saling
membutuhkan serta saling bergantungan satu sama lain.
Setelah masyarakat Indonesia memasuki alam hidup yang baru, dimana
unsur pengetahuan menempati kedudukan teratas dalam sistem stratifikasi, maka
terbentuklah pula kelompok cendikia, kelompok pegawai, disamping kelompokkelompok lainnya yang berdasar pada jenis pekerjaan/mata pencaharian. Sebagai
akibat gerak sosial (sosial movement), maka terjadilah perubahan-perubahan
status seperti: anggota petani beralih menjadi pegawai sedang petani penggarap
beralih menjadi pedagang atau peternak.
Dalam sistem kepemimpinan Tolaki, seorang (Raja) Mokole, sebelum
memangku jabatannya, ia tinotonao (disumpah) oleh seorang tonomotuo (seorang
sesepuh
pamangku
adat)
dalam
fungsinya
sebagia
mewakili
rakyat
36
kerajaan yang telah disebutkan di atas, yaitu: Siwole Mbatohuu, Pitu dula batu,
tolu mbulo anakia mbuutobu, dan tolu etu lausa.
Berikut ini inti dari sumpah bahwa, ia akan menaati adat dan hukum yang
berlaku, dan sebaliknya rakyat bersumpah akan menaati segela kebijaksanaan dan
perintah raja. Apabila raja melanggar adat dan hukum yang berlaku maka Jahelah
yang akan memanskan nyawanya, besilah yang akan memotong lehernya,
aranglah yang akan menodai mukanya dan tanahlah tempatnya dikuburkan;
sebaliknya jikalau rakyat yang melanggar kebijaksanaan dan perintah raja maka
kemiskinan, kepapaan dan kepunahan yang akan menimpah mereka (Tarimana,
1989: 188-189).
Disini tampak gejala adanya hubungan struktural dan fungsional antara raja
dan rakyat, suatu politic contract (perjanjian politik dan pemerintah). Raja akan
berhasil mewujudkan tujuan kepemimpinannya apabila taat terhadap pula rakyat
akan menjadi makmur dan sejahtera apabila menaati kebijaksanaan dan perintah
raja. Raja diperlakukan oleh rakyatnya laksana matahari, yang mampu
memancarkan sinar keberkahannya ke seluruh penjuru negeri dan segenap
penduduknya. Melalui keberkahan yang ada pada seorang raja, rakyat
mendapatkan berhak dari Allah SWT, karena raja dipandang sebagai wakilNya di
bumi. Permaisuri (isteri raja) dipandang oleh orang Tolaki, sebagai bukan, yang
memancarkan sinar rayuan cinta dan kasih sayangnya ke seluruh penjuru negeri
dan rakyatnya sebagai anak negeri. Sedangkan putera-puteri raja adalah laksana
bintang-bintang yang bertaburan di langit di waktu malam. Mereka dipandang
sebagai putera-puteri mahkota kerajaan, yang akan meneruskan pucuk
37
38
negeri, kata orang Tolaki, sering fitnah, timbul wabah penyakit, panen tidak jadi,
maka hal itu berarti raja tidak betul, artinya sudah lupa tugas dan kewajibannya.
b) Agama dan Kepercayaan
Sebelum masuknya agama Islam, dan Kristen, suku Tolaki telah menganut
kepercayaan yang percaya kepada dewa-dewa (sangia) yang dianggap menguasai
alam dan kehidupan manusia. Mereka juga percaya kepada mahluk-mahluk halus,
arwah nenek moyang dan kepercayaan kepada kekuatan sakti, dikalangan
masyarakat Tolaki disebut sangia. Ada tiga sangai pencipta alam, sangia wonua
(dewa negeri), sangia mokora (dewa pemelihara alam). Disamping ketiga sangia
tersebut masyarakat Tolaki percaya pula akan adanya sangi-sangia yang lainnya
yaitu:
1. Sangia ilosoano oleo yang berkuasa diufuk timur
2. Sangia itepuliano oleo yang berkuasa diufuk barat
3. Sangia I puri wuta yang berkuasa diperut bumi
4. Sangia ipuri tahi yang berkuasa didasar laut
5. Sangia ilahuene yang berkuasa diatas langit
6. Sangia mbongae yang membawa penyakit terhadap manusia
7. Sangia mbae atau sangia sanggoleo mba yang menghidupkan dan
memelihara padi-padian.
