/1/ Pendahuluan
Peradaban India masuk ke Nusantara di sekitar awal tarikh Masehi melalui beberapa
proses sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para sarjana. Di antara banyak
pendapat, penjelasan dari N.J.Krom yang paling banyak diterima hingga sekarang.
Pendapat Krom itu dinamakan Hipotesa Waisya, menjelaskan bahwa masuknya
peradaban India ke kepulauan ini karena dibawa oleh kaum niagawan dan para
saudagar (waisya). Para pedagang itulah yang tentunya paling berkepentingan
berlayar membawa barang dagangannya untuk barter dengan penduduk pulaupulau lain atau daerah lain di luar India. Ketika sampai di kepulauan Nusantara,
penduduk setempat segera tertarik untuk belajar kepada para pedagang yang
terlihat lebih rapi dalam berpakaian dan cara hidupnya. Maka banyak penduduk
setempat yang belajar kepada para pendatang dari India tersebut, mereka terutama
belajar agama Hindu-Buddha yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk asli
Nusantara. Lambat laun kebudayaan India berangsur-angsur diterima di beberapa
tempat di Indonesia, dan di tempat itulah berkembang kebudayaan yang bercorak
Hindu-Buddha.
Teori-teori lainnya tidak banyak yang menerima, bahkan banyak pula yang
meragukan kebenarannya, seperti teori Ksatrya dari C.C.Berg dan Mookerdji dan
teori Brahmana dari J.C.van Leeur dan Nilakantha Shastri. Teori-teori tersebut
mengandung banyak kelemahan yang kemudian dilengkapi oleh pendapat
F.D.K.Bosch dengan teori Arus Berbaliknya. Menurut Bosch, setelah terjadi
kontak dengan para pedagang India dan setelah menerima pengaruh peradaban
India tersebut, banyak penduduk Nusantara yang kemudian pergi ke Tanah India
(Jambhudwipa) untuk melihat dan belajar langsung kepada kaum agamawan di
tempat asal kelahiran agama Hindu dan Buddha.
Dalam sejarah kebudayaan dikenal proses difusi dan akulturasi, jadi ketika orangorang India pertama kali melakukan kunjungan ke Asia Tenggara dengan membawa
barang niaganya dan budayanya, maka peristiwa itu berada dalam tahap difusi.
Dapat diterangkan bahwa difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan
dari satu lingkup kebudayaan tertentu kea rah lingkup-lingkup kebudayaan lainnya.
Dalam difusi belum ada proses penerimaan dari kebudayaan setempat, bisa saja
pengaruh kebudayaan yang baru datang itu diterima atau bahkan ditolak.
Tahapan selanjutnya dari difusi adalah proses akulturasi, jika didefinisikan secara
ringkas berarti proses penerimaan pengaruh budaya asing yang datang kemudian
diolah dan diubah lagi oleh masyarakat pendukung kebudayaan penerima sehingga
hasilnya merupakan wujud baru yang dianggap sebagai milik sendiri. Proses
akulturasi tersebut cukup kuat terjadi di kepulauan Nusantara masa silam. Segala
pengaruh budaya asing dari India, Islam, Eropa Barat (Kolonial Belanda) harus
mengalami pengolahan kembali oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Kemampuan
pengolahan kembali pengaruh budaya asing yang datang itu lalu dikenal oleh para
ahli dengan sebutan local genius.
Dengan demikian semua pengaruh asing yang telah dikembangkan di Nusantara,
akan mendapat pengolahan kembali dan citraan baru sesuai dengan selera
penduduk Nusantara itu sendiri. Hal inilah yang harus disadari bahwa pengaruh
asing itu ada, namun tidak akan sama dengan aslinya di tanah asalnya, karena
telah mengalamai pengindonesiaan.
/2/ Tiga Aspek Kebudayaan dari India
Sejatinya hanya 3 aspek kebudayaan India saja yang diterima oleh kebudayaan
prasejarah Nusantara, namun dari ketiga aspek itu kemudian kebudayaan Indonesia
memasuki zaman sejarah dan menghasilkan tonggak-tonggak kebudayaan penting
yang akan diacu terus hingga sekarang. Tiga aspek kebudayaan itu adalah:
1. Aksara Pallawa
2. Agama Hindu dan Buddha
3. Sistem penghitungan Kalender aka.
Aksara Pallawa merupakan penerimaan penting dalam kebudayaan prasejarah
Nusantara, berkat diterima dan digunakannya aksara Pallawa dalam kebudayaan
Nusantara, maka wilayah ini memasuki zaman sejarah di sekitar abad ke-4 M.
