Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pesantren merupakan wahana yang didalamnya ada pemikiran, gagasan dan

gerakan-gerakan sosial-budaya dinamis. Istilah pesantren sendiri awalnya berasal

dari akar kata santri “pe-santri-an” atau tempat santri yang memiliki arti “tempat

tinggal para santri”. Sedangkan secara estimologis, pesantren dimaknai sebagai

sekolah tradisional Islam berasrama. Institusi pengajaran ini memfokuskan pada

pengajaran agama dengan menggunakan metode pengajaran yang khas. Di negara

Indonesia, istilah pondok pesantren lazimnya selalu disandingkan dengan kata

“Akhlak”1.

Pesantren adalah suatu bentuk lingkungan masyarakat yang unik dan

memiliki tata nilai kehidupan yang positif dan mempunyai ciri khas

tersendiri seperti: 1) adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiai, 2)

santri ta‘dzim terhadap kiainya, 3) semua santri hidup secara sederhana dan

mandiri, 4) semangat gotong royong dengan penuh persaudaraan, 5) para

santri terlatih hidup disiplin dan terikat, terutama dalam sistem

pendidikannya yang mengadopsi sistem pendidikan dua puluh empat jam,

dengan mengkondisikan para santri dalam satu lokasi sebuah asrama, hal ini

yang menjadikan pesantren lembaga yang bermutu dan terjamin 2.

1
Ahsanul Husna, “Akhlak Santri Di Era Globalisasi,” Jurnal Pendidikan Agama Islam 1, no. 2
(2021): 2774–9118, http://ejournal.idia.ac.id/index.php/fakta.
2
Akmal Mundiri dan Afidatul Bariroh, “Trans Internalisasi Pembentukan Karakter Melalui
Trilogi Dan Panca Kesadaran Santri,” IQRA’ (Jurnal Kajian Ilmu Pendidikan) 3, no. 1 (2018): 24–
55,
Pondok pesantren yang melembaga di masyarakat, merupakan salah

satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Eksistensinya sudah

teruji oleh zaman, sehingga sampai saat ini pesantren masih tetap hidup

walau dengan berbagai terpaan transformasi zaman 3.

Santri merupakan anak usia remaja yang memilih atau

dipilihkan orang tuanya untuk menempuh pendidikan di pondok

pesantren baik secara terpaksa ataupun suka rela. Masa remaja

merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak menuju masa

dewasa. Masa ini tergolong cukup panjang yang ditandai dengan

adanya pubertas yaitu munculnya perubahan-perubahan fisiologis

tertentu yang dapat menjadi awal bagi kemampuan seseorang untuk

dapat bereproduksi. Menetapkan batasan usia bagi remaja sedikit sulit,

karena sebutan remaja sendiri merupakan konstruksi sosial yang

berbeda-beda tergantung pada lingkungan sosial dan budaya dimana

remaja tinggal 4.

Fungsional pondok pesantren tidak bisa terlepas dari hakikat dasarnya

bahwa pondok pesantren tumbuh berawal dari masyarakat sebagai lembaga

informasi desa dalam bentuk sederhana. Oleh karena itu guna pondok pesantren

diantaranya membentuk masyarakat yang didasarkan atas dasar ketuhanan yang

dilandasin aqidah akhlak. Secara teori santri diajarkan ilmu-ilmu agama yang

bersumber dari kitab klasik atau bukan, yang berkaitan dengan akhlak. Secara
3
Akmal Mundiri dan Ira Nawiro, “Ortodoksi Dan Heterodoksi Nilai-Nilai Di Pesantren: Studi
Kasus Pada Perubahan Perilaku Santri Di Era Teknologi Digital,” Jurnal Tatsqif 17, no. 1 (2019):
1–18.
4
Happy Susanto dan Muhammad Muzakki, “Perubahan Perilaku Santri (Studi Kasus Alumni
Pondok Pesantren Salafiyah di Desa Langkap Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo),” Istawa:
Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 1 (2017): 1.
praktek mereka diwajibkan untuk mempraktekan kehidupan beragama yang

menyangkut aqidah dan akhlak.

Dunia yang semakin modern dan serba canggih seperti sekarang ini,

mengakibatkan para orang tua menjadi khawatir akan krisis moral atau krisis

ahklak. Padahal dalam kenyataan nya etika sangat diperlukan sekali dalam

kehidupan. Etika menjadi modal terpenting untuk diri manusia. Orang akan

menjadi segan karena etikanya, orang akan menjadi bijak karena etikanya. Tetapi

di zaman sekarang ini, apalagi kalangan remaja etika menjadi minim, mereka

lebih mementingkan eksistensinya dan lebih mengesampingkan etikanya. Bukan

mereka tidak mengeyam pendidikan atau bimbingan orang tua, tetapi memang

mereka dikalahkan oleh egonya sendiri untuk bisa lebih bereksistensi daripada

beretika. Padahal bereksistensi dan bertetika itu akan jauh lebih terhormat.

Pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah adalah pondok pesantren yang telah

berdiri sejak tahun 1985 dan didirikan oleh KH. Abdul Ghofir Nawawi yang

merupakan santri dari Tebu Ireng Jombang yang kini telah berkembang menjadi

pesantren modern (kalaf). Pesantren ini dikenal dengan pendidikan akhlaknya,

karena didalamnya mereka mempelajari Tahfidzul Qur’an dan Kitab-kitab klasik

yang dikarang oleh para ulama-ulama terdahulu seperti kitab kuning.

Pesantren salafiyah safi’iyah tentunya telah memiliki peranan dan fungsi

pondok pesantren dalam pembinaan akhlak para santri dalam pelaksanaan akhlak

santri di lingkungan pesantren salafiyah syafi’iyah dan di tengah-tengah

masyarakat Banuroja, meliputi akhlak santri kepada Allah SWT, akhlak santri

kepada diri sendiri dan akhlak santri kepada orang lain. Tentunya terlaksana
sesuai yang dipelajari di lingkungan pesantren didalam kitab akhlak ta’limul

muta’allim yang di susun oleh Ibrahim dan ismail yang merupakan kitab klasik,

namun seorang guru yang mengajarkannya dengan menterjemahkan terlebih

dahulu di iringi dengan penjelasan, sehingga santri dan para guru-gurunya 1 kali

seminggu dalam proses pembelejaran yang bersifat formal.

Namun disamping itu santri pesantren salafiyah syafi’iyah dan santri

masyarakat Banuroja memperoleh pendidikan akhlak yang bersifat non formal

yaitu berupa arahan dari ustad pengasuh asrama dikawasan asrama dengan materi

pembinaan akhlak kepada Allah, akhlak kepada diri sendiri dan akhlak kepada

orang lain. Hal ini dilakukan 3 x seminggu dan pelaksanaannya hari Senin, Rabu,

Jum’at pada waktu Asar di ruang Musholla.Pada dasarnya akhlak Islam adalah

akhlak yang berdasarkan ajaran Islam, yakni Al-Quran dan Hadits yang

kedudukannya identik dengan pelaksanaan agama Islam dalam segala bidang

kehidupannya.

Dalam berakhlak Islamiyah seorang harus melaksanakan ajaran Iman, Islam

dan Ikhsan secara utuh, baik yang berhubungan dengan Allah maupumakhluk, diri

sendiri, orang lain dan lingkungan.5 Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik,

indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela.

Pada era milenial seperti saat ini pondok pesantren dihadapkan kepada

perubahan sistem sosial dan teknologi yang sangat cepat. Masyarakat sekarangini

menghendaki perubahan tata nilai kehidupan sosial dan struktur masyarakat

modern dengan karakteristik sebagai antitesa dari masyarakat tradisional


Sehingganya peran santri di era milenial sangat bepengaruh dalam membawa

perubahan untuk masyarakat Banuroja.

Generasi ini merupakan generasi yang tumbuh seiring perkembangan

tekhnologi khususnya internet dan gadget. Bagi generasi milenial, internet sudah

bukan lagi menjadi kebutuhan tersier atau sekunder, tetapi kebutuhan utama atau

primer. Selain itu, karena menjadi generasi muda di zaman ini adalah menjadi

manusia yang di tuntut tetap adaptif terhadap fleksibilitas zaman. Hal itu sama

halnya dengan generasi milenial yang ada pondok pesantren Salafiyah syafi’iyah.

Bagi mereka tekhnologi sudah menjadi kebutuhan primer, karena sebagian

besar dari mereka adalah mahasiswa yang mana kebutuhan akan media sosial

menjadi kebutuhan sehari-hari baik itu untuk mengerjakan tugas dari kampus

ataupun untuk selalu up date tentang perkembangan dunia.

Dengan melihat berbagai pengaruh media sosial yang semakin besar di

zaman sekarang ini, membuat pola berfikir, perilaku atau kebiasaan santri di

pondok pesantren Salafiyah syafi’iyah mulai mengalami perubahan. Terkadang

santri di pondok pesantren Salafiyah syafi’iya ini lebih terlena dengan kemajuan

teknologi hingga mengesampingkan mengaji. Mereka lebih asyik dengan sosial

medianya. Hal itu tidak menutup kemungkinan bahwasanya dapat mengubah pola

berfikir mereka apalagi banyaknya pahampaham radikal yang semakin banyak

menyebar sekarang ini yang mungkin saja masuk pada diri santri.

Melihat fenomena yang terjadi di lapangan, berdasarkan hasil pengamatan

sementara akhlak santri masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini dilandasi banyak

santri bertingkah laku buruk, dan mengerjakan perbuatan yang tidak sesuai
dengan syari’at Islam. Seperti dalam pengamalan akhlak kepada Allah SWT,

santri masih banyak yang malas melaksanakan shalat, dan bahkan sama sekali

tidak mengerjakan shalat ketika sibuk dengan aktivitasnya, begitu juga dengan

akhlak kepada diri sendiri, santri belum mampu melindungi kesucian jiwa dalam

hal berbusana, sehingga sebagian dari santri masih ada yang tidak memakai jilbab

di luar pesantren serta baju yang tidak menutupi aurat mereka, sehingga

mencerminkan penampilan mereka bukanlah seorang santri. Serta akhlak kepada

orang lain, santri tidak dapat bertutur sapa yang sopan terhadap orang lain dan

berlaku jujur kepada guru dan orang lain, hanya sebagian santri yang mampu

berperilaku baik, kemudian tidak kelihatan pengamalan akhlak dalam kehidupan

sehari-hari.