Selain dewa-dewa tersebut di atas, orang Tolaki percaya pula adanya
Dewi Kesejahteraan yang disebut Sanggoleo Mbae (Dewi Padi). Di daerah
Konawe, tidak berkembang lagi kepercayaan-kepercayaan seperti yang disebutkan
di atas. Kecuali oleh beberapa orang dukun yang masih terkadang memuja pada
39
40
beberapa suku bangsa di Irian Jaya, ada unsur Koppensnellen (mengayau atau
penggal kepala) mongae.
Meskipun pada saat ini mereka sudah menganut agama Islam dan Kristen,
tetapi sisa-sisa kepercayaan itu masih hidup. Bahkan kepercayaan itu dapat
bersifat sinkretisme yaitu konsep kepercayaan agama samawi bercampur dengan
konsep kepercayaan lama. Kepercayaan diatas itu termaksud kepercayaan
animisme dan dinamisme yang sampai sekarang masih sering dijumpai dalam
masyarakat suku Tolaki. Dewasa ini penduduk Tolaki pada umumnya sudah
menganut agama islam sejak Mokole Lakidende II, agama Kristen sejak abad ke19 Hindu dan Budha.
D.
pemerintahan. Sistem politik dan kepemimpinan negeri Tolaki adalah apa yang
disebut: 1. mohopulei wonua. 2. mombulesako lono nggapa. 3. mosiwi-siwi tono
meohai. Ini disebut politik dalam negeri, mereka juga mengenal dan
mengembangkan sistem politik luar negeri. Sistim politik luar negeri tampak
dalam praktek apa yang disebut: 1. mombekatia-tiariako (saling memberi upeti
antara kerajaan dengan kerajaan), misalnya antara kerajaan Konawe dengan
kerajaan Bone,
41
pada
bagian
sebelumnya.
Sedangkan
dengan
mosiwi-siwi
42
kesatuan
dan
persatuan
serta
menciptakan
suasana
43
kegiatan
sehari-hari
dalam
upaya
memenuhi
kebutuhan
hidup
44
45
46
wilayah
anggalo
(kampung
lembah)
sebagai
wilayah
mendiami negeri
membuat tikar, topi, dan sebagainya dan warnanya kuning seperti emas
murni.
Sejalan dengan itu Basrin Melamba didalam bukunya yang berjudul Tolaki
di Konawe (2011: 48) mengemukakan bahwa dengan menerapkan suatu struktur
47
dan sistem pemerintahan baru yaitu Siwole Mbatohuu dan Opitu Dula Batuno
Wuta Konawe (Empat sisi Wilayah besar dan 7 dewan kerajaan Konawe). Siwole
Mbatohu yang memiliki arti, yaitu talam atau wadah tempat menyimpan Kalo
berbentuk persegi empat dengan empat sudut yang melambangkan daerah
kekuasaan daerah kekuasaan Kerajaan Konawe yang membagi wilayah Konawe
terdiri dari empat wilayah kekuasaan. Dalam pelaksanaannya Sabandara
Buburanda ditugaskan di wilayah Barat untuk memerintah dan menjaga daerah
Konawe dari daerah barat dari ekspansi Luwu. Kekuasaan Kerajaan Konawe
merupakan lingkaran konsentrik, mulai dari tingkatan Wonua atau negeri yang
berpusat di istana Kerajaandi Unaaha dipegang langsung oleh Mokole. Dibantu
oleh pejabat Siwole Mbatohu di empat penjuru daerah kekuasaan kerajaan.
Sesudah Wonua yaitu wilayah Otobu dipimpin oleh seorang Puutobu (Melamba,
Aswati, dkk, 2011)
Pada zaman raja Tebawo, Otobu di daerah ini berjumlah 30 (tiga puluh)
wilayah Tobu dan wilayah pada tingkat Onapo yang dipimpin oleh Kapala Napo
dengan gelar Tonomotuo, semacam wilayah pemerintahan tingkat desa pada
zaman Belanda menjadi Kambo yang dipimpin oleh kapala Kambo atau kepala
kampung. Setelah mokole Tebawo naik tahta dibentuknya tanah kerajaan Konawe
yang sangat luas sebagai suatu bentuk persegi empat, yang perlu mendapat
pelayanan dari pemerintah pusat kerajaan untuk menjamin ide tersebut maka pada
tahun 1609 dibentuklah perangkat penguasa wilayah di empat penjuruh di
kerajaan Konawe dikenal dengan sebutan Siwole Mbatohuu.
