Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH ISLAM DALAM BUDAYA JAWA

Oleh :

CLARA DEVINDA J.S. / 04010120005@student.uinsby.ac.id / 08983793230

AIMATUZZAHROK / 04020120030@student.uinsby.ac.id / 085731635294

ABSTRAK

Agama Islam diturunkan guna menjadi petunjuk bagi manusia dan sebagai rahmat
bagi seru sekalian alam. Pada abad ke tujuh masehi, islam memasuki indonesia dimana
memiliki pengaruh besar terhadap transformasi budaya setempat. Islam masuk ke tanah jawa,
dalam konteks kebudayaan memiliki dampak pada akulturasi islam dan budaya jawa.
Akulturasi ini dapat dilihat pada batu nisan, arsitektur (seni bangunan), seni sastra, ukir, dan
tradisi lainnya. Akulturasi ini dapat dilihat dalam setiap era yang ada dijawa, baik era demak,
pajang, maupun era mataram islam. Pada era Demak, akulturasi di jawa terjadi dalam banyak
hal, misal arsitektur, ukir, kesenian wayang, pola pemakaman serta seni sastra.

Kebudayaan dijawa mulai tumbuh dan juga berkembang sejak terbentuknya


masyarakat jawa, dimana ia hanya mengenal 10 unsur kebudayaan sebelum adanya
persebaran pengaruh kebudayaan dari luar jawa. Fakta sejarah yang menyatu tersebut, para
Dakwah Wali dinilai berhasil dalam lokalisasi Islam, karena Islam secara alamiah
berkembang pesat di Jawa dan melewati proses kompromi budaya. Garis besar kebudayaan
Jawa dibagi menjadi tiga kategori identitas yaitu kebudayaan Pesisiran (di sepanjang
Pantura), kebudayaan Banyumasan (Kedu, Magelang dan Banyumas atau Dulangmas) dan
kebudayaan Nagari Agung (kebudayaan Kraton) yang meliputi eks Karesidenan Surakarta,
Yogyakarta, Madiun, Kediri dan Malang.

Ada beberapa pendapat atau dalil dari sarjana terkenal, pertama M, Crawfurd,
pendapat marisson, dan lain sebagainya. Islam Jawa secara sosio-kultural adalah merupakan
sub kultur dan bagian dari budaya di tanah Jawa. Istilah tanah Jawa dipakai untuk tidak
menyebut pulau Jawa karena di pulau Jawa terdapat budaya-budaya yang bukan termasuk
dalam budaya Jawa
PENDAHULUAN

Agama Islam diturunkan untuk menjadi sebuah petunjuk bagi manusia dan sebagai
rahmat bagi seru sekalian alam. Fungsi tersebut mengandaikan pentingnya misi
penyebarluasan Islam sehingga umat Islam memiliki kewajiban menyebarluaskan misi di
masyarakat untuk mencapai kebaikan universal, dan terciptanya tatanan hidup masyarakat
yang berbudaya dan berperadaban. Maksudnya bagaimana nilai-nilai luhur agama itu
termanifestasi dalam realitas kehidupan (Bakri, 2014)

Kebudayaan di Jawa tumbuh dan berkembang sejak terbentuknya masyarakat Jawa


(Sahlan & Mulyono, 2012). Manusia Jawa pada zaman prasejarah telah mengenal sepuluh
unsur kebudayaan sebelum ada persebaran pengaruh kebudayaan luar Jawa. Kesepuluh unsur
itu adalah: pertanian beririgasi, batik, pelayaran, metrum, perbintangan, pengecoran logam,
wayang, mata uang, gamelan, dan sistem pemerintahan yang teratur (Brandes, 1889: 51).

Pada sejarah Islam, karena perbedaan budaya masyarakat yang berbeda, agama ini
menyebar melalui banyak tantangan yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Tantangan
tidak harus dihadapi dengan cara konfrontatif, tetapi jalan kompromi adaptif dapat diambil.
Di Jawa, tradisi mistik Jawa dan budaya India Jawa membawa tantangan. Namun, karena
kepekaan intelektual dan budaya wali, Islam dihadirkan ke Jawa primitif dan budaya Hindu
Jawa di Jawa dengan wajah yang sopan, mudah beradaptasi, dan tidak konfrontatif. Islam
diusulkan melalui adaptasi budaya agar lebih diterima secara sosial oleh masyarakat Jawa.

