Anda di halaman 1dari 13

Tinjauan Ringkas Ikonografi Hindu-Buddha

Mataram Kuno (Abad ke-810 M)

/1/ Pendahuluan
Peradaban India masuk ke Nusantara di sekitar awal tarikh Masehi melalui beberapa
proses sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para sarjana. Di antara banyak
pendapat, penjelasan dari N.J.Krom yang paling banyak diterima hingga sekarang.
Pendapat Krom itu dinamakan Hipotesa Waisya, menjelaskan bahwa masuknya
peradaban India ke kepulauan ini karena dibawa oleh kaum niagawan dan para
saudagar (waisya). Para pedagang itulah yang tentunya paling berkepentingan
berlayar membawa barang dagangannya untuk barter dengan penduduk pulaupulau lain atau daerah lain di luar India. Ketika sampai di kepulauan Nusantara,
penduduk setempat segera tertarik untuk belajar kepada para pedagang yang
terlihat lebih rapi dalam berpakaian dan cara hidupnya. Maka banyak penduduk
setempat yang belajar kepada para pendatang dari India tersebut, mereka terutama
belajar agama Hindu-Buddha yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk asli
Nusantara. Lambat laun kebudayaan India berangsur-angsur diterima di beberapa
tempat di Indonesia, dan di tempat itulah berkembang kebudayaan yang bercorak
Hindu-Buddha.
Teori-teori lainnya tidak banyak yang menerima, bahkan banyak pula yang
meragukan kebenarannya, seperti teori Ksatrya dari C.C.Berg dan Mookerdji dan
teori Brahmana dari J.C.van Leeur dan Nilakantha Shastri. Teori-teori tersebut
mengandung banyak kelemahan yang kemudian dilengkapi oleh pendapat
F.D.K.Bosch dengan teori Arus Berbaliknya. Menurut Bosch, setelah terjadi
kontak dengan para pedagang India dan setelah menerima pengaruh peradaban
India tersebut, banyak penduduk Nusantara yang kemudian pergi ke Tanah India
(Jambhudwipa) untuk melihat dan belajar langsung kepada kaum agamawan di
tempat asal kelahiran agama Hindu dan Buddha.
Dalam sejarah kebudayaan dikenal proses difusi dan akulturasi, jadi ketika orangorang India pertama kali melakukan kunjungan ke Asia Tenggara dengan membawa
barang niaganya dan budayanya, maka peristiwa itu berada dalam tahap difusi.
Dapat diterangkan bahwa difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan
dari satu lingkup kebudayaan tertentu kea rah lingkup-lingkup kebudayaan lainnya.
Dalam difusi belum ada proses penerimaan dari kebudayaan setempat, bisa saja
pengaruh kebudayaan yang baru datang itu diterima atau bahkan ditolak.

Tahapan selanjutnya dari difusi adalah proses akulturasi, jika didefinisikan secara
ringkas berarti proses penerimaan pengaruh budaya asing yang datang kemudian
diolah dan diubah lagi oleh masyarakat pendukung kebudayaan penerima sehingga
hasilnya merupakan wujud baru yang dianggap sebagai milik sendiri. Proses
akulturasi tersebut cukup kuat terjadi di kepulauan Nusantara masa silam. Segala
pengaruh budaya asing dari India, Islam, Eropa Barat (Kolonial Belanda) harus
mengalami pengolahan kembali oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Kemampuan
pengolahan kembali pengaruh budaya asing yang datang itu lalu dikenal oleh para
ahli dengan sebutan local genius.
Dengan demikian semua pengaruh asing yang telah dikembangkan di Nusantara,
akan mendapat pengolahan kembali dan citraan baru sesuai dengan selera
penduduk Nusantara itu sendiri. Hal inilah yang harus disadari bahwa pengaruh
asing itu ada, namun tidak akan sama dengan aslinya di tanah asalnya, karena
telah mengalamai pengindonesiaan.
/2/ Tiga Aspek Kebudayaan dari India
Sejatinya hanya 3 aspek kebudayaan India saja yang diterima oleh kebudayaan
prasejarah Nusantara, namun dari ketiga aspek itu kemudian kebudayaan Indonesia
memasuki zaman sejarah dan menghasilkan tonggak-tonggak kebudayaan penting
yang akan diacu terus hingga sekarang. Tiga aspek kebudayaan itu adalah:
1. Aksara Pallawa
2. Agama Hindu dan Buddha
3. Sistem penghitungan Kalender aka.
Aksara Pallawa merupakan penerimaan penting dalam kebudayaan prasejarah
Nusantara, berkat diterima dan digunakannya aksara Pallawa dalam kebudayaan
Nusantara, maka wilayah ini memasuki zaman sejarah di sekitar abad ke-4 M.
Aksara ini kemudian menurunkan berbagai aksara daerah di Nusantara, berkat
kepandaian menulis tersebut maka penduduk kepulauan Nusantara dapat
mendokumentasikan segala pengetahuannya dalam prasasti, karya sastra, inskripsi,
hikayat, sajarah, tambo dan sebagainya.
Aspek kedua adalah agama Hindu dan Buddha merupakan aspek sangat penting
dari ketiga aspek budaya dari India, sebab kedua agama itu mempengaruhi
berbagai sistem sosial lainnya. Sistem penataan masyarakat jelas mendapat
pengaruh kuat dari agama Hindu dan Buddha. Walaupun tidak ada bukti kuat bahwa
kasta diterapkan dengan ketat dalam masyarakat Jawa kuno, namun setidaknya
caturwarna itu disebutkan dalam berbagai prasasti Jawa Kuno dan Bali Kuno. Sistem
pemerintahan kerajaan juga mendapat pengaruh dari ajaran agama-agama India
itu, misalnya konsep raja cakrawarttin yang merupakan raja besar dengan wilayah

