Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ISLAM BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL

BIDANG PENDIDIKAN MORAL


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Islam budaya dan kearifan lokal
Dosen Pengampu : Bapak Drs. H. Anasom M.Hum

Disusun oleh:
1. Muhammad Alfin Afifi (2201036096)

MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat allah SWT atas segala rahmat dan ridhonya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Shalawat dan
salam selalu tercurah kepada baginda rasulluah muhammad Saw. Dan tak lupa pula kami
ucapkan terima kasih kepada bapak dosen kita yang telah membantu memberikan arahan dan
bimbingannya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan.

Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat terbatas, baik dari segi
metodeologi penulisan ini dan literatur penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan makalah ini dan
untuk penulisan makalah berikutnya.

Demikian penulisan makalah ini kami perbuat dengan sebenarnya semoga dapat
bermanfaat bagi siapapun yang membacannya, kami mohon maaf apabila ada kesalahan
dalam makalah ini. Atas saran yang diberikan pada kami ucapkan terima kasih

Semarang, 10 Oktober 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
Cover...................................................................................................................................i
Kata pengantar..................................................................................................................ii
Daftar isi.............................................................................................................................iii
Bab I PENDAHULUAN
Latar belakang............................................................................................................1
Rumusan masalah......................................................................................................2
Tujuan penulisan........................................................................................................3
Bab II PEMBAHASAN
1. Pengertian Pendidikan moral...............................................................................4
2. Cara membangun moral.......................................................................................5
3. Landasan dan Tujuan moral dalam Islam..........................................................6
4. Landasan dan tujuan moral dalam budaya jawa...............................................7
5. Budaya Jawa dalam mendidik moral..................................................................8
6. Konsep Pendidikan moral al-Ghozali..................................................................9
Bab III KESIMPULAN
Penutup........................................................................................................................10
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan di seluruh dunia kini sedang mengkaji kembali perlunya
pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti atau pendidikan karakter dibangkitkan
kembali. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh bangsa dan masyarakat Indonesia, tetapi
juga oleh negara-negara maju. Bahkan di negara-negara industri di mana ikatan moral
menjadi semakin longgar, masyarakatnya mulai merasakan perlunya revival
(kebangkitan kembali) dari pendidikan moral yang pada akhir-akhir ini mulai
ditelantarkan.

Salah satu karakter budaya kuat bangsa Indonesia adalah pengamalan dan
sikap berpegang teguh atas nilai-nilai religiusitas dan moral dalam dimensi
kehidupan. Indonesia sejak zaman nenek moyang demikian menjunjung tinggi nilai
moral, budaya, agama dan ini terjadi di hampir semua suku bangsa yang tercermin
dalam adat istiadat yang mereka lakukan. Cara pandang religius inilah yang menjadi
modal dasar pembangunan termasuk dalam pengembangan pendidikan. Perilaku yang
bermuatan nilai-nilai keagamaan, keluhuran, moral, kemanusiaan, dan
kemasyarakatan menjadi terabaikan karena sukar diukur dan efeknya tidak segera
dapat dirasakan sekarang ini. Kondisi seperti di atas, secara tidak langsung merasuk
kehidupan generasi muda dan sekolah sebagai bagian dari masyarakat. Sekolah
kehilangan “mandat mulia” dari masyarakat untuk diberikan kepada generasi muda.
Pendidikan moral, di zaman moderen seperti sekarang ini, agaknya sudah menjadi
satu fenomena kemasyarakatan yang boleh dikatakan universal. Hampir semua
masyarakat moderen cenderung untuk menempatkan pendidikan moral sebagai bagian
integral dari sistem kependidikannya. Kendati demikian tidak lantas berarti bahwa di
luar masyarakat modern tidak dikenal adanya pendidikan moral.

