Anda di halaman 1dari 24

IBADAH AKHLAH DAN MUAMALAH

MEMAHAMI TENTANG AKHLAK SOSIAL DAN


PANDANGAN ISLAM TERHADAP BEBERAPA PERSOALAN:
KEMISKINAN, KEBODOHAN, PENGANGGURAN

Dosen Pengampu: Afifun Nidlom, S.Ag., M.Pd., M.H


PRODI: TEKNIK INDUSTRI/2A2

Disusun Oleh:

KELOMPOK 11:

1. Moch. Alfahrizhy Z. (221020700097)

2. Jessica Celinda Putri A. (221020700100)

3. Krisna Rahabistara (221020700008)

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

2023
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang
Maha Sempurna pencipta dan penguasa segalanya. Karena hanya dengan ridha-
Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Mata Kuliah ibadah akhlah dan
muamalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu tentang “memahami
ibadah Haji dan makna spiritualnya dalam kehidupan”. Dengan harapan semoga
tugas makalah ini bisa berguna dan ada manfaatnya bagi kita semua. Amin.

Tidak lupa pula penyusun sampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang berpartisipasi dalam proses penyelesaian tugas makalah ini, karena
penulis sadar sebagai makhluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada
interaksi dengan orang lain dan tanpa bimbingan, serta rahmat dan karunia dari-
Nya.Akhirnya walaupun penulis telah berusaha dengan secermat mungkin.Namun
sebagai manusia biasa yang tak mungkin luput dari salah dan lupa. Untuk itu
penulis mengharapkan koreksi dan sarannya semoga kita selalu berada dalam
lindungan-Nya.

Sidoarjo,11 juni 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 LATAR BELAKANG
Dalam masyarakat modern saat ini, persoalan-persoalan sosial seperti kemiskinan,
kebodohan, dan pengangguran merupakan tantangan yang signifikan yang harus dihadapi.
Ketiganya seringkali saling terkait dan dapat menyebabkan konsekuensi negatif dalam
kehidupan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks ini, pemahaman
terhadap akhlak sosial dan pandangan Islam menjadi penting, karena Islam sebagai
agama universal memberikan pedoman dalam mengatasi berbagai persoalan sosial yang
dihadapi oleh umat manusia. Pertama-tama, kemiskinan adalah masalah serius yang
dihadapi oleh banyak negara di dunia. Kemiskinan dapat menyebabkan ketidakadilan
sosial, ketidakseimbangan distribusi kekayaan, serta berbagai masalah kesehatan dan
pendidikan. Dalam pandangan Islam, kemiskinan dianggap sebagai ujian bagi individu
dan masyarakat. Islam mendorong umatnya untuk mengambil sikap dan tindakan yang
bertanggung jawab dalam mengatasi kemiskinan, termasuk melalui zakat (sumbangan
wajib) dan infaq (sumbangan sukarela) untuk membantu mereka yang kurang mampu.
Kedua, kebodohan juga menjadi persoalan yang perlu diatasi. Kurangnya pendidikan dan
pengetahuan dapat membatasi perkembangan individu dan masyarakat. Dalam pandangan
Islam, pengetahuan sangat dihargai dan dianggap sebagai kewajiban untuk setiap Muslim.
Islam mendorong umatnya untuk belajar dan mencari ilmu pengetahuan dalam berbagai
bidang, termasuk agama, sains, dan teknologi. Pendidikan dianggap sebagai jalan untuk
memperbaiki kehidupan dan memajukan masyarakat. Ketiga, pengangguran adalah
persoalan serius yang dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Dalam
pandangan Islam, bekerja dan berusaha secara halal dianggap sebagai kewajiban bagi
individu, kecuali dalam kondisi yang memaksa. Islam mendorong umatnya untuk mencari
mata pencaharian yang sesuai dengan kemampuan dan keahlian mereka. Selain itu,
konsep solidaritas sosial dalam Islam mengajarkan pentingnya berbagi rezeki dan
membantu mereka yang mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan.

Dalam makalah ini, akan dilakukan penelusuran terhadap pandangan dan ajaran
Islam terkait dengan kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran. Selain itu, akan
dijelaskan pula konsep akhlak sosial dalam Islam yang dapat menjadi landasan untuk
mengatasi dan mengurangi dampak negatif dari ketiga persoalan tersebut. Makalah ini
juga akan mengulas berbagai solusi yang ditawarkan oleh Islam untuk mengatasi
kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran serta dampaknya terhadap pembangunan
sosial dan kesejahteraan umat manusia. Diharapkan makalah ini dapat memberikan
pemahaman yang lebih mendalam tentang pandangan Islam terhadap kemiskinan,
kebodohan, dan pengangguran, serta konsep akhlak sosial yang menjadi landasan untuk
mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Makalah ini juga diharapkan dapat memberikan
panduan bagi individu dan masyarakat dalam menghadapi tantangan sosial yang
kompleks di dunia modern.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan bagaimana pandangan islam tentang kehidupan bersosial.

2. Menjelaskan tentang masyarakat yang didambakan islam.

3. Mempelajari toleransi inter dan antar umat beragama dalam islam.

4. Menerapkan prinsip-prinsip islam dalam mewujudkan kesejahteraan sosial


melalui penguatan sadar pajak, gerakan anti korupsi dan anti radikalisme.

5. Menjelaskan pandangan islam terhadap beberapa persoalan: kemiskinan,


kebodohan, dan pengangguran.

1.3 TUJUAN
Tujuan Penulisan makalah berikut untuk mengetahui seputar akhlak sosial
dan pandangan islam yaitu tentang:

1. Memahami bagaimana pandangan islam tentang kehidupan bersosial .

2. Memahami tentang seperti apa masyarakat yang didambakan islam.

3. Memahami tentang toleransi inter dan antar umat beragama dalm islam.

4. Menerapkan prinsip-prinsip islam dalam mewujudkan kesejahteraan sosial


melalui penguatan sadar pajak, gerakan anti korupsi dan anti radikalisme.

5. Memahami bagaimana pandangan islam terhadap beberapa persoalan seperti


kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran.

1.4 MANFAAT
Manfaat yang didapat dari penulisan serta pembahasan dari makalah
berikut adalah:

1. Mengetahui bagaimana dan apa pandangan islam tentang kehidupan sosial.

2. Mengetahui seperti apa masyarakat yang didambakan islam.

3. Memahami toleransi inter dan antar umat beragama dalam islam.


4. Mengaplikasikan prinsip islam dalam mewujudkan kesejahteraan sosial melalui
penguatan sadar pajak, gerakan anti korupsi dan anti radikalisme.

5. Memahami pandangan islam terhadap beberapa persoalan kemiskinan,


kebodohan dan pengangguran.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN
Dalam perspektif Islam, akhlak atau moral memiliki kedudukan yang tinggi.
Demikian tingginya kedudukan akhlak dalam Islam hingga Nabi shallallahu
„alaihi wasallam menjadikannya sebagai barometer keimanan. Beliau bersabda:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya.” (HR. Abû Dâwûd dan Tirmidzî). Dalam Islam, akhlak sangat terkait
dengan keimanan dan tidak terpisah darinya. Keterkaitan antara iman dengan
akhlak juga terlihat jelas pada pengarahan-pengarahan Nabi shallallahu „alaihi
wasallam tentang akhlak. Beliau sering sekali mengaitkan keimanan kepada Allah
dan hari akhir dengan akhlak. Ketika seseorang memiliki orientasi dan cita-cita
yang tinggi yaitu ridha Allah, maka dengan sendirinya ia akan menganggap
rendah apa saja yang bertentangan dengan cita-cita tersebut yaitu seluruh
perbuatan atau sifat yang dibenci oleh Allah.

