Anda di halaman 1dari 17

Teori Sosial Dakwah

Sosiologi Dakwah
Bimbingan Konseling Islam (C)
Dosen Pengampu Mata Kuliah:
Dr. Sri Ilham Nasution, S.Sos., M.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 7
1. Firna Resti Azzahra : 2241040024
2. Ridha Desfaronisa : 2241040100

JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN AJARAN 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya, sehingga kami

dapat menyelesaikan makalah tentang “Teori Sosial Dakwah”. Sholawat dan salam semoga

tetap tercurahkan kepada Nabi akhir zaman Muhammad SAW.

Kami menyadari tersusunnya makalah ini bukanlah semata-mata hasil kami sendiri,

melainkan berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu, kami menghaturkan ucapan terima kasih

kepada semua pihak yang telah membantu Kami dalam penyusunan makalah ini. Karena

keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan

dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun

dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Bandar Lampung, 23 September 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang....................................................................................................4


1.2 rumusan masalah................................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................................5

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 .Pengertian Teori Sosial Dakwah.......................................................................6


2.2 . Teori- teori Sosial Dakwah..............................................................................10
2.3 . Sosiologi Dakwah………..............................................................................15

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...................................................................................................16

3.2 Saran..............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Praktik dakwah dilakukan atas landasan-landasan tertentu, seperti kegelisahan melihat


fenomena kontradiktif dalam masyarakat antara nilai agama yang dianut dengan praktik
keseharian, keyakinan pada nilai agama dan semangat religius untuk disebarkan kepada orang lain,
motivasi untuk memperoleh keuntungan pribadi (pengaruh, ekonomi dan status sosial), publikasi
Islam, dan spirit idealisme membumikan Islam. Motivasi-motivasi dakwah tersebut apabila benar
sesuai kenyataan, maka kita tidak bisa mengelak bahwa dakwah merupakan respons kegelisahan
para da'i terhadap fenomena yang terjadi dalam masyarakat, terutama fenomena-fenomena sosial
yang dianggap kontradiktif dengan pilar-pilar ajaran Islam, seperti pelanggaran etika dan moral,
korupsi, kriminalitas, pengangguran, kemiskinan dan kebodohan.
Seorang muslim apabila melihat fenomena tersebut tergerak hatinya untuk melakukan
perbaikan-perbaikan (islah) dengan menggunakan nilai-nilai Islam sebagai parameter kebaikan
tersebut. Agen yang melakukan tindakan tersebut disebut Da'i, sementara tindakannya disebut
dakwah dan pelaku kontradiktifnya disebut sasaran dakwah atau masalah dakwah. Jadi, sasaran
dakwah adalah perilaku manusia yang tidak selaras dengan spirit nilai-nilai Islam. Perilaku atau
sikap yang tidak selaras tersebut, apabila sudah berkembang dan melembaga dapat menjadi budaya
masyarakat yang mapan atau terjadi proses "institusionalisasi kemungkaran".

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang di bahas dalam makalah ini, yakni sebagai berikut :

1 Emile Durkhaim, Suicide, trj. Shon A. Spaulding & George Simpson, Glenco-lllinois, The Free Press, 1951.

4
1. Apa yang dimaksud dengan Teori Sosial Dakwah?

2. Apa saja Teori-teori sosial dakwah?

1.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Teori Sosial Dakwah.

2. Untuk mengetahui apa saja Teori-teori sosial dakwah.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Teori Sosial Dakwah

Meminjam beberapa teori sosial yang dibangun para sosiolog Barat, banyak upaya menelaah
fenomena sosial itu dari perspektif objek sosial saja, tanpa melibatkan etika dan norma bahkan
ideologi yang dianut masyarakat tersebut. Emil durkhaim misalnya, meneliti tentang bunuh diri
(suicide) dari perspektif fenomena kejahatan, tanpa terlalu mengindahkan norma-norma yang
dianut masyarakat di lingkungan tersebut. Telaah demikian tentu saja tidak memuaskan karena
sikap dan tindakan masyarakat tersebut sebagaimana senyatanya tidak bisa dilepaskan dari socio-
cultural setting yang melingkupinya. Demikian pula dalam menelaah fenomena dakwah. Seseorang
mengkaji dan atau mempraktikkan dakwah tidak luput dari pengaruh ruang dan waktu yang
membatasinya, baik pada aspek materi, waktu, media, target, dan metodenya.