Fakta sejarah yang menyatu tersebut, para Dakwah Wali dinilai berhasil dalam
lokalisasi Islam, karena Islam secara alamiah berkembang pesat di Jawa dan melewati proses
kompromi budaya. Begitu pula ketika menyampaikan ajaran Islam, para misionaris awal juga
menggunakan logika dan tradisi yang berkembang di kepulauan Jawa, sehingga Islam lebih
mudah diterima. Hal ini juga didukung oleh budaya Jawa yang inklusif dan mampu menerima
berbagai tradisi dari luar. Perjuangan antara Islam dan budaya Jawa adalah perjuangan yang
saling menguntungkan.

Terdapat beberapa pendapat atau dalil dari sarjana yang terkenal adalah dari M,
Crawfurd yang mengatakan bahwa penduduk pribumi indonesia dan Melayu telah menerima
islam secara langsung dari Arab. Pendapat ini ia ungkapkan sebelum tahun 1883 M,
Kemudian setelah tahun 1883 M pendapat tersebut banyak disanggah oleh sarjana lainnya.
Salah satunya adalah pendapat yang mengungkapkan sebuah teori Pijnapel, dimana ia
berpendapat bahwa asal muasal islam diindonesia berasal dari anak benua india bukan berasal
dari persia atau Arab. Dia mengaitkan asal-muasal Islam di Nusantara dengan wilayah
Gujarat dan Malabar. Menurutnya, adalah orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang
bermigrasi dan menetap di India tersebutlah yang kemudian membawa Islam ke Nusantara
(Aziz, 2013).

Kemudian pendapat kedua menyatakan bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari
Gujarat, tetapi dibawa oleh para penyebar Muslim yang berasal dari pantai Coromandel pada
akhir abad ke-13. Pendapat ini diungkapkan oleh Marrison. Pendapat Marrison ini
mematahkan teori yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat dengan
menunjukkan pada kenyataan bahwa pada masa Islamisasi Samudra Passai, yang raja
pertamanya wafat pada 698 H / 1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru
pada tahun 699 H / 1298 M.

Ketiga adalah teori bahwa Islam Nusantara dibawa langsung dari Arab. “Teori Arab”
ini dikemukakan –sebagaimana dalam alinea pertama sub bab ini- oleh Crawfurd, meskipun
ia menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum Muslim yang berasal dari
pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara

Islam Jawa secara sosio-kultural adalah merupakan sub kultur dan bagian dari budaya
di tanah Jawa. Istilah tanah Jawa dipakai untuk tidak menyebut pulau Jawa karena di pulau
Jawa terdapat budaya-budaya yang bukan termasuk dalam budaya Jawa, seperti budaya
Sunda dengan bahasa Sunda (Jawa Barat), budaya Betawi dengan bahasa Melayu Betawi
(Jakarta) dan budaya Madura dengan bahasa Madura (Jawa Timur bagian utara dan timur)
(Suseno, 2001).

Secara garis besar kebudayaan Jawa dapat dipilah menjadi tiga kategori identitas yaitu
kebudayaan Pesisiran (di sepanjang Pantura), kebudayaan Banyumasan (Kedu, Magelang dan
Banyumas atau Dulangmas) dan kebudayaan Nagari Agung (kebudayaan Kraton) yang
meliputi eks Karesidenan Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Kediri dan Malang. Kebudayaan
Nagari Agung inilah yang sering disebut sebagai Kejawen. Istilah Kejawen dipakai oleh
masyarakat untuk menyebut budaya dan tradisi di eks kerajaan Mataram Islam baik yang
berada di Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman) maupun Surakarta (Kasunanan dan
Mangkunegaran) dan daerah-daerah di sekitarnya seperti daerah-daerah di eks.karesidenan
Surakarta, Malang, Madiun hingga Kediri .

Warna mistik Islam dalam kultur Islam Kejawen begitu kental dalam fenomena
keberagamaan masyarakat Jawa. Ini tidak bisa dilepaskan dari peranan para wali (Walisongo)
era Demak dan sesudahnya dalam menyebarkan dakwah Islam secara kultural. Dalam
berdakwah, Walisongo secara konseptual menerapkan metode mauidhoh hasanah wa
mujadalah billati hiya ahsan (Saksono, 1995). Metode yang dapat diambil dari ayat al-qur’an
tersebut mereka pergunakan dalam rangka menghadapi tokoh-tokoh, para pemimpin dan
orang terpandang, seperti luarah, bupati, adipati, raja ataupun para bangsawan yang lain.