kekuasaan luas membentang hingga batas cakrawala dikenal oleh raja-raja masa
Hindu-Buddha Indonesia.
Penataan wilayah kerajaan berpusatkan kepada raja yang bersemayam di dalam
istananya yang setara Gunung Mahmeru, adalah pengejawantahan ajaran
makrokosmos tentang alam semesta dari kaum brahmana (Hindu) dan Buddha.
Raja diibaratkan sebagai dewa yang berada di puncak Mahmeru, gunung kosmos
dan axis mundi antara ketiga dunia. Di sekitar istana raja tentunya terdapat puripuri lainnya di 8 penjuru mata angin tempat tinggal kerabat raja dan para pembesar
kerajaan. Mereka yang tinggal di sekitar raja di arah 8 mata angin itu disejajarkan
dengan Asta-dikpalaka (8 dewa penjaga mata angin yang terdiri dari Kuwera
[utara], Isana, Indra [timur], Agni, Yama [selatan], Nrtti, Waruna [barat], dan Wayu).
Adapun sistem penghitungan tahun menjadi penting, karena sejak digunakannya
penghitungan tahun aka dalam berbagai prasasti, penduduk Nusantara dapat
menghitung waktu. Mereka tidak mengabaikan lagi berlalunya hari, bulan, dan
tahun, namun mereka dapat menghitungnya, sehingga dapat diketahui mulai kapan
seorang raja memerintah dan kapan pula masa akhir pemerintahannya.
Dengan penerimaan ketiga aspek kebudayaan India itu, maka nenek moyang
bangsa Indonesia telah menyempurnakan pencapaian peradabannya. Selain telah
mengenal 10 kepandaian sebelum datangnya pengaruh India, maka diterima pula 3
kepandaian baru, maka di awal sejarahnya dan sepanjang zaman Hindu-Buddha di
Nusantara nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengembangkan 13 kepandaian
yang mereka miliki.
/3/ Dewa-dewa Personifikasi Kekuatan Alam
Nenek moyang bangsa Indonesia agaknya telah mengenal sistem religi yang relatif
maju sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha. Para ahli kebudayaan kuno
kerapkali menyebutkan bahwa religi nenek moyang bangsa Indonesia itu adalah
Pemujaan Arwah Nenek Moyang (Ancestor Worship). Religi yang merupakan
perkembangan dari spiritisme, animism, dan dinamisme, mengajarkan bahwa
arwah seorang tokoh yang telah meninggal bersemayam di daerah ketinggian
(dataran tinggi, bukit, puncak gunung, pegunungan dan sebagainya). Arwah itu
dapat diseru sekali waktu untuk bersemayam di batu-batu tegak (menhir) di puncak
punden berundak. Inti dari religi ini adalah pemujaan kepada seorang tokoh
masyarakat yang telah mangkat.
Pada waktu agama Hindu-Buddha telah marak berkembang dalam abad ke-1315
di wilayah Jawa bagian timur, Bali, dan Sumatra, konsep Indonesia asli yang
memuja arwah leluhur itu tampil kembali dengan selaput Hindu-Buddha. Candicandi menggantikan punden berundak, sedangkan arca-arca perwujudan tokoh
yang telah mangkat menggantikan menhir-menhir di puncak punden. Maka dari itu