Ada banyak Da'i di Indonesia yang selama ini sering diliput media, seperti Arifin Ilham, Ihsan
Tanjung, Ari Ginanjar, Aa Gym, Anton Medan dan Yusuf Mansur lebih kuat menekankan
dakwahnya pada pendekatan "spiritual Islam". Pendekatan serupa sudah dilakukan dalam konteks
masyarakat Indonesia seperti dilakukan oleh para guru tarekat yang disebar di seluruh Nusantara,
seperti program dakwah dalam tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah Suryalaya. Para da'i/mubaligh
tersebut, baik generasi awal maupun generasi sekarang melakukan pendekatan "sufistik" dalam
dakwah bukan tanpa diagnosis sederhana, tetapi memiliki akar riset pada fenomena dan
kecenderungan masyarakat (sosial trend) yang sedang diamatinya. Bisa saja kecenderungan sosial
tersebut apalagi jika kecenderungan tersebut negatif, mempengaruhi umat Islam tertentu sehingga
harus dilakukan proses antisipasi melalui dakwah.

Dakwah dalam konteks demikian adalah proses antisipasi para da'i terhadap gejala dan
fenomena negatif yang datang dari dalam maupun dari luar diri seorang mad'u yang dapat merusak
mental dan budaya umat. Pada momen yang sama terkadang da'i melakukan strategi back to nature,
yaitu Islam (doktrin, norma, nilai, bahkan historis) sebagai solusi baik secara tekstual atau dengan
melakukan polesan terhadap teks Islam (daur ulang materi dakwah). Fenomena dakwah demikian
akhir-akhir ini cukup marak terutama dakwah di perkotaan.

6
Berbeda dengan model da'i di atas, da'i-da'i seperti, sebut saja alm. Zainuddin MZ, M. Amien
Rais dan A.M. Fatwa lebih banyak mengisi dan mewarnai dunia publik politis. Fenomena social-
politic yang terjadi sepanjang sejarah Indonesia, pasca kolonisasi dan reformasi khususnya,
menggerakkan mereka untuk memperbaiki sisi politik aktivitas umat Islam. Politik berbasis moral
dicoba "dipasarkan" pada masyarakat sebagai bentuk kepedulian terhadap praktik politik yang
cenderung mempraktikkan politik menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh kekuasaan.
Setting fenomena social-politic saat itu sangat tepat untuk menawarkan konsep dan praktik politik
yang sarat dengan nilai-nilai keadiluhungan manusia atau ethic-politic (politik adiluhung).

Pada dua paragraf di atas tampak dua tugas seorang Da’i:

a) mengetahui fenomena-fenomena kontradiktif dan pelanggaran yang dilakukan umat manusia


(fenomena fatologi sosial, budaya, ekonomi maupun politik)

b) mengetahui nilai-nilai Islam yang dijadikan parameter kebaikan.

c) bagaimana melakukan usaha-usaha memperbarui fenomena-fenomena unhumanis tersebut, atau


islah, dengan kegiatan dakwah. Mengetahui fenomena kontradiktif dan pelanggaran yang
dilakukan suatu masyarakat apalagi dengan menggunakan parameter Islam merupakan pekerjaan
tidak mudah. Namun apabila dilakukan untuk tujuan dakwah, hal itu merupakan pekerjaan mulia.