Masjid Agung Demak –yang disebut sebagai masjid tertua di Jawa, dan masjid-masjid
keraton di Kota Gede (Mataram) memiliki bentuk atap bersusun seperti kuil-kuil Hindu Asia
Selatan. Pola arsitektur ini tidak dikenal di kawasan dunia Muslim lainnya (R & Woodward,
2012). Jika merujuk pada gaya arsitektur yang berkembang di dunia Islam, maka ada
beberapa corak yang akan kita temukan, yaitu: corak Ottoman style (Byzantium), India style,
dan Syiro-Egypto style. Arsitektur bangunan masjid banyak dipengaruhi oleh seni bangunan
era kerajaan Hindu-Budha. Pengaruh tersebut dapat dilihat pada hal-hal sebagai berikut:
(Sunanto, 2005)

a. Bentuk atap masjid. Bentuk atap masjid tidak berbentuk kubah seperti Ottoman style,
India style atau Syiro-Egyptian style, namun berbentuk atap bersusun yang semakin
ke atas semakin kecil dan yang paling atas biasanya semacam mahkota. Bilangan
atapnya selalu ganjil, kebanyakan berjumlah tiga atau lima.
b. Tidak adanya menara. Tidak adaanya menara pada arsitektur masjid di Jawa
berkaiatan dengan digunakannya pemukulan bedug sebagai tanda masuk waktu
sholat. Dari masjidmasjid tua di Jawa, hanya masjid di Kudus dan Banten yang ada
menaranya, dan menara kedua masjid tersebut memiliki bentuk yang berbeda.
c. Letak masjid. Masjid selalu terletak di dekat istana raja (atau adipati/bupati). Di
belakang masjid sering terdapat makammakam. Sedangkan di depan istana selalu ada
lapangan besar (alun-alun) dengan pohon beringin kembar. Letak masjid selalu ada di
tepi barat istana. Rangkaian makam dan masjid ini pada dasarnya adalah kelanjutan
dari fungsi candi pada zaman kerajaan Hindu-Nusantara.
PEMBAHASAN

A. Tentang Budaya
1. Pengertian Budaya
Menurut beberapa ahli, budaya memiliki beberapa arti. Merujuk dari asalnya,
budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu kata buddayah yang berarti akal, sehingga
budaya hanya dapat dicapai dengan kemampuan akal yang tinggi tingkatannya, dan
kemampuan tersebut hanya dimiliki oleh manusia.1 Dalam bahasa Yunani, budaya
dikenal dengan istilah culture, berasal dari kata colere yang berarti mengolah dan
mengerjakan. Jadi kebudayaan merupakan suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh
masyarakat dalam suatu wilayah secara terus-menerus.2
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai “seluruh sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehodupan masyarakat yang
dijadikan manusia dengan belajar”.3 Ralph Linton, seorang antropolog,
mengemukakan kebudayaan adalah, “culture is a configuration of learned behavior
and result of behavior whose components elements are shared and transmitted by the
member of particular society”, artinya “Budaya adalah konfigurasi perilaku yang
dipelajari dan hasil dari perilaku yang unsur komponennya dibagi dan ditularkan oleh
anggota masyarakat tertentu”.4
Dapat disimpulkan bahwa kedua tokoh tersebut membawa pada satu
pandangan yang sama akan suatu kebudayaan yaitu kebudayaan berasal dari manusia
dan kebudayaan berada di tengah-tengah masyarakat, muncul dalam tingkah laku dan
yang paling utama adalah dipelajari, bukan terlahir dan ada begitu saja.
Budaya dan manusia merupakan dua unsur yang berkaitan. Kebudayaan
menempati posisi sentral dalam seluruh tatanan hidup manusia. Manusia tanpa
kebudayaan merupakan makhluk yang tak berdaya, kebudayaan merupakan ukuran
dari tingkah laku dan kehidupan manusia. Karena dengan kebudayaan manusia bisa
dinilai ruang dunianya, lingkungannya, masyarakatnya, dan nilai-nilai yang menjadi

