Anda di halaman 1dari 14

Dasar Pengetahuan dan Kriteria Kebenaran Perspektif Barat dan Islam

Arti Kebenaran, Teori-Teori Kebenaran, Sifat Kebenaran Ilmiah

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat dan Sains Islam

Dosen Pengampu:
Dr. Salminawati, S.S., MA

Kelompok 6
Fiki Robi Handoko Harahap Nim: 0331213047
Mayang Mustika Dewi Nim: 0331213032

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2021

i
KATA PENGANTAR

‫بسم ا هلل الرحمن ا لرحيم‬

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Hadis Tematik
Pendidikan.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini. Akhir kata semoga makalah kami yang berjudul Arti Kebenaran, Teori-Teori
Kebenaran, Sifat Kebenaran Ilmiah dapat bermanfaat untuk kita semua.

Medan, 27 Oktober 2021


Pemakalah

Kelompok 6

i
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia menghabiskan seluruh masa hidupnya dengan memikirkan pertanyaan-
pertanyaan yang muncul tentang bagaimana hidup terus berjalan. Sejak masa Plato dan
Aristoteles perkembangan pemikiran filsafat mengenai kebenaran sudah ada, hal ini
berkaitan dengan kodrat manusia sebagai mahluk yang berfikir.

Analogi nya adalah bahwa manusia ialah mahluk yang berfikir, dan berfikir
kemudian lalu bertanya, bertanya dalam hal mencari jawaban, dan mencari jawaban atas
upaya mengetahui kebenaran. Berfikir dengan akal rasional nya dalam mencari jawaban
atas terjadinya pengalaman hidup dalam kesehariannya.

Untuk mencari tau tentang kebenaran tersebut tentu saja dibutuhkan teori-teori
kebenaran dalam merumuskan pertanyaan yang berkembang. Kontradiksi jawaban atas
pertanyaan yang berkembang satu sama lain, yang tentu saja menimbulkan perdebatan
yang berasal dari sumber dan asal usul pengetahuan dan kebenaran tersebut. Filsafat
sebagai Mother of Science membawa konsep tersendiri mengenai kebenaran dan
melahirkan pengetahuan – pengetahuan tentang berbagai aspek kehidupan.

Dalam ilmu filsafat sendiri memiliki cabang yakni pengetahuan epistimologi yang
menjadi pembahasan khusus dan cukup penting yakni mempelajari batas-batas
pengetahuan dan asal-usul pengetahuan serta di kriteria kebenaran.

Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami
permasalahan yang dipersoalkan di antara lain; apakah pengetahuan itu ? apakah yang
menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran
yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Arti Kebenaran
Dalam bahasa Inggris “Kebenaran” disebut “truth”, Anglo-Saxon “Treowth”
(kesetiaan). Istilah latin “varitas”, dan Yunani “eletheid”, dipandang sebagai lawan kata
“kesalahan”, “kesesatan”, “kepalsuan”, dan kadang juga “opini”.1
Dalam bahasa „Arab “Kebenaran” disebut “al-haq” yang diartikan dengan “naqid
al-batil”.2 Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia kata “Kebenaran”, menunjukkan
kepada keadaan yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya, sesuatu yang sungguh-
sungguh adanya.3 Dengan demikian maka setiap pengetahuan yang muncul memiliki
persepsi dan pengertian yang berbeda satu dengan yang lainnya.
“Kebenaran” adalah kesetiaan putusan-putusan dan ide-ide kita pada fakta
pengalaman atau pada alam sebagaimana apa adanya: akan tetapi sementara kita tidak
senantiasa dapat membandingkan putusan kita itu dengan situasi aktual, maka ujilah
putusan kita itu dengan putusan-putusan lain yang kita percaya sah dan benar, atau kita
ujilah putusan-putusan itu dengan kegunaannya dan dengan akibat-akibat praktis.4
Kebenaran itu merupakan kesetiaan kepada kenyataan, namun sementara dalam
beberapa kasus kita tidak dapat membandingkan idea-idea dan putusan-putusan kita
dengan kenyataan, maka yang terbaik yang dapat kita lakukan adalah melihat jika idea-
idea dan putusanputusan itu konsisten dengan idea-idea dan putusan-putusan lain, maka
kita dapat menerimanya sebagai benar.5

1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 412.
2
Naqied al-Bathil berarti lawan dari yang batal (rusak, sesat, salah). Untuk lebih jelasnya pemahaman arti
kebenaran dalam Bahasa Arab tersebut dapat dilihat pada Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, 15 Jilid, (Beirut: Daar
Shaadir, 1412/1992), Jilid 10, h. 49-58.
3
Tim Penyusun Kamus PPPB, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1994),
h. 114 .
4
Harold H. Titus, Living Issue in Philosophy: Introductory Text Book, (New York: D. Van Nostrand
Company 1959), h. 70.
5
G.T.W. Patrick, Introduction to philosophy, (London: tp., 1958), h. 375.