Dari penjelasan di atas, peneliti ingin melaksanakan penelitian yang

berjudul Santri Diera Milenial,Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah di dalam

lingkungan Pesantren dan di tengah-tengah Masyarakat Banuroja.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dibahas

dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana dampak perubahan zaman pada santr di pondok pesantren

salafiyah syafi’iyah?

2. Bagaimana etika santri dilingkungan pesantren di tengah-tengah masyarakat

Banuroja.?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah :


1. Untuk mengetahui dampak perubahan zaman pada santri di pondok

salafiyah syafi’iyah

2. Untuk mengetahui etika santri di lingkungan pesantren di tengah-tengah

masyarakat banuroja.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Kegunaan Akademis

Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran untuk meningkatkan pemahaman keagamaan dan menambah ilmu

tentang kajian etika secara umum, terutama pandangan dan beberapa pengertian

mengenai pesantren.

2. Kegunaan Sosial

Untuk memecahkan rasa penasaran penulis terhadap akhlak atau etika yang

berkembang dikalangan para santri dan meninjau sejauh mana akhlak para santri.

Yang mana santri akan sangat taat dan patuh terhadap gurunya dan sangat besar

terhadap pandangan khalayak.


BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pondok Pesantren

2.1.1 Pengertian Pondok Pesantren

Pondok pesantren merupakan garda terdepan dalam mengantisipasi

suatu perubahan. Dikarenakan pondok pesantren dianggap sumber pendidikan

akhlak dan moralitas baik dari segi individu maupun kelompok. Sejarah mencatat

bahwa pesantren tidak hanya mamapu bertahan dalam mengahadapi tantangan

zaman, tetapi juga mengalami perkembangan pesat dan transformasi dari masa ke

masa 5.

Pesantren adalah lembaga pendidikan mandiri yang dirintis, dikelola, dan

dikembangkan oleh kyai. Jika ditelusuri, pesantren lahir dari sesuatu yang sangat

sederhana. Seseorang yang dikenal memiliki pengetahuan agama, yang kemudian

dianggap sebagai ustadz, menyediakan diri untuk mengajar Islam. Mulai dari hal-

hal yang sederhana mengenai dasar-dasar pengetahuan ajaran Islam, seperti cara

membaca Al-Qur’an, sampai pada pengetahuan yang lebih mendalam, seperti

bagaimana memahami Al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqh, tasawuf, dan pengetahuan

lain sejenisnya 6.

2.1.2 Fungsi Pesantren

5
Nur Kholidah Jauharoh dan Siti Rofi, “Internalisasi Nilai Moderasi Islam Dalam Membentuk
Moral Santri Milenial ( Studi Kasus Di Pondok Pesantren Tebuireng Diwek Jombang ),”
Munaqasyah: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pembelajaran 3, no. 1 (2020): 1–14,
http://ejournal.stib.ac.id/index.php/mnq/index.
6
Ferdinan, “Pondok Pesantren, Ciri Khas Perkembangannya,” Jurnal Tarbawi 53, no. 9 (2018):
13.
Fungsi pesantren tidak semata-mata hanya sebagai lembaga pendidikan

tafaqquh fi al-dian an sich, tetapi multi komplek yang menjadi tugas pesantren.

Aktivitas belajar mengajar di pesantren tidak hanya memberikan ilmu saja.

Azyumardi Azra menyebutkan, selain memberikan ilmu, pesantren juga sebagai

peremajaan ulama’ dan sebagai pelestari budaya Islam.

Dua unsur tambahan tersebut perlu ditekankan sebab ulama’ bukan hanya

orang yang mempunyai penguasaan ilmu yang tinggi, tetapi juga harus disertai

dengan kemampuan mengamalkan ilmu tersebut. Hal senada juga dikemukakan

oleh Tholkhah Hasan mantan menteri agama RI, bahwa pesantren seharusnya

mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut :

1. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan pembekalan ilmu-

ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values);

2. Pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial;

3. Pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial

(social engineering) atau perkembangan masyarakat (community

development).

Semua itu, menurutnya hanya bias dilakukan jika pesantren mampu

melakukan proses pelestarian tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi

perkembangan keilmuan baru yang baik dan sekaligus mengadaptasi

perkembangan keilmuan baru yang lebij baik, sehingga mampu memainkan

peranan sebagai agent of change. Oleh karena itu pondok pesantren bukan hanya

pada transfer pengetahuan saja namun pada pembentukan karakter 7.


