Anda di halaman 1dari 7

Agama dan Budaya Lokal: Relavansi Islam dan Nilai – Nilai Budaya dalam

Masyarakat Bugis
Abdul Rahman (19.2600.033), Astri Andriani (19.2600.055), Nurhikmah
Abbas (19.2600.036), Muh. Rezkq Darmawan (18.2600.042), Nashat Al-
Najjar (19.2600.005), Rismayanti (18.2600.050)
(Hukum Tata Negara)
2020/2021 Semester Genap
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam agama dan
kebudayaan yang berkembang dan telah dilestarikan sejak dahulu. Agama
dan budaya merupakan hal tidak dapat terpisahkan yang mengalir dalam
kehidupan sosial masyarakat kita dari dulu hingga sekarang. Dengan adanya
berbagai macam sistem kebudayaan di indonesia tidak menutup kemungkinan
munculnya berbagai perbadaan dalam mengaplikasikan agama terutama
agama islam itu sendiri.
Jika dipandang dengan dari sudut sosiologis, islam merupakan suatu
fenomena peradaban, kultural dan realitas yang sosial dalam kehidupan
manusia. Islam dalam realitas sosial tidak hanya sekedar sejumlah doktrin
yang bersifat universal, melainkan juga dapat menjelmakan diri dalam
institusi – institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta
ruang dan waktu. Dari pernyataan tersebut mengandung arti bahwa ajaran
islam yang terdiri atas doktrin atau ajaran universal pada tingkat sosial tidak
dapat menhindarkan diri dari perubahan.
Baik agama maupun kebudayaan sama-sama memberikan wawasan dan
cara pandang dalam menyikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Allah
SWT. oleh karena itu, biasanya terjadi pertentangan antara agama dan
kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna dan spirit pada kebudayaan.
Sedangkan kebudayaan memberi kekayaan kepada agama. Dan dapat
dikatakan bahwa telah terjadi akulturasi dan akomodasi ajaran islam dengan
kebudayaan, terutama budaya lokal.
Sejak awal kedatangan Islam di Sulawesi Selatan, sinergi pemerintah dan
ulama dalam membina masyarakat selalu terjalin dengan baik, yang
pembinaannya senantiasa bertumpu dan berpacu pada nilai-nilai Islam dan
kearifan nilai-nilai budaya lokal. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan
diuraikan beberapa hubungan Islam dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat
bugis.
B. Islam dan Budaya Lokal (Bugis)
Berdasarkan catatan sejarah, awal mula suku bangsa yang mendiami pulau
ini berasal dari Hindia Belakang. Mereka pertama kali datang sekitar 3000
tahun sebelum Masehi. Inilah yang kemudian disebut Protomelayu (Melayu
pertama) yaitu suku bangsa Toraja, yang kemudian disusul migrasi kedua
yaitu suku Bugis, Makassar, dan Mandar. Suku Bugis mendiami sebagian
Bulukumba, sebagian Bantaeng, sebagian Maros, sebagian Pangkajenne
Kepulauan, Barru, Pare-pare, Sidenreng Rappang, Pinrang, sebagian
Enrekang, dan sebagian Luwu.
Sejak zaman dahulu, budaya masyarakat Sulawesi Selatan sudah tercatat
dalam literatur kuno orang bugis (juga makassar) yang disebut dengan
“Lontara”, yang didalamnya terdapat ajaran-ajaran yang menceritakan
tentang asal muasal kejadian manusia, terjadinya kerajaan, aturan-aturan
kehidupan manusia, dan lain-lain. Sebelum datangnya Islam, masyarakat
Bugis memiliki sistem dan tata nilai aturan yang sangat kental. Terdapat
berbagai tata aturan hidup masyarakat Bugis pra Islam, baik yang berkaitan
dengan kepercayaan maupun pemerintahan dan kemasyarakatan yang disebut
Pangngaderreng (Bugis), Pangngadakkang (Makassar), Pangngadarang
(Luwu), Aluk To Dolo (Toraja), dan Ada’ (Mandar). Sebelum masuknya
Islam, mereka telah meyakini Dewata Seuwae (dewa yang tunggal). Konsepsi
pemikiran tentang Tuhan tunggal sebagai bentuk agama tertua.