48
d. Laeya
b. Moramo
e. Wawonii
c. Kolono
f. Konda
c. Asera
b. Puulemo Ueesi
d. Lalowata
d. Lalohao
b. Rate-rate
e. Angata
c. Andoolo
5. Uepay, membawahi puutobu-puutobu:
a. Anggopiu
b. Mooreha
c. Tudaone
6. Sambara (Sampara), membawahi puutobu-puutobu:
a. Limbo
49
b. Rawua
c. Besu
7. Kasipute, membawahi putobu-puutobu:
a. Palarahi
c. Kasipute
b. Anggotoa
d. Teteona
f. Moramo
b. Kolono
g. Laeya
c. Wawonii
h. Konda
50
d. Andaroa (Sambara)
i. Besu (Sambara)
e. Lemo (Sambara)
2.
3.
a. Arombu
d. Waworaha
e. Ueesi
c. Lawata (Lalowata)
f. Laloeha (Kolaka)
e. Anggaberi
b. Kasipute
f. Anggotoa
c. Wawotobi
g. Teteona
d. Lasolo/Andumowu
4.
e. Angata
b. Lalohao
f. Rate-rate
c. Tinondo
g. Morehe
51
2.
52
pelantikan
Mokole Tebawo dengan gelar Sangi Inato, Sangia Mbinauti (raja yang dipayungi)
bernama Mokole Maago, menyempurnakan lagi konsep tersebut menjadi konsep
53
persiapan Siwole Mbatohu Opitu Dula Batuno Konawe yang lebih sempurna
dan lengkap dengan struktur sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Opitu Dula Batuno Konawe (tujuh dewan kerajaan) yang tersiri dari:
a. Pelapi Wungguaro (komandan pengawal kerajaan) berkedudukan di
Tuoy.
b. Tusa Wuta (penjabat yang membidangi pertanian) di Wawotobi ke
Kasipute.
c. Bite Kinalumbi (pengadilan) di Anggotoa.
d. Kotu Bitara (hakim pemutus perkara) berkedudukan di Wonggeduku.
e. Putumbu Laradati (kejaksaan) di Lalosabila atau Tuoy.
f. Bite Metado (penjabat penghubung seperti Mokole, dewan Kerajaan
para Mentri) berkedudukan di Tudaone.
g. Tusa
Laradati
(penjabat
bagian
intelejen
atau
kepolisian)
berkedudukan di Unaasi/Palarahi.
h. Kapia Anamolepo (panglima angkatan darat) berkedudukan di Uepai.
i.
j.
54
55
Nggati
Nggilo
Patirangga
Wulaa
Rahambaha
56
57
58
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
suatu jabatan yang kusus mengurus laut atau bidang kemaritiman, seperti di Buton
(Kapita Lao), seperti dikerajaan Mataram, Demak, Buton, Ternate,termasuk di
Kerajaan Konawe terdapat pengawal raja yang disebut Kapita Lau yang pertama
kali di jabat oleh Haribau berkedudukan di Sambara/Sampara.
Secara etimologi Kapita Lau terdiri atas dua suku kata yaitu Kapita yang
berarti Kapten, dan Lau yang berarti Laut dari bahasa portugis yaitu Kapitein
berarti pimpinan suatu pasukan militer. Kata Kapitein kemudian diserap dalam
bahasa melayu menjadi Kapten. Djafar (2009: 25) mengemukakan dalam bahasa
Tolaki Kapita berarti pimpinan suatu pasukan tertentu atau dapat pula berarti
pimpinan. Misalnya Kapita Anamolepo, Kapita Bondoala, Kapita Laiwoi
(Lasandara), Kapita Lanowulu, Kapita Mayoro, dan Laeya. Di kesultanan Buton
dikenal Kapita Lao, dan di kerajaan Muna dikenal dengan Kapita Lahia.
Jabatan Kapita Lau ini muncul pada zaman pemerintahan Mokole Tebawo,
kerajaan Konawe telah membentuk Panglima Angkatan Laut (Kapita Lau) atau
juga
lebih
dikenal
Kapita
Bondoala.