kemudian dikenal arca perwujudan Wisnuwarddhana sebagai Amoghapaa


Bhairawa, arca perwujudan Anusapati sebagai iwa Mahdewa, dan arca
perwujudan Krtarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya) sebagai Hari-Hara.
Dalam hal ini terdapat perbedaan yang mendasar tentang awal dibuatnya arca-arca
dewa antara kebudayaan India dan Indonesia kuno. Arca-arca dewa India tidak
menggambarkan seseorang tokoh yang telah meninggal, melainkan merupakan
representasi kedua dari kekuatan alam. Representasi pertama adalah ketika orangorang Arya dalam masa India kuno menghormati dan takut kepada kekuatankekuatan alam dahsyat. Kekuatan alam seperti api, matahari, laut, gunung berapi,
gempa, berkembangnya tumbuhan, bunga mekar, kesuburan tanaman pangan, dan
sebagainya dipercaya dikuasai oleh suatu kekuatan, kemudian kekuatan itu
dinyatakan secara konkret seperti layaknya seorang manusia (personifikasi),
hadirlah kemudian tokoh dewa.
Tokoh-tokoh dewa utama dalam perkembangan selanjutnya dilengkapi dengan
keistimewaan dengan adanya penambahan anggota tubuhnya. Oleh karena itu
tidak mengherankan apabila arca-arca dewa Trimurti (Brahma, Wisnu, dan iwa)
digambarkan memiliki tangan 4, Brahma memiliki 4 kepala dan wajah
(caturmukha), dan iwa mempunyai mata ketiga di dahi (trinetra). Jadi arca-arca
dewa merupakan representasi kedua, karena konsep personifikasi kemudian
diwujudkan sebagai arca-arca dengan aturan tertentu, jika tidak sesuai dengan
kaidah pengarcaannya maka arca-arca tersebut dipandang tidak berguna dan
bukan merupakan arca yang sakral.
Dalam perkembangannya pengarcaan dalam ajaran Hinduisme tersebut kemudian
mempengaruhi pula agama Buddha, terutama agama Buddha Mahyana yang
mengenal banyak dewa. Oleh karena itu arca-arca Mahyana banyak yang
penggambarannya mirip dengan arca-arca dewa Hindu, terutama dalam tataran
Bhoddhisattwa dan Manusi Buddha. Adapun pengarcaan Buddha telah dibakukan
dan tidak mengambil ciri-ciri dewa Hindu, sebab sebagaimana diketahui acuan
pengarcaan Buddha bukannya kekuatan alam yang dipersonifikasikan, melainkan
memitoskan tokoh sejarah yang pernah hidup. Dalam upaya itu arca-arca Buddha
juga dikenakan kaidah tertentu yang menunjukkan adanya kelebihan dari manusia
biasa.
/4/ Mitos dan Pengarcaan Dewa Hindu
Arca-arca dewa mempunyai penggambaran yang berbeda, setiap wujud tertentu
dihubungkan dengan cerita tertentu pula yang berkenaan dengan tokoh dewa.
Kisah-kisah yang berkenaan dengan dewa-dewa di masa silam, di dunia
kedewataan atau manusia itu seringkali disebut dengan mitos, maka dalam mitologi
Hindu dikenal banyak mitos dengan berbagai macamnya yang berhubungan dengan
dunia kehidupan dewa-dewi.

Sesosok arca dewa/dewi digambarkan dengan selaput mitos kesucian atau


kesakralannya. Arca dewa dapat digambarkan berdiri, duduk, atau tiduran miring.
Apapun sikapnya arca-arca dewa mempunyai ciri selalu berada di permukaan bunga
teratai yang mengembang/teratai merah (padmasana). Bunga teratai dianggap
bunga suci, setara dengan dewa-dewa, sebab bunga teratai tidak tumbuh di tanah,
melainkan mengambang di permukaan air. Jadi apabila memandang arca dewa
yang berada di permukaan teratai, maka dalam pandangan mata batin harus
diartikan bahwa di bawah lapik (alas) teratai itu terdapat genangan air.
Di belakang tubuh arca dewa/i biasanya terdapat bentuk seperti sandaran kursi,
sebenarnya bentuk tersebut bukan dimaksudkan sebagai sandaran sebenarnya,
melainkan simbol dari sinar kedewataan yang memancar dari tubuh dewa/i,
dinamakan prabhamandala. Selain itu acapkali terdapat juga bentuk seperti
lingkaran di belakang kepala arca dewa/i, bentuk seperti itu dinamakan dengan
sirascakra suatu penanda kesucian pula dari tokoh dewa yang memilikinya.
Demikianlah bahwa sikap, busana, dan kelengkapan lainnya dari sesosok arca dewa
atau dewi sebenarnya mencerminkan mitos tertentu yang melatarbelakangi sikap
atau bentuk tertentu yang diperlihatkan oleh arca dewa.
Sebagai contoh arca iwa Mahdewa mempunyai banyak ciri penggambaran yang
senantiasa dihubungkan dengan kisah mitos yang melingkupinya. Ciri utama arca
iwa adalah sebagai berikut:
1. Digambarkan bertangan 4, masing-masing tangan memegang benda tertentu
(laksana), yaitu: (a) camara, (b) aksamala, (c) trisula, dan (d) kendi
kamandalu berisi air amerta.
2. Mahkota berupa rambut panjangnya sendiri yang disanggul meninggi,
dinamakan Jata Mukuta
3. Di bagian depan mahkota, di atas dahi terdapat bentuk tengkorak dialasi
bulan sabit.
4. Di dahi terdapat mata ketiga dengan posisi vertikal
5. Leher digambarkan biru (nilakantha)
6. Mengenakan tali kasta (upawita) ular Naga
7. Kain ditutup/dilapisi dengan kulit harimau gunung.
Terdapat sejumlah argumen mitologis yang berkenaan dengan karakter yang
dimiliki arca iwa. Misalnya trinetra terjadi karena kedua mata iwa awalnya ditutup
oleh Parwat (akti iwa) ketika ia sedang bertapa, akibatnya iwa tidak dapat
melihat alam semesta, maka dari itu terjadi bencana di mana-mana. iwa segera
menciptakan mata ketiga di dahinya untuk dapat menyaksikan alam semesta lagi,
dan bencana pun terhenti seketika.