Islam tersebar dan diterima di Sulawesi Selatan oleh masyarakat baik pada
garis atas (raja) dan garis bawah (rakyat) karena pola-pola pendekatan yang
sesuai dengan bibit spiritual dan ritual yang sudah ada sebelum masuknya
Islam. Ada tiga pendekatan yang dilakukan, yaitu: pertama, pedekatan hukum
islam (fikih). Kedua, pendekatan ilmu kalam. Ketiga pendekatan ilmu
tasawuf.
Dalam catatan sejarah bahwa Islam sebagai agama yang baru berkembang
menggunakan metode aksi damai dalam menyebarkan konsep ajarannya.
Kehadiran Islam dalam masyarakat Bugis merupakan bentuk penerimaan
nilai yang sama sekali baru ke dalam budaya yang sudah mempunyai wujud
secara mapan. Namun, kehadiran budaya baru ke dalam budaya yang sudah
ada ini tidak dapat meruntuhkan nilai dan tanpa menghilangkan jati diri asal.
Dalam pertemuan dua budaya baru, kemungkinan akan terjadi ketegangan
antara kedua budaya. Tetapi dalam pertamuan Islam dengan budaya bugis
justru yang terjadi ialah perpaduan yang saling menguntungkan, karena islam
dijadikan sebagai identitas sosial untuk memperkuat identitas yang sudah ada
sebelumnya.
C. Nilai-nilai Budaya Masyarakat Bugis
Dari segi budaya, dalam masyarakat bugis memiliki berbagai nilai-nilai
budaya yang menjadi acuan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Nilai
budaya merupakan lapisan yang paling abstrak dan ruang lingkupnya sangat
luas. Menurut Koentjaraningrat nilai budaya terdiri atas tingkat pertama
kebudayaan ideal atau adat. Ia juga mengatakan bahwa sistem nilai budaya
terdiri atas konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai
dalam hidup. Nilai-nilai budaya dalam masyarakat bugis tertuang dalam
lontaraq yang tidak hanya berbicara tentang masa lampau, tetapi juga dapat
dipedomani pada masa kini dan masa yang akan datang. Adapun beberapa
nilai-nilai budaya dalam masyarakat bugis, yaitu:
Pertama, Ammaccang (kecendekiaan), seorang pemimpin atau tokoh
masyarakat, biasanya dipilih dan diangkat karena pertimbangan
kecerdasaannya dalam masyarakat bugis. Orang yang cerdas layak dijadikan
panutan bagi orang banyak. Orang cerdas juga dapat ditandai dari sikapnya
dalam menghadapi orang lain. Biasanya orang pintar tidak banyak bicara
kecuali pembicaraan yang bermanfaat.
Kedua, Awaraningeng (keberanian), menurut pandangan leluhur manusia
yang sempurna bukan hanya mereka cerdas tetapi juga harus memiliki
keberanian. Bagi masyarakat Awaraningeng (keberanian) merupakan pilar
bagi seseorang untuk bisa tetap mempertahankan hidupnya dalam upaya
menembus ruang dan waktu.
Ketiga, Sipakatau (Saling menghargai), saling mengharagai adlaah sebuah
nilai yang memandang setiap manusia sebagai manusia. Sipakatau yang
berarti salng menghargai sebagai individu yang bermartabat. Budaya Bugis
memposisikan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan oleh
karenanya harus dihargai dan diperlakukan secara baik.
Keempat, Siri’ (Rasa malu/harga diri), secara harfiah siri’ berarti malu,
juga berarti kehormatan atau harga diri. Nilai ini perlu dihayati dan
dikembangkan dalam pribadi setiap orang. Dari beberapa nilai-nilai budaya
bugis yang disebutkan, Siri’ merupakan inti dari kebudayaan masyarakat
Bugis. Dalam masyarakat Bugis mempertahankan harga diri sebagai
perwujudan dari konsep atau nilai siri’ merupakan suatu kewajiban setiap
individu maupun kelompok. Manusia dalam masyarakat Bugis hanya dapat
dipandang sebagai manusia apabila ia memiliki harga diri sebagai perwujudan
dari siri’.
D. Relasi Islam dan Nilai-nilai Budaya Masyarakat Bugis
Dengan adannya kesinambungan antara budaya dan Islam kemudian
dalam berbagai aktivitas kehidupan masyarakat selalu saja kegiatan
keagamaan yang disertai dengan spiritual yang berasal dari kearifan budaya.
Ketika menempuh siklus kehidupan, maka sandaran utama berada pada dua
acuan yaitu budaya dan Islam.
