Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HADIS TEMATIK PENDIDIKAN

HADIS TENTANG PENDIDIKAN MASYARAKAT

Disusun untuk memenuhi tugas-tugas Magister Pendidikan Agama Islam Mata Kuliah Hadis
Tematik Pendidikan

Disusun oleh :

Khairunnisa Harahap
NIM : 0331213034
Pauli Anggraini
NIM : 0331213050
(Kelompok IX)

Dosen Pengampu : Dr. Sulaiman Muhammad Amir, LC, M.A.

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
‫بسم ا هلل الرحمن ا لرحيم‬

Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh


Puji syukur pemakalah ucapkan kepada Allah SWT yang telah mencurahkan seluruh
nikmat-Nya sehingga pemakalah mampu menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Hadis
Tentang Pendidikan Masyarakat” ini dengan tepat waktu.
Shalawat dan salam juga pemakalah ucapkan kepada Rasul junjungan alam Rasulullah
saw. Semoga dengan senantiasa bersalawat kita termasuk ummatnya yang kelak mendapatkan
syafaatnya kelak. Dalam makalah ini penulis berupaya menyajikan materi yang berkaitan
dengan silabus yang telah diberikan oleh dosen pengampu mengenai hadis mengenai
pendidikan masyarakat. Dalam makalah ini nantinya akan dipaparkan hadis apa yang berkaitan
dengan judul, serta bagaimana implikasi hadis tersebut dalam masyarakat.
Dengan segala kerendahan hati pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Karenanya kritik dan saran sangat kami harapkan bagi pengembanagan makalah
selanjutnya nanti. Penulis menyadari bahwa menyusun suatu karya ilmiah bukanlah merupakan
suatu pekerjaan yang mudah dan sudah barang tentu akan menemui berbagai kesulitan dalam
berbagai hal. Maka dari itu, pemakalah ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang
mendukung secara moril maupun materil.
Sebagai penutup kalam tiada untaian kata yang dapat pemakalah ucapkan selain dari pada
ucapan terimakasih dan doa semoga setiap amalan Allah balas dengan pahala dan setiap
perbuatan bernilai kebaikan.

Medan, 23 Oktober 2021

Pemakalah

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. .. i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 3
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
C. Tujuan Pembahasan ....................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 5


BAB III PENUTUP ................................................................................................... 18
A. Kesimpulan .................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Islam telah mengatur ummatnya secara detail dan terperinci. Segala ini kehidupan umat
muslim telah dijabarkan bagaimana sistematikanya dalam Al-Qur’an maupun hadis. Islam
merupakan satu-satunya agama yang mengatur secara detail setiap urusan umatnya dengan
sangat kompleks dan tersistematika dengan baik. Sesungguhnya Islam telah memperhatikan
masyarakat sebagaimana dia memperhatikan individu, karena masing-masing dari keduanya
saling rnempengaruhi. Tidak lain masyarakat itu kecuali sekumpulan dari individu-individu
yang terikat dengan ikatan tertentu, sehingga kebaikan individu juga berarti kebaikan
masyarakat. Keberadaan individu dalam masyarakat bagaikan batu bata dalam sebuah
bangunan, dan sebuah bangunan tidak akan baik apabila batu batanya rapuh.
Sebaliknya, seseorang tidak akan menjadi baik kecuali berada dalam lingkungan
masyarakat yang kondusif bagi perkembangan kepribadiannya. Para anggotanya berinteraksi
secara benar serta berperilaku yang positif. Masyarakat merupakan lahan yang di dalamnya
tumbuh benih-benih individu. Mereka tumbuh dan berkembang dalam ekosistemnya,
memanfaatkan langit, udara dan mataharinya. Dan tidaklah hijrah Nabi SAW ke Madinah
kecuali dalam kerangka usaha untuk membangun masyarakat yang mandiri yang terpancang di
dalamnya aqidah Islam, nilai-nilai, syi'ar-syi'ar dan aturan-aturannya.
Sungguh kita telah merasakan pada zaman kita ini mihnah (cobaan), dengan adanya
seorang (individu) Muslim dalam masyarakat yang tidak menjadikan Islam sebagai pedoman
hidupnya, sehingga ia memusuhi syari'atnya dan mengusir da'wahnya. Seseorang yang hidup
di lingkungan seperti ini senantiasa dalam keresahan, kegoncangan dan kebingungan, sebagai
akibat dari pertentangan/perbedaan yang jelas antara apa yang diyakini, yaitu berupa perintah
dan larangan agama dari satu sisi, dengan apa yang dihadapi berupa tekanan pemikiran,
perasaan, tradisi, sistem dan undang-undang yang bertentangan dengan arahan-arahannya
Menghadapi dan mengatasi berbagai masalah di atas, bangsa Indonesia dituntut untuk
mampu memanfaatkan segenap potensi yang ada guna membina manusia seutuhnya melalui
usaha pendidikan yakni pendidikan akhlak 1. Karena pendidikan akhlak merupakan suatu
pendidikan yang memuat nilai-nilai dari sifat-sifat kebaikan yang agung dan terpuji sehingga
tidak menjadikan hina bagi pelakunya, namun setan senantiasa merusak akal dan agamanya,

1Madyo Eko Susilo,RB. Kasihadi, Dasar-DasarPendidikan(Semarang: Effhar offset,1990), H.67

3
jika dia tidak bisa membentengi dirinya dengan wahyu (ilmu agama) Berdasarkan latar
belakang tersebut maka pada makalah ini akan berupaya menguraikan mengenai hadis
pendidikan masyarakat yang akan berkaitan isisnya nanti mengenai bagaimana sebenarnya
islam mengatur cara bermasyarakat yang baik sesuai aturan Allah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka pemakalah membuat beberapa rumusan
masalah yang akan disajikan dalam makalah ini antara lain :
1. Bagaimana pendidikan akhlak bermasyarakat dalam perspektif hadis nabi?
2. Bagaimana islam mengatur dalam pendidikan bermasyarakat sesuai dengan ketentuan
hadis?
3. Bagaimana esensi bermasyarakat yang baik sesuai dengan hadis Nabi.