Tradisi, atau mungkin juga hobi yang tampak dalam masyarakat kita seperti humoris, ritualis,
dan menyukai seni, menjadi sasaran empuk banyak para da'i di pedesaan. Mereka umumnya
masyarakat miskin yang memang sangat membutuhkan hiburan dan proyeksi mental guna
meringankan stres atas nasib yang dihadapinya. Kesederhanaan atas apa yang ada di lingkungannya
menjadi modal kuat agar hidup tetap survive meskipun serba kekurangan. Kemiskinan juga tidak
hanya dalam bentuk material dan uang, tetapi juga informasi dan ilmu pengetahuan.
Proses hibridasi budaya demikian menjadi tantangan yang lumpah dalam pergaulan dan
interaksi di antara budaya-budaya manusia yang ada di dunia ini. A. Wilayah Penyelidikan
Sosiologi Dakwah Sosiologi merupakan cabang ilmu sosial. Ilmu sosial adalah keseluruhan disiplin
yang berhubungan dengan manusia dalam arti bukan sebagai bagian dari alam belaka, tapi adanya
membentuk kehidupan bermasyarakat dan kultur.

2 Srimulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah dengan Referensi Utama Suryalaya, Jakarta, Kencana,
2010.
3 M. Amien Rais, Membangun Politik Adihulung Membumikan Tauhid Sosial Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar,

7
Bandung, Zaman Wacana Mulia, 2001, h. 146.

8
Dakwah-dakwah model tabligh menjadi cara yang lumrah, murah dan menyejarah dalam
masyarakat yang umumnya hidup di daerah pedesaan. Apa yang dikemukakan ini, tentu saja hanya
serpihan-serpihan bagaimana dakwah diteropong dari sudut sosial begitu fenomenal dalam ranah
ilmiah. Disebut fenomenal karena dakwah itu pada dasarnya adalah ideologi iman dan ajaran Islam
("tidak ilmiah") yang harus disampaikan kepada orang lain sehingga akan tampak kesan kurang
berdasar pada kajian empirik dan sangat subjektif.

Gerakan dakwah model lainnya yang dilakukan, yaitu dakwah dimaknai sebagai upaya
mengubah tatanan sosial, organisasi sosial dan lembaga sosial secara global. Perubahan sosial
melalui dakwah ini lebih ditekankan pada usaha perbaikan lembaga dan pranata pendidikan Islam,
sistem ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dan pengembangan potensi-
potensi insaniah untuk memperkuat pondasi-pondasi itu. Gerakan pemberdayaan umat Islam dan
masyarakat umumnya menjadi segmen penting garapan dakwah dengan cara mengembangkan
potensi-potensi sosial-budaya yang dianggap lebih maslahat dan sudah dikenal (ma'ruf) dalam
kehidupan masyarakat.
Penekanan dakwah melalui model demikian menjadikan telaah tentang dakwah bergandengan
dengan gerakan sosial-budaya yang sudah dikembangkan oleh masyarakat lainnya seperti
kemajuan dan metode yang sudah diterapkan pada masyarakat Barat. Integrasi sosiokultural antara
budaya-budaya barat yang ma'ruf dengan nilai-nilai Islam diharapkan menjadi semacam bentuk
perpaduan harmonis dan saling mengisi tanpa harus merasa lemah dan tinggi antara satu dengan
lainnya.
Seluruh pengetahuan yang membantu memahami proses-proses sosial dan kultural apakah
sebagai disiplin bagian atau sebagai disiplin ilmu pembantunya, tercakup dalam pengertian ilmu
sosial. Sosiologi merupakan disiplin ilmu paling sentral dalam ilmu sosial yang mengkaji persoalan
khusus, yaitu bentuk-bentuk kehidupan bersama manusia yang sering disebut masyarakat.
Beberapa bentuk utama kehidupan sosial manusia, seperti kontak sosial, jarak sosial, isolasi,
individualisasi, kerjasama, kompetisi, pembagian kerja, dan integrasi sosial.

4 Karl Mannheim, Sosiologi Sistematis, Suatu Pengantar Studi tentang Masyarakat, trj. Almandan, Jakarta, Bina Aksara, 1987,h.1
5 Karl Mannheim, Sosiologi Sistematis, Suatu Pengantar,…1987, ibid, h. 3.
6 Ilyas Ba-Yunus & Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, trj. Hamiid Basyiah, Bandung, Mizan, 1988, h. 1.