1
Eko A Meinarno, Bambang Widianto, Rizka Halida, Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat Pandangan
Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba Humanika, 2011) hal. 88.
2
Eko A Meinarno, Bambang Widianto, Rizka Halida, Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat Pandangan
Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba Humanika, 2011) hal. 90.
3
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Yogyakarta, Djambatan, 1979) hal. 320.
4
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Yogyakarta, Djambatan, 1979) hal. 298.
landasan pokok bagi penentuan sikap manusia terhadap dunia luar, bahkan menjadi
dasar setiap langkah yang akan dilakukan.5
Tiap masyarakat mempunyai kebudayaanya sendiri, dan setiap kebudayaan
mempunyai masyarakatnya sendiri.6 Bila masyarakatnya berbeda, maka berbeda pula
kebudayaannya. Begitu pula keragaman kebudayaan yang ada di Indonesia,
dikarenakan perbedaan masyarakatnya.
2. Budaya Jawa
Indonesia terkenal dengan keberagaman suku, bahasa dan budayannya.
Meskipun beragam budaya dan berbeda-beda setiap wilayahnya, namun semuanya
melebur menjadi satu Indonesia. Kebedaraan budaya Jawa belum diketahui secara
konkret asal muasalnya. Dari beberapa sumber sejarah yang ada, masih belum ada
pembahasan yang jelas mengenai awal mula budaya tersebut. Jika dikaitkan dengan
ilmu Teologi, Ahmad Khalil M.Fil.I, dalam bukunya yang berjudul Islam Jawa,
Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, mengemukakan karakteristik budaya Jawa
dalam perkembangannya, terbagi dalam 3 fase, yaitu; kebudayaan Jawa pra Hindu
Budha, kebudayan Jawa masa Hindu Budha, dan kebudayaan Jawa masa Islam.7
Alam beberapa sumber sejarah, disebutkan bahwa masyarakat Jawa sebelum
datangnya agama Hindu dan Budha telah menjadi masyarakat yang tersusun secara
teratur, sederhana, dan bersahaja. Sebagai masyarakat yangsederhana, sistem religi
yang dianut adalah Animisme dan Dinamisme. Pada masa ini kebudayaan pada
masyarakat dikenal dengan budaya Kejawen. Sistem ini menjadi inti kehidupan
masyarakat Jawa yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupannya. Cara berfikir
masyarakat pada masa itu masih dikuasai oleh perasaan yang sangat lekat pada
kebudayaan dan agama. Kepercayaan kepada roh dan makhluk halus serta cerita-
cerita mistis selalu meliputi seluruh aktivitas kehidupannya. Oleh karena itu, pikiran
dan perilaku keseharian masyarakat Jawa pada masa itu senantiasa tertuju pada suatu
tujuan, yatu bagaimana mendapatkan bantuan dari roh-roh yang baik dan terhindar
dari pengaruh roh-roh jahat yang bersifat megganggu. Masyarakat Jawa pada periode
ini sangatlah memegang teguh kebersamaan dan kekeluargaan antar sesamanya,
bahkan mereka sudah mengenal penghormatan kepada yang lebih tua.8