C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1. Untuk dapat mengetahui dan memahami bagaimana pendidikan akhlak bermasyarakat
dalam perspektif hadis nabi.
2. Untuk mengetahui bagaimana islam mengatur dalam pendidikan bermasyarakat sesuai
dengan ketentuan hadis
3. Untuk memahami bagaimana esensi bermasyarakat yang baik sesuai hadis Nabi

4
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pendidikan Akhlak Bermasyarakat dalam Perspektif Hadis Nabi


Manusia merupakan makhluk sosial, makhluk yang berubah dan bertumbuh, saling
membutuhkan dan saling mempengaruhi. Hubungan manusia merupakan perbuatan yang harus
dilakukan agar jalinan silaturahmi semakin harmonis. Petunjuk utama bersilaturahmi setelah
al-Qur‟an adalah hadis2 nabi Muhammad saw, hadis berfungsi sebagai penjelas dan penafsir
terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang bersifat umum dan sebagai sumber hukum, hadis Nabi saw.,
juga merupakan sumber kerahmatan, sumber keteladanan atau sumber ilmu pengetahuan. 2
Abdul Fattah Jalal menyatakan bahwa pendidikan merupakan tahapan kegiatan untuk
mengubah sikap dan prilaku seseorang melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan
Islam juga merupakan proses mempersiapkan manusia supaya hidup sempurna dan bahagia,
mencintai tanah air, tegas jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur
pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya, baik lisan
maupun tulisan.
Menurut Ahmad D. Marimba mengartikan Pendidikan Islam adalah sebagai bimbingan
jasmani dan rahani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.3
Syahminan Zaini menyatakan bahwa pendidikan Islam sebagai pengembangan fitrah
manusia atas dasar ajaran-ajaran Islam, yang mana dengan dikembangkannya fitrah-fitrah
tersebut dengan harapan manusia dapqat hidup secara sempurna lahir dan batin. Dengan
demikian, pendidikan Islam adalah usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran Islam
agar terwujud kehidupan manusia yang makmur dan bahagia. 4
Islam menempatkan manusia itu tidak saja dalam dimensi individu, akan tetapi juga
dalam dimensi sosial sebagai anggota sebuah masyarakat. Oleh karena itu tugas dan kewajiban
syar'i disampaikan kepadanya dalam bentuk jamaah, yakni "Yaa ayyuhalladziina aamanuu,"
bukan dalam bentuk mufrad (sendirian) yaitu "Yaa ayyuhal mu'min ..." Demikian itu karena
kewajiban dalam Islam memerlukan sikap saling memikul dan saling menanggung dalam
pelaksanaannya, di mana sama antara ibadah dan mu'amalah.

2 Jamil Azzaini, ON (Cet. IX: Ujung Beru/Bandung; Mizan, 2014), h. 10.


3
Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat pendidikan islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1986) h. 23.
4
Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta: Karya Mulya,1986), h.4.

5
Apabila kita melihat suatu kewajiban seperti shalat, maka kita dapatkan bahwa ia tidak
mungkin dilaksanakan sebagaimana diinginkan oleh Islam kecuali di masjid. Di sana
masyarakat saling bahu membahu dalam menegakkannya. Muadzin yang memberitahu
manusia mengenai waktu shalat, imam yang mengimami mereka, khatib yang memberikan
khutbah kepada mereka dan seorang mu'allim (guru) yang mengajari mereka. Ini semuanya
tidak mungkin dilakukan secara sendirian, tetapi harus diatur secara kolektif.
Masyarakat Islam merupakan masyarakat yang berbeda dengan masyarakat mana pun,
baik keberadaannya maupun karakternya. Ia merupakan masyarakat yang Rabbani, insani,
akhlaqi dan masyarakat yang seimbang (tawazun). Ummat Islam dituntut untuk mendirikan
masyarakat seperti ini, sehingga mereka bisa memperkuat agama mereka, membentuk
kepribadian mereka dan bisa hidup di bawah naungannya dengan kehidupan Islami yang
sempurna. Suatu kehidupan yang diarahkan oleh aqidah Islamiyah dan dibersihkan dengan
ibadah, dituntun oleh pemahaman yang shahih, digerakkan oleh semangat yang menyala,
terikat dengan moralitas dan adab Islamiyah, serta diwarnai oleh nilai-nilai Islam. Diatur oleh.
hukum Islam dalam perekonomian, seni, politik dan seluruh segi kehidupannya.
Masyarakat Islam bukanlah masyarakat yang hanya menerapkan syari'at Islam pada
bidang hukum saja, terutama di bidang pidana dan perdata sebagaimana difahami oleh
mayoritas ummat. Yang demikian ini merupakan pemikiran dan praktek yang juz'iyah (parsial),
bahkan mengarah pada berbuat zhalim terhadap masyarakat, dengan memfokuskan seluruh
potensi yang bermacam-macam dalam menegakkan satu pilar di antara banyak pilar yaitu
hukum, dan bahkan dalam satu bidang saja dari hukum tersebut yaitu pidana atau perdata.
Untuk itu penting sekali bagi kita untuk dapat memberikan gambaran yang terang,
tentang komponen-komponen utama dalam membentuk masyarakat yang kita idamkan. Telah
berdiri di sini berbagai gerakan dan jamaah Islam di berbagai penjuru dunia Arab ataupun dunia
Islam untuk ikut berkiprah ke arah itu, sementara mereka menempati masyarakat dimana
bercampur di dalamnya antara Islam dan jahiliyah. Baik jahiliyah yang ditransfer sebagai
implikasi dari penjajahan (imperialisme), atau jahiliyah sebagai warisan dari sisa-sisa masa-
masa kemunduran, dimana ummat Islam tidak benar dalam memahami agamanya dan oleh
karenanya tidak benar pula dalam menerapkannya, baik mereka sebagai penguasa atau mereka
sebagai rakyat.
Islam mengatur tiap lini umatnya baik secara umum maupun menyeluruh. Tidak ada
pengecualian dalam islam melainkan padanya terdapat suatu kebaikan yang terdapat
didalamnya bagi setiap umat yang menjalankan aturannya dengan benar. Beberapa contoh
hadis yang dapat berkaitan dengan pendidikan masyarakat antara lain :
6
a. Hadis Mengenai Keutamaan Menyayangi Saudara

ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫سلَّ َم‬


َ ِ ‫ع ِن النَّبِي‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫ خَا ِد ُم َرسُ ْو ِل هللا‬،ُ‫ع ْنه‬
َ ُ‫ي هللا‬
َ ‫ض‬ ْ ‫ع ْن أَبِي َح ْمزَ ةَ أَن‬
ِ ‫َس ب ِْن َمالِكٍ َر‬ َ
]‫ال يُؤْ مِ ُن أَ َحدُكُ ْم َحتَّى يُحِ بَّ ألَخِ ْي ِه َما يُحِ بُّ ِلنَ ْفسِه [رواه البخاري ومسلم‬ َ : ‫سلَّ َم قَا َل‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ

Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak beriman
seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya (sesama muslim) seperti ia
mencintai dirinya sendiri”(Bukhari no. 13, Muslim no. 45).5

Pada hadis diatas tertuliskan kalimat “saudaranya” tanpa kata yang menunjukkan
keraguan didalamnya. Dalam hadis shahih muslim disebutkan “saudaranya atau tetangganya”
dengan kata yang menunjuk keraguan. Para ulama berkata bahwa “tidak beriman” yang
dimaksudkan dalam kalimat itu ialah imannya yang tak sempurna sebab tidak memiliki sikap
menyayangi saudaranya sebagaimana ia menyayangi dirinya sendiri.
Kalimat ini bukan bermakna sama sekali tidak ada iman, tetapi menunjukkan kurang
sempurnannya iman. sampai dia juga mencintai saudara seaqidahnya, bukan semata-mata
saudara senasab, semarga, sesuku, dan sebangsanya. Persaudaraan di sini adalah persaudaraan
yang diikat oleh kalimat Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah. Bukan pula persaudaraan
karena ikatan kerja, almamater, dan semuanya, kecuali ikatan tali agama Allah Ta’ala.
Intinya adalah adanya iman menyebabkan lahirnya Al Mahabbah (cinta), tidak ada
iman dalam diri mereka maka tidak ada cinta kepada mereka. Perbuatan ini dianggap sulit
sebab karena hanya sedikit orang yang dapat melakukannya.
Pemahaman hadis ini secara global bermakna bahwa hadis ini mengedepakan esensi
sikap Mahabbah (cinta) dan persaudaraan antar sesame muslim satu dengan muslim lainnya.
Sebab perumpamaan muslim dengan muslim lainnya ialah satu tubuh. Satu tubuh yang
dimaksud jika tubuh yang satu sakit maka yang lain akan merasa sakit juga.

Oleh karena itu allah berfirman dalam surah Al-Hujarat ayat 10, yaitu :
َ‫ّللا لَعَلَّكُ ْم ت ُ ْر َح ُمون‬
َ َّ ‫ص ِل ُحوا إِ ْخ َوة بَيْنَ أَخ ََو ْيكُ ْم َواتَّقُوا‬
ْ َ ‫ا ْل ُمؤْ مِ نُونَإِنَّ َما فَأ‬

7
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya
kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujurat : 10).5

Kadar mencintai saudara sesama muslim harus sama dengan mencintai diri sendiri.
Bentuk aplikasi dari hal ini adalah adanya perasaan at-takaaful (merasa senasib
sepenanggungan) dengan saudaranya. Kita ikut sakit jika saudara kita disakiti, dan kita ikut
berbahagia dengan kebahagiaan mereka.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa secara zahir, hadits ini menuntut adanya
kesetaraan antara mencintai diri sendiri dan saudara kita. Tetapi, kenyataannya itu tidak
terjadi, kebanyakan manusia lebih mementingkan dirinya dibanding orang lain. Padahal
harusnya seorang mukmin harus mencintai saudaranya seperti cintanya kepada dirinya sendiri
jika kebaikan juga dia peroleh. Maka, jika kita bahagia karena sesuatu hal, maka bahagiakanlah
dia dengan hal itu. Jika kita tidak menyukai satu hal, maka jauhilah dia dari hal itu. Kita tidak
suka dihina, dibohongi, difitnah, dan digunjing, maka saudara kita juga demikian, maka jangan
menghina, membohongi, memfitnah, dan menggunjing mereka. Kita suka jika manusia
tersenyum, sopan, ramah, menyapa, dermawan terhadap diri kita, maka demikian pula mereka
juga menyukai hal-hal ini.
Hadis ini dinukil dari Imam Adz-Dzahabi bercerita tentangnya (sang rawi hadis). Nama
aslinya adalah Anas bin Malik bin An Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Haram bin Jundub
bin ‘Aamir bin Ghanam bin ‘Adi bin An Najar. Dia seorang mufti, qari’, muhaddits, riwayatul
Islam, Al-Anshariy, Al-Khazrajiy, An-Najaariy, Al-Madiniya, pelayan Rasulullah Shallallahu
‘Alahi wa Sallam merupakan kerabat nabi, muridnya, pengikutnya, dan termasuk sahabat yang
wafatnya terakhir.
Beliau mengambil ilmu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga dari Abu Bakar,
Umar, Utsman, Usaid bin Hudhair, Abu Thalhah, Ibunya Ummu Sulaim binti Milhan, bibinya
Ummu Haram, dan suami Ummu Haram yaitu ‘Ubadah bin Ash Shaamit, Abu Dzar, Malik bin
Sha’sha’ah, Abu Hurairah, Fathimah anak Nabi, dan banyak lagi.
Dia menghasilkan tokoh-tokoh besar, di antaranya Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Asy
Sya’bi, Abu Qilabah, Mak-hul, Umar bin Abdul ‘Aziz, Tsabit Al Banani, Bakr bin Abdullah
Al Muzani, Az Zuhri, Qatadah, Ibnu Al Munkadir, Ishaq bin Abdullah bin Abu
Thalhah, Abdul Aziz bin Shuhaib, Syu’aib bin Al Habhaab, ‘Amru bin ‘Aamir Al Kufiy,