9
Seseorang jika ingin mengkaji sosiologi yang lebih spesifik, seperti diharapkan buku ini,
"sosiologi dakwah", mengacu pendapat Mannheim, ia harus terlebih dahulu memahami sosiologi
secara umum. Guna memenuhi persyaratan ini, lanjut Mannheim, maka sosiologi terlebih dahulu
harus menganalisis perlengkapan psikologis dari kehidupan manusia, seperti menganalisis
hubungan antara naluriah (instinct) dalam kebiasaan-kebiasaan, transformasi emosi dan libido serta
antarhubungan antara sifat kepentingan dan sikap manusia.
Berbeda dengan pandangan Mannheim yang cenderung navitis dan sekularis. Ilyas Ba-Yunus
mengajukan pandangan lain tentang sosiologi yang disebutnya "Sosiologi Islam", yaitu sosiologi
yang sarat muatan nilai Islam.

2.2 Teori Sosial Dakwah

1. Teori Struktural-Fungsional.
Teori ini terkenal tahun 1930-an yang merujuk pada tokoh-tokoh seperti max Weber, Emile
Durkhaim, Vilfredo Pareto dan beberapa tokoh serupa dari Inggris, seperti Bronislaw Malinowski,
A.R. Radcliff-Brown, E.E.E. Pritchard, dan Meyer Fortes. Teori struktural-fungsional mapan dan
dirumuskan lebih sistematis oleh Tallcot Person dari Universitas Harvard dan diteruskan oleh para
mahasiswanya. Struktural-fungsional mengambil kerangka konsep dari biologi seperti tentang teori
organ tubuh manusia (analogi organik). Oleh karenanya, teori ini sebenarnya bukan khas sosiologi
Teori struktural fungsional berpijak pada dua asumsi dasar:
1). Masyarakat terbentuk atas substruktur-substruktur yang dalam fungsi-fungsi mereka masing-
masing saling bergantung sehingga perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi satu subkultur,
dengan sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam subkultur-
subkultur lainnya pula. Oleh karena itu, tugas sosiologi adalah menyelidiki mengapa yang satu
memengaruhi yang lainnya dan sejauh mana pengaruhnya.
2). Setiap substruktur yang sudah mapan, betapa pun rawannya ia tampak dari luar berfungsi
sebagai penopang aktivitas aktivitas atau subkultur-subkultur lainnya dalam suatu sistem sosial.
Setiap subkultur dianggap dilestarikan oleh peranan-peranan yang dimainkan oleh orang-orang
dalam status mereka masing-masing di dalam subkultur-subkultur ini. Peranan peranan ini tidak
dapat dimanfaatkan, kecuali Dengan memahami aturan-aturan yang tercipta berkat konsensus.
Masyarakat menurut cara ini dipandang bekerja sama, bersepakat dan saling menyumbangkan
sesuatu untuk menciptakan aturan-aturan sehingga masyarakat tersebut memiliki struktur suatu
10
sistem yang terus-menerus aktif.

