Anda di halaman 1dari 5

Analisa Medan Dakwah

4 Rekonstrusi (Hasan Al Banna)


1. Analisis Sejarah
Sejarah Islam
2. Analisis realitas (fiqhul waqi’)
3. Kaidah Umum
4. Prediksi Masa Depan

Sejarah Manusia
Sejarah Gerakan Pembaruan
Analisis kualitatif (serangan asing, penyakit umat, agenda permasalahan)
Analisis realitas (fiqhul waqi’)
Kaidah Umum
Fikrah dasar
Kekuatan motivasi
Perubahan diri
Titik awal pergerakan
Keberhasilan pemikiran
Penyiapan kader
Tuntutan kebangkitan mendasar
Standar aktivitas dakwah
Pergulatan manusia
Prediksi dan peluang
Pergiliran peradaban
Prediksi Masa Depan
Perspektif sosial (kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, mimpi hari ini adalah kenyataan
masa depan)

Perspektif sejarah (kebangkitan setelah masa kemunduran)


Perspektif logika (jalan panjang menuju kebangkitan, menunaikan kewajiban untuk mendapat
pahala akhirat dan manfaat duniawi)
Perspektif agama (janji kemenangan dari Allah).
Tambahan
Nurani sebagai Wajihah Dakwah
Target politik (pembebasan negeri, persatuan negeri, Islam/Kawasan)

Strategi (informasi, dialog elite, rekomendasi kelembagaan, pernyataan politik, kelembagaan,


tuntutan politik, dan aliansi politik)
Tahapan (takrif, takwin, tanfidz)

Sikap (pemerintahan, UU, Hukum, kepartaian, minoritas, perempuan, demokrasi, persatuan,


HAM)
Aktifitas dakwah saat ini jika kita perhatikan semakin semarak. Terbukti dengan
bermunculannya acara-acara keislaman diberbagai bidang/wilayah. Hal ini memberikan
gambaran bahwa saat ini masyarakat mulai sadar akan pentingnya dakwah guna membangun
karakter masyarakat yang islami. Selain itu, sadarnya masyarakat terhadap dakwah
disebabkan begitu rendahnya moral/akhlak yang tertanam dalam diri generasi muda. Dengan
semakin sering diberitakannya ditelevisi maupun dalam koran kasus-kasus tindakan asusila,
Perubahan Gender dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh generasi muda saat ini,
memberikan bukti bahwa saat ini generasi muda masih jauh dari sentuhan kerohanian
meskipun dakwah semakin semarak.

Kasus di atas sangat perlu kita perhatikan melalui pendekatan sosiologi dakwah. Mengapa
demikian ? hal ini karena, kajian sosiologi tidak bisa lepas dari masyarakat sebagai objek
kajian. Lingkup kajian sosiologi dakwah membahas mengenai eksistensi dan esensi
masyarakat secara komprehensif dalam perspektif sosiologi dakwah. Lalu kemudian
melakukan pendalaman pemahaman mengenai masyarakat yang meliputi : hakikat
masyarakat, karakteristik masyarakat, struktur masyarakat, hubungan sosial manusia dalam
masyarakat, membangun hubungan sosial, serta prinsip-prinsip dasar hubungan sosial untuk
kepentingan pengembangan dakwah.

Islam dapat masuk ke Indonesia dan tersebar di Indonesia dikarenakan sosok d’ai pada saat
itu mampu mengkaji dan memahami medan dakwah yang sedang dihadapi. Kebudayaan /
tradisi yang begitu kental dan jauh dari ketentuan syariat, mampu dijadikan sebagai media
pengenalan agama islam sehingga islam dapat diterima secara perlahan dan akhirnya
menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Inilah yang dilakukan para mujahid dakwah
terdahulu seperti wali songo sehingga islam dapat menyebar.

Jika kita perhatikan, dakwah yang berkembang saat ini belum berpijak pada pemahaman
kondisi sosial yang memadai diantaranya seperti tema-tema dakwah yang disajikan banyak
yang kehilangan relevansi dengan isu-isu, masalah-masalah dan kebutuhan yan berkembang
di masyarakat. Tema-tema dakwah yang berkembang cenderung berorientasi pada persoalan
eskatologis (persoalan keakhiratan). Sementara bagaimana membangun kehidupan didunia
yang bahagia dan sejahtera kurang mendapat tekanan yang serius. Sehingga, amat wajar bila
isu-isu besar seperti : kekerasan, terorisme (yang oleh barat selalu dikaitkan dengan islam,
perdamaian global, hak asasi manusia, pornografi, korupsi, perusakan lingkungan,
perdagangan manusia dan lain-lain, nyaris tak terbahas secara mendalam (Amrulloh Ahmad).