5
KEMENAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2006).

8
Sulaiman At Taimi, Hamid Ath Thawil, Yahya bin Sa’id Al Anshari, Katsir bin Salim, ‘Isa bin
Thahman, dan ‘Isa bin Syaakir.
Pengarang At Tahdzib menyebutkan bahwa ada 200 orang yang meriwayatkan dari
Anas. Anas bin Malik menceritakan, ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di
Madinah, beliau baru berusia sepuluh tahun, dan ketika Nabi wafat beliau berusia dua puluh
tahun. Imam Adz Dzahabi menguatkan bahwa Anas bin Malik lahir sepuluh tahun sebelum
hijrah.
Sejak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di Madinah hingga wafat, Anas
selalu bersamanya dengan pertemanan yang begitu sempurna. Beliau ikut berjihad bersamanya,
dan ikut pula berbai’at di bawah pohon. Al Anshari menceritakan bahwa ketika
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar menuju Badr, Anas menjadi pelayannya saat masih
kanak-kanak.
Manusia berbeda pendapat kapan tahun wafatnya. Ma’mar, dari Humaid, mengataka
bahwa Anas wafat tahun 91 Hijriyah. Demikian juga menurut catatan Qatadah, Al Haitsam bin
‘Adi, Al Haitsam bin ‘Adi, Sa’id bin ‘Ufair, dan Abu ‘Ubaid. Ma’an bin ‘Isa meriwayatkan,
dari anak Anas bin Malik, bahwa beliau wafat tahum 92 Hijriyah.

b. Bertamu Dan Menerima Tamu

ٍ ِ‫يدَعنَاَِِبَسع‬
َ َ‫يدَاخلُ ْد ِريَق‬ ٍ ِ ‫يدَبنَخصي َفهَعنَبس ِرَبن‬ ِ ‫حدَّثَنَاَعلِىَبن‬
ََ‫ال‬ َ َ ‫َسع‬َ ُ ْ ُ َ َ َ ُ ُ ْ ُ ‫َحدَّثَنَاَيَِز‬
َ ‫اَس ْفيَا ُن‬
ُ َ‫َهللاَحدَّثَن‬
َ ‫َعبد‬ َ ُ ْ ٌّ َ َ
ِ ْ‫سَاالَن‬
ِ ِ‫ََمَال‬ ٍ ِ‫َََمل‬
َ‫َعلَىَعُ َم َرَثَََل اًثَفَلَ ْمَيُؤذَ ْن‬
َ ‫ت‬َ ْ‫َاستَاذَن‬
ْ ‫ال‬َ ‫ورَفَ َق‬
ٌ ُ‫َم ْذع‬
َ ُ‫وسىَ َكاَنَّه‬
َ ‫وَم‬ َ َ‫صا ِرَاذ‬
ُ ُ‫َجاءََاََب‬ َ َ ‫س َِم ْن‬ َْ ‫نت َِِف‬
ُ ‫ُك‬
َ‫ليه ََو َس ََّل َمَاِذَا‬
ِ ‫ولَهللاَصلّىَهللاَع‬
َ َ ُ ‫ال ََر ُس‬ ُ ‫تثَاستَاذَ َنَثَََل اًثَفَلَ ْمَيُؤذَ ْن َِِلََفَ َر َج ْع‬
َ َ‫ت ََوق‬ ْ ْ‫كَقَُل‬
َ ‫َم َامنَ َع‬
َ ‫ال‬ ُ ‫ِِلََفَ َر َج ْع‬
َ ‫تََفَ َق‬

)َ‫استَاذَ َنَاَ َح ُد ُك ْمَثَََلا اًثَفَلَ ْمَيُؤذَ ْنََلَهَُفَلْ ََْيِج ُع(رواهَالبخاري‬


ْ

Terjemahan hadis :
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdillah, telah menceritakan
kepada kami Sufyān, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Khuṣaifah dari
Busr bin Sa’id dari Abi Sa’id al-Khudri berkata, Aku berada di majelis dari
majelis-majelis Anṣar, tiba-tiba Abu Musa datang seperti orang yang ketakutan lalu
ia berkata aku meminta izin (masuk rumah) Umar sebanyak tiga kali, namun dia
tidak mengizinkan saya lalu aku kembali, lalu Abi Sa’id bertanya kepadanya, apa
yang menyebabkan ia melarangmu?. Aku menjawab, aku meminta izin sebanyak
tiga kali tapi ia tidak mengizinkan-ku, lalu aku kembali. Rasulullah SAW bersabda:
“Apakah salah seorang di antara kalian meminta izin sebanyak tiga kali lalu ia
(tuan rumah) tidak mengizinkan masuk, maka hendaklah ia kembali”.

