Letak geografis kepulauan Indonesia telah menjadikan kepulauan Indonesia sebagai jalur
perdagangan Internasional. Kepulauan Indonesia menjadi daerah transit (pemberhentian)
sebelum melanjutkan ke kedua bagian negara tersebut. Orang-orang Indonesia ternyata ikut aktif
juga dalam perdagangan tersebut sehingga terjadilah kontak hubungan di antara keduanya
(Indonesia-India dan Indonesia-Cina). Hubungan itu akhirnya memberikan pengaruh terhadap
perkembangan masyarakat Indonesia selanjutnya.
Menurut sejarawan Van Lew dan Wotters, hubungan dagangan antara Indonesia dan India
lebih dahulu berkembang dari pada hubungan dagang antara Indonesia dan Cina. Namun,
sumber sejarah untuk mengungkapkannya sangat terbatas, yaitu melalui kitab-kitab sastra dan
sumber-sumber dari barat. Adanya hubungan dagang antara Indonesia dengan India berpengaruh
besar terhadap masuknya budaya Hindu-Budha ke Indonesia. Agama Budha disebarluaskan ke
Indonesia oleh para Biksu.
Terdapat dua pandangan, pendapat pertama menekankan pada peran aktif dari orang-
orang India dalam menyebarkan Hindu-Budha (teori Waisya, teori Ksatria, dan teori Brahmana).
Pendapat kedua mengemukakan peran aktif orang-orang Indonesia dalam menyebarkan agama
Hindu-Budha di Indonesia (teori Arus Balik). Ditambah dengan teori sudra yang menyatakan
bahwa penyebaran agama hindu di Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang berkasta
sudra, karena mereka dianggap sebagai orang-orang buangan. Beberapa teori mengenai proses
masuknya budaya Hindu-Budha di Indonesia antara lain:
1. Teori Brahmana
Teori Brahmana dikemukakan oleh J.C. Van Leur. Teori ini adalah teori yang menyatakan
bahwa masuknya Hindu Budha ke Indonesia dibawa oleh para Brahmana atau golongan pemuka
agama di India yang sengaja diundang oleh penguasa Indonesia. Teori ini dilandaskan pada
prasasti-prasasti peninggalan kerajaan Hindu Budha di Indonesia pada masa lampau yang hampir
semuanya menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Saksekerta. Candi yang ada di Indonesia
banyak ditemukan arca Agastya. Disamping itu brahmana di Indonesia berkaitan dengan upacara
Vratyastoma dan Abhiseka. Di India, bahasa itu hanya digunakan dalam kitab suci dan upacara
keagamaan dan hanya golongan Brahmana yang mengerti dan menguasai penggunaan bahasa
tersebut karena agama Hindu bersifat tertutup. Selain itu, teori masuknya Hindu Budha ke
Indonesia karena peran serta golongan Brahmana juga didukung oleh kebiasaan ajaran Hindu.
Seperti diketahui bahwa ajaran Hindu yang utuh dan benar hanya boleh dipahami oleh para
Brahmana. Pada masa itu, hanya orang-orang golongan Brahmana-lah yang dianggap berhak
menyebarkan ajaran Hindu. Para Brahmana diundang ke Nusantara oleh para kepala suku untuk
menyebarkan ajarannya pada masyarakatnya yang masih memiliki kepercayaan animisme dan
dinamisme.
Kelebihan:
o Di Indonesia, banyak prasasti Hindu-Budha yang menggunakan bahasa sansekerta
dan huruf pallawa. Bahasa tersebut pada saat itu hanya dikuasi oleh kaum
Brahmana.
o Agama Hindu adalah milik kaum Brahmana sehingga merekalah yang paling tahu
dan paham mengenai ajaran agama Hindu. Urusan keagamaan merupakan
monopoli kaum Brahmana bahkan kekuasaan terbesar dipegang oleh kaum
Brahmana sehingga hanya golongan Brahmana yang berhak dan mampu
menyiarkan agama Hindu.
o Karena Raja-raja yang ada di Indonesia kedudukannya ingin diakui dan kuat
seperti Raja-raja di India maka mereka dengan sengaja mendatangkan kaum
Brahmana dari India untuk mengadakan upacara penobatan dan mensahkan
kedudukan mereka di Indonesia sebagai Raja. Dan mulailah dikenal istilah
kerajaan. Karena upacara penobatan tersebut secara Hindu maka secara otomatis
Raja juga dinyatakan beragama Hindu, jika Raja beragama Hindu maka rakyatnya
pun akan mengikuti Raja.
o Hanya para Brahmana yang bisa melakukan upacara khusus yang menjadikan
seseorang menjadi pemeluk hindu (Vratyastoma).
Kelemahan:
o Dalam tradisi agama Hindu terdapat pantangan bagi kaum Brahmana untuk
menyeberangi lautan, sementara Indonesia-India dipisahkan oleh lautan.
o Mempelajari bahasa Sanskerta merupakan hal yang sangat sulit jadi tidak
mungkin dilakukan oleh raja-raja di Indonesia yang telah mendapat kitab Weda
untuk mengetahui isinya bahkan menyebarkan pada yang lain, sehingga pasti
memerlukan bimbingan kaum Brahmana.
o Di India ada peraturan bahwa Brahmana tidak boleh keluar dari negrinya
sehingga tidak memungkinkan bahwa mereka dapat menyiarkan agama ke
Indonesia.
Beberapa hal yang dilakukan para brahmana di Nusantara dalam rangka penyebaran
agama Hindu antara lain:
2. Teori Waisya
Teori ini dikemukakan oleh N.J. Krom yang mengatakan bahwa agama dan kebudayaan
Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh golongan waisya (para pedagang). Sejak tahun 500 SM,
Nusantara telah menjadi jalur perdagangan antara India dan Cina. Disamping misi mereka untuk
berdagang, mereka juga mempunyai misi lain untuk memperkenalkan tentang Hindu-Budha
kepada masyarakat Indonesia. Karena pada saat itu pelayaran sangat bergantung pada musim
angin, maka dalam beberapa waktu mereka akan menetap di kepulauan Nusantara hingga angin
laut yang akan membawa mereka kembali berhembus ke India. Pada saat menetap di Indonesia
inilah, para pedagang menikah dengan wanita-wanita pribumi yang pada akhirnya menyebabkan
tersebarnya kebudayaan India menyebar di dalam masyarakat Indonesia. Keturunan dan keluarga
pedagang ini merupakan awal penerimaan pengaruh India.
Kelebihan:
o Banyaknya sumber daya alam di Indonesia membuat para Waisya (kelompok
pedagang) tertarik untuk bertransaksi jual beli di Indonesia dan menyebarkan
agama Hindu-Budha ketika berdagang.
o Pedagang tentu membutuhkan area perdagangan yang luas agar lebih untung.
o Agama Hindu bisa didapat hanya karena keturunan, maka para pedaganglah yang
berketurunan dengan orang Indonesia agar agama Hindu tersebar.
Kelemahan:
o Para pedagang yang termasuk dalam kasta Waisya tidak menguasai bahasa
Sanskerta dan huruf Pallawa yang umumnya hanya dikuasai oleh kasta Brahmana.
3. Teori Ksatria
Teori ksatria disebut juga teori kolonisasi. Teori ini menyebutkan bahwa budaya India masuk ke
Indonesia dibawa oleh para ksatria dengan cara penaklukan daerah-daerah tertentu di Nusantara.
Teori ini menekankan bahwa orang-orang Indonesia dikuasai oleh orang-orang India. Pendukung
teori ini kebanyakan sejarawan India, terutama Majumdar dan Nehru. Tokoh-tokoh yang
mendukung teori ini diantaranya:
C. Berg
Mookerji
Ia mengatakan golongan kesatria dari India datang membawa pengaruh kebudayaan Hindu-
Budha ke Indonesia lalu membangun koloni-koloni yang berkembang menjadi sebuah kerajaan.
L. Moens
Ia menjelaskan bahwa menjelaskan bahwa proses terbentuknya kerajaan-kerajaan di Indonesia
pada awal abad ke-5 ada kaitannya dengan situasi yang terjadi di India pada abad yang sama.
Sekitar abad ke-5, ada di antara para keluarga kerajaan di India Selatan melarikan diri ke
Indonesia sewaktu kerajaannya mengalami kehancuran. Mereka itu nantinya mendirikan
kerajaan di Indonesia.
Kelebihan:.
o Semangat berpetualang dan menaklukan daerah lain, pada saat itu umumnya
dimiliki oleh para Ksatria (keluarga kerajaan).
Kelemahan:
4. Teori Sudra
Teori Sudra oleh Von Van Faber. Teori ini menjelaskan bahwa penyebaran agama dan
kebudayaan Hindu Budha di Indonesia diawali oleh para kaum sudra atau budak yang bermigrasi
ke wilayah Nusantara. Orang-orang yang tergolong dalam Kasta Sudra adalah mereka yang
dianggap sebagai orang buangan. Kaum Sudra ini diduga datang ke Indonesia bersama kaum
Waisya atau Ksatria. Pendapat dari Van Feber adalah bahwa :
Orang India berkasta Sudra (pekerja kasar) menginginkan kehidupan yang lebih baik
daripada mereka tinggal menetap di India sebagai pekerja kasar bahkan tak jarang mereka
dijadikan sebagai budak para majikan sehingga mereka pergi ke daerah lain bahkan ada
yang sampai ke Indonesia.
Orang berkasta sudra yang berada pada kasta terendah di India tidak jarang dianggap
sebagai orang buangan sehingga mereka meninggalkan daerahnya pergi ke daerah lain
bahkan keluar dari India hingga ada yang sampai ke Indonesia agar mereka mendapat
kedudukan yang lebih baik dan lebih dihargai.
Mereka menetap dan menyebarkan ajaran agama mereka pada masyarakat pribumi
hingga terjadilah perkembangan yang signifikan terhadap arah kepercayaan mereka yang
awalnya animisme dan dinamisme menjadi percaya pada ajaran Hindu dan Budha.
Kelebihan:
o Semua orang yang ada pada kasta Sudra pasti ingin memperbaiki hidup, salah
satu caranya adalah pergi ke tempat lain seperti Indonesia.
Kelemahan:
o Biasanya jika ada budak maka ada tuannya, maka pastilah ada kasta yang lebih
tinggi dari sudra yang membawa kasta sudra ke Indonesia.
o Teori Arus Balik (Nasional) dikemukakan oleh F.D.K Bosch. Teori ini menjelaskan
bahwa penyebaran Hindu Budha di Indonesia terjadi karena peran aktif masyarakat
Indonesia di masa silam. Menurut Bosch, pengenalan Hindu Budha pertama kali memang
dibawa oleh orang-orang India. Mereka menyebarkan ajaran ini pada segelintir orang,
hingga pada akhirnya orang-orang tersebut tertarik untuk mempelajari kedua agama ini
secara langsung dari negeri asalnya, India. Mereka berangkat dan menimba ilmu di sana
dan sekembalinya ke Indonesia, mereka kemudian mengajarkan apa yang diperolehnya
pada masyarakat Nusantara lainnya. Menurutnya, pada masa itu, telah terbentuk
cendekiawan yang disebut “Clerk”. Proses akulturasi antara budaya Indonesia dan India
disebutnya sebagai proses penyuburan.
o Teori arus balik atau disebut teori nasional ini muncul dikemukakan JC. Van Leur,
dimana sebagai dasar berpikir adalah hubungan antara dunia maritim dengan
perdagangan. Hubungan dagang Indonesia dengan India yang meningkat diikuti
brahmana untuk menyebarkan agama Hindu dan Budha. Orang- orang Indonesia yang
tertarik ajaran itu, mengirimkan kaum terpelajar ke India untuk berziarah dan menuntut
ilmu. Setelah cukup lama, mereka kembali ke Indonesia dan ikut menyebarkan agama
Hindu- Budha dengan menggunakan bahasa sendiri. Dengan demikian ajaran agama
lebih cepat diterima bangsa Indonesia.