7
Ria Gumilang dan Asep Nurcholis, “Peran Pondok Pesantren Dalam Pembentukan
Karakteristik Santri,” Jurnal Comm-Edu 1, no. Studi Kualitatif bagi Kalangan Perempuan di LKP
Lucky Desa Tanimulya Kec. Ngamprah Kab. Bandung Barat (2018): 105–114.
2.1.3 Jenis Pesantren

Menurut para ahli pendidikan, pengklasifikasi jenis pesantren ke dalam dua

tipologi; yakni pesantren modern, yang sudah banyak menerapkan sistem

pendidikan sekolah modern Barat dan pesantren salaf, yang berorientasi pada

pelestarian tradisi dengan sistem pendidikan tradisional. Pertama, pesantren Salaf.

Menurut Zamakhsyari Dhofier, ada beberapa ciri pesantren salaf atau tradisional,

terutama dalam hal sistem pengajaran dan materi yang diajarkan.

Disebut pesantren salafi ditambah dengan lembaga sekolah (madrasah,

SMU atau kejuruan) yang merupakan karakteristik pembaharuan dan modernisasi

dalam pendidikan Islam di pesantren. Meskipun demikian, pesantren tersebut

tidak menghilangkan sistem pembelajaran yang asli yaitu sistem sorogan,

bandungan, dan wetonan yang dilakukan oleh kyai atau ustadz 8.

Pesantren salafi dalah pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya

dengan Kitab kitab klasik, dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model

pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf,

yaitu sorogan dan weton. Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari

kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih-lebih kitabnya.

Sedangkan sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seseorang

8
Riskal Fitri dan Syarifuddin Ondeng, “Pesantren Di Indonesia: Lembaga Pembentukan
Karakter,” Jurnal Al-Urwatul Wutsqa: Kajian Pendidikan Islam 2, no. 1 (2022): 42–54,
https://journal.unismuh.ac.id/index.php/alurwatul/article/view/7785.
atau beberapa orang santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab-kitab tertentu.

Sedangkan istilah salaf ini bagi kalangan pesantren mengacu kepada pengertian

“pesantren tradisional” yang justru sarat dengan pandangan dunia dan

praktek islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah dan

tasawwuf. Misalnya: pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in

Jombang, dan lain sebagainya 9.

Pengajaran kitab- kitab Islam klasik atau sering disebut dengan kitab kuning

karena kertasnya berwarna kuning, terutama karangan-karangan ulama yang

menganut faham Syafi’iyah, merupakan pengajaran formal yang diterapkan dalam

lingkungan pesantren tradisional. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di

pesantren dapat digolongkan ke dalam delapan kelompok, yaitu nahwu (syntax)

dan shorof (morfologi), fiqh, usul fiqh, hadis, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, dan

cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.

Menurut (Dhofier, 1983) Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan

tertua di Indonesia memang senantiasa melestarikan nilai-nilai pendidikan

berbasis pengajaran tradisional. Pelestarian akan sistem dan metodologi

tradisional itulah yang lantas menjadikan pesantren semodel ini disebut sebagai

pesantren tradisional. Pelestarian nilai-nilai tersebut dapat dengan mudah dilacak

dalam kehidupan santri yang sehari-harinya hidup dalam kesederhanaan, belajar

9
Amin Nasir, “Etika Sosial Santri Menuju Modernisasi Pendidikan (Telaah Pendidikan Santri Di
Kudus),” Journal of Social Science Teaching 2, no. 1 (2018),
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Ijtimaia.
tanpa pamrih dan penuh tanggung jawab, serta terikat oleh rasa solidaritas yang

tinggi 10.

2.2 Santri

Kata santri menurut kamus besar bahasa Indonesia, memiliki dua

pengertian, yakni; orang yg mendalami agama Islam; dan orang yang beribadah

secara sungguh-sungguh; orang yang saleh. Adapula yang menefinisikan santri

dari serapan bahasa inggris yang berasal dari dua suku kata yaitu sun dan three

yang artinya tiga matahari.

Santri pada umumnya didefinisikan sebagai seseorang yang belajar di

pesantren mengenai ilmu agama, tauhid, fiqih, tasawuf, dan akhlak. Namun,

seperti telah disinggung sebelumnya, definisi itu kini telah mengalami perluasan

makna yang mengartikan santri tidak hanya terbatas pada definisi itu. Santri ialah

seorang muslim yang ikut dan patuh terhadap dawuhnya kai dan memiliki

semangat yang sama layakya santri. Dalam makna luas, siapapun yang berakhlak

seperti santri, adalah santri 11.