Berkedudukan
dipuusambalu
Sambara/Sampara. Pada saat itu dijabat oleh Haribau dengan gelar Kapita
Bondoala. Kapita Bondoala merupakan gelar Kapita Lau (Panglima angkatan
laut) Kerajaan Konawe yang diberikan oleh masyarakat Konawe setelah ia
kembali dari peperangan bersama Kesultanan Buton, Kerajaan Bone (Arung
59
Palaka), melawan Gowa dan berhasil menduduki salah satu wilayah kerajaan
Gowa yang bernama Bontoala pada tahun 1667 (Melamba, Aswati, dkk, 2011:
58).
Pada waktu Mokole Lakidende II dengan gelar Sangia Nginoburu, mengirim
utusan ke Bone untuk membantu raja Bone melawan Belanda pada perang Bone
pertama oleh raja Lakidende kemudian menunjuk Tosugi dari Anggaberi untuk
memimpin rombongan tersebut yang dibantu oleh Haribau putra Ndawuto dari
Sambara, menunjuk La Besi dan La Taripa selaku juru bahasa. Ekspedisi Bone
waktu itu dipimpin oleh seorang Ratu perempuan yang bernama Imanung Arung
Data Matinrowe Wikesi.
Sekembalinya mereka dari Bone maka Tosugi berganti nama menjadi
Pakandeate (Pakandreate) dan Haribau bergelar Kapita Bondoala. Dan La Besi
oleh raja Lakidende memperkenankan menyebarkan agama Islam di bagian Timur
kerajaan Konawe di lembah aliran sungai Andabia dan Anggasuru yang dibantu
oleh putranya yang bernama Bakealu (Melamba, Aswati, dkk, 2011)
Sejalan dengan itu seperti dalam bukunya Arsamid yang berjudul Sejarah
Pemerintahan Kabupaten Konawe (2003: 7) mengemukakan bahwa, jabatan
Kapita Lau ini berada dibawah pejabat Sulemandara, kemudian lebih
disempurnakannya melalui sidang dewan kerajaan. Seluruh wilayah kerajaan
Konawe dibagi dalam empat (4) bagian wilayah besar yang disebut Siwole
Mbatohuu (penguasa wilayah besar dan menjadi dewan pertimbangan Mokole),
masing-masing:
60
Lara
Dati,
Menteri
Kehakiman
berkedudukan
di
Tudaone/konawe.
5. Bite Kinalumbi, Menteri Penerangan berkedudukan di Kasipute.
6. Kapita Anamolepo, Menteri Panglima Angkatan Darat berkedudukan
di Uepay.
7. Kapita Lau/Kapita Bondoala, Menteri Panglima Angkatan Laut, yang
berkedudukan di Sambara (Melamba, Aswati, dkk, 2011))
Berikut penjelasan keadaan Kapita Lau pada masa pemerintahan Mokole
Lakidende dengan gelar Sangia Ngginoburu. Setelah naik tahta Raja/Mokole
61
62
bajak-bajak laut Tobelo yang sejak tahun 1496, di zaman sebelum Islam tiba
Ternate (1521), atau di zaman Mokole La Marundu, selalu mengadakan serangan
melalui bagian timur kerajaan Konawe, terutama setelah terjadi peristiwa Kapita
Galileo (Kerajaan Ternate) melarikan seorang putri bangsawan dari Konawe
(Wasitau I) adik kandung Puluase, kemudian dalam pelayarannya menuju Ternate
bersama dengan orang-orang Tobelo, ketika singgah untuk mengambil air minum
di Ngapaaha di Pamandati/Lainea, berkat jasa seorang mata-mata Raja Tiworo,
putri raja Mekongga, yang kemenakannya juga dari raja Tebawo, sempat direbut
dan dilarikan juga oleh pasukan Raja Tiworo Sugimanuru yang secara kebetulan
ada berlabuh di Ngapaaha, dan peristiwa itulah yang menyebabkan Raja Tebawo
menginstruksikan kepada kapita Haribau untuk mempercepat penempatan
penugasan-penugasan kapita-kapita di ke-5 pelabuhan tersebut di atas, dengan
membangun
benteng-benteng
batu
di
Andumowu,
Lembo,
Poasia,
63
kerajaannya,
telah
menempatkan/mengangkat
para
pejabat
kerajaannya yang hanya terdiri dari saudara-saudara sekandungnya, dan dari anakanaknya dari beberapa isterinya sebagai berikut :
1) Sebagai penasihat utama, diangkat saudara Kandungnya lain Ibu adalah
Lele Suwa yaitu sebagai Kotu Bitara (Mahkama Agung) berkedudukan di
Wonggeduku;
2) Sebagai teknokrat/ahli pemikirannya, diangkat/ditunjuk La Isapa, yang juga
saudara kandungnya, berlainan ibu dengan Raja Tebawo dan Lele Suwa;
64
termasuk salah satu dari anggota Pitu Dula Batu, yang letaknya cukup strategis
dalam tinjauan keamanan khususnya terhadap ancaman dari luar melalui laut di
sebelah Timur Kerajaan dimana kawasan ini pada periode abad XVI-XVII
menjadi rebutan oleh berbagai kerajaan/bangsa, seperti dari Ternate/Tobelo,
Bungku, dan Gowa yang saling merebut hegemoni di Kawasan Timur Nusantara
ini. Dengan demikian penetapan wilayah ini sebagai salah satu basis pertahanan
Kerajaan Konawe sangat tepat, baik untuk menjaga keselamatan rakyat maupun
dalam memelihara hubungan dengan Kerajaan lain, karena pada saat itu Sampara
sebagai salah satu pusat perdagangan maritime Kerajaan Konawe yang ramai
dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai kerajaan (Melamba, Aswati, dkk,
2011).