2
Setelah merangkum hasil dari pengertian yang disampaikan sebelumnya, penulis
menyimpulkan bahwasanya kebenaran sendiri tidak dapat terlepas dari 3 hal berikut :
Pertama ialah kebenaran merupakan kualitas dari pengetahuan, hal demikian
menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki pengetahuan akan mengetahui secara
pasti objek dari inti pengetahuan tersebut.
Kedua ialah kebenaran yang berkaitan dengan karakteristik dari pengetahuan itu
sendiri seperti halnya bagaimana cara seseorang tersebut dalam mengetahui atau
membangun pengetahuan tersebut. Maksudnya apakah pengetahuan tersebut didapatkan
dengan penginderaan, sense experience, intuisi atau keyakinan. Pengetahuan tersebut
nanti nya akan dibuktikan dengan cara bagaimana ia mendapatkannya.
Ketiga adalah kebenaran yang diperoleh berdasarkan ketergantungan
pengetahuan tersebut, maksudnya adalah bagaimana hubungan dominasi antara subjek
dengan objek pengetahuan tersebut. Jika yang mendominasi adalah pengetahuan dengan
subjek berkaitan maka penilaian dalam mengkaji menggunakan pendekatan subjektid,
sebaliknya jika yang berlaku adalah dominasi objektif.
Sedangkan dalam kebiasaan Yunani, kebenaran adalah pembahasan dari segi
hakikat dan sifatnya. Mereka beranggapan bahwa kebenaran dapat bersifat subjektif
atapun relative, yang berarti bahwa setiap orang memiliki kebenarannya masing-masing.
Protagoras menyatakan bahwasanya manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu.
Sedangkan menurut Harun Nasution, ia mengatakan bahwa ia cukup meragukan
kemutalakan kebenaran ilmiah karena menurutnya lebih banyak data yang belum
terungkap daripada data yang terungkap.
Dengan demikian, kebenaran ilmiah tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran
yang telah sampai pada hakekat sesuatu, tetapi hanya mendekati hakekatnya. Karena itu,
menurut Harun, kebenaran ilmiah juga tidak mendatangkan keyakinan yang mutlak.6
Sedangkan dalam islam, Kebenaran adalah sesuatu yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh akal sehat, yang tidak akan dapat ditumbangkan oleh
perkisaran zaman, yang menolak dari segala yang salah, menentang yang bobrok, angan-

6
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Cet. I; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985),
h. 10.

3
angan yang tak mendasar. Yang secara nyata Allah SWT mengutus Nabi
Muhammad SAW dengan membawa perkara yang tetap, tegas dan tak akan menyesatkan
umat manusia, yang akan membahagiakan bagi siapa saja yang mengambil sebagai
petunjuk, adapun yang ingkar di neraka.7

B. Teori-Teori Kebenaran
Dalam perkembangan pemikiran filsafat pembicaraan perihal tentang mencari
kebenaran sudah sejak awal di perdebatkan, Aristoteles mengatakan man as the animal
that reasons , pernyataan yang demikian menguatkan prinsip bahwa manusia sebagai
mahluk yang befikir dan proses berfikir tersebut adalah yang membedakan manusia
dengan binatang. Berfikir dengan tujuan mencari kejelasan, fakta, dan keadaan nyata dari
suatu permasalahan dalam hal ini disebut kebenaran.
Untuk menjawab bagaimana kebenaran tersebut dapat dibuktikan terdapat
beberapa teori tentang kebenaran (The Theory of Truth). Diantara teori-teori kebenaran
yang umum berkembang adalah:

1. Teori kebenaran Korespondensi.

2. Teori kebenaran Koherensi.

3. Teori kebenaran Pragmatis.

4. Teori kebenaran Sintaksis.

5. Teori kebenaran Semantis.

6. Teori kebenaran Non-Deskripsi.

7. Teori kebenaran Logis yang berlebihan.8

Untuk pembahasan lebih lanjut berikut penulis jabarkan mengenai teori-teori


kebenaran yang berkembang lebih spesifik,

7
Asrafi Sidqon, “Kemutlakan Kebenaran Al-Qur’an” (Penelitian: IAIN SUPEL Surabaya, 1999), h. 10.
8
Abbas Hamami, Kebenaran Ilmiah, (LP3 UGM, Yogyakarta, 1997), h. 87.