9
Menurut ijma’ ulama bahwa meminta izin itu disyariatkan sesuai dalil al-Qur’an dan
as-Sunnah yang menjelaskan term tersebut. Adapun sunnahnya seseorang mengucapkan salam
dan meminta izin masuk sebanyak tiga kali kemudian dikumpulkan antara salam dan izin
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur‟an. Namun mereka berselisih pendapat,
apakah disunahkan mendahulukan salam lalu meminta izin?. Atau mendahulukan izin lalu
salam yang benar sebagaimana sunnah. Menurut para Muhaqqih bahwa dalam hal masuk
rumah ada tiga yang harus diperhatikan yaitu; pertama, mendahulukan salam dengan
mengucapkan “Assalamu‟alaikum” dan bertanya apakah aku boleh masuk. Kedua, meminta
izin terlebih dahulu. Ketiga, pendapat yang terpilih dari al-Mawardi dan para pengikut kami
adalah jika sudah terjadi permintaan izin kepada tuan rumah maka hendaklah sebelum masuk
rumah, meminta izin terlebih dahulu kemudian salam.6
Menurut Ibnu Baṭal bahwa batasan mengucapkan salam bagi setiap orang yang bertamu
adalah tiga kali sebagaimana hadis tersebut. Jika lebih dari tiga kali maka tidak boleh memaksa
masuk rumah dan sebaiknya pulang. Inilah pendidikan akhlak yang diajarkan Nabi yang di
dalamnya mengandung hikmah yang sangat berharga bagi umatnya.
Selanjutnya jika seseorang kedatangan tamu baik dari kerabatnya yang dekat atau jauh,
tetangga dekat atau jauh, maka hendaklah ia memuliakan tamunya, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW :
ََ‫صَعَنََاَبَيَحَصَينَََعَنََاَبَيََصَالَحََعَنََاَبَيََهَرَيَرََةقَالََقَالََرَسَولََللا‬
َ َ‫وَالحَو‬
َ َ‫يدَحَ َدثَناَاَب‬
َ َ‫اَقتَيَبَ َهَبَنََسَع‬
َ ‫حَدَثَن‬
َ‫اللَوَاليَوَمََالخَرَفَليَكَرَ َم‬
َ َ‫الخَرََفَلَيَ َؤذََجَارََهَوَمَنََكَانََيَؤَمَنََب‬
َ ََ‫اللَوَ َاليَوَم‬
َ ‫نَكَانََيَؤَمَنَََب‬
َ َ‫سلَمََم‬
َ َ‫صَلَىىَللاَعََليَهََو‬
)‫صمَتََ(رواهَالبخري‬
َ َ‫اللَواليَوَ َمَالخَرَفَ َليقَلََخَيَرَاَاَوََلَي‬
َ َ‫ضَيَفَ َهَوَمَنَََكَانََيَؤَمَنََب‬

Terjemahan hadis :
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan kepada
kami Abu Ahwas dari Abu Ḥusain dari Abu Ṣalih dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW
bersabda: ”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah
menyakiti tetangganya, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
hendaklah memulyakan tamunya dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
maka hendaklah berkata yang baik atau diamlah.”

Hadis ini memberikan penjelasan bagi ummat manusia bahwa orang beriman kepada
Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya. Hal ini menunjukan ukuran keimanan
seorang muslim. Dengan kata lain, kualitas seorang Muslim bisa diukur ketika bisa dan
tidaknya memuliyakan dan menjamu tamu sesuai batasan yang disyariatkan. Menerima dan

6Yaḥya bin Sharf bin Mari al-Nawawi, Al-Manhaj Sharh Ṣaḥiḥ Muslim al-Nawawi (Beirut: Dar al Ihya

al-Turath al-Arabi, 1392), h. 130.

10
menjamu tamu itu dibatasi tiga hari dan setelahnya sedekah dan tidak halal baginya untuk
mempersilahkan tamunya tinggal di rumah hingga ia mempersilahkan tamunnya untuk pergi.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

‫عاهُ قَ ْلبِي النَّبِي‬ َ ‫سمِ َع اُذُن‬


َ ‫َاي َو َو‬ َ ‫يح ال ُخزَ عِي ِ قَا َل‬
ٍ ‫ع ْن اَبِ ْي ش َِر‬ ُّ ‫سعِيد ال َم ْقبَ ِر‬
َ ‫ي‬ َ ‫الو ِل ْي ِد َحدَّثَنَا لَيْتُ َحدَّثَنَا‬
َ ‫َحدَّثَنَا اَبُو‬
‫الضيَافَةُ ثَ َلثَةُ اَيَّ ِام َجائِزَ تُهُ قِي َل َما َجائِزَ تُهُ قَا َل يَوم َولَيلَة‬ َ ‫علَيه َو‬
ِ ‫سلَ َم يَقُ ْو ُل‬ َ ُ‫صلىى هللا‬
َ

Terjemahan Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Walid, telah menceritkan kepada
kami Laith, telah menceritakan kepada kami Sa’id al-Maqbari dari Abi Shuraih al-Khaza’i
berkata, kedua telingaku mendengar dan hatiku memperhatikan Nabi SAW bersabda:
menjamu tamu itu tiga hari Ja’izah-nya. Dikatakan apa yang dimaksud Ja’izah-nya itu?.
Beliau menjawab, siang hari dan malam hari”.