Di atas dahi terdapat hiasan tengkorak dan bulan sabit (ardhacandrakapala),


menurut ajaran Hinduisme kedua benda itu adalah simbol kematian (tengkorak) dan
juga awal kehidupan baru (bulan sabit pertanda akan menjadi bulan penuh).
Dengan demikian sebagai Mahdewa, iwa dipandang menguasai kematian dan
juga awal kehidupan baru. Dalam pada itu benda laksana yang dipegangnya
masing-masing berarti, (a) pelenyap atau pengusir kotoran atau pengganggu
disimbolkan dengan camara, (b) pendeta agung atau Mahpandita disimbolkan
dengan aksamala (tasbih), (c) kendi kamandalu berisikan air amerta simbol dari
keabadian atau kehidupan abadi, dan (d) tombak berujung 3 atau trisula adalah
simbol senjata agung milik dewata utama.
Akan halnya arca Brahma yang digambarkan berwajah empat merupakan ciri
utamanya, sebab tidak ada lagi arca dewa lain dengan wujud demikian. Menurut
Mitos semula ia berkepala 5, satu kepala berada di puncak empat kepala lain. iwa
telah memotongnya karena Brahma pernah berlaku tidak sopan kepada iwa
setelah permohonannya kepada Mahdewa dikabulkan. Dalam mitos lain diuraikan
bahwa semula Brahma hanya memiliki satu kepala, namun ia sangat gemar
menonton kesenian, antara lain tarian para bidadari. Ketika para bidadari menari
mengelilinginya, sebagai dewa pencipta ia malu untuk menolehkan kepalanya untuk
melihat para bidadari itu yang mengitari dirinya, lalu diciptakan kepala-kepala lain
yang menghadap ke empat arah.
Brahma dalam mitos yang dikembangkan oleh kaum Waisnawa (para pemuja
Wisnu) lahir dari pusar Wisnu. Di awal penciptaan alam semesta diuraikan bahwa
terdapat lautan luas yang hening, tak ada angin dan gelombang, di samudera itu
terdapat ular Ananta yang mengambang melingkar-lingkar seperti kasur, di ular
yang mengambang itulah terdapat Wisnu yang sedang tidur. Setelah ratusan ribu
tahun lamanya, tiba-tiba dari pusar Wisnu muncullah tangkai bunga teratai,
kemudian berkembang menjadi bunga mekar. Di tengah-tengah teratai mekar itulah
muncul Brahma dewa pencipta yang kemudian menciptakan berbagai benda di
alam semesta ini.
Dalam pengarcaannya Brahma selalu digambarkan bertangan 4, kedua tangan
depan bersikap meditasi atau melakukan sikap lainnya, kedua tangan belakang bisa
juga memegang camara atau aksamala. Laksana milik Siwa lainnya ada di dekat
tubuh Brahma, yaitu trisula dan kendi kamandalu. Brahma dapat digambarkan
duduk bersila atau juga berdiri tegak, mahkota yang dikenakannya berupa topi yang
meninggi dinamakan kirita-mukuta, wajahnya digambarkan dengan raut orang tua.
Nama lain Brahma adalah Hiranyagarbha atau telur emas, karena ia dipandang
lahir dari telur emas alam semesta yang berkilauan. Setelah lahir, dewa ini
kemudian menciptakan berbagai benda dan makhluk yang selanjutnya mengisi
alam semesta. Hiranyagarbha juga seringkali menjadi nama salah satu motif hias
yang dipahatkan sebagai relief di candi-candi Jawa. Motif hias tersebut
memperlihatkan adanya wadah, jambangan, vas, gentong, atau wujud lainnya (bisa

