Abstrak
Budaya Nusantara telah terbentuk sejak 3.000.000 sampai 10.000 tahun sebelum Masehi.
Budaya pada masa ini disebut budaya Nusantara purba. Hidup nenek moyang bangsa ini pada
masa itu sangat tergantung pada alam. Mereka merupakan manusia primitif prasejarah.
Kepercayaan mereka pada masa purba adalah Animisme dan Dinamisme Mereka memuja dan
menyembah roh nenek moyang karena dianggap banyak pengalaman dan dipercaya mempunyai
kekuatan gaib. Muncullah upacara-upacara pemujaan kepada roh leluhur. Mereka juga
menganggap bahwa semua benda di sekitarnya mempunyai kekuatan gaib.
Pergaulan melalui perdagangan dengan bangsa asing, yaitu: India, Persia, dan Cina pada awal
abad pertama dimulai. Pengaruh kebudayaan India mulai masuk di Nusantara. Sistem
pemerintahan kerajaan diadopsi. Muncullah kerajaan-kerajaan di Nusantara, yaitu: Kerajaan
Kutai abad ke-5 di Kalimantan Timur, Kerajaan Sriwijaya abad ke-7 di Palembang, dan
Kerajaan Mataram Kuna pada abad ke-7-9 di Jawa Tengah.
Perjalanan hidup Budha menuju manusia sempurna melalui tiga tingkatan (Kamadhatu,
Rupadhatu, dan Arupadhatu) oleh Dinasti Salilendra (abad ke-8) di Mataram Kuna dipahatkan
pada Candi Borobudur. Sementara itu, ajaran Hindu oleh Kerajaan Mataram Kuna pada zaman
Dinasti Sanjaya (abad ke-9) dipahatkan dalam bentuk relief pada Candi Hindu terbesar di
Indonesia, yaitu Candi Prambanan. Bangunan utama Candi Prambanan berupa Candi Trimurti,
terdiri atas tiga, yaitu: Candi Brahma, Siwa, dan Candi Wisnu.
Setelah Kerajaan Mataram Kuna di Jawa Tengah runtuh, kelanjutan kerajaan berpindah ke Jawa
Timur, yaitu: Kerajaan Kediri (abad ke-11-12), Singasari (abad ke-13), dan Majapahit (abad ke13-15 (1293-1478 Masehi)). Semua kerajaan ini dibangun dengan konsep Hindu-Budha.
Bersamaan dengan mulainya keberaksaraan pada abad ke-9, mulai
digubah teks sastra religius yang bernafaskan Hindu-Budha.
Pada awal abad ke-13 melalui perdagangan juga, agama Islam mulai masuk di wilayah
Nusantara. Di Jawa Islam baru mulai masuk pada abad ke-15 atas jasa para wali.
Majapahit runtuh pada tahun 1478. Sebagai kelanjutan muncullah di Jawa Kerajaan Demak yang
dibangun berdasarkan Islam. Kerajaan Demak kemudian dilanjutkan dengan Kerajaan Pajang,
dan Mataram. Kerajaan Mataram pada tahun 1755 dibagi menjadi dua, yaitu
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Kasunanan
Bersamaan dengan munculnya Kerajaan Demak, mulai abad ke-15-19 banyak teks sastra
religius yang bernafaskan Hindu-Budha digubah menjadi bernafaskan Islam. Terjadilah
akulturasi penyebutan konsepsi Tuhan. Teks-teks sastra religius yang ditulis pada abad ke-1519, khususnya pada teks tasauf Jawa, untuk menyebut nama Tuhan tidak hanya dengan Allah
saja. Tetapi dengan banyak nama, di antaranya: Hyang Suksma, Hyang Widi, Pangeran, Hyang
Agung, Hyang Manon, Gusti, Kang Mahamulya, Hyang Tunggal, Kang Murbeng Alam, Ingkang
Amurba, Pangeran Ingkang Maha Minulya, Mahaluwih, Mahaagung, dan Hyang..
Abstract
Indonesian culture has been initiated since around three million to 10,000 years before century,
which is commonly known as ancient culture. Ancestors of the nation at that age were greatly
dependent upon natural resources. They were primitive and pre-historic people whose main
beliefs were categorized as animism and dynamism. They believed in the spirit of their ancestors
who possessed mythical powers and souls. From this idea, they then organized forms of worships
for praying to the spirit of their predecessors. In addition, they also believed that all surrounding
objects naturally possessed certain mythical powers.
In further relation through foreign commerce with India, Persia, and China, in the first centuries,
Indonesian culture began to assimilate with other cultures and customs from those countries. The
governmental system of monarchy, for instance, was initially adopted during the early age. As a
result, several kingdoms began to emerge, such as Kutai Kingdom in fifth century in East
Kalimantan, Sriwijaya Kingdom in seventh century in Palembang, South Sumatra, and Old
Mataram Kingdom in seventh to nineth century in Central Java.
The Buddhas search for true and supreme life, or nirvana, through three main phases, i.e.
Kamadhatu, Rupadhatu, and Arupadhatu, was beautifully engraved on Borobudur Temple by
Syailendra dynasty of Old Mataram Kingdom in eighth century. Meanwhile, Sanjaya dynasty
engraved the Hindu teachings on the largest Hindu temple in Indonesia, Prambanan Temple. The
main part of the temple is called Trimurti temple, which consists of Brahma, Siwa, and Wishnu
temples.
After the fall of Old Mataram Kingdom in Central Java, the center of the Javanese kingdom then
moved to East Java. There were several Hinduism and Buddhism based kingdoms at that time
such as Kediri (11th to 12th centuries), Singasari (13th century), and Majapahit (13th to 15th
centuries or 1293 1478 AD).
In response to the development of literacy level in 9th century, a number of literary manuscripts
on the teachings of Hinduism and Buddhism were composed considerably during the 9th to 15th
centuries.
In the early 13th century, Islam initiated its development in Indonesian archipelago through
commerce relationship. In Java, for example, Islam began to spread in 15th century by Muslim
scholars who were popularly known as wali.
Since the fall of the largest Javanese kingdom of Majapahit in 1478, an Islamic based kingdom
of Demak emerged. Following the fall of Demak, two kingdoms, i.e. Pajang and Mataram, then
dominated the island of Java. In 1755 Mataram Kingdom was divided into two smaller
sultanates, i.e. Surakarta and Yogyakarta Sultanates.
Since the rise of Demak Kingdom, a great number of Hinduism and Buddhism literature
manuscripts during the 15th to 19th centuries were rewritten into Islamic ones, which brought
about acculturation among different concept on addressing God. In the Javanese Sufism
manuscripts composed in 15th to 19th centuries, for instance, writers tended to address God
(Allah) as Hyang Suksma, Hyang Widi, Pangeran, Hyang Agung, Hyang Manon, Gusti, Kang
Mahamulya, Hyang Tunggal, Kang Murbeng Alam, Ingkang Amurba, Pangeran Ingkang Maha
Minulya, Mahaluwih, Mahaagung, or Hyang.
AKULTURASI
PENYEBUTAN KONSEPSI TUHAN
PADA TEKS SASTRA SULUK1
Makalah ini diangkat dengan beberapa revisi tambahan dari makalah berjudul Akulturasi Budaya: Lokal, HinduBudha, dan Islam dalam Penyebutan Konsepsi Tuhan pada Teks Sastra Tasauf Jawa Disajikan pada Seminar
Internasional Austronesia IV, Diselenggarakan oleh Pro gram Pascasarjana Universitas Udayana pada tanggal 20-21
Agustus 2007 di Denpasar, Bali.
Wilayah Sriwijaya meliputi sebagian Semenanjung Malaya, Selat Malaka (termasuk Singapura
sekarang), Sumatera Utara, Jambi, dan Sunda. Di samping sebagai pusat perdagangan dengan
angkatan armada lautnya yang kuat, Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat ilmu dan kebudayaan
Hindu-Budha. Yang berkunjung ke Sriwijaya tidak hanya orang-orang India, Persia, dan Cina;
tetapi juga bangsa Arab. Barang-barang yang diperdagangkan, di antaranya: hasil bumi kapur
barus, rempah-rempah; hasil budi daya laut mutiara; hasil kerajinan tekstil; dan hasil tambang
emas serta perak. Sebagai pusat budaya Budha, di Sriwijaya banyak dibangun vihara dengan
ribuan biksunya. Dalam hal ajaran kebudhaan Sriwijaya memberikan sinar ke seluruh Asia
Tenggara pada zamannya.
Berbeda dengan Sriwijaya, Kerajaan Mataram Kuna pada zaman Dinasti Sailendra (abad ke-8)
dalam menyebarkan ajaran perjalanan Budha menuju hidup sempurna, ajaran itu dipahatkan
dalam bentuk relief pada Candi Borobudur melalui tiga tingkatan (Kamadhatu, Rupadhatu, dan
Arupadhatu). Sementara itu, ajaran Hindu oleh Kerajaan Mataram Kuna pada zaman Dinasti
Sanjaya (abad ke-9) dipahatkan dalam bentuk relief pada Candi Hindu terbesar di Indonesia,
yaitu Candi Prambanan. Bangunan utama Candi Prambanan berupa Candi Trimurti, terdiri atas
tiga, yaitu: Candi Brahma, Siwa, dan Candi Wisnu. Pemahatan relief dalam bentuk candi
dimaksudkan agar kandungan amanat nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya mudah dipahami
selanjutnya diikuti dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat.
Bersamaan dengan munculnya kerajaan, budaya tulis-menulis diadopsi dari India. Mulai abad
ke-7 muncullah prasasti-prasasti dengan huruf Pallawa dan Dewanagari berbahasa Sansekerta.
Dalam prasasti itu muncul secara eksplisit penentuan waktu. Huruf Pallawa kemudian digubah
menjadi huruf Jawa Kuna. Mulai abad ke-9 muncul prasasti yang pertama kali berhuruf dan
berbahasa Jawa Kuna, yaitu Prasasti Sukabumi tahun 726 Saka (25 Maret 804 Masehi)
(Zoetmulder, 1983). Sejak saat itu budaya tulis-menulis secara intensif berlangsung di bumi
Nusantara, khususnya Jawa. Karya besar India Ramayana dan Mahabharata yang sarat dengan
kandungan ajaran nilai moral yang sebelumnya hanya dituturkan secara lisan kemudian pada
abad ke-9 digubah dalam bentuk tulis (Lombard, 1996:6) dengan huruf Jawa Kuna berbahasa
Jawa Kuna (Poerbatjaraka, 1957:2-3). Bersamaan dengan mulainya keberaksaraan pada abad ke9, mulai abad ke-9-15 banyak digubah teks sastra religius bernafaskan Hindu-Budha. Muncullah
pada abad ke-15 teks sastra mistik Dewaruci Tembang Gedhe dalam bahasa Jawa Pertengahan.
Setelah Kerajaan Mataram Kuna di Jawa Tengah runtuh, kelanjutan kerajaan berpindah ke Jawa
Timur, yaitu: Kerajaan Kediri (abad ke-11-12), Singasari (abad ke-13), dan Majapahit (abad ke13-15 (1293-1478 Masehi)). Semua kerajaan ini dibangun dengan konsep Hindu-Budha.
Majapahit merupakan kerajaan Hindu terakhir di Bumi Nusantara. Wilayahnya sama dengan
Indonesia sekarang ditambah Pahang (Malaya), Singapura, dan Johor (Achadiati, S., dkk.,
1988:11). Wibawanya sampai ke Cina Selatan (Campa). Majapahit mencapai puncak keemasan
sewaktu dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk dengan patihnya Gadjah Mada (meninggal 1346
Masehi)
Pada awal abad ke-13 melalui perdagangan juga, agama Islam mulai masuk di wilayah
Nusantara. Di Jawa Islam baru mulai masuk pada abad ke-15 atas jasa para wali. Kerajaan besar
Hindu Budha Majapahit mulai akhir abad ke-14-15 karena perebutan di antara para keluarga raja
Hyang Suksma
Hyang Suksma untuk menyebut Tuhan dalam teks Lokajaya terpakai 36 kali, di antaranya dalam
pupuh II Asmaradana bait 1 baris 4:
Sang wiku ngandika aris,
jnnge Seh Mlaya sira,
sira mlaya maune,
seh iku kasihing Suksma,
.
(Lokajaya dalam LOr. 11.629 : 194-195).
Terjemahan:
Sang biksu berkata pelan,
2
Data dari teks Centhini terbatas pada Centhini Jilid XII Pupuh 1-5.