Durkheim dan fungsionalis lainnya berpendapat bahwa suatu sistem sosial bekerja seperti
sistem organik. Masyarakat terbentuk dari struktur-struktur aturan kebudayaan, yaitu keyakinan
dan praktik yang sudah mantap, yang terhadapnya masyarakat tunduk dan taat. Supaya ke arah
berpikir dan ketundukan tersebut disebut institusionalisasi. Institusi-institusi dalam masyarakat,
bagi fungsionalis, seperti bentuk tatanan keluarga, tatanan politik, pendidikan dan keagamaan serta
lainnya merupakan analog dengan komponen-komponen organisme.
Masyarakat terdiri dari bagian-bagian yang terintegrasi dan saling bergantung. Semua
melaksanakan fungsi yang diperlukan dalam memelihara masyarakat dalam keadaan stabil dan
memuaskan. Kegagalan dalam suatu institusi dalam berfungsi atau malfungsi akan mengakibatkan
keadaan sistem sosial rusak, seperti hilangnya solidaritas sosial, runtuhnya integrasi dan hilangnya
ekuilibrium.
Meskipun demikian, teori ini dikritik tajam karena mengabaikan peran kompetisi, konflik,
perselisihan, dan revolusi yang tidak bisa dipisahkan dalam menganalisis masyarakat. Kritikan
lebih tajam lagi adalah karena teori ini mendukung status quo (apa yang sudah ada itu adalah baik)
untuk dapat membenarkan dan memajukan struktur kapitalis dan demokrasi Barat, Amerika pada
khususnya. Modernisasi pada masyarakat barat disamakan dengan westernisasi sehingga pranata
pembangunan menurut struktural-fungsional juga mesti mengikutsertakan pranata-pranata Barat
seperti sekularisme, demokrasi, individualisme, materialisme, persaingan bebas dan pengabdian
pada tuntutan diri.
Kelemahan fungsionalme juga menyangkut aspek berikut.
1). Terdapat kecenderungan inheren bahwa fungsionalisme melakukan "reifikasi" masyarakat,
yaitu pendapat bahwa masyarakat tidak dapat berpikir, hanya manusia yang berpikir. Dalam
masalah ketertiban sosial bukanlah bagaimana manusia menciptakan masyarakat teratur, melainkan
tentang bagaimana sistem sosial dapat menciptakan makhluk sosial. Hal ini disosialisasikan agar
mematuhi dan tunduk pada aturan-aturan yang diinstitusionalisasikan dan yang diperlukan bagi
eksistensinya.Fungsionalisme tampak melakukan reifikasi masyarakat yang memperlakukannya
seperti benda.
2). Kurang mampu menjelaskan perubahan sosial.
3). Melebih-lebihkan aspek sosial dari manusia.
4). Kurang memperhatikan soal kekuasaan dan konflik dalam masyarakat.
11
Pendekatan struktural fungsional dapat digunakan untuk mencandra lembaga-lembaga dakwah
yang sudah mapan seperti lembaga pesantren, ormas sosial keagamaan dan partai politik berbasis
keagamaan. Lembaga-lembaga sosial Islam tersebut merupakan lembaga keagamaan mapan yang
sudah mulai bergeser fungsi dan perannya. Semula lembaga tersebut merupakan lembaga dakwah
murni bergerak dalam bidang dakwah dan sosial seperti dapat dilihat dari proses latar belakang
kelahirannya ormas keagamaan NU dan Muhammadiyah misalnya, merupakan lembaga yang lahir
karena semangat reformasi tradisional Islam.
Namun kemudian bergeser secara dinamis menjadi lembaga keagamaan yang berfungsi sebagai
lembaga "semipolitik", bahkan dalam kasus NU pernah berkembang menjadi partai politik. Begitu
juga dengan Muhammadiyah yang berkembang menjadi lembaga sosial keagamaan yang
cenderung mengembangkan "bisnis" dalam bidang pendidikan dan sosial.
Perkembangan kelembagaan demikian sangat lumrah, mengingat kedua lembaga keagamaan
tersebut dianggap sudah mapan dan cenderung berubah fungsi mengikuti perkembangan sosial
pada masanya. Ormas reformis yang muncul karena "gatal" melihat ritual tradisional yang ketat
terhadap warisan kultural ini, awalnya memiliki program dakwah yang membidik ritual masyarakat
yang cenderung syirik dan percaya terhadap takhayul. Melalui tokoh sentralnya Ahmad Dahlan,
ormas Muhammadiyah kemudian merambah masyarakat kota, terutama kaum muslim urban dan
non muslim dalam kompetisi dakwah.