Hadis tersebut menjelaskan bahwa bertamu itu hanya tiga hari, namun dalam hal hadis
lain disebutkan lebih dari tiga hari adalah sedekah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi
Muhammad SAW, “Bertamu adalah tiga hari dan selebihnya adalah sedekah”.
Ibnu al-Jauzi menjelaskan bahwa kemuliaan seseorang adalah ketika dia memuliakan
tamu dengan mengharap ridha Allah dan jamuan hidangan yang dihidangkan merupakan
sesuatu yang halal. Namun jika yang dihidangkan makanan haram maka dia tidak akan
mendapatkan pahala dari Allah. Maka khamr atau sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah
dihidangkan kepada tamunya niscaya keduanya akan datang pada hari kiamat dalam keadaan
digantungkan seperti ini dan itu dan dilaknat dengan ini dan ini. Keduanya datang berjalan di
atas shirat dan masing-masing dari mereka saling mencela saudaranya dengan mengatakan
Allah telah melaknat-mu.7
Perintah dalam hadis tersebut para ulama berbeda pendapat sesuai dengan tempatnya,
ada yang mengatakan farḍu ain dan ada pula yang memaknai farḍu kifayah. Terlepas dari
semua itu, memuliakan tamu termasuk akhlak yang mulia dan sunnah Rasul.

c. Menjaga Hubungan Baik dengan Tetangga

7Ibnu al-Jauzi, Bustān al-Wa‟izin wa Riyaḍ al-Sami‟i (Beirūt: Muasasah al-Kutub al-Thaqafiyah,

1998), h. 49.

11
ِ‫س َّل َم قَا َل َوهللا‬ َ ‫صلَّىى هللا‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َ ِ‫ْح اَن النَّب‬
َ ‫ي‬ ٍ ‫ع ْن اَبِ ْي ش َُري‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫سعِي ٍد‬ ٍ ْ‫ي َحدَّثَنَا ْب ُن اَبِي ِذئ‬
َ ‫ب‬ َ ‫اص ُم ْب ُن‬
ٌّ ‫ع ِل‬ ِ ‫ع‬َ ‫ؤ‬
ُ ‫(ر َو‬
)‫اهث البُخ َِري‬ َ ‫َاليُؤمِ ُن َوهللاِ َاليُؤمِ ُن َوهللاِ َاليُؤمِ ُن َو َم ْن يَا َرسُو َل هللا قَا َل الذِي َاليَامِ ُن َج‬
َ ‫ارهُ بَ َوايقَه‬

Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Aṣim bin Ali telah menceritakan kepada kami Ibnu
Abi Dhi’b dari Sa’id dari Abi Shuraih bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Demi Allah tidak
beriman, demi Allah tidak beriman demi Allah tidak beriman. Dikatakan siapa ya Rasulullah?.
Beliau menjawab, orang yang tidak merasa aman tetangganya akan akan gangguannya.”8

Dalam hadis ini Nabi Muhammad SAW bersumpah untuk agar orang beriman tidak
mengganggu atau membuat resah tentangga karena orang menyakiti tetangga tidak disebut
beriman sampai beliau menguatkan dengan sumpah dan mengulanginya sebanyak tiga kali.
Dengan kata lain, seseorang yang mengganggu tetangganya tidak memiliki tingkatan derajat
keimanan yang sempurna sehingga seharusnya bagi setiap orang mukmin untuk berhati-hati
melakukan sesuatu yang membuat tetangganya tidak aman, meninggalkan perbuatan yang
dilarang Allah dan berusaha melaksanakan perbuatan yang diridai-Nya. Perbuatan membuat
tidak aman tetangga menyebabkan tetangganya merasa khawatir akan keamanan dirinya,
seperti perbuatan licik, khianat, zalim dan memusuhi baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Orang yang menjadikan tetangganya merasa terganggu atas kemaksiatan yang dilakukan oleh
seseorang yang mengakibatkan ia tidak akan masuk Surga, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW: ”Orang yang mengganggu tetangganya tidak akan masuk Surga.
Dalam hadis lain Nabi Muhammad SAW memberikan ancaman bahwa orang yang
menzalimi dan menipu tetangganya tidak akan masuk surga. Hal ini juga menunjukan
pengharaman terhadap umat Islam untuk tidak menyakiti atau mengganggu tetangganya,
sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Muslim dengan bab“Bab Bayani taḥrimi Idha’ al-
Jari”. Solusi tepat dalam mengatasi dan memecahkan masalah tersebut, Rasulullah
mengajarkan ummatnya untuk menjaga lisan dan perbuatan sehingga selamat dari perbuatan
yang mengganggu tetangganya yang sama-sama Muslim.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Orang muslim yang selamat
adalah orang yang selamat dari lisan dan tangannya (perbuatannya) dan meninggalkan
sesuatu yang dilarang Allah.”

Selain itu, untuk membangun dan membuktikan pribadi yang baik adalah dengan tidak
mendiamkan tetangganya lebih dari tiga hari dan menyelesaikan persoalan dengan
bermusyawarah sehingga kerukunan antara tetangga bisa terjalin dengan baik.Tetangga yang

8Muḥammad bin Ismāīl bin Ibrāhīm bin al-Mughīrah bin al-Bukhāri, Ṣaḥiḥ al Bukhārihlm. 10.