Santri dalam makna khusus, maka lingkungannya adalah pesantren. Di

tempat ini karakter khas santri terbentuk. Jiwa spiritual dan sosial yang tinggi,

adalah bagian dari karakteristik tersebut. Karakter santri yang unik diataranya;

teosentris; yaitu sebuah nilai dalam karakter diri santri yang dilandasi pemikiran

bahwa sesuatu kejadian berasal, berproses, dan kembali kepada kebenaran Allah

Swt. Semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Allah Swt, dan

10
Gumilang dan Nurcholis, “Peran Pondok Pesantren Dalam Pembentukan Karakteristik Santri.”
11
Imroatul Azizah, “Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Beragama,” Prosiding
Nasional 4, no. November (2021): 197–216, http://ejournal.stib.ac.id/index.php/mnq/index.
merupakan bagian integral dari totalias kehidupan keagamaan. Orientasi akhirat

menjadi hal yang paling diutamakan dala segala perbuatan sehari-hari 12

2.3 Santri Di Era Milenial

Persoalan-persoalan sekitar yang sangat krusial dimasyarakat sekarang ini

yaitu adalah perilaku/etika atau akhlak. Menurut ibn Maskawih, ahlak adalah sifat

yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa

memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Al-Ghazali berpendapat bahwa suatu

ahlak itu bukan hanya sebatas perilaku, atau sekedar kemampuan berbuat, dan

bukan juga sebatas pengetahuan. Akan tetapi, ahlak yang sebenarnya itu adalah

harus bisa mewujudkan dua keadaan yang disebut dengan dirinya dan situasi

jiwanya itu menjadi muncul perilaku-perilaku yang spontanitas, dan situasi

itu harus melekat sedemikian rupa sehingga perbuatan yang muncul darinya tidak

bersifat sesaat melainkan menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut imam Al-Ghazali, lafadz khulq dan khalqu adalah dua sifat yang dapat

dipakai secara bersama.

Generasi milenial memiliki karakter unik berdasarkan wilayah dan kondisi

sosial-ekonomi. Salah satu ciri utama generasi milenial ditandai oleh peningkatan

penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital.

Karena dibesarkan oleh kemajuan teknologi, generasi milenial memiliki ciri-ciri

kreatif, informatif, mempunyai passion dan produktif. Dibandingkan generasi

12
Ibid.
sebelumnya, mereka lebih berteman baik dengan teknologi. Generasi ini

merupakan generasi yang melibatkan teknologi dalam segala aspek kehidupan.

Bukti nyata yang dapat diamati adalah hampir seluruh individu dalam generasi

tersebut memilih menggunakan ponsel pintar. Dengan menggunakan perangkat

tersebut para milenial dapat menjadi individu yang lebih produktif dan efisien 13.

Kehadiran generasi milenial telah memberikan ciri khas yang tidak bias

dipandang sepele. Mereka memiliki kehidupan yang dinamis, colorfull,

independen dan terkadang mampu membuat trendsenter secara luas di masyarakat.

Ditambah dengan apa yang disebut Asef dan Linda bahwa kehidupan mereka

tidak bisa terlepas dari dukungan teknologi, sehingga dominasi user teknologi dan

internet masih dipegang oleh kalangan kaum muda. Kaum muda telah melakukan

negosiasi terhadap banyak lini; komunikasi, budaya, networking bahkan terhadap

pendidikan sekalipun, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan 14.

Sehingga keberadaan generasi milenial tidak bisa lagi dinafikan di dalam

lingkungan pesantren. Kehadiran mereka dipesantren menjadi sangat unik,

berpakaian peci dan sarung akan tetapi suka gonta ganti handphone, rajin

bersholawat sekaligus menjadi generasi online chat.

Secara terminology, santri milenial didefinisikan sebagai kelompok generasi

muda muslim masa kini yang bergelut dengan persoalan keislaman dalam kontek

kekinian, mampu menangkap semangat zaman, memiliki progresifitas dan

13
Zulkifli dan M Khatami, “Peran Santri dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045,” Jurnal
Pendidikan dan Ilmu-ilmu Keislaman 1 (2021): 247–255.
14
Arif Rahman dkk., Pendidikan Islam Di Era Revolusi Industri 4.0, 2019,
https://doi.org/10.31219/osf.io/4j6ur.
terobosan pemikiran untuk menjawab tantangan sosial keagamaan aktual, apapun

dan dari manapun latar organisasi keislaman mereka 15.

Jadi Santri milenial merupakan santri yang memanfaatkan media sosial

untuk mendukung pekerjaannya dan bukan mengubahnya sebagai profesi. Santri

milenial juga dikenal dengan sebuah generasi yang satu kaki masih

mempertahankan budaya pesantren yang dipegang teguh, sementara satu kakinya

sudah terjulur dan menapak di era global. Seorang santri milenial bukan hanya

mempunyai daya saing intelektual dan manajerial saja, tetapi dia juga mempunyai

daya yang handal dalam menghadapi tantangan hidup dengan pola sikap serta pola

tindak mengena di tengah masyarakat 16.

Sehingga seorang santri milenial mempunyai keunikan tersendiri, bahkan

mempunyai selling point yang tidak bisa didapatkan melalui kekuatan penguasa

teknologi dan informasi. Seorang santri milenial harus bisa menjadi teladan karena

di tangannya estafet guru (ulama) yang notabene pewaris para nabi. Yang mana

pola pendidikannya bertumpu kepada kesederhanaan dan pengamalan akhlak,

sehingga menjadikan santri memiliki live suvervival yang Tangguh, sehingga

mereka bisa menikmati hidup dengan bijaksana ditengah terpaan perkembangan

arus globalisasi yang membooming.