hewan atau manusia) yang dari bentuk itu keluar tanaman yang menjalar ke kanankiri meliuk ke atas atau bawah dan seterusnya. Motif itu sebenarnya adalah simbol
awal penciptaan dan perjalanan hidup bentuk ciptaan itu yang diwujudkan sebagai
tanaman yang menjalar kian-kemari.
Dewa Wisnu termasuk anggota Trimurtti, dalam pengarcaannya mempunyai ciri
sebagai berikut:
1. Digambarkan bertangan 4, masing-masing tangan memegang laksana (a)
gadha, (b) sangkha (terompet dari kulit kerang), (c) cakra (senjata cakram),
dan (d) kuncup bunga padma.
2. Di kepalanya memakai mahkota dari topi, dinamakan kirita-mukuta.
3. Sering kali digambarkan bersama Garuda sebagai vahananya (hewan
tunggangannya).
Mengenai wahana dewa-dewa Trimurtti lainnya, yaitu iwa Mahdewa dan Brahma,
mereka masing-masing mempunyai wahana Nandi (sapi jantan) dan Hamsa (angsa).
Nandi tidak selalu dihubungkan dengan iwa Mahdewa, namun kerapkali juga
dinaiki oleh Dewi Parwat sakti iwa Mahdewa. Dalam kisah wayang Purwa Jawa
dijelaskan bahwa Nandi sebenarnya mempunyai dua orang kakak lelaki, yaitu
Nandiwara dan Mahkala. Mereka bertiga semula hendak menghancurkan Suralaya
tempat persemayaman dewa-dewa , namun berhasil dikalahkan oleh iwa. Kedua
kakaknya lalu dijadikan penjaga pintu gerbang Suralaya, digambarkan juga sebagai
penjaga pintu masuk candi-candi aiwa di Jawa, sedangkan Nandi dijadikan hewan
tunggangan iwa.
Hamsa (angsa) dikenal sebagai wahana Brahma, menurut pandangan Hinduisme
adalah simbol dari kebebasan, sebab angsa dapat bebas hidup di air, pandai
berenang, di darat dapat berjalan ke manapun, dan di angkasa dapat angsa terbang
sesuai dengan keinginannya. Keadaan demikian setara dengan kebebasan yang
dimiliki oleh Brahma yang dapat menciptakan apapun di tataran dunia manapun.
Wahana-wahana juga dimiliki oleh dewa-dewa lainnya, beberapa dewa penting
dengan wahananya adalah:
1. Indra berwahana gajah
2. Agni mempunyai wahana domba
3. Yama mempunyai wahana kerbau hitam
4. Nairtti berwahana keledai
5. Waruna berwahana lumba-lumba
6. Wayu berwahana kijang

7. Kumara/Balasubrahmaniya berwahana merak


8. Ganea berwahana tikus
9. Durga Mahissuramardin berwahana singa
Demikian beberapa contoh dewa/i dengan hewan tunggangannya (wahana), bahwa
hamper semua dewa penting dihubungkan dengan hewan tertentu yang dijadikan
wahananya. Sejatinya terdapat hubungan yang erat antara dewa dengan
wahananya. Misalnya Yama dewa maut penguasa arah selatan yang berwahanakan
kerbau, sebenarnya masyarakat Hindu India menghubungkan arah selatan sebagai
daerah agraris yang menggunakan hewan kerbau untuk mengerjakan lahan
pertanian. Daerah India selatan merupakan daerah pertanian yang miskin dan
gersang, walaupun terdapat juga area-area subur yang menggunakan hewan
kerbau. Maka daerah kemiskinan itu diidentikkan dengan wilayah kematian yang
dikuasai dewa maut, sang Yama.
Dewa-dewi berdasarkan mitosnya dapat bersikap baik (santa) dan dapat pula
menjadi marah atau murka (krodha/ugra). Apabila terdapat arca dewa/i yang
digambarkan tampan atau cantik dan tidak menakutkan, sebagaimana layaknya
manusia biasa, maka arca itu digambarkan secara santa, namun apabila ada arca
dewa/i yang digambarkan menakutkan, bengis, seperti mata melotot, alis naik,
dihias tengkorak, bertaring dan ciri lainnya yang seram, arca itu dibuat dengan sifat
uang krodha. Setiap arca Dewa/i dapat saja digambarkan secara santa atau ugra,
tergantung dari seniman (silpin) yang membuatnya dan tergantung kepada tujuan
ritualnya.
/5/ Tinjauan Ikonografi Arca Buddha
Gambaran tentang agama Hindu dan Buddha diibaratkan secara baik oleh beberapa
orang bijak yang mempelajari kedua agama itu. Seseorang yang mempelajari
agama Buddha seakan-akan orang itu memasuki suatu taman yang mempunyai
batasan jelas, ada pagar, tanamannya diatur secara baik, dikelompokkan dan
dipelihara, jadi ada juru peliharanya, yaitu Siddharta. Lain halnya dengan seseorang
yang belajar agama Hindu seakan-akan orang itu memasuki hutan rimba yang
lebat, penuh dengan semak belukar, tiada rambu petunjuk, tidak ada yang dapat
dijadikan acuan, banyak jalan setapak yang saling simpang siur memotong
sesamanya, dan bisa jadi orang itu tersesat di dalam rimba raya itu.
Perumpamaan itu dapat diartikan bahwa apabila mempelajari agama Buddha
Mahyana atau Hinayana sudah jelas batasannya, isinya yang bersifat universal,
artinya ajaran dasar dan kaidahnya akan sama di mana pun. Penganjurnya juga
jelas Siddharta Gautama putra raja Sudhodana penguasa kerajaan Kapilawastu. Dia
diakui oleh seluruh umat Buddha di manapun di dunia sebagai pengajar dharma
Buddha yang tetap diikuti ajarannya hingga sekarang.