Praksis pendidikan semacam itu sebenarnya sudah dikenal pula di berbagai


tipe masyarakat, termasuk di masyarakat yang tergolong terbelakang sekalipun, yaitu
dalam bentuk sosialisasi moral. Minimnya pendidikan moral di Indonesia,
mempengaruhi kemajuan Negara Indonesia, salah satunya dikarenakan adanya
kecenderungan masyarakat moderen untuk mulai memisahkan kehidupan
keagamaannya dari aktivitas hidup kesehari-hariannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud Pendidikan moral?
2. Apa landasan dan tujuan moral dalam islam?
3. Apa landasan dan tujuan moral dalam budaya Jawa?
4. Bagaimana budaya Jawa dalam mendidik moral anak?
5. Bagaimana konsep Pendidikan moral al-Ghazali?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian moral
2. Untuk mengetahui lansasan dan tujuan moral dalam islam
3. Untuk mengetahui landasan dan tujuan moral dalam budaya Jawa
4. Menjelaskan budaya Jawa dalam mendidik moral
5. Untuk mengetahui konsep Pendidikan moral al-Ghozali?
Bab II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Moral
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa Pendidikan merupakan proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara,
perbuatan individu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008 : 326). Sedangkan moral
adalah ajaran tentang baik buruknya yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, akhlak, budi pekerti dan susila (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008 :
929).
Menurut Santi Widiyanti (107 : 2013) moral dari segi etimologi berasal dari
bahasa latin yaitu “mores” yang berasal dari suku kata “Mos”. Mores berarti adat
istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak yang kemudian artinya berkembang menjadi
sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, susila.
Dari kutipan di atas pendidikan moral adalah proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang tentang tentang baik buruknya yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti dan susila.
B. Landasan dan Tujuan Moral Dalam Islam
1. Landasan moral
Landasan moral Islam atau akhlak Islamiyah adalah merujuk pada dua
sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Qur'an dan Hadits. Sumber pertama
berdasarkan Hadits Riwayat Ibn Hambal yang berasal dari Aisyah binti Abu
Bakar RA, ketika ditanya para sahabat tentang akhlak Rasulullah SAW, Aisyah
berkata: Akhlak Rasulullah SAW adalah Al Qur'an. Sumber kedua, adalah
keteladanan yang dicontohkan Rasulullah SAW kepada umatnya, sebagaimana
yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmanNya.
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah
Al-Qur'an telah menegaskan ukuran terakhir dari dikotomi dasardasar moral
adalah tauhid, suatu kepercayaan pada satu-satunya Tuhan, pencipta semua
makhluk. Secara historis, kata-kata dalam al-Qur'an ini adalah sebuah dobrakan
revolusioner yang sangat radikal ditengah masyarakat politeisme, dengan
pernyataan tauhid tersebut, maka secara fundamental Islam telah membebaskan
nilai-nilai yang mengekang kemanusiaan pada kemerdekaan kepercayaan
monoteistik. Ukuran moral bagi manusia bukanlah pada kepercayaan politeistik
dengan mencampur aduk keberhasilan dan sukuistik, bukan menyembah Tuhan
yang dicipta manusia (patung-patung), dan tidak ada derajat yang paling tinggi
diantara manusia, semua telah dibebaskan dalam Keesaan Allah. Bahkan Islam
telah secara revolusioner memproklamirkan bahwa derajat tertinggi manusia
bukanlah bersifat duniawiyah tetapi muttaqin dan manusia berakhlak al-karimah.
Mengenai sumber kedua, al-Hadits (al-Sunnah) perlu dijelaskan bahwa
salah satu hal fundamental orang yang berakhlak al-karimah adalah meng-imani