Hyang Suksma atau Suksma untuk menyebut Tuhan dalam teks Lokajaya muncul paling banyak
di antara nama yang lain. Dalam teks Centhini muncul tujuh kali. Penyebutan Hyang Suksma
untuk Tuhan adalah sebagai realisasi konsepsi Hindu. Istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta
Suksma, dipungut sudah zaman kuna sekitar abad 9-15 terbukti terpakai dalam teks-teks, di
antaranya seperti
:
Udyogaparwa, Uttarakanda, Wrhaspatitattwa, dan Sang Hyang
Kamahayanikan (Zoetmulder, 1982:1841).
b. Hyang Widi Tuhan Yang Mahatahu, Tuhan Sang Pencipta
Hyang Widi untuk menyebut Tuhan Yang Mahatahu (Tuhan Sang Pencipta) dalam teks Lokajaya
muncul 30 kali, di antaranya dalam pupuh II Asmaradana bait 7 baris 1:
Kanugrahaning Hyang Widi
ambasani kasudibyan,
Hyang Widi untuk menyebut nama Tuhan dalam teks Centhini muncul tujuh kali. Penyebutan
Hyang Widi untuk Tuhan Sang Pencipta sebagai realisasi konsepsi Hindu (bdk. Wiana, 2004:2325). Nama ini dipungut sudah sejak zaman kuna sekitar abad ke-9-15, terbukti terpakai dalam
teks Jawa Kuna, di antaranya: Ghatotkacasraya dan Arjunawijaya (Zoelmulder, 1982:2262).
b. Allah Tuhan Allah, Tuhan Yang Maha Esa
Allah untuk menyebut Tuhan atau Tuhan Yang Maha Esa dalam teks Lokajaya muncul 23 kali,
di antaranya dalam pupuh IV Dhandanggula bait 4 baris 6:
Terjemahan:
Allah bersabda,
kun fayakun,
ada bumi dan langit,
Allah untuk menyebut nama Tuhan dalam teks Centhini muncul paling banyak, 11 kali.
Penyebutan Allah untuk Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai realisasi dari konsepsi Islam.
Istilah ini terpakai belum setua dengan Hyang Suksma dan Hyang Widi di atas, munculnya
bersamaan dengan masuknya Islam di bumi Nusantara sekitar abad ke-15-16.
c. Pangeran Tuhan, Tuhan Tempat Berlindung
Pangeran untuk menyebut Tuhan tempat berlindung dalam teks Lokajaya muncul sepuluh kali,
sedangkan dalam teks Centhini muncul empat kali. Dalam teks Lokajaya, di antaranya pada
pupuh VI Maskumambang bait 6 baris 1 dan 3:
Ing ciptane tan ana Pangeran malih,
ya dipunrumksa,
Pangeran liyaning Widi,
apan dadi ingkang wadhak.
(Lokajaya dalam Lor. 11.629:227).
Terjemahan:
Di dalam cipta tidak ada Tuhan lain-Nya.
Kuasailah,
Tuhan selain Hyang Widi,
yang menjadikan badan.
Penyebutan Pangeran untuk Tuhan sebagai tempat berlindung muncul sebagai realisasi konsepsi
Jawa (Tedjopremono dan Sidharta, 1980:2). Istilah ini terpakai sekurang-kurangnya sudah sejak
abad ke-16, seperti terbukti dalam teks Nawaruci (Zoetmulder, 1982:621).
d. Hyang Agung TuhanYang Mahabesar
Hyang Agung untuk menyebut Tuhan Yang Mahabesar dalam teks Lokajaya muncul sembilan
kali; sedangkan dalam teks Centhini muncul tiga kali. Dalam teks Lokajaya, di antaranya pada
pupuh II Asmaradana bait 8 baris 6:
Terjemahan:
Yang menguasai terhadap dirimu.
Yang menguasai dirimu
tidak ada yang mendahului.
Engkau dijadikan oleh Hyang Agung.
Hyang Agung besar anugerahnya.
Terpakainya Hyang Agung untuk menyebut Tuhan Yang Mahabesar adalah sebagai realisasi
konsepsi Islam, Hindu, dan Jawa. Istilah ini sudah terpakai sejak zaman kuna sekitar abad ke-915, di antaranya dalam: Adiparwa, Kidung Harsa-Wijaya, Udyogaparwa, dan Uttarakanda
(Zoetmulder, 1982:517 dan 557).
e. Yang Manon Tuhan Yang Mahatahu
Hyang Manon untuk menyebut Tuhan Yang Mahatahu dalam teks Lokajaya muncul sebanyak
delapan kali, sedangkan dalam teks Centhini muncul dua kali. Dalam teks Lokajaya di antaranya
terdapat pada pupuh II Asmaradana bait 6 baris 3:
Denbecik agamaniri,
agama pan tata krama,
krama kramate Hyang Manon,
.
(Lokajaya dalam LOr. 11.629:196).
Terjemahan:
Peliharalah agama ini.
Agama sebagai pedoman dalam kehidupan.
Pedoman dalam kehidupan dari Hyang Mahatahu.
.
Penyebutan Hyang Manon untuk Tuhan Yang Mahatahu atau Tuhan Yang Maha Melihat sebagai
realisasi konsepsi Jawa (Tedjopremono dan Sidharta. 1980 :2). Hyang Manon merupakan sisa
bentuk tua, terpakai di antaranya dalam teks Parthayajna (Zoetmulder, 1982:2029).
g. Gusti Tuhan
Penyebutan Gusti untuk Tuhan dalam teks Lokajaya muncul tujuh kali, di antaranya dalam
pupuh VI Maskumambang bait 7 baris 3:
Sarupane gsang uripe Hyang Widi,
pan ing yata tunggal,
kawula klawan Gusti,
skarat iku atunggal.
(Lokajaya dalam LOr. 11. 629:227-228)
Terjemahan:
Segala yang hidup karena Hyang Widi.
Demikianlah satu
hamba dengan Tuhan.
Mati itu manunggal dengan Tuhannya.
Penyebutan Gusti untuk Tuhan sebagai realisasi konsepsi Jawa (Tedjopremono dan Sidharta,
1980:2). Istilah ini sudah ada sejak zaman kuna sekitar abad ke-9-15, terbukti terpakai dalam
teks-teks seperti: Slokantara, Kidung Harsa-Wijaya, Wangbang Wideha, dan Sumanasantaka
(Zoetmulder, 1982:564).
h. Kang Mahamulya Tuhan Yang Mahamulia
Kang Mahamulya untuk menyebut Tuhan Yang Mahamulia dalam teks
Lokajaya muncul empat kali, sedangkan Hyang Kang Mahamulya dalam teks Centhini muncul
empat kali. Dalam teks Lokajaya di antaranya terdapat pada pupuh VI Maskumambang bait 5
baris 3:
Ya ppke ing urip puniku singgih,
lan Kang Mahamulya,
mulane badan puniki,
Hyang Tunggal atau Tunggal untuk menyebut Tuhan adalah sebagai realisasi konsepsi Islam dan
Jawa. Istilah ini dalam kepustakaan Jawa juga sudah terpakai sejak zaman kuna sekitar abad ke9-15, terbukti dalam teks-teks : Smaradhana, Sutasoma dan Tantri Kamandaka (Zoetmulder,
1982:2068).
Penyebutan Pangeran Ingkang Murbeng Alam atau Ingkang Murbeng Alam untuk menyebut
Tuhan Yang Menguasai Alam adalah sebagai realisasi konsepsi Jawa.
k. Ingkang Amurba Tuhan Yang Menguasai
Penyebutan Ingkang Murba atau Kang Murba untuk Tuhan Yang Menguasai Alam dalam teks
Lokajaya muncul dua kali, di antaranya dalam pupuh II Asmaradana bait 8 baris 2 dan 3:
Utamanira Ki Bayi,
denawas Ingkang Amurba,
Kang Murba marang dheweke,
wasana aneng sarira,
Ingkang Amurba atau Kang Murba untuk menyebut Tuhan Yang Menguasai Alam adalah
sebagai realisasi konsepsi Jawa.
l. Pangeran Ingkang Minulya Tuhan Yang Mahamulia
Pangeran Ingkang Minulya atau Ingkang Minulya saja untuk menyebut Tuhan Yang Mahamulia
dalam teks Lokajaya muncul dua kali, di antaranya dalam pupuh VIII Sinom bait 6 baris 1:
Sama dengan Ingkang Mahamulya atau Kang Mahamulya di atas Pangeran Ingkang Minulya
untuk menyebut Tuhan Yang Mahamulia adalah sebagai realisasi dari konsepsi Jawa.
m. Mahaluwih Tuhan Yang Mahalebih
Mahaluwih untuk menyebut Tuhan Yang Mahalebih dalam teks Lokajaya muncul dua kali,
sedangkan Hyang Mlahaluwih dalam teks Centhini muncul sekali. Dalam teks Lokajaya salah
satu di antaranya terdapat pada pupuh VII Pocung bait 2 baris 3:
Maesane roh puniku kang satuhu,
hiya tanpa jasad,
tanpa jisim Mahaluwih,
hiya iku mustikane sipat jamal.
(Lokajaya dalam LOr. 11.629:229).
Terjemahan:
Batu nisan roh yang sesunggunhnya,
tiada berbentuk.
Mahalebih tiada berjisim.
Ia merupakan permata sifat jamal (sifat yang baik).
Mahaluwih untuk menyebut Tuhan Yang Mahalebih dalam kutipan di atas adalah sebagai
realisasi konsepsi Jawa.
n. Hyang Mahaagung Tuhan Yang Mahabesar
Hyang Mahaagung untuk menyebut Tuhan Yang Mahabesar dalam teks Lokajaya hanya muncul
satu kali; dalam teks Centhini nama Hyang Kang Mahaagung juga sekali. Dalam teks Lokajaya
terdapat dalam pupuh IV Dhandanggula bait 6 baris 4:
Lah ta iku purwanireng nguni,
pan dadine skeh kang dumadya,
ing ngalam donya ppke,
saking Hyang Mahaagung,
Hyang Mahaagung untuk menyebut Tuhan Yang Mahabesar dalam kutipan di atas adalah
sebagai realisasi konsepsi Jawa.
o. Hyang Tuhan
Di samping nama-nama untuk menyebut Tuhan seperti disebutkan di atas
terdapat nama Hyang untuk Tuhan dalam teks Lokajaya dan teks Centhini. Hyang untuk Tuhan
dalam teks Lokajaya muncul satu kali, sedangkan dalam teks Centhini muncul enam kali. Dalam
teks Lokajaya terdapat pada pupuh II Asmaradana bait 13 baris 7:
Mada, Yogyakarta.
Poerbatjaraka, R.Ng. 1957. Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan.
Prijohutomo. 1953. Sedjarah Kebudajaan Indonesia II Kebudajaan Hindu di
Indonesia. Djakarta Groningen: J.B. Wolters.
Semah, Franqois; Anne-Marie Semah, dan Tony Djubiantoro. 1990. Ils Ont
Decouvert Java, They Discovered Java, Mereka
Menemukan Pulau Jawa. Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional & Museum National DHistoire Naturlle.
Wiana, Ketut. 2004. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan; Wayan
Supartha (Peny.). Jakarta: Manikgeni.
Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang pandang.
Penerjemah Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan.
_____________. & S.O. Robson. 1982. Old Javanese English Dictionary.
Martinus Nijhoff: s-Gravenhage.
I.
Pendahuluan
1. Judul makalah
Saya diminta oleh Drs. Nindya Noegraha, Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus
Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi, Perpustakaan Nasional RI, sebagaimana tertuang
dalam suratnya tertanggal 7 Juni 2007, Nomor : 366/3.3.2/q/VI.2007, untuk memberikan
makalah dalam Seminar 5-6 September 2007, dengan judul : Panteisme dalam Naskah
Ronggowarsito. Dalam kesempatan ini judul yang saya berikan adalah : Manunggaling
Kawula Gusti Menurut Serat Wirid Hidayat Jati dan Pengembangannya dalam
Kenyataan Hidup Sekarang. Judul ini sangat menarik dan menantang.
2. Manunggaling Kawula Gusti dalam konteks kebudayaan spiritual
Manunggaling Kawula Gusti adalah istilah budaya spiritual Jawa yang amat digemari
oleh orang Jawa. Istilah ini seolah-olah seperti besi berani yang mampu menyedot
perhatian dan keinginan tahu orang Jawa. Ini menandakan bahwa orang Jawa memiliki
keinginan tahu tidak hanya sekedar mendekatkan diri kepada Tuhan akan tetapi lebih dari
itu ingin manunggal dengan Tuhannya.
Kalau direnungkan Manunggaling Kawula Gusti pasti dijadikan topik dalam kehidupan
para nabi dan para rasul Tuhan, tidak mustahil diminati oleh para tokoh spiritual yang
cinta kepada Tuhan dari seluruh dunia, karena Manunggaling Kawula Gusti pada
hakikatnya fenomena hidup yang universal.