Terkait dengan masalah pengaruh dari luar akibat adanya banjir informasi,

efek buruknya lebih menyasar pada masing-masing individu. Yang pasti di

pesantren telah ditanamkan nilai-nilai keagamaan, kedisiplinan dan moralitas

selain ilmu lain semisal eksakta seperti di pendidikan formal non pesantren.
15
Aulia Hadi dan Thung Ju Lan, Nasionalisme ala Milenial: Sebuah Disrupsi?, Nasionalisme
ala Milenial: Sebuah Disrupsi?, 2021.
16
Zulkifli dan Khatami, “Peran Santri dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045.”
Ketiga nilai ini digunakan sebagai pondasi ketika mereka terjun kemasyarakat

yang tidak sekedar hanya dibekali kreativitas dan intelektualitas an sich. Jadi,

apapun profesinya spirit karakter santrinya tetap kokoh dan berkelanjutan.

Ketika santri milenial larut dalam kecanggihan teknologi untuk mendukung

gaya hidup (life style) tetapi tidak diimbangi dengan kekuatan nilai spiritualitas

dan moral, maka akan terjadi dekadensi moral. Dekadensi moral itu yakni

runtuhnya nilai-nilai moral akibat digerus pesatnya arus perkembangan zaman.

Tampilan luarnya terlihat keren, tapi sejatinya hati dan karakternya keropos.

Inilah yang kemudian akan melahirkan label generasi strawberry bagi

kelompo generasi milenial yang memiliki karakter rapuh, mudah terombang-

ambing, tidak produktif dan cenderung destruktif.

Sebenarnya yang negative lebih kepada penyalahgunaan akses dan

pengetahuan terhadap fenomena digitalisasi yang sudah masuk ke seluruh lini

kehidupan, bukan pada generasi milenial itu sendiri. Sebab generasi milenial yang

Tangguh, kuat iman dan mempunyai kontribusi positif juga banyak tampil eksis di

depan masyarakat.

Jika kita melihat fenomena saat ini, hampir semua lini tersentuh oleh

teknologi informasi dan digitalisasi, jika tidak diimbangi dengan kokohnya nilai-

nilai moral, maka akan tumbuh tunas-tunas kriminalitas berbasis digital, cyber

crime, pornografi, beragam LGBT, judi online dan lain sebagainya17.

17
Ibid.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini ialah penelitian lapangan (field research) dan bersifat

deskriptif kualitaif. Deskriptif yaitu bertujuan untuk mempelajari secara intensif

tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi lingkungan sesuatu unit

sosial: individu, kelompok, lembaga atau masyarakat. Sedangkan penelitian

kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena sosial dari sudut atau perspektif

partisipan. Partisipan adalah orang-orang yang diajak berwawancara, diobservasi,

diminta memberikan data, pendapat, pemikiran, dan persepsinya

3.2 Pendekatan Penelitian

Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana proses atau prosedur yang

mesti dilakukan seorang peneliti ketika ia hendak melakukan penelitian Etika

Santri. Adapun uraian pendekatan penelitian sebagai berikut:

3.2.1 Pendekatan Antropologi


Istilah antropologi sendiri berasal dari bahasa Yunani dari asal kata

Anthropos berarti manusia, dan Logos ilmu, dengan demikian secara harfiah

antropologi berarti ilmu tentangstudi tentang umat manusia yang berusaha

menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan

untuk memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang

keanekaragaman manusia. Dalam kamus besar bahasa indonesia, antropologi

disebut sebagai ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna,

bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau.

3.2.2 Pendekatan Fenomenologi

Merupakan ilmu pengetahuan mengenai apa yang nampak. Tujuan utama

dari fenomenologi adalah untuk mereduksi pengalaman-pengalaman individu

pada sebuah fenomena menjadi sebuah deskripsi tentang esensi atau intisari

universal.

3.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana penelitian akan dilakukan.

Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitianya di Kecamatan Randangan,

khususnya di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Banuroja

3.4 Jenis dan Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder,

sebagai :

3.4.1 Data Primer


Data primer adalah data yang diperoleh melalui observasiyang telah

dipersiapkan. Dan juga bisa menghasilkan foto, video, catatan yang telah

dipublikasikan atau tidak dipublikasikan yang berkaitan langsung dengan variabel

penelitian.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data pendukung yang berupa dokumen-dokumen atau

arsip penting yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Contohnya

artikel, jurnal, skripsi, tesis, buku dan beberapa sumber lainnya, yang berkaitan

dengan yang akan diteliti.