4
1. Teori Kebenaran Korespondensi
Kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesuaian (correspondence)
antara rti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek
yang dituju oleh pernyaan atau pendapat tersebut.9 dengan kata lain teori
kebenaran korespondensi adalah kesesuaian antara data dengan realita atau
kenyataan yang sebenarnya terjadi.
Suatu pernyataan dapat dikatakan benar jika mengandung pernyataan yang
sesuai dengan kenyataan yang ada. Dengan kata lain, kebenaran
korespondensi terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek.
Teori kebenaran korespondensi ini adalah teori yang dapat diterima secara
luas oleh kaum realis karena pernyataan yang ada selalu berkait dengan
realita.Ilustrasi nya adalah Firaz putera Haliq dinyatakan sebuah kebenaran
apabila Haliq benar-benar memiliki seorang putera bernama Firaz.
2. Teori Kebenaran Koherensi
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara
putusanputusan itu sendiri.10 Atau kebenaran yang didapatkan berdasarkan
keputusan baru terhadap kepurusan-keputusan sebelumnya yang telah
diketahui dan dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain ia dinyatakan benar
apabila berkaitan dengan kebenaran-kebenaran yang telah terbukti
sebelumnya.
Dengan kata lain pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat
konsisten dengan pernyataan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu
yang koheren menurut logika. Sebagai contoh, pernyataan “semua manusia
pasti akan mati” adalah pernyataan yang benar, maka jika ada pernyataan
bahwa saya pasti akan mati adalah pernyataan benar karena saya adalah
manusia.

9
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000,
cet. ke 13), h. 57.
10
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 85.

5
Hal ini disebut juga sebagai teori kecocokan, atau teori konsistensi. Tokoh
pada teori ini ialah Plato dan Aristoteles.11
3. Teori Kebenaran Pragmatis
Bagi kaum pragmatis kebenaran adalah sama artinya dengan kegunaan.
Ide, konsep, pengetahuan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna.
Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang
(berdasarkan ide itu) melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna.
Berhasil dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu
ide itu benar atau tidak.
Maksudnya ialah apabila sesuatu tersebut dinyatakan sebagai kebenaran
apabila berlaku, berfaedah dan memuaskan. Maksudnya adalah kebenaran
tersebut dapat dibuktikan dengan kegunaan, hasil dan akibatnya.
Misalnya, seiring perkembangan zaman, teknologi pun semakin canggih.
Para ilmuan menemukan teknologi-teknologi baru untuk mempermudah
pekerjaan manusia, telepon genggam berupa smartphone contohnya.
Penemuan dan pengaplikasian smartphone tersebut dikatakan benar karena
dapat berguna untuk mempermudahkan pekerjaan manusia.
4. Teori Kebenaran Sintaksis
Teori ini berkembang diantara para filsuf analisa bahasa, seperti Friederich
Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku’.
Maksudnya ialah sesuatu tersebut dikatakan benar apabila sesuai dengan
ketentua-ketentuan yang berlaku pada keadaan tersebut.
5. Teori Kebenaran Semantis
Menurut teori kebenaran semantik, suatu proposisi memiliki nilai benar
ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya
pengacu (referent) yang jelas? Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada
referensi atau kenyataan, juga memiliki arti yang bersifat definitif.

11
Yuyun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu, (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995), h. 55-57.

6
Sesuatu dinyatakan sebagai kebenaran apabila memiliki nilai-nilai atau
makna. Dalam hal ini nilai dan makna yang dimaksudkan berhubungan
dengan kenyataan yang berlaku.
6. Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat
fungsionalisme. Suatu pernyataan dianggap benar tergantung peran dan fungsi
pernyataan itu sendiri. Pengetahuan akan memiliki nilai kebenaran sejauh
pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-
hari.
Atau dengan kata lain sesuatu dinyatakan sebagai kebenaran apabila
memiliki fungsi, maksudnya adalah fakta dan pernyataan tersebut dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
7. Teori Kebenaran Logis yang Berlebihan
Menurut teori ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan
kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan,
karena pada dasarnya apa pernyataan yang hendak dibuktikan.
Ialah apabila sesuatu tersebut propori nya jelas menujukkan keadannya
sesuai dengan fakta dan data, seperti hanya pernyataan lingkaran itu bulat.
Pernyataan tersebut sudah jelas tanpa perlu penjabaran lebih lanjut karena
melihat berdasarkan keadaannya.