Kalau kita membicarakan Manunggaling Kawula Gusti dalam proyeksi budaya, mau
tidak mau kita memasuki ranah spiritual yang ditunjang oleh ranah rasional dan
imajinatif. Dalam perspektif dan lintasan sejarah kebudayaan, sesungguhnya
Manunggaling Kawula Gusti tidak bisa lepas dari jalur-jalur budaya penetrasi, asimilasi,
II.
lainnya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pengertian baik dalam dzat-Nya,
mengandung makna bahwa Tuhan itu Maha Sempurna, Maha Segala-galanya. Tak ada
seorang pun di dunia yang dapat melukiskan bahkan menghitung jumlah nikmat,
kebesaran, keunggulan, ketinggian, kehalusannya, dan sebagainya. Sia-sia manusia
menghitung kasih Tuhan, karena tak terbilang banyaknya. Pengertian baik dalam sifatNya bermakna Tuhan memiliki sifat yang jumlahnya di atas jumlah seluruh sifat baik
manusia di dunia. Dalam dunia Islam Tuhan dibatasi mempunyai sifat sebanyak 99,
sedangkan dalam Hindu jumlah sifat Tuhan ada 108. Sifat-sifat Tuhan yang
dideskripsikan di dalam kitab-kitab suci harus dipandang sebagai sifat-sifat yang
diketahui dan dipersepsikan oleh manusia berdasarkan keterbatasan kemampuan
berfikir manusia itu sendiri. Dengan kata lain, Tuhan memerintahkan kepada manusia
untuk berbuat baik seperti kebaikan yang diwujudkan oleh Tuhan itu sendiri. Dalam
bahasa teknis spiritual Jawa, manusia dalam hidupnya berkewajiban untuk manembah
(bersembah/menyembah) kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta dan Memayu
Hayuning Bawana (Mengusahakan Keselamatan, Kebahagiaan, dan Kesejahteraan
Hidup di Dunia).
Bagi orang yang menolak Manunggaling Kawula Gusti, beranggapan bahwa tidak
mungkin Tuhan dapat manunggal dengan manusia atau manusia dapat manunggal
dengan Tuhan, sebab antara manusia dengan Tuhan berbeda sekali Dzat, Sifat, dan Sir
(Rahsanya). Karena itu omong kosong kalau terjadi peristiwa Manunggaling Kawula
Gusti. Sayangnya yang berkata itu tidak menjelaskan bagaimana hubungan yang paling
intens antara manusia dan Tuhannya, serta tidak pula dapat menerangkan kapan hal itu
bisa dicapai. Di waktu telah meninggal? Atau sekalipun sudah meninggal sama sekali
tidak mungkin terjadi peristiwa Manunggaling Kawula Gusti. Wallahu alam Bissawab.
3. PR (pekerjaan rumah)
Menurut pemahaman saya Manunggaling Kawula Gusti, yang sekarang dibicarakan
dalam Seminar ini lebih bersifat ke wacana. Dari sisi ilmiah kita akan mendapatkan
data-data. Manunggaling Kawula Gusti tanpa diaktualisasikan ke dalam kenyataan,
akan terus hanya berisi gundukan teori yang tidak membawa kemajuan spiritual yang
akhirnya tidak dapat merubah perilaku hidup bangsa Indonesia menuju ke kehidupan
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. sia-sia.
III.
mengerti harus dapat mengetahui siapa sebenarnya dirinya itu? Dan bagaimana
dengan Tuhan Sang Pencipta Semesta Alam? Setelah mengetahui lalu
mempelajarinya supaya dapat pulang kembali keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ini bukan hal yang mudah, memerlukan perjuangan yang maha dahsyat, karena setiap
manusia dalam kodratnya diliputi oleh nafsu-nafsu angkara murka yang menjadi
perintang utama dalam upaya seseorang mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Sebenarnya akar permasalahan terdapat pada pemahaman manusia terhadap
Tuhannya. Antara Tuhan dengan manusia dan sebaliknya ada distansi (jarak) atau
tidak? Yang berpendirian terdapat distansi beranggapan bahwa antara manusia dan
Tuhannya tidak dapat manunggal. Sedangkan yang berpendirian tanpa distansi
beranggapan bahwa antara manusia dan Tuhannya bisa manunggal, sebab Tuhan ada
di dalam diri manusia, bersemayam di dalam hati sanubari manusia (dalam bahasa
Jawa : pulung ati). Sampai sekarang hal ini menjadi bahan diskusi yang tak ada hentihentinya, bahkan mungkin sejak dahulu ketika manusia telah memiliki kesadaran dan
kecerdasan spiritual.
Untuk mencapai Manunggaling Kawula Gusti ada dua jalan, jalan klasik dan jalan
modern. Jalan klasik seperti yang disusun oleh pujangga besar R. Ng. Ronggowarsito
dalam Serat Wirid Hidayat Jati. Jalan ini panjang, karena harus melalui tahapantahapan syariat, tharikat, hakikat, dan makrifat. Sedang jalan modern relatif pendek,
seperti yang dicontohkan oleh Sapto dan Romo Rochadi. Persamaan kedua metode
dari jalan modern ini adalah diawali dengan pembersihan lahir-batin lebih dahulu.
Kalau lahir-batin telah bersih dari kotoran-kotoran maka jalan menuju Manunggaling
Kawula Gusti relatif tidak sulit ditempuh. Jalan modern tidak perlu melalui tahap
syariat, tharikat, hakikat, makrifat, akan tetapi asal memenuhi standar minimal bersih
dan suci. Bersih istilah untuk lahir, suci istilah untuk batin.
Akhir dari Manunggaling Kawula Gusti yang ideal adalah mati muksa (moksa atau
mukswa), yaitu mati meninggalkan dunia untuk menghadap kepada Tuhan berikut
raganya. Di jaman dahulu tokoh yang bisa muksa adalah antara lain : Yesus Kristus,
Raja Jayabaya, Syeh Siti Jenar, Eyang Poncodhiharjo, dan lain-lain. Yang tidak
tersebut namanya. Hal-hal seperti itu sangat dirahasiakan, artinya tidak untuk
konsumsi umum. Ronggowarsito sendiri dalam kisah hidupnya, wafatnya tidak
muksa. Namun demikian, beliau dapat pengertian batin tentang kapan hari dan
tanggal beliau wafat, yaitu seminggu sebelumnya.
Yang dimaksud dengan muksa adalah meninggal menghadap Tuhan Sang Maha
Pencipta berikut raganya. Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat, muksa
itu bermacam-macam. Ada yang muksa dengan berkesadaran penuh, disaksikan oleh
orang lain. Contohnya adalah Krisna berikut asuhannya Pandawa Lima (dalam
pewayangan dikemukakan dalam lakon Pandawa, setelah sampai waktunya mereka
muksa berikut raganya. Sedang yang menyaksikan adalah Wiyasadewa. Cerita ini
terdapat dalam Mahabharata bagian akhir. Dalam pewayangan diungkapkan lewat
lakon Pandawa Mukswa. Adalagi muksa yang terjadi ketika jenasah sedang
diletakkan di liang lahat lalu terdengar bunyi seperti ledakan dimana semua orang
menyaksikan dan ternyata jenasah itu hilang dari penglihatan yang tinggal hanyalah
tikar dan pembungkus jenasah. Adalagi muksa yang terjadi setelah jenasah beberapa
lama dimakamkan. Ini dibuktikan ketika jenasah digali atas perintah keluarganya
berhubung sang istri ketika meninggal minta dikebumikan menjadi satu dengan
suaminya. Setelah digali ternyata jenasah suaminya sudah tidak ada alias kosong. Di
kalangan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, ada kejadian
serupa yang intinya sama. Konon hal ini terjadi pada orang-orang tertentu di kalangan
penghayat yang menganut ilmu manunggal bimbingan Romo Semana.
Adalagi peristiwa yang menyerupai muksa dinamakan musna. Di kalangan spiritual
Jawa hal ini dipercayai banyak orang. Musna adalah peristiwa kematian, raganya
menghilang entah ke mana, tetapi di alam lain (gentayangan). Orang awam
menyebutnya digodhol demit. Wallahu alam Bisawab.
Adalagi istilah murca, ini bukan muksa ataupun musna, tetapi pergi tanpa pamit
untuk mencari ilmu. Karena tanpa pamit maka ia menjadi sasaran pencaharian orangorang keluarganya. Dalam lakon wayang yang biasa murca adalah Arjuna, yang
ternyata menghilangnya disebabkan karena mencari ilmu. Ketahuannya setelah ia
muncul kembali di tengah-tengah keluarga Pandawa.
Secara akal sehat, kalau begitu muksa dapat dipelajari dan digayuh (dipelajari dan
dicapai). Masalah berhasil tidaknya amat bergantung dari yang bersangkutan dengan
Tuhannya, artinya kalau ia bersungguh-sungguh dan Tuhan menghendaki, ia
diperkenankan Tuhan untuk muksa. Yang jelas gegayuhan muksa memerlukan
persyaratan yang luar biasa beratnya.
Kalau diproyeksikan ke dalam pemikiran spiritual, peristiwa ini sesungguhnya tidak
mengherankan, karena :
a. Kalau seseorang masih terikat-erat dengan urusan keduniawian, maka sudah
dengan sendirinya hasilnya
menjadi manusia duniawi (manusia yang
diliputi oleh
nafsu-nafsu duniawi), artinya manusia yang masih digubel
oleh tuntutan-tuntutan duniawi.
b. Kalau manusia sudah tidak terikat oleh tarikan-tarikan dan/ atau tuntutantuntutan duniawi, maka ia telah mulai menjadi orang yang percaya akan adanya
Tuhan. Untuk kemudian meningkat menjadi orang-orang yang taat kepada
Tuhannya, lalu meningkat menjadi orang-orang yang mendekat kepada
Tuhannya kemudian meningkat lagi menjadi orang-orang yang ikhlas dan
pasrah kepada Tuhannya, kemudian meningkat lagi menjadi orang-orang yang
dikasihi Tuhannya dan akhirnya meningkat menjadi orang-orang suci. Dalam
bahasa spiritual ia sudah berada dalam alam transendental (terbawa oleh
paradigma-paradigma uhrawi) bukan lagi imanen (terbawa oleh tarikan-tarikan
bumi, khususnya duniawi).
Tataran kesucian adalah tataran spiritual yang tertinggi. Kualitas manusia kalau
dilihat dari bawah adalah :
a. Wong (manusia hewani), yaitu manusia yang perilakunya masih diliputi nafsunafsu hewani, misalnya serakah mau menang sendiri tidak membutuhkan
kawan kecuali yang menguntungkan, dendam, tidak jujur, pendeknya semua
sifat yang sama sekali tidak baik.
b.Manunggsa (manusia insani), yaitu manusia yang telah mengenalkesusilaan
(etika) dan tatakrama (estetika), jenis manusia ini sudah mengenal teposeliro
(tenggang rasa), berbudi pekerti, dan lain-lain.
c. Jalmo (manusia beragama), yaitu manusia yang telah mengenal Tuhan dan siap
menjalankan perintah agama tanpa reserve tanpa kritik. Dalam bahasa Jawa :
mituhu (taat).
d. Jalmo Winilis (manusia yang sudah dapat menerima bisikan gaib dari Tuhan),
yaitu manusia yang telah diperkenankan Tuhan untuk menerima tuntunan-Nya,
seperti para nabi.
e. Jalmo pinilih-pininta (manusia yang telah diperkenankan menerima tuntunan
Tuhan dan diperkenankan pula
menyebarluaskannya), yaitu manusia yang
secara berkesadaran bisa berkomunikasi (berdialog) dengan Tuhannya secara
langsung untuk menyebar secara luas perintah-perintah Tuhan. Contoh : para
Rasul (utusan Tuhan).
Selaras dengan kualitas manusia, ilmu pun menurut budaya
menjadi lima tataran :
spiritual
Jawa
terbagi
a. Ilmu dan laku kanuragan atau jaya-kawijayan atau dhugdheng, yaitu ilmu
dan laku yang mengandalkan kesaktian raga atau kekebalan tubuh, seperti :
dipukul tidak mempan, ditusuk tidak pasah, ditendang tidak jatuh, dan
sebagainya. Dalam kenyataan hidup contohnya banyak, yaitu orang-orang yang
mengunakan aji-aji tertentu supaya misalnya tidak tedhas tapak paluning
pandhe (tidak mempan senjata tajam atau kebal akan pukulan dan senjata
tajam). Dalam dunia wayang, contoh ini ditampilkan oleh satria-satria baik
Pandawa maupun Kaurawa.
b. Ilmu dan laku sankan-paran (ilmu dan laku pengenalan diri atau ontologi),
yaitu ilmu dan laku untuk mengenal diri pribadi, wujudnya adalah belajar hidup
berbudi pekerti luhur sebagai andalan hidup. Biasanya jenis manusia yang
menganut ilmu dan laku ini menganggap dirinya tidak perlu manembah
(bersembah kepada Tuhan) secara formal seperti yang ditunjukkan oleh
syariat agama, karena dalam melaksanakan budi pekerti luhur sudah
otomatis melekat sikap manembah kepada Tuhan Yang Maha Esa secara tidak
langsung (implisit). Misalnya, tidak boleh menipu, tidak boleh sombong, tidak
boleh benci, tidak boleh menyinggung perasaan orang lain (menjaga akhlak,
moral, atau rasa), harus tahu diri, harus dapat tenggang rasa, tidak boleh
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Sunan Ngantasangin
Sunan Kalijaga
Sunan Tembayat
Sunan Kalinyamat
Sunan Gunung Jati
Sunan Kajenar
Catatan : Dalam angkatan ini yang tidak ikut adalah : Sunan Giri Kadhaton,
Sunan Tandhes, Sunan Majagung, Sunan Bonang, Sunan Wuryapada. Diganti
oleh : Sunan Giri Parapen, Sunan Darajat, Sunan Ngantasangin, Sunan Kalijaga,
Sunan Tembayat.