Term akhlak berasal dari bahasa Arab. Ia adalah bentuk jama‟ dari khuluq.
Secara etimologi, khuluq berarti ath-thab‟u (karakter) dan as-sajiyyah (perangai).
a definisi yang diutarakan oleh para ulama tentang makna akhlak. Al-Ghazali
memaknai akhlak dengan, Sebuah tatanan yang tertanam kuat dalam jiwa yang
darinya muncul beragam perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Akhlak Islami memiliki beberapa
keistimewaan dan ciri-ciri khusus (karakteristik) yang membedakannya dari
sistem akhlak lainnya. Di antara karakteristik akhlak Islami tersebut adalah: (a)
Rabbaniyah atau dinisbatkan kepada Rabb (Tuhan), (b) Insaniyah (bersifat
manusiawi), (c) Syumuliyah (universal dan mencakup semua kehidupan), dan (d)
Wasathiyah (sikap pertengahan). Sekumpulan nilai-nilai dan sifat yang menetap di
dalam jiwa, yang dengan petunjuk dan standarnya sebuah perbuatan dinilai baik
atau buruk oleh seseorang, yang untuk kemudian dia melakukan perbuatan
tersebut atau mengurungkannya.

Manusia sejak lahir membutuhkan orang lain, oleh sebab itu manusia perlu
bersosialisasi dengan orang lain dalam hidup bermasyarakat. Hidup sosial
bermasyarakat sering kali membuat kita harus waspada dan menahan diri. Hal ini
karena hidup dengan sejumlah orang lain yang masing-masing mempunyai
keinginan, keyakinan dan pendapatnya berbeda-beda. Tak bisa dipungkiri hidup
bermasyarakat akan senantiasa menemui berbagai masalah. Tidak hanya di
lingkungan masyarakat saja yang perlu hidup bersosialisasi, di lembaga
pendidikanpun juga hidup bersosialisasi ini sangatlah penting, misalnya
bersosialisasi antara peserta didik dengan peserta didik, bersosialisasi antara
peserta didik dengan pendidik maupun para karyawannya, dalam hal ini yang
lebih diutamakan adalah akhlak sosial peserta didik. Menurut Ibnu Maskawih,
akhlak ialah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang berbuat dengan
mudah tanpa melalui proses pemikiran dan pertimbangan, jadi pada hakikatnya
khuluq atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap pada jiwa
manusia, yang berubah menjadi kepribadian, sedangkan menurut imam ghazali,
akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam–
macam perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Dari pemaparan di atas bahwa akhlak merupakan suatu keadaan
yang melekat pada jiwa manusia, kemudian menimbulkan perbuatan dengan
gampang dan mudah tanpa memerlukan proses pemikiran dan pertimbangan.

Akhlak sosial adalah bagian ajaran tentang akhlak, yang berkaitan dengan
keharusan perilaku baik dan yang seharusnya dijauhi berkaitan dengan hubungan-
hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat. Akhlak sosial adalah tingkah laku
seorang individu yang berhubungan dengan individu lain. Akhlak sosial juga
dapat dikatakan sebagai interaksi sosial. Menurut Young, interaksi adalah kunci
dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial tidak akan ada
kehidupan sosial. Akhlak sosial adalah suatu perilku atau suatu perangai yang
baik dalam pandangan Islam, baik akhlak kepada Allah maupun akhlak kepada
manusia. Sebagai bagian dari masyarakat, kepedulian pada lingkungan sekitar
merupakan tuntutan yang melekat pada individu yang bertanggung jawab. istilah
Ali Syari‟ati, orang-orang yang tercerahkan (enlightenment) adalah orang-orang
yang peka pada lingkungannya dan mampu menjadi motor bagi masyarakatnya,
bukan individu yang memiliki gelar panjang dan telah mencicipi bangku
pendidikan sampai tingkat tertinggi tetapi tidak peduli pada masyarakatnya.
Justru, orang-orang yang berpendidikan tinggi tetapi ilmunya tak pernah
menularkan ilmunya pada lingkungannya adalah orang-orang yang mencuri
kesempatan dan kekayaan dari masyarakatnya. Pendek kata, orang yang berguna
bagi masyarakatnya adalah orang yang tercerahkan dan paling beruntung.

Kemiskinan adalah masalah global dan fenomena yang harus diselesaikan di


negara-negara berkembang termasuk negara-negara Muslim. Islam memandang
kemiskinan berdasarkan norma dan nilai ideologisnya. Sebagaimana disebut oleh
Sadeq (1997), dua tingkat kemiskinan telah tersirat dalam sumber-sumber
Islam. Pertama, kemiskinan kronis atau biasa disebut ' hardcore poor '
sebagaimana tersirat dalam konsep 'faqir ' dan 'miskin' dalam terminologi
Islam. Kedua, kemiskinan yang rendah, yang dapat disebut ' kemiskinan umum ',
sebagaimana cermin dalam nisab zakat . Kritis kemiskinan ini mengacu pada
konsep miskin dan faqir.meskipun beberapa cendekiawan yurisprudensi Islam
berbeda antara dua konsep ( miskin dan faqir ), kedua konsep tersebut sama-sama
merujuk pada kemustahilan. Faqir mengacu pada seseorang yang tidak memiliki
properti atau tidak memiliki penghasilan yang cukup dalam memenuhi keperluan
dasar seperti makanan, pakaian, penginapan, dan kebutuhan lainnya, untuk dirinya
sendiri dan tanggungannya, dan orang yang mengacu pada yang serupa, tetapi
kondisinya sedikit lebih baik ( Sadeq , 1997). Kedua konsep yang mengacu pada
kondisi ekonomi yang membuat seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasar.

Kebodohan/ketidaktahuan dengan menggunakan term al-jâhiliyyah secara


literal-morfologis hanya terdapat dalam 4 (empat) ayat. Sedangkan dalam Hadits,
cukup banyak teks-teks Hadits yang mengungkap term jahiliyah dan
mendeskripsikan sebagian dari makna substansial dan fenomenanya. Dalam
Hadits, term jahiliyah antara lain diungkapkan dengan menggunakan term
perilaku atau tradisi jahiliyah (sunnah jâhiliyyah), masalah atau perkara jahiliyah
(amr al-jâhiliyyah), pertumpahan darah atau nyawa (pembunuhan) jahiliyah
(dima’ al-jâhiliyyah), orang atau personal jahiliyah (imru’ jâhiliyyah), dan
ungkapan lainnya. Dengan mencermati 4 (empat) ayat yang secara langsung
menggunakan term al-jâhiliyyah, yaitu dalam Q.S. Âli ‟Imrân [3]: 154, Al-
Mâ„idah [5]: 50, Al-Ahzâb [33]: 33, dan Al-Fath [48]: 26, maka dapat
disimpulkan konteksnya sebagai berikut:

1. Pertama, jahiliyah sebagai keyakinan yaitu


anggapan/praduga/sangkaan hati (zhann al-jâhiliyyah) sebagai sebuah
keyakinan lemah yang seringkali salah sehingga dapat dikategorikan
sebagai simbol kerusakan hati dan lambang kedangkalan akidah.
2. Kedua, jahiliyah sebagai tatanan/sistem hukum yang diberlakukan
(hukm aljâhiliyyah) sebagai simbol kerusakan hukum, yaitu hukum
positif buatan produk rasionalitas yang kontradiktif dengan hukum Allah
S.W.T. sehingga merusak tatanan masyarakat dan bahkan menjadi
sumber malapetakanya yang berkepanjangan.
3. Ketiga, jahiliyah sebagai perilaku liar dalam memamerkan
keindahan tubuh/aurat (tabarruj al-jâhiliyyah), sebagai simbol kerusakan
wanita yaitu perilaku berdandan yang salah dari kaum wanita dalam
berinteraksi dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya.
4. Keempat, jahiliyah sebagai watak/semangat fanatisme yang tidak
benar Beirut: Dâr Al-Jîl dan Dâr Al-Hadîts Mesir. hlm. 184; dan Husain
Muhammad Fahmî Al-Syâfi‟î. (2008). Al-Dalîl Al-Mufahras li Alfâzh
Al-Qur‘ân Al-Karîm bi Hâsyiyah Al-Mushhaf Al-Syarîf. Kairo: Dâr Al-
Salâm. hlm. 308, 385, 389 & 527. (hamiyyah al-jâhiliyyah), yaitu loyal
dan antipati karena landasan primordialisme golongan dan standar
sektarianisme lainnya hingga sering dijadikan sebagai standar utama
untuk menolak kebenaran agama, merupakan symbol kedangkalan
patriotisme.

Sayyid Qutb adalah representasi dari tokoh mufasir di zamannya yang


berhaluan radikal-fundamental (tafsir fundamental). Bahkan di saat menyusun
tafsir Zilal-nya yang monumental yang memperlihatkan pengetahuan spiritualnya
tentang yang gaib, pada waktu bersamaan pula ia sedang menyusun ideologi
fundamentalis baru. Ia memiliki alur pemikiran yang jelas dan lebih maju
terhadap term “jahiliyah” dibandingkan dengan tokoh sebelumnya Abu al-A’la al-
Maududi; jika al-Maududi hanya melihat jahiliyah di dalam dunia non-muslim,
Qutb meyakini bahwa apa yang disebut dunia muslim juga penuh dengan nilai-
nilai busuk dan kebengisan jahiliyah.Menurutnya, istilah jahiliyah tidak hanya
merujuk pada periode pra-Islam di Jazirah Arab, sebagaimana yang terjadi pada
penulisan sejarah muslim konvensional. Di dalam bukunya “Ma’alim fi al-Thariq”
ia menegaskan bahwa jahiliyah bukan masa tertentu, ia adalah kondisi yang
berulang-ulang setiap kali masyarakat menyeleweng dari jalan Islam, baik di masa
lampau, sekarang, atau masa depan. Setiap usaha untuk menolak realitas dan
kedaulatan Tuhan adalah jahili. Di antara manifestasi dari jahiliyah adalah; 1)
Nasionalisme (yang menganggap negara sebagai nilai tertinggi. 2). Komunisme
(yang atheis), 3). Demokrasi (di mana manusia merampas kedaulatan Tuhan).
Menurutnya, jahiliyah modern, baik di Mesir maupun di Barat jauh lebih buruk
daripada jahiliyah di masa Nabi, karena sifat itu tidak didasarkan pada
“kebodohan” melainkan pada pemberontakan terhadap Tuhan.

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai banyak pengangguran.


Namun anehnya, secara bersamaan kita temui pula kasus susahnya mencari orang
yang mau bekerja. Banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dalam hidup ini
terbengkalai begitu saja. Ini menunjukkan bahwa menganggur tak selalu identik
karena tak adanya pekerjaan, melainkan bisa jadi karena kemalasan. Islam
membenci pengangguran sebab kemalasan, dan—sebaliknya—menyukai orang-
orang yang mau bekerja keras. Secara fiqih, bekerja mencari nafkah adalah wajib,
sedangkan berpangku tangan hukumnya adalah haram. Sebab, orang menganggur
berarti tidak memanfaatkan anugerah yang telah Allah berikan, berupa nikmat
pikiran, nikmat kekuatan, kesehatan, dan lain sebagainya. Secara fitrah, manusia
adalah makhluk sempurna yang memiliki kompetensi diri yang unik, beragam,
dan sesuai dengan bidang pekerjaan tertentu. Dari ujung rambut hingga ujung
kaki, manusia memiliki potensi yang bisa digunakan untuk bekerja. Berpangku
tangan bukan hanya membuat orang tak mendapat penghasilan, tapi bisa juga
menjerumuskannya pada perilaku buruk meminta-minta, bahkan merugikan orang
lain, demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Yusuf Qaradhawi, pengangguran itu terbagi menjadi 2 macam:


1. Pengangguran jabariyah, yaitu menganggur karena tidak
ada pilihan lain sebab tidak mempunyai ilmu dan keterampilan sehingga
terpaksa menjadi pengangguran
2. Pengangguran khiyariyah, yaitu orang yang lebih memilih
menganggur dan bergantung kepada orang lain padahal dia mempunyai
kemampuan untuk bekerja mencari nafkah.

Pengangguran bisa berdampak negatif, baik pada diri sendiri, keluarga,


maupun lingkungan sekitar. Efek personal itu bisa berupa efek fisik, misalnya
sakit kepala, sakit perut, masalah tidur, kekurangan energi, hipertensi, penyakit
jantung, dan penyakit ginjal; bisa pula efek psikologis, misalnya timbulnya
perasaan malu, depresi, sensitif, kecemasan, kemarahan, ketakutan, keputusasaan,
penurunan harga diri, kesepian dan isolasi sosial, hingga peningkatan
permusuhan. Dalam lingkup keluarga, menganggur bisa memicu gesekan
perkawinan, depresi pasangan, konflik keluarga, pelecehan anak dan penelantaran
keluarga yang seharusnya dinafkahi. Islam senantiasa mendorong umatnya untuk
berikhtiar. Menjadi pengangguran bagi orang yang mampu bekerja adalah
perbuatan yang hina dengan berbagai mudarat dan dampak negatifnya.
Kewajiban seseorang adalah berusaha, sedangkan soal mencapai target
pendapatan tertentu adalah hal lain. Besaran nafkah bisa disesuaikan dengan
kemampuan maksimal yang ada dan dengan skala prioritas pemenuhan kebutuhan
yang telah digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya.
Jadi, utamakan nafkah diri, keluarga, karib kerabat, dan pemenuhan kebutuhan
tujuan dan cita-cita hidup agar sukses dengan berusaha dan bekerja keras
tentunya.

Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia tidak luput dalam suatu


pekerjaan. Banyak sekali pekerjaan yang dapat dilakukan sesuai keterampilan
yang mereka punya. Pilihan dalam bekerja bagi mereka adalah untuk
mendapatkan hidup yang layak untuk masa depan. Bekerja adalah hak bagi setiap
individu. Mereka bekerja ataupun tidak adalah pilihan masing-masing individu.
Kebanyakan faktor yang bias mereka pilih untuk bekerja atau tidak adalah faktor
gaji. Upah atau gaji dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan diri dan
keluarganya meskipun Allah sudah menjamin rizki bagi setiap makhluk hidup.
Walaupun Allah telah berjanji akan menaggung rizqi kita semua, namun hal itu
bukan berarti tanpa ada persyaratan yang perlu untuk dipenuhi. Syarat yang paling
utama adalah kita harus berusaha untuk mencari rizqi yang dijanjikan itu, karena
Allah SWT telah menciptakan “sistem”. Bermalas-malasan atau menganggur akan
memberikan dampak negatif langsung kepada pelakunya serta akan
mendatangkan dampak tidak langsung terhadap perekonomian secara
keseluruhan. Dalam kaitannya dengan bidang pekerjaan yang harus dipilih, Islam
mendorong umatnya untuk berproduksi dan menekuni aktivitas ekonomi dalm
segala bentuk seperti: pertanian, pengembalaan, berburu,industri , perdagangan
dan lain-lain. Islam tidak semata-mata hanya memerintahkan untuk bekerja tetapi
harus bekerja dengan lebih baik (insan), penuh ketekunan, dan profesional.

2.2 Pandangan islam tentang kehidupan sosial


Dalam Islam, kehidupan sosial dianggap sangat penting dan diberikan
perhatian yang besar. Agama Islam memberikan pedoman yang jelas tentang
bagaimana manusia seharusnya berinteraksi dengan sesama dan membangun
hubungan sosial yang baik. Prinsip utama dalam kehidupan sosial dalam
pandangan Islam adalah sikap saling menghormati, keadilan, persaudaraan, dan
kerjasama antara individu-individu dalam masyarakat. Islam mengajarkan
pentingnya memperlakukan orang lain dengan adil, menghormati martabat
manusia, serta tidak melakukan diskriminasi berdasarkan ras, agama, atau status
sosial. Salah satu nilai yang sangat ditekankan dalam kehidupan sosial dalam
Islam adalah persaudaraan. Islam mengajarkan bahwa semua manusia adalah
saudara seiman dan memiliki tanggung jawab untuk saling mencintai, membantu,
dan mendukung satu sama lain. Rasulullah Muhammad saw. bersabda, "Kamu
bukanlah seorang mukmin yang sempurna hingga kamu mencintai saudaramu
sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri."Selain itu, Islam juga mengajarkan
pentingnya berbuat baik kepada tetangga, orang-orang miskin, dan mereka yang
membutuhkan.

Dalam ajaran Islam, memberikan bantuan kepada sesama manusia dan


berperilaku kebaikan adalah bagian integral dari ibadah kepada Allah SWT.
Seorang Muslim dianjurkan untuk menjadi anggota aktif dalam masyarakat,
berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan membantu memperbaiki kondisi sosial di
sekitarnya. Namun, Islam juga mengatur batasan-batasan dalam kehidupan sosial.
Misalnya, hubungan antara pria dan wanita diatur oleh aturan-aturan yang jelas
dalam Islam untuk menjaga kesucian, kehormatan, dan moralitas. Islam juga
melarang tindakan-tindakan seperti memfitnah, menghina, mencemarkan nama
baik, atau merugikan orang lain dalam bentuk apapun.Dalam kesimpulannya,
pandangan Islam tentang kehidupan sosial menekankan pentingnya sikap saling
menghormati, keadilan, persaudaraan, dan kerjasama dalam membangun
masyarakat yang harmonis. Islam mendorong umatnya untuk berperan aktif dalam
masyarakat, berbuat baik kepada sesama, dan menjaga moralitas dalam interaksi
sosial.

2.3 Masyarakat dambaan islam


Visi masyarakat dambaan Islam dapat diilhami oleh prinsip-prinsip dalam
Al-Quran, Hadis, dan pemikiran ulama Islam. Berikut adalah beberapa referensi
yang menjadi pijakan untuk membentuk masyarakat dambaan Islam:
1. Al-Quran: Kitab suci umat Islam, Al-Quran, menyediakan pedoman dan
ajaran bagi umat Islam. Ayat-ayat dalam Al-Quran mengandung nilai-
nilai seperti keadilan, kasih sayang, kedermawanan, persaudaraan, dan
tanggung jawab sosial. Sebagai contoh, Al-Quran menyatakan
pentingnya memberikan hak-hak kepada orang miskin dan orang-orang
yang membutuhkan, serta menghargai martabat manusia tanpa
memandang latar belakang agama atau etnis.
2. Hadis: Hadis merujuk kepada perkataan, tindakan, dan persetujuan Nabi
Muhammad SAW. Hadis sering kali menjadi sumber penting dalam
memahami dan mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari. Hadis dapat memberikan panduan mengenai akhlak yang
baik, etika sosial, kepemimpinan yang adil, dan hubungan antara umat
Muslim.
3. Ijtihad: Ijtihad merujuk pada proses pemikiran dan penafsiran hukum
Islam oleh ulama yang terampil. Para ulama merujuk kepada sumber-
sumber utama Islam, seperti Al-Quran, Hadis, prinsip-prinsip keadilan,
dan kaidah-kaidah etika Islam, untuk memberikan panduan dalam
mengembangkan masyarakat yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
4. Pemikiran Ulama: Berbagai ulama Islam selama sejarah telah
memberikan kontribusi pemikiran tentang bagaimana membentuk
masyarakat dambaan Islam. Pemikiran-pemikiran ini mencakup topik
seperti hukum Islam (fiqh), ekonomi Islam, keadilan sosial, dan
moralitas. Beberapa ulama terkenal seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu
Khaldun, dan Syekh Yusuf al-Qaradawi telah memberikan pemikiran
tentang bagaimana masyarakat dapat mengimplementasikan prinsip-
prinsip Islam.

Penting untuk dicatat bahwa visi masyarakat dambaan Islam dapat bervariasi
tergantung pada konteks budaya, sejarah, dan pemahaman individu atau kelompok
yang mengartikannya. Oleh karena itu, referensi-referensi tersebut memberikan
kerangka dasar untuk membentuk masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip Islam,
namun implementasinya dapat bervariasi dalam konteks yang berbeda

2.4 Toleransi terhadap inter dan antar umat beragama


Kaidah toleransi dalam Islam berasal dari ayat Al-Qur'an laa ikraaha fi al-
diin yang berarti tidak ada paksaan dalam agama. Toleransi mengarah kepada
sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan. Landasan
dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam (QS. Al-Hujurat ayat 13) Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. Toleransi antar
umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang
ada dalam system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan
keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat,
dsb.  Toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan
adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system, dan
tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan
keyakinan agama masing-masing. Keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama
dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka.
Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya
mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi
dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan
sejak agama Islam itu lahir.

  ‫الحنِ ْيفِيَّةُ ال َّس ْم َحة‬ َ ‫ْن ِإ‬hِ ‫َأ َحبٌّ ال ِّدي‬ 


َ ِ‫لى هللا‬
Artinya: “agama yang paling dicintai di sisi Allah adalah agama yang
berorientasi pada semangat  mencari kebenaran secara toleran dan lapang”.