Adapun agama Hindu tumbuh secara alami di tengah-tengah masyarakat kaum


Arya yang semula pengembara, setelah mereka menetap di India utara terjadi
perkembangan pesat dari agama tersebut dengan deretan dewa baru hasil
pemikiran kaum agamawannya. Semua ajaran dan dan mantram untuk menyeru
dewa yang diturunkan dari generasi ke generasi lalu dibukukan menjadi kitab-kitab
Weda yang berjumlah 4 (Rg Weda, Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda).
Agama Hindu Trimurti adalah reformasi dari agama Weda, setelah ajaran kaum
Brahmana tersebut terdesak oleh perkembangan agama Buddha yang pesat.
Agama Hindu dalam perkembangannya di berbagai wilayah India dan juga
kepulauan Nusantara lalu bercampur dengan agama rakyat yang telah ada
sebelumnya. Maka dewa-dewa Hindu pun banyak ditambahkan lagi, selain dewadewa Trimurtti dan dewata lainnya yang bersifat umum. Dewa-dewa tambahan
yang bersifat kerakyatan tersebut kerapkali dinamakan dengan Gramadewata atau
dewa-dewa desa. Tidak ada aturan ikonografi khusus tentang Gramadewata, dan
arca-arca yang bercorak Hindu-Buddha namun tidak sesuai dengan kaidah agama
tersebut banyak ditemukan di Jawa, beberapa di antaranya menjadi koleksi
museum.
Agama Buddha Hinayana dan Mahyana mempunyai perbedaan yang mendasar
walaupun keduanya berpangkal dari ajaran Siddharta Gautama. Setelah melalui
beberapa muktamar sepeninggal Siddharta, maka dalam awal tarikh Masehi kedua
agama itu pecah menjadi dua. Perbedaan antara Buddha Mahyana dan Hinayana
adalah sebagai berikut:
BUTIR PEMBEDA

BUDDHA HINAYANA

BUDDHA MAHAYANA

TOKOH SUCI/DEWA

Hanya Siddharta Gautama

Mengenal Pantheon
(masyarakat dewa)

TUJUAN AKHIR

Mencapai Nirwana

Menjadi Buddha

UMAT PEMELUK

Samha: hanyalah para


bhiksu dan bhiksuni

Samha: seluruh pemeluk


agama Buddha Mahayana

Dalam perkembangan selanjutnya sudah barang tentu arca-arca dari Buddha


Mahayana yang banyak ditemukan di Nusantara, sebab sejak sekitar abad ke-8 di
Sriwijaya telah berkembang agama tersebut, walaupun menurut I-tsing seorang
musafir Cina, dalam abad yang sama juga pernah berkembang Buddha Hinayana.
Buddha Mahayana terus Berjaya selama beberapa abad di Jawa, terbukti dengan
pembangunan candi besar kecil terus berlanjut hingga era Majapahit. Candi
Borobudur, Mendut, Ngawen, Kalasan, Sewu, Plaosan Lor, Sajiwan adalah beberapa
candi Buddha Mahayana di Jawa Tengah, sedangkan di Jawa Timur terdapat candi
yang bernafaskan Buddha sekaligus juga Hindu-Saiwa, yaitu Jago, Jawi, dan Jabung.