Angkatan ketiga, diberikan dalam periode yang sama, yaitu periode akhir Negara
Demak sampai menjelang timbulnya Kerajaan Pajang, juga oleh 8 orang wali, yaitu :
(1) Sunan Parapen
(2) Sunan Darajat
(3) Sunan Ngantasangin
(4) Sunan Kalijaga
(5) Sunan Tembayat
(6) Sunan Padusan
(7) Sunan Kudus
(8) Sunan Geseng
Catatan : Dalam angkatan ini yang tidak ikut adalah : Sunan Kalinyamat, Sunan
Gunung Jati, Sunan Kajenar. Diganti oleh : Sunan Padusan, Sunan Kudus, Sunan
Geseng.
Di jaman Mataram ajaran makrifat tersebut, dipelihara oleh rajanya bernama Ingkang
Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabuanyakrakusuma. Oleh sang raja ilmu makrifat ini
dikembangkan oleh sebuah tim yang terdiri dari : Panembahan Purubaya, Panembahan
Ratu Pekik, Panembahan Jurukithing, Pangeran ing Kadilangu, Pangeran ing Kudus,
Pangeran ing Tembayat, Pangeran ing Kajoran, Pangeran Wongga, Panembahan
Juminah. Ilmu makrifat tersebut bersumber dari Al-quran, Hadits, Ijma, dan Qiyas
ditambah dengan kutipan-kutipan dari kitab-kitab tasawuf. Juga dinyatakan ada
petunjuk dari Tuhan kepada Nabi Musa.
Inti ajaran makrifat adalah bahwa manusia itu manifestasi Dzat Yang Esa. Ini adalah
akar dari ilmu makrifat. Ilmu makrifat ini seperti wiridannya para nabi, para wali ing
jaman kuno, kemudian disesuaikan oleh para pandita (ahli ilmu), untuk akhirnya
menjadi wejangan yang diberikan oleh masing-masing ahli ilmu makrifat. Atas inisiatif
Sultan Agung pengetahuan makrifat tersebut dihimpun dan dikoordinasi menjadi satu
atas dasar kemufakatan bersama. Ada yang mewiridkan secara teknis ilmu makrifat
saja, malah kadang-kadang ada yang menguraikan ilmu talek dan patah, dan
sebagainya. Ada pula yang menguraikan tentang ilmu kanuragan (sesorogan).
Ilmu tersebut di atas (makrifat dan sebagainya) akhirnya dipelajari oleh Kiyahi Ageng
Muhammad Sirrolah ing Kedhung Kol, tahun 1779. Yang berkaitan dengan ilmu
makrifat kemudian disusun oleh R. Ng. Ronggowarsito, pujangga besar Keraton
Surakarta Hadiningrat.
Isi ilmu makrifat
Secara keseluruhan kalau disistematisasi isi ilmu makrifat meliputi :
Pembukaan wirid
a. Wisikan Ananing Dat (Bisikan adanya Dzat) :
Isinya menerangkan bahwa sebelum terjadi apa-apa, yang terlebih dulu ada adalah
awang-uwung, dimana yang berdiri adalah Ingsun, tidak ada Pangeran (Tuhan)
yang ada hanyalah
Ingsun, yaitu sejatinya Dzat Yang Maha Suci.
b. Wedharan Wahananing Dat (Uraian tentang rincian ujud kejadian Dzat) :
Isinya menerangkan bahwa proses terjadinya wujud manusia terinci sebagai berikut
:
1) Kayu bernama Sajaratul yakin.
2) Cahaya bernama Nur Muhammad.
3) Kaca bernama Miratul Hayai.
4) Nyawa bernama Roh Ilapi.
5) Pelita bernama Kandil.
6) Permata bernama Darah.
7) Dhindhing bernama Kijab.
Sesuai dengan uraian tersebut di atas, kalau digambar, seperti di bawah ini :
dalam kepala Adam, yang ada di dalam kepala itu adalah dimak, yaitu otak, yang
ada diantara otak itu manik, di dalam manik terdapat budi, di dalam budi terdapat
nafsu, di dalam nafsu terdapat sukma, di dalam sukma terdapat rahsa, di dalam
rahsa terdapat Ingsun, tidak ada yang disembah, akan tetapi Ingsun Dzat Yang
Meliputi keadaan yang sesungguhnya.
e. Pambukaning Tata Malige ing dalem Betal Maharram (Cara
membuka
Tata-mahligai di dalam Bait-al-muharram) :
Isinya menerangkan bahwa Sesungguhnya Ingsun menata mahligai yang ada di
dalam Baitul-al-muharram, itu rumah tempat larangan (suci) Ingsun, berada di
dalam dadanya Adam, yang ada di dalam dadanya Adam adalah hati, yang ada
diantara hati adalah jantung, yang ada di dalam jantung adalah budi, yang ada di
dalam budi adalah jinem, yaitu angan-angan, di dalam angan-angan terdapat
sukma, di dalam sukma terdapat rahsa, di dalam rahsa terdapat Ingsun, tidak ada
yang disembah, akan tetapi Ingsun Dzat yang meliputi keadaan yang
sesungguhya.
f. Pambukaning Tata Malige ing dalem Betal Muqadas (Cara membuka Tata
mahligai di dalam Baitul-al-mukaddas) :
Isinya menerangkan bahwa Sesungguhnya Ingsun menata mahligai yang ada di
dalam Baitul-al-mukaddas, tempat persucian Ingsun, tinggal di kontolnya
(kemaluan) Adam, yang ada di dalam kontol adalah pringsilan, yang ada diantara
pringsilan adalah nutfah, yaitu mani, yang ada di dalam mani yaitu madi, yang
ada di dalam madi yaitu wadi, yang ada di dalam wadi adalah manikem, yang ada
di dalam manikem adalah rahsa, yang ada di dalam rahsa yaitu Ingsun, tidak ada
yang disembah, akan tetapi Ingsun Dzat yang meliputi keadaan yang
sesungguhya, berdiam diri sebagai nukat gaib turun menjadi johar awal, di situlah
perwujudannya alam Achadiyat, alam Wahdat, alam Wachidiyat, alam
Arwah, alam Misal, alam Ajsam, alam Insan-kamil, terjadinya manusia yang
sempurna, yaitu sejatinya sifatingsun.
g. Panetep Iman (Kesentausaan iman) : Isinya
menerangkan
bahwa
Ingsun
menyaksikan, sesungguhnya tidak ada yang disembah, akan tetapi Ingsun, dan
menyaksikan bahwa Ingsun, sesungguhnya Muchammad itu utusan Ingsun.
h. Sasahidan (Sasahidan) :
Isinya menerangkan bahwa Ingsun menyaksikan terhadap Dzatingsun pribadi,
sesungguhnya tidak ada yang disembah, akan tetapi Ingsun, sesungguhnya
Muchammad itu utusan Ingsun, ya sesungguhnya yang dinamakan Allah itu
adalah badan Ingsun, rasul itu rahsa Ingsun, Muchammad itu cahyan Ingsun, ya
Ingsun lah yang hidup tak kena kematian, ya Ingsun lah yang eling (ingat dan
sadar) tidak terkena lupa, ya Ingsun lah yang langgeng tidak terkena perubahan
dan pergeseran terhadap keadaan sejati, ya Ingsunlah yang tahu sebelum terjadi
tidak terlintangi segala apapun, ya Ingsun yang berkuasa dan menguasahi yang
memiliki kekuasaan bijaksana tidak kekurangan dalam pengertian, byar sempurna
terang benderang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, (akan tetapi)
hanya Ingsunlah yang meliputi alam semuanya atas kudrat Ingsun.
3. Kesimpulan
a. Manunggaling Kawula Gusti yang dikemukakan oleh Ronggo Warsito, dalam
bahasa spiritual Jawa sebenarnya mengandung proses gelar-gulung. Gelar artinya
mengelar proses terjadinya manusia sejak awal diturunkan ke dunia sampai dengan
manusia memiliki kesadaran dan kecerdasan spiritual, sedangkan gulung artinya
mengulung proses kehidupan manusia menuju ke kematian lewat kesadaran dan
kecerdasan spiritual sehingga bisa kembali keharibaan Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau
digambar
seperti
denah
di
bawah
ini
:
c.
d. Oleh sebab itu, untuk kembali keharibaan Tuhan Sang Pencipta, manusia harus
bisa mengulung hidupnya dengan cara menjalankan laku yang bersumber dari
kesadaran dan kecerdasan spiritual. Lewat laku tersebut seseorang wajib dan
harus dapat menyingkirkan nafsu 4 perkara (bahasa teknisnya : sedulur papat)
supaya selalu bercipta-rasa-karsa berdasarkan bimbingan Pancer (istilah lain Roh
Suci, Sang Hidup, Dzat yang menguasahi hidup). Dengan jalan ini diharapkan
hidup seseorang bisa berjalan dengan kokoh, selamat, bahagia, dan sejahtera
lahir-batin, dan dunia akhirat.
V.
Menurut Romo Rochadi hidup itu dari dulu, sekarang, dan yang akan datang selalu
diliputi dengan kasih Tuhan. Kasih Tuhan mewujud pada proses pertumbuhan dan
perkembangan setiap mahkluk hidup : mulai dari tidak ada menjadi ada, kemudian
tumbuh, berkembang, dan akhirnya mati. Pada diri manusia yang mati adalah raganya
sedangkan rohnya abadi.
Seseorang yang telah memperoleh kesadaran hidup, maka ia wajib harus
mendekatkan diri dan manunggal dengan Tuhannya, agar tidak tersesat apabila sudah
waktunya dipanggil menghadapnya. Jadi Manunggaling Kawula Gusti bisa dicapai
ketika ia masih hidup di dunia nyata. Dalam proses manunggal sudah wajar apabila
menjumpahi hambatan-hambatan atau rintangan-rintangan yang datang dari hawa
nafsunya sendiri. Hambatan dan rintangan itu ada pada setiap saat selama seseorang
hidup. Oleh sebab itu, musuh utama dalam menerangi hidup adalah menyingkirkan
nafsu-nafsu itu. Seseorang yang sudah siap akan memulai menyingkirkan musuhmusuh hidup, yaitu nafsu itu sendiri, haruslah terlebih dahulu dia bertaubat
(memohon maaf bahwa saya masih menaruh kebencian kepada seseorang atau
sekelompok orang). Permohonan maaf tersebut disampaikan sebanyak 70x7x7x
(angka ini tidak diterangkan maknanya, tetapi perkalian ini merupakan simbolik
bahwa seseorang harus tidak ada jemu-jemunya siap memaafkan orang yang
membanci kepadanya atau siap memaafkan musuhnya). Karena Tuhan itu maha
kasih, ia harus dapat menyerap kasih Tuhan kepada dirinya, sehingga ia dapat selalu
menampilkan atau merepresentasikan kasih Tuhan. Ia harus sudah dapat mewujudkan
perilaku kasih. Ia harus dapat menghilangkan sama sekali kebencian terhadap orang
yang membenci dirinya. Dengan kata lain, ia sudah harus dapat memberi kasih
kepada orang yang tadinya dibencinya setengah mati. Orang-orang yang membenci
dan dibenci selama hidupnya harus didaftar, dan selama 40 hari 40 malam orangorang itu harus dimaafkan. Inilah laku hidup yang paling mendasar untuk meningkat
kepada peri kasih yang mau diturunkan oleh Tuhan kepadanya.
Sesudah mencapai kondisi seperti ini, maka ia baru dapat mulai mendekatkan diri
kepada Tuhannya. Ia harus senantiasa sambat (menyeru dengan penuh iba) kepada
Tuhannya agar dikaruniani pepadang (terang, enlightment) sedemikian rupa sehingga
ia dapat manungal dengan Tuhannya. Peristiwa manunggal diterangkan sebagai
petunjuk Tuhan, yang datang pada setiap ia membutuhkannya, sehingga dalam
menjalankan hidupnya, ia selalu mendapatkan jalan lurus atau jalan terang.
Seperti halnya jalan Sapto, jalan Romo Rochadi harus mengunakan guru, supaya
tidak tersesat. Kepada yang berminat dapat berhubungan dengan Romo Rochadi.
Selanjutnya lihat lampiran 2 tulisan Romo Rochadi.
4. Kesimpulan
a. Baik jalan Sapto maupun jalan Rochadi pada dasarnya sama yaitu menyebutkan
bahwa Manunggaling Kawula Gusti adalah laku hidup yang berpedoman pada
jiwa (Pancer, Roh Suci, Sukma, Sumber Hidup, Tuhan itu sendiri),
supaya
bisa pulang kembali keharibaan Tuhan (bali mulih ing mula-mulanira).
VI.
Kesimpulan Umum
1. Manunggaling Kawula Gusti mempunyai pengertian manunggalnya kehendak
manusia dengan karsa Tuhan. Atau manunggalnya karsa Tuhan dengan kehendak
manusia.
2. Jalan menuju Manunggaling Kawula Gusti, harus dilaksanakan dengan laku
membersihkan badan (raga), demikian juga wajib dan harus mensucikan sukma
(roh).