5
Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam budaya Jawa (Yogyakarta: PT. Hinindhita Graha Widia, 2000) hal. 7.
6
Drs. Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976) hal. 24.
7
Ahmad Khalil M.Fil.I, Islam Jawa Sufismedalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang press, 2008), hal. 130.
8
Ahmad Khalil M.Fil.I, Islam Jawa Sufismedalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang press, 2008), hal. 132-
133.
Pada aplikasi sosial, penghormatan terhadap oranglain tidak pernah mereka
abaikan, inilah yang danggap oleh masyarakat Jawa sebagai kemerdekaan batin. Oleh
karena itu, mereka menjadi orang yang amat menghormati tradisi yang ada dan bagi
mereka biarkan saja alam luar seperti apa adanya, biarlah diatur dengan nilai-nilai
praktis, dengan bentuk yang diberikan pada budaya, yang menjadi perhatian mereka
yaitu keyakinan batin yang harus terus-menerus dibina.9
Masyarakat jawa memiliki kepribadian yang sangat ramah dalam menerima
segala sesuatu yang baru, hal ini diwujudkan oleh kebudayaan mereka yang sangat
sinkretis, setiap agama yang muncul dan masuk selalu diterima dengan sikap terbka
tanpa memperhatikan aspek benar salahnya.
Sejak saat itu muncullah akulturasi budaya lama dengan budaya baru di Jawa,
yang sebelumnya kebudayaan Jawa dan kebudayaan Hindu Budha, kini menjadi
kebudayaan Jawa, Hindu, Budha dan Islam. Corak kebudayaan ini terletak di
lingkungan istana. Seperti juga dimasa kedatangan Hindu Budha, para penyebar
agama Islam pun mulai menyiarkan agama Islam melalui berbagai cara, dari melalui
perdagangan, perkawinan, kesenian, dan lain-lain.10
B. Islam di Jawa
1. Masuknya Islam di Tanah Jawa
Islam datang ke Indonesia pada permulaan abad pertama hijriyah yang tersiar
secara luas baru pada abad XIII Masehi. Tetapi pedagang muslim asal Arab, Persia,
dan India sudah ada yang sampai di kepulauan Indonesia sejak abad ke-7 M. ketika
Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah, Malaka sudah menjadi pusat utama
lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang
penting bagi para pedagang yang keluar masuk melalui jalur tersebut, disinilah
muncul pertukaran kebudayaan antar pedagang, termasuk kebudayaan dan ajaran
agama Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Arab, Gujarat, dan lain-lain.11
Agama Islam mulai masuk di pulau Jawa, di duga jauh sebelum abad XIII
Masehi. Pusat-pusat tertua penyebaran agama Islam adalah di Daerah Gresik dan
Surabaya. Kesimpulan tersebut didasarkan pada kenyataan yang menuturkan bahwa di
Gresik terdapat banyak sekali makam Islam yang tertua sekali. Di antaranya, adalah

9
Ahmad Khalil M.Fil.I, Islam Jawa Sufismedalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang press, 2008), hal. 159.