Kelebihan:
o Ada kemungkinaan para bangsawan di Indonesia pergi ke India untuk belajar agama
Hindu-Budha dan budaya, tujuanya agar dengan ilmu yang mereka dapat dari India, para
bangsawan bisa membuat kekuasaan di Indonesia dengan mencotoh kebudayan Hindu-
Budha.
o Prasasti Nalanda yang menyebutkan bahwa Balaputradowa (raja Sriwijaya) telah
merninta kepada raja di India untuk membangun wihara di Nalanda sebagai tempat untuk
menimba ilmu para tokoh dan Sriwijaya, lalu permintaan raja Sriwijaya itu dikabulkan.
Setelah mereka pulang ke Indonesia, mereka menyebarkan pengaruh Hindu-Buddha di
Indonesia.
o Kerajaan Kalingga di India pada abad ke-3 ditaklukkan Raja Ashoka dari Arya
sehingga banyak warganya yang bermigrasi ke Indonesia.
Kelemahan:
o Kemungkinaan orang Indonesia untuk belejar agama Hindu-Budha ke India sulit, karena
pada masa itu orang Indonesia masih bersifat pasif.
KERAJAAN KUTAI
Letak Kerajaan Kutai berada di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur yang
merupakan Kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Ditemukannya tujuh buah batu tulis yang disebut
Yupa yang mana ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta tersebut diperkirakan
berasal dari tahun 400 M (abad ke-5). Prasasti Yupa tersebut merupakan prasasti tertua yang
menyatakan telah beridirinya suatu Kerajaan Hindu tertua yaitu Kerajaan Kutai.
Tidak banyak informasi mengenai Kerajaan Kutai. Hanya 7 buah prasasti Yupa terseubt
lah sumbernya. Penggunaan nama Kerajaan Kutai sendiri ditentukan oleh para ahli sejarah
dengan mengambil nama dari tempat ditemukannya prasasti Yupa tersebut.
Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para
Brahmana atas kedermawanan Raja Mulawarman. Dituliskan bahwa Raja Mulawarman, Raja
yang baik dan kuat yang merupakan anak dari Aswawarman dan merupakan cucu dari Raja
Kudungga, telah memberikan 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana.
Dari prasati tersebut didapat bawah Kerajaan Kutai pertama kali didirikan oleh Kudungga
kemudian dilanjutkan oleh anaknya Aswawarman dan mencapai puncak kejayaan pada masa
Mulawarman (Anak Aswawarman). Menurut para ahli sejarah nama Kudungga merupakan nama
asli pribumi yang belum tepengaruh oleh kebudayaan Hindu. Namun anaknya, Aswawarman
diduga telah memeluk agama Hindu atas dasar kata 'warman' pada namnya yang merupakan kata
yang berasal dari bahasa Sanskerta.
Tidak banyak informasi mengenai Kerajaan Kutai yang temukan. Tetapi menurut prasasti
Yupa, puncak kejayaan Kerajan Kutai berada pada masa kepemerintahan Raja Mulawarman.
Pada masa pemerintahan Mulawarman, kekuasaan Kerajaan Kutai hampir meliputi seluruh
wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kerajaan Kutai pun hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas
dalam peperangan melawan Aji Pangeran Sinum Panji yang merupakan Raja dari Kerajaan Kutai
Kartanegara. Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan dua buah kerajaan
yang berbeda. Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada abad ke-13 di Kutai Lama. Terdapatnya
dua kerajaan yang berada di sungai Mahakam tersebut menimbulkan friksi diantara keduanya.
Pada abad ke-16 terjadi peperangan diantara kedua Kerajaan tersebut.
Berikut di bawah ini merupakan daftar raja-raja yang pernah memimpin Kerjaan Kutai,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)
2. Maharaja Aswawarman (anak Kundungga)
Melihat bahwa letak Kerajaan Kutai pada jalur perdagangan dan pelayaran antara Barat
dan Timur, maka aktivitas perdagangan menjadi mata pencaharian yang utama. Rakyat Kutai
sudah aktif terlibat dalam perdagangan internasional, dan tentu saja mereka berdagang pula
sampai ke perairan Laut Jawa dan Indonesia Timur untuk mencari barang-barang dagangan yang
laku di pasaran Internasional.
Dalam hal kebudayaan sendiri ditemukan dalam salah satu prasasti Yupa menyebutkan
suatu tempat suci dengan nama "Wapakeswara" (tempat pemujaan Dewa Siwa). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kutai memeluk agama Siwa.
KERAJAAN TARUMANEGARA
Menurut Naskah Wangsakerta, pada abad ke-4 Masehi, pulau dan beberapa wilayah
Nusantara lainnya didatangi oleh sejumlah pengungsi dari India yang mencari perlindungan
akibat terjadinya peperangan besar di sana. Para pengungsi itu umumnya berasal dari daerah
Kerajaan Palawa dan Calankayana di India, pihak yang kalah dalam peperangan melawan
Kerajaan Samudragupta (India).
Salah satu dari rombongan pengungsi Calankayana dipimpin oleh seorang Maharesi yang
bernama Jayasingawarman. Setelah mendapatkan persetujuan dari raja yang berkuasa di barat
Jawa (Dewawarman VIII, raja Salakanagara), maka Jayasingawarman membuka tempat
pemukiman baru di dekat sungai Citarum. Pemukimannya oleh Jayasingawarman diberi nama
Tarumadesya (desa Taruma).
Sepuluh tahun kemudian desa ini banyak didatangi oleh penduduk dari desa lain,
sehingga Tarumadesya menjadi besar. Akhirnya dari wilayah setingkat desa berkembang menjadi
setingkat kota (Nagara). Semakin hari, kota ini semakin menunjukan perkembangan yang pesat,
karena itulah Jayasingawarman kemudian membentuk sebuah Kerajaan yang bernama
Tarumanagara.
Prasasti Ciareteun
2. Prasasti Pasri Koleangkak yang ditemukan di perkebunan Jambu. Parsasti ini juga
sering disebut sebagai Prasasti Jambu. Prasasti Jambu berisi "Yang termashur serta setia
kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang
memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-
musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil
menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan
(kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya."
7. Prasasti Cidanghiang atau Lebak yang ditemukan di kampung Lebak, pinggir Sungai
Cidanghiang, Pandeglang-Banten. Prasasti Didanghiang berisi “Inilah tanda
keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguh-sungguhnya dari raja dunia,
yang mulia Purnawarman, yang menjadi panji sekalian raja”.
Selain dari prasasti, terdapat juga suber-sumber lain yang berasal dari Cina, diantarnya:
1. Berita dari Fa-Hien, seorang musafir Cina (pendeta Budha) yang terdampar di Yepoti
(Yawadhipa/Jawa) tepatnya Tolomo (Taruma) pada tahun 414. Dalam catatannya di
sebutkan rakyat Tolomo sedikit sekali memeluk Budha yang banyak di jumpainya adalah
Brahmana dan Animisme.
2. Berita dari Dinasti Soui yang menyatakan bahwa pada tahun 528 dan 535 datang utusan
dari negeri Tolomo (Taruma) yang terletak disebelah selatan.
3. Berita dari Dinasti Tang Muda yang menyebutkan tahun 666 dan tahun 669 M datang
utusan dari Tolomo.
Selama berdirinya Kerajaan Tarumanagara dari abad ke-4 sampai abad ke-7 Masehi,
kerajaan tersebut pernah dipimpin oleh 12 orang raja, diantaranya:
Dari segi kebudayaan sendiri, Kerajaan Tarumanagara bisa dikatakan kebudayaan mereka
sudah tinggi. Terbukti dengan penggalian sungai untuk mencegah banjir dan sebagai saluran
irigasi untuk kepentingan pertanian. Terlihat pula dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf pada
prasasti yang ditemukan, menjadi bukti kebudayaan masyarakat pada saat itu tergolong sudah
maju.
Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya yang sering disebut
Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan gununggunung, seperti Gunung
Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung
Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai, seperti Sungai
Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini
sangat subur.
Kerajaan Mataram Kuno atau juga yang sering disebut Kerajaan Medang merupakan
kerajaan yang bercorak agraris. Tercatat terdapat 3 Wangsa (dinasti) yang pernah menguasai
Kerjaan Mataram Kuno yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra dan Wangsa Isana. Wangsa
Sanjaya merupakan pemuluk Agama Hindu beraliran Syiwa sedangkan Wangsa Syailendra
merupakan pengikut agama Budah, Wangsa Isana sendiri merupakan Wangsa baru yang
didirikan oleh Mpu Sindok.
Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya yang juga merupakan pendiri
Wangsa Sanjya yang menganut agama Hindu. Setelah wafat, Sanjaya digantikan oleh Rakai
Panangkaran yang kemudian berpindah agama Budha beraliran Mahayana. Saat itulah Wangsa
Sayilendra berkuasa. Pada saat itu baik agama Hindu dan Budha berkembang bersama di
Kerajaan Mataram Kuno. Mereka yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara,
dan mereka yang menganut agama Buddha berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.
Wangsa Sanjaya berakhir pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Berakhirnya
Kepemerintahan Sumba Dyah Wawa masih diperdebatkan. Terdapat teori yang mengatakan
bahwa pada saat itu terjadi becana alam yang membuat pusat Kerajaan Mataram Hancur. Mpu
Sindok pun tampil menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa sebagai raja dan memindahkan pusat
Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dan membangun wangsa baru bernama Wangsa Isana.
Pusat Kerajaan Mataram Kuno pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah
Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan Rakai Pikatan
dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung sudah pindah
lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah Wawa diperkirakan
kembali ke daerah Mataram. Mpu Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah
Jawa Timur sekarang
Hancurnya Kerajaan Mataram Kuno dipicu permusuhan antara Jawa dan Sumatra yang
dimulai saat pengusiaran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa yang kemudian
menjadi Raka Sriwijaya menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua
raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu,
Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana
berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang
menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur)
yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Runtuhnya Kerajaan Mataram ketika Raja Dharmawangsa Teguh yang merupakan cicit
Mpu Sindok memimpin. Waktu itu permusuhan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya sedang
memanas. Tercatat Sriwijaya pernah menggempur Mataram Kuno tetapi pertempuran tersebut
dimenangkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa juga pernah melayangkan serangan ke ibu
kota Sriwijaya. Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta
perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang
diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa
tewas.
Terdapat dua sumber utama yang menunjukan berdirnya Kerajaan Mataram Kuno, yaiut
berbentuk Prasasti dan Candi-candi yang dapat kita temui samapi sekarang ini. Adapun untuk
Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan beberapa prasasti, diantaranya:
1. Prasasti Canggal, ditemukan di halaman Candi Guning Wukir di desa Canggal berangka
tahun 732 M. Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta yang
isinya menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja
oleh Raja Sanjaya dan disamping itu juga diceritakan bawa yang menjadi raja
sebelumnya adalah Sanna yang digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara
perempuan Sanna).
2. Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun 778M, ditulis
dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan
pendirian bangunan suci untuk dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh Raja Pangkaran
atas permintaan keluarga Syaelendra dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan
untuk para Sanggha (umat Budha).
3. Prasasti Mantyasih, ditemukan di Mantyasih Kedu, Jawa Tengah berangka 907M yang
menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut adalah daftar silsilah raja-raja
Mataram yang mendahului Rakai Watukura Dyah Balitung yaitu Raja Sanjaya, Rakai
Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, rakai
Kayuwangi dan Rakai Watuhumalang.
4. Prasasti Klurak, ditemukan di desa Prambanan berangka 782M ditulis dalam huruf
Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan Acra Manjusri oleh
Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.
Selain Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno juga banyak meninggalkan bangunan candi
yang masih ada hingga sekarang. Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi
Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi
Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi
Sojiwan, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur.
Selama berdiri, Kerajaan Mataram Kuno pernah dipimpin oleh raja-raja dinataranya
sebagai berikut:
8. Rakai Watuhumalang
15. Makuthawangsawardhana
16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Mataram Kuno berakhir
Kehidupan ekonomi masyarakat bertumpu pada pertanian. Kondisi alam bumi Mataram
yang tertutup dari dunia luar sulit untuk mengembangkan aktivitas perekonominan dengan pesat.
Bumi Mataram diperintah oleh dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra.