3. Manunggaling Kawula Gusti dapat dicapai ketika seseorang masih hidup. Tidak
benar kalau dikatakan baru bisa dicapai kalau orang sudah meninggal dunia.
Relevansi Manunggaling Kawula Gusti dapat dipergunakan untuk menegakkan
kehidupan dan penghidupan pribadi, keluarga, komunitas, masyarakat,
pemerintahan, bangsa dan negara Indonesia, karena kejujuran dan kebenaran
menjadi idola hidup.
4. Seseorang yang sudah dapat manunggal, maka hidupnya (gerak-gerik tubunya)
dibimbing oleh sukma, sehingga hidupnya bisa kokoh, selamat, bahagia, dan
sejahtera lahir-batin dunia-akhirat.
5. Manunggaling Kawula Gusti dapat dicapai setelah manusia telah memperoleh
kasampurnaning urip (kesempurnaan hidup),
yaitu kondisi hidup dimana
seseorang sudah dapat melepaskan diri atau terlepas dari ikatan-ikatan duniawi.
Ia masih hidup di
dunia, tetapi sudah sanggup dan mampu melepaskan diri
dari ikatan-ikatan hidup duniawi. Manfaat Manunggaling Kawula Gusti dapat
meningkatkan harkat, martabat, dan derajat kemanusiaan bagi pribadi, keluarga,
komunitas, masyarakat, pemerintahan, bangsa dan negara Indonesia, sehingga
meningkat pula kekokohan, keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraannya.
6. Untuk mencapai hidup yang manunggal (hidup manunggal antara
manusia
dengan Tuhannya) seseorang harus menjalankan kaidah dan laku hidup dan
menjalankan laku hidup manunggal dengan bimbingan guru laku.
7. Apabila sudah tercapai kondisi Manunggaling Kawula Gusti, manusia dapat
meningkatkan diri ketataran muksa, yaitu peristiwa kematian dimana raga
manjing (masuk ke dalam) sukma atau raga winengku ing sukma (raga berada
dalam bingkai sukma) atau wrangka manjing curiga (wrangka masuk
ke
dalam keris).
Jakarta. 27 Agustus 2007
Alamat Rumah :
Komplek Dosen UI No. 17
Ciputat Raya 15419, Jakarta Selatan
Indonesia
Telp./Fax. : (62-21- 7400 345)
_______________________
VII.
Kepustakaan
Simuh (1988). Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati. Disertasi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jakarta : UIPress.
Tanojo, R (1954). Ronggowarsito : Wirid Hidayat Jati. Surakarta : R. Tanojo.
______________
Lampiran 1
Lampiran 2
makin keruh dan berbau. Barang siapa memberi ia akan menerima. Hukum alam mengatakan
apa yang ditanam itu pula yang akan dituai. Tuhan menanam cinta dalam hati manusia, maka
itu pula yang dituaiNya. Ketika manusia menghentikan aliran rahmat ini karena
keserakahannya, timbullah nafsu untuk memiliki, maka ia terpisah dan dibuang keluar dari
orbit kemanunggalan dengan Sang Maha Kasih. Akulah pokok anggur dan kamu adalah
ranting-rantingnya, barang siapa tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia maka ia akan berbuah
banyak. Dan barang siapa tidak tinggal pada pokok anggur dia akan menjadi kering, ditebang
dan dibuang keluar. Barang siapa tidak tinggal dalam Aku ia tidak berbuah.
Sesungguhnya manusia telah tinggal di dalam Allah, tidak bisa dibayangkan manusia dapat
hidup terpisah dari sumber kehidupannya. Tidak bisa dibayangkan manusia dapat mencintai
tanpa Sang Maha Kasih merengkuhnya. Dan mau tidak mau manusia sebagai ranting harus
menghasilkan buah, meneruskan hidup dari Sang Hidup, meneruskan cinta dari Sang Maha
cinta. Ada apa dengan manusia? Mengapa mereka tidak menghasilkan buah kehidupan cinta
yang mengalir dari Sang Pokok Anggur? KESOMBONGAN, adalah jawabannya. Manusia
menolak kasih, merekayasa hidupnya, ingin menyamai Tuhan, lupa akan asal-usulnya.
Sesungguhnya tidak sulit jalan untuk menunggal dengan Sang Maha cinta, yaitu TINGGAL
PADA POKOK ANGGUR, TINGGAL DALAM KASIH. Bagaimana tinggal dalam kasih
itu? Manusia mempunyai bagaikan burung yang mempunyai dua sayap; satu sayap mencintai
Sang Cinta, dan sayap yang lain mencintai sesamanya. Tinggal pada pokoknya, dan berbuah.
Tidak mungkin kita bisa terbang hanya dengan satu sayap, hanya mencintai Tuhan, atau
hanya mencintai manusia.
Barangsiapa mengatakan mencintai Tuhan tetapi membenci saudaranya dia adalah pendusta.
Bagaimana ia bisa mencintai Tuhan yang tidak kelihatan kalau ia tidak mencintai manusia
yang kelihatan? Maka jalan manunggal kawula Gusti adalah jalan dua sayap. Mencintai
Tuhan dengan cara mencintai sesamanya, saudaranya (se udara), dan mencintai sesamanya
sebagai perwujudan cintanya kepada Tuhan. Bila kita mencintai Tuhan pasti buahnya
mencintai sesama, bila kita mencintai sesama pasti karena cinta kita kepada Tuhan.
Karena itu cobalah empat latihan cinta ini;
1. Mohonlah pengampunan dan kemurahan hati Tuhan Sang Maha Kasih terus menerus
setiap hari, agar kamu mempunyai banyak ampun dan kemurahan hati Tuhan. Nemo dat
quod non habet, kita tidak bisa memberi apabila kita tidak mempunyainya. Hanya
mereka yang mempunyai ampunan mampu memberi ampun.
2. Ampunilah musuh-musuhmu. Kalau kamu mencintai orang-orang yang mencintai kamu,
apakah jasamu? Orang-orang kafirpun berbuat demikian. Tetapi kamu cintailah musuhmusuhmu, maka dunia akan tahu bahwa kamu adalah anak-anak Bapamu yang ada di
surga, yang menciptakan matahari baik untuk orang baik dan juga orang berdosa, yang
mencurahkan hujan bagi orang baik maupun jahat. Ampunilah kesalahan kami, seperti
kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami. LAKUKAN terus-menerus saban
hari mendoakan semua orang yang bersalah kepadamu (musuh-musuh) mohonkan ampun
dan berkat bagi mereka, bila kamu membawa persembahan di hadapan Altar dan kamu
ingat akan saudaramu yang membenci kamu. Tinggalkan persembahan dan pergilah
berdamai dengan mereka, barulah kamu datang kembali ke Altar Tuhan. Ampunilah
sampai 70x7x7x semua musuh, sampai tidak ada musuh dalam hatimu. Kalahkan segala
kejahatan dengan kebaikan. In Bono malum vincente.
3. Berbuatlah baik, tolonglah mereka yang menderita, karena sesungguhnya apa yang kami
lakukan bagi saudaramu yang paling hina kamu lakukan untuk Tuhan sendiri. Love Is not
love until you give it away. Setidak-tidak ada tiga motivasi orang berbuat baik. Pertama
orang berbuat baik-baik karena ingin mendapatkan keuntungan-keuntungan; pujian rasa
terima kasih, nama baik, dsb. Ke dua orang berbuat baik karena kesenangannya berbuat
baik (hobbynya), kasihan orang lain jadi objek kesenangan. Ke tiga, ada orang berbuat
baik karena terpaksa, karena melaksanakan kehendak Tuhan, karena mau tidak mau, dan
sebagainya. Di sini unsur pengorbanan diri, karena tidak mendapat keuntungan bagi diri
sendiri. Cintailah sampai kamu terluka oleh cinta. Tidak ada cinta yang lebih besar
daripada cinta seseorang yang memberikan tawanya bagi saudaranya. Syukurlah bila
anda mengantongi semakin banyak perbuatan baik dengan lebel terpaksa.
4. Dalam segala perkara ucapkanlah syukur senantiasa, ketika kita bersatu, manunggal
antara ciptaan dan Sang Pencipta yang ada hanyalah rasa syukur yang tidak
berkesudahan. Alasan utama kita bersyukur karena kita hidup bersama Dia dan dalam
Dia, dengan perantaraanNya menuju kasampurnaan abadi. Berhentilah memohon karena
miliknya adalah milik kita jua, dan tidak ada sesuatu pun dapat terjadi tanpa seizin Dia.
Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat,
tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama gong yang berkumandang dan canang
yang bergemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat duniaku
mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku
memilki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak
mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan
segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika
aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya.
Kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak
bertindak yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan
menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi
karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan
segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu, kamu..tetapi bila kamu tidak
mempunyai kasih kamu tidak berarti sedikitpun, demikian tinggal tiga hal iman harapan
dan kasih dan terbesar adalah kasih. (1 kor 13;1-13).
Lebih baik berbuat hal-hal kecil dengan cinta besar daripada berbuat besar namun dengan
kasih yang kecil, (Ibu Teresa).
Untuk dapat memamahi unsur-unsur Panteisme dalam Hinduisme, terlebih dahulu marilah kita
pahami secara ringkas konsep ketuhanan dalam Weda, dan bagaimana kedudukan Tuhan dalam
hubungannya dengan segala ciptaan-Nya. Untuk itu dalam makalah singkat ini terlebih dahulu
diuraikan hakekat Hinduisme, sumber ajarannya, pokok-pokok keimanannya, dan bagaimana
umat Hindu sendiri memamahi dan menghayati doktrin-doktrin agamanya.
A. HINDUISME, SEBUAH PENGANTAR
Sanatana Dharma sebagai Nama Asli Hindu
Pada umumnya, sebuah agama diberi nama sesuai dengan nama tokoh pendirinya, ataupun
berdasarkan pokok-pokok ajarannya. Misalnya nama agama Kristen diambil dari nama Yesus
Kristus, nama agama Buddha diambil dari nama Siddharta Gautama, yang lebih dikenal sebagai
Sang Buddha. Namun dalam konteks penamaan agama Hindu, sistem penamaan seperti
lazimnya tersebut tidak terjadi. Bila dilihat kembali dalam konteks sejarah jauh sebelum agama
Hindu masuk ke Indonesia, penamaan agama Hindu memiliki proses yang cukup panjang.
Menurut para ahli sejarah, istilah atau kata Hindu tidak dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan
klasik peradaban India, walaupun agama Hindu lahir dan berkembang di India. Begitu pula, kata
itu tidak dapat telusuri asal-usulnya dalam bahasa-bahasa klasik yang terdapat di India, seperti
misalnya bahasa Sanskerta ataupun bahasa Tamil. Kata dan nama Hinduisme sama sekali tidak
memiliki asal-usul dari India (Rosen, 2002).
Trigunait (Rosen, 2002) menyatakan bahwa kata Hinduisme yang saat ini umum digunakan,
sebenarnya tidak bersesuaian dengan makna asal sebagaimana mengapa kata tersebut awalnya
digunakan. Menurutnya, asal-usul nama Hindu, memiliki hubungan dengan Alexander Agung
dan para pendatang dari Persia yang melakukan penjajahan sampai ke wilayah India abad
pertama Sebelum Masehi. Trigunait (Rosen, 2002 : 10) selengkapnya menyatakan sebagai
berikut :
the current popular usage of the term Hinduism does not correspond to its original
meaning. When Alexander the Great invaded the subcontinent around 325 B.C, he
crossed the river Sindhu and renamed it Indus, which was easier for the Greek tongue to
pronounce. Alexanders Macedonian forces subsequently called the land to the east of
this river India. Later, the Moslem invaders called the Sindhu River the Hindu River
because in their language, Parsee, the Sanskrit sound s converts to h. Thus, for the
invaders, Sindhu became Hindu, and the land east of that river became known as
Hindustan.
Dengan demikian, istilah Hindu yang digunakan untuk menyebut agama Hindu, berawal dari
pergeseran penyebutan nama sungai Sindhu hingga menjadi kata Hindhu oleh para
pendatang yang berasal dari Persia. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Hindu tersebut
menjadi dikenal sebagai nama agama yang dianut oleh orang-orang yang tinggal di sebelah timur
Sungai Sindhu. Istilah Hindu dipergunakan untuk menyebut agama asli penduduk India, untuk
membedakannya dari agama para pendatang yang berasal dari luar India. Hal ini dapat dipahami,
mengingat menurut catatan sejarah, agama-agama seperti Yahudi dan Kristen telah jauh
sebelumnya masuk dan berkembang di India.
Senada dengan hal tersebut, Profesor Anantanand Rambachan (Hughes, 2005:1) mengemukakan
pendapat sebagai berikut :
Hinduism is an astonishingly diverse tradition, a fact suggested by the name Hindu itself.