12
dimaksud secara khusus adalah kerabat dekat yang tinggal di lingkungan sekitar, maka dia
berhak untuk tinggal.
Secara umum tetangga mencakup orang muslim, kafir, budak, orang fasik, orang yang
jujur, suka bermusuhan, orang asing, orang yang bermanfaat atau madharat, orang yang
rumahnya dekat atau jauh. Semua mereka berhak mendapatkan perhargaan dan penghormatan
yang baik. Apabila mereka itu kerabat senasab dan muslim maka dia memiliki hak bertetangga,
hak menjalin hubungan kekerabatan, dan hak berislam. Apabila mereka itu seorang muslim
dan tidak ada hubungan kerabat senasab maka dia mempunyai hak bertetangga dan hak
berislam. Apabila tidak ada hubungan kekerabatan dan bukan Muslim maka dia hanya
mempunyai hak untuk bertetangga. Dengan kriteria tersebut maka semua orang Muslim harus
menampakkan akhlak yang baik kepada tetangga baik kepada sesama muslim maupun non
muslim sehingga kerukunan dalam masyarakat tetap terjalin dengan baik.
Hubungan manusia dengan manusia lainnya harus harmonis sebagaimana petunjuk
Nabi saw., Hal yang utama dalam memperbaiki hubungan kepada sesama manusia, dimulai
dengan hubungan kepada tetangga. Secara umum, tetangga ialah orang atau rumah yang
rumahnya sangat dekat atau sebelah menyebelah, orang setangga ialah orang yang tempat
tinggalnya (rumahnya) terletak berdekatan. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
tetangga adalah orang yang tinggal di sebelah rumah, orang yang tinggal berdekatan rumah,
berarti bertetangga adalah hidup berdekatan karena bersebelahan rumah. 9
Tetangga merupakan orang-orang yang sangat dekat dan menjadi orang pertama
mengetahui jika kita ditimpa musibah. Olehnya, hubungan bertetangga tidak bisa dianggap
remeh karena mereka adalah saudara. Hidup bertetangga harus saling membantu satu sama
lainny

2. Sudut Pandang Islam Dalam Pendidikan Bermasyarakat


Nabi Muhammad SAW merupakan sosok manusia terbaik yang menjadi panutan bagi
umat sejak ia diangkat menjadi Nabi sampai menjadi Rasul sebagai utusan yang memberi kabar
gembira dengan surga dan memberi peringatan atau ancaman dengan neraka. Kabar gembira
maupun peringatan tersebut disampaikan Nabi kepada umatnya berupa aqidah, ibadah, akhlak,
dan muamalah. Pendidikan akhlak yang disampaikan Nabi kepada umatnya ini melalui

9. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. IV;Jakarta:

Balai Pustaka, 2007), h. 1187.

13
sabdanya, agar umatnya meniru dan melaksanakan sesuatu yang dicontohkan Nabi dalam
segala aktivitas kehidupan masyarakat.
Bagi masyarakat sendiri hakikat pendidikan sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan
proses kemajuan hidupnya. Agar masyarakat itu dapat melanjutkan eksistensinya, maka kepala
anggota mudanya harus diteruskan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan dan bentuk tata
perilaku lainnya yang diharapkan akan dimiliki oleh setiap anggota. Setiap masyarakat
berupaya meneruskan kebudayaan dengan proses adaptasi tertentu sesuai dengan corak
masing-maing periode zaman kepada generasi muda.10
Pendidikan akhlak dalam masyarakat sangat terkait dengan unsur keimanan yang ada
pada diri seseorang. Karena dalam beberapa hadis Nabi menyampaikan hadis akhlak dalam
kehidupan umatnya pasti dikaitkan dengan aspek iman. Iman yang sempurna bisa mendorong
seseorang untuk melakukan perbuatan baik dan di sisi lain memprioritaskan kecintaan kepada
Allah SWT dalam bentuk ibadah. Sebagaimana sabda-Nya: “Orang mukmin yang paling
sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.”
Oleh karena itu, iman dan akhlak saling berkaitan yang dinyatakan dengan suatu
ungkapan bahwa orang beriman pasti berakhlak mulia dan orang yang berakhlak mulia pasti
beriman, sebaliknya orang yang tidak beriman pasti berakhlak buruk dan orang yang berakhlak
buruk pasti tidak beriman. Hal ini Sebagaimana dinyatakan oleh Asmara dalam bukunya
“Pengantar Studi Akhlak” bahwa akhlak sebagai manifestasi dari iman dan sudah barang tentu
karena aqidah atau iman menjadi pondasi agama, ia harus lebih didahulukan sebelum adanya
yang lain, iman harus dimiliki terlelebih dahulu sebelum melaksanakan ajaran-ajaran agama.
Oleh karena hal tersebut, Nabi Muhammad SAW dalam melakukan dakwahnya selalu
memprioritaskan akidah sebelum yang lain. Baru kemudian disampaikan masalah fiqh dan
syariah.Akhlak bukan hanya menjadi karakter Islam, akan tetapi akhlak juga merasuk ke dalam
semua eksistensi Islam dalam semua ajarannya, sampai kepada akidah, ibadah dan mu‟amalah
seperti politik, ekonomi, dalam kondisi damai maupun perang.konteks mu‟amalah, akhlak
sangat diperlukan untuk menjalin hubungan manusia dengan manusia lainnnya, karena akhlak
merupakan misi pokok risalah Islam, pokok ajaran Islam, penolong manusia dalam timbangan
kebaikan pada hari kiamat, ukuran kualitas seseorang dalam hal yang baik dan buruk, bukti
dan buah dari ibadah kepada Allah SWT, prilaku utama yang sering diminta Nabi SAW kepada
Allah SWT, dan sering disebutkan dalam al-Qur‟an.

10
Miftahul Huda, 2015, peran pendidikan islam terhadap perubahan social: Jurnal Penelitian
pendidikan islam Vol.10, No 1. h 169.