2.5 Prinsip-prinsip islam dalam mewujudkan kesejahteraan sosial


melalui penguatan kesadaran pajak, gerakan anti korupsi dan
anti radikalisme
Dalam Islam, terdapat prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial melalui penguatan kesadaran pajak, gerakan
anti-korupsi, dan anti-radikalisme. Berikut adalah beberapa prinsip-prinsip Islam
yang relevan:

1. Keadilan dan Keseimbangan: Islam mendorong adanya keadilan dalam


pembayaran pajak. Prinsip ini menekankan bahwa setiap individu dan
entitas ekonomi harus berkontribusi secara adil sesuai dengan
kemampuannya. Selain itu, Islam mengajarkan pentingnya menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban, sehingga menghindari korupsi
dan penyalahgunaan wewenang.Ketaatan dan Kepatuhan Terhadap
2. Hukum: Islam mendorong umatnya untuk taat dan patuh terhadap
hukum negara dan peraturan yang berlaku. Ini mencakup ketaatan
terhadap kewajiban pajak dan hukum terkait yang ditetapkan oleh
pemerintah, selama hukum tersebut tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.
3. Amal Shalih: Konsep amal shalih atau perbuatan baik dalam Islam
mencakup tindakan sosial yang positif dan membawa manfaat bagi
masyarakat. Dalam konteks ini, mendorong kesadaran pajak dan
menghindari korupsi adalah bentuk amal shalih yang dapat mendorong
kesejahteraan sosial.
4. Etika dan Moralitas: Islam menekankan pentingnya etika dan moralitas
dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip etika Islam, seperti jujur,
integritas, keadilan, dan transparansi, dapat menjadi landasan dalam
gerakan anti-korupsi dan anti-radikalisme.
5. Toleransi dan Dialog: Islam mendorong sikap toleransi, menghormati
perbedaan, dan membangun dialog yang konstruktif antara umat
beragama. Melalui dialog yang baik, kesalahpahaman dapat diatasi,
stereotip dapat dihilangkan, dan upaya bersama untuk mencegah
radikalisme dapat dilakukan.Dalam menerapkan prinsip-prinsip ini,
penting untuk mengkombinasikan pemahaman agama dengan konteks
sosial dan hukum yang relevan. Penerapan prinsip-prinsip tersebut
memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan pendidikan, kesadaran
masyarakat, regulasi yang baik, dan kerjasama antara pemerintah,
masyarakat sipil, dan pemimpin agama

2.6 Pandangan islam terhadap beberapa persoalan: kemiskinan,


kebodohan, dan pengangguran
Harus kita akui bahwa kemiskinan muncul bukan lantaran persoalan
ekonomi saja, tapi karena persoalan semua bidang: struktural (baca: birokrasi),
politik, sosial, dan kultural, dan bahkan pemahaman agama. Kita pun tahu dampak
dari adanya kemiskinan ini, seperti kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga,
perampokan, patologi, dan lain sebagainya, di mana semua itu semakin hari
semakin meningkat saja intensitasnya di sekitar kita. Tak mudah seperti
membalikkan telapak tangan untuk mengatasi kemiskinan. Diperlukan semua
segi, di antaranya ekonomi, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, teknologi, dan
tentu saja, ketenagakerjaan. Selain itu ada segi lain yang tak boleh kita lupakan
juga dalam mengatasi masalah ini, yaitu agama. Islam memberikan pesan-
pesannya melalui dua pedoman, yaitu Alquran dan Hadits. Melalui keduanya kita
dapat mengetahui bagaimana agama (Islam) memandang kemiskinan.
Alquran menggambarkan kemiskinan dengan 10 kosakata yang berbeda, yaitu al-
maskanat (kemiskinan), al-faqr (kefakiran), al-’ailat (mengalami kekurangan), al-
ba’sa (kesulitan hidup), al-imlaq (kekurangan harta), al-sail (peminta), al-mahrum
(tidak berdaya), al-qani (kekurangan dan diam), al-mu’tarr (yang perlu dibantu)
dan al-dha’if (lemah). Kesepuluh kosakata di atas menyandarkan pada satu
arti/makna yaitu kemiskinan dan penanggulangannya.

Islam menyadari bahwa dalam kehidupan masyarakat akan selalu ada orang
kaya dan orang miskin (QS An-Nisa/4: 135). Sungguh, hal itu memang sejalan
dengan sunatullah (baca: hukum alam) sendiri. Hukum kaya dan miskin
sesungguhnya adalah hukum universal yang berlaku bagi semua manusia, apa pun
keyakinannya. Karena itu tak ubahnya seperti kondisi sakit, sehat, marah, sabar,
pun sama dengan masalah spirit, semangat hidup, disiplin, etos kerja, rendah dan
mentalitas. Kemiskinan, menurut Islam, disebabkan oleh beberapa faktor, di
antaranya karena keterbatasan untuk berusaha (Q.S. Al-Baqarah/2: 273),
penindasan (QS Al-Hasyr/59: 8), cobaan Tuhan (QS Al-An’am/6: 42), dan
pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan (QS Al-Baqarah/2: 61). Namun, di
negara kita sesungguhnya faktor-faktor di atas sudah mulai dibenahi, walaupun
ada yang secara sungguh-sungguh maupun setengah-setengah.Mulai dari program
pemerintah dan masyarakat sendiri sama-sama berjuang memerangi kemiskinan.
Tapi, harus disadari bahwa perjuangan melawan kemiskinan di negara kita, apa
pun caranya, sesungguhnya sama dengan perjuangan seumur hidup. Masih
panjang sekali perjalanan untuk mencapai hasilnya. Mengapa demikian? Karena
kenyataan di lapangan berbeda dengan hasil data survey penelitian. Di atas kertas
angka kemiskinan di negeri ini berhasil diturunkan, namun dalam perkembangan
lebih lanjut juga memperlihatkan peningkatan.Kembali pada persoalan hukum
alam di atas tentang keniscayaan adanya orang kaya dan orang miskin, maka
sudah sepatutnya orang kaya (termasuk pemerintah) membantu orang miskin.
Menurut Islam, dengan adanya bantuan orang kaya tersebut, agar orang miskin
tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang dapat merendahkan martabatnya sendiri
(QS Al-Baqarah/2: 256).

Islam sesungguhnya telah menyadari bahwa terkadang kefakiran (dan


kemiskinan) akan menjadikan manusia pada kekufuran.Untuk itu Islam pun
memberikan sumbangsih solusi penanggulangan kemiskinan dengan dua model:
(1) wajib dilakukan dan (2) anjuran. Adapun yang mesti dilakukan adalah zakat
(QS At-Taubah/9: 103), infak wajib yang sifatnya insidental (QS Al-Baqarah/2:
177), menolong orang miskin sebagai ganti kewajiban keagamaan, misalnya
membayar fidyah (QS Al-Baqarah/2: 184), dan menolong orang miskin sebagai
sanksi terhadap pelanggaran hukum agama (misalnya membayar kafarat dengan
memberi makan orang miskin) (QS Al-Maidah/5: 95). Sedang yang bersifat
anjuran untuk dilakukan adalah sedekah, infak, hadiah, dan lain-lainnya. Tentu
saja semua hal di atas dilakukan bagi orang yang mampu secara finansial. Namun,
bagi yang tidak mampu pun dalam hal itu diwajibkan juga, yaitu dengan
memberikan nasihat, spirit, dan motivasi kepada kalangan rakyat
jelata.Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pusat Bahasa
dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2005 bahwa dana yang
dihasilkan dari zakat, infak, dan sedekah saja dalam satu tahun telah mencapai Rp
19,3 triliun. Hasil di atas mengindikasikan bahwa jika dana tersebut dikelola dan
disalurkan dengan baik dan profesional maka akan membantu menyejahterakan
orang-orang miskin. Angka di atas baru dihasilkan dari kaum muslim saja. Andai
digabungkan dengan masyarakat agama lain tentu angkanya akan lebih besar
lagi.Pada zaman Rasulullah sendiri orang-orang miskin memperoleh bantuan
materi dari kas negara yang ditangani secara profesional. Oleh karena itu sudah
sepatutnya pemerintah dan masyarakat (beragama) Indonesia bersinergi
menanggulangi kemiskinan dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan
negara dan masyarakat. Lembaga-lembaga yang dikelola oleh kaum muslim
seperti BASIZ, LAZIS, Baznas, dan masih banyak lagi harus didukung program
dan kinerjanya baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dan dengan adanya
dukungan penuh dari kedua belah pihak maka lembaga-lembaga semacam itu
akan berdaya secara optimal dan profesional.Islam sesungguhnya sudah sangat
jelas memberikan solusi untuk menangani masalah kemiskinan. Tinggal saat ini
bagaimana kita mau atau sudah melaksanakannya atau tidak.