Hindu is not personal name of a founder or sage whose teachings are followed by members
of this religion. It does not describe or identify a central doctrine or practice. Hindu is
the Iranian variation for the name of a river that the Indo-Europeans referred to as the
Sindhu, the Greeks as the Indos, and the British as the Indus. Those who lived on the land
drained by the Indus River system were derivatively called Hindus. They did not share a
uniform religious culture, and the Hindus tradition today continues to shelter a multiplicity
of beliefs and practices
Walaupun istilah Hinduisme tidak memiliki akar kata yang berasal dari India sendiri, namun
istilah itu tetap eksis hingga kini. Tradisi-tradisi keberagamaan di India yang demikian beraneka
ragam seperti Siwaisme, Jainisme, Shaktisme dan Waisnawaisme disebut dengan istilah tunggal
sebagai Hinduisme. Istilah tersebut digunakan dengan tujuan untuk memudahkan, namun
sesungguhnya penggunaannya tidak sepenuhnya tepat.
* Disampaikan dalam Seminar Panteisme Manunggaling Kawulo Gusti di Gedung Perpustakaan
Nasional tanggal 5-6 September 2007.
** Pengasuh Narayana Smrti Ashram Yogyakarta
Penyamarataan sebutan dengan istilah Hinduisme bagi beraneka ragamnya tradisi keagamaan
yang ada di India, seperti Sivaisme dan Waisnawaisme, seolah-olah mengabaikan perbedaan
orientasi masing-masing tradisi, dan memaksa mereka berada dibawah satu bendera.
Beberapa ahli bahkan menyatakan, sesungguhnya tidak ada kata tunggal yang mampu
mendefinisikan dengan tepat apa yang dimaksud dengan Hindu (Rosen, 2002). Pernyataan
Satsvarupa (1996) juga membenarkan hal ini, bahwa even the conception of Hinduism is
alien to the Vedic conclusion, yang berarti bahwa dalam Weda tidak terdapat konsep yang
saat ini dikenal dengan nama Hinduisme.
Lalu, apa nama asli dari agama yang kini dikenal sebagai Hindu tersebut? Dalam Bhagavad-gita,
salah satu kitab terkemuka bagi penganut Hindu, Sri Ka bersabda kepada Arjuna :
yad yad hi dharmasya
glnir bhavati bhrata
abhyutthnam adharmasya
tadtmna sjmy aham
Kapanpun dan dimanapun pelaksanaan dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan
dengan dharma merajalela pada waktu itulah Aku Sendiri menjelma, wahai putra
keluarga Bhrata (Bhagavad-gita 4.7)
paritrya sdhn
vinaya ca dusktm
dharma-sasthpanrthya
sambhavmi yuge-yuge
Untuk menyelamatkan orang saleh, membinasakan orang jahat dan untuk menegakkan
kembali prinsip-prinsip dharma, Aku sendiri muncul pada setiap jaman. (Bhagavad-gita
4.8)
Dari kedua sloka di atas, terlihat bahwa dharma merupakan prinsip utama ajaran Weda.
Sering kali kata dharma diterjemahkan menjadi religion dalam bahasa Inggeris, atau
agama dalam bahasa Indonesia. Namun pengertian sesungguhnya dari kata dharma dalam
bahasa Sanskerta sedikit berbeda dengan pengertian agama yang umum. Menurut Bhaktivedanta
Swami : the root meaning of word dharma refers to that which is constantly existing with
particular object. Jadi kata dharma berarti sesuatu sifat yang selalu ada menyertai dan tidak
dapat dipisahkan dari keberadaan obyek tertentu. Sebagai contoh, sifat panas dan cahaya
selalu melekat pada api, jadi dharma api adalah panas dan bercahaya. Dharma gula adalah
manis, dan dharma air adalah cair. Dalam Weda dinyatakan bahwa dharma dari jiwa/roh adalah
sebagai pelayan atau hamba kekal Tuhan.
Weda menguraikan tentang santana dharma. Santana-dharma tidak mengacu pada proses
yang bersifat sektarian. Ia merupakan kedudukan dan sifat dasar para makhluk hidup (jiwa/roh)
dalam hubungannya dengan Tuhan Maha Esa. Rmnujcarya, salah seorang ahli filsafat
terkemuka di India menjelaskan, kata santana sebagai that which has neither beginning nor
end atau sesuatu yang tidak pernah dimulai dan tidak pula memiliki akhir.
Santana berarti kekal, langgeng, atau abadi. Jadi istilah santana dharma berarti dharma yang
bersifat kekal, yang menyangkut hubungan kekal jiwa/roh sebagai hamba atau pelayan Tuhan.
Hakekat hubungan Tuhan dengan para jiwa/roh tersebut bersifat universal, tidak dibatasi oleh
sekat agama, bangsa, negara, dsb. Nama santana dharma inilah yang lebih dahulu dikenal
sebagai nama agama yang kini secara luas dikenal sebagai Hinduisme.
Asal-usul Kitab-kitab Weda
Berbagai tradisi keagamaan di India yang bernaung di bawah payung Hinduisme, mendasarkan
ajarannya pada kitab suci Weda. Umat Hindu meyakini bahwa ayat-ayat Weda disabdakan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa. Vidyarnaya (Satsvarupa, 1996) mengutip peryataan yang
terdapat dalam kitab Bhad-aranyaka Upanisad (2.4.10) yang menjelaskankan asal-usul
munculnya kitab-kitab Weda. Kitab tersebut menyebutkan bahwa :
The Rg Veda, Yajur Veda, Sama Veda, Atharva Veda, and Itihasas (histories like the
Mahabhrata and Puranas) are all breathed out by the Absolut Truth. Just as ones breath
comes easily, these arise from the Supreme Brahman without any effort on His part.
According to Vedic tradition, the Vedas are absolute and self-authoritative. They depend
on nothing but themselves for explanation (Satsvarupa, 1996 : 4)
Sejalan dengan uraian di atas, Bhaktivedanta Swami (1986) menyatakan bahwa dalam
Bhagavad-gita (3.15) Sri Krishna, penyabda Bhagavad-gita menyebut asal-usul ayat-ayat Weda
itu sebagai brahmkara-samudbhavam, yaitu terwujud secara langsung dari Tuhan Yang
Maha Esa. Kitab-kitab Weda menyatakan diri mereka sendiri sebagai apauruseya, yang artinya
bukan hasil ciptaan pemikiran manusia. Ayat-ayat Weda pertama kali disabdakan kepada Dewa
Brahma pada awal ciptaan dunia material ini (Satsvarupa, 1996). Dewa Brahma kemudian
mengajarkan pengetahuan tersebut kepada Rsi Narada. Rsi Narada mengajarkan kepada Rsi
Vyasa.
Selanjutnya, Rsi Wyasa menyampaikan kepada para muridnya. Para murid ini memiliki murid,
demikian seterusnya. Dengan demikian, ajaran Weda diajarkan, disebarkan, dan diwariskan
secara turun temurun dalam hirarki hubungan guru (guru kerohanian) dengan sisya (murid yang
belajar pengetahuan rohani). Hirarki guru dan murid ini dalam bahasa Sanskerta dan tradisi
Weda disebut parampara (Rosen, 2002).
Pada awalnya, ajaran ayat-ayat Weda disampaikan dalam tradisi lisan (oral tradition), namun
kemudian Rsi Wyasa mengumpulkan dan menulis ayat-ayat Weda tersebut pada sekitar 5000
tahun yang lalu. Krisnananda (1994) memberikan penjelasan yang sama bahwa ajaran Weda
pertama kali disabdakan oleh Tuhan kepada Dewa Brahma, dewa yang bertugas sebagai pencipta
alam semesta. Dewa Brahma kemudian mewariskan pengetahuan Weda tersebut kepada salah
seorang putranya, Rsi Narada. Rsi Narada selanjutnya mengajarkan Weda kepada Rsi Wyasa.
Rsi Wyasa inilah yang dikenal sebagai pengkodifikasi/penyusun Weda, karena beliaulah yang
pertama kali mengabadikan ajaran-ajaran Weda ke dalam bentuk tulisan. Tradisi pewarisan atau
transmisi pengetahuan rohani merupakan sebuah fenomena yang dihormati dalam sejarah
peradaban Weda.
Klasifikasi Weda
Menurut Rosen (2002) beraneka ragamnya praktek dan tradisi keagamaan yang berkembang di
India kesemuanya bersumber pada ajaran kitab suci Weda. Weda berasal dari akar kata Sanskerta
vid yang berarti mengetahui atau pengetahuan. Kata Sanskerta vid ini memiliki
hubungan makna dengan kata-kata wit atau wisdom dalam bahasa Jerman; idea (kata aslinya
adalah widea) dalam bahasa Yunani; dan berhubungan pula dengan kata video dalam bahasa
Latin. Kata video memiliki arti seseorang yang mengetahui, atau melihat kebenaran.
Senada dengan pendapat di atas, Bhaktivedanta Swami (Danavira, 1999) mendefinisikan Weda
sebagai pengetahuan. Urat kata veda dalam bahasa Sanskerta dapat diinterpretasikan secara
beragam, namun penjelasan maknanya pada akhirnya akan sama. the Sanskrit verbal root of
veda can be interpreted variously, but the purport is finally one. Veda means knowledge. Any
knowledge you accept is veda, for the teachings of the Vedas are the original knowledge
Weda bukanlah sebuah kitab tunggal. Berkaitan dengan banyaknya jumlah kitab Weda ini, Klaus
Klostermaier dalam bukunya A Survey of Hinduism (1986:91) menyatakan No other living
tradition, can claim scriptures as numerous or as ancient as Hinduism; none can boast an
unbroken tradition preserved as faithfully as the Hindu tradition.
Terdapat berbagai kitab-kitab lain, yang dianggap dan digolongkan sebagai Weda, meskipun
kitab tersebut tidak hadir bersamaan dengan keempat Weda yang pertama. Yang tergolong dalam
kitab-kitab Weda adalah kitab-kitab yang memelihara keserasian tema dan sesuai dengan tujuan
kitab Weda yang asli. Hal ini berbeda dengan anggapan umum para sarjana, bahwa yang
tergolong dalam kitab Weda hanyalah keempat Weda yang asli yang disebut sebagai Catur Veda,
yaitu
Rg Veda, Yajur Veda, Sama Veda, dan Atharva Veda.
Mengenai syarat bagaimana sebuah kitab dapat diakui sebagai bagian dari Weda, Satsvarupa
menyatakan :
In any case, to be accepted as Vedic, a literature must maintain the same purpose as the
original Vedic texts. The Vedic scriptures (stras) comprise of a harmonious whole with a
harmonious conclusion (iddhnta). Consequently, we may accept as a bonafide Vedic
writing any work that expands on the Vedic iddhnta without changing its meaning, even if
the work is not one of the original scriptures. In fact, the Vedic tradition necessitates further
authoritative works that convey the Vedic message according to time and place. However, to
be genuine, these extensions of Vedic literature must strictly conform to the doctrines of the
Vedas, the Puranas, and the Vedanta-sutra
Weda meliputi kitab-kitab yang terklasifikasi dengan nama-nama tertentu sesuai dengan sifat
isinya. Weda meliputi keempat Weda utama yaitu : Rig Weda (berisi doa-doa pujian kepada para
dewa), Yajur Weda (berisi uraian tentang tatacara pelaksanaan ritual atau upacara keagamaan),
Sama Weda (mantra atau doa-doa yang digunakan dalam pelaksanaan upacara), dan Atharva
Weda (uraian tentang berbagai aturan yang berkaitan dengan tatacara pemujaan, doa-doa untuk
mengusir kekuatan jahat). Menurut Knapp (2001) keempat Weda ini dikenal sebagai kitab-kitab
Sruti atau diterima dalam bentuk wahyu secara langsung.
Kitab-kitab Sruti juga meliputi kitab-kitab yang berisi uraian penjelasan secara lebih rinci
tentang isi kitab tertentu. Di dalamnya meliputi kitab Brahmana (uraian tentang tatacara
pelaksanaan upacara keagamaan) dan kitab Aranyaka (risalah bagi mereka yang ingin memasuki
kehidupan pelepasan ikatan terhadap keduniawian dan mentaati sumpah-sumpah tertentu).
Selain itu, terdapat 108 kitab Upanisad yang memberikan tuntunan dan arahan bagi kemajuan
kehidupan rohani seseorang. Kata upanisad secara harfiah berarti duduk di dekat guru untuk
memperoleh pengetahuan rohani. Kitab upanisad dikenal sebagai kitab yang berisi mutiaramutiara ajaran Weda. Termasuk dalam kitab Upanisad ini adalah Gita-upanisad atau yang
secara lebih luas dikenal sebagai Bhagavad Gita. Kitab-kitab Wedanga merupakan kitab-kitab
yang penting, berisi ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan cara mempelajari Weda.
Diantaranya adalah siksha (ilmu fonetik), chanda (irama), vyakarana (tata bahasa), nirukta
(etimologi), dan jyotisha (ilmu perbintangan atau astronomi).
Kitab-kitab upaveda adalah ilmu pengetahuan yang memang tidak memiliki hubungan langsung
dengan Weda, namun dianggap bagian dari Weda. Dalam kategori ini adalah Ayur Weda (ilmu
pengobatan holistik), Gandharva Weda (ilmu tentang musik dan tari-tarian), Dhanur Weda (ilmu
pengetahuan tentang militer atau pertempuran), juga Sthapatya-veda (ilmu arsitektur).