10
Ahmad Khalil M.Fil.I, Islam Jawa Sufismedalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang press, 2008), hal. 146.
11
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 192.
sebuah makam tua dari seorang yang bernama Fatimah binti Maemun, yang
meninggal pada tanggal 7 rajab 475 tanggal 12 Rabiul awal 822 H (1419 M).12 Secara
arkeologis, makam Fatimah yang terletak di desa Leran, 12 KM di sebelah barat kota
Gresik dianggap sebagai satu-satunya peninggalan Islam tertua di Nusantara, yang
tampaknya berhubungan dengan kisah migrasi suku Lor asal Persia yang datang ke
Jawa pada abad ke-10 M.13
Sebelum Islam masuk dan berkembang, kerajaan terakhir yang besar
pengaruhnya di Jawa adalah Majapahit. Pada saat kerajaan tersebut mencapai puncak
kebesarannya telah banyak orang-orang yang beragama Islam. Hal ini di sebabkan
adanya hubungan antara orang-orang Islam yang melakukan pelayaran dan
perdagangan di Bandar-bandar pantai utara Jawa yang menjadi wilayah Majapahit.
Persebaran agama Islam di Jawa dipelopori oleh para Wali Sanga. Meskipun terdapat
banyak penyebar Islam, namun para wali itulah yang dianggap penting. Para wali
masing-masing memiliki wilayah persebaran persebaran Islam. Maulana Malik
Ibrahim dianggap sebagai wali yang pertama memasuki Islam di Jawa, sehingga atas
jasanya penduduk yang masih beragama Hindu dan Budha mulai banyak memeluk
agama Islam.14
Dalam beberapa sumber sejarah disebutkan bahwa Islam masuk ke Majapahit
melalui pelabuhan-pelabuhan yang berada di daerah pesisir pulau Gujarat (india),
Persia, Arab, dan Tiongkok yang menetap disana. Sejak agama Islam mulai masuk di
Majapahit, pengaruhnya kian terasa hingga agama Shiwa dan Budha semakin
terdesak. Namun proses ini berjalan dalam waktu yang cukup lama, karena agama
Shiwa dan Budha adalah agama Mayoritas masyarakat Majapahit.15
2. Dakwah dan Ajaran Islam di Jawa
Dalam sejarah penyebaran Islam setelah keluar dari jazirah Arab, kemuadian
Islam berinteraksi dan bergulat dengan lingkungan sosial budaya yang baru. Ajaran
Islam terbagi menjadi dua model dakwah yaitu, kompromi dan nonkompromi.
Dakwah model kompromi adalah ajakan untuk memeluk agama Islam dengan cara
mempertemukan atau memadukan Islam dengan ajaran atau tradisi budaya yang
sudah ada, meskipun berbeda, bahkan tampak berlawanan antar keduanya, cara ini
sangat efektif dan mudah diterima oleh masyarakat, karena tidak adanya paksaan dan
12
Ridin Sofwan, Dkk, Islamisasi Di Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), P.229.
13
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Depok: Pustaka Iman, 2017). P. 56
14
Edi Setiadi, Dkk. Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Dep Pen Bud, 1993), P. 52
15
Teguh Panji, Kitab Sejarah Terlengkap Majapahit,… P. 269
tanpa menghilangkan budaya masyarakat yang sudah ada. Sedangkan model
nonkompromi adalah suatu ajakan yang menekankan dan mempertahankan keutuhan
dan kemurnian syari’ah, sehingga dalam penerapannya mempunyai pandangan yang
agak kaku dalam menghadapi budaya, ajaran, dan lingkungan sosial setempat yang
berbeda dari tempat asal kelahiran Islam.16
Dalam menyebarkan Islam, kebanyakan mereka betul-betul mengajak
masyarakat untuk melakukan syari’at Islam dengan menyampaikan ajaran-ajaran
ortodoksi (ajaran yang berpegang kepada sumber utama, yakni Al-Qur’an dan Al-
Sunnah). Mereka mengingikan agar kepercayaan lama dikikis habis dan rakyat harus
dididik sesuai dengan ajaran Islam. Semua ini tercermin dalam naskah-naskah
peninggalan zaman kewalen, zaman para wali menyebarkan agama Islam seperti buku
Wejangan Syaikh Bari yang di tulis oleh sunan bonang dan primbon Jawa Abad ke-
16. Naskah-naskah tersebut menggambarkan pola piker pesantren yang menentang
ajaran pantheisme (ajaran yang memandang Tuhan bersatu dengan alam). Selain itu
sebagian mereka menggunakan metode pseudoculture, yang menampilkan bentuk
kebudayaan tertentu yang mengandung makna nasihat atau toleransi keagamaan.
Dengan metode ini mereka menghendaki agar adat-istiadat dan kepercayaan lama
sedikit demi sedikit dikikis seraya diisi dengan adat istiadat yang bernafaskan Islam. 17
Salah satu cara penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Wali ialah
dengan cara mendakwah. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara
mendatangi masyarakat (sebagai objek dakwah), dengan mengunakan pendekatan
sosial budaya. Pola ini menggunakan bentuk akulturasi, yaitu mengunakan jenis
budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya.18
Pola islamisasi di Jawa mempunyai karakteristik tersendiri dibanding dengan
yang terjadi di daerah lain, kalau didaerah lain Islam relatif bisa di terima dengan
cepat karena berhadapan dengan budaya local yang masih sederhana. Sementara
dijawa, Islam berhadapan dengan kekuatan rumit yang merupakan penyerapan unsur-
unsur budaya hinduisme-budhisme. Kebudayaan tersebut terus terpilihara oleh para
bangsawan dan kaum ningrat atau cendikiawan Jawa. Oleh Karen iu, pola islamisasi
di Jawa berhadapan dengan dua Model kekuatan lingkungan budaya: pertama,
kebudayaan para petani lapisan bawah yang merupakan bagian terbesar masyarakat
16
Ahmad Khalil M.Fil.I, Islam Jawa Sufismedalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang press, 2008), hal. 14.
17
Soekama Karya, Dkk, Ensiklopedia Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996),
P. 173
18
Sejarah Awal Agama Islam masuk ke Tanah Jawa.
yang hidup sederhana dengan religi animisme-dinamisme, dan yang kedua, tradisi
istana yang merupakan tradisi agung dengan unsur-unsur filsafat Hindu-Budha yang
memperkaya dan memperhalus budaya dan tradisi lapisan atas tersebut.
Kedua model budaya itu memiliki ciri khas masing-masing. Kalau budaya
petani yang hidup di pedesaan merupakan tradisi kecil yang masih didominasi oleh
tradisi lisan, sementara budaya kaum ningrat telah mengembangkan tradisi tulisan
dengan memanfaatkan sastra keagamaan Hindu-Budha.19
Dalam penelitian tentang Islamisasi di Jawa, James Peacock dalam Purifying
The faith (1978) menegaskan bahwa mistik dan praktik-praktik magis-magis selalu
merupakan arus bawah yang sangat kuat di Jawa, karena Islam yang datang di Jawa
adalah Islam Sufi, yaitu Islam yang dengan mudah diterima serta diserap ke dalam
sinkretisme Jawa. Dan tentu saja, Islam sufi yang dimaksud peacpck tidak lain adalah
Islam yang disebarkan oleh tokoh-tokoh Wali Songo. Setelah proses dakwah yang
dilakukan Wali Songo berhasil mengembangkan akidah dan akhlak yang diajarkan
kaum sufi, Wali Songo generasi berikutnya, setelah sebagian anggota-anggota wali
songo meninggal dunia dan diganti oleh anggota baru, mulai mengenal Islam sebagai
sumber dari nilai-nilai hukum syari’at.20
Usaha pengembangan dakwah Islam yang dijalankan Wali Songo yang tidak
kalah penting adalah usaha mengembangkan pendidikan model dukuh, asrama, dan
padepokan dalam bentuk pesantren-pesantren, pesulukan-pesulukan, paguron-paguron
juga model pendidikan masyarakat yang terbuka lewat langgar, tajuk, masjid-masjid,
dan permainan anak-anak.
Salah satu proses islamisasi yang dilalukan Wali Songo melalui pendidikan
adalah usaha mengambil-alih lembaga pendidikan Shiwa-Budha yang disebut
“asrama” atau “dukuh” yang diformat sesuati dengan ajaran Islam menjadi lembaga
pendidikan pondok pesantren. Usaha inimenunjukan hasil menakjubkan, karena para
guru sufi dalam lembaga Wali Songo mampu memformulasikan nilai-nilai siso-
kultural religious yang dianut masyarakat Shiwa-Budha dengan nilai-nilai Islam,
terutama memformulasikan nilai-nilai ketauhidan Shiwa-Budha (adwayasashtra)
dengan ajaran tauhid Islam yang dianut para guru sufi.21