Aksara ini kemudian menurunkan berbagai aksara daerah di Nusantara, berkat
kepandaian menulis tersebut maka penduduk kepulauan Nusantara dapat
mendokumentasikan segala pengetahuannya dalam prasasti, karya sastra, inskripsi,
hikayat, sajarah, tambo dan sebagainya.
Aspek kedua adalah agama Hindu dan Buddha merupakan aspek sangat penting
dari ketiga aspek budaya dari India, sebab kedua agama itu mempengaruhi
berbagai sistem sosial lainnya. Sistem penataan masyarakat jelas mendapat
pengaruh kuat dari agama Hindu dan Buddha. Walaupun tidak ada bukti kuat bahwa
kasta diterapkan dengan ketat dalam masyarakat Jawa kuno, namun setidaknya
caturwarna itu disebutkan dalam berbagai prasasti Jawa Kuno dan Bali Kuno. Sistem
pemerintahan kerajaan juga mendapat pengaruh dari ajaran agama-agama India
itu, misalnya konsep raja cakrawarttin yang merupakan raja besar dengan wilayah
kekuasaan luas membentang hingga batas cakrawala dikenal oleh raja-raja masa
Hindu-Buddha Indonesia.
Penataan wilayah kerajaan berpusatkan kepada raja yang bersemayam di dalam
istananya yang setara Gunung Mahmeru, adalah pengejawantahan ajaran
makrokosmos tentang alam semesta dari kaum brahmana (Hindu) dan Buddha.
Raja diibaratkan sebagai dewa yang berada di puncak Mahmeru, gunung kosmos
dan axis mundi antara ketiga dunia. Di sekitar istana raja tentunya terdapat puripuri lainnya di 8 penjuru mata angin tempat tinggal kerabat raja dan para pembesar
kerajaan. Mereka yang tinggal di sekitar raja di arah 8 mata angin itu disejajarkan
dengan Asta-dikpalaka (8 dewa penjaga mata angin yang terdiri dari Kuwera
[utara], Isana, Indra [timur], Agni, Yama [selatan], Nrtti, Waruna [barat], dan Wayu).
Adapun sistem penghitungan tahun menjadi penting, karena sejak digunakannya
penghitungan tahun aka dalam berbagai prasasti, penduduk Nusantara dapat
menghitung waktu. Mereka tidak mengabaikan lagi berlalunya hari, bulan, dan
tahun, namun mereka dapat menghitungnya, sehingga dapat diketahui mulai kapan
seorang raja memerintah dan kapan pula masa akhir pemerintahannya.
Dengan penerimaan ketiga aspek kebudayaan India itu, maka nenek moyang
bangsa Indonesia telah menyempurnakan pencapaian peradabannya. Selain telah
mengenal 10 kepandaian sebelum datangnya pengaruh India, maka diterima pula 3
kepandaian baru, maka di awal sejarahnya dan sepanjang zaman Hindu-Buddha di
Nusantara nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengembangkan 13 kepandaian
yang mereka miliki.
/3/ Dewa-dewa Personifikasi Kekuatan Alam
Nenek moyang bangsa Indonesia agaknya telah mengenal sistem religi yang relatif
maju sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha. Para ahli kebudayaan kuno
kerapkali menyebutkan bahwa religi nenek moyang bangsa Indonesia itu adalah
Pemujaan Arwah Nenek Moyang (Ancestor Worship). Religi yang merupakan
perkembangan dari spiritisme, animism, dan dinamisme, mengajarkan bahwa
arwah seorang tokoh yang telah meninggal bersemayam di daerah ketinggian
(dataran tinggi, bukit, puncak gunung, pegunungan dan sebagainya). Arwah itu
dapat diseru sekali waktu untuk bersemayam di batu-batu tegak (menhir) di puncak
punden berundak. Inti dari religi ini adalah pemujaan kepada seorang tokoh
masyarakat yang telah mangkat.
Pada waktu agama Hindu-Buddha telah marak berkembang dalam abad ke-1315
di wilayah Jawa bagian timur, Bali, dan Sumatra, konsep Indonesia asli yang
memuja arwah leluhur itu tampil kembali dengan selaput Hindu-Buddha. Candicandi menggantikan punden berundak, sedangkan arca-arca perwujudan tokoh
yang telah mangkat menggantikan menhir-menhir di puncak punden. Maka dari itu
hewan atau manusia) yang dari bentuk itu keluar tanaman yang menjalar ke kanankiri meliuk ke atas atau bawah dan seterusnya. Motif itu sebenarnya adalah simbol
awal penciptaan dan perjalanan hidup bentuk ciptaan itu yang diwujudkan sebagai
tanaman yang menjalar kian-kemari.
Dewa Wisnu termasuk anggota Trimurtti, dalam pengarcaannya mempunyai ciri
sebagai berikut:
1. Digambarkan bertangan 4, masing-masing tangan memegang laksana (a)
gadha, (b) sangkha (terompet dari kulit kerang), (c) cakra (senjata cakram),
dan (d) kuncup bunga padma.