2. Teori konflik dengan tokoh sentralnya Karl Mark yang dikenal sebagai pencetus
gerakan sosialis internasional.
Sosiologi Mark didasarkan pada dua asumsi pokok:
1). Ia memandang bahwa kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama semua kegiatan
kemasyarakatan. Motif-motif ekonomi dalam masyarakat menurut Mark mendominasi semua
struktur lainnya, seperti keluarga, agama, hukum, seni, pendidikan, sains, dan moral, hingga ia
beranggapan bahwa kendali ekonomi adalah segelintir orang yang sebagian masyarakat lainnya
ditakdirkan mengabdi untuk mereka. Solusi alternatif menurut teori ini adalah revolusi.
2). Ia melihat masyarakat, terutama terutama dari sudut konflik di sepanjang sejarah. Masyarakat
dipandang sebagai penuh konflik dan perselisihan bukannya konsensus dan kerjasama. Hukum
agama dibuat para penindas dan didakwah kepada sang tertindas. Pengeksploitasian dan konflik
dipandang sebagai proses-proses dasar masyarakat.
12
3. Interaksionalisme Simbolik atau Self Theory (Teori Diri) yang merupakan sebuah
Perspektif Mikro dalam Sosiologi.
Tokoh terkenal teori ini adalah George Herbert Mead dan Herbert Blummer. Interaksionis bertolak
dari interaksi sosial pada tingkat paling minimal. Manusia dipandang mempelajari situasi situasi
yang bisa serasi atau bisa pula penuh penyimpangan, mempelajari situasi-situasi transaksi politis
dan ekonomis, situasi-situasi dalam keluarga, pendidikan, formal maupun informal. Atas dasar
proses belajar inilah individu mendefinisikan dan menafsirkan lebih lanjut situasi situasi yang
melingkupinya secara fisis maupun biologi psikologis.
Berdasarkan definisi dan tafsir ini, mereka mengembangkan rasionalisasi-rasionalisasi agar
dapat membuat keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak dengan suatu cara tertentu.
Beberapa orang menuding pendekatan interaksionisme simbolik sebagai sangat spekulatif,
nonilmiah (unscientific) karena mengasumsikan hak terduganya tindakan manusia seraya mencoba
mengemukakan suatu pemahaman tentang nya dari perspektif si pelaku.
Dengan berupaya memahami masyarakat atas dasar cara-cara orang memandang masyarakat itu
bagaimana mereka membuat keputusan-keputusan, pendekatan mikro ini mengklaim memiliki
kemampuan untuk memperluas fokusnya, dari proses interaksi manusia yang kurang kompleks
menuju yang lebih kompleks.