Dinasti Sanjaya beragama Hindu dengan pusat kekuasaannya di utara dengan hasil budayanya
berupa candi-candi seperti Gedong Songo dan Dieng. Dinasti Syailendra beragama Bundha
dengan pusat kekuasaannya di daerah selatan, dan hasil budayanya dengan mendirikan candi-
candi seperti candi Borobudur, Mendut, dan Pawon.
Semula terjadi perebutan kekuasan namun kemudian terjalin persatuan ketika terjadi
perkawinan antara Pikatan (Sanjaya) yang beragama Hindu dengan Pramodhawardhani
(Syailendra) yang beragama Buddha. Sejak itu agama Hindu dan Buddha hidup berdampingn
secara damai.
Kerajaan Mataram Dinasti Isana ~ Pada abad ke-10 pusat pemerintahan Kerajaan
Mataram Kuno di Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur yang tentunya dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Pendapat lama menyatakan karena bencana alam, yakni meletusnya gunung
berapi dan akibat banyak tenaga laki-laki yang dipekerjakan untuk membuat candi sehingga
sawah menjadi terbengkalai.
Pendapat baru menyatakan adanya dua faktorpenyebabnya. Pertama, keadaan alam Bumi
Mataram tertutup secara alamiah dari dunia luar sehingga sulit untuk berkembang. Sebaliknya,
alam Jawa Timur lebih terbuka untuk mengembangkan aktivitas perdagangan dengan dunia luar.
Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas dapat dipakai sebagai sarana perhubungan dan
perdagangan antara pedalaman dan pantai. Di samping itu, tanah di Jawa Timur masih subur
dibandingkan dengan Jawa Tengah yang sudah lama dimanfaatkan. Kedua, masalah politik,
yakni untuk menghindarkan dari serangan Sriwijaya. Hal itu disebabkan setelah Dinasti
Syailendra terdesak dari Jawa Tengah dan menetap di Sumatra merupakan ancaman yang serius
bagi Dinasti Sanjaya.
Kerajaan baru yang dipindahkan Empu Sindok dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tetap
bernama Mataram. Hal itu seperti yang disebutkan dalam Prasasti Paradah yang berangka tahun
865 Saka (943 M) dan Prasasti Anjukladang yang berangka tahun 859 Saka (973 M). Letak ibu
kota kerajaannya tidak ada sumber yang pasti menyebutkan. Berdasarkan Prasasti Paradah dan
Prasasti Anjukladang disebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur adalah
Watugaluh. Kemungkinan ibu kota itu berada di Desa Watugaluh sekarang, dekat Jombang di
tepi Sungai Brantas. Akan tetapi, berdasarkan Prasasti Taryyan yang berangka tahun 851 Saka
(929 M) disebutkan bahwa ibu kota Mataram Kuno di Jawa Timur adalah Tomwlang.
Diperkirakan nama Tomwlang identik dengan nama desa di Jombang (Jawa Timur). Nah, pada
kesempatan kali ini Zona Siswa akan menghadirkan penjelasan singkat mengenai Kerajaan
Mataram Dinasti Isan. Semoga bermanfaat.
A. Kehidupan Politik
Pemindahan kekuasaan ke Jawa Timur dilakukan oleh raja Empu Sendok, dan
membentuk dinasti baru yakni Isana. Nama Isana diambil dari gelar resmi Empu Sendok yakni
Sri Maharaja Rake Hino Sri Isanawikramatunggadewa. Wilayah kekuasaan Empu Sendok
meliputi Nganjuk di sebelah barat, Pasuruan di timur, Surabaya di utara dan Malang di selatan.
Empu Sendok memegang pemerintahan dari tahun 929–947 dengan pusat pemerintahannya di
Watugaluh. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana dengan melakukan berbagai usaha untuk
kemakmuran rakyat. Di antaranya ialah membuat bendungan-bendungan untuk perairan, dan
memberikan hadiah-hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan-bangunan suci. Di samping itu
juga memerintahkan untuk mengubah sebuah kitab agama Buddha aliran Tantrayana yang diberi
judul Sang Hyang Kamahayanikan.
Setelah Empu Sendok meninggal kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama Sri
Isanatunggawijaya. Putri ini kawin dengan Lokapala, dari pernikahannya lahirlah seorang putra
yang bernama Makutawangsawardana yang meneruskan takhta ibunya. Setelah
Makutawangsawardana meninggal yang menggantikan ialah Dharmawangsa (990–1016). Dalam
pemerintahannya ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya yang hidup dari pertanian
dan perdagangan. Pada saat itu pusat perdagangan di Indonesia dikuasai oleh Sriwijaya, maka
Dharmawangsa berusaha untuk menyerang Sriwijaya dengan tujuan untuk mengusai daerah
Sriwijaya bagian selatan (Selat Sunda). Akan tetapi, selang beberapa tahun kemudian Sriwijaya
bangkit mengadakan serangan balasan. Dalam hal ini Sriwijaya mengadakan kerja sama dengan
kerajaan Worawari (kerajaan asal di Jawa). Serangan Worawari sangat tepat, yakni ketika
Dharmawangsa melangsungkan upacara pernikahan putrinya dengan Airlangga (1016).
Dharmawangsa beserta seluruh pembesar istana mengalami pralaya, tetapi Airlangga berhasil
meloloskan diri beserta pengiringnya yang setia Narotama, menuju hutan Wonogiri diringi juga
oleh para pendeta.
Selama tiga tahun (1016-1019) Airlangga digembleng lahir dan batin oleh para pendeta.
Atas tuntutan rakyat dan pendeta, Airlangga bersedia menjadi raja menggantikan
Dharmawangsa. Pada tahun 1019, Airlangga dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri Maharaja
Rake Halu Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Tugas Airlangga
ialah menyatukan kembali daerah kekuasaan semasa Dharmawangsa dan usaha ini dapat berhasil
dengan baik. Ibukota kerajaan pada tahun 1031 di Wutan Mas, kemudian dipindahkan ke
Kahuripan pada tahun 1037. Selanjutnya Airlangga melakukan pembangunan di segala bidang
demi kemakmuran rakyatnya.
Pada tahun 1042 Airlangga mengundurkan diri dari takhta dan menjadi seorang petapa
dengan nama Jatinindra atau Resi Jatayu. Sebelumnya Airlangga menobatkan putrinya, Sri
Sanggramawijaya namun menolak dan ia juga menjadi seorang petapa dengan nama Dewi Kili
Suci. Akhirnya kerajaan dibagi menjadi dua yakni Jenggala dengan ibukota Kahuripan dan
Panjalu yang dikenal dengan nama Kediri. Jenggala diperintah oleh Gorasakan, sedangkan
Kediri oleh Samarawijaya ( keduanya terlahir dari selir).
Secara keseluruhan, Kerajaan Mataram (Dinasti Isana) dipimpin oleh raja-raja sebagai berikut:
1. Empu Sindok (929-947) dengan gelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana
Wikramadharmattunggadewa
2. Sri Isanatunggawijaya (Putri Empu Sindok)
3. Makutwangsawardhana (Anak dari pernikahan Sri Isanatunggawijaya dengan Raja
Lokapala)
4. Dharmawangsa (991-1016) dengan gelar Sri Dharmawangsa Teguh
Anantawikramatunggadewa
5. Airlangga dengan gelar Sri Maharaja Rakai Halu Lokeswara Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramottunggadewa
B. Kehidupan Ekonomi
Mpu Sindok memerintah dengan bijaksana. Hal ini bisa dilihat dari usahausaha yang ia
lakukan, seperti Mpu Sindok banyak membangun bendungan dan memberikan hadiah-hadiah
tanah untuk pemeliharaan bangunan suci untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya. Begitu pula
pada masa pemerintahan Airlangga, ia berusaha memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh di muara
Sungai Berantas dengan memberi tanggul-tanggul untuk mencegah banjir. Sementara itu
dibidang sastra, pada masa pemerintahannya telah tercipta satu hasil karya sastra yang terkenal,
yaitu karya Mpu Kanwa yang berhasil menyusun kitab Arjuna Wiwaha. Pada masa Kerajaan
Kediri banyak informasi dari sumber kronik Cina yang menyatakan tentang Kediri yang
menyebutkan Kediri banyak menghasilkan beras, perdagangan yang ramai di Kediri dengan
barang yang diperdagangkan seperti emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Dari
keterangan tersebut, kita dapat menilai bahwa masyarakat pada umumnya hidup dari pertanian
dan perdagangan.
Dalam bidang toleransi dan sastra, Mpu Sindok mengi inkan penyusunan kitab
Sanghyang Kamahayamikan (Kitab Suci Agama Buddha), padahal Mpu Sindok sendiri
beragama Hindu. Pada masa pemerintahan Airlangga tercipta karya sastra Arjunawiwaha yang
dikarang oleh Mpu Kanwa. Begitu pula seni wayang berkembang dengan baik, ceritanya diambil
dari karya sastra Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ulang dan dipadukan dengan budaya
Jawa. Raja Airlangga merupakan raja yang peduli pada keadaan masyarakatnya. Hal itu terbukti
dengan dibuatnya tanggul-tanggul dan waduk di beberapa bagian di Sungai Berantas untuk
mengatasi masalah banjir. Pada masa Airlangga banyak dihasilkan karya-karya sastra, hal
tersebut salah satunya disebabkan oleh kebijakan raja yang melindungi para seniman, sastrawan
dan para pujangga, sehingga mereka dengan bebas dapat mengembangkan kreativitas yang
mereka miliki.
Pada kronik-kronik Cina tercatat beberapa hal penting tentang Kediri yaitu:
1. Rakyat Kediri pada umumnya telah memiliki tempat tinggal yang baik, layak huni dan
tertata dengan rapi, serta rakyat telah mampu untuk berpakaian dengan baik.
2. Hukuman di Kediri terdapat dua macam yaitu denda dan hukuman mati bagi perampok.
3. Kalau sakit rakyat tidak mencari obat, tetapi cukup dengan memuja para dewa.
4. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang ada di nusantara. Kerajaan
yang dikenal dengan kekuatan maritimnya tersebut berhasil menguasai pulau Sumatra,
Jawa, Pesisir Kalimantan, Kamboja, Thailand Selatan, dan Semenanjung Malaya yang
kemudian menjadikan Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan yang berhasil menguasai
perdagangan di Asia-tenggara pada masa itu.
5. Kata 'Sriwijaya' berasal dari dua suku kata yaitu 'Sri' yang berarti bercahaya atau
gemilang dan 'Wijaya' yang berarti kemenangan. Jadi Sriwijaya berarti kemenangan yang
gemilang. Sriwijaya juga disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa
menyebut Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan
Pali kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebut Zabaj atau
Sribuza dan Khmer menyebut Malayu. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan
keterangan tentang ada 3 pulau Sabadeibei yang berkaitan dengan Sriwijaya.
KERAJAAN SRIWIJAYA
Tidak banyak bukti sejarah yang menerangkan kapan berdirinya Kerajaan Sriwijaya.
Bukti tertua datangnya dari berita Cina yaitu pada tahun 682 M terdapat seorang pendeta
Tiongkok bernama I-Tsing yang ingin belajar agama Budha di India, singgah terlebih dahulu di
Sriwijaya untuk mendalami bahasa Sanskerta selama 6 Bulan. Tercatat juga Kerajaan Sriwijaya
pada saat itu dipimpin oleh Dapunta Hyang.
Selain berita dari luar, terdapat juga beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya,
diantaranya adalah prasasti Kedukan Bukit (605S/683M) di Palembang. Isi dari prasasti terseubt
adalah Dapunta Hyang mengadakan ekspansi 8 hari dengan membawa 20.000 tentara, kemudian
berhasil menaklukkan dan menguasai beberapa daerah. Dengan kemenangan itu Sriwijaya
menjadi makmur. Dari kedua bukti tertua di atas bisa disimpulkan Kerajaan Sriwijaya berdiri
pada abad ke-7 dengan raja pertamanya adalah Dapunta Hyang.
Masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya berada pada abad 9-10 Masehi dimana Kerajaan
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara. Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa,
Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka
dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan
perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya
mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar
Tiongkok, dan India.
C. Keruntuhan Sriwijaya
1. Pada tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, soerang dari dinasti Cholda di Koromande,
India Selatan. Dari dua serangan tersebut membuat luluh lantah armada perang Sriwijaya
dan membuat perdagangan di wilayah Asia-tenggara jatuh pada Raja Chola. Namun
Kerajaan Sriwijaya masih berdiri.