Arca-arca Buddha Mahayana yang penting adalah Panca Tathagata yang diposisikan
di 4 mata angin dan 1 titik pusat sebagai berikut:
Dalam bagan terlihat bahwa Tathagata penguasa barat adalah Amitabha, di utara
ada Amoghasiddhi, di tengah Wairocana dan seterusnya. Semua ciri arca Tathagata
sama yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah sikap tangannya atau
mudra. Ciri-ciri tersebut sering dinamakan mahapurusalaksanam antara lain adalah
sebagai berikut:
1.Terdapat tonjolan di puncak kepala (ushnisa)
2.Terdapat tanda seperti tahi lalat di tengah dahi (urna)
3.Leher bergaris 3
4.Daun telinga lebar dan panjang
5.Rambut keriting (mengikal) ke kanan (pradaksinawartakesa)
6.Mengenakan jubah tipis
7.Memperlihatkan sikap tangan (mudra) tertentu, sikap tangan masing-masing
Tathagata adalah:
a.Amitabha bersikap dhyanamudra (bermeditasi)
b.Amoghasiddhi bersikap tangan abhayamudra (menentramkan, tiada bahaya)
c.Aksobhya bersikap tangan bhummisparsamudra (menyentuh bumi sebagai saksi)
d.Ratnasambhawa bersikap waramudra (memberikan anugerah)
e.Wairocana bersikap dharmmacakraprawartanamudra (memutar roda dharma)
atau witarkamudra (memberikan nasehat).
Sikap tangan yang dimiliki oleh Tathagata itu ada hubungannya dengan peristiwa
dalam kehidupan Siddharta sebagai penganjurnya. Misalnya sikap bhummisparsa
yang diperlihatkan Aksobhya adalah sikap tangan Siddharta yang menyentuh bumi
ketika diganggu oleh anak-anak setan Mara dalam meditasinya di bawah pohon
Boddhi di kota Bodhgaya. Sikap dhyanamudra yang menjadi ciri Amitabha adalah
sikap ketika Siddharta telah berhasil memperoleh pengetahuan sempurna dan
pencerahan tentang dharma Buddha, dan sebagainya.
Selain arca-arca 5 Tathagata dalam Buddha Mahayan juga dikenal adanya kelompok
Bhoddhisattwa. Tokoh-tokoh Bhoddhisattva adalah emanasi dari para Tathagata,
Bhoddhisattwa yang penting adalah Awalokitewara, karena tokoh tersebut adalah
emanasi dari Tathagata Amitabha yang dipuja sebagai Tathagata masa sekarang.
Ciri Bhoddhisattwa Awalokitewara adalah adanya figur Tathagata Amitabha kecil di
mahkotanya. Awalokitewara dapat juga diwujudkan dalam bentuk ugra dan dipuja
oleh kaum Tantrayana, Awalokitewara demikian dinamakan dengan Amoghapaa.
Wujud arca seperti dewata dengan busana lengkap, namun dengan jumlah lengan
yang lebih dari 2, mata melotot dengan alis melengkung naik, kadang-kadang
terdapat ornamen tengkorak sebagai penghias tubuhnya. Hal yang menunjukkan
bahwa arca itu adalah Awalokitewara dalam wujud ugra adalah karena ada figur
Amitabha kecil di mahkotanya.
Dalam pada itu di Indonesia juga dikenal adanya arca-arca dengan hiasan stupa di
mahkotanya. Arca tersebut berbusana lengkap seperti raja-raja, bertangan dua dan