19
Ahmad Khalil M.Fil.I, Islam Jawa Sufismedalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang press, 2008), P.78
20
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo … P.152
21
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo … P.168
Secara mendasar dapat disimpulkan, bahwa alasan masyarakat Jawa mudah
menerima agama Islam yang dibawa dan diperkenalkan oleh para Walisongo, karena
dalam pengajaran agama Islam, Walisongo lebih menyatu dengan tradisi masyarakat
Jawa. Dari tradisi tersebut, Walisongo mulai merubah kepercayaan masyarakat secara
perlahan-lahan, dari mulai ketauhidannya sampai pola ajarannya.

KESIMPULAN

Akulturasi budaya Jawa dan agama Islam menghasilkan suatu pembaharuan dalam
masyarakat. Dari segi keyakinan, ajaran sampai perilaku masyarakat. Percampuran antara
keduanya memberikan pengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Karakteristik dan perilaku
spiritual masyarakat, bukan hanya terbentuk dari agama dan budaya yang ada saja, melainkan
berasal dari tokoh-tokoh masyarakat.

Islamisasi di suatu daerah bukan hanya melalui perdagangan, perkawinan dan dakwah
saja, tetapi islamisasi bisa dilakukan melalui tradisi dan kebiasaan masyarakat yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

El Harakah Vol.14 No.1 Tahun 2012

Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013, Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa Oleh: Donny

Khoirul Aziz)

Gazalba, Drs. Sidi, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1976)

Herusatoto, Budiono, Simbolisme dalam budaya Jawa (Yogyakarta: PT. Hinindhita Graha

Widia, 2000)

Jurnal KEBUDAYAAN ISLAM BERCORAK JAWA (Adaptasi Islam dalam Kebudayaan

Jawa) Oleh: Syamsul Bakri

Karya, Soekama, Dkk, Ensiklopedia Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1996

Khalil M.Fil.I, Ahmad, Islam Jawa Sufismedalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang

press, 2008)
Meinarno, Eko A., WidiantoBambang, HalidaRizka, Manusia dalam Kebudayaan dan

Masyarakat Pandangan Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba Humanika,


2011)

Panji, Teguh, Kitab Sejarah Terlengkap Majapahit,…

Sejarah Awal Agama Islam masuk ke Tanah Jawa.

Setiadi, Edi, Dkk. Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Dep Pen Bud, 1993),

Sofwan, Ridin, Dkk, Islamisasi Di Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),

Sunyoto, Agus, Atlas Walisongo

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000)

Anda mungkin juga menyukai