65
wilayah
Tambo
Losoano
Oleo
(gerbang
timur)
dan
sekaligus
66
menjaga masuknya musuh, baik yang datang melalui darat maupun melalui laut,
yang menjaga keamanan di Timur jauh dari kerajaan dan di Barat jauh dari
kerajaan di tetapkan dua panglima perang, yakni Panglima Perang di Darat yang
disebut Kapita Ana Molepo (Kapten Anak Muda) yang berkedudukan di Uepai.
Panglima Perang dilaut yang disebut Kapita Lau (Kapten Laut) yang
berkedudukan di Pulusabila, Sampara,(Wawancara dengan Sapiudin Pasaeno, 21
April 2012)
Kapita yaitu merupakan perwakilan raja Mokole atau merupakan tangan
kanan yang menjadi kepercayaan raja sebagai wakil yang menjabat jabatan
panglima perang dibidang tertentu, yang di jabat oleh golongan bangsawan Tulen
(Anakia Songo). Kapita bertugas memerangi dan menghancurkan musuh-musuh
baik dari dalam negeri maupun dari luar Kerajaan dalam menjalankan tugasnya
Kapita dibantu oleh Tamalaki sebagai prajurit-prajurit yang gagah berani dan
Otadu yang mengatur strategi perang.
Tamalaki merupakan prajurit-prajurit yang gagah berani, sebagai penjaga
keamanan dan pertahanan kerajaan dalam keadaaan bahaya maupun dalam
keadaan aman. Menjaga keselamatan Raja, terutama dalam melakukan perjalanan
Dinas kedaerah-daerah dan melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang
oleh pejabat-pejabat yang ada dalam kerajaan Kerajaan Konawe. Tamalaki ini ada
dari golongan bangsawan maupun dari golongan Toononggapa, bahkan dari
golongan budak pun, apabila dapat memiliki keberanian dan telah bebas status
ata-nya itu (Tarimana, 1993).
67
denganpejabat-pejabat
Tebau,
Wemaho,
dan
sebagai
Mangu.
berikut:
Sorumba,
Melamba,
68
69
70
pasukan Arung Palakka yang dipimpin oleh La Tomparina Arung Atakka, Daeng
Pabila, Arung Maruang Marowanging, La Sambara Arung Ri Tompo Tikka
(Kapita Bondoala) bersama Kapita Lau Buton, Matanajo, dan Kapita Lau La
Jiapaloe serta Kapten De Brill dan Spellman, dengan memakan korban kedua
belah pihak yang sangat besar (A. Zainal Abidin Farid, 1987 : 16).
Dari keterangan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa Kapita Bondoala
dalam kedudukannya sebagai seorang Panglima Angkatan Laut memiliki salah
satu sifat kepemimpinan militer yaitu sifat pemberani sebagaimana dibuktikannya
pada peristiwa Perang Gowa di atas. Berikut diuraikan keberhasilan kapita Lau
dalam memimpin jabatan sebagai penguasa atau yang mengatur wilayah sungai
laut dan pesisir kerajaan Konawe. Konsep-konsep keberhasilan pemimpin
pasukan, namun dari ungkapan-ungkapan nyanyian berupa epos orang Tolaki
yang tergambar melalui nyanyian kukuaha dan taenango wuwutu mata dupa dari
Anggaberi/Toriki, dapat dipetik beberapa kunci keberhasilan para Tamalaki orang
Tolaki, yaitu para pemimpin orang Tolaki antara lain :
1. Hanggari no wutu ahu meratu dawa kasu artinya namun apa yang terjadi,
peluru atau senjata ditujukan kepadanya bagaikan asap dan daun kayu yang
berguguran, maksudnya kebal atau mempan tidak dimakan besi.