2. Di kepalanya memakai mahkota dari topi, dinamakan kirita-mukuta.
3. Sering kali digambarkan bersama Garuda sebagai vahananya (hewan
tunggangannya).
Mengenai wahana dewa-dewa Trimurtti lainnya, yaitu iwa Mahdewa dan Brahma,
mereka masing-masing mempunyai wahana Nandi (sapi jantan) dan Hamsa (angsa).
Nandi tidak selalu dihubungkan dengan iwa Mahdewa, namun kerapkali juga
dinaiki oleh Dewi Parwat sakti iwa Mahdewa. Dalam kisah wayang Purwa Jawa
dijelaskan bahwa Nandi sebenarnya mempunyai dua orang kakak lelaki, yaitu
Nandiwara dan Mahkala. Mereka bertiga semula hendak menghancurkan Suralaya
tempat persemayaman dewa-dewa , namun berhasil dikalahkan oleh iwa. Kedua
kakaknya lalu dijadikan penjaga pintu gerbang Suralaya, digambarkan juga sebagai
penjaga pintu masuk candi-candi aiwa di Jawa, sedangkan Nandi dijadikan hewan
tunggangan iwa.
Hamsa (angsa) dikenal sebagai wahana Brahma, menurut pandangan Hinduisme
adalah simbol dari kebebasan, sebab angsa dapat bebas hidup di air, pandai
berenang, di darat dapat berjalan ke manapun, dan di angkasa dapat angsa terbang
sesuai dengan keinginannya. Keadaan demikian setara dengan kebebasan yang
dimiliki oleh Brahma yang dapat menciptakan apapun di tataran dunia manapun.
Wahana-wahana juga dimiliki oleh dewa-dewa lainnya, beberapa dewa penting
dengan wahananya adalah:
1. Indra berwahana gajah
2. Agni mempunyai wahana domba
3. Yama mempunyai wahana kerbau hitam
4. Nairtti berwahana keledai
5. Waruna berwahana lumba-lumba
6. Wayu berwahana kijang
BUDDHA HINAYANA
BUDDHA MAHAYANA
TOKOH SUCI/DEWA
Mengenal Pantheon
(masyarakat dewa)
TUJUAN AKHIR
Mencapai Nirwana
Menjadi Buddha
UMAT PEMELUK
Arca-arca Buddha Mahayana yang penting adalah Panca Tathagata yang diposisikan
di 4 mata angin dan 1 titik pusat sebagai berikut:
Dalam bagan terlihat bahwa Tathagata penguasa barat adalah Amitabha, di utara
ada Amoghasiddhi, di tengah Wairocana dan seterusnya. Semua ciri arca Tathagata
sama yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah sikap tangannya atau
mudra. Ciri-ciri tersebut sering dinamakan mahapurusalaksanam antara lain adalah
sebagai berikut:
1.Terdapat tonjolan di puncak kepala (ushnisa)
2.Terdapat tanda seperti tahi lalat di tengah dahi (urna)
3.Leher bergaris 3
4.Daun telinga lebar dan panjang
5.Rambut keriting (mengikal) ke kanan (pradaksinawartakesa)
6.Mengenakan jubah tipis
7.Memperlihatkan sikap tangan (mudra) tertentu, sikap tangan masing-masing
Tathagata adalah:
a.Amitabha bersikap dhyanamudra (bermeditasi)
b.Amoghasiddhi bersikap tangan abhayamudra (menentramkan, tiada bahaya)
c.Aksobhya bersikap tangan bhummisparsamudra (menyentuh bumi sebagai saksi)
d.Ratnasambhawa bersikap waramudra (memberikan anugerah)
e.Wairocana bersikap dharmmacakraprawartanamudra (memutar roda dharma)
atau witarkamudra (memberikan nasehat).
Sikap tangan yang dimiliki oleh Tathagata itu ada hubungannya dengan peristiwa
dalam kehidupan Siddharta sebagai penganjurnya. Misalnya sikap bhummisparsa
yang diperlihatkan Aksobhya adalah sikap tangan Siddharta yang menyentuh bumi
ketika diganggu oleh anak-anak setan Mara dalam meditasinya di bawah pohon
Boddhi di kota Bodhgaya. Sikap dhyanamudra yang menjadi ciri Amitabha adalah
sikap ketika Siddharta telah berhasil memperoleh pengetahuan sempurna dan
pencerahan tentang dharma Buddha, dan sebagainya.