3. Melemahnya Sriwijaya juga diakibatkan oleh faktor ekonomi. Para pedagang yang
melakukan aktivitas perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang karena
daerha-daerah strategis yang dulu merupakan daerah taklukan Sriwijaya jatuh ke tangan
raja-raja sekitarnya.
Kerajaan Sriwijaya pun akhirnya runtuh di tangan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13.
Ada dua jenis sumber sejarah yang menggambarkan keberadaan Kerajaan Sriwijaya,
yaitu Sumber berita asing dan prasasti.
Sumber Berita Asing
1. Berita dari Cina
2. Berita Arab
Sumber Prasasti
Selain dari sumber berita asing, keberadaan Kerajaan Sriwijaya juga tercatat pada
prasasti-prasasti yang pernah ditinggalkan, diantaranya:
2. Prasasti Talang Tuo (606 S/684M) di sebelah barat Palembang. Isinya tentang pembuatan
sebuah Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga untuk kemakmuran semua
makhluk.
4. Prasasti Karang Birahi (608 S/686 M) di Jambi. Keduanya berisi permohonan kepada
Dewa untuk keselamatan rakyat dan kerajaan Sriwijaya.
5. Prasasti Talang Batu (tidak berangka tahun) di Palembang. Isinya kutukan-kutukan
terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan melanggar perintah raja.
6. Prasasti Palas di Pasemah, Lampung Selatan. Isinya Lampung Selatan telah diduduki
oleh Sriwijaya.
7. Prasasti Ligor (679 S/775 M) di tanah genting Kra. Isinya Sriwijaya diperintah oleh
Darmaseta.
E. Raja-raja Sriwijaya
Dari abad ke-7 sampai ke-13 Masehi, Kerajaan Sriwijaya pernah di pimpin oleh raja-raja
di bawah ini, yaitu:
1. Dapunta Hyang Sri Jayanasa
2. Sri IndravarmanChe-li-to-le-pa-mo
3. Rudra VikramanLieou-t’eng-wei-kong
4. Maharaja WisnuDharmmatunggadewa
5. Dharanindra Sanggramadhananjaya
6. Samaragrawira
7. Samaratungga
8. Balaputradewa
9. Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
13. Sumatrabhumi
14. Sangramavijayottungga
15. Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
16. Rajendra II
Letak Sriwijaya sangat strategis di jalur perdagangan antara India-Cina. Di samping itu
juga berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi perdagangan di Asia Tenggara,
menjadikan Sriwijaya berhasil menguasai perdagangan nasional dan internasional. Penguasaan
Sriwijaya atas Selat Malaka mempunyai arti penting terhadap perkembangan Sriwijaya sebagai
negara maritim, sebab banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum,
perbekalan makanan dan melakukan aktivitas perdagangan.
Dalam bidang kebudayaan khususnya keagamaan, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat
agama Buddha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Buddha yang berkembang
di Sriwijaya ialah Agama Buddha Mahayana, salah satu tokohnya ialah Dharmakirti. Para
peziarah agama Buddha dalam pelayaran ke India ada yang singgah dan tinggal di Sriwijaya. Di
antaranya ialah I'tsing.
KERAJAAN SINGASARI
Kerajaan Singasari ~ Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok. Asal usul Ken Arok
tidak jelas. Menurut kitab Pararaton, Ken Arok adalah anak seorang wanita tani dari Desa
Pangkur (sebelah timur Gunung Kawi). Para ahli sejarah menduga ayah Ken Arok seorang
pejabat kerajaan, mengingat wawasan berpikir, ambisi, dan strateginya cukup tinggi. Hal itu
jarang dimiliki oleh seorang petani biasa. Pada mulanya Ken Arok hanya merupakan seorang
abdi dari Akuwu Tumapel bernama Tunggul Ametung. Ken Arok setelah mengabdi di Tumapel
ingin menduduki jabatan akuwu dan sekaligus memperistri Ken Dedes (istri Tunggul Ametung).
Dengan menggunakan tipu muslihat yang jitu, Ken Arok dapat membunuh Tunggul Ametung.
Setelah itu, Ken Arok mengangkat dirinya menjadi akuwu di Tumapel dan memperistri Ken
Dedes yang saat itu telah mengandung. Ken Arok kemudian mengumumkan bahwa dia adalah
penjelmaan Dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Hal itu dimaksudkan agar Ken Arok dapat
diterima secara sah oleh rakyat sebagai seorang pemimpin.
Tumapel pada waktu itu menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Kediri yang diperintah oleh
Raja Kertajaya atau Dandang Gendis. Ken Arok ingin memberontak, tetapi menunggu saat yang
tepat. Pada tahun 1222 datanglah beberapa pendeta dari Kediri untuk meminta perlindungan
kepada Ken Arok karena tindakan yang sewenang-wenang dari Raja Kertajaya. Ken Arok
menerima dengan senang hati dan mulailah menyusun barisan, menggembleng para prajurit, dan
melakukan propaganda kepada rakyatnya untuk memberontak Kerajaan Kediri.
Setelah segala sesuatunya siap, berangkatlah sejumlah besar prajurit Tumapel menuju
Kediri. Di daerah Ganter terjadilah peperangan dahsyat. Semua prajurit Kediri beserta rajanya
dapat dibinasakan. Ken Arok disambut dengan gegap gempita oleh rakyat Tumapel dan Kediri.
Selanjutnya, Ken Arok dinobatkan menjadi raja. Seluruh wilayah bekas Kerajaan Kediri
disatukan dengan Tumapel yang kemudian disebut Kerajaan Singasari. Pusat kerajaan
dipindahkan ke bagian timur, di sebelah Gunung Arjuna.
A. Kehidupan Politik
Kehidupan politik pada masa Kerajaan Singasari dapat kita lihat dari raja-raja yang
pernah memimipinya. Berikut ini adalah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Singasari.
Pendiri Kerajaan Singasari ialah Ken Arok yang menjadi Raja Singasari dengan gelar Sri
Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari
menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra
(Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227). Pada tahun
1227 Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok
dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa– Buddha.
2. Anusapati (1227–1248).
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan
Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak
melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam.
Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra
Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam
sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa ( tempat kediamanan Tohjoyo) untuk
mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara
tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung
menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi
Kidal.
3) Tohjoyo (1248)
Dengan meninggalnya Anusapati maka takhta Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo.
Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama
Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para
pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki
singgasana.
4) Ranggawuni (1248–1268)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 dengan gelar Sri Jaya
Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang diberi kedudukan
sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti. Ppemerintahan Ranggawuni membawa
ketenteraman dan kesejahteran rakyat Singasari. Pada tahun 1254, Wisnuwardana mengangkat
putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan maksud
mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268
Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha
Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.
5) Kertanegara (1268–-1292).
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita
untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri
Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri,
yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat
mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan
yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati
di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja.
Dengan gugurnya Kertanegara pada tahun 1292, Kerajaan Singasari dikuasai oleh
Jayakatwang. Ini berarti berakhirlah kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang
dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa-Buddha (Bairawa) di Candi
Singasari. Sedangkan arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog, yang sekarang
berada di Taman Simpang, Surabaya.
B. Kehidupan Ekonomi
Tidak banyak sumber prasasti dan berita dari negeri asing yang dapat memberi
keterangan secara jelas kehidupan perekonomian rakyat Singasari. Akan tetapi, berdasarkan
analisis bahwa pusat Kerajaan Singasari berada di sekitar Lembah Sungai Brantas dapat diduga
bahwa rakyat Singasari banyak menggantungkan kehidupan pada sektor pertanian. Keadaan itu
juga didukung oleh hasil bumi yang melimpah sehingga menyebabkan Raja Kertanegara
memperluas wilayah terutama tempat-tempat yang strategis untuk lalu lintas perdagangan.
Keberadaan Sungai Brantas dapat juga digunakan sebagai sarana lalu lintas perdagangan
dari wilayah pedalaman dengan dunia luar. Dengan demikian, perdagangan juga menjadi andalan
bagi pengembangan perekonomian Kerajaan Singasari.
C. Kehidupan Sosial-Budaya
Peninggalan kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain berupa prasasti, candi, dan
patung. Candi peninggalan Kerajaan Singasari, antara lain Candi Jago, Candi Kidal, dan Candi
Singasari. Adapun patung-patung yang berhasil ditemukan sebagai hasil kebudayaan Kerajaan
Singasari, antara lain Patung Ken Dedes sebagai Dewi Prajnaparamita lambang dewi kesuburan
dan Patung Kertanegara sebagai Amoghapasa.
Rakyat Singasari mengalami pasang surut kehidupan sejak zaman Ken Arok sampai masa
pemerintahan Wisnuwardhana. Pada masa-masa pemerintahan Ken Arok, kehidupan sosial
masyarakat sangat terjamin. Kemakmuran dan keteraturan kehidupan sosial masyarakat
Singasari kemungkinan yang menyebabkan para brahmana meminta perlindungan kepada Ken
Arok ataskekejaman rajanya.
Akan tetapi, pada masa pemerintahan Anusapati kehidupan masyarakat mulai terabaikan. Hal itu
disebabkan raja sangat gemar menyabung ayam hingga melupakan pembangunan kerajaan.
Dengan kerja keras dan usaha yang tidak henti-henti, cita-cita Kertanegara ingin
menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah naungan Singasari tercapai juga walaupun
belum sempurna. Daerah kekuasaannya, meliputi Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Melayu,
Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
KERAJAAN KEDIRI
Sejarah Kerajaan Kediri ~ Pembagian Kerajaan Mataram (Disnati Isana) menjadi Jenggala
(Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab
Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Seperti telah disebutkan dalam
pembahasan terdahulu tentang Kerajaan Mataram Dinasti Isana, begitu Raja Airlangga wafat,
terjadilah peperangan antara kedua bersaudara tersebut. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan
diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap
memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha. Sejak saat itulah berdiri suatu
kerajaan bernama Kediri. Nah, pada kesempatan kali ini Zona Siswa akan menghadirkan
kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya pada masa kerajaan kediri. Semoga bermanfaat.
A. Kehidupan Politik
Keadaan politik pemerintahan dan keadaan masyarakat di Kediri ini dicatat dalam berita
dari Cina, yaitu dalam kitab Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 dan
pada kitab Chu-fan-chi yang disusun oleh Chaujukua pada tahun 1225. Kitab itu melukiskan
keadaan pemerintahan dan masyarakat zaman Kediri. Kitab itu menggambarkan masa
pemerintahan Kediri termasuk stabil dan pergantian takhta berjalan lancar tanpa menimbulkan
perang saudara. Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh tiga orang putranya
dan empat pejabat kerajaan (rakryan), ditambah 300 pejabat sipil (administrasi) dan 1.000
pegawai rendahan. Prajuritnya berjumlah 30.000 orang dengan mendapat gaji dari kerajaan. Raja
berpakaian sutra, memakai sepatu kulit, perhiasan emas, dan rambutnya disanggul ke atas. Jika
bepergian, raja naik gajah atau kereta dengan dikawal oleh 500–700 prajurit. Pemerintah sangat
memperhatikan keadaan pertanian, peternakan, dan perdagangan. Pencuri dan perampok jika
tertangkap dihukum mati. Setelah 58 tahun mengalami masa suram, Kerajaan Panjalu (Kediri)
bangkit lagi sekitar tahun 1116. Raja yang memerintah, antara lain sebagai berikut.
Raja Bameswara pertama adalah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara
Sakalabhuwana Sarwwaniwaryya Wiryya Parakrama Digjayattunggadewa. Hal itu disebutkan
pada Prasasti Pandlegan I yang berangka tahun 1038 Saka (1116 Masehi).
Prasasti lainnya adalah Prasasti Karang Reja berangka tahun 1056 Saka (1136 Masehi),
tetapi tidak jelas siapa yang mengeluarkannya. Apakah dikeluarkan oleh Bameswara atau
Jayabaya? Lencana kerajaan yang digunakan adalah tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang
disebut Candrakapala. Bameswara diperkirakan memerintah hingga tahun 1134 M.