digambarkan duduk atau berdiri. Tokoh tersebut adalah Maitreya, Buddha di masa
yang akan datang, ia akan turun ke dunia untuk mengusir kebodohan (avidya) dan
ketidaktahuan akan dharma.
/6/ Epilog
Dalam ajaran Hindu-Buddha masa Indonesia Kuno dikenal suatu konsep yang
sebenarnya penting, namun jarang diperbincangkan, yaitu tentang akti (= enerji)
dewa. Setiap dewa mempunyai akti, dengan kesaktiannya itu dewa-dewa
melaksanakan tugasnya masing-masing. Tanpa saktinya dewa-dewa tidak
mempunyai enerji dan tidak bisa berbuat apa-apa. akti dewa tersebut kemudian
dipersonifikasikan sebagai perempuan, dan kemudian dijuluki dewi. Masyarakat
umumnya kemudian memandang Dewi tersebut sebagai pasangan dewa, dewi
merupakan istri sang dewa, padahal sejatinya merukan enerji dewa.
Dalam perkembangan pantheon selanjutnya dapat dimengerti apabila Dewi Parwat
dipandang sebagai istri iwa, araswat sebagai sakti Brahma, Sr dan Laksm
sebagai akt Wisnu, Aindr adalah sakti Indra, Yaman sebagai sakti Yama, bahkan
adalah agama Buddha Mahyana kemudian tampil juga sakti Buddha, yaitu Tara
atau yamatara yang merupakan pasangan umum dewa-dewa Buddha. Tara dalam
tahap selanjutnya dikenal dengan berbagai julukannya pula dan menjadi akti dari
Panca Tathagata dan juga para Bhoddhisattwa penting lainnya.
Pemujaan khusus kepada kekuatan dewa tersebut yang kemudian melahirkan
akta, yaitu kaum pemuja dewi yang merupakan personifikasi dari akti. Arca-arca
utama dari pemuja akta tentunya adalah dewi, baik yang berlaku santa ataupun
krodha. Arca Durga Mahissuramardin, Sr, Saraswat, Tara, dan bahkan kisah-kisah
kuno yang mengutamakan peran tokoh perempuan (Kisah Sudhamala, Sri Tanjung,
dan Calon Arang) termasuk bukti pemujaan terhadap akti. Gejala pemujaan
terhadap sakti baru mulai berkembang pesat dalam abad ke-13 sampai ke-15 ketika
pusat-pusat kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Jawa telah pindah lokasinya di Jawa
bagian timur. Pada masa yang bersamaan itu pula, tampil tokoh-tokoh perempuan
yang berperanan dalam sejarah Indonesia kuno, seperti Ken Dedes, Gayatri,
Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani, Suhita. Tokoh perempuan juga tampil
dalam kisah Panji, yaitu Dewi Sekar Taji atau Candrakirana.
Demikian pemahaman sepintas tentang ikonografi Hindu-Buddha dalam masa
Indonesia Kuno (Abad ke-815 M), masih banyak sekali uraian tentang ikonografi
Hindu-Buddha Indonesia kuno yang harus diperbincangkan. Kajian terhadap
gramadewata merupakan hal yang menarik, sebab arca-arca dengan wujud
demikian sebenarnya yang dapat dikatakan arca-arca asli kebudayaan Indonesia
tanpa adanya pengaruh luar, hanya saja belum banyak yang diungkapkan.

Bilik Semut, Gedung 3 FIB UI


Depok, 5 Maret 2010
DAFTAR PUSTAKA
Bernet Kempers, A.J., 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J.van Dep Peet.
Holt, Claire (1967). Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca dan London:
Cornell University Press.
Maulana, Ratnaesih, 1997. Ikonografi Hindu. Depok: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Munandar, Agus Aris, 2007. Kesejajaran Arsitektur Bangunan Suci Antara yang
Berada di India dan Jawa Kuna, dalam Jurnal Ilmiah Lingua, Volume 6 Nomor 2,
Oktober. Jakarta: Sekolah Tinggi Bahasa Asing STBA LIA.
Soekmono, R. (1986), Local Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di
Indonesia, dalam Ayatrohaedi (Penyunting), Kepribadian Budaya Bangsa Local
Genius. Jakarta: Pustaka Jaya; h. 228-246.
STUTLEY, MARGARETH & JAMES STUTTLEY, 1977. A Dictionary of Hinduisme: Its
Miythology, Folklore and Development 1500 BCAD 1500. London & Henley:
Routledge & Kegan Paul.
Riwayat hidup Agus Aris Munandar. Lahir di Indramayu, 13 Juli 1959, bekerja
sebagai salah seorang staff pengajar di Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Guru Besar di bidang Arkeologi
Indonesia. Lulus Sarjana Sastra Program Studi Arkeologi (S1) pada tahun 1984 dari
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, pada tahun 1990 menyelesaikan pendidikan
Magister Humaniora (S2) pada Program Studi Arkeologi, Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. Pada tahun 1999 berhasil mempertahankan disertasinya
yang berjudul Pelebahan : Upaya Pemberian Makna pada Puri-puri Bali Abad ke-14
19 dengan judicium cumlaude di Universitas Indonesia.
Sejumlah karya penelitian berupa makalah dalam berbagai seminar, artikel dalam
jurnal ilmiah, dan buku telah dihasilkannya. Buku yang telah terbit antara lain Sang
Tohaan: Persembahan untuk Prof Dr.Ayatrohaedi. Beberapa Kajian Pernaskahan dari
Perspektif Arkeologi (Akademia, 2004), Istana Dewa Pulau Dewata (Komunitas
Bambu [Kobam], 2005), Ibu Kota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian (Kobam,
2008), Gajah Mada Biografi Politik (Kobam, 2010), Tatar Sunda Masa silam
(Wedatama Widya Sastra [WWS], 2010), Catuspatha Arkeologi Majapahit (WWS,
2011), dan Proxemic Relief Candi-candi Abad Ke-810 (WWS, 2012), karya
terbarunya berjudul Tidak Ada Kanal di Kota Majapahit (WWS, 2013) menjelaskan

bahwa kota Majapahit tertata dengan mengikuti konsep Sanga Mandala dan Tri
Angga.
Agus Aris Munandar
Departemen Arkeologi
FIB UI

Anda mungkin juga menyukai