Dalam budaya masyarakat bugis terdapat nilai-nilai yang dijadikan sebagai
pedoman hidup masyarakat. Masuknya agama Islam ke Sulawesi Selatan
khususnya dalam budaya masyarakat bugis sama sekali tidak menentang
nilai-nilai yang telah menjadi acuan masyarakat setempat. Nilai nilai Islami
dalam budaya masyarakat bugis sudah menyatu dalam adat istiadat, tampil
secara proporsional menurut tujuan kegiatan sosial. Nilai-nilai utama yang
menjadi ukuran sikap yang diterima oleh masyarakat yaitu: Pertama, lempu’,
yaitu kejujuran disertai taqwa pada Allah SWT, yaitu sikap jujur dalam
berperilaku dan ucapan baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Kedua, berkata benar (ada tongeng) diserta kewaspadaan, yaitu senantiasa
berkata benar dari semua ucapannya. Ketiga, Siri’ disertai kebijakan, yaitu
merasa malu terhadap diri sendiri dan orang lain atas kegagalan usaha dan
pekerjaan, serta bijak mengambil dan menjalankan keputusan. Salah satu
hubungan atau interaksi Islam dengan budaya lokal yaitu dalam menanggapi
nilai Siri’ islam mempertegas makna nilai siri’ sebagai nilai moral dan harga
diri yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi.
E. Kesimpulan
Sebagaiman yang telah diuraikan diatas, Islam dan budaya lokal sama-
sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan
agar sesuai dengan kehendak Allah SWT. Pertamuan Islam dengan budaya
bugis justru yang terjadi ialah perpaduan yang saling menguntungkan, karena
islam dijadikan sebagai identitas sosial untuk memperkuat identitas yang
sudah ada sebelumnya.
Dalam budaya masyarakat bugis memiliki nilai – nilai kebudayaan yang
menjadi pedoman dan acuan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat bugis.
Nilai-nilai tersebut yaitu: Ammaccang (Kecendekiawan), Awaraningeng
(Keberanian), Sipakatau (Saling menghargai), dan Siri’ (Rasa malu/harga
diri). Keempat nilai tersebut menjadi acuan bagi masyarakat untuk kehidupan
yang lebih baik.
Masuknya agama Islam ke Sulawesi Selatan khususnya dalam budaya
masyarakat bugis sama sekali tidak menentang nilai-nilai yang telah menjadi
acuan masyarakat setempat. Nilai nilai Islami dalam budaya masyarakat bugis
sudah menyatu dalam adat istiadat, tampil secara proporsional menurut tujuan
kegiatan sosial.

Daftar Pustaka
Junaid, Hamzah. 2013. Kajian Kritis Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal.
Jurnal Diskursus Islam, 1(1): 57-62.
Marzali, Amri. 2016. Agama dan Kebudayaan. UMBARA: Indonesian Journal of
Antrhopology, 1(1): 58-59.
Pabbajah, Mustakim. 2012. Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis –
Makassar. Jurnal Al-Ulum, 12(2): 399-400.
Pongsibanne, H. Lebba Kadorre. 2017: Islam dan Budaya Lokal: Kajian
Antropologi Agama. Yogyakarta: Kaukaba.
Rustan, Edi. 2010. Budaya Leluhur dalam Memperkukuh Tatanan Masyarakat di
Era Globalisasi. Prosiding, 23(24): 80-82.
Sabara. 2018. Islam dalam Tradisi Masyarakat Lokal di Sulawesi Selatan.
MIMIKRI, 4(1): 64-65.
Suardi W, Ismail. 2013. Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan Agama
dalam Masyarakat Bugis. Analisis, 13(1): 31-33.
Suprapto. 2020. Dialektika Islam dan Budaya Nusantara dari Negosiasi, Adaptasi
hingga Komodifikasi. Jakarta: KENCAN A
Syarif, Erman. Dkk. 2016. Integrasi Nilai Budaya Etnis Bugis Makassar dalam
proses Pembelajran Sebagai Salah Satu Strategi Menghadapi Era Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA). Jurnal Teori dan Praksis Pembelajaran IPS, 1(1):
16-17.
Yusuf, Muhammad. 2013. Relevansi Nilai-nilai Budaya Bugis dan Pemikiran
Ulama Bugis. el Harakah, 15(2): 201-203.

Anda mungkin juga menyukai