2. Raja Jayabaya
Pengganti Raja Bameswara adalah Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja Sri
Warmmeswara Madhusudana Wataranindita Parakrama Digjayottunggadewanama
Jayabhayalancana. Ia memerintah pada tahun 1057 Saka (1135 M).
Salah satu prasastinya yang menarik adalah Prasasti Talan berangka tahun 1508 Saka (1136 M)
yang berisi pemindahan Prasasti Ripta (tahun 961 Saka) menjadi Prasasti Dinggopala oleh Raja
Jayabaya. Dalam prasasti itu, ia disebutkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
Lencana kerajaan yang dipakai adalah Narasingha, tetapi pada Prasasti Talan disebutkan
pemakaian lencana Garuda Mukha. Pada Prasasti Hantang (1057 Saka) atau 1135 M dituliskan
kata pangjalu jayati, artinya panjalu menang berperang atas Jenggala dan sekaligus untuk
menunjukkan bahwa Jayabaya adalah pewaris takhta kerajaan yang sah dari Airlangga.
3. Raja Sarweswara
Pengganti Raja Jayabaya ialah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara
Janardhanawatara Wijayagrajasama Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama
Digjayattunggadewanama. Sarweswara memerintah tahun 1159 hingga 1169. Lencana kerajaan
yang digunakan adalah Ganesha.
4. Sri Aryyeswara
Raja Sarweswara kemudian digantikan oleh Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara
Madhusudanawatararijamukha. Masa pemerintahan Raja Sri Aryyeswara hanya sampai tahun
1181 dan digantikan oleh Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka
Parakramanindita Digjayattunggaduwanama Sri Gandra.
5. Sri Gandra
Pada masa pemerintahan Sri Gandra dikenal jabatan senapati sarwajala (laksamana laut).
Dengan jabatan itu, diduga Kediri mempunyai armada laut yang kuat. Di samping itu, juga
dikenal pejabat yang menggunakan nama-nama binatang, misalnya Kebo Salawah, Lembu Agra,
Gajah Kuning, dan Macan Putih.
6. Kameswara
7. Kertajaya
Setelah Kameswara mangkat, raja yang memerintah Kediri adalah Kertajaya atau
Srengga. Gelar Kertajaya ialah Sri Maharaja Sarweswara Triwikramataranindita Srenggalancana
Digjayattunggadewanama. Kertajaya adalah raja terakhir yang memerintah Kediri. Kertajaya
memerintah Kediri tahun 1185–1222.
Pada masa pemerintahannya, Kertajaya sering berselisih pendapat dengan para brahmana. Para
brahmana kemudian minta perlindungan kepada Ken Arok. Kesempatan emas itu digunakan Ken Arok
untuk memberontak raja. Oleh karena itu, terjadilah pertempuran hebat di Ganter. Dalam pertempuran
itu, Ken Arok berhasil mengalahkan Raja Kertajaya. Dengan berakhirnya masa pemerintahan Kertajaya,
berakhir pula masa pemerintahan Kerajaan Kediri sebagai kelanjutan Dinasti Isana yang didirikan oleh
Empu Sindok.
Kediri merupakan kerajaan agraris dan maritim. Masyarakat yang hidup di daerah
pedalaman bermata pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian di daerah pedalaman Kerajaan
Kediri sangat melimpah karena didukung oleh kondisi tanah yang subur. Hasil pertanian yang
melimpah memberikan kemakmuran bagi rakyat.
Masyarakat yang berada di daerah pesisir hidup dari perdagangan dan pelayaran. Pada
masa itu perdagangan dan pelayaran berkembang pesat. Para pedagang Kediri sudah melakukan
hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya.
Pada masa itu, mata uang yang terbuat dari emas dan campuran antara perak, timah, dan
tembaga sudah digunakan. Hubungan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir sudah berjalan
cukup lancar. Sungai Brantas banyak digunakan untuk lalu lintas perdagangan antara daerah
pedalaman dan daerah pesisir.
Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di
bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga
pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit memohon
kesembuhan kepada dewa dan Buddha.
Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka
yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat
seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah
lakunya. Raja juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat
dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang dihasilkan.
Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk
mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu
dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai
sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda
suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab
Gatutkacasraya dan Hariwangsa.
Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai berikut.
1. Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab
itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
2. Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu
berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan
bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
3. Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai
seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia
ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.
Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri,
antara lain sebagai berikut.
1. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak
nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya
menikah dengan Dewi Rukmini.
2. Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini
yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita
Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan Kunjarakarna.
KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan Majapahit ~ Ketika Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Jayakatwang, Raden Wijaya
(menantu Kertanegara) lari ke Madura. Atas bantuan Arya Wiraraja, ia diterima kembali dengan
baik oleh Jayakatwang dan diberi sebidang tanah di Tarik (Mojokerto). Ketika tentara Kublai
Khan menyerbu Singasari, Raden Wijaya berpura-pura membantu menyerang Jayakatwang.
Namun, setelah Jayakatwang dibunuh, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Mongol dan
berhasil mengusirnya. Setelah itu, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit (1293) dan
menobatkan dirinya dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
A. Kehidupan Politik
Kehidupan politik yang terjadi di Kerajaan Majapahit dapat dilihat pada masa
pemerintahan raja-raja berikut ini.
Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama pada tahun 1293 dengan gelar
Kertarajasa Jayawardhana. Sebagai seorang raja yang besar, Raden Wijaya memperistri empat
putri Kertanegara sebagai permaisurinya. Dari Tribuana, ia mempunyai seorang putra yang
bernama Jayanegara, sedangkan dari Gayatri, Raden Wijaya mempunyai dua orang putri, yaitu
Tribuanatunggadewi dan Rajadewi Maharajasa.
Para pengikut Raden Wijaya yang setia dan berjasa dalam mendirikan kerajaan
Majapahit, diberi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan. Tetapi ada saja yang tidak puas
dengan kedudukan yang diperolehnya. Hal ini menimbulkan pemberontakan di sana-sini.
Pemberontakan pertama terjadi pada tahun 1295 yang dilakukan oleh Rangga Lawe (Parangga
Lawe) Bupati Tuban. Rangga Lawe memberontak karena tidak puas terhadap kebijaksanaan
Kertarajasa yang dirasa kurang adil. Kedudukan Patih Majapahit seharusnya diberikan
kepadanya. Namun, oleh Kertarajasa kedudukan itu telah diberikan kepada Nambi (anak
Wiraraja). Pemberontakan Rangga Lawe dapat ditumpas dan ia tewas oleh Kebo Anabrang.
Lembu Sora, sahabat Rangga Lawe, karena tidak tahan melihat kematiannya, kemudian
membunuh Kebo Anabrang. Peristiwa itu dijadikan alasan Mahapatih yang mempunyai ambisi
politik besar di Majapahit menyusun strategi agar raja bersedia menghukum tindakan Lembu
Sora. Lembu Sora membangkang perintah raja dan mengadakan pemberontakan pada tahun
1298–1300. Lembu Sora gugur bersama sahabatnya, Jurudemung dan Gajah Biru.
Pada tahun 1316 timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Nambi yang menjabat
Rakryan Patih Majapahit. Nambi memusatkan kekuatannya di daerah Lumajang dan Pajarakan.
Pemberontakan Nambi mendapat dukungan dari ayahnya (Wiraraja). Raja Jayanegara atas
nasihat Mahapati memerintahkan Lumajang dan Pajarakan digempur sampai hancur. Terjadilah
pertempuran sengit dan Nambi pun gugur.
Keadaan belum pulih, terjadi lagi pemberontakan Semi pada tahun 1318. Setahun
kemudian (1319) terjadi pemberontakan Kuti. Semi dan Kuti adalah dua orang dari tujuh
dharmmaputra. Pemberontakan inilah yang paling berbahaya karena Kuti berhasil menduduki
ibu kota Kerajaan Majapahit. Jayanegara terpaksa melarikan diri dan mengungsi ke Badander di
bawah perlindungan pasukan Bayangkara yang dipimpin oleh Gajah Mada.
Setelah raja dalam keadaan aman, Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk melakukan
pendekatan kepada rakyat. Ternyata masih banyak rakyat yang memihak raja dan Gajah Mada
pun berhasil menanamkan rasa kebencian kepada Kuti. Dengan strategi yang jitu, Gajah Mada
mengadakan serangan secara tiba-tiba ke pusat kerajaan. Pasukan Kuti dapat dihancurkan dan
Kuti tewas dalam pertempuran itu. Setelah keadaan benar-benar aman, Jayanegara pulang ke ibu
kota untuk meneruskan pemerintahannya. Karena jasanya yang besar, Gajah Mada diangkat
menjadi Patih Kahuripan. Dua tahun berikutnya, ia diangkat menjadi Patih Daha menggantikan
Arya Tilan (1321).
Pada tahun 1328 terjadilah musibah yang mengejutkan. Raja Jayanegara dibunuh oleh Tanca
(seorang tabib kerajaan). Tanca kemudian dibunuh oleh Gajah Mada. Peristiwa itu disebut
Patanca. Jayanegara didharmakan di Candi Srenggapura di Kapopongan.
Pada tahun 1331 timbul pemberontakan Sadeng dan Keta di daerah Besuki, tetapi dapat
dihancurkan oleh pasukan Gajah Mada. Karena jasanya itu, Gajah Mada naik pangkat lagi dari
Patih Daha menjadi Mahapatih Majapahit menggantikan Pu Naga. Setelah diangkat menjadi
Mahapatih Majapahit, dalam suatu persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri dan pejabat
negara lainnya, Gajah Mada mengucapkan sumpah untuk menyatukan Nusantara di bawah
naungan Majapahit. Sumpahnya itu dikenal dengan nama Sumpah Palapa. Palapa berarti garam
atau rempah-rempah yang dapat melezatkan berbagai masakan. Oleh karena itu, sumpah itu
dapat diartikan bahwa Gajah Mada tidak akan makan palapa (hidup enak) sebelum berhasil
menyatukan Nusantara.
Semula banyak pejabat negara yang menertawakannya, tetapi Gajah Mada sudah
bertekad baja, bersemangat membara, dan maju terus pantang mundur. Gajah Mada
mempersiapkan segala sesuatunya untuk mewujudkan sumpahnya, seperti prajurit pilihan,
persenjataan, dan armada laut yang kuat. Setelah persiapannya matang, tentara Majapahit sedikit
demi sedikit bergerak menyerang untuk menaklukkan wilayah kerajaan lain.
Pada tahun 1334 Bali berhasil ditaklukkan oleh Gajah Mada yang dibantu oleh
Laksamana Nala dan Adityawarman. Adityawarman adalah seorang pejabat Majapahit keturunan
Melayu dan berkedudukan sebagai werdhamantri dengan gelar Arya Dewaraja Pu Aditya.
Setelah penaklukkan Bali, satu demi satu daerah di Sumatra, Semenanjung Malaka, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian (Papua) bagian barat berhasil ditundukkan dan
mengakui kekuasaan Majapahit. Tugas besar itu tercapai pada masa pemerintahan Raja Hayam
Wuruk. Agar pengakuan kekuasaan Majapahit di Sumatra kekal, Adityawarman diangkat
menjadi raja di Melayu menggantikan Mauliwarmadewa (1343). Adityawarman segera menata
kembali struktur pemerintahan dan meluaskan daerah kekuasaannya hingga Pagarruyung–
Minangkabau. Setelah itu, Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dari Jambi ke
Pagarruyung. Adityawarman memerintah hingga tahun 1375.
Hayam Wuruk setelah naik takhta bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan
nama Bhre Hyang Wekasing Sukha. Ketika Tribhuwanatunggadewi masih memerintah, Hayam
Wuruk telah dinobatkan menjadi rajamuda (kumararaja) dan mendapat daerah Jiwana sebagai
wilayah kekuasaannya. Dalam memerintah Majapahit, Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah
Mada sebagai patih hamangkubumi.
Hayam Wuruk adalah raja yang cakap dan didampingi oleh patih yang gagah berani pula.
Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesaran.
Wilayah kekuasaannya hampir seluas negara Indonesia sekarang. Bahkan, pengaruhnya terasa
sampai ke luar Nusantara, yaitu sampai ke Thailand (Campa), Indocina, dan Filipina Selatan.