kepada ke-Rasulan Muhammad SAW, sudah tentu membawa konsekuensi untuk
menerima segala apa yang disampaikan, perilakunya, tindak tanduknya, dan taat
kepadanya (Qardhawi, 1997: 47). Hal itu mengisyaratkan bahwa ajaran-ajaran
moral yang ada dalam Hadits wajib untuk ditiru dan diamalkan oleh umat Islam,
terutama ketauladanan Muhammad SAW sebagai figur sentral umat Islam.
2. Tujuan moral
Tujuan moral Islam pada dasarnya mencakup empat hal yang penting,
menurut Hasan Ayyub (1994: 41), antara lain: pertama, pembinaan akidah yang
benar menurut Islam. Kedua, pemahaman konsep Islam secara mendalam. Ketiga,
pembersihan penyakit jiwa dan pengaruhnya. Dan keempat, yaitu pengkajian dan
pemahaman etis-moral menurut Islam.
Menurut Ahmad Amin (1977: 18) tujuan etika (akhlak) bukan hanya
mengetahui pandangan secara teoritis tentang etika-akhlak, tetapi bertujuan
mempengaruhi dan mendorong kehendak manusia yang mempelajari dan
menyelidiki agar membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan
kesempurnaan, juga memberi faedah kepada sesama manusia. Berdasarkan
pernyataan tersebut, tujuan moral Islam adalah mendorong umatnya untuk berbuat
baik dan berakhlak al-karimah, tetapi perlu dijelaskan bahwa belum tentu dapat
menjadikan semua orang menjadi baik dan berakhlak mulia. Hal itu karena
menurut Ahmad Amin etika-akhlak hanya berkedudukan sebagai dokter. Seorang
dokter dapat menerangkan kepada orang sakit tentang bahaya minuman keras
terhadap tubuh manusia, termasuk merusak jaringan otaknya, kemudian orang
sakit (pasien) tersebut dapat memilih akan menghindari minuman keras atau tidak,
sementara dokter tadi tidak dapat mencegah.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa persoalan
moral adalah persoalan praktis dengan mengedepankan tindakan dan perilaku.
Mengingat hal itu tujuan moral Islam untuk membentuk masyarakat ideal yang
baik, bahagia, dan sejahtera tanpa adanya upaya masyarakat Islam sendiri untuk
mengimplementasikan dan melaksanakan ajaran-ajaran moral yang terdapat dalam
al-Qur'an dan Hadits.
C. Landasan dan Tujuan Moral Budaya Jawa
1. Landasan moral budaya Jawa
Landasan moral orang Jawa, adalah pandangan dunia orang Jawa yang
menjadi way of life yang berasal dari peninggalan pola berfikir dan tradisi-
budayanya Jawa yang disebut konsep kearifan tradisional yaitu nilai-nilai budaya
bermakna universal sepanjang zaman, sebagai kristalisasi normatif kearifan para
pendahulu bangsa (Suratno dan Astiyanto, 2005: xxiii).
Pandangan dunia orang Jawa sebagai landasan moral merupakan
keseluruhan deskriptif tentang realitas, sejauh merupakan suatu kesatuan sehingga
memberikan suatu struktur yang bermakna kepada alam empirisnya. Frans
Magnus Suseno (2001: 83) membedakan empat titik berat atau empat lingkaran
bermakna dalam pandangan dunia Jawa, antara lain: pada lingkaran pertama, lebih
bersifat ekstrovert, yaitu sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan
numinus, (pengalaman religius monotheis) antara alam, manusia, dan Yang
Adikodrati yang keramat yang dilaksanakan dalam ritus, tanpa refleksi eksplisit
terhadap dimensi bathin sendiri, biasanya tercermin di Desa. Lingkaran kedua,
memuat kekuasaan politik sebagai ungkapan pengalaman numinus. Lingkaran
ketiga berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan ke persatuan
dengan Numinus (Manunggal), melalui pengalaman kebatinan, biasanya dihayati
oleh bangsa priyayi mengambil pendapat Geertz (1969: 227- 381). Dan lingkaran
keempat adalah penentuan semua lingkaran pengalaman Ilahiah, oleh taqdir
(Suseno, 2001: 84).
Pada lingkaran pertama, dapat dicontohkan dengan kehidupan petani Jawa
pada mulanya menyadari bahwa alam semesta telah dapat memberikan berkah dan