4. Teori Strukturasi dari Anthony Giddens.


Teori ini merujuk pada konsep "dualitas struktur". Struktur tidak hanya menghambat dan
menentukan bentuk-bentuk tertentu perilaku, tetapi juga memberikan kemampuan bagi perilaku,
struktur memberikan kesempatan dan pembatasan sekaligus. Kondisi-kondisi struktural di mana
tindakan manusia diwujudkan disebut Giddens sebagai "agensi", direproduksi atau didefinisikan
kembali oleh tindakan ini.
Jadi, ketika suatu tindakan terjadi dalam suatu konteks struktural, konteks ini selanjutnya dapat
diregenerasi, atau ditransformasi oleh tindakan tersebut. Ada hubungan dialektik antara struktur
dan tindakan. Setiap tindakan yang menyumbangkan bagi reproduksi struktur juga merupakan
tindakan konstruksi, suatu upaya yang secara sengaja dilakukan, dan oleh karena itu dapat
mengawali perubahan struktur itu pada saat yang sama mereproduksinya.
Tentu masih banyak lagi teori-teori sosial, baik klasik maupun kontemporer. Semua teori
tersebut dapat digunakan untuk mengamati praktik dan gerakan dakwah sesuai konteks
13
lingkungannya. Misalnya, terjadi fenomena munculnya gerakan-gerakan kumpulan sekte
keagamaan di beberapa kota terutama Jakarta. Mereka awalnya merupakan kumpulan keagamaan
seperti kumpulan agama "Salamullah" yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan "Jemaat Lia
Eden" yang diasosiasikan kepada nama pimpinannya, yaitu Lia Aminudin.
Dalam sekte Kristen juga ada kelompok jemaat Sibuaya yang pemimpinnya menjanjikan
kepada jemaat akan mendapatkan kebahagiaan abadi apabila menyerahkan semua harta yang
dimiliki. Masih banyak lagi kelompok-kelompok keagamaan serupa yang umumnya tumbuh subur
di perkotaan. Karena mereka mengatasnamakan agama dan menyebarkan paham-paham
keagamaannya kepada orang lain, maka boleh dikatakan bahwa mereka merupakan agama atau
boleh disebut "sekte agama dakwah".
Maraknya gerakan-gerakan keagamaan seperti disebut di atas, telah memunculkan berbagai
pertanyaan sehubungan dengan banyaknya masyarakat yang ikut menjadi bagian komunitas
keagamaannya. Banyaknya umat yang mengikuti kegiatan keagamaan dimaksud tentu saja sangat
menampar wajah organisasi-organisasi dakwah dan sosial keagamaan yang sudah lama berdiri dan
mapan, seperti Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Aljam'iyatul Washliyah, dan Persatuan Islam.
Organisasi-organisasi dakwah dan sosial keagamaan besar tersebut, tampak sudah sepuh dan
tidak mampu lagi mengayomi masyarakat yang haus terhadap semburan-semburan perubahan
zaman. Kita juga menyaksikan, bagaimana organisasi-organisasi keagamaan yang besar dan mapan
sudah terlalu jauh berkecimpung di luar dunianya. Keadaan dan nasib umat sudah dilupakan dan
hanya dekat pada saat-saat dibutuhkan saja. Sebagaimana diamati bahwa ormas-ormas dakwah
yang besar cukup dekat dengan kekuasaan.
Oleh karena itu, tidak salah apabila umat kecewa terhadap peran organisasi dakwah yang ada
dan mapan tersebut. Diantara sebagian umat tersebut ada banyak yang cerdas dan kemudian
mengusung dan mengisi "rumah-rumah kosong" yang sudah ditinggalkan penguasa dan ormas
dakwah besar dengan cara dan pendekatan yang sangat dekat dengan persoalan yang dihadapi
umumnya umat beragama. Mereka tidak melakukan pemberontakan fisik, tetapi menawarkan dan
memasarkan gagasan, tindakan, dan gerakan dakwah yang sangat menyentuh jiwa mereka yang
tergolong tertindas hak-hak dan kebebasannya.
Fenomena dakwah dan keagamaan sebagaimana disinggungkan di muka, jelas merupakan
tindakan disfungsional bagi penata dakwahdan keagamaan yang mapan. Kecuali, apabila gerakan-
gerakan subkeagamaan tersebut berkembang dan besar. Di samping itu, paham dan gerakannya
tidak jauh berbeda dengan paham dan gerakan dakwah organisasi yang sudah ada. Mengacu pada
14
teori interaksionisme simbolik, munculnya gerakan-gerakan menyebarkan paham keagamaan yang
berbeda dengan mainstream merupakan bentuk reaktif atau Social protest terhadap kemapanan
lembaga dakwah yang sudah ada.
Gerakan dakwah dalam dimensi sosial karenanya memiliki landasan dan proses sosial yang
sangat berhubungan dengan tindakan-tindakan manusia. Dakwah dalam bahasa lain adalah amar
makruf nahi mungkar. Ia bisa berbentuk kritikan sosial, moral, dan bahkan mengajukan solusi aktif
terhadap persoalan-persoalan sosial. Berpijak pada landasan demikian, dakwah harus
diorientasikan pada upaya memberi solusi persoalan-persoalan sosial tersebut setelah sebelumnya
dilakukan pengkajian dan penelitian tentang masalah-masalah yang dapat merusak tatanan-tatanan
sosial dan mengarahkan manusia kepada kemungkaran.