Selain arca-arca 5 Tathagata dalam Buddha Mahayan juga dikenal adanya kelompok
Bhoddhisattwa. Tokoh-tokoh Bhoddhisattva adalah emanasi dari para Tathagata,
Bhoddhisattwa yang penting adalah Awalokitewara, karena tokoh tersebut adalah
emanasi dari Tathagata Amitabha yang dipuja sebagai Tathagata masa sekarang.
Ciri Bhoddhisattwa Awalokitewara adalah adanya figur Tathagata Amitabha kecil di
mahkotanya. Awalokitewara dapat juga diwujudkan dalam bentuk ugra dan dipuja
oleh kaum Tantrayana, Awalokitewara demikian dinamakan dengan Amoghapaa.
Wujud arca seperti dewata dengan busana lengkap, namun dengan jumlah lengan
yang lebih dari 2, mata melotot dengan alis melengkung naik, kadang-kadang
terdapat ornamen tengkorak sebagai penghias tubuhnya. Hal yang menunjukkan
bahwa arca itu adalah Awalokitewara dalam wujud ugra adalah karena ada figur
Amitabha kecil di mahkotanya.
Dalam pada itu di Indonesia juga dikenal adanya arca-arca dengan hiasan stupa di
mahkotanya. Arca tersebut berbusana lengkap seperti raja-raja, bertangan dua dan
digambarkan duduk atau berdiri. Tokoh tersebut adalah Maitreya, Buddha di masa
yang akan datang, ia akan turun ke dunia untuk mengusir kebodohan (avidya) dan
ketidaktahuan akan dharma.
/6/ Epilog
Dalam ajaran Hindu-Buddha masa Indonesia Kuno dikenal suatu konsep yang
sebenarnya penting, namun jarang diperbincangkan, yaitu tentang akti (= enerji)
dewa. Setiap dewa mempunyai akti, dengan kesaktiannya itu dewa-dewa
melaksanakan tugasnya masing-masing. Tanpa saktinya dewa-dewa tidak
mempunyai enerji dan tidak bisa berbuat apa-apa. akti dewa tersebut kemudian
dipersonifikasikan sebagai perempuan, dan kemudian dijuluki dewi. Masyarakat
umumnya kemudian memandang Dewi tersebut sebagai pasangan dewa, dewi
merupakan istri sang dewa, padahal sejatinya merukan enerji dewa.
Dalam perkembangan pantheon selanjutnya dapat dimengerti apabila Dewi Parwat
dipandang sebagai istri iwa, araswat sebagai sakti Brahma, Sr dan Laksm
sebagai akt Wisnu, Aindr adalah sakti Indra, Yaman sebagai sakti Yama, bahkan
adalah agama Buddha Mahyana kemudian tampil juga sakti Buddha, yaitu Tara
atau yamatara yang merupakan pasangan umum dewa-dewa Buddha. Tara dalam
tahap selanjutnya dikenal dengan berbagai julukannya pula dan menjadi akti dari
Panca Tathagata dan juga para Bhoddhisattwa penting lainnya.
Pemujaan khusus kepada kekuatan dewa tersebut yang kemudian melahirkan
akta, yaitu kaum pemuja dewi yang merupakan personifikasi dari akti. Arca-arca
utama dari pemuja akta tentunya adalah dewi, baik yang berlaku santa ataupun
krodha. Arca Durga Mahissuramardin, Sr, Saraswat, Tara, dan bahkan kisah-kisah
kuno yang mengutamakan peran tokoh perempuan (Kisah Sudhamala, Sri Tanjung,
dan Calon Arang) termasuk bukti pemujaan terhadap akti. Gejala pemujaan
terhadap sakti baru mulai berkembang pesat dalam abad ke-13 sampai ke-15 ketika
pusat-pusat kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Jawa telah pindah lokasinya di Jawa
bagian timur. Pada masa yang bersamaan itu pula, tampil tokoh-tokoh perempuan
yang berperanan dalam sejarah Indonesia kuno, seperti Ken Dedes, Gayatri,
Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani, Suhita. Tokoh perempuan juga tampil
dalam kisah Panji, yaitu Dewi Sekar Taji atau Candrakirana.
Demikian pemahaman sepintas tentang ikonografi Hindu-Buddha dalam masa
Indonesia Kuno (Abad ke-815 M), masih banyak sekali uraian tentang ikonografi
Hindu-Buddha Indonesia kuno yang harus diperbincangkan. Kajian terhadap
gramadewata merupakan hal yang menarik, sebab arca-arca dengan wujud
demikian sebenarnya yang dapat dikatakan arca-arca asli kebudayaan Indonesia
tanpa adanya pengaruh luar, hanya saja belum banyak yang diungkapkan.
bahwa kota Majapahit tertata dengan mengikuti konsep Sanga Mandala dan Tri
Angga.
Agus Aris Munandar
Departemen Arkeologi
FIB UI