ketenangan, tetapi juga dapat membawa bencana alam atau ancaman.
Pergulatannya dengan alam telah membantu orang Jawa meletakkan dasar-dasar
masyarakat. Demi untuk penanaman padi yang mencapai panen melimpah,
masyarakat petani dituntut kerjasama (tolong menolong-gotong royong) untuk
menaklukan alam, maka terciptalah kerukunan, keselarasan, dan ketentraman
masyarakat petani. Begitupun dalam upaya agar alam Adi Kodrati dapat
memberikan keselamatan pada masyarakat dan memakmurkan alam, maka
diperlukan sesaji dan ritual slametan (Suseno, 2001: 85-88).
Pada lingkaran kedua, bagi rakyat Jawa, sebelum Islam raja juga dianggap
oleh rakyatnya sebagai penjelmaan Dewa atau yang berasal dari Dewa yang
mempunyai kekuatan linuwih. Dewa Siwa dan Wisnu 56 misalnya, telah dianggap
telah menjelma menjadi Raja Kertarajasa (wafat 1316 M) pendiri kerajaan
Majapahit, diabadikan dalam sebuah patung yang memperlihatkannya sebagai
hari-hara (campuran dua Dewa Wisnu dan Siwa). Hal itu terus berlanjut hingga
masa Islam, bahwa dalam keraton Jawa terdapat simbol keberadaan yang meliputi
alam, manusia, dan Tuhan (Suseno, 2001: 107). Kemudian dikenal dalam
Kerajaan Mataram yang dituliskan dengan gelar Gungbinathara, bahudendha
nyakrawati, berbudi bawa laksana, ambeg adil para marta. 5 (Moedjanto, 1982:
27).
Lingkaran berikutnya, ketiga, tentang dasar Numinus keakuan, menurut
mistik Jawa setiap manusia dapat manunggal dengan dasar Ilahi, karena manusia
berasal dari Sang Ilahi. Tentang permasalahan tersebut dilihat dalam kisah
Dewaruci, pemahaman tentang sangkanparan dan jalan mistik (kebatinan). Kisah
Dewaruci, yaitu kisah seorang putera Pandawa bernama Bima dalam ceritera
Mahabarata menemukan air kehidupan (maqam ketentraman), manunggal dengan
Yang Ilahi, atau kesadaran Bima mencapai maqam kesatuan hamba dengan
Tuhan. Kisah ini menceritakan tentang tercapainya cita-cita Bima mencapai
dimensi realitas hidup yang terdalam wus kawengku ameng sira jagad kabeh
(Suseno, 2001: 116-125) artinya menjadi penguasa alam semesta.
2. Tujuan moral budaya Jawa
Menurut pandangan Jawa kehidupan di dunia ini adalah sementara saja,
ibarat urip mung mampir ngumbe, hal itu berarti terdapat kehidupan yang abadi
sebagai kehidupan yang sebenarnya.
Damardjati Supadjar (2001: 222-225) mengatakan bahwa dunia ini bagi
orang Jawa sekedar terminal, bukan tujuannya, sehingga setelah berhenti sejenak
untuk mampir ngumbe manusia melanjutkan lagi perjalanannya. Berdasarkan
pemikiran tersebut manusia Jawa memiliki pandangan kehidupan dunia sebagai
bagian dari proses panjang (yang tak terhingga) yang disebut kehidupan "abadi".
Mampir ngumbe berarti ada pemikian bahwa telah ada kehidupan sebelum roh
mengisi janin dan ada kehidupan setelah manusia pergi meninggalkan raga.
(Amrih, 2008: 114-115). Mengingat pemahaman dan pemikiran yang fundamental
tersebut kehiduan ini perlu diisi dengan segala tindakan yang baik dan bermanfaat,
yaitu memayu hayuning bawana (melestarikan dan mempercantik keindahan
dunia).
Tujuan moral orang Jawa adalah mencapai keseimbangan, kerukunan, dan
keselarasan serta menjamin kehidupan yang baik (Mulder, 1996: 4).
Keseimbangan dalam moralitas Jawa berarti mengikuti keseimbangan antara
jasmani dan rohani, keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan
sosial, dan mematuhi tata tertib (keteraturan) kosmos (Assiyanto, 2006: 287).
Ketiga tujuan di atas, kerukunan, keseimbangan, dan keselarasan pada
hakekatnya adalah keadaan yang disebut dalam budaya Jawa dengan
kesempurnaan (keadaan) dan katentraman (batin). Kesempurnaan berarti sebuah
keadaan seseorang dapat secara moral memiliki ngelmu (kawruh) dan laku
(praktis) yaitu telah memahami dan sekaligus dipraktekkan, baik dalam ngelmu