Dengan kenyataan itu, berarti Sumpah Palapa Gajah Mada benar-benar terwujud sehingga
seluruh pembesar kerajaan selalu hormat kepadanya. Kecuali sebagai seorang negarawan dan
jenderal perang, Gajah Mada juga ahli hukum. Ia berhasil menyusun kitab Kutaramanawa yang
digunakan sebagai dasar hukum di Majapahit.
Pada saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk, ada satu daerah di Pulau Jawa yang belum
tunduk kepada Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Kerajaan Sunda itu diperintah
oleh Sri Baduga Maharaja. Gajah Mada ingin menundukkan secara diplomatis dan kekeluargaan.
Kebetulan pada tahun 1357 Raja Hayam Wuruk bermaksud meminang putri Sri Baduga yang
bernama Dyah Pitaloka untuk dijadikan permaisuri. Lamaran itu diterimanya. Dyah Pitaloka
dengan diantarkan oleh Sri Baduga beserta prajuritnya berangkat ke Majapahit. Akan tetapi,
ketika sampai di Bubat, Gajah Mada menghentikan rombongan pengantin. Gajah Mada
menghendaki agar putri Kerajaan Sunda itu dipersembahkan kepada Hayam Wuruk sebagai
tanda tunduk Raja Sunda kepada Majapahit. Tentu saja maksud Gajah Mada itu ditentang oleh
raja dan kaum bangsawan Sunda. Akibatnya, terjadilah pertempuran sengit yang tidak seimbang.
Sri Baduga beserta para pengikutnya gugur, Dyah Pitaloka bunuh diri di tempat itu juga.
Peristiwa itu terkenal dengan nama Perang Bubat.
Setelah Raja Hayam Wuruk mangkat, terjadilah perebutan kekuasaan di antara putra-putri
Hayam Wuruk. Kemelut politik pertama meletus pada tahun 1401. Seorang raja daerah dari
bagian timur, yaitu Bhre Wirabhumi memberontak terhadap Raja Wikramawardhana. Raja
Wikramawardhana adalah suami Kusumawardhani yang berhak mewarisi takhta kerajaan
ayahnya (Hayam Wuruk), sedangkan Bhre Wirabhumi adalah putra Hayam Wuruk dari selir.
Dalam kitab Pararaton, pertikaian antarkeluarga itu disebut Perang Paregreg. Pasukan Bhre
Wirabhumi dapat dihancurkan dan ia terbunuh oleh Raden Gajah.
Wikramawardhana wafat pada tahun 1429 dan digantikan oleh putrinya yang bernama
Suhita. Penobatan Suhita menjadi Raja Majapahit dimaksudkan untuk meredakan pertikaian
keluarga tersebut. Namun, benih balas dendam sudah telanjur tertanam pada keluarga Bhre
Wirabhumi. Akibatnya, pada tahun 1433 Raden Gajah dibunuh karena dipersalahkan telah
membunuh Bhre Wirabhumi. Hal itu menunjukkan bahwa pertikaian antarkeluarga Majapahit
terus berlangsung.
Pada tahun 1447 Suhita meninggal dan digantikan Dyah Kertawijaya. Ia hanya
memerintah selama empat tahun (1447–1451) karena pada tahun 1451 meninggal dan
didharmakan di Kertawijayapura. Apa yang diperbuat oleh raja tidak ada keterangan yang jelas.
Sepeninggal Kertawijaya, pemerintahan Majapahit dipegang oleh Bhre Pamotan dengan gelar Sri
Rajawarddhana. Rajawarddhana juga disebut Sang Sinagara. Dalam kitab Pararaton disebutkan
bahwa ia berkedudukan di Keling, Kahuripan. Ini lebih dikuatkan lagi oleh Prasasti Waringin
Pitu yang dikeluarkan oleh Kertawijaya (1447).
Sepeninggal Rajawarddhana (1453), Kerajaan Majapahit selama tiga tahun (1453–1456)
tidak mempunyai seorang raja. Pada tahun 1456 Majapahit diperintah oleh Bhre Wengker dengan
gelar Girindrawardhana. Bhre Wengker adalah anak Bhre Tumapel Kertawijaya. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun (1456–1466).
Berkembangnya agama Islam di pesisir utara Jawa yang kemudian diikuti berdirinya
Kerajaan Demak mempercepat kemunduran Kerajaan Majapahit. Raja dan pejabat penting
Demak adalah keturunan Raja Majapahit yang sudah masuk Islam. Mereka masih menyimpan
dendam nenek moyangnya sehingga Majapahit berusaha dihancurkan. Peristiwa itu terjadi pada
tahun 1518–1521. Penyerangan Demak terhadap Majapahit itu dipimpin oleh Adipati Unus (cucu
Bhre Kertabhumi).
B. Kehidupan Ekonomi
Kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh rakyat dan pemerintah Kerajaan Majapahit adalah
sebagai berikut.
1. Di Pulau Jawa dititikberatkan pada sektor pertanian rakyat yang banyak menghasilkan
bahan makanan.
2. Di luar Jawa, terutama bagian timur (Maluku), dititikberatkan pada tanaman rempah-
rempah dan tanaman perdagangan lainnya.
4. Di kota-kota pelabuhan, seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Ujung Galuh, Canggu, dan
Surabaya, dikembangkan perdagangan antarpulau dan dengan luar negeri, seperti Cina,
Campa, dan India.
5. Dari kota-kota pelabuhan, pemerintah menerima bea cukai, sedangkan dari raja-raja
daerah pemerintah menerima pajak dan upeti dalam jumlah yang cukup besar.
Perekonomian yang maju ini membuat rakyat hidup sejahtera dan keluarga raja beserta para
pejabat negara lebih makmur lagi.
C. Kehidupan Sosial-Budaya
Kehidupan sosial masa Majapahit aman, damai, dan tenteram. Dalam kitab
Negarakrtagama disebutkan bahwa Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling ke daerah-
daerah untuk mengetahui sejauh mana kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Perlindungan
terhadap rakyat sangat diperhatikan. Demikian juga peradilan, dilaksanakan secara ketat; siapa
yang bersalah dihukum tanpa pandang bulu.
Dalam kondisi kehidupan yang aman dan teratur maka suatu masyarakat akan mampu
menghasilkan karya-karya budaya yang bermutu tinggi. Hasil budaya Majapahit dapat dibedakan
sebagai berikut.
1. Candi
Banyak candi peninggalan Majapahit, seperti Candi Penataran (di Blitar), Candi Brahu, Candi
Bentar (Waringin Lawang), Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, dan bangunan-bangunan kuno
lainnya, seperti Segaran dan Makam Troloyo (di Trowulan).
2. Kesusanteran
Zaman Majapahit bidang sastra sangat berkembang. Hasil sastranya dapat dibagi menjadi zaman
Majapahit Awal dan Majapahit Akhir.
Kitab Negarakrtagama, karangan Empu Prapanca. Isinya tentang keadaan kota Majapahit,
daerah-daearah jajahan, dan perjalananan Hayam Wuruk keliling ke daerah-daerah.
Kitab Sotasoma, karangan Empu Tantular. Di dalam kitab ini terdapat ungkapan yang
berbuny "Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrawa" yang kemudian dipakai
sebagai motto negara kita.
Kitab Arjunawijaya karangan EmpuTantular. Isinya tentang raksasa yang dikalahkan oleh
Arjuna Sasrabahu.
Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui pengarangnya.
Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan Aryadamar.
Kitab Tantu Panggelaran, tentang pemindahan gunung Mahameru ke Pulau Jawa oleh
Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.
KERAJAAN SUNDA
Kerajaan Sunda ~ Berita tentang kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Barat setelah kerajaan
Tarumanegara terdapat dalam naskah Carita Parahyangan, sebuah sumber berbahasa Sunda Kuno
yang ditulis sekitar abad ke-19. Kerajaan Sunda yang berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah
bagian barat merupakan kerajaan yang bercorak Hindu cukup kuat dan sedikit menerima
pengaruh Buddha.
A. Kehidupan Politik
Akibat sumber-sumber sejarah yang sangat terbatas, aspek kehidupan politik tentang
Kerajaan Sunda/Pajajaran hanya sedikit saja yang diketahui. Aspek kehidupan politik yang
diketahui terbatas pada perpindahan pusat pemerintahan dan pergantian takhta raja. Secara
berurutan pusat-pusat kerajaan itu adalah Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan
Pajajaran.
1. Kerajaan Galuh
Sejarah di Jawa Barat setelah Tarumanegara tidak banyak diketahui. Kegelapan itu
sedikit tersingkap oleh Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah
berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal dibuat oleh Sanjaya sebagai tanda kebesaran dan
kemenangannya. Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara
perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita Parahyangan juga disebutkan nama Sanjaya.
Menurut versi kitab Carita Parahyangan, Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di
Kerajaan Galuh.
Sena adalah anak Mandiminyak dari hasil hubungan gelap dengan Pwah Rababu, istri
Rahyang Sempakwaja yang merupakan kakak sulung Mandiminyak, sebagai Raja Galuh. Diduga
karena raja tidak mempunyai putra mahkota, setelah Mandiminyak mangkat, Sena diangkat
menjadi raja. Raja Sena berkuasa selama tujuh tahun. Suatu ketika Raja Sena diserang oleh
Rahyang Purbasora (saudara seibu) dan mengalami kekalahan. Akibatnya, Raja Sena diasingkan
ke Gunung Merapi beserta keluarganya. Di sinilah anaknya lahir dan diberi nama Sanjaya.
Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya di Denuh. Akhirnya,
Sanjaya berhasil mengalahkan Purbasora, kemudian naik takhta di Kerajaan Galuh.
Menurut naskah Kropak 406, Sanjaya disebut sebagai Harisdarma yang menjadi menantu
Raja Tarusbawa (Tohaan di Sunda). Sanjaya kemudian diangkat menjadi raja menggantikan
Tarusbawa. Di Jawa Barat, selain Kerajaan Galuh masih ada pusat kerajaan lain, yaitu Kerajaan
Kuningan yang diperintah oleh Sang Sowokarma. Agama yang berkembang pada masa Kerajaan
Galuh adalah Hindu Syiwa. Hal itu dinyatakan dengan jelas pada Prasasti Canggal. Raja Galuh
juga menganut Sewabakti ring Batara Upati (upati = utpata = nama lain dari Dewa Yama yang
identik dengan Syiwa).
Nama Sunda muncul lagi pada Prasasti Sahyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan
dan Bantarmuncang daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka (1030 M),
berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Nama tokoh yang disebut adalah Maharaja Sri
Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwanaman-daleswaranindita Haro
Gowardhana Wikramottunggadewa, sedangkan daerah kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda.
Prasasti Sanghyang Tapak, antara lain menyebutkan bahwa pada tahun 1030 Jayabhupati
membuat daerah larangan di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah larangan itu berupa
sebagian sungai yang siapa pun dilarang mandi dan menangkap ikan di dalamnya. Siapa pun
yang melanggar larangan akan terkena kutukan yang mengerikan, misalnya akan terbelah
kepalanya, terminum darahnya, atau terpotong-potong ususnya.
Agama yang dianut Sri Jayabhupati adalah Hindu Waisnawa. Ini ditunjukkan oleh
gelarnya (Wisnumurti). Gelar ini ternyata sama pula dengan agama yang dianut Raja Airlangga.
Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa agama resmi yang dianut penduduk Jawa pada awal
abad ke-11 adalah Hindu Waisnawa.
Pada zaman pemerintahan siapa pusat Kerajaan Sunda mulai berada di Kawali tidak
diketahui secara pasti. Akan tetapi, menurut prasasti di Astanagede (Kawali), diketahui bahwa
setidak-tidaknya pada masa pemerintahan Rahyang Niskala Wastu Kancana pusat kerajaan sudah
berada di situ. Istananya bernama Surawisesa. Raja telah membuat selokan di sekeliling keraton
dan mendirikan perkampungan untuk rakyatnya.