Kebodohan/ketidaktahuan dengan menggunakan term al-jâhiliyyah secara


literal-morfologis hanya terdapat dalam 4 (empat) ayat. Sedangkan dalam Hadits,
cukup banyak teks-teks Hadits yang mengungkap term jahiliyah dan
mendeskripsikan sebagian dari makna substansial dan fenomenanya. Dalam
Hadits, term jahiliyah antara lain diungkapkan dengan menggunakan term
perilaku atau tradisi jahiliyah (sunnah jâhiliyyah), masalah atau perkara jahiliyah
(amr al-jâhiliyyah), pertumpahan darah atau nyawa (pembunuhan) jahiliyah
(dima’ al-jâhiliyyah), orang atau personal jahiliyah (imru’ jâhiliyyah), dan
ungkapan lainnya. Dengan mencermati 4 (empat) ayat yang secara langsung
menggunakan term al-jâhiliyyah, yaitu dalam Q.S. Âli ‟Imrân [3]: 154, Al-
Mâ„idah [5]: 50, Al-Ahzâb [33]: 33, dan Al-Fath [48]: 26, maka dapat
disimpulkan konteksnya sebagai berikut:

1. Pertama, jahiliyah sebagai keyakinan yaitu


anggapan/praduga/sangkaan hati (zhann al-jâhiliyyah) sebagai
sebuah keyakinan lemah yang seringkali salah sehingga dapat
dikategorikan sebagai simbol kerusakan hati dan lambang
kedangkalan akidah.
2. Kedua, jahiliyah sebagai tatanan/sistem hukum yang diberlakukan
(hukm aljâhiliyyah) sebagai simbol kerusakan hukum, yaitu hukum
positif buatan produk rasionalitas yang kontradiktif dengan hukum
Allah S.W.T. sehingga merusak tatanan masyarakat dan bahkan
menjadi sumber malapetakanya yang berkepanjangan.
3. Ketiga, jahiliyah sebagai perilaku liar dalam memamerkan keindahan
tubuh/aurat (tabarruj al-jâhiliyyah), sebagai simbol kerusakan wanita
yaitu perilaku berdandan yang salah dari kaum wanita dalam
berinteraksi dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya.

4. Keempat, jahiliyah sebagai watak/semangat fanatisme yang tidak


benar Beirut: Dâr Al-Jîl dan Dâr Al-Hadîts Mesir. hlm. 184; dan
Husain Muhammad Fahmî Al-Syâfi‟î. (2008). Al-Dalîl Al-Mufahras
li Alfâzh Al-Qur‘ân Al-Karîm bi Hâsyiyah Al-Mushhaf Al-Syarîf.
Kairo: Dâr Al-Salâm. hlm. 308, 385, 389 & 527. (hamiyyah al-
jâhiliyyah), yaitu loyal dan antipati karena landasan primordialisme
golongan dan standar sektarianisme lainnya hingga sering dijadikan
sebagai standar utama untuk menolak kebenaran agama, merupakan
symbol kedangkalan patriotisme.

Allah S.W.T. berfirman: “sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh


diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti
sangkaan jahiliyah.” (Q.S. Âli ’Imrân [3]: 154) 29 Ayat ini turun dengan latar
belakang (sabab al-nuzûl) perang Uhud ketika para sahabat dicekam rasa takut
hingga Allah S.W.T. mengirimkan rasa kantuk kepada mereka sebagai penenang.
Tentang tafsir Q.S. Âli ‟Imrân [3]: 154, dinyatakan bahwa ayat ini bercerita
tentang perang Uhud, ketika pasukan kaum muslimin mulai terdesak mundur
karena harus menerima tekanan musuh dari garda depan dan baris belakang.
Walaupun keadaan genting, Allah S.W.T. memberikan ketenangan kepada para
sahabat dengan dibuat mengantuk. Sebaliknya berbeda dengan keadaan orang-
orang munafik yang juga ikut terlibat dalam peperangan ini. Mereka sangat cemas
dan dilingkupi ketakutan, hingga muncul anggapan atau praduga tidak benar
tentang Allah S.W.T., Rasul-Nya S.A.W., dan tentang agama Islam. Dalam hati
dan benak mereka muncul berbagai anggapan dan prasangka buruk. Allah sebut
prasangka hati semacam ini sebagai zhann al-jâhiliyyah.

Kata “jahiliyah” sangat relevan ditafsiri oleh seorang Qutb yang pada
masanya ia sedang berhadapan langsung dengan soal sekularisasi masyarakat
Mesir yang menurutnya adalah praktek jahiliyah modern. Dengan situasi yang
terjadi di sekitarnya saat ia menyelesaikan tafsirnya yang diberi nama ”Fi Zilal al-
Qur’an” , akan diperoleh model penafsiran jahiliyah yang proporsional karena
konteks dan semangat masanya juga mendukung. Dengan membaca karya
tafsirnya yang utuh dan orisinil yaitu kitab Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, 30 juz, akan
diketahui metode berpikir dan perspektif penafsiran yang dibangun; karya tersebut
dan karya-karya lainnya sebagaimana ditegaskan oleh Esposito mencerminkan
suatu visi revolusioner yang sama sekali baru yang lahir dari pengalaman pahitnya
selama di penjara. Selain itu, Sayyid Qutb adalah representasi dari tokoh mufasir
di zamannya yang berhaluan radikal-fundamental (tafsir fundamental). Bahkan di
saat menyusun tafsir Zilal-nya yang monumental yang memperlihatkan
pengetahuan spiritualnya tentang yang gaib, pada waktu bersamaan pula ia sedang
menyusun ideologi fundamentalis baru.