Dalam perkembangan selanjutnya, Kitab-kitab Purana yang berisi sejarah-sejarah yang
berhubungan dengan kegiatan Tuhan maupun para penyembah-Nya juga dimasukkan sebagai
Weda. Termasuk diantaranya adalah kitab Mahabharata, Ramayana, dan Bhagavata Purana.
Seluruhnya terdapat 18 kitab Purana. Selain itu, ulasan-ulasan oleh para acharya (guru
kerohanian yang telah mencapai pencerahan) juga dianggap sebagai Weda, karena berisi
penjelasan tentang intisari ajaran-ajaran Weda terdahulu
Tujuan Ajaran Weda
Tujuan utama ajaran kitab suci Weda adalah menyampaikan dan memberikan pengetahuan
tentang ilmu keinsafan diri dan pembebasan manusia dari penderitaan. Menurut Karl H. Potter
(Satsvarupa, 1996) umumnya para sarjana yang mempelajari Weda dan kebudayaan Weda setuju
bahwa tujuan dari pemikiran-pemikiran filsafat India adalah pencarian dan pencapaian
kebenaran, the recognition of which leads to freedom.
Sharma (1987) membenarkan bahwa pemikiran-pemikiran filsafat India bersifat spiritual dan
selalu menekankan pada pentingnya keinsafan kebenaran yang bersifat praktis. Berbagai macam
pemikiran filsafat yang berkembang di India, dapat dengan mudah ditelusuri asal-usulnya dalam
kitab-kitab Weda. Hal ini berbeda dengan sifat filsafat-filsafat Barat yang pada umumnya adalah
pertanyaan-pertanyaan untuk sekedar memenuhi keingintahuan intelektual.
Indian philosophy has been, however, intensely spiritual and has always emphasized
the need of practical realization of truth. The word darshana means vision and also
the instrument of vision. It stands for the direct, immediate and intuitive vision of
Reality, the actual perception of Truth, also includes the means which lead to this
realizationThe origin of Indian philosophy may be easily traced in the Vedas
(Sharma, 1997 : 13).
Dr. Sarvapali Radhakrishnan juga membenarkan bahwa setiap sistem filsafat India berusaha
mencari kebenaran, bukan dengan tujuan akademis, knowledge for its own sake, namun
bertujuan untuk mempelajari kebenaran yang akan menuntun manusia pada tercapainya
pembebasan dari perputaran kelahiran dan kematian di dunia material ini (tercapainya moksa).
Bahwa pemikiran-pemikiran filsafat India tidak berjuang hanya untuk mencari informasi,
melainkan untuk mencapai transformasi. Tujuan ini dibenarkan dalam kitab Bhagavad-gita yang
mendefinisikan pengetahuan sebagai accepting the important of self-realization, and
philosophical search for the Absolute Truth
bahwa agama Hindu atau Hinduisme dibangun di atas tiga kerangka dasar yang terkait erat satu
dan yang lainnya, sehingga membentuk satu kesatuan yang bulat dan utuh. Ketiga kerangka
dasar tersebut adalah :
1) Tattwa (Filsafat, doktrin)
2) Susila (Etika)
3) Upacara (upacara, ritual keagamaan)
Tattwa adalah uraian filosofis tentang butir-butir keyakinan Hindu yang bersumber dari ajaran
Weda, hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam sekitarnya. Susila
adalah ajaran tentang perbuatan baik (subhakarma) dan perbuatan tidak baik (asubhakarma)
menurut norma-norma agama. Perbuatan yang baik dan benar adalah perbuatan yang sesuai dan
dibenarkan oleh agama. Sedangkan upakara dan upacara merupakan rangkaian kegiatan
manusia dalam upaya berkomunikasi dengan Tuhan. Ritual diwujudkan dalam bentuk
persembahan atau korban suci (yajna) yang merupakan manifestasi konkret dari agama. Di atas
ketiga kerangka dasar inilah umat Hindu mempelajari, menghayati, dan mengamalkan ajaran
agamanya dalam kehidupan sehari-hari (Gorda, 2006).
Biasanya, dalam berbagai sekte/tradisi keagamaan Hindu yang sangat banyak jumlahnya
sebagaimana telah dipaparkan di atas, terdapat perbedaan satu dan lainnya dalam hal
ritual/upacara, dan juga terdapat perbedaan dalam detil ajaran filosofi mereka Namun secara
umum, sekte-sekte Hindu meyakini Lima Butir Keyakinan/Lima Pokok Keyakinan (Panca
Sraddha) yang menyebabkan mereka dapat disebut sebagai bagian dari Hinduisme.
Adapun Panca Sraddha (Lima Pokok Keimanan) tersebut adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
tertentu. Dengan demikian, pemujaan kepada para dewa semata tidaklah tepat. Hendaknya
pemujaan dan persembahyangan hanya dilakukan kepada Kepribadian Tuhan semata.
Dalam Bhagavad-gita (9.23) Sri Krishna menyatakan bahwa Orang yang menjadi para
penyembah dewa-dewa dan menyembah dengan kepercayaan sebenarnya hanya menyembah-Ku,
tetapi mereka berbuat demikian dengan cara yang keliru, Wahai Putra Kunti. Selanjutnya Sri
Krishna mengemukakan alasan mengapa orang memuja para dewa. Orang di dunia ini
menginginkan sukses dalam kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil; karena itu,
mereka menyembah para dewa.(Bhagavad-gita 4.12). Dengan kata lain, pemujaan kepada para
dewa biasanya bermotivasi duniawi. Para acharyas Waisnawa menegaskan bahwa manfaat atau
keuntungan yang bersifat duniawi tidak akan pernah mampu memuaskan bhatin karena
sesungguhnya manusia adalah makhluk rohani. Jika memang seseorang memuja para dewa,
hendaknya dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang bersifat rohani (Sheridan, 1986).
Mengenai hasil dari berbagai pemujaan yang dilakukan oleh manusia, Sri Krishna
menyatakan dengan tegas bahwa ada perbedaan antara hasil pemujaan kepada para dewa,
dengan pemujaan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Perbedaan demikian itu dapat dilihat
dalam pernyataan ayat Bhagavad-gita 9.25 sebagai berikut :
ynti deva-vrat devn
pitn ynti pit-vrat
bhtni ynti bhtejy
ynti mad-yjino pi mm
Orang yang menyembah dewa akan dilahirkan di tengah-tengah masyarakat dewa, orang
yang menyembah leluhur akan pergi ke leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh
halus akan dilahirkan di tengah-tengah makhluk-makhluk seperti itu, dan orang yang
menyembah-Ku akan hidup bersama-Ku.
Para rohaniwan terpelajar yang mengenal Kebenaran Mutlak, menjuluki zat yang tidak
nisbi tersebut Brahman, Paramatma, atau Bhagavan.
Ketiga aspek pemahaman terhadap Tuhan tersebut, yaitu Brahman, Paramatma, dan Bhagavan,
adalah tahapan keinsafan terhadap Tuhan sesuai dengan tingkat kemajuan rohani setiap individu.
a) Aspek Brahman
Aspek Brahman adalah ciri Tuhan yang tidak bersifat pribadi (impersonal). Keinsafan
Brahman (pemahaman bahwa Tuhan sebagai sebuah kekuatan semesta yang berada di
mana-mana) secara universal adalah pandangan mendasar tentang konsep Tuhan. Dalam
Bhagavad-gita, Sri Krishna menyatakan sifat Brahman ini dengan perumpamaan angin dan
angkasa sebagai berikut :
Mengertilah bahwa semua makhluk hidup yang diciptakan bersandar di dalam
Diri-Ku bagaikan angin yang bertiup di mana-mana selalu berada di angkasa
(Bhagavad-gita 9.6).
Radhakrishnan (1953) menyatakan bahwa dalam kitab-kitab Upanisad kata yang
digunakan untuk mengartikan Yang Nyata Maha Tinggi adalah Brahman. Kata ini berasal
dari akar kata brh. berkembang, timbul ke mana-mana. Turunan kata ini dapat diartikan
muncrat ke luar, berbuih keluar, perkembangan yang tiada habis-habisnya. Menurut
Sankaracarya, Brahman berasal dari akar kata brhati, melampaui yang artinya keabadian,
murni. Menurut Madhva, Brahman adalah oknum di mana seluruh sifatnya ada dalam
kesempurnaan.
Keinsafan Tuhan sebagai Brahman ini dicapai oleh para rohaniwan yang mendekati
Tuhan melalui jalan Jnana-yoga.
b) Aspek Parama Atman
Aspek Paramatma merupakan tahap keinsafan yang lebih tinggi dibandingkan keinsafan
Brahman. Dengan mempraktekkan asthangga-yoga, seorang gynana-yogi dimungkinkan
untuk maju setahap dalam keinsafannya terhadap Tuhan. Keinsafan Paramatma adalah
sebuah konsep pemahaman terhadap bentuk Tuhan sebagai aspek yang berdiam atau
bersemayam di suatu tempat di dunia ini, Tuhan yang berada di dalam hati setiap makhluk
hidup, dan bahkan berada di dalam setiap atom. Inilah pemahaman konsep Weda bahwa
Tuhan berada di mana-mana, Tuhan Maha Ada. Perwujudan Tuhan seperti itu disebut
sebagai Paramatma atau Roh Yang Utama.
Pemahaman aspek Tuhan seperti ini, di dasarkan pada peryataan Sri Krishna dalam
beberapa ayat kitab Bhagavad-gita, antara lain :
sarvasya cha hdi sannivio
matta smtir jnam apohana ca
vedai ca sarvair aham eva vedyo
vednta-kd veda-vid eva cham
Aku bersemayam di dalam hati setiap makhluk. Ingatan, pengetahuan, dan pelupaan
berasal dari-Ku. Akulah yang harus diketahui dari segala Weda; memang Akulah yang
menyusun Wednta, dan Akulah yang mengetahui Weda (Bhagavad-gita 15.15).
vara sarva-bhtn
hd-dee rjuna tihati
bhrmayan sarva-bhtni
yantrrhni myay
Tuhan Yang Mahaesa bersemayam di dalam hati semua orang, wahai Arjuna, dan Beliau
mengarahkan pengembaraan semua makhluk hidup, yang duduk seolah-olah pada sebuah
mesin terbuat dari tenaga material. (Bhagavad-gita 18.61)
Dalam menjelaskan konsep Paramatma ini, para acharya (guru-guru kerohanian)
memberikan analogi sebagai berikut. Bayangan matahari akan terbentuk pada ribuan
permata, seperti halnya bayangan matahari akan terlihat pada setiap air yang menggenang
atau air dalam suatu wadah. Sesungguhnya matahari tetaplah satu, namun pada saat yang
sama bayangannya terbentuk di mana-mana.
c). Aspek Bhagavan
Keinsafan yang tertinggi terhadap keberadaan Tuhan menurut Weda adalah keinsafan
Bhagavan. Hal ini dinyatakan dalam sloka berikut:
r-bhagavn uvca
mayy veya mano ye m
nitya-yukt upsate
raddhay parayopets
te me yuktatam mat
Tuhan Yang Mahaesa bersabda: Orang yang memusatkan pikirannya pada bentuk
pribadi-Ku dan selalu tekun menyembah-Ku dengan keyakinan yang besar yang rohani
dan melampaui hal-hal duniawi Aku anggap paling sempurna.
Menurut Rosen, kata Bhagavan adalah kata yang ekivalen atau searti dengan kata dalam
bahasa Inggeris God. Secara harfiah, kata Bhagavan berarti Beliau yang memiliki
segala kehebatan sepenuhnya. Orangorang bijaksana dari pemikiran Timur menyatakan
bahwa ada 6 kehebatan utama yang dimiliki oleh Tuhan : maha perkasa, maha indah,
maha kaya, maha termashyur, maha tahu, dan tidak terikat. Pencapaian dari mereka yang
menempuh jalan keinsafan Bhagavan ini diuraikan sebagai berikut:
Only the Supreme Personality of Godhead has these qualities in full. One who
becomes adept at worshiping Him becomes aware of eternity and knowledge as in
Brahman and Paramatman realization and develop a profound sense of
satunya adalah Bhisma Parwa dimana di dalamnya terdapat uraian tentang peristiwa-peristiwa
yang terjadi menjelang dan sesaat setelah berakhirnya perang Bharatayudha.
Naskah Bhagavad-gita yang berisi dialog antara Krishna dan Arjuna itu terdiri dari
18 bab itu yaitu Bab 25 s/d Bab 42 dari Bhisma Parwa dan secara keseluruhan berjumlah
700 sloka/ayat. Kata Bhagavad-gita secara harfiah diartikan sebagai Kidung Ilahi atau
Song of God. Dalam dialog antara Krishna dan Arjuna itulah, terdapat ajaran-ajaran
yang dapat dianggap sebagai ajaran Panteisme, Panenteisme, Animisme, dan bahkan
Animisme, sebagaimana telah dinyatakan oleh Rosen di atas.