2. Anoamba tutoko meranggamii wodoh, maa au mbaokee kaa iee, no langgai
mosoro wungguaro mokapa, artinya, maka tatkala ia menyerang musuh,
tidaklah musuh diberi ampun kecuali langsung ditebas batang lehernya habishabisan.
71
Keberanian (moseka)
b.
c.
d.
72
yang datang melalui laut, karena pada saat itu Sampara sebagai salah satu pusat
perdagangan maritim Kerajaan Konawe yang ramai dikunjungi oleh para
pedagang dari berbagai kerajaan dan sebagai penghubung dunia luar, juga untuk
menjaga masuknya musuh, baik yang dating melalui darat maupun melalui laut,
yang menjaga keamanan di Timur Jauh kerajaan dan di Barat di tetapkan dua
panglima Perang, yakni Panglima Perang di Darat yag disebut Kapita Anamolepo
(Kapten Anak Muda) yang berkedudukan di Uepai, dan Panglima Perang di Laut
yang di sebut Kapita Lau (Kapten Laut) yang berkedudukan di Pulusabila,
Sambara (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 83). Maka dari uraian tersebut sekaligus
dapat menjelaskan bahwa fungsi dan kedudukan Kapita Bondoala, dalam sistem
pemerintahan Kerajaan Konawe di masa pemerintahan Raja Tebawo, adalah :
a. Sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan Konawe digelar sebagai Kapita
Lau yang mempunyai Pasukan Angkatan Laut kurang lebih 1.000 orang,
berkedudukan di Puusambalu (Pohara) Sampara.
b. Selain sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan Konawe, juga sebagai
Anggota Dewan Adat Kerajaan (OPitu Dula Batu), bersama Buburanda
(Sabandara Latoma), Sorumba (Sapati Ranomeeto), Taridala (Kapita
Anamolepo
Uepai),
Paluwu
(Ponggawa
Tongauna),
Kalenggo
73
74
75
Kapita
Ngapa
di
Bandaeha/Lembo;
Kapita
Ngapa
di
Di Bidang Ekonomi
Dari berbagai sumber penuturan sejarah masa lalu Kerajaan Konawe,
khususnya dari pulau Menuy, dari Buton dan dari Salabangka, diperoleh informasi
yang menceriterakan bahwa perahu-perahu yang memuat sagu, daun agel, dan
buah-buahan pisang, serikaya, dan kelapa, sejak masa Kapita Laudi daerah
76
tersebut telah selalu didatangi oleh para pedagang naik perahu asal Wowa
Sambara dan Pasambala (Puusambalu) yang diawali oleh sebagian orang Bugis
dan sebagian orang Taloki (bukan Tolaki) untuk berbarter/mengganti dengan ikan,
garam, dengan segala barang keramik dari Buton, Menui, dan Salabangka. Dari
Ternate seorang Tetua Adat Ternate, Kapita Haribau, asal Konawe Wasambara.
Sejak lama telah dikenal oleh ceritera-ceritera penduduk di hampir semua daerah
pesisir pantai pulau-pulau Maluku Utara, sebagai seorang Bajak Laut yang
ditakuti oleh bajak-bajak laut Tobelo (Halmahera, Bacan) dan Tidore, karena di
samping selalu muncul dengan tujuan berdagang ia sekaligus juga selalu
menimbulkan huru hara bila ia akan diganggu oleh pedagang-pedagang
saingannya.
Seorang informan menjelaskan bahwa nenek mereka yang tiba di
Lemobajo dari Bajoe/Bone, pada tahun 1636, karena perang Bone-Gowa, telah
menceriterakan, kalau nenek mereka itu tiba di Lemobajo Lasolo, telah
berkenalan dan tukar menukar tanda mata serta keperluan ekonomi dengan
Haribau, dengan bukti adanya sebilah parang Taawu (parang panjang) ukuran
1,60 meter panjang sebagai kenang-kenangan dari Kapita Haribau, melalui nenek
mereka yang tetap mereka simpan dan pelihara sebagai tanda mata Kapita
Bondoala (H. Abdullah Djusin, wawancara 17 Mei 2012).