14
Dalam konteks inilah pendidikan akhlak bermasyarakat atau bermuamalah dalam hadis
yang disabdakan Nabi Muhammad SAW sangat berpengaruh pada kehidupan manusia, sebab
tanpa pendidikan akhlak yang baik manusia bisa melakukan hal-hal yang dilarang agama.
Pendidikan akhlak dalam masyarakat dapat menghantarkan mereka kepada sa‟adah
(kebahagiaan) yang hakiki yakni manusia yang sempurna sebagaimana seorang filosof yang
telah mencapai pencerahan tingkat tinggi. Selain itu, dapat membentuk manusia yang penuh
hikmah (bijaksana), shajaah (berani) dan iffah (mengendalikan diri) dan berlaku adil (al-
Adalah). Hal tersebut bisa terbentuk jika pendidikan akhlak tersebut diterapkan sejak kecil
melalui proses pendidikan formal maupun non formal dalam bentuk pembelajaran.

3. Esensi Bermasyarakat Yang Baik Sesuai Hadis Nabi


Dalam bermasyarakt manusia bersifat makhluk social atau mahkluk yang
membutuhkan makhluk lainnya dalam kegiatan sehari-hari. Dapat dipastikan bahwa
tidak ada manusia yang mampu menyendiri dan tidak berkomunikasi kepada
manusia lainnya.

Makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling sempurna dan paling
tinggi derajatnya adalah manusia. Di dunia ini tidak ada satupun manusia yang sama
dan tidak ada satu pun manusia yang mampu hidup sendiri. Sehingga dipastikan
setiap manusia selalu melekat di dalam dirinya status yang tidak dapat dipisahkan,
yaitu makhluk individu dan makhluk sosial.

Manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia sebagai warga masyarakat.


Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat hidup sendiri atau mencukupi
kebutuhan sendiri. Meskipun dia mempunyai kedudukan dan kekayaan, dia selalu
membutuhkan manusia lain. Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi,
berinteraksi, dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dapat dikatakan bahwa
sejak lahir, dia sudah disebut sebagai makhluk sosial.

Kesadaran manusia sebagai makhluk sosial, akan memberikan rasa


tanggungjawab untuk mengayomi individu yang jauh lebih ”lemah” dari pada
wujud sosial yang ”besar” dan ”kuat”. Kehidupan sosial, kebersamaan, baik itu non
formal (masyarakat) maupun dalam bentuk-bentuk formal (institusi, negara) dengan
wibawanya wajib mengayomi individu. Beberapa cara bermasyarakat sesuai kaidah
hadis Nabi, antar lain:

15
a. Bertetangga dengan baik, serta tidak melakukan hal-hal dibawah ini :
1. Memfitnah tetangga
2. Merusak taman yang ada di sekitar rumah tetangga
3. Membunyikan music dengan sangat keras
4. Mengganggu putera-putri atau binatang peliharaannya
5. Mengganggu rumah tangganya
6. Mempersulit tetangga yang membutuhkan kita
7. Membiarkan tetangga yang kesusahan 11

b. Tolong menolong dalam bertetangga


c. Sopan santun dalam bertetangga

11Husaini A. Majid Hasyim, Syarah Riyadhus Shalihin, terj. Mu‟ammal Hamidy dan Imron A. Manan,

Cet. III, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006), h. 176.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian, pembahasan yang diuraikan pada bab sebelumnya mengenai Hadis
Pendidikan Masyarakat kesimpuan dari pembahasan tersebut yakni sebagai berikut:
1. Islam mengatur bagaimana umatnya bermasyarakat yang sesuai dengan ketentuan Allah
baik secara Al-Qur’an atau Hadis. Dalam setiap aspek kehidupan setiap umat muslim sudah
Allah atur rule bagaimana cara melaksanakannya. Manusia hanya tinggal menuruti aturan
main dan menjalankan akalnya.
2. Dalam bermasyarakat terdapat pendidikan dan juga akhlak yang harus di kedepankan
dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat yang baik. Banyak aspek yang dikaji oleh
islam dalam kehidupan bermasyarakat yang secara fitrahnya manusia adalah makhluk
social yang harus dan wajib bersosialisasi dengan manusia lainnya. Diantara hadis
mengenai pergaulan masyarakat itu diantaranya adalah adab saat bertamu dan menerima
tamu, menghargai tetangga, dan menyayangi muslim lainnya sebagaimana menyayangi diri
sendiri.

17
DAFTAR PUSTAKA

KEMENAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2006)


Al-Bukhāri, Muḥammad bin Ismāīl bin Ibrāhīm bin al-Mughīrah bin, Ṣaḥiḥ al Bukhāri
Al-Jauzi,Ibnu . Bustān al-Wa‟izin wa Riyaḍ al-Sami‟i (Beirūt: Muasasah al-Kutub al-
Thaqafiyah, 1998)
Al-Nawawi, Yaḥya bin Sharf bin Mari, Al-Manhaj Sharh Ṣaḥiḥ Muslim al-Nawawi (Beirut:
Dar al Ihya al-Turath al-Arabi, 1392)
Azzaini, Jamil ON (Cet. IX: Ujung Beru/Bandung; Mizan, 2014)
Hasyim, Husaini A. Majid ,Syarah Riyadhus Shalihin, terj. Mu‟ammal Hamidy dan Imron A.
Manan, Cet. III, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006)
KEMENAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2006)
Mrimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat pendidikan islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1986)
Musthofa, KH. Adib Bisri,Shahih Muslim (Semarang : CV. Asy Syifa’,1993)
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet.
IV;Jakarta: Balai Pustaka, 2007)
RB, Madyo Eko Susilo. Kasihadi, Dasar-DasarPendidikan(Semarang: Effhar offset,1990)
Zaini, Syahminan Prinsip-prinsip dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta: Karya
Mulya,1986)
Miftahul Huda, 2015, peran pendidikan islam terhadap perubahan social: Jurnal Penelitian

pendidikan islam Vol.10, No 1.

18

Anda mungkin juga menyukai