Semua pengklasifikasian akan teori-teori tersebut tentunya memiliki kelebihan


dan kekurangannya masing-masing sesuai dengan persepsi dan pemikiran ilmuwan saat
itu, ada yang menganggap kebenaran hanya berdasarkan pada tiga teori yang
disampaikan pada urutan satu sampai tiga dan ada juga yang menganggap teori kebenaran
lebih dari ketujuh poin yang penulis sampaikan.

Pada dasarnya teori-teori tersebut saling melengkapi satu dengan yang lain
dengan maksud menyampikan fakta dan data sebagai upaya mencari kebenaran. Akan
tetapi yang perlu ditekankan adalah,

pertama suatu prinsip mungkin saja dianggap sebagai kepercayaan meskipun


buka berupa kebenaran.

7
Kedua sesuatu yang berlaku baik bagi seseorang bukan berarti hal tersebut
berlaku sebagai kebenaran bagi orang lain.

Ketiga sesuatu tersebut belum tentu dapat diaplikasikan pada waktu dan tempat
yang terjadi pada tiap-tiap orang.

C. Sifat Kebenaran Ilmiah


Kebenaran ilmiah tidak dapat dipisahkan dari karakteristik yang bersifat ilmiah.
Adapun kata ilmiah (Scientific: Inggris) dapat diartikan sebagai sesuatu yang bersifat
ilmiah; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat atau kaidah ilmu pengetahuan. 12
Kebenaran ilimiah sendiri adalah kebenaran yang lahir melalui proses penelitian
ilmiah, yakni melewati tahapan-tahapan dan prosedur yang pasti yang dikenal juga
sebagai metodologi sesuai terhadap objek yang dikaji.
Misalnya dalam hal ini adalah kebenaran pengetahuan yakni yang sifatnya
objektif atau kebenaran tersebut didukung fakta-fakta dan terlepas dari bagaimanapun
keadaan subjek. Maka kebenaran ilmiah sendiri dapat di aktualisasikan dalam bentuk
ilmu pengetahuan. Pengetahuan dapat dikategorikan ilmiah apabila didalamnya terdapat
sifat kebenaran ilmiah itu sendiri.
Kekaguman terhadap pengalaman, kebenaran, pengetahuan biasa (common
sense), menimbulkan berbagai ketidakpuasan dan bahkan keraguan terhadap kebenaran
harian tersebut. Ketidakpuasan dan keraguan tersebut akan melahirkan keingintahuan
yang mendalam yang diwujudkan dalam berbagai pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut selanjutnya diikuti dengan dilakukannya sejumlah
penyelidikan. Serangkaian proses ilmiah tersebut melahirkan kebenaran ilmiah yang
dinyatakan dalam pengetahuan atau sains.13
Sifat kebenaran ilmiah adalah universal sejauh kebenaran tersebut dapat
dipertahankan, oleh karena itu kebenaran ilmu akan diakui bila mampu melewati proses
eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan.14

12
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta) , h. 370.
13
Hadi, Hardono, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan,( Kanisius, Yogyakarta,1991) , h. 27.
14
C. Verhaak & R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Gramedia, Jakarta, 1989 ), h. 160.

8
Kebenaran ilmiah dapat dipandang beragam yakni:

(1) kebenaran yang berhubungan dengan kualitas pengetahuan,

(2) kebenaran yang didasarkan pada karakteristik yang dapat dibuktikan dengan indera,

(3) kebenaran yang didasarkan pada ketergantungan, yakni berdasarkan objek ilmu
pengetahuan itu sendiri.