kawruh biasa maupun ngelmu sejati aspek batiniah (bersumber dari Tuhan)
(Suhadha, 2008: 86-87).
Ketentraman batin berarti kedamaian, ketenangan, dan perasaan bahagia.
Tentrem ing manah adalah suatu puncak dari rasa syukur, sumeleh, nrima, sabar,
orang nggrangsang (tidak mengumbar nafsu) dan tidak ada paksaan dalam
merasakannya (Endraswara, 2006: 274). Sebagaimana ungkapan cita-cita
masyarakat Jawa tata tentrem karta rahardja (harmonis, damai dan sejahtera lahir-
batin)
Adapun kesempurnaan menurut orang Jawa, figur yang dapat dijadikan
tipologi manusia bijaksana dan memiliki sifat kesempurnaan sebagaimana
tergambar dalam pribadi wayang yaitu Ki Semar Bradanaya atau dewa Ismaya.
Semar adalah lambang kebijaksanaan dengan ajarannya lima prinsip (lima
pandawa sebagai pelindung semua makhluk yang tercipta)
D. Budaya Jawa Dalam Mendidik Moral Anak
Budaya Jawa sebagai wahana pendidikan moral anak, berkaitan budaya Jawa
yang mengutamakan sopan santun (unggah ungguh), tepo selira, ewuh pekewuh antar
manusia dengan manusia, manusia dengan alam. Pendidikan moral anak melalui
budaya Jawa bisa dilakukan melalui :
1. Bahasa
Bahasa Jawa membagi tingkatan berbahasa mulai ngoko, krama dan krama inggil.
Penggunaan Bahasa Jawa ngoko digunakan untuk teman sebaya. Bahasa Jawa
krama biasanya untuk orang pedesaan tingkatannya di atas ngoko dan di bawah
krama inggil. Sedangkan Bahasa krama inggil biasanya dipakai untuk
berkomunikasi dengan orang yang kita hormati, seperti orang tua, guru dan lain
sebagainya.
2. Wayang
Suku Jawa selain bahasa memiliki budaya yaitu wayang. Gunungan dalam
wayang melambangkan keadaan dunia dan isinya (Sutardjo, 2 : 2012). Biasanya
penggunaan gunungan untuk pergantian cerita atau babak. Dalam pewayangan
digambarkan kehidupan manusia di dunia. Orang yang baik di dunia akan menang
dan orang yang jahat dan serakah hidupnya akan tidak baik. Pendidikan moral
yang diambil dari tokoh pewayangan contohnya Yudisthira memiliki sifat sabar,
saling mencintai sesama manusia, jujur dan dermawan, Werkudara memiliki sifat
jujur, bersahaja, Arjuna Kesatria dan suka menolong, Nakula mencintai kejayaan
negara, Sadewa yang jujur, taat, belas kasih.
3. Tata krama
Dalam budaya Jawa apabila anak diajarkan tata krama yang baik pasti memiliki
moral yang baik. Sebagai contoh apabila ada orang tua duduk di bawah yang
muda tidak boleh duduk di atas karena dianggap tidak sopan. Begitu juga saat
melintasi orang tua hendaknya mengucapkan “nyuwun sewu”. Pelajaran dari tata
krama yang diambil adalah orang muda harus menghormati orang tua. Cara
makan dan minum dalam budaya Jawa juga dipelajari, misalkan makan dan
minum tidak boleh bersuara ini mengandung makna pada saat makan sambil
bicara maka akan tersedak yang akan membahayakan kesehatan. Begitu juga saat
makan tidak boleh banyak-banyak. Ini mengandung makna manusia hidup tidak
boleh serakah. Ketika duduk juga diatur tidak diperbolehkan mengangkat kaki ke
kursi karena dianggap tidak sopan. Dalam berbicara budaya Jawa mengajarkan
menghargai orang yang bicara, tidak menyela-nyela orang berbicara karena
dianggap tidak sopan. Adap orang Jawa yang lainnya adalah ketika bertemu
dengan tetangga sebaiknya menyapa, inilah yang menjadi ciri bahwa orang
Indonesia ramah.
4. Mitos
Mitos merupakan nasehat turun temurun dari nenek moyang. Kebenaran mitos ini
juga ada yang terbukti dan hanya ada hanya hisapan jempol. Ada beberapa mitos
dalam budaya Jawa, antara lain sebagai berikut:
 Kalau makan harus dihabiskan jika tidak dihabiskan ayam mati. Ini
mengandung makna bahwa tidak boleh membuang makanan “eman”,
menurut ajaran agama Islam membuang-buang makanan merupakan
perbuatan dosa karena dianggap mubadzir.