Menurut kitab Pararaton, pada tahun 1357 Masehi terjadi peristiwa Pasundan–Bubat atau
Perang Bubat, yaitu peperangan antara Sunda dan Majapahit. Pada masa itu Sunda diperintah
oleh Prabu Sri Baduga Maharaja (ayah Wastu Kancana) dan Majapahit diperintah oleh Raja
Hayam Wuruk. Pada pertempuran itu Prabu Maharaja gugur. Ketika Perang Bubat terjadi, Wastu
Kancana masih kecil sehingga pemerintahannya untuk sementara diserahkan kepada
pengasuhnya, yaitu Hyang Bunisora. Ia menjalankan pemerintahan selama 14 tahun (1357–
1371).
Wastu Kancana setelah dewasa menerima kembali tampuk pemerintahan dari Hyang
Bunisora. Wastu Kancana memerintah cukup lama (1371–1471) karena masyarakat
mendukungnya. Wastu Kancana didukung masyarakat karena selalu menjalankan agama dengan
baik dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Setelah mangkat, Raja Wastu Kancana
dimakamkan di Nusalarang.
Penggantinya adalah putranya sendiri, Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana.
Raja Rahyang Ningrat Kancana memerintah hanya tujuh tahun (1471–1478). Pemerintahan Raja
Rahyang Ningrat Kancana berakhir karena salah tindak, yaitu mencintai wanita terlarang dari
luar. Setelah mangkat, raja itu dimakamkan di Gunung Tiga.
Setelah Raja Rahyang Ningrat Kancana jatuh, takhtanya digantikan oleh putranya, Sang
Ratu Jayadewata. Pada Prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai yang kini menjadi
Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada Prasasti Batutulis Sang Jayadewata disebut dengan nama
Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Sejak pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat kerajaan beralih dari Kawali ke Pakwan
Pajajaran yang dalam kitab Carita Parahyangan disebut Sri Bima Unta Rayana Madura
Suradipati. Menurut kitab Carita Parahyangan, raja menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab
hukum yang berlaku sehingga terciptalah keadaan aman dan tenteram, tidak terjadi kerusuhan
atau perang.
Pada masa itu, penduduk Kerajaan Sunda sudah ada yang memeluk agama Islam. Hal ini
diketahui dari berita Portugis yang berasal dari Tome Pires (1513) yang menyebutkan bahwa di
Cimanuk telah banyak dijumpai orang yang menganut agama Islam. Sang Ratu Jayadewata
sudah memperhitungkan meluasnya pengaruh Islam di wilayah Kerajaan Sunda. Untuk
membendungnya, baginda menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Dalam rangka
menjalin hubungan tersebut, diutuslah Ratu Samiam dari Sunda ke Malaka pada tahun 1512 –
1521. Ketika Hendrik de Heme memimpin perutusannya ke Sunda pada tahun 1522, Ratu
Samiam sudah berkuasa sebagai raja dan disebut Prabu Surawisesa. Rupanya, dialah yang
menggantikan Raja Jayadewata. Ratu Samiam memerintah selama 14 tahun (1521 – 1535).
Setelah itu, Ratu Samiam digantikan oleh Prabu Ratudewata yang memerintah tahun 1535 –
1543. Pada masa itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda, antara lain, dari kelompok
Islam yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf dari Kerajaan Banten.
Keterangan ini tidak bertentangan dengan naskah Purwaka Caruban Nagari yang bertalian
dengan sejarah Cirebon.
Jatuhnya Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda ke tangan pasukan Islam pada tahun
1527 menyebabkan terputusnya hubungan antara Portugis dan Kerajaan Sunda. Keadaan itu ikut
melemahkan pertahanan Sunda sehingga satu demi satu pantainya jatuh ke tangan musuh. Keadaan
makin buruk karena Prabu Ratudewanata lebih berkonsentrasi sebagai pendeta dan kurang
memperhatikan kesejahteraan rakyat. Adapun penggantinya, Sang Ratu Saksi yang memerintah tahun
1443–1551 adalah raja yang kejam dan gemar “main wanita”. Demikian pula penggantinya, Tohaan di
Majaya yang memerintah tahun 1551–1567, suka memperindah istana, berfoya-foya, dan mabuk-
mabukan. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Raja Nuisya Mulya Kerajaan Sunda sudah tidak
mungkin dipertahankan lagi dan akhirnya jatuh ke tangan orang-orang Islam. Sejak tahun 1579 tamatlah
riwayat Kerajaan Sunda di Jawa Barat.
B. Kehidupan Ekonomi
Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial ekonomi masyarakat cukup
mendapatkan perhatian. Meskipun pusat kekuasan Kerajaan Sunda berada di pedalaman, namun
hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda memiliki
pelabuhanpelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda kelapa, dan
Cimanuk. Di kota-kota pelabuhan tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-
buahan, dan hewan piaraan.
C. Kehidupan Sosial-Budaya
3. Kelompok Ekonomi
Kelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi. Misalnya,
juru lukis (pelukis), pande mas (perajin emas), pande dang (pembuat perabot rumah
tangga), pesawah (petani), dan palika (nelayan).
Hasil budaya masyarakat Kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra, baik tulis
maupun lisan. Bentuk sastra tulis, misalnya Carita Parahyangan; sedangkan bentuk satra lisan
berupa pantun, seperti Haturwangi dan Siliwangi.
KERAJAAN BALI
Sejarah Kerajaan Bali ~ Kerajaan Bali Kuno terletak di Pulau Bali yang berada di sebelah
timur Provinsi Jawa Timur. Kerajaan Bali mempunyai hubungan sejarah yang erat dengan
kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur, seperti kerajaan Singasari dan
Majapahit. Nah, pada kesempatan kali ini Zona Siswa akan menampilkan penjelasan mengenai
kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya dari Kerajaan Bali. Semoga bermanfaat.
A. Kehidupan Politik
Berita tertua mengenai Bali bersumber dari Bali sendiri, yakni berupa beberapa buah cap
kecil dari tanah liat yang berukuran 2,5 cm yang ditemukan di Pejeng, Bali. Cap-cap itu dibuat
pada abad ke-8 M. Adapun prasasti tertua di Bali berangka tahun 882 M, memberitakan perintah
membuat pertapaan dan pasanggrahan di Bukit Cintamani. Di dalam prasasti tersebut tidak
ditulis nama raja yang memerintah pada masa itu. Demikian juga prasasti yang berangka tahun
911 M, yang isinya memberikan izin kepada penduduk Desa Turunan untuk membangun tempat
suci bagi pemujaan Bhattara Da Tonta.
Munculnya Kerajaan Bali dapat diketahui dari prasasti Blancong (Sanur) yang berangka
tahun 914 M. Prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pranagari dan Kawi, sedang bahasanya ialah
Bali kuno dan Sanskerta. Raja Bali yang pertama ialah Kesari Warmadewa. Ia bertakhta di istana
Singhadwala dan ialah raja yang mendirikan Dinasti Warmadewa. Dua tahun kemudian, Kesari
Warmadwa digantikan oleh Ugrasena (915-942). Raja Ugrasena bertakhta di istana
Singhamandawa. Masa pemeritahannya sezaman dengan pemerintahan Empu Sendok dari
keluarga Isana di Jawa Timur. Raja Ugrasena meninggalkan 9 prasasti, yang umumnya berisi
tentang pembebasan pajak untuk daerah-daerah tertentu.
Raja yang memerintah setelah Ugrasena adalah Aji Tabanendra Warmadewa ( 955-967).
Raja ini memerintah bersama-sama permaisurinya yang bernama Sri Subadrika Dharmadewi.
Pengganti berikutnya ialah Jaya singha Warmadewa (968-975). Raja ini membangun sebuah
pemandian dari sebuah mata air yang ada di Desa Manukaya. Pemandian itu disebut Tirtha
Empul yang terletak di dekat Tampaksiring.
Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa (975-983). Pada tahun 983
muncul seorang raja wanita yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Pengganti Sri
Wijaya Mahadewi ialah Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, yaitu
Gunapriya Dharmapatni yang lebih dikenal sebagai Mahendradatta. Udayana memerintah
bersama permaisurinya sampai tahun 1001 M, sebab pada tahun itu Mahendradatta meninggal.
Udayana meneruskan pemerintahannya sampai tahun 1011 M.
Sepeninggal Marakata, takhta Bali dipegang oleh Anak Wungsu, adiknya. Anak Wungsu
mulai memerintah pada 1049. Selama pemerintahannya, ia meninggalkan 28 buah prasasti, di
antaranya Prasasti Gua Gajah, Gunung Penulisan, dan Sangit. Menurut pemberitaan prasasti-
prasasti tersebut, Anak Wungsu dicintai rakyatnya dan dianggap penjelmaan Dewa Wisnu. Ia
memerintah selama 28 tahun, sampai tahun 1077, dan wafat pada tahun 1080 M dan
dimakamkan di Candi Padas Tampaksiring.
Anak Wungsu kemudian digantikan oleh Sri Maharaja Walaprabu yang diduga
memerintah tahun 1079-1088. Berbeda dengan raja-raja Bali sebelumnya yang memakai gelar
Sang Ratu atau Paduka Haji, Walaprau malah menggunakan gelar Sri Maharaja yang berbau
Sansekerta. Raja yang terkenal dari Bali adalah Jayapangus yang berkuasa dari tahun 1177
hingga 1181. Sebanyak 35 prasasti tentang Jayapangus telah ditemukan. Dalam menjalankan
roda pemerintahannya, Jayapangus dibantu oleh dua orang permasyurinya, yaitu Sri Prameswari
Indujaketana dan Sri Mahadewi Sasangkajacinhna. Kitab yang digunakan sebagai hukum adalah
Manawakamandaka, yang sering disebut pula Manawasasana Dharma.
Raja Bali yang terakhir adalah Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyang ning Hyang
Adedewalancana (1260-1324). Tahaun 1282, Bali diserang oleh raja Singasari, Kretanegara.
Setelah itu Bali berada dalan kekuasaan Majapahit. Pada masa runtuhnya Majapahit banyak
bangsawan, pendeta, pedagang, seniman, dan rakyat lainnya yang pindah ke Bali untuk
menghindari islamisasi di Jawa. Maka dari itu, hingga sekarang mayoritas penduduk Bali
penganut Hindu sebagai pengaruh Majapahit yang Hindu.
B. Kehidupan Ekonomi
Kegiatan ekonomi masyarakat Bali dititikberatkan pada sektor pertanian. Hal itu
didasarkan pada beberapa prasasti Bali yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan
bercocok tanam. Beberapa istilah itu, antara lain sawah, parlak (sawah kering), kebwan (kebun),
gaga (ladang), dan kasuwakan (irigasi).
Di luar kegiatan pertanian pada masyarakat Bali juga ditemukan kehidupan sebagai berikut.
1. Pande (Pandai = Perajin)
Mereka mempunyai kepandaian membuat kerajaan perhiasan dari bahan emas dan perak,
membuat peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, dan senjata.
2. Undagi
3. Pedagang
Pedagang pada masa Bali Kuno dibedakan atas pedagang laki-laki (wanigrama) dan
pedagang perempuan (wanigrami). Mereka sudah melakukan perdagangan antarpulau
(Prasasti Banwa Bharu).
C. Kehidupan Sosial-Budaya
Struktur masyarakat yang berkembang pada masa Kerajaan Bali Kuno didasarkan pada hal
sebagai berikut.
1. Sistem Kasta (Caturwarna)
Sesuai dengan kebudayaan Hindu di India, pada awal perkembangan Hindu di Bali
sistem kemasyarakatannya juga dibedakan dalam beberapa kasta. Namun, untuk
masyarakat yang berada di luar kasta disebut budak atau njaba.
Pewarisan harta benda dalam suatu keluarga dibedakan atas anak laki-laki dan anak
perempuan. Anak laki-laki memiliki hak waris lebih besar dibandingkan anak perempuan.
3. Sistem Kesenian
Kesenian yang berkembang pada masyarakat Bali Kuno dibedakan atas sistem kesenian
keraton dan sistem kesenian rakyat.
4. Agama dan Kepercayaan
Masyarakat Bali Kuno meskipun sangat terbuka dalam menerima pengaruh dari luar,
mereka tetap mempertahankan tradisi kepercayaan nenek moyangnya. Dengan demikian,
di Bali dikenal ada penganut agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan animisme.