Ia memiliki alur pemikiran yang jelas dan lebih maju terhadap term
“jahiliyah” dibandingkan dengan tokoh sebelumnya Abu al-A’la al-Maududi; jika
al-Maududi hanya melihat jahiliyah di dalam dunia non-muslim, Qutb meyakini
bahwa apa yang disebut dunia muslim juga penuh dengan nilai-nilai busuk dan
kebengisan jahiliyah.Menurutnya, istilah jahiliyah tidak hanya merujuk pada
periode pra-Islam di Jazirah Arab, sebagaimana yang terjadi pada penulisan
sejarah muslim konvensional. Di dalam bukunya “Ma’alim fi al-Thariq” ia
menegaskan bahwa jahiliyah bukan masa tertentu, ia adalah kondisi yang
berulang-ulang setiap kali masyarakat menyeleweng dari jalan Islam, baik di masa
lampau, sekarang, atau masa depan. Setiap usaha untuk menolak realitas dan
kedaulatan Tuhan adalah jahili. Di antara manifestasi dari jahiliyah adalah; 1)
Nasionalisme (yang menganggap negara sebagai nilai tertinggi. 2). Komunisme
(yang atheis), 3). Demokrasi (di mana manusia merampas kedaulatan Tuhan).
Menurutnya, jahiliyah modern, baik di Mesir maupun di Barat jauh lebih buruk
daripada jahiliyah di masa Nabi, karena sifat itu tidak didasarkan pada
“kebodohan” melainkan pada pemberontakan terhadap Tuhan.

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai banyak pengangguran.


Namun anehnya, secara bersamaan kita temui pula kasus susahnya mencari orang
yang mau bekerja. Banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dalam hidup ini
terbengkalai begitu saja. Ini menunjukkan bahwa menganggur tak selalu identik
karena tak adanya pekerjaan, melainkan bisa jadi karena kemalasan. Islam
membenci pengangguran sebab kemalasan, dan—sebaliknya—menyukai orang-
orang yang mau bekerja keras. Secara fiqih, bekerja mencari nafkah adalah wajib,
sedangkan berpangku tangan hukumnya adalah haram. Sebab, orang menganggur
berarti tidak memanfaatkan anugerah yang telah Allah berikan, berupa nikmat
pikiran, nikmat kekuatan, kesehatan, dan lain sebagainya. Secara fitrah, manusia
adalah makhluk sempurna yang memiliki kompetensi diri yang unik, beragam,
dan sesuai dengan bidang pekerjaan tertentu. Dari ujung rambut hingga ujung
kaki, manusia memiliki potensi yang bisa digunakan untuk bekerja. Berpangku
tangan bukan hanya membuat orang tak mendapat penghasilan, tapi bisa juga
menjerumuskannya pada perilaku buruk meminta-minta, bahkan merugikan orang
lain, demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Dalam Kanzul Ummal no.9858 diriwayatkan bahwa Umar bin Khatab
radliyallahuanhu mengatakan:

‫ اَل ؛ َسقَطَ ِم ْن َع ْينِي‬:‫ لَهُ ِحرْ فَةٌ؟ فَِإ ْن قَالُوا‬:ُ‫ فَأقُوْ ل‬،‫ِإنِّ ْي َأَل َرى ال َّر ُج َل فَيُ ْع ِجبُنِ ْي‬

“Sungguh kadang aku melihat seorang lelaki yang membuatku terkagum. Lalu
aku tanyakan, ‘Dia punya pekerjaan?’ Jika mereka menjawab ‘Tidak’ lelaki itu
langsung jatuh wibawanya di mataku.” Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu dalam
Mujam al-Kabir no. 8539 mengatakan:

ِ َ‫ت َأ ْن َأ َرى ال َّر ُج َل ف‬


‫ َوال آ ِخ َر ٍة‬،‫ ال فِي َع ِم ِل ُد ْنيَا‬،‫ار ًغا‬ ُ ُ‫ِإنِّي َأل ْمق‬

“Sungguh aku marah kepada orang yang nganggur, yang tidak melakukan amal
dunia maupun amal akhirat” (HR at-Thabrani). Menurut Yusuf Qaradhawi,
pengangguran itu terbagi menjadi 2 macam:
1. Pengangguran jabariyah, yaitu menganggur karena tidak ada pilihan
lain sebab tidak mempunyai ilmu dan keterampilan sehingga
terpaksa menjadi pengangguran
2. Pengangguran khiyariyah, yaitu orang yang lebih memilih
menganggur dan bergantung kepada orang lain padahal dia
mempunyai kemampuan untuk bekerja mencari nafkah.

Pengangguran bisa berdampak negatif, baik pada diri sendiri, keluarga,


maupun lingkungan sekitar. Efek personal itu bisa berupa efek fisik, misalnya
sakit kepala, sakit perut, masalah tidur, kekurangan energi, hipertensi, penyakit
jantung, dan penyakit ginjal; bisa pula efek psikologis, misalnya timbulnya
perasaan malu, depresi, sensitif, kecemasan, kemarahan, ketakutan, keputusasaan,
penurunan harga diri, kesepian dan isolasi sosial, hingga peningkatan
permusuhan. Dalam lingkup keluarga, menganggur bisa memicu gesekan
perkawinan, depresi pasangan, konflik keluarga, pelecehan anak dan penelantaran
keluarga yang seharusnya dinafkahi. Mengabaikan kewajiban menafkahi keluarga
adalah perbuatan dosa, sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang berbunyi:

َ ‫َكفَى بِ ْال َمرْ ِء ِإ ْث ًما َأ ْن ي‬


ُ ُ‫ُضيِّ َع َم ْن يَق‬
‫وت‬

“Seseorang cukup dikatakan berdosa jika ia melalaikan orang yang wajib ia beri
nafkah” (HR Abu Daud). Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Sementara itu,
untuk menghindari pengangguran, dalam Al-Qur’an Allah telah memerintahkan
kita untuk memberi nafkah menurut kemampuan masing-masing.

‫لِيُ ْنفِ ْق ُذو َس َع ٍة ِم ْن َس َعتِ ِه َو َم ْن قُ ِد َر َعلَ ْي ِه ِر ْزقُهُ فَ ْليُ ْنفِ ْق ِم َّما َآتَاهُ هَّللا ُ اَل يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا ِإاَّل َما َآتَاهَا‬

”Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut


kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang
melainkan (sesuai) apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 7).
Namun demikian, urutan mendahulukan nafkah pada istri daripada kerabat
lainnya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini disebutkan dalam hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ِإ ْن‬hَ‫ ف‬،َ‫ك‬hhِ‫ ِذي قَ َرابَت‬hِ‫ ْي ٌء فَل‬h‫ك َش‬ َ hِ‫ َل ع َْن َأ ْهل‬h‫ض‬ َ َ‫ِإ ْن ف‬hَ‫ ف‬،َ‫ك‬hhِ‫ض َل َش ْي ٌء فََأِل ْهل‬ َ َ‫ا ْب َدْأ بِنَ ْف ِسكَ فَت‬
َ َ‫ فَِإ ْن ف‬،‫ص َّد ْق َعلَ ْيهَا‬
َ‫ َوع َْن ِش َمالِك‬h،‫ك‬َ ِ‫ َوع َْن يَ ِمين‬،‫ك‬ َ ‫ بَ ْينَ يَ َد ْي‬،‫ك َش ْي ٌء فَهَ َك َذا َوهَ َك َذا‬َ ِ‫ض َل ع َْن ِذي قَ َرابَت‬ َ َ‫ف‬

“Mulailah dari dirimu sendiri. Sedekahkanlah untuk dirimu. Selebihnya dari


itu untuk keluargamu (anak dan istrimu). Selebihnya lagi dari itu untuk kerabat
dekatmu. Selebihnya lagi dari itu untuk tujuan ini dan itu yang ada di hadapanmu,
yang ada di kanan dan kirimu” (HR Muslim). Islam senantiasa mendorong
umatnya untuk berikhtiar. Menjadi pengangguran bagi orang yang mampu bekerja
adalah perbuatan yang hina dengan berbagai mudarat dan dampak negatifnya.
Kewajiban seseorang adalah berusaha, sedangkan soal mencapai target
pendapatan tertentu adalah hal lain. Besaran nafkah bisa disesuaikan dengan
kemampuan maksimal yang ada dan dengan skala prioritas pemenuhan kebutuhan
yang telah digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya.
Jadi, utamakan nafkah diri, keluarga, karib kerabat, dan pemenuhan kebutuhan
tujuan dan cita-cita hidup agar sukses dengan berusaha dan bekerja keras
tentunya.