Dari uraian di atas menggambarkan bahwa Kapita Bondoala, selain
sebagai Panglima Angkatan Laut, juga sebagai pameran dalam kegiatan ekonomi
perdagangan dengan dunia luar Kerajaan Konawe, sekurang-kurangnya bertindak
77
sebagai pengawal/pengawas dalam lalu lintas ekonomi perdagangan dari daerahdaerah luar kerajaan.
c)
Andumowu/Lasolo,
Lembo/Bandaeha/Lasolo,
Lepo-Lepo
78
79
tahun 1612 menyusul datangnya rombongan Arung Baku pada tahun 1781
dan seterusnya, yang kesemuanya melalui Sampara baru kemudian
menyebar ke Lepo-Lepo, Tiworo, Torobulu-Tinanggea, kemudian masuk ke
pedalaman daratan Sulawesi bagian Tenggara (Tanah Konawe) kemudian
ke Buton-Muna bahkan ke Mekongga karena mereka tidak dapat melewati
jalur Kolaka, disebabkan kuatnya pengaruh kekuasaan Luwu di daerahdaerah Pitumpanua (Mekongga);
3) Menerima penempatan sejumlah tiga puluh tujuh Kepala Keluarga orang
Tiworo yang datang dari pulau-pulau Tiworo, di wilayahnya yaitu di Desa
Lalonggaluku, setelah berkembang biak di Parauna selama 12 tahun, akibat
timbul perselisihan dengan penduduk asal Kulahi Anggotoa, sehingga sejak
saat itu terjadi perkawinan dengan penduduk asli di sepanjang sungai
Pohara-Muara Sampara dengan keturunan-keturunan orang Tiworo;
4) Membuka lebar-lebar pantai timur Ranomeeto untuk menerima pelarianpelarian orang Bugis dari Sulawesi Selatan akibat perang hebat antara
Kerajaan Bone (Arung Palakka) dengan Kerajaan Gowa, seperti yang
sekarang ini berkembang di beberapa tempat seperti di Bungkutoko,
Kendari, Lepo-Lepo, Mata, dan Toronipa.
Panglima angkatan laut Kapita Sambara Wuta Konawe, kerajaan Konawe
yang bergelar Tanoopa moloro, Tadohopa Nduosa, Lomalaea Ndahi
Membandera Waea Kapita Lau, berkedudukan di Puu Sambalu Sambara atau
Sampara (Wilayah bahagian Timur kerajaan Konawe) yang di jabat pertama oleh
80
Kapita Lau Haribau dan dilanjutkan oleh pejabat Kapita lau hingga kapita Tehaho
sebagai kapita terakhir.
Para pejabat tersebut diatas dibantu oleh beberapa pejabat yang berstatus
menteri muda, sedangkan pejabat tersebut berstatus sebagai pejabat tingkat wonua
mereka memiliki otoritas atau wewenang. Menguasai dan berwewenang terhadap
beberapa pelabuhan laut di kerajaan Konawe.
Koordinasi untuk urusan persenjataan para otadu dan tamalaki dibawah
pengawasan Kapita lau, yaitu dengan cara memesan kepada kepala urusan
persenjataan kerajaan Konawe yang disebut Parewano wuta Konawe yang
berkedudukan di Sanggona yang dijabat oleh seorang toono motuo dari
Sanggona.
Jika ada tamu yang datang berkunjung di Ranomeeto sebagai pejabat Sapati
yaitu Sorumba maka jika tamu tersebut ingin ke Unaaha menemui raja atau
mokole Konawe terlebih dahulu harus melalui pengetahuan Kapita Lau karena
jalan satu-satunya untuk ke Unaaha melalui Sampara dan Puu Mbopondi.
Relasi dengan pejabat Sabandara (sabannara) pejabat Syah bandar
berkedudukan di Wowalatoma yaitu melalui jalur koordinasi karena Sabandara
menguasai hilir sungai Konaweeha yang merupakan urat nadi ekonomi Kerajaan
Konawe, sedangkan Sampara atau sambara sebagai Hulu kali Konaweeha. Jika
terjadi ancama di daerah Wawolatoma dan beberapa Tobu wilayah kekuasaannya
maka akan dikirim pasukan dari sampara melalui laut. Termasuk jika akan ke
daerah Asera dan Wiwirano terlebih dahulu harus memberitahu anakia sabandara
karena daerah ini merupakan wilayah bawahan atau otobu. Contohnya pada
81
82
83
kecamatan Sampara juga terdapat makam Pasaeno yang merupakan Kapita Lau
yang ke IV. Gambarnya dapat dilihat pada Lampiran hasil penelitian ini.