Kebenaran ilmiah sendiri merupakan hasil dari serangkaian kegiatan yang


terverifikasi dengan adanya metode ilmiah, objektif, universal dan tentu berguna juga
dapat dimanfaatkan. Maka kebenaran ilmiah tersebut dapat dikaitkan dengan pendekatan
ontologi, espistimologi, dan aksiologi agar didapatkan ilmu pengetahuan yang benar
sebagai cakupan dari pembahasan filsafat ilmu.
Kebenaran ilmiah tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan atau sains yang
dipandang sebagai a higher level of knowledge karena pengetahuan adalah aktualiasi dan
bagian dari kebenaran ilmiah itu sendiri.
Adapun syarat yang harus dimiliki sifat kebenaran ilmiah ialah:
1. Struktur yang rasional-logis.
Kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan logis atau rasional dari
proposisi atau premis tertentu. Karena kebenaran ilmiah bersifat rasional, maka
semua orang yang rasional (yaitu yang dapat menggunakan akal budinya secara baik),
dapat memahami kebenaran ilmiah. Oleh sebab itu kebenaran ilmiah kemudian
dianggap sebagai kebenaran universal.
Dalam memahami pernyataan di atas, perlu membedakan sifat rasional
(rationality) dan sifat masuk akal (reasonable). Sifat rasional terutama berlaku untuk
kebenaran ilmiah, sedangkan masuk akal biasanya berlaku bagi kebenaran tertentu di
luar lingkup pengetahuan. Sebagai contoh: tindakan marah dan menangis atau
semacamnya, dapat dikatakan masuk akal sekalipun tindakan tersebut mungkin tidak
rasional.
2. Isi empiris.
Kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada, bahkan sebagian besar
pengetahuan dan kebenaran ilmiah, berkaitan dengan kenyataan empiris di alam ini.

9
Hal ini tidak berarti bahwa dalam kebenaran ilmiah, spekulasi tetap ada namun
sampai tingkat tertentu spekulasi itu bisa dibayangkan sebagai nyata atau tidak karena
sekalipun suatu pernyataan dianggap benar secara logis, perlu dicek apakah
pernyataan tersebut juga benar secara empiris.
3. Dapat diterapkan (pragmatis).
Sifat pragmatis, berusaha menggabungkan kedua sifat kebenaran sebelumnya
(logis dan empiris). Maksudnya, jika suatu “pernyataan benar” dinyatakan “benar”
secara logis dan empiris, maka pernyataan tersebut juga harus berguna bagi
kehidupan manusia. Berguna, berarti dapat untuk membantu manusia memecahkan
berbagai persoalan dalam hidupnya.

D. Agama sebagai Teori Kebenaran


Manusia adalah mahluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk menemukan
suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik
tentang alam, manusia maupun tentang tuhan.
Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal,budi,rasio,
dan reason manusia maka dalam teori ini lebih mengedepankan wahyu yang bersumber
dari Tuhan.
Penalaran dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir setelah
melakukan penyelidikan dan pengalaman. Sedangkan manusia mencari dan menentukan
kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempertanyakan atau mencari jawaban
tentang masalah asasi dari atau kepada kitab suci, dengan demikian suatu hal itu dianggap
benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
Agama dan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala
persoalan manusia, termasuk kebenaran.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berfikir adalah salah satu kelebihan pada diri manusia dan dengan proses
berfikir adalah bukti manusia mencari kebenaran. Manusia berfikir adalah
membedakan manusia dengan mahluk lain, ketika manusia berfikir kemudian
timbul pertanyaan dan pertanyaan tersebut adalah bagian dari memikirkan sesuatu
untuk mencari jawaban. Kemudian jawaban yang diharapkan adalah berupa
kebenaran. Maka kesimpulannya adalah manusia mahluk yang mencari
kebenaran.

Adapun berbagai macam teori yang di rumuskan dalam mencari kebenaran


adalah bagian dari pemikiran manusia sendiri yang menggunakan berbagai
macam metode yang semuanya sama saja mengarah dan bertujuan untuk mencari
kebenaran. Teori yang ada akan melengkapi bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya, sehingga mendapat satu fakta yang sesuai dengan pernyataan yang
sedang dicari tau kebenarannya.

Sedangkan kebenaran ilmiah adalah fakta yang melewati berbagai macam


proses ilmiah yang secara prosedur mengikuti tahapan-tahapan yang bersifat
scientific sehingga kemudian menghasilkan pemikiran yang telah teruji dan dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Hasil dari kebenaran ilmiah adalah ilmu
pengetahuan, karenanya ilmu pengetahuan tersebut berisikan fakta-fakta yang
bersifat objektif, subjektif, universal, dan bermanfaat.

11
DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar, (2012). Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Bagus, L. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Bahasa, T. P. (1994). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hardono, H. (1991). Epistimologi: Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.

Imam, C. V. (1989). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia.

Jujun S.(2000). Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan,.

Manzhur, I. (1992). Lisan al-Arab. Beirut: Daar Shaadir.

Nasution, H. (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Patrick, G. (1958). Introduction to Philosophy. London: tp.

Siqdon, A. (1999). Kemutlakan Kebenaran Al-Qur'an. Surabaya: IAIN SUPEL.

Suria, Y. S. (1995). Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tim Penyusun Kamus PPPB, D. (1994). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Titus, H. H. (1959). Living Issue in Philosophy. New York: D. Van Nostrand Company.

12

Anda mungkin juga menyukai