Selain itu juga, Masyarakat tidak dijadikan sebagai sasaran utama pemberdayaan melalui
upaya penyadaran agar mereka mau mengkaji, berpikir, dan bertindak. Dalam ragam
perhelatan dakwah, masyarakat cenderung menjadi objek yang pasif. Masyarakat dipandang
sebagai wadah kosong yang harus diisi dengan keyakinan dan nilai-nilai moral. Da’i
berbicara, hadirin mendengarkan. Da’i berpikir, hadirin dipikirkan. Da’i mengatur, hadirin
diatur, dan seterusnya. Dalam situasi dakwah seperti itu, masyarakat tidak dibangkitkan dan
ditumbuhkan minatnya untuk mengembangkan kreativitas, berpikir kritis, dan menata ulang
kehidupannya untuk menuju ke arah yang lebih baik (Yudi Latif).

Juga tidak jarang perhelatan dakwah yang berkembang di masyarakat keberhasilannya diukur
oleh kuantitas jumlah pengunjung, sementara bagaimana perkembangan masyarakat
selanjutnya sebagai sasaran utama dakwah jarang dipikirkan. Malah proses dakwah yang
berkembang cenderung lebih banyak “menguntungkan” para da’i ketimbang masyarakat yang
diserunya. Misalnya, betapa banyak da’i yang dilambungkan status sosial, ekonomi, atau
politiknya setelah laris “dipakai” berbagai majelis taklim. Namun tidak demikian halnya
dengan kondisi masyarakat yang diserunya, keadaan mereka tetap memprihatinkan. Sehingga
proses dakwah hanya melahirkan struktur masyarakat baru dimana para da’i menjadi elite
sementara masyarakat tetap berada di struktur bawah, miskin dan terpinggirkan. Bila etos
dakwah yang berkembang di masyarakat masih terus seperti ini, maka tidak mustahil umat
Islam akan kehilangan kreativitas, budaya berpikir kritis, dan kegairahan bertindak dalam
kehidupannya di masyarakat (Yudi Latif).

Singkatnya, gerakan dakwah yang sekarang berkembang belum mampu secara optimal
membangkitkan dan menumbuhkan minat masyarakat untuk mengkaji, berpikir kritis, dan
mengembangkan kreativitas. Malah yang memprihatinkan, dalam melihat berbagai
ketertinggalan di kalangan umat Islam, para pelaku dakwah tidak jarang hanya sebatas
mampu menyalahkan kebodohan, mengkambinghitamkan kemiskinan, mengecam dan
menserapahi kemaksiatan, atau melakukan tindakan-tindakan anarkhis dengan dalih
memberantas kemungkaran, tanpa melakukan aksi-aksi berarti untuk mendorong masyarakat
sehingga mereka mau dan mampu mengubah keadaannya sendiri.
Sejatinya, tradisi dakwah yang dikembangkan harus mampu memberikan pencerahan kepada
masyarakat, dimana masyarakat lebih diposisikan sebagai subjek, sementara da’i hanya
sebatas fasilitator perubahan.

Masyarakat diberi ruang kebebasan untuk mengubah keadaannya sendiri. Masyarakat


dibangun kesadarannya bahwa sesungguhnya semua anggota masyarakat adalah da’i bagi
dirinya sendiri, yang tak mungkin terjadi perubahan berarti bila ia tidak mau mengubah apa
yang ada pada dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan (nasib)
suatu kaum sebelum mereka mau mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Forum-forum dakwah mesti diorientasikan menjadi sebuah sarana dialog untuk


membangkitkan potensi masyarakat sebagai makhluk kreatif, memberikan kesempatan
kepada mereka untuk menyatakan pandangannya, merencanakan dan mengevaluasi
perubahan sosial yang mereka kehendaki, sehingga terbangun kesadaran bahwa mereka
diciptakan Allah untuk berkemampuan mengelola diri dan lingkungannya dengan kekuatan
yang mereka miliki sendiri. Dengan begitu esensi dakwah justru tidak mencoba mengubah
masyarakat, tapi menciptakan suatu ruang, peluang, atau kesempatan sehingga masyarakat
akan mengubah dirinya sendiri (Yudi Latif).

Anda mungkin juga menyukai