3.5 Subjek Penelitian

Untuk memperoleh data dalam suatu penelitian, maka diperlukan responden

yang dapat dijadikan sumber data. Sumber data yang dimaksud adalah subjek dari

mana data diperoleh. Responden yang dimaksud yaitu pimpinan Pondok

Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, dan Pengurus Pesantren tersebut.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Salah satu tahapan penting dalam sebuah proses penelitian adalah

pengumpulan data. Hubungan antar peneliti atau kelompok peneliti dengan subek

penelitian hanya berlaku untuk pengumpulan data dengan melalui teknik

observasi, pengumpulan dokumen dengan melakukan penelaahan terhadap

berbagai referensi yang memang relefan dengan fokus penelitian pengumpulan

data dalam penelitian kualitatif dengan menggunakan kondisi alami, sumber data
primer, dan lebih banyak psda teknik observasi, serta wawancara mendalam dan

dokumentasi.

3.6.1 Observasi

Di dalam penelitian ini, peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian guna

mendapatkan data yang diperlukan.

1. Observer tak berperan sama sekali, di mana kehadiran peneliti dalam

lapangan hanya melakukan observasi dan kehadirannya tidak diketahui oleh

subjek yang diteliti.

2. Observer berperan pasif, dengan mendatangi peristiwa, tetapi kehadirannya

di lokasi menunjukan peran yang paling pasif, maka observer tidak

melakukan pencatatan apa-apa, kecuali setelah tidak diketahui yang diteliti

atau kalau mungkin dengan membawa recorder teersembunyi.

3. Observer berperan aktif, yakni peneliti dapat memerankan berbagai peran

aktif yang dimungkinkan dalam situasi sesuai dengan kondisi subjek yang

diamati. Melalui cara ini peneliti leluasa dapat mengakses data yang diteliti,

dan peneliti telah dianggap bagian dari mereka sehingga kehadirannya tidak

menganggu atau mempengaruhi sifat naturalistiknya.

Penelitian ini termaksud pada bagian yang ketiga. Karena akan meneliti

dengan mengamati aktivitas para santri sebagai objek penelitian secara langsung,

sehingga dapat dengan mudah mengetahui lebih jauh tenteang peran santri di era

milenial.

3.6.2 Wawancara
Wawancara merupakan cara pengumpulan data yang cukup efektif bagi

peneliti dan kualitas sumbernya termasuk dalam data primer, yakni dengan cara

tanya jawab dengan responden (pihak terkait) yang dikerjakan secara sistematis

sesuai dengan fokus penelitian.

3.6.3 Dokumentasi

Teknik dokumenter ialah suatu teknik pengumpulan data dengan cara

menghimpun dan menganalisa dokumen-dokumen, baik dokumen tetulis,

gambar/foto, rekaman suara atau video. Teknik ini bertujuan agar seorang peneliti

bisa mendeskripsikan peran santri di era milenial, sehingga tergambar jelas respon

para santri dalam setiap tahapannya.

3.7 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif pada prinsipnya

berproses secara induksi-interpretasi-konseptualisasi. Analisis ini akan berproses

dari upaya memperoleh informasi tentang banyak hal yakni pertama, data lokasi

yang terkait permasalahan penelitian. Kedua, life history (riwayat hidup)

keagamaan dari para responden yang berhubungan dengan fokus penelitian.

Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai

sumber, baik data dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam

catatan lapangan di lokasi penelitian, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar,

foto, dan sebagainya.


Adapun analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif seperti

yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman, yaitu meliputi empat komponen

kegiatan, sebagai berikut:

3.7.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data lapangan yang terwujud kata-katadilakukan melalui

observasi, wawancara, dan dokumentasi.

3.7.2 Proses Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data “kasar” yang muncul dari

catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis

yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, dan mengorganisasi data

sedemikian rupa sehingga dapat ditarik kesimpulan dan verifikasi.

3.7.3 Penyajian Data

Penyajian data di sini dibatasi sebagai sekumpulan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Sajian data pada dasarnya terdiri dari hasil analisis data, yakni: pertama, berupa

cerita rinci para informan sesuai dengan ungkapan atau pandangan mereka apa

adanya (termasuk hasil observasi) tanpa ada komentar, evaluasi, dan interpretasi.

Kedua, berupa pembahasan yakni diskusi antara data temuan dengan teori-teori

yang digunakan (kajian teoritik atas data temuan).

3.7.4 Kesimpulan
Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan

dan verifikasi. Pandangan Miles da Huberman, penarikan kesimpulan dalam

analisis data kualitatif hanyalah bagian dari serangkaian proses penelitian secara

keseluruhan. Verifikasi adalah proses peninjauan kembali atau koreksi ulang

catatan-catatan data yang diperoleh dan pemknaan yang dilakukan terhadap data

tersebut.

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan jawaban atau solusi

yang ditawarkan peneliti atas rumusan masalah yang ditetapkan sebelumnya.