Sikap aktif selektif diterapkan bangsa Indonesia terhadap kebudayaan dari luar, artinya
kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia diseleksi dan disesuikan dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, setelah agama dan kebudayaan Hindu–Buddha masuk ke Indonsia
terjadilah akulturasi. Perwujudan akulturasi antara kebudayaan Hindu–Buddha dengan
kebudayaan Indonesia, antara lain sebagai berikut.
Seni Bangunan
Wujud akulturasi seni bangunan terlihat pada bangunan candi, salah satu contohnya
adalah Candi Borobudur yang merupakan perpaduan kebudayaan Buddha yang berupa patung
dan stupa dengan kebudayaan asli Indonesia, yakni punden berundak (budaya Megalithikum).
Untuk penjelasan lebih lengkap, silahkan baca artikel tentang Candi (Pengertian, Karakteristik,
Pengelompokan)
Sistem Pemerintahan
Di bidang pemerintahan dengan masuknya pengaruh Hindu maka muncul pemerintahan
yang dipegang oleh raja. Semula pemimpinnya adalah kepala suku yang dianggap mempunyai
kelebihan dibandingkan warga lainnya(primus interpares). Raja tidak lagi sebagai wakil dari
nenek moyang, tetapi sebagai penjilmaan dewa di dunia sehingga muncul kultus "dewa raja".
Sistem Kalender
Masyarakat Indonesia telah mengenal astronomi sebelum datangnya pengaruh Hindu–
Buddha. Pada waktu itu astronomi dipergunakan untuk kepentingan praktis. Misalnya, dengan
melihat letak rasi (kelompok) bintang tertentu dapat ditentukan arah mata angin pada waktu
berlayar dan tahu kapan mereka harus melakukan aktivitas pertanian. Berdasaran letak bintang
dapat diketahui musim-musim yang ada, antara lain musim kemarau, musim labuh, musim hujan,
dan musim mareng. Jadi di Indonesia telah mengenal sistem kalender yang berpedoman pada
pranatamangsa, misalnya mangsa Kasa (kesatu) dan mangsa Karo (kedua). Kebudayaan Hindu–
Buddha yang masuk ke Indonesia telah memiliki perhitungan kalender, yang disebut kalender
Saka dengan perhitungan 1 tahun Saka terdiri atas 365 hari. Menurut perhitungan tahun Saka,
selisih tahun Saka dengan tahun Masehi adalah 78 tahun.
Sistem Kepercayaan
Nenek moyang bangsa Indonesia mempunyai kepercayaan menyembah roh nenek
moyang (animisme) juga dinamisme dan totemisme. Namun, setelah pengaruh Hindu– Buddha
masuk terjadilah akulturasi sistem kepercayaan sehingga muncul agama Hindu dan Buddha.
Pergeseran fungsi candi. Misalnya fungsi candi di India sebagai tempat pemujaan, sedangkan di
Indonesia candi di samping tempat pemujaan juga ada yang difungsikan sebagai makam
(biasanya raja/pembesar kerajaan).
Filsafat
Akulturasi filsafat Hindu Indonesia menimbulkan filsafat Hindu Jawa. Misalnya, tempat
yang makin tinggi makin suci sebab merupakan tempat bersemayam para dewa. Itulah sebabnya
raja-raja Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) setelah meninggal dimakamkan di tempat-tempat yang
tinggi, seperti Giri Bangun, Giri Layu (Surakarta), dan Imogiri (Yogyakarta).
adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan
keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-
Buddha.Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan
Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut
tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia
klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut
dengan istilah candi.
1. Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di
Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk
Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai
dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha
nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah
Siwa, dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa
Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih
diutamakan.
2. Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya
Hindu yang terletak di desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat
sembilan buah candi.Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan
peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927
masehi).Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo.
Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu
udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C)Lokasi 9 candi yang tersebar di
lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Selain itu, objek
wisata ini juga dilengkapi dengan pemandian air panas dari mata air yang mengandung
belerang, area perkemahan, dan wisata berkuda.
3. Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun
sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang
memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji
Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai
bagian dari kutukan Mpu Gandring. Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya
Jawa Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat
cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari
perbudakan. Sampai sekarang candi masih terjaga dan terawatt.
4. Candi Singhasari atau Candi Singasari atau Candi Singosari adalah candi Hindu - Buddha
peninggalan bersejarah Kerajaan Singhasari yang berlokasi di Desa Candirenggo,
Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia. Cara pembuatan candi
Singhasari ini dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu
selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan seperti
membangun rumah seperti saat ini). Candi ini berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan
Singosari, Kabupaten Malang, (sekitar 10km dari Kota Malang) terletak pada lembah di
antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna di ketinggian 512 m di atas permukaan
laut.
Prasasti
adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama.
Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi, menandai akhir dari zaman prasejarah, yakni
babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju
zaman sejarah, di mana masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Ilmu yang mempelajai tentang
prasasti disebut Epigrafi. Di antara berbagai sumber sejarah kuno Indonesia, seperti naskah dan
berita asing, prasasti dianggap sumber terpenting karena mampu memberikan kronologis suatu
peristiwa. Ada banyak hal yang membuat suatu prasasti sangat menguntungkan dunia penelitian
masa lampau. Selain mengandung unsur penanggalan, prasasti juga mengungkap sejumlah nama
dan alasan mengapa prasasti tersebut dikeluarkan.
1. Prasasti Mulawarman, atau disebut juga Prasasti Kutai, adalah sebuah prasasti yang
merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh buah yupa yang memuat
prasasti, namun baru 4 yang berhasil dibaca dan diterjemahkan. Prasasti ini menggunakan
huruf Pallawa Pra-Nagari dan dalam bahasa Sanskerta, yang diperkirakan dari bentuk dan
jenisnya berasal dari sekitar 400 Masehi. Prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi anustub.
2. Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara.
Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru
dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa
pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari
bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman,
dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau
3. Prasasti Jambu atau Pasir Kolengkak adalah prasasti yang berasal dari Kerajaan
Tarumanagara yang ditemukan di daerah perkebunan jambu kira-kira 30 km sebelah barat
Bogor. Prasasti Jambu ditemukan pertamakali tahun 1854 oleh Jonathan Rigg dan
dilaporkan kepada Dinas Purbakala tahun 1947 (OV 1949:10), tetapi diteliti pertamakali
pada tahun 1954.
4. Prasasti Kebonkopi I (dinamakan demikian untuk dibedakan dari Prasasti Kebonkopi II)
atau Prasasti Tapak Gajah (karena terdapat pahatan tapak kaki gajah) merupakan salah
satu peninggalan kerajaan Tarumanagara.
5. Prasasti Canggal (juga disebut Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya) adalah
prasasti dalam bentuk candra sengkala berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi[1] yang
ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam,
Magelang, Jawa Tengah. Prasasti yang ditulis pada stela batu ini menggunakan aksara
Pallawa dan bahasa Sanskerta.[1] Prasasti dipandang sebagai pernyataan diri Raja
Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan Mataram
Kuno.
Perbedaan candi Hindu dan candi Budha dapat di lihat dari bentuk dasar sampai atap
candi. Kedua candi tersebut merupakan candi yang ada di Indonesia dan tersebar di hampir
seluruh Pulau Jawa dan Bali. Candi merupakan bangunan bersejarah yang dibangun sebagai
simbol agama, budaya, dan peradaban pada masa itu. Pada umumnya candi digunakan oleh
masyarakat sebagai tempat pemujaan dewa dan dewi pemeluk agama Hindu dan Budha. Selain
itu candi juga dapat dimanfaatkan sebagai istana, gapura, tempat pemandian, dan lain
sebagainya. Arsitektur bangunan candi dirancang dengan begitu detail dan menggunakan seni
yang tinggi. Sehingga dapat membuat kagum siapapun yang melihatnya.
1. Candi Hindu
Secara umum candi Hindu berfungsi sebagai makam para raja Hindu yang pernah
berkuasa. Dengan cara memakamkan abu jenazah para raja di candi.
Bagian dasar candi yang disebut bhurloka dan menyimbolkan dunia fana.
Tubuh candi yang disebut bhurvaloka dan menyimbolkan dunia permurnian atau
pembersih.
Bagian atas atau atap candi yang disebut svarloka dan menyimbolkan dunia para dewa.
Biasanya berbentuk runcing dan biasanya disebut dengan Ratna.
Sebagian besar candi – candi Hindu dihiasai dengan arca – arca 3 dewa utama dalam
kepercayaan Hindu yang disebut sebagai Trimurti yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa
Siwa. Arca tersebut biasanya menggambarkan cerita dari Ramayana dan Krisnayana. Dan
biasanya arah pintu utama berada di barat. Tata letak candi Hindu adalah asimetris dan linier
sesuai dengan topografi wilayah setempat. Bangunan candi utama berada di belakang dan jauh
dari pintu masuk serta biasanya dibangun di tanah yang paling tinggi di kawasan kompleks candi
tersebut.
Terdapat pula perwayangan yang terletak di depan bangunan candi utama. Contoh candi Hindu
adalah Candi Prambanan, Candi Gedong Songo, Candi Penataran, Candi Cangkuang, Candi
Gebang, dan Candi – candi di kawasan Dieng.
2. Candi Budha
Secara umum candi Budha berfungsi sebagai tempat ibadah atau tempat pemujaan para
dewa baik untuk keluarga kerajaan ataupun untuk masyarakat di zaman itu.
Kamadhatu yaitu bagian dasar candi sebagai simbol bahwa manusia identik dengan
penuh dosa.
Rupadhatu yaitu bagian tengah candi sebagai simbol bahwa kehidupan manusia di dunia
fana yang penuh dengan nafsu.
Arupadhatu yaitu bagian atas atau atap candi sebagai simbol bahwa manusia yang telah
mencapai nirwana. Biasanya berbentuk tambun dan disebut dengan Stupa.
Sebagian besar candi – candi Budha dihiasai dengan arca – arca Budha seperti arca
kelompok Dyani Budha dan arca kelompok Dyani Bodhisatwa yang biasanya menceritakan
tentang Lelitavistara dan Avadana atau Jataka.
Tata letak candi Budha adalah simetris dan mandala konsentris. Bangunan candi utama
berada di bagian tengah kompleks candi tersebut yang dikelilingi oleh candi – candi kecil yang
ditata rapi.
Contoh dari Candi Hindu adalah:
Candi Borobudur, Candi Plaosan, Candi Kalasan, Candi Sewu, Candi Sari, Candi Banyunibo,
Candi Sumberawan, Candi Muara Jambi, Candi Muara Takus, Candi Biaro Bahal, dan Candi
Jabung.
Untuk lebih jelasnya sudah kami rangkumkan perbedaan antara candi Hindu dan candi Budha
dalam tabel di bawah ini.
Bentuk Bangunan
Ramping Besar dan tambun
Candi
2. Dewa Wisnu
3. Dewa Siwa
Penggambaran Cerita Lelitavistara dan Avadana atau
Ramayana dan Krisnayana
Arca Jataka.
Atap Candi Atap candi – candi Hindu Atap candi – candi Budha
menunjukkan adanya undakan umumnya hanya satu tingkatan
yang terdiri undakan – undakan
yang berukuran kecil namun
dan biasanya terdiri dari 3 tingkat
jumlahnya banyak dan
undakan.
membentuk satu kesatuan dengan
lengkungan halus.
Tata Letak Tata letak candi Hindu adalah Tata letak candi Budha adalah
asimetris dan linier sesuai dengan simetris dan mandala konsentris.
topografi wilayah setempat.
Bangunan candi utama berada di
Bangunan candi utama berada di bagian tengah kompleks candi
belakang dan jauh dari pintu tersebut yang dikelilingi oleh
masuk serta biasanya dibangun di candi – candi kecil yang ditata
tanah yang paling tinggi di rapi.
kawasan kompleks candi tersebut.
Bantuk dari candi Hindu dan candi Budha tersebut banyak dipengaruhi oleh kedatangan
para pedagang, penjajah, dan penyerang yang menyebabkan berubahnya gaya arsitektur dan
teknik konstruksinya. Misalnya pengaruh dari India yang menyebabkan berubahnya arsitektur
candi dengan gaya klasik. Selain India ada pula dari China dan Arab serta negara – negara Eropa.