Bagi umat Hindu, kitab Bhagavad-gita menempati kedudukan yang sangat penting sebagai kitab
suci, dan disebut sebagai Pancama Weda (Weda Kelima) setelah kitab suci Hindu terpenting
yaitu Catur Weda, yaitu Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda.
Dalam kata sambutan terhadap terjemahan Bhagavad-gita edisi Bahasa Indonesia yang
diterbitkan oleh Pustaka Bhaktivedanta (1986), Dr. Budya Pradipta menulis sebagai berikut :
Seperti diketahui, kitab Bhagavad-gita yang ditulis lebih kurang 5000 tahun yang lalu
adalah sari-sarinya kitab-kitab Weda yang terutama mengandung ajaran kerohanian
tentang betapa seseorang seharusnya manembah kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
betapa pula seharusnya seseorang itu menjalankan hidupnya dengan budi pekerti luhur
terhadap sesamanya dan juga terhadap makhluk Tuhan lainnya, baik yang tampak mata
(seperti : hewan, tumbuh-tumbuhan, bintang kemintang, tata surya, dsb.) maupun
makhluk yang tak tampak mata (seperti roh, makhluk halus, dan lain-lain). Pendek kata,
ajaran Bhagavad-gita berisi tentang kesempurnaan hidup yang kesemuanya disampaikan
dalam bentuk dialog, antara Krishna dengan Arjuna, di medan perang Kuruksetra, tidak
lama sebelum perang Bharatayudha di mulai.
Bhagavad-gita telah sejak lama menarik perhatian Amir Hamzah, salah seorang
sastrawan terkemuka Indonesia. Ia telah menterjemahkan Bhagavad-gita ke dalam bahasa
Indonesia dalam bentuk syair. Sutan Takdir Alisyahbana, yang memberikan kata
pengantar dalam buku terjemahan Bhagavad-gita itu menyebut Amir Hamzah sebagai
seorang muslim yang saleh, menulis sebagai berikut :
Terjemahan Amir Hamzah ini telah dimuatkan dalam Pujangga Baru nomor 1, Juli
1933 tahun I dan berakhir dalam Pujangga Baru nomor VIII, Februari 1935 tahun II.
Dengan terjemahan itu, yang dilakukannya dengan bersungguh-sungguh dalam
bahasanya yang khas, nyatalah bagaimana luasnya paham dan perasaan keagamaan Amir
Hamzah yang seperti kita tahu adalah seorang Islam yang saleh...
Sementara itu, Dr. Amir salah seorang sastrawan yang juga memberikan kata sambutan dalam
buku itu menyatakan kekagumannya terhadap Bhagavad-gita :
Yang dinamakan Bhagavad-gita, menurut Amir Hamzah, adalah sebagian dari
Mahabharata, syair besar yang ternama dalam pustaka Sanskerta. Menurut Wilhem von
Humbolt, syair Gita itu amat indah, barangkali satu-satunya syair filsafat dalam segala
bahasa dunia. Pujian ini patut diberi apabila kita perhatikan indah dan dalamnya syair itu.
Isinya serba pelajaran filsafat, agama, dan kebajikan (etik). Tak ada kitab pusaka yang
begitu digemari oleh anak India...Untuk pemuda Indonesia, Amir Hamzah telah berjasa
menerjemahkan seloka-seloka itu dalam bahasa kita. Tak ada bahasa dunia yang penting,
yang tidak mempunyai salinan dari Gita ini...(Amir Hamzah, 1983: viii).
Agar dapat dipahami secara benar dalam konteks bagaimana ajaran panteisme diuraikan dalam
kitab Bhagavad-gita, berikut ini akan disajikan kutipan-kutipan ayat Bhagavad-gita yang
menjelaskan bagaimana manusia dapat menginsyafi atau menyadari keberadaan dan kehadiran
Tuhan di dalam benda-benda atau makluk di seluruh alam semesta. Paham inilah yang kemudian
dikenal dengan panteisme.
1. Bahwa Alam semesta bersandar di dalam Diri Tuhan, dengan perumpamaan bagaikan
butir-butir mutiara yang terikat pada seutas tali.
matta paratara nnyat
kicid asti dhanajaya
mayi sarvam ida prota
stre mai-ga iva
Wahai Arjuna, tidak ada kebenaran yang lebih tinggi daripada-Ku. Segala sesuatu
bersandar kepada-Ku, bagaikan mutiara diikat pada seutas tali (Gita 7.7)
may tatam ida sarva
jagad avyakta-mrtin
mat-sthni sarva-bhtni
na cha tev avasthita
Aku berada di mana-mana di seluruh alam semesta dalam bentuk-Ku yang tidak
berwujud. Semua makhluk hidup berada dalam Diri-Ku, tetapi Aku tidak berada di
dalam mereka (Gita 9.4)
2. Tuhan berada/meresap di dalam segala sesuatu, di dalam unsur-unsur alam : air, sinar
matahari, sinar bulan, sebagai suara di angkasa, dan sebagainya.
raso ham apsu kaunteya
prabhsmi ai-sryayo
praava sarva-vedeu
abda khe paurua nu
Wahai Putra Kunti (Arjuna), Aku adalah rasa air, cahaya matahari dan bulan, suku
kata om dalam mantra-mantra Weda; Aku adalah suara di angkasa dan kesanggupan
dalam diri manusia (Gita 7.8)
puyo gandha pthivy ca
teja csmi vibhvasau
jvana sarva-bhteu
tapa csmi tapasviu
Aku adalah harum yang asli dari tanah, dan Aku adalah panas dalam api. Aku adalah
nyawa segala sesuatu yang hidup, dan Aku adalah pertapaan semua orang yang
bertapa (Gita 7.9)
3. Tuhan bersemayam (imanensi) di dalam hati semua makhluk hidup, sebagai Roh
Yang Utama (Paramtm).
upadranumant ca
bhart bhokt mahevara
paramtmeti cpy ukto
dehe smin purua para
Namun di dalam badan ini ada kepribadian yang lain, kepribadian rohani yang
menikmati, yaitu Tuhan Yang Mahaesa, Pemilik segala sesuatu. Beliau berada
sebagai Pengawas dan Yang mengijinkan, dan Beliau dikenal sebagai Roh Yang
Utama (Gita 13.23)
dhynentmani payanti
kecid tmnam tman
anye skhyena yogena
karma-yogena cpare
Beberapa orang melihat Roh Yang Utama di dalam dirinya melalui semadi, orang
lain melihat melalui pengembangan pengetahuan, dan orang lain lagi melihat
melalui cara bekerja tanpa keinginan untuk membuahkan hasil atau pahala (Gita
13.25)
aham tm gukea
sarva-bhtaya-sthita
aham di ca madhya ca
bhtnm anta eva ca
O Arjuna, Aku adalah Roh Yang Utama yang bersemayam di dalam hati semua
makhluk hidup. Aku adalah awal, pertengahan, dan akhir semua makhluk (Gita
10.20)
adhibhta karo bhva
purua cdhidaivatam
adhiyajo ham evtra
badan, pikiran,
mamaivo jva-loke
jva-bhta santana
mana-ahnndriyi
prakti-sthni karati
Para makhluk hidup (jiwa) di dunia yang terikat ini adalah bagian-bagian percikan
yang kekal dari Diriku. Oleh karena kehidupan yang terikat, mereka berjuang
dengan keras sekali melawan enam indria, termasuk pikiran.
Sang roh mendapatkan jenis badan jasmani sesuai dengan karma atau perbuatan yang
dilakukannya dalam kehidupan terdahulu. Kehidupan saat ini merupakan bagian dari proses
panjang dalam upaya pencapaian pembebasan dari kelahiran dan kematian (reinkarnasi). Tujuan
kehidupan sebagai manusia adalah untuk mencapai moksa atau pembebasan, dapat kembali
pulang ke dunia rohani atau Manunggal Kalawan Gusti.
Gusti : Memiliki Sifat Transenden dan Immanen
Sebagaimana telah dipaparkan, bahwa Weda menguraikan keberadaan Tuhan dalam sifatnya
yang transenden (berada jauh terpisah dari ciptaan-Nya), namun sekaligus pula immanen
(meresap/masuk dan berada di dalam segala ciptaan-Nya).
Dalam upaya memahami hakekat Tuhan/Kebenaran Mutlak, dalam Hindu (khususnya filsafat
India) terdapat 6 pendekatan atau cara pandang yang disebut Sad-darsana. Enam sistem filsafat
Hindu tersebut adalah sistem filsafat orthodox, yang merupakan 6 cara mencari kebenaran, yaitu
: 1) Nyya; 2) Vaisesika; 3) Smkhya; 4) Yoga; 5) Prwa-Mimamsa; dan 6) Uttara-Mimamsa
atau Vednta (Maswinara, 2006: 121). Dalam masing-masing sistem filsafat tersebut, terdapat
perbedaan dalam memandang dan memahami sifat-sifat Tuhan. Perbedaan cara pemahaman itu,
sekali lagi, diakui kebenarannya masing-masing, mengingat Tuhan Yang Tiada Batas, tidak
mungkin dapat dijelaskan atau digambarkan secara utuh melalui satu sudut pandang semata.
Telah dipaparkan pada bagian terdahulu, bahwa secara garis besar, Tuhan diinsyafi dalam tiga
aspek, yaitu : Brahman, Paramtman, dan Bhagavan. Dari keenam sistem filsafat yang ada, yang
saat ini dianggap paling dominan pengaruhnya terhadap ajaran Hindu dewasa ini adalah filsafat
Vednta. Vednta (sering diartikan sebagai :kesimpulan Weda) sendiri terbagi lagi menjadi
beberapa kelompok besar, yaitu : Advaita Vednta, Dvaita Vednta, dan Visistadvaita.
Adapun interpretasi-interpretasi utama Vednta adalah (Bagus, 2005: 1153) adalah sebagai
berikut :
1. Pandangan yang paling luas dikagumi dan diterima adalah pandangan Shankara,
yakni Advaita Vednta yang berisi interpretasi non-dualistis dimana Brahman
(Tuhan) merupakan satu-satunya realitas. Dunia adalah tampakan (maya, semu).
Brahman identik dengan Atman
2. Interpretasi Ramanuja mengakui realitas Allah, diri-diri, dan dunia, kendati dua yang
terakhir berada sebagai tubuh atau wujud Allah, yang mempunyai dua bentuk
3. Interpretasi Madhva memungkinkan individualitas permanen Allah, diri-diri dan
materi, dan menyediakan suatu interpretasi organik atas hakekat hal-hal yang ada.
D. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas, kiranya dapat disampaikan ringkasan sebagai berikut :
1. Kitab-kitab Weda mengajarkan paham panteisme, sebagaimana dapat dilihat dalam ayat-ayat
kitab Bhagavad-gita, yang merupakan bagian dari kitab Mahabharata. Bhagavad-gita
memiliki kedudukan sebagai kitab Pancama Weda atau Weda Kelima setelah Catur Weda
(Rig Weda, Yajur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda)
2. Paham panteisme Hindu lebih dekat pada paham Panteisme Transendental (mistik), yang
mengajarkan bahwa daya atau sifat ilahi ditemukan hanya dalam inti terdalam segala sesuatu,
khususnya dalam jiwa, sehingga makhluk ciptaan hanya akan memiliki sifat-sifat seperti
sifat-sifat Tuhan (pembebasan manunggal) hanya sesudah menanggalkan tubuh
jasmaninya, dan telah mengembangkan kesadaran kosmik, atau kesadaran Tuhan.
Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. (2005). Kamus filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Bhaktivedanta Swami, A.C. (1986). Bhagavad-gita Menurut Aslinya. Terjemahan Tim
Penterjemah. Jakarta: tanpa penerbit
Danavira, Gosvami (Ed). (1999). Vedic paradigm. Kansas City : Rupanuga Vedic Colledge.
Hughes, Amanda Millay (Ed).
Publication.
Knapp, Steven. (2001). The secret teaching of the Vedas. New York : World Relief Network.
Krishnananda, Swami. (1994). A short history of religious and philosophic thought in India.
Himalaya : The Divine Life Society.
Maswinara, I Wayan. (2006). Sistem filsafat Hindu. Surabaya: Paramita
Rosen, S. J. (1995). The lives of the Vaishnava saints : Shrinivas Acharya, Narottam Das
Thakur, Shyamananda Pandit. India : Folk Books
______ . (2002). The hidden glory of India. China : The Bhaktivedanta Book Trust.
Sarmah, J. (1978). Philosophy of education in the Upanisads. India : Gauhaty University.
Satsvarupa. (1996). Elements of Vedic thought and culture. New York : The Bhaktivedanta
Book Trust.
Sharma, Y.K. (2001). History and problems of Indian education. New Delhi: Kanishka
Publishers.
Sheridan, D.P. (1986). The Advaitic theism of the Bhagavata Purana. Delhi : Motilal Banarsidass
Shimuh. (2002). Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke mistik Jawa. Yogyakarta:
Bentang
Tim Penterjemah. (1992). Lautan Manisnya Rasa Bhakti. Jakarta: tanpa penerbit.