 Anak tidak boleh membantah perintah orang tua, kalau membantah kualat.
Mitos ini mengandung makna anak harus berbakti kepada orang tua.
Secara agama juga perintah tidak hanya mitos. Anak yang membantah
perintah orang tua dalam agama Islam dinamakan anak yang durhaka.

 Anak pertama tidak boleh menikah dengan anak ketiga (jilu=siji telu),
anak neptu wage tidak boleh menikah dengan neptu pahing. Dalam
budaya Jawa wage dan pahing memilki watak dasar yang berlawanan dan
pernikahan ini tidak berlangsung lama. Mitos ini mengandung makna
bahwa untuk menjadi pasangan hidup hendaknya memilki sifat yang
saling melengkapi bukan yang berlawanan.

 Anak perempuan dilarang makan di depan pintu karena akan jauh


jodohnya. Hal ini mengandung makna bahwa makan di depan pintu akan
mengganggu orang yang akan lewat.
E. Konsep Pendidikan moral al-Ghazali
Menurut al-Ghazali moral bukanlah perbuatan lahir yang tampak melainkan
suatu kondisi jiwa yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan secara wajar
mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pikiran.
Dari konsep dasar ini maka untuk menilai baik buruk suatu perbuatan moral
tidak bisa dilihat dari aspek lahiriahnya saja, namun juga harus dilihat dari unsur
kejiwaannya. Oleh karena itu perbuatan lahir harus dilihat tujuan melakukannya.
Untuk dapat melihat tujuan dan orientasi pendidikan moral al-Ghazali, perlu
kiranya menjadikan peta wacana pendidikan moral yang berkembang sebagai
parameter. Bila dianalisis, wacana pendidikan moral yang berkembang setidaknya
dapat dipetakan menjadi lima jenis orientasi atau kecenderungan (Mahmud Arif,
1999: 50).
Pertama, pendidikan moral yang berorientasi pada pembiasaan diri dengan
prinsip-prinsip moral beberapa lama sampai mentradisi. Kedua pendidikan moral
yang berorientasi pada pembentukan kesadaran dan kepekaan moral (Basirah
akhlaqiyah) seseorang sehingga ia mampu membedakan antara perilaku baik dan
perilaku buruk. Ketiga, pendidikan moral yang berorientasi pada pengajaran prinsip-
prinsip moral dengan cara indoktrinasi-imperatif. Keempat orientasi spiritual-sufistik
yang memandang pendidikan moral tidak sekedar dengan tiga orientasi diatas
melainkan lebih dari itu, penyucian diri dari segala kehinaan dan dorongan-dorongan
jahat (takhalli) serta penghiasan diri dengan keutamaan-keutamaan moral lahir batin
(tahalli). Kelima pendidikan moral yang berorientasi pada pembentukan kesiapan
moral, sehingga transfer abilitas pada ragam perilaku moral dapat terjadi dengan
mudah atas kemauan diri sendiri
Kedua, kecenderungan pragmatis. Kecederungan ini tampak dalam karya
tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulang penilaiannya terhadap ilmu
berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan di dunia, maupun
kehidupan di akhirat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral/non syariat yang tidak
dipergunakan pemiliknya pada hal-hal yang bermanfaat merupakan ilmu yang tak
bernilai.
Bab III
PENUTUP
A. Kesimpulan
pendidikan moral adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