‫ا‬hh‫ ٰهَ َد ِة فَيُنَبُِّئ ُكم بِ َم‬h‫ٱلش‬


َّ ‫ب َو‬ ۟ ُ‫َوقُ ِل ٱ ْعمل‬
ِ ‫تُ َر ُّدونَ ِإلَ ٰى ٰ َعلِ ِم ْٱل َغ ْي‬h‫ونَ ۖ َو َس‬hhُ‫ولُهۥُ َو ْٱل ُمْؤ ِمن‬h‫يَ َرى ٱهَّلل ُ َع َملَ ُك ْم َو َر ُس‬h‫وا فَ َس‬ َ
ُ ُ
َ‫كنت ْم تَ ْع َملون‬ ُ

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta


orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS At-
Taubah:105). Dengan bekerja keras, ikhlas, dan memohon ridha Allah semata
maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan menilai dan mengapresiasi
pekerjaan kita dengan ganjaran materi (syahadah) maupun nonmateri (ghaib).
Demikian khutbah singkat ini disampaikan. Semoga menambah motivasi kita
untuk menghindarkan diri dari hinanya menjadi pengangguran dan menggapai
kemuliaan dengan bekerja keras.

Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia tidak luput dalam suatu


pekerjaan. Banyak sekali pekerjaan yang dapat dilakukan sesuai keterampilan
yang mereka punya. Pilihan dalam bekerja bagi mereka adalah untuk
mendapatkan hidup yang layak untuk masa depan. Bekerja adalah hak bagi setiap
individu. Mereka bekerja ataupun tidak adalah pilihan masing-masing individu.
Kebanyakan faktor yang bias mereka pilih untuk bekerja atau tidak adalah faktor
gaji. Upah atau gaji dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan diri dan
keluarganya meskipun Allah sudah menjamin rizki bagi setiap makhluk hidup.
Walaupun Allah telah berjanji akan menaggung rizqi kita semua, namun hal itu
bukan berarti tanpa ada persyaratan yang perlu untuk dipenuhi. Syarat yang paling
utama adalah kita harus berusaha untuk mencari rizqi yang dijanjikan itu, karena
Allah SWT telah menciptakan “sistem” . Bermalas-malasan atau menganggur
akan memberikan dampak negatif langsung kepada pelakunya serta akan
mendatangkan dampak tidak langsung terhadap perekonomian secara
keseluruhan. Dalam kaitannya dengan bidang pekerjaan yang harus dipilih, Islam
mendorong umatnya untuk berproduksi dan menekuni aktivitas ekonomi dalm
segala bentuk seperti: pertanian, pengembalaan, berburu,industri , perdagangan
dan lain-lain. Islam tidak semata-mata hanya memerintahkan untuk bekerja tetapi
harus bekerja dengan lebih baik (insan), penuh ketekunan, dan profesional.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan dari makalah berikut adalah Ibadah, akhlak, dan muamalah
merupakan tiga konsep utama dalam Islam yang saling terkait. Ibadah
mencakup semua tindakan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, sementara akhlak mengacu pada perilaku yang baik dan etika yang
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Muamalah berkaitan dengan
hubungan sosial dan transaksi ekonomi antara individu. Islam mengajarkan
bahwa ibadah tidak hanya terbatas pada ritual keagamaan, tetapi juga
mencakup akhlak yang baik dalam berinteraksi dengan sesama manusia.
Akhlak sosial yang baik melibatkan sikap saling menghormati, kejujuran,
keadilan, tolong-menolong, dan kebaikan dalam hubungan sosial.

Kemiskinan adalah persoalan kompleks yang harus ditangani dengan cara


yang komprehensif. Islam mengajarkan pentingnya memberikan zakat dan
sedekah kepada mereka yang membutuhkan, serta mempromosikan keadilan
sosial dan pembagian sumber daya yang adil untuk mengurangi kesenjangan
sosial. Islam menghargai ilmu pengetahuan dan mengajak umatnya untuk
mencari pengetahuan serta meningkatkan kecerdasan dan kebijaksanaan.
Kebodohan dapat dikurangi melalui pendidikan yang baik, dan masyarakat
Muslim dihimbau untuk menjadi umat yang berpengetahuan guna
mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan. Pengangguran dapat menjadi
masalah sosial yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan kesejahteraan
individu. Islam mendorong penciptaan lapangan kerja dan menghargai kerja
keras serta adil dalam mencari nafkah. Zakat dan sedekah juga dapat
digunakan untuk membantu pengangguran agar dapat memenuhi kebutuhan
dasar mereka.

Dalam rangka mengatasi persoalan-persoalan seperti kemiskinan, kebodohan,


dan pengangguran, pendekatan Islam mengedepankan solusi yang seimbang
antara aspek spiritual dan sosial. Ibadah yang baik harus diiringi dengan
akhlak yang baik dalam berinteraksi dengan sesama manusia, sementara
muamalah yang adil dan peduli terhadap kebutuhan orang lain adalah bagian
integral dari praktik keagamaan. Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini,
diharapkan dapat tercipta masyarakat yang lebih adil, beradab, dan sejahtera.

3.2 SARAN
Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan bagi
pembaca semuanya. Serta diharapkan, dengan diselesaikannya makalah ini,
baik pembaca maupun penyusun dapat menerapkan akhlak yang baik dan
sesuai dengan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari dalam beberapa
persoalan seperti kemiskinanan, kebodohan dan pengangguran. Serta dapat
mengambil hikmah dan pembelajaran yang tercantum dalam makalah berikut
untuk intropeksi diri kepada lingkungan sekitar bagaimana kita harus bersikap.
Walaupun tidak sesempurna Nabi Muhammad S.A.W , setidaknya kita
termasuk kedalam golongan kaumnya.
DAFTAR PUSTAKA
reynandorico.blogspot.com/2017/05/makalah-akhlak-sosial.html

jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/ei/article/view/348/302

uninus.ac.id/khutbah-jumat-bekerjalah-jangan-jadi-pengangguran

https://kumparan.com/berita-terkini/10-contoh-perilaku-kerukunan-internal-umat-
seagama-untuk-ditiru-1zoZbbubJ1d/full

jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/ei/article/view/178

syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/tarbawi/article/view/2030/1285

journalarticle.ukm.my/17017/1/44628-143588-1-

https://jamberita.com/read/2019/11/19/5954895/bagaimana-pandangan-islam-
terhadap-kemiskinan

https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjrh5B_ML_AhWhb
mwGHYHbDToQFnoECCUQAQ&url=https%3A%2F%2Fhmjiesp.umm.ac.id
%2Ffiles%2Ffile%2FPENGANGGURAN%2520DALAM
%2520ISLAM.docx&usg=AOvVaw3UgRa63CUzsbjjAHErrC7d

Anda mungkin juga menyukai