84
BAB VI
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
85
2.
3.
bidang
politik,
ikut
menstabilkan/menciptakan/mengamankan
86
Saran-Saran
Berdasarkan pada pokok-pokok pikiran diatas maka beberapa saran,
mengalami peningkatan yang cukup signifikan hal ini disebabkan oleh tuntutan
kebutuhan yang makin hari makin diraskan oleh masyarakat. Dengan makin
87
88
proses
perkembangan
Agama,
mengharagai
peninggalan-
89
90
DAFTAR PUSTAKA
Anonim , 2007. Sejarah dan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara: Kendari:
Badan Riset Provensi Sultra
Andi, Zainal Abidin Farid, 1987. Inovasi Orang-orang Bugis pada abad ke XVIXVII. Di wilayah Timur dan barat Sulawesi.
Alimudin, 2011. Peran Bontona Siompu Pada masa Kesultanan Buton. Skripsi
FKIP Unhalu: Kendari
Al-Ashur, Arsamid, 2003. Sejarah Pemerintahan Kabupaten Konawe. Lembaga
Adat Tolaki Kabupaten Konawe
Cohen, Bruce, 1983. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Bina Aksara
Djafar, Arnita, 2009. Pengaruh Portugis di Maluku. Yogyakarta: Ombak
Gatrima, 2000.Peranan Taridala sebagai Kapita Ana Molepo atau Panglima
Angkatan Darat pada masa Pemerintahan Raja Tebawo di Kerajaan
Konawe (1602-1668). Skripsi Unhalu. Kendari
Gusti, Asnan, 2001. Dunia Maritum Pantai Barat Sumatera. Jogjakarta: Ombak
Kartodirjo, Sartono, 1986. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial. Jakarta
Kartono, Kartini, 2003. Kepemimpinan. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Lassong, Abdul Kadir, 1996. Peran Barata Lohia Terhadap Kerajaan Muna.
Skripsi FKIP Unhalu: Kendari
Melamba, Basrin, Aswati, dkk, 2011. Sejarah Tolaki di Konawe. Yogyakarta:
Teras
Mokodompit, Eddy, 1973. Perinsip Kepemimpinan. Universitas Hasanuddin:
Ujung Pandang
Nurlupiana, 2011.Peranan Tutuwi Motaha (Pengawaol Raja) di Kerajaan
Konawe pada Abad XVII-XX. Skripsi Unhalu. Kendari
Pasolong, Harbani, 2010. Kepemimpinan Birokrasi. Alfabeta cv: Bandung
Pamudji, 1986. Kepemimpinan Pemerintah di Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara
Rabani, La Ode, 2010. Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara. Ombak:
Yogyakarta
91
92
DAFTAR INFORMAN
1.
2.
3.
4.
5.
Nama
: Arsamid Al Ashur
Lahir
: Tawanga 1943
Alamat
Keterangan
: Budayawan Tolaki
Nama
: Sapiudin Pasaeno
Lahir
: 1923
Alamat
: Kapoiala
Keterangan
: Tokoh adat
Nama
Lahir
: 1949
Alamat
: Pohara
Keterangan
Nama
: H. Abdullah Djusin
Lahir
: 1942
Alamat
: Kelurahan Bondoala
Keterangan
: Ketua LPM
Nama
:Sapiudin T
Lahir
: 1960
Alamat
: Kelurahan Konawe
Keterangan
: Puutobu
93
Waanggo (KL V)
Sumuro (KL X)
94
GLOSARIUM
Ama
: Ayah
Anakia
Andolaki
Anggalo
Bokeo
Datu
Districk
Ina
: Ibu
Kalo
Kapala Kambo
: Kepala Kampung
Kapita
Kotubitara
Lakina
Mokole
Mosehe
Oata
: Budak
Onapo
95
Otobu
Pabitara
: Juru bicara
Putobu
Sabandara
Sangia
Siwole Mbatohu
Tamalaki
: Prajurit pemberani
Tolaki
Tolea
Tomanurung
Toono Motuo
Tusawuta
: Mentri Pertanian
Wonua
: Negeri.
96
97
98
99
100
101
102