tentang tentang baik buruknya yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, akhlak, budi pekerti dan susila.
Ukuran moral bagi manusia bukanlah pada kepercayaan politeistik dengan
mencampur aduk keberhasilan dan sukuistik, bukan menyembah Tuhan yang dicipta
manusia (patung-patung), dan tidak ada derajat yang paling tinggi diantara manusia,
semua telah dibebaskan dalam Keesaan Allah.
Menurut Ahmad Amin (1977: 18) tujuan etika (akhlak) bukan hanya
mengetahui pandangan secara teoritis tentang etika-akhlak, tetapi bertujuan
mempengaruhi dan mendorong kehendak manusia yang mempelajari dan menyelidiki
agar membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan, juga
memberi faedah kepada sesama manusia.
Landasan moral orang Jawa, adalah pandangan dunia orang Jawa yang menjadi
way of life yang berasal dari peninggalan pola berfikir dan tradisi-budayanya Jawa
yang disebut konsep kearifan tradisional yaitu nilai-nilai budaya bermakna universal
sepanjang zaman, sebagai kristalisasi normatif kearifan para pendahulu bangsa
Mengingat pemahaman dan pemikiran yang fundamental tersebut kehiduan ini
perlu diisi dengan segala tindakan yang baik dan bermanfaat, yaitu memayu hayuning
bawana (melestarikan dan mempercantik keindahan dunia).
Sebagaimana ungkapan cita-cita masyarakat Jawa tata tentrem karta rahardja
(harmonis, damai dan sejahtera lahir-batin) Adapun kesempurnaan menurut orang
Jawa, figur yang dapat dijadikan tipologi manusia bijaksana dan memiliki sifat
kesempurnaan sebagaimana tergambar dalam pribadi wayang yaitu Ki Semar
Bradanaya atau dewa Ismaya.
Orang yang baik di dunia akan menang dan orang yang jahat dan serakah
hidupnya akan tidak baik.
Menurut al-Ghazali moral bukanlah perbuatan lahir yang tampak melainkan
suatu kondisi jiwa yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan secara wajar
mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pikiran.
DAFTAR PUSTAKA
Santi Widiyanti, 2013, Efektivitas Penerapan Pendidikan Moral Dalam Membentuk Disiplin
Moral, Jurnal PPKn.Vol. 1. No. 1. ISSN 2303-9412
Tim Redaksi. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Mustika, Indriyana Dwi. "Budaya Jawa Sebagai Wahana Pendidikan Moral
Anak." Citizenship Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan 2.1 (2013): 30-43.
Ayyub, Hasan, al-Suluhul Ijtima’i fil Islam, Etika Islam Menuju Kehidupan yang Hakiki,
Terj. Ahmad Qasim, Bandung: Trigenda Karya, 1994.
Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), Terj. Farid Ma’rf, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Islam, A. Prinsip-Prinsip Ajaran Moral. "BAB II AJARAN MORAL DALAM ISLAM DAN
BUDAYA JAWA."
Suratno dan Astiyanto, Gusti Ora Sore, 65 Mutiara Nila Kearifan Budaya Jawa, Yogyakarta:
Adiwacana, 2005.
Supadjar, Damardjati, Nawang Sari, Butir-butir Renungan Agama, Spiritual, dan Agama,
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Supardi, Didi, and Abdul Ghofar. "Konsep Pendidikan Moral Imam Al-Ghazali Dan
Relevansinya Dengan Pendidikan Agama Islam Di Indonesia." Al-Tarbawi Al-
Haditsah: Jurnal Pendidikan Islam 1.2 (2017).

Anda mungkin juga menyukai