2.3 Sosiologi Dakwah


Mengacu pada unsur-unsur dan wilayah telaah sosiologi terhadap fenomena dakwah, maka
sosiologi dakwah berusaha mencari batasan lebih empiris terhadap kajian dakwah sebagai bentuk
interaksi sosial dakwah, yaitu sisi misi sosiologis dalam agama. Dakwah Islam yang cenderung
ideologis menitikberatkan pada upaya legalisasi nilai-nilai agama dan menyebarkannya kepada
manusia sehingga tampak sekali akan selalu berurusan dengan persoalan organisasi sosial dakwah
dan lembaga dakwah.
Sosiologi dakwah juga menelaah bagaimana interaksi antara Da'i dan sasaran dakwah (mad'u),
da'i dengan da'i, dan mad'u dengan sesamanya. Persepsi mereka tentang masalah dakwah dan
bagaimana cara mengimunisasikannya merupakan bahasan menarik dalam sosiologi dakwah. 'ala
kulli hal, sosiologi dakwah mencoba membaca bagaimana dialektika interaktif unsur-unsur dalam
dakwah dengan lingkungannya, termasuk bagaimana perkembangan pemaknaan dan praktik
dakwah mulai dari pemahaman sebagai ajakan kepada manusia agar memeluk Islam (ad-Da'wah al-
Ula), hingga persoalan dakwah berhubungan dengan jihad, "aksi teror" dan terorisme.
Hubungan dakwah dengan globalisasi politik dan budaya tidak bisa diabaikan begitu saja
sebagai suatu persoalan yang lepas dari agama, tetapi memiliki jaringan kompleks dan bersifat
transnasional. Polemik politik yang terjadi di lumbung-lumbung daerah Islam di dunia juga
memberikan sumbangan terhadap dinamika pemahaman dari gerakan dakwah yang lebih nyata dan
mudah diamati.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Praktik dakwah dilakukan atas landasan-landasan tertentu, seperti kegelisahan melihat
fenomena kontradiktif dalam masyarakat antara nilai agama yang dianut dengan praktik
keseharian, keyakinan pada nilai agama dan semangat religius untuk disebarkan kepada orang lain,
motivasi untuk memperoleh keuntungan pribadi (pengaruh, ekonomi dan status sosial), publikasi
Islam, dan spirit idealisme membumikan Islam.
Namun yang Kami bahas ini adalah teori-teori sosial klasik yang memiliki cakupan luas,
sehingga sangat memungkinkan untuk diterapkan dalam penelitian dan pengkajian dakwah. Tentu
sudah terdapat sekian banyak perkembangan baru di dalam teori-teori ilmu sosial yang tentu saja
merupakan derivasi dari grand theory yang sudah ada. Tugas berikutnya ialah merumuskan relasi
antara teori-teori baru dalam ilmu sosial untuk kepentingan mengembangkan teori dakwah.
Ada beberapa teori sosial dakwah yang harus kita ketahui khususnya para mahasiswa Fakultas
Dakwah, yaitu Teori Struktural-Fungsional, Teori Konflik, Interaksionalisme Simbolik atau Self
Theory (Teori Diri), dan Teori Strukturasi.
Mengacu pada unsur-unsur dan wilayah telaah sosiologi terhadap fenomena dakwah, maka
sosiologi dakwah berusaha mencari batasan lebih empiris terhadap kajian dakwah sebagai bentuk
interaksi sosial dakwah, yaitu sisi misi sosiologis dalam agama. Dakwah Islam yang cenderung
ideologis menitikberatkan pada upaya legalisasi nilai-nilai agama dan menyebarkannya kepada
manusia sehingga tampak sekali akan selalu berurusan dengan persoalan organisasi sosial dakwah
dan lembaga dakwah.

3.2 Saran

Kami menyadari banyak terdapat kekeliruan dalam penulisan makalah ini,maka kami
mengaharapkan masukan dan kritikan yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. atas masukan kritikan dan sarannya, Kami ucapkan terima kasih.

16
DAFTAR PUSTAKA

Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial dari Fungsionalisme hingga Pos-Modernisme, Jakarta
Yayasan Obor Indonesia, 2010.
Tallcot Person, The Structure of Social Action, Glenco, The Free Press, 1937.
Ilyas Ba-Yunus & Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat kontemporer, trj. Hamid
Basyaib, Bandung, Mizan, 1988.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai dan Visinya
Membangun Masa Depan Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, LP3ES, 2011.
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1995 cet Ke-7.
T.B. Bottomore, Karl Mark, Early Writings, London, Waits and Co, 1963.
G. Herbert Mead, Mind, Self and Society, Chicago University Press, 1934.
Dr. Acep Aripudin, Sosiologi Dakwah, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2016.

17

Anda mungkin juga menyukai