Kesimpulan dapat berupa temuan baru, memperjelas objek yang sebelumnya

masalah kabur dan solusi atas permasalahan tertentu. Kesimpulan dalam

penelitian kualitatif ini merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah

ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya

masih remang-remang atau justru masih gelap sehingga setelah diselidiki menjadi

jelas

3.8 Tahapan-tahapan Penelitian

Proses penelitian ini, peneliti menggolongkan tiga tahap kegiatan yang akan

dilakukan, sebagai berikut:

3.8.1 Tahapan Perencanaan

Tahap perencanaan, peneliti dapat menempuh langkah-langkah yang akan

dilakukan sebagai berikut:

1. Penentuan dan pemilihan masalah

2. Studi awal untuk pengecekan layak tidakya penelitian yang akan dilakukan

3. Perumusan dan identifikasi masalah


4. Telaah kepustakaan

5. Pemilihan metode penelitian

6. Perumusan persetujuan dan kegunaan penelitian

7. Konsultasi dengan dosen pembimbing

8. Pembuatan instrumen penelitian

3.8.2 Tahapan Pelaksanaan

Dalam tahap ini, peneliti dapat melakukan beberapa tahapan pokok, sebagai

berikut :

1. Pengumpulan data

2. Pengelolaan data

3. Analisis data

4. Asumsi hasil analisa dan penarikan kesimpulan

3.8.3 Tahapan Penulisan Penelitian

Pada tahap penulisan penelitian ini, peneliti dapat menggunakan format

pedoman penulisan karya tulis ilmiah yang diberlakukan oleh Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo. Selain itu, peneliti dapat

memperhatikan aspek bacaan, bentuk, dan isi, serta panduan dalam penyusunan

laporan sebagai aspek yang perlu diperhatikan dalam pembuatan laporan

penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Imroatul. “Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi

Beragama.” Prosiding Nasional 4, no. November (2021): 197–216.

http://ejournal.stib.ac.id/index.php/mnq/index.

Ferdinan. “Pondok Pesantren, Ciri Khas Perkembangannya.” Jurnal Tarbawi 53,

no. 9 (2018): 13.

Fitri, Riskal, dan Syarifuddin Ondeng. “Pesantren Di Indonesia: Lembaga

Pembentukan Karakter.” Jurnal Al-Urwatul Wutsqa: Kajian Pendidikan

Islam 2, no. 1 (2022): 42–54.

https://journal.unismuh.ac.id/index.php/alurwatul/article/view/7785.
Gumilang, Ria, dan Asep Nurcholis. “Peran Pondok Pesantren Dalam

Pembentukan Karakteristik Santri.” Jurnal Comm-Edu 1, no. Studi Kualitatif

bagi Kalangan Perempuan di LKP Lucky Desa Tanimulya Kec. Ngamprah

Kab. Bandung Barat (2018): 105–114.

Hadi, Aulia, dan Thung Ju Lan. Nasionalisme ala Milenial: Sebuah Disrupsi?

Nasionalisme ala Milenial: Sebuah Disrupsi?, 2021.

Husna, Ahsanul. “Akhlak Santri Di Era Globalisasi.” Jurnal Pendidikan Agama

Islam 1, no. 2 (2021): 2774–9118. http://ejournal.idia.ac.id/index.php/fakta.

Jauharoh, Nur Kholidah, dan Siti Rofi. “Internalisasi Nilai Moderasi Islam Dalam

Membentuk Moral Santri Milenial ( Studi Kasus Di Pondok Pesantren

Tebuireng Diwek Jombang ).” Munaqasyah: Jurnal Ilmu Pendidikan dan

Pembelajaran 3, no. 1 (2020): 1–14.

http://ejournal.stib.ac.id/index.php/mnq/index.

Mundiri, Akmal, dan Afidatul Bariroh. “Trans Internalisasi Pembentukan

Karakter Melalui Trilogi Dan Panca Kesadaran Santri.” IQRA’ (Jurnal

Kajian Ilmu Pendidikan) 3, no. 1 (2018): 24–55.

http://dx.doi.org/10.25217/ji.v3i1.184.

Mundiri, Akmal, dan Ira Nawiro. “Ortodoksi Dan Heterodoksi Nilai-Nilai Di

Pesantren: Studi Kasus Pada Perubahan Perilaku Santri Di Era Teknologi

Digital.” Jurnal Tatsqif 17, no. 1 (2019): 1–18.

Nasir, Amin. “Etika Sosial Santri Menuju Modernisasi Pendidikan (Telaah

Pendidikan Santri Di Kudus).” Journal of Social Science Teaching 2, no. 1

(2018). http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Ijtimaia.
Rahman, Arif, Diyah Mintasih, Suwardi, Suharto, Kharis Syuhud Mujahada, Zalik

Nuryana, Setyoadi Purwanto, dkk. Pendidikan Islam Di Era Revolusi

Industri 4.0, 2019. https://doi.org/10.31219/osf.io/4j6ur.

Susanto, Happy, dan Muhammad Muzakki. “Perubahan Perilaku Santri (Studi

Kasus Alumni Pondok Pesantren Salafiyah di Desa Langkap Kecamatan

Besuki Kabupaten Situbondo).” Istawa: Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 1

(2017): 1.

Zulkifli, dan M Khatami. “Peran Santri dalam Mewujudkan Indonesia Emas

2045.” Jurnal Pendidikan dan Ilmu-ilmu Keislaman 1 (2021): 247–255.

Anda mungkin juga menyukai